1

loading...

Friday, November 23, 2018

MAKALAH CIVIC EDUCATION "PERLINDUNGAN HAM"


MAKALAH CIVIC EDUCATION "PERLINDUNGAN HAM"

BAB II 
PEMBAHASAN
A. Hakekat Hak Asasi Manusia                              
Ketika kalian mempelajari mengenai nilai, norma yang berlaku dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara tentunya kalian masih ingat bahwa hak asasi manusia (HAM) merupakan nilai dan norma yang sangat penting bagi kehidupan manusia di dunia ini. Dengan adanya perlindungan dan penegakan HAM, maka kehidupan manusia yang beradab dan sejahtera dapat diwujudkan.
Manusia adalah mahkluk ciptaan Tuhan yang paling mulia, dan mempunyai derajat yang luhur sebagai manusia, mempunyai budi dan karsa yang merdeka sendiri. Semua manusia sebagai manusia memiliki martabat dan derajat yang sama, dan memiliki hak-hak yang sama pula. Derajat manusia yang luhur berasal dari Tuhan yang menciptakannya. Dengan demikian semua manusia bebas mengembangkan dirinya sesuai dengan budinya yang sehat. Sebagai mahkluk ciptaan Tuhan, semua manusia memiliki hak-hak yang sama sebagai manusia. Hak-hak yang sama sebagai manusia inilah yang sering disebut hak asasi manusia. Hak asasi manusia berarti hak-hak yang melekat pada manusia berdasarkan kodratnya, maksudnya hak-hak yang dimiliki manusia sebagai manusia. Hak asasi manusia (HAM) adalah hakhak dasar yang dimiliki manusia sebagai manusia yang berasal dari Tuhan, dan tidak dapat diganggu gugat oleh siapapun.
Dengan mendasarkan pada pengertian HAM di atas, maka HAM memiliki landasan utama, yaitu:
1.  Landasan langsung yang pertama, yaitu kodrat manusia;
2.  Landasan kedua yang lebih dalam, yaitu Tuhan yang menciptakan manusia.
Jadi HAM pada hakekatnya merupakan hak-hak fundamental yang melekat pada kodrat manusia sendiri, yaitu hak-hak yang paling dasar dari aspek-aspek kodrat manusia sebagai manusia. Setiap manusia adalah ciptaan yang luhur dari Tuhan Yang Maha Esa. Setiap manusia harus dapat mengembangkan dirinya sedemikian rupa sehingga ia harus berkembang secara leluasa. Pengembangan diri sebagai manusia dipertanggung-jawabkan kepada Tuhan sebagai asal dan tujuan hidup manusia. Semua hak yang berakar dalam kodratnya sebagai manusia adalah hak-hak yang lahir bersama dengan keberadaan manusia itu sendiri. Dengan demikian hak-hak ini adalah universal atau berlaku di manapun di dunia ini. Di mana ada manusia di situ ada HAM dan harus dijunjung tinggi oleh siapapun tanpa kecuali. HAM tidak tergantung dari pengakuan orang lain, tidak tergantung dari pengakuan mesyarakat atau negara. Manusia memperoleh hak-hak asasi itu langsung dari Tuhan sendiri karena kodratnya (secundum suam naturam). Penindasan terhadap HAM bertentangan dengan keadilan dan kemanusiaan, sebab prinsip dasar keadilan dan kemanusiaan adalah bahwa semua manusia memiliki martabat yang sama dengan hak-hak dan kewajibankewajiban yang sama. Oleh karenanya, setiap manusia dan setiap negara di dunia wajib mengakui dan menjunjung tinggi hak asasi manusia (HAM) tanpa kecuali. Penindasan terhadap HAM berarti pelanggaran terhadap HAM.
Pengakuan oleh orang-orang lain maupun oleh negara ataupun agama tidaklah membuat adanya HAM itu. Demikian pula orang-orang lain, negara dan agama tidaklah dapat menghilangkan atau menghapuskan adanya HAM. Setiap manusia, setiap negara di manapun, kapanpun wajib mengakui dan menjunjung tinggi HAM sebagai hak-hak fundamental atau hak-hak dasar. Penindasan terhadap HAM adalah bertentangan dengan keadilan dan kemanusiaan. Untuk mempertegas hakekat dan pengertian HAM di atas dikuatkanlah dengan landasan hukum HAM sebagaimana dikemukakan dalam ketentuan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia bahwa hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.
B. Hukum dan Kelembagaan Hak Asasi Manusia           
1.  Beberapa Ketentuan Hukum atau Instrumen HAM
      John Locke, pemikir politik dari Inggris, menyatakan bahwa semua orang diciptakan sama dan memiliki hak–hak alamiah yang tidak dapat dilepaskan. Hak alamiah itu meliputi hak atas hidup, hak kemerdekaan, hak milik dan hak kebahagiaan. Pemikiran John Locke ini dikenal sebagai konsep HAM yang sangat berpengaruh terhadap perkembangan HAM di berbagai belahan dunia. Pengakuan hak asasi manusia (HAM) secara konstitusional ditetapkan pertama kali di Amerika Serikat pada tahun 1776 dengan “Unanimous Declaration of Independence”, dan hal ini dijadikan contoh bagi majelis nasional Perancis ketika menerima deklarasi hak-hak manusia dan warga negara (Declaration des Droits de l’homme et de Citoyen) 26 Agustus 1789. Badan dunia yaitu PBB (Perserikatan Bangsa Bangsa) juga memperkenalkan pengertian hak asasi manusia yang bisa kita dapatkan dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Right). Deklarasi Universal merupakan pernyataan umum mengenai martabat yang melekat dan kebebasan serta persamaan manusia yang harus ada pada pengertian hak asasi manusia
Dalam UDHR pengertian HAM dapat ditemukan dalam Mukaddimah yang pada prinsipnya dinyatakan bahwa hak asasi manusia merupakan pengakuan akan martabat yang terpadu dalam diri setiap orang akan hak–hak yang sama dan tak teralihkan dari semua anggota keluarga manusia ialah dasar dari kebebasan, keadilan dan perdamaian dunia. Sejak munculnya Deklarasi Universal HAM itulah secara internasional HAM telah diatur dalam ketentuan hukum sebagai instrumen internasional. Ketentuan hukum HAM atau disebut juga Instrumen HAM merupakan alat yang berupa peraturan perundang–undangan yang digunakan dalam menjamin perlindungan dan penegakan HAM. Instrumen HAM terdiri atas instrumen nasional HAM dan instrumen internasional HAM. Instrumen nasional HAM berlaku terbatas pada suatu negara sedangkan instrumen internasional HAM menjadi acuan negara–negara di dunia dan mengikat secara hukum bagi negara yang telah mengesahkannya (meratifikasi).
Di negara kita dalam era reformasi sekarang ini, upaya untuk menjabarkan ketentuan hak asasi manusia telah dilakukan melalui amandemen UUD 1945 dan diundangkannya Undang-Undang Republik Indonesia (UURI) Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM serta meratifikasi beberapa konvensi internasional tentang HAM.

a.   Undang Undang RI Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM.
Dalam amandemen UUD 1945 ke dua, ada Bab yang secara eksplisit menggunakan istilah hak asasi manusia yaitu Bab XA yang bersikan pasal 28A s/d 28J. Dalam UURI Nomor 39 Tahun 1999 jaminan HAM lebih terinci lagi. Hal itu terlihat dari jumlah bab dan pasal – pasal yang dikandungnya relatif banyak yaitu terdiri atas XI bab dan 106 pasal. Apabila dicermati jaminan HAM dalam UUD 1945 dan penjabarannya dalam UURI Nomor 39 Tahun 1999, secara garis besar meliputi :

