MAKALAH EKONOMI ISLAM
Murabahah
A. Pendahuluan
Islam adalah agama yang maha sempurna, oleh
karenanya tidak ada satu aspek pun dalam persoalan manusia yang luput dari
kajian dan perhatian Islam. Allah swt telah merumuskan dan menyempurnakan segala
bentuk aturannya untuk dijadikan sebagai panduan
bagi segenap umat
Islam. Begitupun dalam urusan
muamalah, walaupun Islam tidak
mempunyai peraturan secara
rinci tentang sistem
Ekonomi Islam, namun Islam mempunyai fondasi,
aturan dasar atau pengarahan
yang pokok dan beberapa cabang penting dalam Ekonomi Islam, yang seyogyanya
menjadi acuan dasar bagi umat islam
dalam menjalankan kegiatan muamalahnya. Seperti
halnya dalam menyikapi
kredit yang marak
terjadi di perbankan kovensional, maka
sebenarnya Islam telah
jauh-jauh hari memiliki
sistem yang berkenaan dengan itu, ini merupakan hasil
interpretasi yang dilakukanan
oleh para ulama terdahulu. Mereka telah
membahas tentang jenis-jenis
transaksi yang dapat diaplikasikan pada perbankan syariah
dan lembaga keuangan islam lainnya. Diantara jenis transaksi
tersebut adalah bai
al-Murabahah. Jenis
transaksi ini merupakan transaksi yang
simpel dan mudah
untuk dilaksanakan.
Maka
tidak aneh jikalau pembiayaan al-Murabahah ini merupakan
salah satu produk yang paling “populer” dan diminati oleh para
nasabah perbankan syariah
dan Institusi Islam
lainnya. Sebagai contohnya, dari total
Rp. 112,844 milyar
pembiayaan yang dilakukan
oleh bank syariah dan unit usaha
syariah, porsi pembiayaan Murabahah
mencapai 64,54 persen dari total dana
yang di keluarkan,
di bandingkan dengan
akad mudharabah yang hanya mencapai 10,48 persen. Namun
demikian, jikalau kita sedikit memperhatikan pada tatanan praktek dan implementasi yang
ada, tidak sedikit
dalam pelaksanan konsep
Murabahah sesuai dengan apa yang
dirumuskan oleh para pakar
dan praktisi muamalah, lebih
jauhnya ada yang bertentangan
dengan pokok ajaran
islam, yaitu al-Quran
dan as-Sunnah. Oleh karena
itu, beberapa tahun
kebelakang ada istilah
yang muncul yaitu mensyariahkan bank
syariah
B. Pembahasan
1.
Pengertian Murabahah
Murabahah adalah jual beli barang pada
harga asal dengan tambahan keuntungan yang disepakati. Penjual harus memberi
tahu harga produk yang ia beli dan menentukan suatu tingkat keuntungan sebagai
tambahan. Murabahah merupakan suatu bagian dari bentuk jual beli yang
bersifat amanah dan menurut ulama’ definisi Murabahah (secara fiqih) adalah
akad jual beli atas barang tertentu. Dalam transaksi penjualan tersebut,
penjual menyebutkan dengan .jelas barang yang akan dibeli termasuk harga
pembelian barang dan keuntungan yang akan diambil.
Sesuai dengan sifat bisnis (tijaroh),
transaksi murabahah memiliki beberapa manfaat, demikian juga risiko yang harus
diantisipasi. Murabahah memberi banyak manfaat kepada lembaga keuangan
syari’ah, salah satunya adalah adanya keuntungan yang muncul dari selisih
harga beli dari penjual dengan harga jual terhadap anggota. Selain itu sistem
murabahah juga sangat sederhana, hal tersebut memudahkan penanganan
administrasinya di lembaga keuangan syari’ah.[1]
Diantara
kemungkinan risiko yang harus diantisipasi antara lain:
1. Default
atau kelalaian, anggota sengaja tidak membayar angsuran.
2. Fluktuasi
harga komparatif, ini terjadi bila harga suatu barang di pasar naik setelah
bank membelikannya untuk anggota. Sehingga bank tidak mengubah harga jual beli
tersebut.
3. Penolakan
anggota, barang yang dikirim bisa saja ditolak oleh anggota karena berbagai
sebab, bisa jadi karena rusak dalam perjalanan sehingga anggota tidak mau
menerimanya, karena itu sebaiknya dilindungi dengan asuransi.
