MAKALAH PEMBAHARUAN HUKUM KELUARGA ISLAM AFGHANISTAN
PEMBAHARUAN HUKUM KELUARGA ISLAM DI AFGHANISTAN
A.
Pendahuluan
Salah satu fenomena yang muncul di dunia Islam pada abad 20 adalah
upaya pembaruan hukum keluarga yang dilakukan oleh negaranegara yang
berpenduduk mayoritas muslim. Hal ini idlakukan sebagai respon terhadap
dinamikayang terjadi di tengah masyarakat. Setidaknya ada tiga hal yang menjadi
tujuan dilakukannya pembaruan hukum keluarga di dunia Islam, yaitu sebagai
upaya unifikasi hukum, mengangkat status perempuan, dan merespon perkembangan
dan tuntutan zaman karena konsep fiqh tradisional dianggap kurang mampu
memberikan solusi terhadap permasalahan yang ada.[1]
Pembaruan hukum keluarga yang dilakukan oleh berbagai negara
muslim, secara garis besar mencakup tiga aspek, yaitu perkawinan, perceraian dan
warisan. Dalam masalah perkawinan, salah satu bentuk pembaruan yang dilakukan
adalah pencatatan perkawinan. Hal ini dianggap penting karena ditujukan sebagai
upaya untuk mewujudkan ketertiban perkawinan dalam masyarakat, melindungi
kesucian perkawinan dan secara khusus ditujukan untuk melindungi perempuan
dalam kehidupan rumah tangga.
B.
Pembahasan
1.
Sekilas
tentang Afghanistan
Republik Afghanistan mengikuti mazhab Hanafi, Konstitusi
Pertama Afghanistan berlaku pada tahun 1923 dan yang kedua pada tahun 1931, keduanya
mengakui atas supremasi hukum Islam dalam pemerintahan Negara. Sebagian besar dari hukum ini diambil dari legislasi
paralel yang disebarluaskan di Imperium Ottoman, Mesir, dan Sudan. Pada 1930-an
sekelompok pakar hukum Afghan mempublikasikan sebuah hukum yang tidak resmi
yang diberi judul Tamassuk al-Qada (Judicial Compendium) dan didasarkan
prinsip-prinsip hukum Hanafi yang sudah diseleksi. Fatawa-i Alamgiri India[2] yang
dijadikan sandaran sebagai sebuah otoritas di
Afghanistan, dan Hukum Sipil Turki 1876 (Majallab) digunakan di negara ini sebagai sumber material mereka.
Selanjutnya pada tahun 50-an pada abad ini beberapa
pengundangan telah disetujui dan berlaku, termasuk Tijaratnamah 1954
(commersial code), Hukum Administrasi Keadilan 1956 dan Hukum Secara Sipil
1958.[3]
2.
Syariah
di Bawah Konstitusi
Konstitusi 1964 mendeklarasikan Islam sebagai
"Agama suci negara Afghanistan" dan mazhab Hanafi sebagai
mazhab dalam pelaksanaan ibadah. Hal ini menggambarkan bahwa raja (diharuskan
memegang mazhab Hanafi) sebagai "pelindung dari prinsip-prinsip dasar agama suci Islam". Satu
bagian dari Parlemen (syura) di didalam Konstitusinya menyatakan bahwa tidak
akan memberlakukan hukum manapun "yang bertentangan dengan prinsip-prinsip
dari agama suci Islam dan bahwa Jurisprudensi Hanafi yang merupakan bagian dari
Syari'at Islam" akan menjadi hukum dari segala hal yang ditentukan dalam
Konstitusi atau pemberlakuan legislasi.
Pada tahun 1973 ketika
negara menjadi Republik, Keputusan Republik pada tahun ini tidak mengubah
status konstitusional Islam dan hukumnya.[4]
3.
Hukum
Perkawinan 1971
Pada tahun 1350 H/1971
M sebuah Hukum Perkawinan Qanun-i Izdiwajdiberlakukan di Afghanisan.
