1

loading...

Sunday, November 25, 2018

MAKALAH AQIDAH AKHLAK


MAKALAH AQIDAH AKHLAK“ADAB TERHADAP MASYARAKAT"



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Dalam persoalan Akhlak, manusia sebagai makhluk berakhlak berkewajiban menunaikan dan menjaga akhlak yang baik serta menjauhi dan meninggalkan akhlak yang buruk. Akhlak merupakan dimensi nilai dari Syariat Islam. Kualitas keberagaman justru ditentukan oleh nilai akhlak. Jika syariat berbicara tentang syarat rukun, sah atau tidak sah, maka akhlak menekankan pada kualitas dari perbuatan, misalnya beramal dilihat dari keikhlasannya, shalat dilihat dari kekhusu’annya, berjuang dilihat dari kesabarannya, haji dari kemabrurannya, ilmu dilihat dari konsistensinya dengan perbuatan, harta dilihat dari aspek mana dari mana dan untuk apa, jabatan dilihat dari ukuran apa yang telah diberikan, bukan apa yang diterima.
Dengan demikian, dikarenakan akhlak merupakan dimensi nilai dari Syariat Islam, maka Islam sebagai agama yang bisa dilihat dari berbagai dimensi, sebagai keyakinan, sebagai ajaran dan sebagai aturan. Agama Islam sebagai aturan atau sebagai hukum dimaksud untuk mengatur tata kehidupan manusia. Sebagai aturan, agama atau sebagai hukum dimaksud untuk mengatur tata kehidupan manusia
.Dalam kehidupan bertetangga, bermasyarakat, berbangsa maupunbernegara kita sebagai umat yang senantiasa bersosialisasi, berinteraksi dengan yang lainnya, khususnya umat muslim, sudah sepantasnya kita menmpilkan akhlak mulia yang telah dicontohkan oleh "Rasulullah saw danpara sahabat beliau yang diridhoi oleh Allah swt. Berperilaku berakhlak muliadi dalam bertetangga sangat perlu untuk direalisasikan dalam kehidupan sehari-hari. Sebagai sesama umat yang seakidah kita perlu menjaga keharmonisan persaudaraan yang didasarkan atas kesamaan di dalam berkeyakinan
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana akhlak terhadap masyarakat ?
2.      Bagaimana adab berhubungan baik dengan tetangga ?
3.      Bagaimana adab bertamu dan menerima tamu ?
C.    Tujuan
1.    Untuk mengetahui berakhlak terhadap masyarakat.
2.    Untuk mengetahui adab berhubungan baik dengan tetangga.
3.    Untuk mengetahui adab bertamu dan menerima tamu.


BAB II
PEMBAHASAN
         A.    Akhlak terhadap masyarakat
Adapun akhlak terhadap masyarakat sebagai berikut.
1.      Mempertahankan dan memperoleh ukhuwah atau persaudaraan terutama terhadap saudara seakidah demi mencapai rahmat atau kash sayang Allah. Allah swt. berfrman :
إِنَّمَا ٱلْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا۟ بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ ۚ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
Oran-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua sadaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat. (QS.Al-Hujurat 49:10)

2.      Menjaga dan memelihara kebiasaan tolong-menolong atau taawun dalam hal yang diridhoi oleh Allah. Sebagaimana frman Allah swt :
Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan betakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksanya. (QS. Almaidah 5:2)

3.      Bersikap adil. Allah swt. berfirman :
Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan mennyuruh kamu apabla menetapkan hukum dantara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhny Allah member pengajaran sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah maha pendengar lagi maha melihat. (QS. An-nisa 4:58)

4.      Penyantun. Allah swt. berfirman :
وَسَارِعُوٓا۟ إِلَىٰ مَغْفِرَةٍ مِّن رَّبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا ٱلسَّمَٰوَٰتُ وَٱلْأَرْضُ أُعِدَّتْ
لِلْمُتَّقِينَ
 Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari tuhanmu dan kepada surge yang luasnya seluas langit dan bum yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa.
(QS. Ali-imran 3:133)