4. Dijual,
karena murabahah bersifat jual beli dengan utang maka ketika kontrak
ditandatangani, barang itu menjadi milik anggota. Anggota bebas melakukan
apapun terhadap asset miliknya tersebut untuk menjualnya. Jika terjadi
demikian,risiko untuk default akan besar.
Dari berbagai pemaparan di atas maka
yang dimaksud dengan pembiayaan murabahah adalah pembiayaan yang diberikan
kepada anggota dalam rangka pemenuhan kebutuhan produksi, atas transaksi
ini BMT memperoleh sejumlah keuntungan (mark up) yang telah disepakati antara
pihak BMT dan calon anggota.
2. Landasan
Hukum
Landasan
hukum akad murabahah ini adalah:
1.
Al-Quran
Ayat-ayat Al-Quran yang secara umum
membolehkan jual beli, diantaranya adalah firman Allah :
“..dan
Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” (QS. Al-Baqarah:275).
Ayat
ini menunjukkan bolehnya melakukan transaksi jual beli dan murabahah merupakan
salah satu bentuk dari jual beli.
2. Dan
firman Allah:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan
perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu”
(QS. An-Nisaa:29).
3. As-Sunnah
Sabda
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassallam: “Pendapatan yang paling afdhal (utama)
adalah hasil karya tangan seseorang dan jual beli yang mabrur”. (HR. Ahmad Al
Bazzar Ath Thabrani).
Hadits
dari riwayat Ibnu Majah, dari Syuaib :
”Tiga perkara yang
didalamnya terdapat keberkahan: menjual dengan pembayaran secara tangguh,
muqaradhah (nama lain dari mudharabah), dan mencampur gandum dengan tepung
untuk keperluan rumah dan tidak untuk dijual” (HR.
Ibnu Majah).
4. Al-Ijma
Transaksi
ini sudah dipraktekkan di berbagai kurun dan tempat tanpa ada yang
mengingkarinya, ini berarti para ulama menyetujuinya (Ash-Shawy, 1990., hal.
200).
a).
kaidah Fiqh, yang menyatakan:
“Pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh
dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya.”
b).
Fatwa Dewan Syariah Nasonal Majelis Ulama Indonesia
No.04/DSN-MUI/IV/2000,tentang MURABAHAH.
3. Rukun Bai’ Al-Murabahah
Rukun
Murabahah dalam perbankan adalah sama dengan fiqih dan hanya dianalogikan dalam
praktek perbankannya, seperti:
a. Penjual (ba’i) dianalogikan sebagai BMT.
b. Pembeli (musytari) dianalogikan sebagai
anggota.
c. Barang yang akan diperjualbelikan (mabi’ )
yaitu jenis pembiayaan.
d. Harga (Tsaman) dianalogikan sebagai pricing
atau plafond pembiyaan.
e. Ijab
dan qobul dianalogikan sebagai akad perjanjian yaitu pernyatan persetujuan yang
dituangkan dalam akad.
4. Syarat Bai’ al-Murabahah
a. penjual
memberi tahu biaya modal kepada nasabah/anggota.
b. Kontrak
pertama harus sah sesuai dengan rukun yang ditetapkan
c. Kontrak
harus bebas dari riba
d. Penjual
harus menjelaskan kepada pembeli bila terjadi cacat atas barang sesudah
pembelian
e. Penjual
harus menyampaikan semua hal yang berkaitan dengan pembelian, misalnya jika
pembelian dilakukan secara hutang.
5. Aplikasi Murabahah dalam Lembaga
Keuangan Syariah
Dalam konsep di perbankan syariah maupun
di Lembaga Keuangan Syariah (BMT), jual beli murabahah dapat dibedakan menjadi
2, yaitu:
1)
Murabahah tanpa
pesanan
Murabahah
tanpa pesanan adalah jenis jual beli murabahah yangdilakukan dengan tidak
melihat adanya nasabah yang memesan(mengajukan pembiayaan) atau tidak, sehingga
penyediaan barangMurabahah merupakanbagian terpenting dari jual beli dan
prinsip akad ini dilakukan oleh bank atau BMTsendiri dan dilakukan tidak
terkait denganjual beli murabahah sendiri.Dengan kata lain, dalam murabahah
tanpa pesanan, bank syariahatau BMT menyediakan barang atau persediaan barang
yang akan di perjual belikan dilakukan tanpa memperhatikan ada nasabah yang membeli
atau tidak.