  1. Hak untuk hidup (misalnya hak: mempertahankan hidup, memperoleh kesejahteraan lahir           batin, memperoleh lingkungan hidup yang baik dan sehat)
  2. Hak berkeluarga dan melanjutkan keturunan.
  3. Hak mengembangkan diri (misalnya hak : pemenuhan kebutuhan dasar, meningkatkan              kualitas hidup, memperoleh manfaat dari iptek, memperoleh informasi, melakukan pekerjaan sosial);
  4. Hak memperoleh keadilan (misalnya hak : kepastian hukum, persamaan di depan hukum)
  5. Hak atas kebebasan pribadi (misalnya hak : memeluk agama, keyakinan politik, memilih status kewarganegaraan, berpendapat dan menyebarluaskannya, mendirikan parpol, LSM dan organisasi lain, bebas bergerak dan bertempat tinggal);
  6. Hak atas rasa aman (misalnya hak : memperoleh suaka politik, perlindungan terhadap ancaman ketakutan, melakukan hubungan komunikasi, perlindungan terhadap penyiksaan, penghilangan dengan paksa dan penghilangan nyawa)
  7. Hak atas kesejahteraan (misalnya hak : milik pribadi dan kolektif, memperoleh pekerjaan yang layak, mendirikan serikat kerja, bertempat tinggal yang layak, kehidupan yang layak, dan jaminan sosial)
  8. Hak turut serta dalam pemerintahan (misalnya hak: memilih dan dipilih dalam pemilu, partisipasi langsung dan tidak langsung, diangkat dalam jabatan pemerintah, mengajukan usulan kepada pemerintah);
  9. Hak wanita (hak yang sama/tidak ada diskriminasi antara wanita dan pria dalam bidang politik, pekerjaan, status kewarganegaraan, keluarga perkawinan);
  10. Hak anak (misalnya hak : perlindungan oleh orang tua, keluarga, masyarakat dan negara, beribadah menurut agamanya, berekspresi, perlakuan khusus bagi anak cacat, perlindungan dari eksploitasi ekonomi, pekerjaan, pelecehan sexual, perdagangan anak, penyalahgunaan narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya).
b. Undang Undang RI Nomor 7 Tahun 1984 tentang Ratifikasi Konvensi PBB tentang Penghapusan segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (disingkat sebagai Konvensi Wanita).
Dengan ratifikasi Konvensi Wanita tersebut, maka segala bentuk diskriminasi yang didasarkan pada perbedaan jenis kelamin (laki–laki – perempuan) harus dihapus. Misalnya, perlakuan pemberian upah buruh wanita dibawah upah buruh pria harus dihapus, begitu pula dunia politik bukanlah milik pria maka perempuan harus diberi kesempatan yang sama menduduki posisi dalam partai politik maupun pemerintahan. Dengan demikian terjadi perbedaan penghargaan terhadap pria dan wanita, bukan karena jenis kelaminnya tetapi karena perbedaan pada prestasi. Kita harus menyadari bahwa pembangunan suatu negara, kesejahteraan dunia, dan usaha perdamaian menghendaki partisipasi maksimal kaum wanita atas dasar persamaan dengan kaum pria. Kita tidak dapat menyangkal besarnya sumbangan wanita terhadap kesejahteraan keluarga dan membesarkan anak . Hal ini menunjukan keharusan adanya pembagian tanggung jawab antara pria dan wanita dan masyarakat sebagai keseluruhan, bukan dijadikan dasar diskriminasi.

c.   Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
Latar belakang dikeluarkannya undang-undang ini, sebagaimana dikemukakan dalam Penjelasan Umum undang-undang ini antara lain:
1)  Bahwa anak adalah amanah sekaligus karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang senantiasa harus kita jaga karena dalam dirinya melekat harkat, martabat, dan hak-hak sebagai manusia yang harus dijunjung tinggi. Hak asasi anak merupakan bagian dari hak asasi manusia yang termuat dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak-Hak Anak. Dari sisi kehidupan berbangsa dan bernegara, anak adalah masa depan bangsa dan generasi penerus cita-cita bangsa, sehingga setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang, berpartisipasi serta berhak atas perlindungan dari tindak kekerasan dan diskriminasi serta hak sipil dan kebebasan.
2) Meskipun Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia telah mencantumkan tentang hak anak, pelaksanaan kewajiban dan tanggung jawab orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah, dan negara untuk memberikan perlindungan pada anak masih memerlukan suatu undang-undang mengenai perlindungan anak sebagai landasan yuridis bagi pelaksanaan kewajiban dan tanggung jawab tersebut.
Dengan demikian, pembentukan undang-undang ini didasarkan pada pertimbangan bahwa perlindungan anak dalam segala aspeknya merupakan bagian dari kegiatan pembangunan nasional, khususnya dalam memajukan kehidupan berbangsa dan bernegara.
3) Orang tua, keluarga, dan masyarakat bertanggung jawab untuk menjaga dan memelihara hak asasi tersebut sesuai dengan kewajiban yang dibebankan oleh hukum. Demikian pula dalam rangka penyelenggaraan perlindungan anak, negara dan pemerintah bertanggung jawab menyediakan fasilitas dan aksesibilitas bagi anak, terutama dalam menjamin pertumbuhan dan perkembangannya secara optimal dan terarah.
4)  Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 ini menegaskan bahwa pertanggungjawaban orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah dan negara merupakan rangkaian kegiatan yang dilaksanakan secara terus-menerus demi terlindunginya hakhak anak. Rangkaian kegiatan tersebut harus berkelanjutan dan terarah guna menjamin pertumbuhan dan perkembangan anak, baik fisik, mental, spiritual maupun sosial. Tindakan inidimaksudkan untuk mewujudkan kehidupan terbaik bagi anak yang diharapkan sebagai penerus bangsa yang potensial, tangguh, memiliki nasionalisme yang dijiwai oleh akhlak mulia dan nilai Pancasila, serta berkemauan keras menjaga kesatuan dan persatuan bangsa dan negara.
5)  Upaya perlindungan anak perlu dilaksanakan sedini mungkin, yakni sejak dari janin dalam kandungan sampai anak berumur 18 (delapan belas) tahun. Bertitik tolak dari konsepsi perlindungan anak yang utuh, menyeluruh, dan komprehensif, undang-undang ini meletakkan kewajiban memberikan perlindungan kepada anak berdasarkan asas-asas sebagai berikut :
a.   nondiskriminasi;
b.   kepentingan yang terbaik bagi anak;
c.    hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan; dan
d.   penghargaan terhadap pendapat anak.
6) Dalam melakukan pembinaan, pengembangan dan perlindungan anak, perlu peran masyarakat, baik melalui lembaga perlindungan anak, lembaga keagamaan, lembaga swadaya masyarakat, organisasi kemasyarakatan, organisasi sosial, dunia usaha, media massa, atau lembaga pendidikan.

d. Undang Undang RI Nomor 8 Tahun 1998 tentang Pengesahan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia (Convention Against Torture and Other Cruel, Inhumanor Degrading Treatment or Punishment).
Konvensi ini mengatur pelarangan penyiksaan baik fisik maupun mental, dan perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat manusia yang dilakukan oleh atau atas hasutan dari atau dengan persetujuan/sepengetahuan pejabat publik dan orang lain yang bertindak dalam jabatannya. Ini berarti negara RI yang telah meratifikasi wajib mengambil langkah-langkah legislatif, administratif, hukum dan langkah-langkah efektif lain guna mencegah tindakan penyiksaan (tindak pidana) di dalam wilayah yuridiksinya. Misalnya langkah yang dilakukan dengan memperbaiki cara interograsi dan pelatihan bagi setiap aparatur penegak hukum dan pejabat publik lain yang bertanggungjawab terhadap orang – orang yang dirampas kemerdekaannya.