5.      Pemurah. Allah swt. berfirman :
لَن تَنَالُوا۟ ٱلْبِرَّ حَتَّىٰ تُنفِقُوا۟ مِمَّا تُحِبُّونَ ۚ وَمَا تُنفِقُوا۟ مِن شَىْءٍ فَإِنَّ ٱللَّهَ بِهِۦ عَلِيمٌ
Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan maka sesungguhnya Allah mengetahuinya. (QS. Ali-imran 3:92)[1]

       B.     Berhubungan baik dengan tetangga
Sesudah anggota keluarga sendiri, orang yang paling dekat dengan kita adalah tetangga. Dekat bukan karena pertalian darah atau pertalian persaudaraan. Bahkan, mungkin tidak seagama dengan kita. Dekat disini adalah orang yang tinggal berdekatan dengan rumah kita. Ada atsar yang menunjukkan bahwa tetangga adalah empat puluh rumah (yang berada di sekitar rumah) dari setiap penjuru mata angin. Apabila ada khabar yang benar (tentang penafsiran tetangga) dari Rasulullah, itulah yang kita pakai; namun apabila tidak, hal ini dikembalikan pada ‘urf (adat kebiasaan), yaitu kebiasaan orang-orang dalam menetapkan seseorang sebagai tetangganya.
Agama Islam telah membuat ketetapan untuk memuliakan tetangga, tidak mengganggu dan menyusahkan mereka. Nabi Muhammad SAW, bersabda:
جَارَهُ ا فَلْيُكْرِمْ لاَخِرِ وَالْيَوْمِ بِاللهِ يُؤْمِنُ كَانَ وَمَنْ

Barang siapa beriman kepada Allah dan Hari Akhir, hendaklah ia memuliakan tetangganya.” (HR. Bukhari)

Para ulama membagi tetangga menjadi tiga macam:
1.      Tetangga muslim yang masih mempunyai hubungan kekeluargaan. Tetangga semacam ini mempunyai tiga hak, sebagai tetangga, hak Islam, dan hak kekerabatan.
2.      Tetangga muslim saja. Tetangga semacam ini mempunyai dua hak, sebagai tetangga dan hak Islam.
3.      Tetangga kafir. Tetangga semacam ini hanya mempunyai satu hak, yaitu hak tetangga saja.

Rasulullah bersabda, “Demi Allah, tidaklah beriman, demi Allah tidaklah beriman!” Kemudian beliau ditanya, “Siapa, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Orang yang tetangganya tidak aman dari kejelekannya (kejahatannya).” (HR. Bukhari dan Muslim)[2]
Dalam riwayat lain, beliau bersabda, “Tidak akan masuk surga orang yang tetangganya tidak aman dari gangguannya (kejelekannya).”
Berkata Syekh Utsaimin, “Hadis ini menjadi dalil haramnya memusuhi tetangga, baik dengan perkataan atau perbuatan. Bentuk gangguan terhadap tetangga dengan perkataan, misalnya membuat suara gaduh atau mengucapkan perkataan yang menyebabkan kesedihan hatinya, membunyikan radio dan telivisi keras-keras, atau semisalnya. Bahkan, melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur’an sekalipun  (dengan tape recorder atau membaca sendiri) apabila menyebabkan tetangga terganggu, itu termasuk perbuatan yang menyakiti mereka. Adapun bentuk mengganggu tetangga dengan perbuatan, misalnya membuang sampah di depan rumahnya, membuat sempit jalan masuk ke rumahny, mengetuk-ngetuk pintunya, atau hal-hal lain yang merugikannya. Demikian pula, apabila kita mempunyai pohon kurma atau menyiram pohon tersebut membuat tetangga kita tidak berkenan karena menyakitinya, ini juga termasuk perbuatan jelek (mengganggu tetangga) yang tidak boleh dilakukan.
                  Rasulullah SAW, ditanya tentang dosa-dosa besar di sisi Allah. Beliau menyebutkan tiga macam, “Menjadikan Allah sebagai tandingan, padahal Dialah yang menciptakan kita, membunuh anak karena takut dia akan makan harta kita, dan menzinai istri tetangga.”
                  Dalam hadis lain disebutkan “Barang siapa beriman kepada Allah dan Hari Akhir, janganlah menyakiti tetangganya.” Syekh Utsaimin berkata, “oleh karena itu, haram seseorang menyakiti tetangganya dengan bentuk apa pun. Apabila dia melakukan hal itu, dia tidak termasuk orang yang beriman. Artinya, dia tidak boleh melakukan sikap seorang mukmin dalam masalah ini karena dia menyelisihi sikap yang benar.
                  Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah disebutkan bahwasanya Nabi bersabda, “Tidak boleh seseorang melarang tetangganya menancapkan kayu ke dinding rumahnya.” Maksud hadis ini, apabila tetanggamu ingin mengatapi rumahnya dan menumpangkan kayu pada dinding (rumah kita), kita tidak boleh melarangnya. Hal ini karena meletakkan kayu pada dinding tidak merugikan; bahkan menambah kekuatan dinding tersebut dan menghalangi tumpahan hujan; terlebih lagi jika dinding tersebut dari tanah, kayu (untuk atap) tersebut menghalangi dan menjaga curahan air hujan ke dinding kita sehingga dinding kita menjadi tetap awet. Jadi, dalam hal ini saling menguntungkan; tetangga untung dan kita juga diuntungkan. [3]
C.    Bertamu dan menerima tamu
     Dalam kehidupan bermasyarakat, kita tidak akan pernah terlepas dari kegiatan bertamu dan menerima tamu. Adakalanya kita yang dating mengunjungi sanak saudara, teman-teman atau para kenalan, dan lain waktu kita yang dikunjungi. Supaya kegiatan kunjung mengunjungi tetap berdampak positif bagi kedua belah pihak, maka Islam memberikan tuntunan bagaimana sebaiknya kegiatan bertamu dan menerima tamu tersebut dilakukan.

