MAKALAH AQIDAH AKHLAK“ADAB TERHADAP MASYARAKAT"
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Dalam persoalan Akhlak, manusia sebagai makhluk berakhlak berkewajiban
menunaikan dan menjaga akhlak yang baik serta menjauhi dan meninggalkan
akhlak yang buruk. Akhlak merupakan dimensi nilai dari Syariat Islam. Kualitas
keberagaman justru ditentukan oleh nilai akhlak. Jika syariat berbicara
tentang syarat rukun, sah atau tidak sah, maka akhlak menekankan pada
kualitas dari perbuatan, misalnya beramal dilihat dari keikhlasannya, shalat
dilihat dari kekhusu’annya, berjuang dilihat dari kesabarannya, haji dari
kemabrurannya, ilmu dilihat dari konsistensinya dengan perbuatan, harta
dilihat dari aspek mana dari mana dan untuk apa, jabatan dilihat dari
ukuran apa yang telah diberikan, bukan apa yang diterima.
Dengan demikian, dikarenakan akhlak merupakan dimensi
nilai dari Syariat Islam, maka Islam sebagai agama yang bisa dilihat dari
berbagai dimensi, sebagai keyakinan, sebagai ajaran dan sebagai aturan.
Agama Islam sebagai aturan atau sebagai hukum dimaksud untuk mengatur tata
kehidupan manusia. Sebagai aturan, agama atau sebagai hukum dimaksud untuk
mengatur tata kehidupan manusia
.Dalam kehidupan bertetangga, bermasyarakat, berbangsa
maupunbernegara kita sebagai umat yang senantiasa bersosialisasi,
berinteraksi dengan yang lainnya, khususnya umat muslim, sudah sepantasnya kita
menmpilkan akhlak mulia yang telah dicontohkan oleh "Rasulullah saw
danpara sahabat beliau yang diridhoi oleh Allah swt. Berperilaku berakhlak
muliadi dalam bertetangga sangat perlu untuk direalisasikan dalam
kehidupan sehari-hari. Sebagai sesama umat yang seakidah kita perlu
menjaga keharmonisan persaudaraan yang didasarkan atas kesamaan
di dalam berkeyakinan
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana akhlak terhadap masyarakat ?
2.
Bagaimana adab berhubungan baik dengan tetangga ?
3.
Bagaimana adab bertamu dan menerima tamu ?
C.
Tujuan
1.
Untuk mengetahui berakhlak terhadap masyarakat.
2.
Untuk mengetahui adab berhubungan baik dengan tetangga.
3.
Untuk mengetahui adab bertamu dan menerima tamu.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Akhlak terhadap masyarakat
Adapun akhlak terhadap masyarakat sebagai berikut.
1.
Mempertahankan dan memperoleh ukhuwah atau persaudaraan terutama
terhadap saudara seakidah demi mencapai rahmat atau kash sayang Allah. Allah
swt. berfrman :
إِنَّمَا ٱلْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا۟
بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ ۚ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
Oran-orang
beriman itu sesungguhnya bersaudara sebab itu damaikanlah (perbaikilah
hubungan) antara kedua sadaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat
rahmat. (QS.Al-Hujurat
49:10)
2.
Menjaga dan memelihara kebiasaan tolong-menolong atau taawun dalam
hal yang diridhoi oleh Allah. Sebagaimana frman Allah swt :
Dan
tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan
tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan betakwalah kamu kepada
Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksanya. (QS. Almaidah 5:2)
3.
Bersikap adil. Allah swt. berfirman :
Sesungguhnya
Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan
mennyuruh kamu apabla menetapkan hukum dantara manusia supaya kamu menetapkan
dengan adil. Sesungguhny Allah member pengajaran sebaik-baiknya kepadamu.
Sesungguhnya Allah maha pendengar lagi maha melihat. (QS. An-nisa 4:58)
4.
Penyantun. Allah swt. berfirman :
وَسَارِعُوٓا۟ إِلَىٰ مَغْفِرَةٍ مِّن
رَّبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا ٱلسَّمَٰوَٰتُ وَٱلْأَرْضُ أُعِدَّتْ
لِلْمُتَّقِينَ
Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari
tuhanmu dan kepada surge yang luasnya seluas langit dan bum yang disediakan
untuk orang-orang yang bertakwa.
