1

loading...

Friday, November 9, 2018

MAKALAH KAIDAH SASTRA

MAKALAH KAIDAH SASTRA

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Sastra merupakan salah  satu  hasil dari cipta, rasa dan  karsa manusia. Sastra adalah suatu kegiatan kreatif, sebuah karya seni. Keberadaan sastra dalam kehidupan manusia telah menyedot perhatian dari para penikmat seni. Sebagai salah satu seni, sastra memiliki konsep dasar yang menjadikan sastra berbeda dengan seni lainnya. Ada empat konsep yang akan dibahas, yaitu: (1) kaidah sastra; (2) ciri-ciri sastra; (3) wilayah studi sastra; dan (4) wilayah kesusastraan.
Salah satu dari konsep sastra yang cukup menarik untuk dibahas adalah kaidah sastra. Kaidah-kaidah sastra menarik untuk dikaji karena perkembangan sastra saat ini semakin pesat, sehingga berpengaruh pula pada munculnya berbagai genre sastra dengan aliran-aliran sastra baru yang terkadang berbenturan dengan kaidah sastra. Oleh karena itu kaidah-kaidah sastra perlu dikaji agar karya sastra yang dihasilkan tetap bernilai estetik walaupun dengan berkembangnya zaman dan ilmu pengetahuan saat ini. Hal ini yang menarik bagi kami untuk melakukan pengkajian dan memaparkan masalah tentang kaidah-kaidah sastra dalam makalah ini.

B.    Rumusan Masalah
1.     Apa Pengertian Sastra?
2.     Bagaimana Bahan Baku Teks Sastra ?
3.     Bagaimana Karakteristik Sastra?
4.     Bagaimana Kaidah Sastra?
5.     Bagaimana Ciri-Ciri Sastra?
6.     Bagaimana Wilayah Studi Sastra?



C.    Rumusan Masalah
1.     Mengetahui Pengertian Sastra.
2.     Mengetahui Bahan Baku Teks Sastra .
3.     Mengetahui Karakteristik Sastra.
4.     Mengetahui Kaidah Sastra.
5.     Mengetahui Ciri-Ciri Sastra.
6.     Mengetahui Wilayah Studi Sastra.



BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Sastra
Pengertiansastra, tidak hanya satu tetapi berkembangmenurut sejarah kata dan bidang kebudayaan. Menurut sejarah kata, sastra berasal dari kata castra berarti tulisan. Dari makna asalnya dahulu, sastra meliputi segala bentuk dan macam tulisan yang ditulis oleh manusia, seperti catatan ilmu pengetahuan, kitab-kitab suci, surat-surat, undang-undang dan sebagainya
Sastra berasal dari bahasa sansekerta assastra yang memiliki makna teks yang mengandung instruksi atau pedoman. Asastra memilikikata dasar yang bermakna instruksi atau ajaran. Sejalan dengan pengertian diatas, bahwa sastra dapat pula merujuk kepada semua jenis tulisan, apakah tulisan itu indah atau tidak. Sastra dalam artian khusus dalam konteks kebudayaan adalah ekspresi gagasan dan perasaan manusia. Jadi pengertian sastra sebagai hasil budayadapat diartikan sebagai bentuk upaya manusia untuk mengungkapkan gagasannya melalui bahasa yang lahir dari perasaan dan fikirannya.
Sastra adalah lembaga sosial yang menggunakan bahasa sebagai medium: bahasa itu sendiri merupakan ciptaan sosial. Sastra menampilkan gambaran kehidupan; dan kehidupan itu sendiri adalah suatu kenyataan sosial. Dalam pengertian ini, kehidupan mencakup hubungan antarmasarakat, antaraperistiwa yang terjadi dalam batin seseorang. Bagaimana pun juga, peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam batin seseorang, yang sering menjadi bahan sastra, adalah pantulan hubungan seseorang dengan orang lain atau dengan masyarakat
Sastra adalah pengungkapan realitas kehidupan masyarakat secara imajiner atau secara fiksi. Senada dengan apa yang diungkapkan oleh George Lukas ( Taum dalam wikipedia 2009) bahwa sastra merupakan sebuah cermin yang memberikan kepada kita sebuah refleksi realitas yang lebih besar, lebih lengkap, lebih hidup, dan lebih dinamik. Sampai sekarang memang belum ada kesepakatan baku secra universal tentang pengertian sastra karena sifat sastra yang dinamis yang terus berkembang. Namun, ciri-ciri esensial yang telah dikemukakan di atas dapat digunakan sebagai acuan untuk membuat definisi tentang sastra.