Proses pengadaan barang dilakukansebelum transaksi /
akad jual beli murabahah dilakukan. Pengadaanbarang yang dilakukan bank syariah
atau BMT ini dapat dilakukan denganbeberapa cara antara lain :
a. Membeli
barang jadi kepada produsen (prinsip murabahah).
b. Memesan
kepada pembuat barang / produsen dengan pembayarandilakukan secara keseluruhan
setelah akad (Prinsip salam).
c. Memesan
kepada pembuat barang / produsen dengan pembayaran yangdilakukan di depan,
selama dalam masa pembuatan, atau setelahpenyerahan barang (prinsip isthisna).
d. Merupakan
barang-barang dari persediaan mudharabah atau musyarakah.[2]
2) Murabahah Berdasarkan
Pesanan
yang dimaksud dengan murabahah berdasarkan pesanan
adalah jual beli murabahah yang dilakukan setelah ada pesanan dari pemesan atau
nasabah yang mengajukan pembiayaan murabahah.Jadi dalam murabahah berdasarkan
pesanan, bank syariah atau BMT melakukan pengadaan barang dan melakukan
transaksi jual beli setelah ada nasabah yang memesan untuk dibelikan barang
atau assetsesuai dengan apa yang diinginkan nasabah tersebut.
3) Penerapan
dan Skema Murabahah
Murabahah
sebagaimana yang diterapkan dalam perbankan syariah,pada prinsipnya didasarkan
pada 2 (dua) elemen pokok, yaitu harga beli sertabiaya yang terkait dan
kesepakatan atas mark-up. Ciri dasar kontrakpembiayaan murabahah adalah sebagai
berikut:
a. Pembeli
harus memiliki pengetahuan tentang biaya-biaya terkait dan hargapokok barang
dan batas mark-up harus ditetapkan dalam bentuk persentasedari total harga plus
biaya-biayanya.
b. Apa
yang dijual adalah barang atau komoditas dan dibayar dengan uang.
c. Apa
yang diperjual-belikan harus ada dan dimiliki oleh penjual atauwakilnya dan
harus mampu menyerahkan barang itu kepada pembeli.
d. Pembayarannya
ditangguhkan.
Bank-bank
syariah umumnya mengadopsi Murabahah untuk memberikan pembiayaan jangka
pendek kepada para nasabah guna pembelianbarang meskipun mungkin nasabah tidak
memiliki uang untuk membayar.Kemudian Dalam prakteknya di perbankan Islam,
sebagian besar kontrakmurabahah yang dilakukan adalah dengan menggunakan
sistemMurabahah Kepada Pemesan Pembelian (KPP).Hal ini dinamakan demikian
karena pihakbank syariah semata-mata mengadakan barang atau asset untuk
memenuhi kebutuhan nasabah yang memesannya.
Terdapat juga pengembangan dari aplikasi pembiayaan
murabahahdalam bank syariah atau BMT, yaitu dalam hal pengadaan barang. Dalam
halini bank atau BMT menggunakan media akad wakalah untuk
memberikankuasa kepada nasabah untuk membeli barang atas nama bank kepada supplier atau
pabrik.
apabila pihak bank mewakilkan kepada nasabah
untukmembeli barang dari pihak ketiga (supplier), maka kedua pihak
harusmenandatangani kesepakatan agency (agency contract), dimana pihak
bankmemberi otoritas kepada nasabah untuk menjadi agennya untuk
membelikomoditas dari pihak ketiga atas nama bank, dengan kata lain nasabah
menjadiwakil bank untuk membeli barang.
Kepemilikan barang hanya sebatas sebagai agen dari
pihak bank.Selanjutnya nasabah memberikan informasi kepada pihak bank bahwa Ia
telahmembeli barang, kemudian pihak bank menawarkan barang tersebut
kepadanasabah dan terbentuklah kontrak jual beli. Sehingga barang pun
beralih kepemilikan menjadi milik nasabah dengan segala resikonya.[3]
6.
