MAKALAH KAIDAH SASTRA
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Sastra
merupakan salah satu hasil dari cipta, rasa dan karsa manusia. Sastra adalah suatu kegiatan
kreatif, sebuah karya seni. Keberadaan sastra dalam kehidupan manusia telah
menyedot perhatian dari para penikmat seni. Sebagai salah satu seni, sastra
memiliki konsep dasar yang menjadikan sastra berbeda dengan seni lainnya. Ada
empat konsep yang akan dibahas, yaitu: (1) kaidah sastra; (2) ciri-ciri sastra;
(3) wilayah studi sastra; dan (4) wilayah kesusastraan.
Salah
satu dari konsep sastra yang cukup menarik untuk dibahas adalah kaidah sastra.
Kaidah-kaidah sastra menarik untuk dikaji karena perkembangan sastra saat ini
semakin pesat, sehingga berpengaruh pula pada munculnya berbagai genre sastra
dengan aliran-aliran sastra baru yang terkadang berbenturan dengan kaidah
sastra. Oleh karena itu kaidah-kaidah sastra perlu dikaji agar karya sastra
yang dihasilkan tetap bernilai estetik walaupun dengan berkembangnya zaman dan
ilmu pengetahuan saat ini. Hal ini yang menarik bagi kami untuk melakukan
pengkajian dan memaparkan masalah tentang kaidah-kaidah sastra dalam makalah
ini.
B. Rumusan
Masalah
1.
Apa Pengertian Sastra?
2. Bagaimana Bahan
Baku Teks Sastra ?
3.
Bagaimana Karakteristik Sastra?
4.
Bagaimana Kaidah Sastra?
5. Bagaimana Ciri-Ciri Sastra?
6. Bagaimana Wilayah Studi Sastra?
C. Rumusan
Masalah
1.
Mengetahui Pengertian Sastra.
2. Mengetahui Bahan
Baku Teks Sastra .
3.
Mengetahui Karakteristik Sastra.
4.
Mengetahui Kaidah Sastra.
5. Mengetahui Ciri-Ciri Sastra.
6. Mengetahui Wilayah Studi Sastra.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Sastra
Pengertiansastra,
tidak hanya satu tetapi berkembangmenurut sejarah kata dan bidang kebudayaan.
Menurut sejarah kata, sastra berasal dari kata castra berarti tulisan. Dari
makna asalnya dahulu, sastra meliputi segala bentuk dan macam tulisan yang
ditulis oleh manusia, seperti catatan ilmu pengetahuan, kitab-kitab suci,
surat-surat, undang-undang dan sebagainya
Sastra
berasal dari bahasa sansekerta assastra yang memiliki makna teks yang
mengandung instruksi atau pedoman. Asastra memilikikata dasar yang bermakna
instruksi atau ajaran. Sejalan dengan pengertian diatas, bahwa sastra dapat
pula merujuk kepada semua jenis tulisan, apakah tulisan itu indah atau tidak. Sastra
dalam artian khusus dalam konteks kebudayaan adalah ekspresi gagasan dan
perasaan manusia. Jadi pengertian sastra sebagai hasil budayadapat diartikan
sebagai bentuk upaya manusia untuk mengungkapkan gagasannya melalui bahasa yang
lahir dari perasaan dan fikirannya.
Sastra
adalah lembaga sosial yang menggunakan bahasa sebagai medium: bahasa itu
sendiri merupakan ciptaan sosial. Sastra menampilkan gambaran kehidupan; dan
kehidupan itu sendiri adalah suatu kenyataan sosial. Dalam pengertian ini,
kehidupan mencakup hubungan antarmasarakat, antaraperistiwa yang terjadi dalam
batin seseorang. Bagaimana pun juga, peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam
batin seseorang, yang sering menjadi bahan sastra, adalah pantulan hubungan
seseorang dengan orang lain atau dengan masyarakat
Sastra
adalah pengungkapan realitas kehidupan masyarakat secara imajiner atau secara
fiksi. Senada dengan apa yang diungkapkan oleh George Lukas ( Taum dalam
wikipedia 2009) bahwa sastra merupakan sebuah cermin yang memberikan kepada
kita sebuah refleksi realitas yang lebih besar, lebih lengkap, lebih hidup, dan
lebih dinamik. Sampai sekarang memang belum ada kesepakatan baku secra
universal tentang pengertian sastra karena sifat sastra yang dinamis yang terus
berkembang. Namun, ciri-ciri esensial yang telah dikemukakan di atas dapat
digunakan sebagai acuan untuk membuat definisi tentang sastra.