B.    Bahan Baku Teks Sastra
Jika seseorang setuju dengan pandangan I.A, Richards, yang disusun pada awal 1929, bahwa “…seni merupakan bentuk tertinggi dari aktivitas yang komunikatif” (Richards, 1929:16), maka studi terhadap seni dapat digambarkan sebagai suatu hal yang berkaitan erat dengan semiotik dan teori informasi. Studi sastra yang berorientasi pada teori informasi dan semiotik menganggap teks sastra terdiri atas seperangkat tanda yang merupakan bagian dari proses komunikasi antara teks dan pembaca apabila teks dibaca oleh pembaca. Teks sastra dilihat sebagai suatu pesan yang dicerna (decoded) oleh pembaca (receiver) dan dikirim (encoded) oleh pengirim (sender). Alasan ini merupakan starting-point bagi kebanyakan teori  semiotik dalam sastra dan komunikasi.
Dalam kaitan ini perlu diingat bahwa pengadaptasian konsep teori-teori informasi dan semiotik bagi studi teks komunikasi sastra terdapat pula bahaya penerapan yang percuma dan pengadaptasian yang tidak mencapai sasaran (van Dijk, 1971:81); dipihak lain, hipotesis yang sesuai harus disusun untuk mengkhususkan konsep-konsep yang diimpor. Jika tidak, seperti dinyatakan oleh Weinold (1972a;14): (“…diantara perlengkapan modern ketidak jelasan yang lama itu tetap ada”). Lagi pula, seseorang dapat bertanya pada diri sendiri, misalnya seperti yang dilakukan oleh Richards (1960:242-244), apakah konsep-konsep semiotik dan teori informasi benar-benar merupakan bantuan yang besar bagi linguistik, studi media komunikasi sastra. Pertanyaan yang senada akhir-akhir ini telah diungkap oleh Hein Leferink (1976). Penjelasan berikut ini diharapkan dapat memberikan jawabannya.
Dalam lima belas tahun terakhir, strukturalisasi rusia menjadi kuat dibandingkan dengan aliran-aliran lain, dalam hal penerapan teori informasi dan semiotik bagi studi sastra. Buku Lotman, die Struktur Literarischer Texte, merupakan wakil teori-teori strukturalisme kontemporer rusia sepanjang berkenaan dengan teks sastra. Lotman memandang seni sebagai suatu cara komunikasi yang spesifik, sebagai suatu “bahasa” yang disusun dengan cara yang aneh. Ia memberi istilah “bahasa” (kode) sebagai suatu arti yang sangat luas, yang umumnya dalam semiotik disebut: suatu sistem yang diatur, yang berperan sebagai sarana komunikasi, dan yang memakai tanda-tanda.
Lotman menunjukan bahwa terdapat bermacam-macam bentuk komunikasi yang hanya dapat ditransmisi dengan sarana bahasa yang diorganisasikan secara khusus. Sebagai contoh tidak hanya aljabar dan kimia yang memiliki bahasa tersendiri, tetapi juga seni: seni serupa dengan suatu generator bahasa yang terorganisasi dengan baik. Tujuan umum buku Lotman, yaitu memberi penjelasan tentang “bahasa seni” dan hubungan antara bahasa dengan teks-teks. 
Teori dasar Lotman memiliki implikasi bahwa seni adalah suatu jenis bahasa sekunder dan oleh karena itu karya seni adalah teks dalam bahasa ini. Jika suatu karya seni memberi tahu kepada penikmat (penerima) tentang sesuatu (proses komunikasi), maka suatu perbedaan harus dibuat antara ‘pesan’ disatu pihak dan ‘bahasa’ di lain pihak.
Roman Jakobson adalah salah seorang dari teoretikus yang pertama-tama berusaha menjelaskan proses komunikasi teks sastra. Dalam artikelnya yang terkenal Linguistics and Poetics, Jakobson menerangkan bahwa ada enam fungsi bahasa yang berbeda, yang merupakan faktor-faktor pembentuk dalam setiap jenis komunikasi verbal. “ADDRESSER ‘PENGIRIM’ mengirimkan suatu MESSAGE ‘PESAN’ kepada seorang ADDRESSEE ‘YANG DIKIRIMI’. Agar operatif, pesan tersebut memerlukan CONTEXT ‘KONTEKS’ yang menunjuk pada (…), sehingga dipahami oleh yang dikirimi dan dapat diverbalisasikan; suatu CODE ’KODE’ secara penuh atau paling tidak sebagian, umum bagi pengirim dan yang dikirimi (atau dengan kata lain bagi pembuat kode dan pengarti kode); dan akhirnya, suatu CONTACT ‘KONTAK’, suatu saluran fisik dan hubungan psikologis antara pengirim dan yang dikirimi, memungkinkan keduanya mamasuki dan berada dalam komunikasi (Jakobson)
CONTEXT
MESSAGE
ADDRESSER-----------------------------------ADDRESEE
CONTACT
CODE