e.   Undang Undang RI Nomor 1 Tahun 2000 Tentang Pengesahan Konvensi ILO nomor 182 Mengenai Pelanggaran dan Tindakan Segera Penghapusan Bentuk–Bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak.
Menurut Konvensi ILO (International Labour Organization/Organisasi Buruh Internasional) tersebut, istilah “bentuk-bentuk terburuk kerja anak mengandung pengertian sebagai berikut:
1). Segala bentuk perbudakan atau praktik-praktik sejenis perbudakan, misalnya:
a)  penjualan anak;
b) perdagangan anak-anak;
c) kerja ijon;
d) perhambaan (perbudakan);
e) kerja paksa atau wajib kerja;
f) pengerahan anak-anak secara paksa atau wajib untuk dimanfaatkan dalam konflik bersenjata;
2). Pemanfaatan, penyediaan atau penawaran anak untuk pelacuran, untuk produksi pornografi, atau untuk pertunjukan-pertunjukan porno;
3). Pemanfaatan, penyediaan atau penawaran anak untuk kegiatan haram, khususnya untuk produksi dan perdagangan obat-obatan.
4). Pekerjaan yang sifatnya atau lingkungan tempat pekerjaan itu dilakukan dapat membahayakan kesehatan, keselamatan, atau moral anak.
Dengan UURI Nomor 1 Tahun 2000 tentang Pengesahan Konvensi ILO nomor 182, maka negara Republik Indonesia wajib mengambil langkah-langkah legislatif, administratif, hukum, dan langkah-langkah efektif lain guna mencegah tindakan praktek memperkerjakan anak dalam bentuk-bentuk terburuk kerja anak dalam industri maupun masyarakat.
C. Undang-undang RI Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
Undang-undang ini mengatur pengadilan terhadap pelanggaran HAM berat.
2. Latar Belakang Lahirnya Instrumen Nasional HAM
Bagaimana latar belakang lahirnya instrumen nasional HAM atau perundang-undangan nasional HAM? Jaminan hak asasi manusia dalam UUD 1945 (sebelum perubahan/amandemen) menurut Kuntjara Purbopranoto belum disusun secara sistematis dan hanya empat pasal yang memuat ketentuan–ketentuan tentang hak asasi, yakni pasal 27, 28, 29 dan 31. Meskipun demikian bukan berarti HAM kurang mendapat perhatian, karena susunan pertama UUD 1945 adalah merupakan inti-inti dasar kenegaraan.
Dari keempat pasal tersebut, terdapat 5 (lima) pokok mengenai hak – hak asasi manusia yang terdapat dalam batang tubuh UUD 1945, yaitu :
a. Kesamaan kedudukan dan kewajiban warga negara di dalam hukum dan di muka pemerintahan (Pasal 27 ayat 1);
b. Hak setiap warga negara atas pekerjaan dan penghidupan yang layak (Pasal 27 ayat 2);
c. Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang – undang (Pasal 28);
d. Kebebasan asasi untuk memeluk agama bagi penduduk di jamin oleh Negara (Pasal 29 ayat 2);
e.   Hak atas pengajaran (Pasal 31 ayat 1).
Masuknya pasal–pasal HAM dalam UUD 1945 di atas, tidak lepas dari perdebatan yang mendahuluinya antara kelompok yang keberatan (terutama Soekarno dan Soepomo) dan kelompok yang menghendaki dimasukan (terutama Moh. Hatta). Alasan kedua pendapat yang berbeda tersebut sebagaimana dituturkan Mr. Muhammad Yamin dalam bukunya Naskah Persiapan UUD 1945, Jilid I, antara lain sebagai berikut :
Bung Karno menjelaskan bahwa telah ditentukan sidang pertama bahwa ”kita menyetujui keadilan sosial. Keadilan sosial inilah protes kita yang maha hebat terhadap dasar individualisme.
3. Kelembagaan HAM
Dalam upaya perlindungan dan penegakan HAM telah dibentuk lembaga–lembaga resmi oleh pemerintah seperti Komnas HAM, Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan, Peradilan HAM dan lembaga–lembaga yang dibentuk oleh masyarakat terutama dalam bentuk LSM pro-demokrasi dan HAM. Uraian masing-masing sebagai berikut.
a. Komnas HAM      
Komisi Nasional (Komnas) HAM pada awalnya dibentuk dengan Keppres Nomor 50 Tahun 1993. Pembentukan komisi ini merupakan jawaban terhadap tuntutan masyarakat maupun tekanan dunia internasional tentang perlunya penegakan hak asasi manusia di Indonesia. Kemudian dengan lahirnya UURI Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yang didalamnya mengatur tentang Komnas HAM ( Bab VIII, pasal 75 s/d. 99) maka Komnas HAM yang terbentuk dengan Kepres tersebut harus menyesuaikan dengan UURI Nomor 39 Tahun 1999
b.   Pengadilan HAM
Pengadilan HAM merupakan pengadilan khusus yang berada di lingkungan peradilan umum dan berkedudukan di daerah kabupaten atau kota. Pengadilan HAM merupakan pengadilan khusus terhadap pelanggaran HAM berat yang meliputi kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan (UURI Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM) Kejahatan genosida adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompk bangsa, ras, kelompok, etnis, dan agama. Cara yang dilakukan dalam kejahatan genosida, misalnya ; membunuh, tindakan yang mengakibatkan penderitaan fisik atau mental, menciptakan kondisi yang berakibat kemusnahan fisik, memaksa tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran, memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok lain.
Sedangkan yang dimaksud kejahatan terhadap kemanusiaan adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil. Kejahatan terhadap kemanusiaan misalnya:
1) pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, penyiksaan;
2) pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa;
3) perampasan kemerdekaan atau perampasan kemerdekaan fisik lain secara sewenang-wenang yang melanggar ketentuan pokok hukum internasional;
4)  perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara;
5) penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin, atau alasan lain yang diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional;
6) penghilangan orang secara paksa (penangkapan, penahanan, atau penculikan disertai penolakan pengakuan melakukan tindakan tersebut dan pemberian informasi tentang nasib dan keberadaan korban dengan maksud melepaskan dari perlindungan hukum dalam waktu yang panjang);
7) kejahatan apartheid (penindasan dan dominasi oleh suatu kelompok ras atas kelompok ras atau kelompok lain dan dilakukan dengan maskud untuk mempertahan peraturan pemerintah yang sedang berkuasa atau rezim). Pengadilan HAM bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus perkara pelanggaran HAM yang berat. Pengadilan HAM juga berwenang memeriksa dan memutus perkara pelanggaran HAM yang berat yang dilakukan di luar batas territorial wilayah negara RI oleh Warga Negara Indonesia (WNI). Disamping itu juga dikenal Pengadilan HAM Ad Hoc, yang diberi kewenangan untuk mengadili pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum di undangkannya UURI Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Oleh karena itu pelanggaran HAM berat tidak mengenal kadaluwarsa. Dengan kata lain adanya Pengadilan HAM Ad Hoc merupakan pemberlakuan asas retroactive (berlaku surut) terhadap pelanggaran HAM berat.
                                               