B.
Bahan
Baku Teks Sastra
Jika
seseorang setuju dengan pandangan I.A, Richards, yang disusun pada awal 1929,
bahwa “…seni merupakan bentuk tertinggi dari aktivitas yang komunikatif”
(Richards, 1929:16), maka studi terhadap seni dapat digambarkan sebagai suatu
hal yang berkaitan erat dengan semiotik dan teori informasi. Studi sastra yang
berorientasi pada teori informasi dan semiotik menganggap teks sastra terdiri
atas seperangkat tanda yang merupakan bagian dari proses komunikasi antara teks
dan pembaca apabila teks dibaca oleh pembaca. Teks sastra dilihat sebagai suatu
pesan yang dicerna (decoded) oleh
pembaca (receiver) dan dikirim (encoded) oleh pengirim (sender). Alasan ini merupakan starting-point bagi kebanyakan
teori semiotik dalam sastra dan
komunikasi.
Dalam
kaitan ini perlu diingat bahwa pengadaptasian konsep teori-teori informasi dan
semiotik bagi studi teks komunikasi sastra terdapat pula bahaya penerapan yang
percuma dan pengadaptasian yang tidak mencapai sasaran (van Dijk, 1971:81);
dipihak lain, hipotesis yang sesuai harus disusun untuk mengkhususkan
konsep-konsep yang diimpor. Jika tidak, seperti dinyatakan oleh Weinold
(1972a;14): (“…diantara perlengkapan modern ketidak jelasan yang lama itu tetap
ada”). Lagi pula, seseorang dapat bertanya pada diri sendiri, misalnya seperti
yang dilakukan oleh Richards (1960:242-244), apakah konsep-konsep semiotik dan
teori informasi benar-benar merupakan bantuan yang besar bagi linguistik, studi
media komunikasi sastra. Pertanyaan yang senada akhir-akhir ini telah diungkap
oleh Hein Leferink (1976). Penjelasan berikut ini diharapkan dapat memberikan
jawabannya.
Dalam
lima belas tahun terakhir, strukturalisasi rusia menjadi kuat dibandingkan
dengan aliran-aliran lain, dalam hal penerapan teori informasi dan semiotik
bagi studi sastra. Buku Lotman, die
Struktur Literarischer Texte, merupakan wakil teori-teori strukturalisme
kontemporer rusia sepanjang berkenaan dengan teks sastra. Lotman memandang seni
sebagai suatu cara komunikasi yang spesifik, sebagai suatu “bahasa” yang
disusun dengan cara yang aneh. Ia memberi istilah “bahasa” (kode) sebagai suatu
arti yang sangat luas, yang umumnya dalam semiotik disebut: suatu sistem yang
diatur, yang berperan sebagai sarana komunikasi, dan yang memakai tanda-tanda.
Lotman
menunjukan bahwa terdapat bermacam-macam bentuk komunikasi yang hanya dapat
ditransmisi dengan sarana bahasa yang diorganisasikan secara khusus. Sebagai
contoh tidak hanya aljabar dan kimia yang memiliki bahasa tersendiri, tetapi
juga seni: seni serupa dengan suatu generator bahasa yang terorganisasi dengan
baik. Tujuan umum buku Lotman, yaitu memberi penjelasan tentang “bahasa seni”
dan hubungan antara bahasa dengan teks-teks.
Teori
dasar Lotman memiliki implikasi bahwa seni adalah suatu jenis bahasa sekunder
dan oleh karena itu karya seni adalah teks dalam bahasa ini. Jika suatu karya
seni memberi tahu kepada penikmat (penerima) tentang sesuatu (proses
komunikasi), maka suatu perbedaan harus dibuat antara ‘pesan’ disatu pihak dan
‘bahasa’ di lain pihak.