     Model tersebut memungkinkan Jakobson untuk melanjutkan konsepnya tentang fungsi puitik. Fungsi puitik bertumpu pada orientasi spesifik pembaca kearah pesan, yang dirangsang oleh kualitas-kualitas tertentu pesan itu. Oleh Jakobson, fungsi puitik sering didefinisikan: “seperangkat            Model tersebut memungkinkan Jakobson untuk melanjutkan konsepnya tentang fungsi puitik. Fungsi puitik bertumpu pada orientasi spesifik pembaca kearah pesan, yang dirangsang oleh kualitas-kualitas tertentu pesan itu. Oleh Jakobson, fungsi puitik sering didefinisikan: “seperangkat yang mengarah kepada pesan secara terpusat, pada pesan itu sendiri, merupakan fungsi puitik bahasa” (Jakobson, 1960:356). Dengan demikian, fungsi puitik dapat dijumpai dalam semua proses komunikasi verbal, apabila perhatian hanya diarahkan pada pesan itu sendiri. Sesungguhnya Jakobson telah menunjukan pada tahun 1935 bahwa fungsi puitik atau estetik tidak terbatas pada teks sastra khususnya dan karya seni umumnya, tetapi muncul juga dalam artikel surat kabar, ceramah, dan sebagainya (Jakobson, 1935).
Berdasarkan atas skema Jakobson, dalam artikelnya Die Wirklichkeit der Fiktion, Wolfgang Iser mengajukan beberapa saran yang mungkin mendukung testabilitas studi komunikasi sastra. Dia melihat fiksi tidak hanya sebagai satu entitas (kesatuan) sendiri, tetapi juga sebagai suatu struktur komunikasional. Fokus tidak lagi pada arti sastra tetapi seperti apa pengaruhnya, hal ini mengimplikasikan bahwa perhatian besar harus  pada dimensi pragmatik sebuah teks. Iser membatasi “pragmatik dalam pengertian morris sebagai sebuah studi terhadap hubungan tanda-tanda tekstual dengan interpreter”. Suatu model komunikasi merupakan konstruksi teoritis, yang bertujuan untuk memvisualisasikan dan memberikan proses pemindahan informasi.
Andaikan seorang pengarang menulis naskah teater dan pembaca membacanya, pengarang dan pembaca adalah dua kutub proses komunikasi yang sedang berperan. Sejauh yang dipermasalahkan adalah pengarang, Encoding internal bagi suatu teks terjadi dengan proses berpikir dan perlambangan. Dari sudut pandang teori informasi, sebuah teks sastra dapat dipandang sebagai seperangkat tanda yang ditransimisikan melalui suatu saluran kepada pembaca. Dalam proses pembacaan suatu naskah, saluran komunikasi terdiri atas materi kertas dengan ketikan-ketikannya. Kode yang dipilih pengarang dan diketahui atau sebagian diketahui oleh pembaca memungkinkan pembaca untuk men-decode tanda-tanda tekstual dan mengaitkan makna dengan materi teks.
Perbedaan antara  saluran dan kode, adalah; saluran memungkinkan pembaca membaca teks sastra, sedangkan kode memungkinkan pembaca untuk menafsirkan teks sastra. Diagram Jakobson tidak hanya dapat diterapkan pada proses komunikasi sastra, prinsipnya model tersebut dapat diterapkan pada setiap bentuk komunikasi estetis (film, musik, lukisan, dan sebagainya) (Segers)