Implementasi Pembiayaan Murabahah Pada Lembaga Keuangan Syari’ah
Baitul Mal Wat Tamwil (BMT) atau Balai
Usaha Mandiri Terpadu, adalah lembaga keuangan mikro yang dioperasikan dengan
prinsip bagi hasil, menumbuhkembangkan bisnis usaha mikro dalam rangka
mengangkat derajat dan martabat serta membela kepentingan kaum fakir miskin,
ditumbuhkan atas prakarsa dan modal awal dari tokoh-tokoh masyarakat setempat
dengan berlandaskan system ekonomi yang sallam: keselamatan (berintikan
keadilan), kedamaian, dan kesejahteraan. BMT sesuai namanya terdiri atas dua
fungsi utama yaitu melakukan pengembangan usaha-usaha produktif dan investasi
dalam meningkatkan kualitas ekonomi pengusaha mikro kecil antara lain dengan
mendorong kegiatan menabung dan menunjang pembiayaan kegiatan ekonomi. Dan
menerima titipan zakat, infak, dan sedekah serta mengoptimalkan distribusinya
sesuai peraturan dan amanahnya.
Baitul Mal Wat Tamwil merupakan lembaga
ekonomi atau lembaga keuangan syariah nonperbankan yang sifatnya informal.
Disebut informal karena lembaga keuangan ini didirikan oleh kelompok Swadaya
Masyarakat yang berbeda dengan lembaga keuangan perbankan dan lembaga keuangan
formal lainnya. Penggunaan badan hukum kelompok swadaya masyarakat dan koperasi
untuk BMT tidak termasuk kepada lembaga keuangan formal yang dijelaskan pada UU
No.10 tahun 1998 tentang Perbankan, yang dapat dioperasikan untuk menghimpun
dana dan menyalurkan dana masyarakat.
Di BMT pada umumnya ada berbagai macam
produk yang ditawarkan, baik itu berupa funding (penghimpunan dana) dan juga
lending (penyalur dana). Produk yang ditawarkan oleh lembaga BMT diantaranya
adalah Murabahah, Mudharabah, Bai’ Bi’tsaman Ajil, Musyarakah, dan Qardul
Hasan, sampai saat ini semua jenis produk pembiayaan digunakan oleh pihak BMT,
namun yang sering digunakan atau diminati oleh masyarakat yaitu pembiayaan
dengan akad Murabahah, dirasa cukup aman dan mudah untuk prosesnya
guna kebutuhan masyarakat.
Murabahah yaitu pembiayaan yang
pembayarannya dilakukan oleh anggota setelah jatuh tempo dengan harga dasar
barang yang dibeli yang kemudian ditambah dengan keuntungan yang disepakati
bersama. Adapun kelebihan dari kontrak murabahah adalah dengan pembayaran
tangguh (ditunda) adalah pertama, pembeli atau si nasabah mengetahui semua
biaya yang semestinya serta mengetahui harga pokok utama barang tersebut dan
keuntungan. Kedua, penjualan hendaknya dimiliki penjual dan ia harus mampu
mengirimkannya kepada pembeli. Dan yang terakhir melakukan pembayaran ditunda
tersebut. Hal ini bisa menjadi persoalan kenapa pembiayaan murabahah lebih banyak
peminatnya atau lebih diunggulkan. Sah-sah saja jika bank syariah lebih
memperbanyak pembiayaan murabahah, karena sistem yang cepat dan relative mudah
serta tidak beresiko dibanding dengan produk pembiayaan yang lain.
Menurut UU No. 7 tahun 1992 tentang
perbankan sebagaimana telah diubah menjadi UU No. 10 tahun 1998 tentang
perbankan dalam pasal 1 nomor (12): “Pembiayaan berdasarkan prinsip syariah
adalah penyediaan uang atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berdasarkan
persetujuan atau kesepakatan antara pihak Bank dengan pihak lain yang
mewajibkan pihak yang dibiayai untuk mengembalikan uang atau tagihan tersebut
setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan atau bagi hasil” dan nomor 13:
“Prinsip syariah adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank
dan pihak lain untuk penyimpanan dana dan atau pembiayaan kegiatan usaha, atau
kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai dengan syariah, antara lain pembiayaan
berdasarkan prinsip bagi hasil (mudharabah), pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan
modal (musyarakah), prinsip jual beli barang dengan memperoleh keuntungan
(murabahah), atau pembiayaan barang modal berdasarkan prinsip sewa murni tanpa
pilihan (ijarah), atau dengan adanya pilihan pemindahan kepemilikan atas barang
yang disewa dari pihak bank oleh pihak lain (ijarah wa iqtina).
Dalam kaitannya dengan pembiayaan pada
perbankan syariah atau istilah teknisnya disebut sebagai aktiva produktif.