Roman
Jakobson adalah salah seorang dari teoretikus yang pertama-tama berusaha
menjelaskan proses komunikasi teks sastra. Dalam artikelnya yang terkenal Linguistics
and Poetics, Jakobson menerangkan bahwa ada enam fungsi bahasa yang
berbeda, yang merupakan faktor-faktor pembentuk dalam setiap jenis komunikasi
verbal. “ADDRESSER ‘PENGIRIM’ mengirimkan suatu MESSAGE ‘PESAN’
kepada seorang ADDRESSEE ‘YANG DIKIRIMI’. Agar operatif, pesan tersebut
memerlukan CONTEXT ‘KONTEKS’ yang menunjuk pada (…), sehingga dipahami
oleh yang dikirimi dan dapat diverbalisasikan; suatu CODE ’KODE’ secara
penuh atau paling tidak sebagian, umum bagi pengirim dan yang dikirimi (atau
dengan kata lain bagi pembuat kode dan pengarti kode); dan akhirnya, suatu CONTACT
‘KONTAK’, suatu saluran fisik dan hubungan psikologis antara pengirim dan
yang dikirimi, memungkinkan keduanya mamasuki dan berada dalam komunikasi
(Jakobson)
CONTEXT
MESSAGE
ADDRESSER-----------------------------------ADDRESEE
CONTACT
CODE
Model tersebut memungkinkan Jakobson untuk melanjutkan konsepnya tentang
fungsi puitik. Fungsi puitik bertumpu pada orientasi spesifik pembaca kearah
pesan, yang dirangsang oleh kualitas-kualitas tertentu pesan itu. Oleh
Jakobson, fungsi puitik sering didefinisikan: “seperangkat Model tersebut memungkinkan Jakobson
untuk melanjutkan konsepnya tentang fungsi puitik. Fungsi puitik bertumpu pada
orientasi spesifik pembaca kearah pesan, yang dirangsang oleh kualitas-kualitas
tertentu pesan itu. Oleh Jakobson, fungsi puitik sering didefinisikan:
“seperangkat yang mengarah kepada pesan secara terpusat, pada pesan itu
sendiri, merupakan fungsi puitik bahasa” (Jakobson, 1960:356). Dengan demikian,
fungsi puitik dapat dijumpai dalam semua proses komunikasi verbal, apabila
perhatian hanya diarahkan pada pesan itu sendiri. Sesungguhnya Jakobson telah
menunjukan pada tahun 1935 bahwa fungsi puitik atau estetik tidak terbatas pada
teks sastra khususnya dan karya seni umumnya, tetapi muncul juga dalam artikel
surat kabar, ceramah, dan sebagainya (Jakobson, 1935).
Berdasarkan
atas skema Jakobson, dalam artikelnya Die
Wirklichkeit der Fiktion, Wolfgang Iser mengajukan beberapa saran yang
mungkin mendukung testabilitas studi komunikasi sastra. Dia melihat fiksi tidak
hanya sebagai satu entitas (kesatuan) sendiri, tetapi juga sebagai suatu
struktur komunikasional. Fokus tidak lagi pada arti sastra tetapi seperti apa
pengaruhnya, hal ini mengimplikasikan bahwa perhatian besar harus pada dimensi pragmatik sebuah teks. Iser
membatasi “pragmatik dalam pengertian
morris sebagai sebuah studi terhadap hubungan tanda-tanda tekstual dengan
interpreter”. Suatu model komunikasi merupakan konstruksi teoritis, yang
bertujuan untuk memvisualisasikan dan memberikan proses pemindahan informasi.
Andaikan
seorang pengarang menulis naskah teater dan pembaca membacanya, pengarang dan
pembaca adalah dua kutub proses komunikasi yang sedang berperan. Sejauh yang
dipermasalahkan adalah pengarang, Encoding internal bagi suatu teks terjadi
dengan proses berpikir dan perlambangan. Dari sudut pandang teori informasi,
sebuah teks sastra dapat dipandang sebagai seperangkat tanda yang
ditransimisikan melalui suatu saluran kepada pembaca. Dalam proses pembacaan
suatu naskah, saluran komunikasi terdiri atas materi kertas dengan
ketikan-ketikannya. Kode yang dipilih pengarang dan diketahui atau sebagian
diketahui oleh pembaca memungkinkan pembaca untuk men-decode tanda-tanda
tekstual dan mengaitkan makna dengan materi teks.