C.    Karakteristik Sastra
Sastra memiliki kemampuan untuk membawa masyarakat ke arah perubahan, baik dalam segi budaya maupun sosial. Pada masa perang kemerdekaan, karya sastra menjadi salah satu media yang menjadi sumber spirit kebangkitan suatu bangsa, spirit cinta tanah air, dan sumber semangat patriotik untuk melawan sagala bentuk penjajahan. Selain itu, karya sastra dapat menjadi sumber inspirasi dan pendorong kekuatan moral bagi proses perubahan sosial-budaya dari kondisi yang terpuruk menuju kearah yang lebih baik yaitu mandiri dan merdeka.
Karya sastra yang bagus tidak hanya menampilkan dan memancarkan pesona estetik (keindahan), tapi juga harus mampu memberikan pencerahan batin dan intelektual kepada pembacanya atau mampu menciptakan opini publik. Jika suatu opini publik ini meluas dan menguat, maka dari situlah proses perubahan sosial-budaya dimulai dapat digerakan.
Jadi, ada semacam keyakinan bahwa karya sastra merupakan sumber nilai yang memiliki kekuatan pencerahan sekaligus sumber inspirasi bagi proses prubahan sosial budaya. Karya sastra tidak hanya berupa refleksi dari kehidupan masyarakat tetapi karya sastra harus mampu merubah suatu bangsa dengan pemikiran-pemikiran yang disampaikan didalamnya oleh sastrawan. Oleh karena itu, pendidikan tentang pemahaman sastra harus sudah diajarkan sejak dini, menggunakan format-format pengajaran yang kreatif, menarik untuk memberikan kesan yang mendalam tentang sastra sehingga melahirkan bangsa-bangsa pemikir.
Pengajaran sastra Indonesia di berbagai jenjang pendidikan selama ini sering dianggap kurang penting dan dianaktirikan oleh para guru, apalagi pada guru yang memiliki pengetahuan dan apresiasi sastra rendah. Selama ini, meski polemik, seminar dan lokakarya telah digelar bertahun-tahun untuk menyelesaikannya, namun pengajaran sastra hanya membahas unsur intrinsik dan ekstrisik secara awam.
Sastra dianggap sebagai sesuatu yang lahir dari kekosongan budaya dan otonom, sehingga dianggap tidak ada intertekstualitasnya dengan teks-teks lain. Hal ini menyebabkan mata pelajaran yang seharusnya menarik dan besar sekali manfaatnya bagi para siswa ini disajikan hanya sekedar memenuhi tuntutan kurikulum, kering, kurang hidup, dan cenderung kurang mendapat tempat di hati siswa. Padahal, bila kita kaji secara mendalam, tujuan pengajaran sastra Indonesia di sekolah dimaksudkan untuk menumbuhkan keterampilan, rasa cinta, dan penghargaan para siswa terhadap sastra Indonesia sebagai bagian dari budaya warisan leluhur. Dengan demikian, tugas guru bahasa dan sastra Indonesia tidak hanya memberi pengetahuan (aspek kognitif), tetapi juga keterampilan (aspek psikomotorik) dan menanamkan rasa cinta (aspek afektif), baik melalui kegiatan di dalam kelas ataupun di luar kelas.
Dalam proses pembelajaran seorang guru dituntut untuk aktif, kreatif, inovatif dan menciptakan strategi jitu. Guru juga dituntut mengembangkan kompetensinya sehingga mampu mencitakan pembelajaran yang berkualitas dari segi isi (materi) maupun kemasannya. Dalam konteks pembelajaran sastra, tentu saja guru dituntut mampu menciptakan suasana pembelajaran yang aktif, kreatif dan menyenangkan, serta tidak ketinggalan jaman. Namun sayangnya, guru dihadapkan pada seperangkat silabus dan standar kompetensi lulusan tertentu yang telah ‘dipatenkan’ secara nasional yang berkiblat pada dogma yang dianggap sangat sakral berupa seperangkat kurikulum. Inilah kunci pokok permasalahanya. Silabus dan Standar Kelulusan inilah yang menghegemoni kreatifitas guru sastra. Sehingga dengan sendirinya pembelajaran sastra di sekolah kian terpingginggirkan.
Seorang guru sastra yang baik harus mampu mengubah aturan-aturan fundamental yang dikeluarkan oleh Dinas Pendidikan, mereka itu bukanlah dewa. Mereka tidak tahu kenyataan yang terjadi ditempat eksekusi. Sesungguhnya yang mengerti keadaan sesungguhnya dari siswa di sekolah adalah guru. Jadi guru sastra lah yang harus membawa anak didiknya untuk memahami kaidah sastra dengan berbagai strategi pengajaran sastra. Dalam proses pembelajaran apresiasi sastra dengan sistem KBK para pengajar dan siswa harus masuk ke dalamnya. Pengajar tidak perlu merasa hebat dan superior serta siswa tidak perlu dianggap peserta didik yang serba tidak tahu. Kedua belah pihak sama-sama menjadi subyek, keduanya boleh sama-sama menjadi mitra dalam konteks memahami, menghayati, dan menghargai karya sastra. Pengajaran sastra sekarang harus tertuju kepada realitas yang ada.
Pengajaran sastra tidak harus terus-menerus terpaku kepada materi sastra yang itu-itu saja karena ruang lingkup sastra itu sebenarnya luas. Jangan hanya kita berhenti kepada karya-karya sastra yang telah diterbitkan di dalam buku-buku pelajaran sastra. Sesungguhnya kesusastraan itu hidup dan terus bertumbuh-kembang setiap waktu. Karya sastra akan terus bermunculan dan lahir melalui pena para pengarang dari generasi ke generasi. Ratusan penyair baru, sastrawan muda, pengarang remaja, para penggerak seni budaya dan teater yang terus hidup dan tumbuh bertebaran di seluruh pelosok tanah air. Karya-karya mereka baik berupa cerpen, puisi, novel, maupun karya-karya drama telah diakui dan menjadi benih di ladang budaya negeri ini.
Belajar sastra dapat dilaksanakan dalam suasana riang dan ringan, serta penuh kebebasan berekspresi, tidak harus membuat dahi berkerut dan berkeringat serta seserius belajar eksakta. Inilah sebetulnya hal yang esensi dari pengajaran sastra. Kalau siswa sudah mulai tertarik, senang, gembira dan merasa enjoy, mudah bagi kita untuk membawa masuk lebih dalam kepada proses pembelajaran.
Kalau yang menjadi masalah kekurangmampuan kita sebagai pengajar dalam mengapresiasi karya sastra sehingga minder untuk memberi contoh dan membawa siswa kepada proses pembelajaran, kenapa tidak kita gunakan mediator? Kita dapat menghadirkan sastrawan, penyair, pengarang, untuk berinteraksi dan melakukan proses pembelajaran sastra. Mereka bisa bercerita bagaimana pengalamannya menjadi pengarang, menjadi penulis, penyair, atau mengisahkan bagaimana proses kreatif terjadi sehingga muncul karya sastra seperti yang ditulisnya. Kita dapat saling menjalin kerjasama dengan kantong-kantong kebudayaan, komunitas seni budaya, pengarang, dan kelompok-kelompok teater serta dewan kesenian di daerah. Mereka biasanya memiliki SDM yang baik dan mampu mengkomunikasikan karya sastra untuk kita ajak bekerjasama menyampaikan pengajaran apresiasi sastra.
Tetapi kalau kita beranggapan mampu mengajarkan sastra, kenapa tidak? Butuh keberanian untuk memulai langkah penggerakan sastra di sekolah. Hal pertama yang akan saya lakukan apabila menjadi seorang guru sastra di sekolah adalah mendekatkan diri dengan sastra. Hal kedua adalah mendekatkan diri dengan siswa. Dan yang ketiga adalah mendekatkan siswa dengan sastra.