Pembentukan ini didasarkan pada Hukum Keluarga Mesir tahun 1929 dan memiliki
ketentuan-ketentuan yang sesuai dengan Hukum Petkawinan Muslim yang berlaku
pada tahun 1939 di seluruh India, dan dengan pemberlakuun secara menyeluruh
hukum Maliki mengenai hak wanita untuk mengajukan cerai di pengadilan.
Ketentuan-ketentuan ringkas dari hukum inimengamandemen praktek-praktek yang berlaku secara lokal yang
berkenaan dengan perkawinan dan perceraian.
Di antara
keputusan-keputusan Legislasi awal yang disebarluaskan oleh Majelis
Revolusi adalah sebagai berikut :
(a) Keputusan tentang Pelarangan Riba tertanggal 12 Juni 1978, dan
(b) Keputusan Hak-hak Wanita tertanggal 17 Oktober 1978.
Keputusan tentang
Hak-hak Wanita tahun 1978 mengamandemen ketentuan-ketentuan tertentu dari
Hukum Perkawinan tahun 1971 dm menjamin hak-hak hukum yang lebih baik bagi wanita Muslim.
Ketentuan-ketentuan ini menrrut laporan diambil dari hukum-hukum yang
diberlakukan di beberapa negara Arab dan Iran.
4.
Reformasi
Hukum Keluarga
a. Mahar
Dalam hukum Hanafi, jumlah mahar minimum.ditetapkan
sekitar satu dinar (atau 10 dirham). Hukum Sipil 1977 di antaranya berisi tentang
ketentuan-ketentuan rinci mengenai mahar. Ketentuan-ketentuan dalam hukum
ini didasarkan pada hukum Hanafi, termasuk pembicaraan masalah mahar yang
berlebihan dan mahar yang tidak diterima. Hukum ini menentukan bagi isteri
untuk menerima mahar tertentu (mahr al-Musamma) dan jika tidak ada mahar yang
ditentukan dalam kontrak perkawinan, atau hal ini secara khusus dihalangi, maka
sang isteri berhak mendapatkan mahar mitsil[5] Mahar
adakalanya dibayar segera dan ada kalanya ditunda (Mu’ajjal), yang
dibayar kemudian. Jika kontrak perkawinan bersifat diam-diam tentang jurnlah
mahar atau metode pembayarannya, ditentukan sesuai dengan adat kebiasaan yang
sudah populer.[6]
b. Perkawinan Anak
Nizamnama 1927 dan
Hukum Sipil 1977 menghapus perkawinan anak, hukum-hukum mengenai perkawinan
tahun 1960 dan 1971 mengadopsi perundang-undangan untuk
membatasi praktik perkawinan anak
Hukum Sipil 1977
menetapkan bahwa "kompetensi untuk menikah adalah ketika sudah mencapai
urnur 18 untuk laki laki dan 17 untuk wanita"[7] Wanita
yang belum mencapai umur ini hanya dapat dinikahkan oleh ayahnya atau oleh
qadi, perkawinan tidak diperkenankan bagi gadis di bawah umur 17 tahun
bagaimanapun keadaannya.[8] Wanita
dewasa dan berkompeten dimungkinkan menikah tanpa ijin wali.[9]
Perlakuan
Undang-undang mengenai perkawinan anak tampak bahwa pakar hukum Afganistan
mengikuti dua tujuan dalam masalah ini yaitu pembatasan dan pelanggaran secara
tidak langsung. Undang-undang juga menentukan pembatasan-pembatasan terhadap
praktik-pratik perkawinan anak saat menguatkan legalitas perkawinan anak, atau
mencoba menghapus praktek perkawinan anak dengan mengundangkan hukum mengenai
ketentuan usia perkawinan. Ketika Nizamnama 1921 Hukum Sipil 1977 menghapus
perkawinan anak, hukum-hkum mengenai perkawinan tahun 1960 dan 1971 mengadopsi
perundang-udangan untuk membatasi praktik perkawinan anak.