Menurut ketentuan Bank Indonesia aktiva produktif adalah penanaman dana Bank
Syariah baik dalam rupiah maupun valuta asing dalam bentuk pembiayaan, piutang,
qardh, surat berharga syari’ah, penempatan, penyertaan modal, penyertaan modal
sementara, komitmen dan kontijensi pada rekening administrative serta
Sertifikat Wadi’ah Bank Indonesia. (Peraturan Bank Indonesia No. 5/7/PBI/2003
tanggal 19 Mei 2003).
Jika dilihat pada Bank umum, pembiayaan
disebut loan, sementara di Bank Syari’ah disebutfinancing. Sedangkan balas
jasa yang diberikan atau diterima pada Bank umum berupa bunga (interest loan atau deposit)
dalam persentase pasti. Sementara pada Perbankan Syariah, dengan memberi dan
menerima balas jasa berdasarkan perjanjian (akad) bagi hasil, margin dan jasa.
Secara umum tujuan pembiayaan dibedakan
menjadi dua kelompok yaitu: tujuan pembiayaan untuk tingkat makro dan tingkat
mikro. Secara makkro dijelaskan bahwa pembiayaan bertujuan untuk peningkatan
ekonomi umat, tersedianya dana bagi peningkatan usaha, meningkatkan
produktivitas, membuka lapangan kerja baru, serta terjadinya distribusi pendapatan.
Adapun secara mikro, pembiayaan bertujuan untuk upaya memaksimalkan laba, upaya
meminimalkan risiko, pendayagunaan sumber ekonomi, serta penyaluran kelebihan
dana.
Bai’ al-Murabahah yaitu jual beli barang
pada harga semula dengan tambahan keuntungan yang disepakati. Dalam istilah
teknis perbankan syariah murabahah ini diartikan sebagai suatu perjanjian yang
disepakati antara Bank Syariah dengan nasabah, dimana Bank menyediakan
pembiayaan untuk pembelian bahan baku atau modal kerja lainnya yang dibutuhkan
nasabah, yang akan dibayar kembali oleh nasabah sebesar harga jual bank =
(harga beli bank + margin keuntungan) pada waktu yang ditetapkan.
Sebagaimana fatwa Dewan Syari’ah
Nasional (DSN) Majelis Ulama Indonesia (MUI), karakteristik pembiayaan murabahah
berbeda dengan kredit yang terjadi pada perbankan konvensional. Diantaranya
harga jual kredit kepada konsumen pada perbankan konvensional memakai tingkat
bunga yang tergantung situasi pasar, sedangkan pada pembiayaan murabahah,
margin/tingkat keuntungan murabahah (bila sudah terjadi ijab kabul) bersifat
tetap, sehingga harga jual tidak bioleh berubah. Jadi, sejak awal perjanjian
sampai dengan masa pelunasan, bank syariah tidak diperbolehkan mengubah harga
yang telah diperjanjikan/diakadkan. Pada perbankan syariah diwajibkan adanya
suatu barang yang diperjualbelikan. Barang yang diperjualbelikan tersebut
berupa harta yang jelas harganya, seperti mobil atau motor. Sedangkan akad
kredit perbankan konvensional terhadap konsumen berupa akad pinjam meminjam yang
dalam hal ini belum tentu ada barangnya.
Syarat Bai’ Murabahah diantaranya adalah
Penjual memberi tahu biaya modal kepada nasabah, kontrak pertama harus sah
sesuai dengan rukun yang ditetapkan, kontrak harus bebas riba, penjual
harus menjelaskan kepada pembeli bila terjadi cacat atas barang sesudah
pembelian, penjual harus menyampaikan semua hal yang berkaitan dengan
pembelian, misalnya jika pembelian dilakukan secara utang. Jual beli secara
murabahah hanya untuk barang atau produk yang telah dikuasai atau dimiliki oleh
penjual. Bila produk tersebut belum dikuasai oleh penjual, sistem yang
digunakan adalah murabahah kepada pemesanan. Pembiayaan dengan
prinsip murabahah memiliki manfaat diantaranya adalah adanya
keuntungan yang muncul dari selisih harga beli dan harga jual kepada nasabah,
bentuk pembiayaannya sederhana sehingga memudahkan administrasi di bank
syariah.