Dalam kehidupan masayarakat sastra mempunyai beberapa fungsi yaitu :
  1. Fungsi rekreatif, yaitu sastra dapat memberikan hiburan yang menyenangkan bagi penikmat atau pembacanya.
  2. Fungsi didaktif, yaitu sastra mampu mengarahkan atau mendidik pembacanya karena nilai-nilai kebenaran dan kebaikan yang terkandung didalamnya.
  3. Fungsi estetis, yaitu sastra mampu memberikan keindahan bagi penikmat/pembacanya karena sifat keindahannya.
  4. Fungsi moralitas, yaitu sastra mampu memberikan pengetahuan kepada pembaca/peminatnya sehingga tahu moral yang baik dan buruk, karena sastra yang baik selalu mengandung moral yang tinggi.
  5. Fungsi religius, yaitu sastra pun menghasilkan karya-karya yang mengandung ajaran agama yang dapat diteladani para penikmat/pembaca sastra.
Jenis Bahasa Sastra
1.     Dilihat dari bentuknya, sastra terdiri atas 4 bentuk, yaitu :
a.      Prosa, bentuk sastra yang diuraikan menggunakan bahasa bebas dan panjang tidak terikat oleh aturan-aturan seperti dalam puisi.
b.     Puisi, bentuk sastra yang diuraikan dengan menggunakan bahasa yang singkat dan padat serta indah. Untuk puisi lama, selalu terikat oleh kaidah atau aturan tertentu. Yaitu :
1)     Jumlah baris tiap-tiap baitnya,
2)     Jumlah suku kata atau kata dalam tiap-tiap kalimat atau barisnya,
3)     Irama, dan
4)     Persamaan bunyi kata.
c.      Prosa liris, bentuk sastra yang disajikan seperti bentuk puisi namun menggunakan bahasa yang bebas terurai seperti pada prosa.
d.     Drama, yaitu bentuk sastra yang dilukiskan dengan menggunakan bahasa yang bebas dan panjang, serta disajikan menggunakan dialog atau monolog. Drama ada dua pengertian, yaitu drama dalam bentuk naskah dan drama yang dipentaskan.
2.     Dilihat dari isinya, sastra terdiri atas 4 macam, yaitu :
a.      Epik, karangan yang melukiskan sesuatu secara obyektif tanpa mengikutkan pikiran dan perasaan pribadi pengarang.
b.     Lirik, karangan yang berisi curahan perasaan pengarang secara subyektif.
c.      Didaktif, karya sastra yang isinya mendidik penikmat/pembaca tentang masalah moral, tatakrama, masalah agama, dll.
d.     Dramatik, karya sastra yang isinya melukiskan sesuatu kejadian(baik atau buruk) denan pelukisan yang berlebih-lebihan.