Perbedaan
antara saluran dan kode, adalah; saluran
memungkinkan pembaca membaca teks sastra, sedangkan kode memungkinkan pembaca
untuk menafsirkan teks sastra. Diagram Jakobson tidak hanya dapat diterapkan
pada proses komunikasi sastra, prinsipnya model tersebut dapat diterapkan pada
setiap bentuk komunikasi estetis (film, musik, lukisan, dan sebagainya)
(Segers)
C. Karakteristik Sastra
Sastra memiliki kemampuan untuk membawa
masyarakat ke arah perubahan, baik dalam segi budaya maupun sosial. Pada masa
perang kemerdekaan, karya sastra menjadi salah satu media yang menjadi sumber
spirit kebangkitan suatu bangsa, spirit cinta tanah air, dan sumber semangat
patriotik untuk melawan sagala bentuk penjajahan. Selain itu, karya sastra
dapat menjadi sumber inspirasi dan pendorong kekuatan moral bagi proses
perubahan sosial-budaya dari kondisi yang terpuruk menuju kearah yang lebih
baik yaitu mandiri dan merdeka.
Karya sastra yang bagus tidak hanya
menampilkan dan memancarkan pesona estetik (keindahan), tapi juga harus mampu
memberikan pencerahan batin dan intelektual kepada pembacanya atau mampu
menciptakan opini publik. Jika suatu opini publik ini meluas dan menguat, maka
dari situlah proses perubahan sosial-budaya dimulai dapat digerakan.
Jadi, ada semacam keyakinan bahwa karya
sastra merupakan sumber nilai yang memiliki kekuatan pencerahan sekaligus
sumber inspirasi bagi proses prubahan sosial budaya. Karya sastra tidak hanya
berupa refleksi dari kehidupan masyarakat tetapi karya sastra harus mampu
merubah suatu bangsa dengan pemikiran-pemikiran yang disampaikan didalamnya
oleh sastrawan. Oleh karena itu, pendidikan tentang pemahaman sastra harus
sudah diajarkan sejak dini, menggunakan format-format pengajaran yang kreatif, menarik
untuk memberikan kesan yang mendalam tentang sastra sehingga melahirkan
bangsa-bangsa pemikir.
Pengajaran sastra Indonesia di berbagai
jenjang pendidikan selama ini sering dianggap kurang penting dan dianaktirikan
oleh para guru, apalagi pada guru yang memiliki pengetahuan dan apresiasi
sastra rendah. Selama ini, meski polemik, seminar dan lokakarya telah digelar
bertahun-tahun untuk menyelesaikannya, namun pengajaran sastra hanya membahas
unsur intrinsik dan ekstrisik secara awam.
Sastra dianggap sebagai sesuatu yang lahir
dari kekosongan budaya dan otonom, sehingga dianggap tidak ada
intertekstualitasnya dengan teks-teks lain. Hal ini menyebabkan mata pelajaran
yang seharusnya menarik dan besar sekali manfaatnya bagi para siswa ini
disajikan hanya sekedar memenuhi tuntutan kurikulum, kering, kurang hidup, dan
cenderung kurang mendapat tempat di hati siswa. Padahal, bila kita kaji secara
mendalam, tujuan pengajaran sastra Indonesia di sekolah dimaksudkan untuk
menumbuhkan keterampilan, rasa cinta, dan penghargaan para siswa terhadap
sastra Indonesia sebagai bagian dari budaya warisan leluhur. Dengan demikian,
tugas guru bahasa dan sastra Indonesia tidak hanya memberi pengetahuan (aspek
kognitif), tetapi juga keterampilan (aspek psikomotorik) dan menanamkan rasa
cinta (aspek afektif), baik melalui kegiatan di dalam kelas ataupun di luar
kelas.
Dalam proses pembelajaran seorang guru
dituntut untuk aktif, kreatif, inovatif dan menciptakan strategi jitu. Guru
juga dituntut mengembangkan kompetensinya sehingga mampu mencitakan
pembelajaran yang berkualitas dari segi isi (materi) maupun kemasannya. Dalam
konteks pembelajaran sastra, tentu saja guru dituntut mampu menciptakan suasana
pembelajaran yang aktif, kreatif dan menyenangkan, serta tidak ketinggalan jaman.
Namun sayangnya, guru dihadapkan pada seperangkat silabus dan standar
kompetensi lulusan tertentu yang telah ‘dipatenkan’ secara nasional yang
berkiblat pada dogma yang dianggap sangat sakral berupa seperangkat kurikulum.
Inilah kunci pokok permasalahanya. Silabus dan Standar Kelulusan inilah yang
menghegemoni kreatifitas guru sastra. Sehingga dengan sendirinya pembelajaran
sastra di sekolah kian terpingginggirkan.