1.      Bertamu
                   Sebelum memasuki rumah seseorang, hendaklah meminta izin dan mengucapkan salam kepada penghuni rumah. Allah SWT berfirman:
    
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu sebelum meminta izin dan member salam kepada penghuninya. Yang demikian itu lebih baik bagimu, agar kamu (selalu) ingat.” (QS. An-Nur 24: 27)

Manakah yang lebih dahulu dilakukan, meminta izin atau mengucapkan salam? Kalau dilihat dari redaksi ayat di atas, maka yang pertama dilakukan adalah meminta izin, baru kemudian mengucapkan salam. Demikianlah pendapat sebagian ulama. Tetapi mayoritas ahli fiqh berpendapat sebaliknya. Mereka beragumentasi dengan menyebutkan beberapa hadist Rasulullah saw riwayat Bukhari, Ahmad, Tirmidzi, Ibn Abi Syaibah dan Ibn ‘Abd al-Baryang sekalipun dengan redaksiyang berbeda-beda tapi semuanya menyatakan bahwa mengucapkan salam lebih dahulu dari meminta izin (as-salam qalb al-kalam).[4]
Sementara itu ulama lain mengkompromikan dua pendapat di atas dengan menyatakan bahwa, apabila tamu melihat salah seorangulama lain mengkompromikan dua pendapat di atas dengan menyatakan bahwa, apabila tamu melihat salah seorang penghuni rumah, maka dia mengucapkan salam terlebih dahulu. Tapi apabila tidak melihat siapa-siapa maka hendaklah dia meminta izin terlebuh dahulu. Pendapat terakhir inilah yang dipilih oleh al-Mawardi.[5]
Meminta izin bisa dengan kata-kata, dan bisa pula dengan ketukan pintu atau tekan tombol bel atau cara-cara lain yang dikenal baik oleh masyarakat setempat. Bahkan salam itu sendiri bisa juga dianggap sekaligus sebagai permohonan izin.
Menurut Rasulullah saw, meminta izin maksimal boleh dilakukan tiga kali. Apabila tidak ada jawaban seyogyanya yang akan bertamu kembali pulang,. Jangan berkali-kali masuk rumah orang lain tanpa izin, karena di samping tidak menyenangkan bahkan mengganggu tuan rumah, juga dapat berakibat negatif kepada tamu itu sendiri.
 Hadis riwayat abu musa al-asy’ary ra, dia berkata: “rasulullah bersabda, ‘minta izin masuk rumah itu tiga kali, jika diizinkan untuk kamu (masuklah) dan jika tidak maka pulanglah!”(HR. Bukhari dan muslim)