D.    Kaidah Sastra
      Kaidah sastra atau daya tarik sastra terdapat pada unsur-unsur karya sastra tersebut. Pada karya cerita fiksi, daya tariknya terletak pada unsur ceritanya yakni cerita atau kisah dari tokoh-tokoh yang diceritakan sepanjang cerita yang dimaksud. Selain itu, faktor bahasa juga memegang peranan penting dalam menciptakan daya pikat. Kemudian gayanya dan hal-hal yang khas yang dapat menyebabkan karya itu memikat pembaca. Khusus pada cerita fiksi, ada empat hal lagi yang membantu menciptakan daya tarik suatu cerita rekaan, yaitu: (1) kreativitas; (2) tegangan (suspense); (3) konflik; dan (4) jarak estetika. Uraian keempatnya sebagaimana dikutip dari Waluyo (1994:58-60) berikut ini.
1.     Kreativitas
            Tanpa kreativitas, karya sastra yang diciptakan pengarang tidak mungkin menempati perhatian pembaca. Kreativitas di¬tandai dengan adanya penemuan baru dalam proses penceritaan. Pengarang-pengarang yang lazim disebut "avantgarde" atau pelo¬por, biasanya menunjukkan daya kreativitas yang menonjol yang membedakan karya rekaannya dari karya yang mendahului.
            Dalam sejarah sastra Indonesia, kita mengenal para pemba¬haru sastra Indonesia yang menunjukkan daya kreativitas mereka seperti Marah Rusli (Siti Nurbaya), Abdul Muis (Salah Asuhan), Sutan Takdir Alisyahbana (Layar Terkembang), Armijn Pane (Belenggu), Achdiat Kartamiharja (Atheis), Mochtar Lubis (Jalan Tak Ada Ujung), dan sebagainya.
            Penemuan-penemuan hal yang baru itu mungkin melalui peniruan terhadap karya yang sudah ada dengan jalan memper¬baharui, namun mungkin juga melalui pencarian secara modern harus banyak bersusah payah untuk menemu¬kan sesuatu yang baru, untuk tidak hanya mengulang-ulang apa yang sudah diucapkan/ diungkapkan oleh pengarang lain.
2.     Tegangan ( Suspense)
            Di depan telah dibicarakan tentang tegangan atau suspense. Tidak mungkin ada daya tarik tanpa menciptakan tegangan dalam sebuah cerita. Jalinan cerita yang menimbulkan rasa ingin tahu yang besar dari pembaca merupakan tegangan cerita itu. Tegangan bermula dari ketidakpastian cerita yang berlanjut, yang mendebarkan bagi pembaca /pendengar cerita. Tegangan meno¬pang keingintahuan pembaca akan kelanjutan cerita. Tegangan diakibatkan oleh kemahiran pencerita di dalam merangkai kisah seperti yang sudah dikemukakan di depan.
            Tanpa tegangan, cerita tidak memikat. penulis/pencerita yang mahir akan memelihara tegangan itu, sehingga mampu mempermainkan hasrat ingin tahu pembaca. Bahkan kadang¬kadang segenap pikiran dan perasaan pembaca terkonsentrasikan ke dalam cerita itu, karena kuatnya tegangan yang dirangkai oleh sang penulis. Dalam menjawab hasrat ingin tahu pembaca/ pendengar, penulis/pencerita memberikan jawaban-jawaban yang mengejutkan. Tinggi rendahnya kadar kejutan itu bergantung dari kecakapan dan kreativitas pengarang. Penga¬rang-pengarang cerita rekaan besar seperti Agata Christie, Sherlock Holmes, Pramudya Ananta Toer, dan sebagainya mampu mencip¬takan jawaban-jawaban cerita yang penuh kejutan sehingga cerita¬nya memiliki suspense yang memikat.


3.     Konflik
            Membicarakan daya tarik cerita rekaan harus menghu¬bungkannya dengan konflik yang dibangun. Jika konflik itu tidak wajar dan tidak kuat, maka jalan ceritanya akan datar dan tidak menimbulkan daya tarik. Konflik yang wajar artinya konflik yang manusiawi, yang mungkin terjadi dalam kehidupan ini dan antara kedua orang yang mengalami konflik itu mempunyai posisi yang kurang lebih seimbang. Jika posisinya sudah nampak tidak seimbang, maka konflik menjadi tidak wajar karena pem¬baca segera akan menebak kelanjutan jalan ceritanya.
            Konflik itu juga harus kuat. Dalam kisah kehidupan se¬hari-hari, konflik yang kuat biasanya berkaitan dengan problem manusia yang penting dan melibatkan berbagai aspek kehidupan. Konflik itu bersifat multidimensional yang tidak mudah menye¬lesaikannya. Roman Salah Asuhan dan Belenggu memiliki kon¬flik yang cukup kuat karena problem yang menyebabkan konflik itu adalah problem hakiki dalam kehidupan manusia. Konflik itu juga sukar menyelesaikannya karena tidak mungkin adanya satu jawaban saja.
            Hal ini berbeda dengan konflik yang dibangun me¬lalui cerita wayang. Karena tokohnya hitam putih, maka konflik dalam cerita wayang segera dapat ditebak jawabannya. Dalam novel-novel mutakhir, jalinan konflik itu cukup bervariasi. Karena konflik menjadi dasar cerita, maka perhatian pengarang kepada konflik ini kiranya memungkinkan mereka akan lebih mampu menjalin cerita yang memikat.
4.     Jarak Estetika
            Daya pikat sebuah cerita fiksi juga muncul akibat penga¬rang memiliki jarak estetika yang cukup pekat dengan cerita dan tokoh-tokoh cerita itu. Seolah-olah pengarang menguasai benar-benar dunia dari tokoh itu, sehingga pengarang benar-benar ikut terlibat dalam diri tokoh dan ceritanya. Jika keadaan ini dapat dilakukan oleh pengarang, pembaca akan lebih yakin akan hadir¬nya cerita dan tokoh itu, seakan-akan cerita fiksi itu bukan hanya tiruan dari kenyataan itu, namun adalah kenyataan sendiri yang mengejawantah.
            Pengarang akan menciptakan jarak estetis yang cukup rapat sehingga tokoh dan peristiwa benar-benar hidup. Seperti halnya dalam cerita Mushashi, pembaca akan merasa ikut terlibat dalam peristiwa-peristiwa karena kekuatan cerita itu. Ketika pada adegan terakhir Mushashi mengalahkan Sasaki Kojiro, pembaca mungkin akan merasa menyaksikan dua ksatria bertempur di tepi pantai Parangtritis, di siang hari ketika matahari terik, dan tiba¬-tiba Mushashi melompat menghantam kepala Koliro dengan pedang. Ini dapat terjadi karena kekuatan cerita yang pengarang ciptakan dengan membuat jarak estetis yang cukup rapat sehingga tokoh dan peristiwa benar-benar hidup.