Seorang guru sastra yang baik harus mampu
mengubah aturan-aturan fundamental yang dikeluarkan oleh Dinas Pendidikan,
mereka itu bukanlah dewa. Mereka tidak tahu kenyataan yang terjadi ditempat
eksekusi. Sesungguhnya yang mengerti keadaan sesungguhnya dari siswa di sekolah
adalah guru. Jadi guru sastra lah yang harus membawa anak didiknya untuk memahami
kaidah sastra dengan berbagai strategi pengajaran sastra. Dalam proses
pembelajaran apresiasi sastra dengan sistem KBK para pengajar dan siswa harus
masuk ke dalamnya. Pengajar tidak perlu merasa hebat dan superior serta siswa
tidak perlu dianggap peserta didik yang serba tidak tahu. Kedua belah pihak
sama-sama menjadi subyek, keduanya boleh sama-sama menjadi mitra dalam konteks
memahami, menghayati, dan menghargai karya sastra. Pengajaran sastra sekarang
harus tertuju kepada realitas yang ada.
Pengajaran sastra tidak harus terus-menerus
terpaku kepada materi sastra yang itu-itu saja karena ruang lingkup sastra itu
sebenarnya luas. Jangan hanya kita berhenti kepada karya-karya sastra yang
telah diterbitkan di dalam buku-buku pelajaran sastra. Sesungguhnya
kesusastraan itu hidup dan terus bertumbuh-kembang setiap waktu. Karya sastra
akan terus bermunculan dan lahir melalui pena para pengarang dari generasi ke
generasi. Ratusan penyair baru, sastrawan muda, pengarang remaja, para
penggerak seni budaya dan teater yang terus hidup dan tumbuh bertebaran di
seluruh pelosok tanah air. Karya-karya mereka baik berupa cerpen, puisi, novel,
maupun karya-karya drama telah diakui dan menjadi benih di ladang budaya negeri
ini.
Belajar sastra dapat dilaksanakan dalam
suasana riang dan ringan, serta penuh kebebasan berekspresi, tidak harus
membuat dahi berkerut dan berkeringat serta seserius belajar eksakta. Inilah
sebetulnya hal yang esensi dari pengajaran sastra. Kalau siswa sudah mulai
tertarik, senang, gembira dan merasa enjoy, mudah bagi kita untuk membawa masuk
lebih dalam kepada proses pembelajaran.
Kalau yang menjadi masalah kekurangmampuan
kita sebagai pengajar dalam mengapresiasi karya sastra sehingga minder untuk
memberi contoh dan membawa siswa kepada proses pembelajaran, kenapa tidak kita
gunakan mediator? Kita dapat menghadirkan sastrawan, penyair, pengarang, untuk
berinteraksi dan melakukan proses pembelajaran sastra. Mereka bisa bercerita
bagaimana pengalamannya menjadi pengarang, menjadi penulis, penyair, atau
mengisahkan bagaimana proses kreatif terjadi sehingga muncul karya sastra
seperti yang ditulisnya. Kita dapat saling menjalin kerjasama dengan
kantong-kantong kebudayaan, komunitas seni budaya, pengarang, dan
kelompok-kelompok teater serta dewan kesenian di daerah. Mereka biasanya
memiliki SDM yang baik dan mampu mengkomunikasikan karya sastra untuk kita ajak
bekerjasama menyampaikan pengajaran apresiasi sastra.
Tetapi kalau kita beranggapan mampu
mengajarkan sastra, kenapa tidak? Butuh keberanian untuk memulai langkah
penggerakan sastra di sekolah. Hal pertama yang akan saya lakukan apabila
menjadi seorang guru sastra di sekolah adalah mendekatkan diri dengan sastra.
Hal kedua adalah mendekatkan diri dengan siswa. Dan yang ketiga adalah
mendekatkan siswa dengan sastra.
Dalam kehidupan masayarakat sastra
mempunyai beberapa fungsi yaitu :
- Fungsi rekreatif, yaitu sastra
dapat memberikan hiburan yang menyenangkan bagi penikmat atau pembacanya.
- Fungsi didaktif, yaitu sastra
mampu mengarahkan atau mendidik pembacanya karena nilai-nilai kebenaran
dan kebaikan yang terkandung didalamnya.
- Fungsi estetis, yaitu sastra
mampu memberikan keindahan bagi penikmat/pembacanya karena sifat
keindahannya.
- Fungsi moralitas, yaitu sastra
mampu memberikan pengetahuan kepada pembaca/peminatnya sehingga tahu moral
yang baik dan buruk, karena sastra yang baik selalu mengandung moral yang
tinggi.