(QS. Ali-imran 3:133)
5.
Pemurah. Allah swt. berfirman :
لَن تَنَالُوا۟ ٱلْبِرَّ حَتَّىٰ
تُنفِقُوا۟ مِمَّا تُحِبُّونَ ۚ وَمَا تُنفِقُوا۟ مِن شَىْءٍ فَإِنَّ ٱللَّهَ
بِهِۦ عَلِيمٌ
Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang
sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa
saja yang kamu nafkahkan maka sesungguhnya Allah mengetahuinya. (QS. Ali-imran
3:92)[1]
B.
Berhubungan baik dengan tetangga
Sesudah anggota
keluarga sendiri, orang yang paling dekat dengan kita adalah tetangga. Dekat
bukan karena pertalian darah atau pertalian persaudaraan. Bahkan, mungkin tidak
seagama dengan kita. Dekat disini adalah orang yang tinggal berdekatan dengan
rumah kita. Ada atsar yang
menunjukkan bahwa tetangga adalah empat puluh rumah (yang berada di sekitar
rumah) dari setiap penjuru mata angin. Apabila ada khabar yang benar (tentang penafsiran tetangga) dari Rasulullah,
itulah yang kita pakai; namun apabila tidak, hal ini dikembalikan pada ‘urf (adat kebiasaan), yaitu kebiasaan
orang-orang dalam menetapkan seseorang sebagai tetangganya.
Agama Islam telah
membuat ketetapan untuk memuliakan tetangga, tidak mengganggu dan menyusahkan
mereka. Nabi Muhammad SAW, bersabda:
جَارَهُ ا فَلْيُكْرِمْ لاَخِرِ وَالْيَوْمِ بِاللهِ يُؤْمِنُ كَانَ وَمَنْ
“Barang siapa beriman kepada Allah dan Hari
Akhir, hendaklah ia memuliakan tetangganya.” (HR. Bukhari)
Para ulama membagi
tetangga menjadi tiga macam:
1. Tetangga muslim yang masih mempunyai
hubungan kekeluargaan. Tetangga semacam ini mempunyai tiga hak, sebagai
tetangga, hak Islam, dan hak kekerabatan.
2. Tetangga muslim saja. Tetangga semacam
ini mempunyai dua hak, sebagai tetangga dan hak Islam.
3. Tetangga kafir. Tetangga semacam ini
hanya mempunyai satu hak, yaitu hak tetangga saja.
Rasulullah bersabda, “Demi
Allah, tidaklah beriman, demi Allah tidaklah beriman!” Kemudian beliau
ditanya, “Siapa, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Orang yang tetangganya tidak aman dari kejelekannya (kejahatannya).”
(HR. Bukhari dan Muslim)[2]
Dalam riwayat
lain, beliau bersabda, “Tidak akan masuk
surga orang yang tetangganya tidak aman dari gangguannya (kejelekannya).”
Berkata Syekh
Utsaimin, “Hadis ini menjadi dalil haramnya memusuhi tetangga, baik dengan
perkataan atau perbuatan. Bentuk gangguan terhadap tetangga dengan perkataan,
misalnya membuat suara gaduh atau mengucapkan perkataan yang menyebabkan
kesedihan hatinya, membunyikan radio dan telivisi keras-keras, atau semisalnya.
Bahkan, melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur’an sekalipun (dengan tape recorder atau membaca sendiri)
apabila menyebabkan tetangga terganggu, itu termasuk perbuatan yang menyakiti
mereka. Adapun bentuk mengganggu tetangga dengan perbuatan, misalnya membuang
sampah di depan rumahnya, membuat sempit jalan masuk ke rumahny,
mengetuk-ngetuk pintunya, atau hal-hal lain yang merugikannya. Demikian pula,
apabila kita mempunyai pohon kurma atau menyiram pohon tersebut membuat
tetangga kita tidak berkenan karena menyakitinya, ini juga termasuk perbuatan
jelek (mengganggu tetangga) yang tidak boleh dilakukan.