E.    Ciri-Ciri Sastra
Wellek dan Warren (1989:22) menyebutkan ciri-ciri sastra sebagai berikut :
1.       Menimbulkan efek yang mengasingkan
2.       Fiksionalitas
3.       Ciptaan
4.       Tujuan yang tidak praktis
5.       Pengolahan dan penyampaian melalui media bahasa
6.       Imajinasi
7.       Bermakna lebih
8.       Berlabel sastra
9.       Merupakan konvensi masyarakat sebagai ciri-ciri sastra
 Lexemburg, (1984:9) menambahkan beberapa ciri lagi yaitu :
1.      Bukan imitasi
2.      Otonom
3.      Koherensi
4.      Sintesa
5.      Mengungkapkan yang tak terungkapkan sebagai ciri sastra yang lainnya
       Dengan demikian sudah teridentifikasi empat belas ciri sastra. Tentu pendapat lain dapat pula ditambahkan , seperti pendapat yang dipegang pada zaman Romantik, bahwa sastra itu merupakan luapan emosi spontan, sedangkan menurut kaum formalis , sastra selain melanjutkan cirinya pada aspek sintaktik, juga pada grafiknya.

F.     Wilayah Studi Sastra
      Yang merupakan tiga cabang studi sastra itu adalah teori sastra, sejarah sastra, dan kritik sastra ( Wellek dan Warren dalam Pradopo, 2002: 34-35). Pengertian ketiga cabang studi sastra itu sebagaimana dijelaskan Pradopo (2002) dan Fananie (2000) berikut ini.
1.      Teori sastra adalah bidang studi sastra yang berhubungan dengan teori kesusastraan , seperti studi tentang apakah kesusastraan itu, bagaimana unsur-unsur atau lapis-lapis normanya; studi tentang jenis sastra (genre), yaitu apakah jenis sastra dan masalah umum yang berhubungan dengan jenis sastra, kemungkinan dan kriteria untuk membedakan jenis sastra dan sebagainya (Pradopo, 2002:34).
            Perihal unsur-unsur atau lapis-lapis norma karya sastra dijelaskan lebih lanjut oleh Fananie yakni menyangkut aspek-aspek dasar dalam teks sastra. Aspek-aspek tersebut meliputi aspek intrinsik dan ekstrinsik sastra. Teori intrinsik sastra berhubungan erat dengan bahasa sebagai sistem, sedang konvensi ekstrinsik berkaitan dengan aspek-aspek yang melatarbelakangi penciptaan sastra. Aspek tersebut meliputi aliran, unsur-unsur budaya, filsafat, politik, agama, psokologi, dan sebagainya (Fananie, 2000: 17-18).
2.      Sejarah sastra adalah studi sastra yang membicarakan lahirnya kesusastraan Indonesia modern, sejarah sastra membicarakan sejarah jenis sastra, membicarakan periode-periode sastra, dan sebagainya.
            Semua pembicaraan yang berhubungan dengan kesejarahan sastra, baik pembicaraan jenis, bentuk, pikiran-pikiran, gaya-gaya bahasa yang terdapat dalam karya sastra dari periode ke periode (Pradopo,2002:34).
Dikemukakan oleh Fananie (2000;19-20) bahwa berdasarkan aspek kajiannya, sejarah sastra dibedakan menjadi :
a.      Sejarah genre, yaitu sejarah sastra yang mengkaji perkembangan karya-karya sastra seperti puisi dan prosa yang meliputi cerpen, novel, drama, atau sub genre seperti pantun, syair, talibun, dan sebagainya.  Kajian tersebut dititik beratkan pada proses kelahirannya, perkembangannya, dan pengaruh-pengaruh yang menyertainya.
b.     Sejarah sastra secara kronologis, yaitu sejarah sastra yang mengkaji karya-karya sastra berdasarkan periodisasi atau babakan waktu tertentu. Di Indonesia penulisan sejarah sastra secara kronologis, misalnya klasifikasi periodisasi tahun 20-an, yang melahirkan angkatan Balai Pustaka, tahun 30-an yang melahirkan angkatan Pujangga Baru, tahun 42, sastra Jepang, tahun 45, tahun 60-an yang melahirkan Angkatan 66 dan sastra mutakhir atau kontemporer.
c.      Sejarah sastra komparatif, yaitu sejarah sastra yang mengkaji dan membandingkan beberapa karya sastra pada masa lalu, pertengahan, dan masa kini. Bandingan tersebut bisa meliputi karya-karya sastra antar negara seperti sastra Eropa dengan sastra Indonesia,Melayu, dan sebagainya. Aspek-aspek yang dibandingkan dapat meliputi beberapa hal seperti yang dikemukakan oleh Rene Wellek, yaitu :
1)    Comparative literature : The study of oral literature  expecially of falle talk themes and then imigration, of how and other they have entered higher artistic. (Pengkajian sastra lisan khususnya mengenai terra-terra cerita rakyat dan cerita kepindahannya, bagaimana dan kapan sastra-sastra rakyat tersebut berkembang/ masuk pada bagian yang lebih tinggi pada keindahan sastra itu yang bersifat aristik).
2)    The study of relationship betwen two or more literature.(Hubungan kajian antara dua atau beberapa karya sastra).
3)    The study of literature in its totality . (Kajian sastra secara keseluruhan).
Kesusastraan dibagi menjadi tiga wilayah. Tiga wilayah kesusastraan itu adalah :
1.      Wilayah penciptaan sastra
2.      Wilayah penikmatan sastra
3.      Wilayah penelitian sastra
Dikemukakan oleh Mursal Esten (1978:13-14), bahwa ketiga wilayah dalam kehidupan kesusastraan itu saling berhubungan dan saling membantu. “Wilayah penciptaaan kesusastraan adalah wilayah para sastrawan , yang diisi dengan ciptaan-ciptaan yang baik dan bermutu. Persoalan mereka ialah bagaimana menciptakan ciptasastra yang baik dan bermutu. Wilayah penelitian ialah wilayah para ahli dan para kritikus.
Mereka berusaha menjelaskan, menafsirkan, dan memberikan penilaian terhadap ciptasastra-ciptasastra. Tentu saja mereka harus melengkapi diri mereka dengan segala pengetahuan yang mungkin diperlukan untuk memahami ciptasastra yang mereka hadapi. Wilayah para penikmat ialah wilayah para pembaca. Wilayah ini tidak kurang pentingnya, karena untuk merekalah sesungguhnya ciptasastra-ciptasastra ditulis oleh para pengarang.”






BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
      Dari pembahasan di atas penulis dapat menyimpulkan bahwa kaidah sastra  mencakup beberapa  unsur penting: 1). kreativitas, 2). Tegangan (suspense), 3).Konflik, dan 4) jarak estetika. 1)  Kreativitas bisa mengacu pada pengertian hasil yang baru, berbeda dengan yang pernah ada. Kreativitas terdiri atas beberapa tahap, antara lain: a) pemunculan ide, b) pengembangan ide, dan c) penyempurnaan ide. 2) Tegangan (suspense). Tanpa tegangan, cerita tidak memikat.penulis/pencerita yang mahir akan memelihara tegangan itu, sehingga mampu mempermainkan hasrat ingin tahu pembaca. Bahkan kadang¬kadang segenap pikiran dan perasaan pembaca terkonsentrasikan ke dalam cerita itu, karena kuatnya tegangan yang dirangkai oleh sang penulis
      Penulis karya sastra harus mempunyai bekal kemampuan bahasa yang memadai. Untuk mengembangkan kemampuan bahasa dapat dilakukan dengan cara; 1) mengembangkan kosakata, 2) mengembangkan penguasaan kaidah bahasa, dan 3) mengembangkan pengetahuan makna.Kemampuan seorang penulis tentang seluk beluk karya sastra akan mempermudah penulisan karya sastra, baik puisi, prosa (cerpen, novel, roman), maupun drama. Untuk meningkatkan kemampuan sastra seseorang dapat dilakukan dengan cara: 1) meningkatkan kemampuan apresiasi terhadap suatu karya sastra, 2) mengikuti kegiatan bersastra, 3) melakukan kritik karya sastra, 4) meningkatkan pengetahuan sastra, dan 5) menulis sastra.

B.    Kritik dan Saran
      Sebagai mahasiswa jurusan sastra maka sangat diperlukan untuk memahami berbagai kaidah-kaidah sastra untuk menunjang pembelajarannya. Terutama untuk mengembangkan kemampuannya dalam mengenal dan mengapresiasi sastra. Sehingga mempelajari kaidah sastra merupakan suatu keharusan bagi mahasiswa jurusan sastra.
DAFTAR PUSTAKA

Tarigan, Henry Guntur. 1981. Menulis; Sebagai Suatu Ketrampilan Berbahasa. Bandung Angkasa.

Esten, Mursal. 1978. Kesusastraan : Pengantar Teori dan Sejarah. Bandung : Angkasa.

Fananie, Z. 2000. Telaah Sastra . Yogyakarta : Muhammadiyah University

Luxemburg, Jan Van, dkk.1984. Pengantar Ilmu Sastra. Jakarta : PT        Gramedia.

Pradopo, Rachmat Djoko.2002. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik dan Penerapannya. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Waluyo, Herman J. 1994. Pengkajian  Cerita Fiksi. Surakarta : Sebaelas Maret University Press.

Wellek, Rene dan Warren Austin.1993. Teori Kesusastraan. Jakarta : PT Gramedia.




No comments:

Post a Comment