c. Komisi Nasional Perlindungan Anak dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia
Komisi National Perlindungan Anak (KNPA) ini lahir berawal dari gerakan nasional perlindungan anak yang sebenarnya telah dimulai sejak tahun 1997. Kemudian pada era reformasi, tanggung jawab untuk memberikan perlindungan anak diserahkan kepada masyarakat. Tugas KNPA melakukan perlindungan anak dari perlakuan, misalnya: diskriminasi, eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual, penelantaraan, kekejaman, kekerasan, penganiayaan, ketidakadilan dan perlakuan salah yang lain. KNPA juga yang mendorong lahirnya UURI Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Disamping KNPA juga dikenal KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia). KPAI dibentuk berdasarkan amanat pasal 76 UU RI Nomor 23 Tahun 2002.
Komisi Perlindungan Anak Indonesia bertugas :
a.   melakukan sosialisasi seluruh ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perlindungan anak
b.   mengumpulkan data dan informasi, menerima pengaduan masyarakat, melakukan penelaahan, pemantauan, evaluasi, dan pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan anak.
c.    memberikan laporan, saran, masukan, dan pertimbangan kepada Presiden dalam rangka perlindungan anak. Misalnya untuk tugas memberikan masukan kepada Presiden/pemerintah KPAI meminta pemerintah segera membuat undang–undang larangan merokok bagi anak atau setidak-tidaknya memasukan pasal larangan merokok bagi anak dalam UU.
d.   Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan
Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan dibentuk berdasarkan Keppres Nomor 181 Tahun 1998. Dasar pertimbangan pembentukan Komisi Nasional ini adalah sebagai upaya mencegah terjadinya dan menghapus segala bentuk kekerasan terhadap perempuan. Komisi Nasional ini bersifat independen dan bertujuan:

  •  menyebarluaskan pemahaman tentang bentuk kekerasan terhadap perempuan.
  • mengembangkan kondisi yang kondusif bagi penghapusan bentuk kekerasan terhadap          perempuan.
  • meningkatkan upaya pencegahan dan penanggulangan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan dan hak asasi perempuan.
Dalam rangka mewujudkan tujuan di atas, Komisi Nasional ini memiliki kegiatan sebagai berikut:
1)  penyebarluasan pemahaman, pencegahan, penanggulangan, penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan.
2)  pengkajian dan penelitian terhadap berbagai instrumen PBB mengenai perlindungan hak asasi manusia terhadap perempuan.
3) pemantauan dan penelitian segala bentukkekerasan terhadap perempuan dan memberikan pendapat, saran dan pertimbangan kepada pemerintah.
4) penyebarluasan hasil pemantauan dan penelitian atas terjadinya kekerasan terhadap perempuan kepada masyarakat.
5) pelaksanaan kerjasama regional dan internasional dalam upaya pencegahan dan penanggulangan kekerasan terhadap perempuan