- Fungsi religius, yaitu sastra
pun menghasilkan karya-karya yang mengandung ajaran agama yang dapat
diteladani para penikmat/pembaca sastra.
Jenis Bahasa Sastra
1. Dilihat
dari bentuknya, sastra terdiri atas 4 bentuk, yaitu :
a. Prosa,
bentuk sastra yang diuraikan menggunakan bahasa bebas dan panjang tidak terikat
oleh aturan-aturan seperti dalam puisi.
b. Puisi,
bentuk sastra yang diuraikan dengan menggunakan bahasa yang singkat dan padat
serta indah. Untuk puisi lama, selalu terikat oleh kaidah atau aturan tertentu.
Yaitu :
1) Jumlah
baris tiap-tiap baitnya,
2) Jumlah
suku kata atau kata dalam tiap-tiap kalimat atau barisnya,
3) Irama,
dan
4) Persamaan
bunyi kata.
c. Prosa
liris, bentuk sastra yang disajikan seperti bentuk puisi namun menggunakan
bahasa yang bebas terurai seperti pada prosa.
d. Drama,
yaitu bentuk sastra yang dilukiskan dengan menggunakan bahasa yang bebas dan
panjang, serta disajikan menggunakan dialog atau monolog. Drama ada dua
pengertian, yaitu drama dalam bentuk naskah dan drama yang dipentaskan.
2. Dilihat
dari isinya, sastra terdiri atas 4 macam, yaitu :
a. Epik,
karangan yang melukiskan sesuatu secara obyektif tanpa mengikutkan pikiran dan
perasaan pribadi pengarang.
b. Lirik,
karangan yang berisi curahan perasaan pengarang secara subyektif.
c. Didaktif,
karya sastra yang isinya mendidik penikmat/pembaca tentang masalah moral,
tatakrama, masalah agama, dll.
d. Dramatik,
karya sastra yang isinya melukiskan sesuatu kejadian(baik atau buruk) denan
pelukisan yang berlebih-lebihan.
D. Kaidah
Sastra
Kaidah sastra atau daya tarik sastra terdapat pada unsur-unsur
karya sastra tersebut. Pada karya cerita fiksi, daya tariknya terletak pada
unsur ceritanya yakni cerita atau kisah dari tokoh-tokoh yang diceritakan
sepanjang cerita yang dimaksud. Selain itu, faktor bahasa juga memegang peranan
penting dalam menciptakan daya pikat. Kemudian gayanya dan hal-hal yang khas
yang dapat menyebabkan karya itu memikat pembaca. Khusus pada cerita fiksi, ada
empat hal lagi yang membantu menciptakan daya tarik suatu cerita rekaan, yaitu:
(1) kreativitas; (2) tegangan (suspense); (3) konflik; dan (4) jarak estetika.
Uraian keempatnya sebagaimana dikutip dari Waluyo (1994:58-60) berikut ini.
1. Kreativitas
Tanpa kreativitas, karya sastra yang
diciptakan pengarang tidak mungkin menempati perhatian pembaca. Kreativitas
di¬tandai dengan adanya penemuan baru dalam proses penceritaan.
Pengarang-pengarang yang lazim disebut "avantgarde" atau pelo¬por,
biasanya menunjukkan daya kreativitas yang menonjol yang membedakan karya
rekaannya dari karya yang mendahului.
Dalam sejarah sastra Indonesia, kita
mengenal para pemba¬haru sastra Indonesia yang menunjukkan daya kreativitas
mereka seperti Marah Rusli (Siti Nurbaya), Abdul Muis (Salah Asuhan), Sutan
Takdir Alisyahbana (Layar Terkembang), Armijn Pane (Belenggu), Achdiat
Kartamiharja (Atheis), Mochtar Lubis (Jalan Tak Ada Ujung), dan sebagainya.
Penemuan-penemuan hal yang baru itu
mungkin melalui peniruan terhadap karya yang sudah ada dengan jalan
memper¬baharui, namun mungkin juga melalui pencarian secara modern harus banyak
bersusah payah untuk menemu¬kan sesuatu yang baru, untuk tidak hanya
mengulang-ulang apa yang sudah diucapkan/ diungkapkan oleh pengarang lain.