Dalam pelaksanaan permohonan pemberian
pembiayaan secara umum didasarkan pada 5C
(Character, Capacity, Capital, Collateral, Condition). Yang
pertama yaitu karakter, penilaian terhadap karakter atau kepribadian calon
debitur dengan tujuan untuk memperkirakan kemungkinan bahwa nasabah pengguna
dana atau anggota pengguna BMT yang mengajukan pembiayaan dapat memenuhi
kewajiban. Yang kedua adalah capacity, Pengertian capacity berkaitan
erat dengan kemampuan debitur mengelola pinjaman yang diberikan oleh Bank.
Berarti jika debitur tidak memiliki kemampuan baik dalam memenuhi kewajibannya,
maka pihak BMT yang akan dirugikan. Yang ketiga adalah capital, capitalberhubungan
erat dengan soal keuangan dan permodalan si peminjam. Penilaian terhadap
kemampuan modal yang dimiliki oleh calon debitur yang diukur dengan posisi
usahanya dengan keseluruhan melalui risiko finansialnya dan
penekanan pada momposisi modalnya. Yang keempat adalah collateral, Collateral menyangkut
jaminan yang merupakan pengamanan terakhir dari kredit yang
diberikan. Collateral dalam BMT lebih ditekankan pada faktor
kepercayaan, kedekatan hubungan dengan pengusaha dan kegiatan usahanya, saling
mengenal karena usahanya tidak luas melalui tanggung renteng dan atau bersama
tokoh setempat yang diiringi pengkajian bersama. Dan yang
terakhir, Condition yaitu Kegiatan yang sangat komplek karena
keharusan menilai sesuatu kondisi eksternal dengan keterbatasan data yang
tersedia. Berdasarkan teori 5C, sebagian besar lembaga keuangan syariah telah
memberikan pembiayaan murabahah kepada anggota sesuai dengan teori yaitu
memberikan pembiayaan untuk modal usaha nasabah juga sudah ditetapkan bagi
hasil yang ditanggung nasabah sebesar 2% atas risiko yang ada dari berjalannya
usaha tersebut.
Dalam mengajukan permohonan pembiayaan,
sebagian besar biasanya lembaga melakukan survey terlebih dahulu terhadap calon
anggota dan itu pasti dilakukan oleh pihak lembaga, apalagi jika terdapat calon
anggota yang kenal dekat dengan pihak lembaga, maka hal ini akan memudahkan
lembaga untuk mengidentifikasi serta melihat karakter calon anggota tersebut.
Adapun alasan jika lembaga tidak melakukan survey ke calon anggota yang
mengajukan pembiayaan biasanya dikarenakan keterbatasan tenaga kerja
untuk melakukan survei. Sebenarnya untuk menganalisis pembiayaan tidak semua
prinsip digunakan, yang penting jika melakukan analisis bisa menyelamatkan
pembiayaan yang diberikan kepada anggota. Namun, juga harus berusaha
meminimalkan resiko yang timbul akibat pembiayaan tersebut.
C.
Penutup
I. Kesimpulan
Dari pembahasan
diatas dapat disimpulkan bahwa; Murabahah adalah transaksi penjualan
barang dengan menyatakan harga perolehan dan keuntungan (margin) yang
disepakati oleh penjual dan pembeli. Dalil yang menjadi
landasanmurabahah adalah QS. An-Nissa’: 29, Al-Baqarah: 275 dan
beberapa hadits Rasulullah Saw. Dalam perbankan
syariah, murabahah mendominasi pendapatan bank dari produk-produk
yang ada di semua bank Islam. Dan di negara
Indonesia sendiri dikenal dengan
jual beli Murabahah atau Murabahah Kepada
Pemesanan Pembelian (KPP); Murabah memberi banyak
manfaat kepada bank syariah. Salah satunya adalah adanya keuntungan yang muncul
dari selisih harga beli dari penjual dengan harga jual kepada nasabah
DAFTAR PUSTAKA
Andri Soemitra, 2016. Bank dan lembaga keuangan syariah.
Jakarta: kencana
Syafi’i
Antonio, Muhammad. 2001. Bank
Syariah dari Teori ke Praktek. Jakarta: Gema Insani Press.
[1] Muhammad
Syafi’i Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktek (Cet. I:
Jakarta: Gema Insani Press, 2001), h. 101.
[2] Muhammad
Syafi’i Antonio, Bank syariah,h. 102.
[3] Muhammad
Syafi’i Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktek (Cet. I:
Jakarta: Gema Insani Press, 2001), h. 105.
No comments:
Post a Comment