Tidak ada ketentuan jumlah umur layak nikah dalam Syariah. Merupakan
prinsip umum kedewasaan untuk menikah ditenggarai dengan adanya masa puberitas
secara fisik. Hukum sipil 1977 menetpakan bahwa “konfensasi” untuk menikah
adalah ketik sudah mencapai umur 18 tahun untuk laki-laki dan 17 tahun untuk
wanita. Wanita yang belum mencapai umur ini hanya dapat dinikahkan oleh ayahnya
atau oleh Qhadi, perkawinan tidak diperkenankan bagi gadis dibawah umur 17
tahun bagaimana pun keadaanya. Wanita dewasa dan berkompeten dimungkinkan
menikah tanpa izin wali. Sebagai konsekuensi dari legislasi ini, perkawinan anak
secara efektif dapat terhapus dan kekuasaan wali memaksa wanita hanya berlaku
dengan memperhatikan kondisi gadi-gadi antara umur 15 dan 16 tahun, walupun
begitu hal ini pun masih bergantung kepada izin dari pengadilan.
Pada tahun 1978 Majelis Revolusuiner menerbitkan sebuah keputusan nomor 7
mengenai perkawinan anak. Di bawah keputusan ini, ketentuan perkawinan gadis di
bawah umur 16 tahun dan pemuda di bawah 18 tahun adalah terlarang, dan
pelanggaran dapat dikenakan hukuman penjara antara 6 bulan sampai 3 tahun.
Perlakuan Undang-undang mengenai perkawinan anak
tampak bahwa pakar hukum Afganistan mengikuti dua tujuan dalam masalah ini
yaitu pembatasan dan pelanggaran secara tidak langsung. Undang-undang juga
menentukan pembatasan-pembatasan terhadap praktik-praktik perkawinan anak saat
menguatkan legalitas perkawinan anak, atau mencoba menghapus praktek perkawinan
anak dengan mengundangkan hukum mengenai ketentuan usia perkawinan. Ketika
Nizamnama 1921 Hukum Sipil 1977 menghapus perkawinan anak, hukum-hukum mengenai
perkawinan tahun 1960 dan 1971 mengadopsi perundang-udangan untuk membatasi
praktik perkawinan anak.
Tidak ada ketentuan jumlah umur layak nikah dalam
Syariah. Merupakan prinsip umum kedewasaan untuk menikah ditenggarai dengan
adanya masa pubertas secara fisik. Hukum sipil 1977 menetpakan bahwa
“konfensasi” untuk menikah adalah ketika sudah mencapai umur 18 tahun untuk
laki-laki dan 17 tahun untuk wanita. Wanita yang belum mencapai umur ini hanya
dapat dinikahkan oleh ayahnya atau oleh Qhadi, perkawinan tidak diperkenankan
bagi gadis dibawah umur 17 tahun bagaimana pun keadaannya. Wanita dewasa dan
berkompeten dimungkinkan menikah tanpa izin wali. Sebagai konsekuensi dari
legislasi ini, perkawinan anak secara efektif dapat terhapus dan kekuasaan wali
memaksa wanita hanya berlaku dengan memperhatikan kondisi gadis-gadis antara
umur 15 dan 16 tahun, walaupun begitu hal ini pun masih bergantung kepada izin
dari pengadilan.
Pada tahun 1978 Majelis Revolusioner menerbitkan
sebuah keputusan nomor 7 mengenai perkawinan anak. Di bawah keputusan ini,
ketentuan perkawinan gadis di bawah umur 16 tahun dan pemuda di bawah 18 tahun
adalah terlarang, dan pelanggaran dapat dikenakan hukuman penjara antara 6
bulan sampai 3 tahun.[10]
c. Poligami
Menurut UU Tahun 1971 dan Hukum Sipil
1977, poligami hanya dizinkan apabila bertujuan menghindari bahaya yang lebih besar (dharar). Pertimbangan
kemampuan finansial suami dan karakter pribadinya menjadi sarat minimal bagi, ijin pengadilan. Di
samping itu, ada alasan hukum untuk poligami.
d. Perceraian
Sampai awal berlakunya
Hukum Sipil 1977, perceraian di Afghanistan dikendalikan oleh hukum
Hanafi.