2. Tegangan ( Suspense)
Di depan telah dibicarakan tentang
tegangan atau suspense. Tidak mungkin ada daya tarik tanpa menciptakan tegangan
dalam sebuah cerita. Jalinan cerita yang menimbulkan rasa ingin tahu yang besar
dari pembaca merupakan tegangan cerita itu. Tegangan bermula dari
ketidakpastian cerita yang berlanjut, yang mendebarkan bagi pembaca /pendengar
cerita. Tegangan meno¬pang keingintahuan pembaca akan kelanjutan cerita.
Tegangan diakibatkan oleh kemahiran pencerita di dalam merangkai kisah seperti
yang sudah dikemukakan di depan.
Tanpa tegangan, cerita tidak
memikat. penulis/pencerita yang mahir akan memelihara tegangan itu, sehingga
mampu mempermainkan hasrat ingin tahu pembaca. Bahkan kadang¬kadang segenap
pikiran dan perasaan pembaca terkonsentrasikan ke dalam cerita itu, karena
kuatnya tegangan yang dirangkai oleh sang penulis. Dalam menjawab hasrat ingin
tahu pembaca/ pendengar, penulis/pencerita memberikan jawaban-jawaban yang
mengejutkan. Tinggi rendahnya kadar kejutan itu bergantung dari kecakapan dan
kreativitas pengarang. Penga¬rang-pengarang cerita rekaan besar seperti Agata
Christie, Sherlock Holmes, Pramudya Ananta Toer, dan sebagainya mampu
mencip¬takan jawaban-jawaban cerita yang penuh kejutan sehingga cerita¬nya
memiliki suspense yang memikat.
3. Konflik
Membicarakan daya tarik cerita
rekaan harus menghu¬bungkannya dengan konflik yang dibangun. Jika konflik itu
tidak wajar dan tidak kuat, maka jalan ceritanya akan datar dan tidak
menimbulkan daya tarik. Konflik yang wajar artinya konflik yang manusiawi, yang
mungkin terjadi dalam kehidupan ini dan antara kedua orang yang mengalami
konflik itu mempunyai posisi yang kurang lebih seimbang. Jika posisinya sudah
nampak tidak seimbang, maka konflik menjadi tidak wajar karena pem¬baca segera
akan menebak kelanjutan jalan ceritanya.
Konflik itu juga harus kuat. Dalam
kisah kehidupan se¬hari-hari, konflik yang kuat biasanya berkaitan dengan
problem manusia yang penting dan melibatkan berbagai aspek kehidupan. Konflik
itu bersifat multidimensional yang tidak mudah menye¬lesaikannya. Roman Salah
Asuhan dan Belenggu memiliki kon¬flik yang cukup kuat karena problem yang
menyebabkan konflik itu adalah problem hakiki dalam kehidupan manusia. Konflik
itu juga sukar menyelesaikannya karena tidak mungkin adanya satu jawaban saja.
Hal ini berbeda dengan konflik yang
dibangun me¬lalui cerita wayang. Karena tokohnya hitam putih, maka konflik
dalam cerita wayang segera dapat ditebak jawabannya. Dalam novel-novel
mutakhir, jalinan konflik itu cukup bervariasi. Karena konflik menjadi dasar
cerita, maka perhatian pengarang kepada konflik ini kiranya memungkinkan mereka
akan lebih mampu menjalin cerita yang memikat.
4. Jarak Estetika
Daya pikat sebuah cerita fiksi juga
muncul akibat penga¬rang memiliki jarak estetika yang cukup pekat dengan cerita
dan tokoh-tokoh cerita itu. Seolah-olah pengarang menguasai benar-benar dunia
dari tokoh itu, sehingga pengarang benar-benar ikut terlibat dalam diri tokoh
dan ceritanya. Jika keadaan ini dapat dilakukan oleh pengarang, pembaca akan
lebih yakin akan hadir¬nya cerita dan tokoh itu, seakan-akan cerita fiksi itu
bukan hanya tiruan dari kenyataan itu, namun adalah kenyataan sendiri yang
mengejawantah.
Pengarang akan menciptakan jarak
estetis yang cukup rapat sehingga tokoh dan peristiwa benar-benar hidup.
Seperti halnya dalam cerita Mushashi, pembaca akan merasa ikut terlibat dalam
peristiwa-peristiwa karena kekuatan cerita itu. Ketika pada adegan terakhir
Mushashi mengalahkan Sasaki Kojiro, pembaca mungkin akan merasa menyaksikan dua
ksatria bertempur di tepi pantai Parangtritis, di siang hari ketika matahari
terik, dan tiba¬-tiba Mushashi melompat menghantam kepala Koliro dengan pedang.