2. Berbagai Contoh Pelanggaran HAM
Banyak terjadi pelanggaran HAM di Indonesia, baik yang dilakukan pemerintah, aparat keamanan maupun oleh masyarakat. Hal ini dapat ditunjukan adanya korban akibat bergai kerusuhan yang terjadi di tanah air. Misalnya, korban hilang dalam berbagai kerusuhan di Jakarta, Aceh, Ambon dan Papua diperkirakan ada 1148 orang hilang dalam kurun waktu 1965 – Januari 2002 (Kompas 1 Juni 2002).
Kita juga dapat dengan mudah menemukan pelanggaran HAM di sekitar kita yang menimpa anak – anak. Misalnya, dalam kehidupan sehari – hari kita menyaksikan banyak anak (dibawah umur 18 tahun) dipaksa harus bekerja mencari uang, untuk memenuhi kebutuhan hidupnya maupun untuk membantu keluarganya atau pihak lain. Ada yang menjadi pengamen di jalanan, menjadi buruh, bahkan dieksploitasi untuk pekerjaan-pekerjaan yang tidak patut. Mereka telah kehilangan hak anak berupa perlindungan oleh orang tua, keluarga, masyarakat dan negara, perlindungan dari eksploitasi ekonomi, dan pekerjaan.
Begitu pula kita juga dapat menemukan kasus sejumlah anak yang melanggar hukum (berkonflik dengan hukum). Misalnya data Lembaga Advokasi Anak (LAdA) Lampung menyatakan jumlah anak yang berkonflik dengan hukum selama Januari–Maret 2008 mencapai 83 orang. Pelanggaran hukum yang dilakukan anak–anak adalah pencurian, penganiayaan, penggunaan narkoba, pemerkosaan, perampasan, penodongan, pembunuhan, perjudian, perampokan, penjambretan, curanmor, dan perkelahaian (“Anak – anak Berkonflik dengan Hukum”, Kompas, 7 April 2008).
Dalam kehidupan sehari–hari kasus pelanggaran HAM oleh seseorang/masyarakat terutama pada perbuatan main hakim sendiri, seperti pertikaian antar kelompok (konflik sosial), pengeroyokan, pembakaran sampai tewas terhadap orang yang dituduh atau ketangkap basah melakukan pencurian. Kebiasaan pengeroyokan sebagai bentuk main hakim sendiri dalam menyelesaikan pertikaian atau konflik juga tampak sangat kuat di kalangan para pelajar.
Hal ini tentunya sangat memprihatinkan, karena mencerminkan suatu kehidupan yang tidak beradab yang semestinya dalam menyelesaikan persoalan (konflik) dilakukan dengan cara–cara yang bermartabat seperti melakukan perdamaian , mengacu pada aturan atau norma yang berlaku, melalui perantara tokoh–tokoh masyarakat/adat, dan lembaga–lembaga masyarakat yang ada.
Berikut ini dipaparkan beberapa contoh pelanggaran HAM yang menjadi sorotan nasional
           a.      Kasus Pemerkosaan dan Pembunuhan di Rejang Lebong
 Kasus kekerasan seksual (perkosaan) terhadap perempuan cukup tinggi di Kabupaten Rejang Lebong, Bengkulu. Sedikitnya Woman Crisis Centre (WCC) Bengkulu mencatat ada sembilan selama empat bulan terakhir tahun 2016 ini. 
Hal tersebut disampaikan Manager Program Cahaya Perempuan WCC Juniarti Boermansyah saat bertemu Wakil Bupati Rejang Lebong, H Iqbal Bastari SPd MM.
Menurut, Juniarti sembilan kasus di Rejang Lebong tersebut dari total 15 kasusyang mereka catat di Provinsi Bengkulu. 
Puncak dari kasus perkosaan ini yaitu dialami oleh Yuyun dan yang diperkosa dan dibunuh oleh 14 orang remaja. "Kasus Yuyun ini, merupakan kasus yang membuat kita terkejut dan memancing kemarahan kita semua," tegas Juniarti seperti dikutip dari Bengkulu Ekspress (Jawa Pos Group).
Dijelaskan Juniarti, kasus perkosaan dan pembunuhan terhadap Yuyun, merupakan kasus kejahatan dan pelanggaran paling serius terhadap perempuam. Pelangaran tersebut antara lain hak untuk hidup, hak atas kemerdekaan dan keamanan dan hak untuk bebas dari penganiayaan dan perlakuan buruk. 
"Kekerasan terhadap Yuyun merupakan bentuk pelanggaran HAM sebagaimana yang telah ditentukan dalam deklarasi umum HAM tahun 1948," tegas Juniarti
Menyikapi kasus Yuyun yang sudah melalui proses persidangan perdana pada 27 April lalu yang tanpa didampingi dan perlindungan negara. WCC bersama sejumlah organisasi dan perseorangan lainnya yang tergabung dalam aksi solidaritas untuk perempuan korban kekerasan seksual menyampaikan tuntutan kepada pemerintah daerah baik provinsi maupun kabupaten yang ada di Bengkulu. 
Tuntutan mereka tersebut antara lain  pemerintah harus membentuk tim penanganan khusus untuk pemulihan psikis dan sosial dan dampingan hukum untuk keluarga korban yang melibatkan para pihak. Kemudian pemerintah desa, kecamatan, kabupaten dan kota serta Provinsi Bengkulu harus menjamin keamanan dan perlindungan bagi keluarga, teman korban, saksi dan pendampingan.
"Pemerintah harus segera merancang dan menjalankan program pendidikan dan penyadaran tentak hak kesehatan seksual dan reproduksi bagi perempuan," pinta Juniarti.
Tuntutan selanjutnya yaitu harus ada saksi bersama untuk membangun kekuatan solidaritas anti kekerasan seksual dimanapun dan pada siapapun yang melibatkan para pihak antaran lain aparat penegak hukum, lembaga agama, adat, organisasi kemasayrakatan dan LSD serta media massa.      
"Tuntutan terakhir akmi adalah hukum para pelaku kejahatan perkosaan dengan memenuhi rasa keadailan bagi perempuan korban kekerasan seksual," akhir Juniarti.
Sementara itu, Wakil Bupati Rejang Lebong, H Iqbal Bastari SPd MM mengaku sangat mengapreasiasi apa yang dilakukan aksi solidaritas untuk perempuan korban kekerasan seksual. 
Wabup juga mengaku pemerintah kabupaten Rejang Lebong sudah berkoordinasi dengan Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) dan Perlindungan Perempuan. Wabup berharap semua pihak dapat berkolaburasi dalam menangani masalah yang menimpa Yuyun.
"Kita berharap agar penangan kasus ini bisa dilakukan secara bersama-sama sehingga tidak sepotong-sepotong," harap Wabup. 
Menurut Wabup, kasus Yuyun ini merupakan titik awal dari penanganan kasus kekerasan seksual terhadap perempuan kedepannya, sehingga kedepannya Wabup berharap tidak ada Yuyun Yuyun lain yang yang menjadi korban. Oleh karena itu semua pihak harus bergerak untuk mengantisipasinya.
·         Kronologi Yuyun Saat di Perkosa
 Yuyun, gadis kecil berusia 14 tahun, baru pulang sekolah dan melintasi kebun karet di daerah Lembak, kabupaten Rejang Lebong, Bengkulu ketika sejumlah pemuda menggodanya. Ia tidak menggubrisnya.
Ketika salah seorang pemuda menarik tangannya Yuyun masih bisa menepisnya. Tapi ketika empat pemuda lainnya menyeretnya ke kebun karet, ia tak kuasa melawan. Juga ketika 10 orang lainnya merobek seragam pramuka yang dikenakannya, mencekik lehernya dan menghantamkan sebatang kayu ke kepalanya. Yuyun pingsan. 
Mayatnya ditemukan beberapa hari kemudian dalam keadaan nyaris membusuk. Visum dokter menunjukkan penganiayaan seksual yang mengerikan. Hal ini disampaikan Kapolres Padang Ulak Tanding PUT IPTU Eka Candra kepada VOA ketika dihubungi Senin pagi (2/5).
“Ketika ditemukan, mayat terikat dan bisa dipastikan ia mati dibunuh. Hasil visum menunjukkan kemaluan, dubur dan bagian diantara keduanya hancur. Kami langsung melakukan olah TKP kembali karena tempat kejadian di kebun karet yang dekat jurang. Banyak rumput tinggi," ujarnya.
"Kami olah TKP lebih dari setengah hari dan menemukan rok, sepatu dan tas. Kami mendapat banyak gambaran dan ada empat calon tersangka yang kami selidiki bersamaan. Dari empat orang yang diinterogasi, salah seorang di antaranya mengarahkan kami ke 12 orang," kata Eka.
Ia menambahkan “Kami pertama kali menyelidiki keluarganya, orang yang pertama kali menemukan dan beberapa anggota keluarga jauh. Akhirnya kita mengarah ke para tersangka karena tindak tanduk mereka sendiri. Banyak perubahan-perubahan. Kalau soal pintarnya pelaku-pelaku itu memang sudah luar biasa. Ketika menemukan korban, mendatangi rumah hingga menggali kuburan untuk menguburkan korban mereka ikut."
"Kami selidiki terus dan akhirnya panggil secara persuasif tiga orang. Kami interogasi dengan berbagai macam cara, tapi tidak dengan kekerasan ya! Dari keterangan itu terkuak ada 11 tersangka lagi. Kami langsung melakukan pengejaran dan penggerebekan, dan kami berhasil tangkap sembilan orang, dua lainnya buron. Jadi total yang kami tanggal ada 12 orang, dua gak dapat."
"Memang jika mengikuti UU ada yang masih dikategorikan sebagai anak di bawah umur, di bawah 18 tahun, tetapi mereka pada dasarnya sudah dewasa. Jadi ada dua orang usia 16 tahun, lima orang usia 17 tahun, lalu usia 18, 19, 20, 23 masing-masing satu tahun. Jadi ada tujuh di bawah umur, lima dewasa," jelas Eka.
·         Pelaku Pemerkosaan Yuyun
7 dari 14 Pelaku di Bawah Umur, Tujuh dari 14 pelaku berusia di bawah 18 tahun dan ada yang satu sekolah dengan korban. Meski perawakan mereka besar dan bisa diketagorikan dewasa, tetapi di mata hukum mereka tetap anak-anak dan jika pengadilan menjerat mereka dengan UU Perlindungan Anak, maka ancaman hukuman maksimal yang akan dijatuhkan adalah 15 tahun.
“Tapi pengalaman saya, paling mereka dikenakan hukuman separuhnya. Meskipun semuanya tergantung pertimbangan hakim," ujar IPTU Eka Candra. 
Padalah menurutnya belum pernah ia melihat kejahatan sekeji ini dalam masa tugasnya di Lembak, Rejang Lebong selama 11 tahun terakhir.
Pemerkosaan dan pembunuhan Yuyun ini mengundang kemarahan publik. Tidak saja karena kasus ini baru tercium media nasional setelah hampir tiga minggu, tetapi juga karena ini bukan kasus pertama.
Bulan Februari lalu, seorang anak perempuan juga diperkosa beramai-ramai oleh enam temannya yang juga masih di bawah umur. Peristiwa itu terjadi di kelurahan Talang Benih, kecamatan Curup, Bengkulu. Korban memang selamat, tapi trauma yang dialaminya hingga kini masih membekas dalam.
·         Komnas Perempuan Harapkan Pemerintah Mensahkan RUU
Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mengutuk keras peristiwa ini dan menilainya sebagai peringatan keras bagi pemerintah supaya segera mensahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual yang sudah masuk dalam Prolegnas 2016, karena aturan-aturan yang ada sudah tidak lagi bisa merespon isu kekerasan seksual secara komprehensif.
Komnas Perempuan mencatat kasus kekerasan seksual tahun 2016 naik menjadi peringkat kedua dengan jumlah kasus perkosaan mencapai 2.399 kasus atau 72 persen, pencabulan mencapai 601 kasus atau 18 persen, sementara kasus pelecehan seksual mencapai 166 kasus atau 5 persen. 