Rasulullah SAW, ditanya
tentang dosa-dosa besar di sisi Allah. Beliau menyebutkan tiga macam, “Menjadikan Allah sebagai tandingan, padahal
Dialah yang menciptakan kita, membunuh anak karena takut dia akan makan harta
kita, dan menzinai istri tetangga.”
Dalam hadis lain disebutkan “Barang siapa beriman kepada Allah dan Hari
Akhir, janganlah menyakiti tetangganya.” Syekh Utsaimin berkata, “oleh
karena itu, haram seseorang menyakiti tetangganya dengan bentuk apa pun.
Apabila dia melakukan hal itu, dia tidak termasuk orang yang beriman. Artinya,
dia tidak boleh melakukan sikap seorang mukmin dalam masalah ini karena dia
menyelisihi sikap yang benar.
Dalam hadis yang diriwayatkan
oleh Abu Hurairah disebutkan bahwasanya Nabi bersabda, “Tidak boleh seseorang melarang tetangganya menancapkan kayu ke dinding
rumahnya.” Maksud hadis ini, apabila tetanggamu ingin mengatapi rumahnya
dan menumpangkan kayu pada dinding (rumah kita), kita tidak boleh melarangnya.
Hal ini karena meletakkan kayu pada dinding tidak merugikan; bahkan menambah
kekuatan dinding tersebut dan menghalangi tumpahan hujan; terlebih lagi jika dinding
tersebut dari tanah, kayu (untuk atap) tersebut menghalangi dan menjaga curahan
air hujan ke dinding kita sehingga dinding kita menjadi tetap awet. Jadi, dalam
hal ini saling menguntungkan; tetangga untung dan kita juga diuntungkan. [3]
C. Bertamu dan menerima tamu
Dalam
kehidupan bermasyarakat, kita tidak akan pernah terlepas dari kegiatan bertamu
dan menerima tamu. Adakalanya kita yang dating mengunjungi sanak saudara,
teman-teman atau para kenalan, dan lain waktu kita yang dikunjungi. Supaya kegiatan
kunjung mengunjungi tetap berdampak positif bagi kedua belah pihak, maka Islam
memberikan tuntunan bagaimana sebaiknya kegiatan bertamu dan menerima tamu
tersebut dilakukan.
1. Bertamu
Sebelum memasuki rumah seseorang, hendaklah
meminta izin dan mengucapkan salam kepada penghuni rumah. Allah SWT berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki
rumah yang bukan rumahmu sebelum meminta izin dan member salam kepada penghuninya.
Yang demikian itu lebih baik bagimu, agar kamu (selalu) ingat.” (QS. An-Nur 24: 27)
Manakah yang lebih dahulu dilakukan,
meminta izin atau mengucapkan salam? Kalau dilihat dari redaksi ayat di atas,
maka yang pertama dilakukan adalah meminta izin, baru kemudian mengucapkan
salam. Demikianlah pendapat sebagian ulama. Tetapi mayoritas ahli fiqh
berpendapat sebaliknya. Mereka beragumentasi dengan menyebutkan beberapa hadist
Rasulullah saw riwayat Bukhari, Ahmad, Tirmidzi, Ibn Abi Syaibah dan Ibn ‘Abd
al-Baryang sekalipun dengan redaksiyang berbeda-beda tapi semuanya menyatakan
bahwa mengucapkan salam lebih dahulu dari meminta izin (as-salam qalb al-kalam).[4]
Sementara itu ulama lain mengkompromikan
dua pendapat di atas dengan menyatakan bahwa, apabila tamu melihat salah
seorangulama lain mengkompromikan dua pendapat di atas dengan menyatakan bahwa,
apabila tamu melihat salah seorang penghuni rumah, maka dia mengucapkan salam
terlebih dahulu. Tapi apabila tidak melihat siapa-siapa maka hendaklah dia meminta
izin terlebuh dahulu. Pendapat terakhir inilah yang dipilih oleh al-Mawardi.[5]
Meminta izin bisa dengan kata-kata, dan
bisa pula dengan ketukan pintu atau tekan tombol bel atau cara-cara lain yang
dikenal baik oleh masyarakat setempat. Bahkan salam itu sendiri bisa juga
dianggap sekaligus sebagai permohonan izin.