Reformasi hukum
keluarga di negara Timur Tengah di samping menaikkan hak-hak wania untuk
mendapatkan dispensasi dari pengadilan, juga memasukkan pengawasan dari
pengadilan terhadap penggunaan yang tepat dari hak talak suami. Sayang, Hukum
Sipil Afghan tidak mengambil langkah-langkah yang signifikan tersebut.
e.
Pencatatan
Perkawinan
Reformasi
hukum keluarga, khususnya perkawinan di Afghanistan baru dimulai pada tahun
1971 yaitu dengan ditetapkannya Qanun-i Idzwaj sebagai hukum yang mengatur
masalah perkawinan. Proses pembentukan hukum ini tidak terlepas dari pengaruh
hukum keluarga di Mesir tahun 1929. Selain itu, ketentuan-ketentuan yang diatur
dalam hukum perkawinan ini juga memiliki kesesuaian dengan hukum perkawinan
muslim yang berlaku pada tahun 1939 di India. Sejalan dengan itu, hukum Maliki
mengenai hak wanita untuk mengajukan cerai juga diberlakukan secara menyeluruh.
Namun, beberapa ketentuan dari hukum ini kemudian diamandemen oleh Keputusan
tentang Hak-hak Wanita Tahun 1978.[11]
Salah
satu materi reformasi hukum perkawinan yang dilakukan di Afghanistan adalah
kewajiban pencatatan perkawinan. Walaupun materi ini merupakan salah satu
ketentuan khusus dari hukum keluarga yang berlaku di Afghanistan, namun tidak
terlihat adanya aturan ataupun penjelasan secara detail mengenai prosedur dan
akibat hukum dari pencatatan suatu perkawinan. Hal ini mengindikasikan bahwa
penerapannya hanya sebagai syarat administratif saja yang ditujukan untuk
melindungi hak-hak perempuan.[12]
C.
Penutup
Perkawinan merupakan suatu peristiwa yang sangat
penting dalam kehidupan manusia. Dasar-dasar perkawinan dibentuk oleh
unsur-unsur alami dari kehidupan manusia itu sendiri yang meliputi kebutuhan
dan fungsi bologis, melahirkan keturunan, kebutuhan akan kasih sayang,
persaudaraan, memelihara anak-anak tersebut menjadi anggota masyarakat yang
sempurna.
Tujuan pembaharuan hukum keluarga berbeda antara satu
Negara dengan Negara lain, yang secara umum dapat dikelompokkan menjadi tiga
kelompok. Pertama, Negara yang bertujuan untuk unifikasi hukum keluarga. Kedua,
untuk pengangkatan status perempuan dan ketiga, adalah untuk merespon
perkembangan dan tuntutan zaman karena konsep fiqih tradisional dianggap kurang
mampu menjawabnya.
Di Negara Muslim atau mayoritas Muslim pembaharuan
hukum Islam terus berkembang, hal itu disebabkan begitu kompleksnya problem
yang muncul. Sementara Al-Quran dan hadist juga pendapat Imam Mazhab tidak
secara eksplisit menjelaskannya, termasuk masalah batasan usia perkawinan.
DAFTAR
PUSTAKA
Atho, Mudzhar
dan Khairuddin Nasution (ed.), Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern, Studi Perbandingan
UU Modern dari Kitab-kitab Fikih, (Jakarta : Ciputat Press, 2003).
Johannes
den Heijer (editor), Islam, Negara, dan Hukum, (Jakarta: INIS, 1993).
Mughniyyah,
Muhammad Jawad, al Ahwal al
Syakhsiyyah, (Beirut : Dar al 'Ilmi lil Malayain, tt).
Tahir
Mahmood, Personal Law in Islamic Countries, (New
Delhi: Academy of Law and
Religion, 1987).
No comments:
Post a Comment