                  Kenapa meminta izin maksimal tiga kali? Karena ketukan yang pertama sebagai pemberitahuan kepada tuan rumah akan kedatangan tamu, ketukan kedua memberikan kesempatan kepada penghuni rumah untuk bersiap-siap atau menyiapkan segala sesuatu yang diperlukan (boleh jadi ada meja dan kursi atau pakaian yang perlu dirapikan), ketukan ketiga diharapkan penghuni rumah sudah berjalan menuju pintu. Setelah ketukan ketiga tidak ada yang membukakan pintu, ada kemungkinan tidak ada orang di rumah, atau penghuni tidak bersedia menerima tamu.
                  Tamu tidak boleh mendesakkan keinginannya untuk bertamu setelah ketukan ketiga, karena hal tersebut akan mengganggu tuan trumah. Setiap orang di beri hak privasi di rumahnya masing-masing. Tidak seorang pun boleh mengganggunya. Tuan rumah, sekalipun dianjurkan untuk menerima dan memuliakan tamu, tapi tetap punya hak untuk menolak kedatangan tamu kalau memang dia tidak dalam suasana  siap dikunjungi.
                  Menurut ungkapan Al-Qur’an, tidak memaksa masuk pada saat tidak ada orang di rumah, atau di tolak oleh tuan rumah, lebih bersih dari tamu itu sendiri. Artinya lebih menjaga nama baiknya dan kehormatan dirinya. Kalau dia mendesak terus untuk bertamu, dia akan dinilai kurang memiliki akhlaq, apabila dia masuk padahal tidak ada orang dirumah, bisa-bisa dia di tuduh bermaksud mencuri. Kedua-duanya merugikan nama baiknya. Allah berfirman :
فَإِنْ لَمْ تَجِدُوا فِيهَا أَحَدًا فَلَا تَدْخُلُوهَا حَتَّىٰ يُؤْذَنَ لَكُمْ ۖ وَإِنْ قِيلَ لَكُمُ ارْجِعُوا فَارْجِعُوا ۖ هُوَ أَزْكَىٰ لَكُمْ ۚ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ

“jika kamu tidak menemui seorangpun di dalamnya,maka janganlah kamu masuk sebelum kamu mendapat izin. Dan jika dikatakan kepadamu: “Kembali (saja) lah”, maka hendaklah kamu kembali. Itu lebih bersih bagimu dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (QS. An-Nur 24: 28)[6]
Disamping meminta izin dan mengucapkan salam hal lain yang perlu diperhatikan oleh setiap orang yang bertamu adalah sebagai berikut:
a.       Jangan bertamu sembarang waktu. Bertamulah pada saat yang tepat, saat mana tuan rumah diperkirakan tidak akan terganggu. Misalnya jangan bertamu waktu istirahat atau waktu tidur.
b.      Kalau di terima bertamu, jangan terlalu lama sehingga merepotkan tuan rumah,. Setelah urusan selesai segeralah pulang.
c.       Jangan melakukan kegiatan yang membuat tuan rumah terganggu, misalnya memeriksa ruangan dan perabotan rumah, memasuki ruangan-ruangan pribadi tanpa izin, penghuni rumah. Diizinkan masuk rumah bukan berarti diizinkan segala-galanya.
d.      Kalau disuguhi makanan atau minuman hormatilah jamuan itu. Bahkan Rasululah saw menganjurkan kepada orang yang puasa sunah sebaiknya membukai puasanya untuk menghormati jamuan (HR. Baihaqi).
e.       Hendaklah pamit waktu mau pulang. Meninggalkan rumah tanpa pamit di samping tidak terpuji, juga mengundang fitnah.[7]
2.      Menerima Tamu
                               Menerima dan memuliakan tamu tanpa membeda-bedakan status sosial mereka adalah salah satu sifat terpuji yang sangat dianjurkan dalam Islam. Bahkan Rasulullah saw mengaitkan sifat memuliakan tamu itu dengan keimanan terhadap Allah dan Hari Akhir. Beliau bersabda:
                                         ضَيْفَهُفَلْيُكْرِمْلأخِرِاْوَاْليَوْمِبِاللهِيُؤْمِنُكَانَمَنْ