Menurut Rasulullah saw, meminta izin
maksimal boleh dilakukan tiga kali. Apabila tidak ada jawaban seyogyanya yang
akan bertamu kembali pulang,. Jangan berkali-kali masuk rumah orang lain tanpa
izin, karena di samping tidak menyenangkan bahkan mengganggu tuan rumah, juga
dapat berakibat negatif kepada tamu itu sendiri.
“Hadis riwayat abu musa
al-asy’ary ra, dia berkata: “rasulullah bersabda, ‘minta izin masuk rumah itu
tiga kali, jika diizinkan untuk kamu (masuklah) dan jika tidak maka pulanglah!”(HR. Bukhari dan
muslim)
Kenapa
meminta izin maksimal tiga kali? Karena ketukan yang pertama sebagai
pemberitahuan kepada tuan rumah akan kedatangan tamu, ketukan kedua memberikan
kesempatan kepada penghuni rumah untuk bersiap-siap atau menyiapkan segala
sesuatu yang diperlukan (boleh jadi ada meja dan kursi atau pakaian yang perlu
dirapikan), ketukan ketiga diharapkan penghuni rumah sudah berjalan menuju
pintu. Setelah ketukan ketiga tidak ada yang membukakan pintu, ada kemungkinan
tidak ada orang di rumah, atau penghuni tidak bersedia menerima tamu.
Tamu
tidak boleh mendesakkan keinginannya untuk bertamu setelah ketukan ketiga,
karena hal tersebut akan mengganggu tuan trumah. Setiap orang di beri hak
privasi di rumahnya masing-masing. Tidak seorang pun boleh mengganggunya. Tuan
rumah, sekalipun dianjurkan untuk menerima dan memuliakan tamu, tapi tetap
punya hak untuk menolak kedatangan tamu kalau memang dia tidak dalam suasana siap dikunjungi.
Menurut
ungkapan Al-Qur’an, tidak memaksa masuk pada saat tidak ada orang di rumah,
atau di tolak oleh tuan rumah, lebih bersih dari tamu itu sendiri. Artinya
lebih menjaga nama baiknya dan kehormatan dirinya. Kalau dia mendesak terus
untuk bertamu, dia akan dinilai kurang memiliki akhlaq, apabila dia masuk
padahal tidak ada orang dirumah, bisa-bisa dia di tuduh bermaksud mencuri.
Kedua-duanya merugikan nama baiknya. Allah berfirman :
فَإِنْ لَمْ تَجِدُوا فِيهَا أَحَدًا فَلَا تَدْخُلُوهَا حَتَّىٰ يُؤْذَنَ
لَكُمْ ۖ وَإِنْ قِيلَ لَكُمُ ارْجِعُوا فَارْجِعُوا ۖ هُوَ أَزْكَىٰ لَكُمْ ۚ
وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ
“jika kamu tidak menemui seorangpun di dalamnya,maka
janganlah kamu masuk sebelum kamu mendapat izin. Dan jika dikatakan kepadamu:
“Kembali (saja) lah”, maka hendaklah kamu kembali. Itu lebih bersih bagimu dan
Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (QS. An-Nur 24: 28)[6]
Disamping
meminta izin dan mengucapkan salam hal lain yang perlu diperhatikan oleh setiap
orang yang bertamu adalah sebagai berikut:
a. Jangan bertamu
sembarang waktu. Bertamulah pada saat yang tepat, saat mana tuan rumah
diperkirakan tidak akan terganggu. Misalnya jangan bertamu waktu istirahat atau
waktu tidur.
b. Kalau di
terima bertamu, jangan terlalu lama sehingga merepotkan tuan rumah,. Setelah
urusan selesai segeralah pulang.
c. Jangan
melakukan kegiatan yang membuat tuan rumah terganggu, misalnya memeriksa
ruangan dan perabotan rumah, memasuki ruangan-ruangan pribadi tanpa izin,
penghuni rumah. Diizinkan masuk rumah bukan berarti diizinkan segala-galanya.
d. Kalau disuguhi
makanan atau minuman hormatilah jamuan itu. Bahkan Rasululah saw menganjurkan
kepada orang yang puasa sunah sebaiknya membukai puasanya untuk menghormati
jamuan (HR. Baihaqi).