·         Pranata Sosial Gagal Lindungi Perempuan & Anak Perempuan
Sementara sejumlah aktivis perempuan mengaitkan maraknya kasus kekerasan seksual ini dengan kegagalan pranata sosial masyarakat.
Peneliti isu gender dan Islam, Lies Marcus menilai kasus Yuyun bukan sekedar syahwat kelamin melainkan "kutuk kejantanan" yang harus dipikul remaja laki-laki yang mengalami frustrasi yatim piatu sosial mereka.
Dalam akun Facebooknya, Lies menulis ‘’Orang tua dan dewasa memusuhi, peer pressure, kehendak menunjukkan kejantanan, semangat menahlukkan, adu keberanian, solidaritas kelompok, kehendak untuk diterima dalam gang-nya dan kegembiraan yang membuncah di atas penderitaan orang lain. Tanpa pemahaman soal "kutuk kejantanan" atau maskulinitas itu, sungguh sulit meletakkan logika perkosaan remaja yang biadab tiada tara itu."
Lebih jauh ia juga mengecam kentalnya budaya patriarki sebagai penyebab terjadinya kekerasan seksual terhadap kaum perempuan. 
·         RUU Penghapusan Kekerasan Seksual
Beberapa anggota DPR mengatakan kepada VOA akan turun ke lapangan untuk memberi tekanan terhadap penyelesaian kasus ini dan sekaligus memperjuangkan pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual di DPR. RUU ini memang tidak menjadi prioritas, tetapi sudah dimasukkan dalam daftar tambahan RUU prioritas. 
Rabu pagi (3/5) puluhan LSM dan organisasi masyarakat akan melangsungkan konferensi pers bersama untuk membangun gerakan dan mengkampanyekan pengesahan segera RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Disusul unjuk rasa di depan Istana Negara yang menurut rencana akan dilangsungkan hari Kamis (4/5).
Kampanye di media sosial juga berlangsung gencar. Tanda pagar #NyalaUntukYuyun di Twitter, Facebook, Path dan sejumlah media sosial lain mulai menarik perhatian massa sejak Senin (2/5).
Penyelesaian kasus Yuyun dengan menangkap dan mengadili ke-14 pelaku saja dinilai belum cukup. Masih ada kerja panjang untuk mengesahkan payung hukum yang lebih tegas dan sekaligus mengkampanyekan pendidikan seksual yang lebih komprehensif untuk mencegah kekerasan berbasis gender, sekaligus mengingatkan secara terus menerus potensi bahaya yang dialami perempuan dan anak perempuan. 
Sejumlah lembaga dan aktivis dari berbagai daerah di Sumatera, membentuk kelompok Koalisi Pedulu Perempuan Korban Kekerasan Seksual untuk Yuyun, seorang pelajar SMP yang ditemukan tewas di jurang di sebuah desa di Kabupaten Rejang Lebong pada 4 April lalu.
Yuyun tewas setelah diperkosa bergiliran oleh 14 remaja yang masih satu desa dengannya dua hari sebelum jasadnya ditemukan. Perisitwa tragis pemerkosaan Yuyun terjadi saat ia pulang dari sekolah menuju rumahnya sekira pukul 13.00 WIB.
Salah satu perwakilan KPPKKS Susi Handayani mengatakan, aksi solidaritas yang digelar bertema Save Our Sisters – Nyalakan Cahaya untuk Yuyun. Dalam aksi itu disampaikan beberapa tuntutan kepada pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota di Bengkulu.
Di antaranya mereka menuntut pemerintah segera membentuk tim penanganan khusus untuk pemulihan psikis dan sosial serta pendampingan hukum untuk keluarga korban kekerasan seksual. Tuntutan lainnya, pemerintah harus menjamin keamanan keluarga, teman korban, saksi dan pendamping.
Dan untuk memenuji rasa keadilan terhadap korban kekerasan seksual, pelaku harus diberi hukuman berat. "Kasus perkosaan dan pembunuhan terhadap Yuyun, merupakan kasus kejahatan dan pelanggaran paling serius terhadap hak perempuan," ujar Susi pada Okezone.
Susi menegaskan, kekerasan terhadap Yuyun adalah bentuk pelanggaran Hak Asasi Manusia sebagaimana diatur dalam Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia tahun 1948, UU RI Nomor 7 tahun 1984, tentang Pengesahan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan.
"Publik tidak boleh diam, anak kita harus aman berada di luar rumah untuk menuntut ilmu, berkreasi dan anak laki-laki kita harus didik menjadi laki-laki sejati yang hormat pada perempuan. Pemimpin harus diajari menjadi orang tua tauladan," tambah Susi.
Para aktivis dan lembaga yang tergabung dalam KPPKKS berasal dari Jambi, Aceh, Bengkulu, Sumatera Barat, dan Sumatera Selatan.
Kalau sahabat Arako merasa tidak heran atas kasus tragedi yang menimpa seorang remaja belia siswi SMP kelas 5 Satu Atap Padang Ulak Tanding dengan suluruh cerita yang ditulis olehnya, saya malah semakin heran atas kejadian ini. Saya terhitung belum lama tinggal di Bengkulu, baru sekitar 2 tahun. Itupun belum bisa dikatakan menetap. Akhir tahun 2013 saya datang ke Bengkulu, mencari pengalaman dan menyelesaikan tugas study.
·         Penilaian Masyarakat Terhadap Kasus Yuyun
Pertama sekali menilai keunikan kondisi sosial masyarakat Bengkulu saya cukup heran dengan kebiasaan para pejabat yang mudah membagi-bagikan uang melalui kupon yang disebar di surat khabar pada saat bulan ramadhan. Kupon itu diberi nama "Uang Bukoan" (uang untuk berbuka puasa).  Warga yang berminat mendapatkan uang bukoan, memotong kupon yang ada dii salah satu media massa cetak lokal itu dan mengumpulkannya ke tempat yang telah ditentukan. Pada hari-hari tertentu akan diundi dan ditarik beberapa lembar kupon untuk mendapatkan pemenang kupon bukoan yang untuk selanjutnya berhak mendapatkan uang bukoan senilai tertentu dari sang pejabat atau tokoh  itu. Saya berfikir ini sesuatu yang unik yang baru saya dapatkan.
 Pejabat di Bengkulu ternyata sangat dermawan meskipun caranya lewat undian, dan ternyata warga Bengkulu senang yang instan-instan seperti mendapatkan uang cash langsung dari pejabat, terlepas ada kepentingan politik pencitraan atau tidak dari sang pejabat yang bersangkutan. Setelah beberapa waktu tinggal di Bengkulu, saya mendapati bahwa masyakat Bengkulu adalah masyarakat yang terbuka yang terhimpun dari berbagai etnis suku.
Setidaknya yang saya ketahui ada suku Rejang, Serawai, Lembak, Padang, Jawa, dan Sunda. Ada juga mungkin Batak, Aceh, Tionghoa, Bali, dan suku-suku lainnya yang belum saya kenal, namun secara keseluruhan mayoritas suku terbesar adalah suku Rejang dan Serawai. Dari yang saya rasakan selama pergaulan ternyata masyarakat Bengkulu cukup terbuka, tegas dan cenderung sedikit keras. Belum lama ini saya mencermati pemberitaan media cetak di Bengkulu tentang berita kriminalitas yang dipublish.
Ditemukan fakta bahwa setiap hari rata-rata ada 12-17 berita tentang kekerasan dan kriminalitas, termasuk kekerasan seksual, pencabulan dan pembunuhan. Dalam hitungan sederhana ditemukan kurang lebih 360 tindak kekerasan yang terjadi di Bengkulu, itu yang terpublish di media cetak, belum lagi kemungkinan yang tidak tercium awak media. Saat kejadian tragedi pemerkosaan dan pembunuhan Yuyun di Padang Ulak Tanding, itu berbarengan dengan berita-berita kriminalitas yang lain yang juga terjadi. Namun memang kejadian kasus Yuyun adalah yang paling parah dari tindak kriminalitas yang lain pada waktu itu. Saya sempat membatin, "ini sangat sadis dan biadab".
Namun karena disisi lain banyak juga kejadian kriminalitas yang lain, perasaan batin dan nalar menjadi seperti biasa dan tawar, karena mungkin saking seringnya mendengar kekerasan dan kekejaman yang serupa. Kasus ditemukannya sesorang mayat perempuan di pinggir jalan di Kabupaten Bengkulu Tengah yang diduga karena dirampok , kasus ditemukannya mayat mengapung di sungai dekat Pulau Bai, kasus pencabulan seorang guru kepada muridnya, kasus sering terjadinya pembegalan di jalur jalan lintas Curup - Lubuk Linggau, seperti yang di sebutkan Sahabat Arako sebagai jalur Texas, dan kasus-kasus yang lainnya.