                              “Barang siapa yang beriman pada Allah dan Hari Akhir maka hendaklah dia memuliakan tamunya.”(HR.Bukhari)

      Memuliakan tamu dilakukan antara lain dengan menyambut kedatangannya dengan muka manis dan tutur kata yang lembah lembut, mempersilahkannya duduk di tempat yang baik. Kalau perlu disediakan ruangan khusus untuk menerima tamu yang selalu di jaga kerapiannya.
                              Kalau tamu datang dari tempat yang jauh dan ingin menetap, tuan rumah wajib menerima dan menjamunya maksimal tiga hari tiga malam. Lebih dari tiga hari terserah tuan rumah untuk tetap menjamunya atau tidak. Menurut Rasulullah saw, menjamu tamu lebih dari tiga hari nilainya sedekah, bukan lagi kewajiban. Rasulullah saw bersabda:
                              “Siapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, maka muliakanlah tamu dengan  menjamunya sehari semalam. Jamuan hak tamu hanya berjangka tiga hari. Lebih dari itu, jamuan bersifat sedekah. Tidak boleh bagi tamu untuk menginap di tempat tuan rumah sehingga menyusakannya.” (HR. Tirmidzi)[8]

BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Akhlak adalah nilai pemikiran yang telah menjadi sikap mental yang mengakar dalam jiwa, lalu tampak dalam bentuk tindakan dan perilaku yang bersifat tetap, natural, dan refleks. Jadi, jika nilai islam mencakup semua sektor kehidupan manusia, maka perintah beramal shalih pun mencakup semua sektor kehidupan manusia.
Akhlak dalam bermasyarakat yaitu bertamu dan menerima tamu, menjaga hubungan baik dengan tetangga, adab dalam bergaul dengan lawan jenis dan ukhuwah Islamiyah. Sedangkan akhlak dalam berbangsa yaitu musyawarah, menegakkan keadilan, amar ma`ruf nahui munkar serta hubungan pemimpin dengan yang dipimpin.

B.     Saran
 Agar hubungan kita dengan orang lain terkhususnya kepada masyarakat dan bangsa dapat terjalin dengan baik maka sebaiknya kita perlu menjaga akhlak dalam masyarakat dan berbangsa. Sehingga tercipta suasana rukun, tentram dan damai tanpa ada perselisihan antar warga negara.
DAFTAR PUSTAKA
Anwar Rosihan. 2008. Akidah Akhlak. Bandung: Cv Pustaka setia
Ilyas Yunahar. 2006. Kuliah akhlak. Yogyakarta: Pustaka pelajar offset
Sudriman. 2012. Pilar-pilar Islam. Malang: Maliki press
Suyuthi Pulungan.2002 Fiqih Siyasah. Jakarta: Rajawali pers. Hal

Turrahmi Fauziah. 2013. Akhlak Terhadapa Masyarakat. Jakarta: Erlangga.



[1]  Sudriman. 2012. Pilar-pilar Islam. Malang: Maliki press hal 267
[2] Turrahmi Fauziah. 2013. Akhlak Terhadapa Masyarakat. Jakarta: Erlangga. Hal 143
[3] Ilyas Yunahar. 2006. Kuliah akhlak. Yogyakarta: Pustaka pelajar offset hal 195
[4] Anwar Rosihan. 2008. Akidah Akhlak. Bandung: Cv Pustaka setia hal 239
[5] Sudriman. 2012. Pilar-pilar Islam. Malang: Maliki press hal 265
[6] Suyuthi Pulungan.2002 Fiqih Siyasah. Jakarta: Rajawali pers. Hal 75
[7] Ilyas Yunahar. 2006. Kuliah akhlak. Yogyakarta: Pustaka pelajar offset hal 196
[8] Ilyas Yunahar. 2006. Kuliah akhlak. Yogyakarta: Pustaka pelajar offset hal 198

No comments:

Post a Comment