e. Hendaklah
pamit waktu mau pulang. Meninggalkan rumah tanpa pamit di samping tidak
terpuji, juga mengundang fitnah.[7]
2. Menerima Tamu
Menerima dan
memuliakan tamu tanpa membeda-bedakan status sosial mereka adalah salah satu
sifat terpuji yang sangat dianjurkan dalam Islam. Bahkan Rasulullah saw
mengaitkan sifat memuliakan tamu itu dengan keimanan terhadap Allah dan Hari
Akhir. Beliau bersabda:
ضَيْفَهُفَلْيُكْرِمْلأخِرِاْوَاْليَوْمِبِاللهِيُؤْمِنُكَانَمَنْ
“Barang
siapa yang beriman pada Allah dan Hari Akhir maka hendaklah dia memuliakan
tamunya.”(HR.Bukhari)
Memuliakan
tamu dilakukan antara lain dengan menyambut kedatangannya dengan muka manis dan
tutur kata yang lembah lembut, mempersilahkannya duduk di tempat yang baik.
Kalau perlu disediakan ruangan khusus untuk menerima tamu yang selalu di jaga
kerapiannya.
Kalau
tamu datang dari tempat yang jauh dan ingin menetap, tuan rumah wajib menerima
dan menjamunya maksimal tiga hari tiga malam. Lebih dari tiga hari terserah
tuan rumah untuk tetap menjamunya atau tidak. Menurut Rasulullah saw, menjamu
tamu lebih dari tiga hari nilainya sedekah, bukan lagi kewajiban. Rasulullah
saw bersabda:
“Siapa
yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, maka muliakanlah tamu dengan menjamunya sehari semalam. Jamuan hak tamu
hanya berjangka tiga hari. Lebih dari itu, jamuan bersifat sedekah. Tidak boleh
bagi tamu untuk menginap di tempat tuan rumah sehingga menyusakannya.” (HR. Tirmidzi)[8]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Akhlak adalah nilai pemikiran
yang telah menjadi sikap mental yang mengakar dalam jiwa, lalu tampak dalam bentuk
tindakan dan perilaku yang bersifat tetap, natural, dan refleks. Jadi, jika
nilai islam mencakup semua sektor kehidupan manusia, maka perintah beramal
shalih pun mencakup semua sektor kehidupan manusia.
Akhlak dalam bermasyarakat yaitu
bertamu dan menerima tamu, menjaga hubungan baik dengan tetangga, adab dalam
bergaul dengan lawan jenis dan ukhuwah Islamiyah. Sedangkan akhlak dalam
berbangsa yaitu musyawarah, menegakkan keadilan, amar ma`ruf nahui munkar serta
hubungan pemimpin dengan yang dipimpin.
B.
Saran
Agar hubungan kita dengan orang lain
terkhususnya kepada masyarakat dan bangsa dapat terjalin dengan baik maka
sebaiknya kita perlu menjaga akhlak dalam masyarakat dan
berbangsa. Sehingga tercipta suasana rukun, tentram dan damai tanpa ada
perselisihan antar warga negara.
DAFTAR PUSTAKA
Anwar
Rosihan. 2008. Akidah Akhlak. Bandung: Cv Pustaka setia
Ilyas
Yunahar. 2006. Kuliah akhlak. Yogyakarta: Pustaka pelajar offset
Sudriman.
2012. Pilar-pilar Islam. Malang: Maliki press
Suyuthi Pulungan.2002 Fiqih Siyasah. Jakarta: Rajawali pers. Hal
Turrahmi Fauziah. 2013. Akhlak
Terhadapa Masyarakat. Jakarta: Erlangga.
[1] Sudriman. 2012. Pilar-pilar
Islam. Malang: Maliki press hal 267
[3] Ilyas Yunahar. 2006. Kuliah akhlak. Yogyakarta: Pustaka
pelajar offset hal 195
[7] Ilyas Yunahar. 2006. Kuliah akhlak. Yogyakarta: Pustaka
pelajar offset hal 196
[8] Ilyas Yunahar. 2006. Kuliah akhlak. Yogyakarta: Pustaka
pelajar offset hal 198
No comments:
Post a Comment