Memang jalur Texas ini sudah cukup dikenal masyakakat sekitar Bengkulu dan tindak kejahatan sering terjadi di wilayah ini. Apalagi masih teringat jelas kasus kerusuhan di daerah Lembak yang menyebabkan sebuah pos polisi dibakar warga, yang disinyalir ada kepentingan politik terkait usulan pemekaran Kabupaten Baru di sekitar wilayah tersebut. Saya semakin heran karena ternyata kejadian ini terus berlarut-larut terjadi di Bengkulu, tindak kejahatan dan kekerasan semacam ini terus saja terjadi bahkan nampaknya semakin meningkat.
 Di Kota Bengkulu, kasus perampokan nasabah Bank, pemecahan kaca mobil dan raibnya barang-barang berharga didalam mobil saat diparkir, dan pembobolan rumah atau kantor sudah sering terjadi. Pemerintah Daerah dan aparat penegak hukum nampak tak berdaya menghadapi masalah ini. Padahal kalau menurut kisah sahabat Arako sudah bukan lagi rahasia umum dan sudah berjalan bertahun-tahun. Jadi hal ini yang membuat saya sangat heran. Kejadian yang terus berulang dan ketakberdayaan aparat penegak hukum. Tentu masih hangat juga dalam ingatan kita saat Badan Narkotika hendak melakukan sidak dan razia di Lapas Malabero yang mendapat perlawanan dan sabotase penghuni lapas hingga dibakarnya beberapa ruangan di dalam lapas oleh penghuni lapas itu sendiri yang akhirnya memakan korban jiwa. Disusul perlawanan serupa yang terjadi di Lapas Curup. 
Pemerintah dan aparat penegak hukum seharusnya telah memiliki kajian mengenai karater, budaya / sosiologis masyarakat Bengkulu juga mengenai ekonomi, sumber daya alam dan kondisi masyarakat. Harusnya telah mengambil langkah-langkah preventif atas semua kondisi ini. Tokoh-tokoh dan pejabat di Bengkulu bukan sibuk dengan pencitraan diri demi kepentingan politik lima tahunan. Namun secara serius membahas langkah penanganan dan tindakan preventif jangka panjang. 
Saya setuju jika dikatakan Rejang Lebong tanahnya subur, penduduk sesungguhnya mampu mencukupi kebutuhannya dengan bertani dan berkebun. Namun ada kebiasaan yang semakin hari semakin buruk yang seolah terus dilestarikan, yang pada dasarnya menjadi salah satu akar permasalahan yang timbul dari tindak kejahatan, yakni kebiasaan minum tuak. Tuak, suatu minuman dari sari nira kelapa atau aren yang difermentasikan mampu membuat seseorang menjadi mabuk tidak dipungkiri banyak diproduksi dan dikonsumsi oleh warga. Kabupaten Seluma merupakan salah satu tempat produksi tuak terbesar di Bengkulu selain di sekitar wilayah Rejang Lebong.
Minuman yang memabukkan bisa menjadi akar dari segala tindak kejahatan, seperti halnya narkoba yang merusak generasi muda. Inilah yang perlu menjadi perhatian berbagai pihak, jika ingin menilai salah satu akar masalah yang timbul di Rejang Lebong. Saat ini proses hukum atas pelaku kejahatan pemerkosaan dan pembunuhan terhadap Yuyun sedang dilakukan.
 Menurut informasi pada hari Selasa (10/5) nanti Pengadilan Negeri Curup akan mengadakan sidang lanjutan setelah sidang pledoi dilakukan pada Rabu (4/5) kemarin. Sambil menunggu proses hukum yang sedang berjalan baiknya berdoa untuk almarhum Yuyun dan berharap vonis hakim nantinya memberikan hukuman yang setimpal kepada para pelaku sesuai aturan hukum dan rasa keadilan. #DoaUntukYuyun dan #HukumBeratPelaku. Selain itu saya juga berharap ini menjadi titik awal bagi perbaikan masalahsosialdiBengkulu.
·         Solidaritas untuk yuyun
Sejumlah aktivitas menggelar aksi damai di seberang Istana Negara sebagai bentuk solidaritas untuk Yuyun.
Di Jakarta, ratusan warga memnfaatkan  acara Hari Bebas Kendaraan Bermotor (HBKB) untuk menggelar aksi solidaritas untuk Yuyun di Bundaran Hotel Indonesia.
Dalam aksinya, mereka menggelar spanduk sepanjang 300 meter dan mengajak pengunjung tanda tangan mendukung penuntasan kasus Yuyun.
Inisiator aksi, Grace Natalie mengatakan, aksi ini sengaja dilakukan untuk mendesak aparat penegak hukum memberikan hukuman seberat- beratnya kepada para pelaku.
“kami ingin para pelaku mendapatkan hukuman seberat- beratnya. Tidak cukup hanya 15 tahun” kata Grace, minggu 8 mei 2016.
Grace menambahkan, kasus Yuyun merupakan masalah yang harus segera dibenahi. Tidak hanya oleh pemerintah tetapi juga oleh seluruh warga masyarakat. Sebab kekerasan dan pelecehan seksual terhadap kaum perempuan terus saja terjadi. 
Di Bengkulu, hujan gerimis tidak menyurutkan langkah ratusan warga Bengkulu menggelar do’a untuk Yuyun. Bertempat di kawasan Sport Center Pantai Panjang, mereka mengheningkan cipta, do’a bersama dan menyatakan sikap bahwa kasus ini harus jadi pelajaran bersama agar tidak ada lagi korban seperti Yuyun.
Koordinator aksi Muharram Efendi menyatakan semua pihak harus memantau proses ini dan memberikan dukungan moril, perlindungan serta pemulihan pada keluarga korban kekerasan seksual.
“yuyun hanya contoh kecil dari banyak kasus kekrasan seksual di Indonesia. Negara harus hadir melindungi generasi muda penerus bangsa,” ujar Effendi di Bengkulu.
Usai menyatakan sikap, para peserta aksi menggalang tandatangan dukungan mendesak pemrintah segera merevisi undang- undang nomor 35 tahun 2014 tentang perlindungan anak.
Saat ini, kasus kekerasan seksual juga terjadi di Kabupaten Lebak yang korbannya anak-anak dan pelajar. Bahkan, mereka pelaku kejahatan seksual itu seorang gurujugakepalasekolah.Ketua MPR Zulkifli Hasan menili tragedy yang menimpa Yuyun di Bengkulu dapat menjadi momentum untuk pengesahan RUU Perlidungan Anak dan Kejahatan Seksual menjadiUU.
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) akan segera melakukan langkah-langkah koordinatif dengan pihak keamanan untuk melindungi dan menjamin hak-hak keluarga YY, siswi korban pemerkosaan di Rejang Lebong, Bengkulu.
Wakil Ketua LPSK, Lili Pintauli Siregar mengatakan potensi ancaman yang diterima keluarga korban dianggap cukup besar lantaran banyaknya pelaku, belum lagi dengan desa tempat tinggal pelaku berdekatan dengan desa keluarga korban.
''LPSK akan segera berkoordinasi dengan aparat terkait untuk mengambil langkah nyata bagi keluarga korban. Semua ini untuk menjamin hak-hak keluarga korban tetap terpenuhi,'' ujarnya dalam keterangan resmi .
Ia melanjutkan, langkah-langkah itu berupa bantuan rehabilitasi psikologis terhadap orang tua korban. Tidak hanya itu, pendampingan itu pun akan disesuaikan dengan UU Perlindungan Saksi dan Korban. Pun dengan pemberian perlindungan darurat kepada keluarga korban, yang juga diatur dalam UU tersebut.
''Korban tindak pidana seksual terhadap anak merupakan korban yang diprioritaskan mendapat perlindungan, sesuai dengan amanat UU 41 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban,'' jelasnya.
Tidak hanya dilakukan oleh LPSK, Lili berharap, Pemerintah Daerah juga dapat memberikan bentuk perlindungan terhadap keluarga korban dan masyarakat Rejang Lebong secara luas. Peristiwa perkosaan keji itu tentu dapat menimbulkan rasa takut di masyarakat.
Terkait pemberitaan kasus perkosaan YY tersebut di media, Lili secara khusus meminta kepada awak media untuk turut berperan dalam perlindungan kepada korban. Hal ini seperti yang diatur dalam Kode Etik Jurnalistik, berupa penyamaran nama korban. Termasuk dengan penyamaran identitas orang tua dan keluarga korban serta sekolahkorban.
''Dengan menyamarkan identitas korban, para jurnalis sudah berperan dalam melindungi korban,'' ujarnya.
"Kekerasan, perkosaan dan akibat pornografi sebenarnya sudah akut, maka harus dimaksimalkan hukumannya agar menjerakan. Sanksi sosial dengan mepublikasikan pelaku bisa dipakai sebagai hukuman tambahan," ujar Menteri Khofifah
Tak hanya publikasi sebagai sanksi sosial. Khofifah juga menyinggung hukuman kebiri bisa diberikan agar menjadi contoh bagi masyarakat dan memberikan efek jera.

"Mepublikasikan pelaku bisa dipakai sebagai hukuman tambahan, termasuk kebiri," terangnya
YY diperkosa dan dibunuh empat belas orang pemuda yang tengah berpesta sembari meminum minuman keras jenis tuak. YY yang mengenakan seragam biru putih melintas di hadap kumpulan pemuda itu. Jenazah YY kemudian ditemukan di dalam jurang sedalam lima meter.
D. Faktor Penyebab Terjadinya Pelanggaran HAM
Mengapa pelanggaran hak asasi manusia sering terjadi di Indonesia, meskipun seperti telah dikemukakan di atas telah dijamin secara konstitusional dan telah dibentuknya lembaga penegakan hak asasi manusia. Apa bila dicermati secara seksama ternyata faktor penyebabnya kompleks. Faktor–faktor penyebabnya antara lain:
a.   masih belum adanya kesepahaman pada tataran konsep hak asasi manusia antara paham yang memandang HAM bersifat universal (universalisme) dan paham yang memandang setiap bangsa memiliki paham HAM tersendiri berbeda dengan bangsa yang lain terutama dalam pelaksanaannya (partikularisme);
b.   adanya pandangan HAM bersifat individulistik yang akan mengancam kepentingan umum (dikhotomi antara individualisme dan kolektivisme);
c.    kurang berfungsinya lembaga–lembaga penegak hukum (polisi, jaksa dan pengadilan); dan
d.   pemahaman belum merata tentang HAM baik dikalangan sipil maupun militer.
Disamping faktor-faktor penyebab pelanggaran hak asasi manusia tersebut di atas, menurut Effendy salah seorang pakar hukum, ada faktor lain yang esensial yaitu “kurang dan tipisnya rasa tanggungjawab”.
E. MENGHARGAI UPAYA PENEGAKAN HAK ASASI MANUSIA
Upaya penegakan HAM dapat dilakukan melalui jalur hukum dan politik. Maksudnya terhadap berbagai pelanggaran HAM maka upaya menindak para pelaku pelanggaran diselesaikan melalui Pengadilan HAM bagi pelanggaran HAM berat dan melalui KKR (Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi). Upaya penegakan HAM melalui jalur Pengadilan HAM, mengikuti ketentuan-ketentuan antara lain, sebagai berikut:
1.   Kewenangan memeriksan dan memutus perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat tersebut di atas oleh Pengadilan HAM tidak berlaku bagi pelaku yang berumur di bawah 18 tahun pada saat kejahatan dilakukan.
2. Terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang terjadi sebelum diundangkan UURI No.26 Tahun 2000, diperiksa dan diputus oleh Pengadilan HAM ad hoc. Pembentukan Pengadilan HAM ad hoc diusulkan oleh DPR berdasarkan pada dugaan telah terjadinya pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang dibatasi pada tempat dan waktu perbuatan tertentu (locus dan tempos delicti ) yang terjadi sebelum diundangkannya UURI No. 26 Tahun 2000.
3.   Agar pelaksanaan Pengadilan HAM bersifat jujur, maka pemeriksaan perkaranya dilakukan majelis hakim Pengadilan HAM yang berjumlah 5 orang. Lima orang tersebut, terdiri atas 2 orang hakim dari Pengadilan HAM yang bersangkutan dan 3 orang hakim ad hoc (diangkat di luar hakim karir).
 Beberapa contoh kegiatan yang dapat dimasukan menghargai upaya penegakan HAM, antara lain :
1.  Membantu dengan menjadi saksi dalam proses penegakan HAM;
2.  Mendukung para korban untuk memperoleh restitusi maupun kompensasi serta rehabilitasi;
3.  Tidak mengganggu jalannya persidangan HAM di Pengadilan HAM;
4.  Memberikan informasi kepada aparat penegak hukum dan lembaga–lembaga HAM bila terjadi pelanggaran HAM;
5.   Mendorong untuk dapat menerima cara rekonsiliasi melalui KKR kalau lewat jalan Peradilan HAM mengalami jalan buntu, demi menghapus dendam yang berkepanjangan yang dapat menghambat kehidupan yang damai dan harmonis dalam bermasyarakat.
                                                          
BAB III
PENUTUP
     A.    Kesimpulan
Dari makalah di atas dapat disimpulkan bahwa norma yang berlaku dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara tentunya kalian masih ingat bahwa hak asasi manusia (HAM) merupakan nilai dan norma yang sangat penting bagi kehidupan manusia di dunia ini. Dengan adanya perlindungan dan penegakan HAM, maka kehidupan manusia yang beradab dan sejahtera dapat diwujudkan.
      B.     Saran
                      Mengenai makalah yang telah dibuat yang berjudul tharah pada mata kuliah fiqih ibadah penulis telah dapat menyelesaikan pembuatan makalah ini, tetapi penulis menyadari bahwa masih banyak terdapat kesalahan dan kekurangan dala pembuatan makalah ini. Untuk itu diharapkan pembaca agar dapat meberikan masukan, kritik atau saran agar dapat lebih baik lagi.

DAFTAR PUSTAKA
http://www.kompasiana.com/beni_sumarlin/aku-semakin-heran-dengan kasusyuyun_572b12022323bdbb0a733f79
http://www.sekolahdasar.net/2009/11/teori-multipleHAM.html#ixzz3pqSi0yoQ

No comments:

Post a Comment