Ini dapat terjadi karena kekuatan cerita yang pengarang ciptakan dengan membuat
jarak estetis yang cukup rapat sehingga tokoh dan peristiwa benar-benar hidup.
E.
Ciri-Ciri
Sastra
Wellek dan Warren (1989:22) menyebutkan ciri-ciri sastra
sebagai berikut :
1. Menimbulkan
efek yang mengasingkan
2. Fiksionalitas
3. Ciptaan
4. Tujuan
yang tidak praktis
5. Pengolahan
dan penyampaian melalui media bahasa
6. Imajinasi
7. Bermakna
lebih
8. Berlabel
sastra
9. Merupakan
konvensi masyarakat sebagai ciri-ciri sastra
Lexemburg, (1984:9) menambahkan beberapa ciri
lagi yaitu :
1. Bukan
imitasi
2. Otonom
3. Koherensi
4. Sintesa
5. Mengungkapkan
yang tak terungkapkan sebagai ciri sastra yang lainnya
Dengan demikian
sudah teridentifikasi empat belas ciri sastra. Tentu pendapat lain dapat pula
ditambahkan , seperti pendapat yang dipegang pada zaman Romantik, bahwa sastra
itu merupakan luapan emosi spontan, sedangkan menurut kaum formalis , sastra
selain melanjutkan cirinya pada aspek sintaktik, juga pada grafiknya.
F.
Wilayah
Studi Sastra
Yang merupakan tiga cabang studi
sastra itu adalah teori sastra, sejarah sastra, dan kritik sastra ( Wellek dan
Warren dalam Pradopo, 2002: 34-35). Pengertian ketiga cabang studi sastra itu
sebagaimana dijelaskan Pradopo (2002) dan Fananie (2000) berikut ini.
1. Teori
sastra adalah bidang studi sastra yang berhubungan dengan teori kesusastraan ,
seperti studi tentang apakah kesusastraan itu, bagaimana unsur-unsur atau
lapis-lapis normanya; studi tentang jenis sastra (genre), yaitu apakah jenis
sastra dan masalah umum yang berhubungan dengan jenis sastra, kemungkinan dan
kriteria untuk membedakan jenis sastra dan sebagainya (Pradopo, 2002:34).
Perihal
unsur-unsur atau lapis-lapis norma karya sastra dijelaskan lebih lanjut oleh
Fananie yakni menyangkut aspek-aspek dasar dalam teks sastra. Aspek-aspek
tersebut meliputi aspek intrinsik dan ekstrinsik sastra. Teori intrinsik sastra
berhubungan erat dengan bahasa sebagai sistem, sedang konvensi ekstrinsik
berkaitan dengan aspek-aspek yang melatarbelakangi penciptaan sastra. Aspek
tersebut meliputi aliran, unsur-unsur budaya, filsafat, politik, agama,
psokologi, dan sebagainya (Fananie, 2000: 17-18).
2. Sejarah
sastra adalah studi sastra yang membicarakan lahirnya kesusastraan Indonesia
modern, sejarah sastra membicarakan sejarah jenis sastra, membicarakan
periode-periode sastra, dan sebagainya.
Semua pembicaraan
yang berhubungan dengan kesejarahan sastra, baik pembicaraan jenis, bentuk,
pikiran-pikiran, gaya-gaya bahasa yang terdapat dalam karya sastra dari periode
ke periode (Pradopo,2002:34).
Dikemukakan oleh Fananie (2000;19-20) bahwa berdasarkan
aspek kajiannya, sejarah sastra dibedakan menjadi :
a. Sejarah
genre, yaitu sejarah sastra yang mengkaji perkembangan karya-karya sastra
seperti puisi dan prosa yang meliputi cerpen, novel, drama, atau sub genre
seperti pantun, syair, talibun, dan sebagainya. Kajian tersebut dititik beratkan pada proses
kelahirannya, perkembangannya, dan pengaruh-pengaruh yang menyertainya.
b. Sejarah
sastra secara kronologis, yaitu sejarah sastra yang mengkaji karya-karya sastra
berdasarkan periodisasi atau babakan waktu tertentu. Di Indonesia penulisan
sejarah sastra secara kronologis, misalnya klasifikasi periodisasi tahun 20-an,
yang melahirkan angkatan Balai Pustaka, tahun 30-an yang melahirkan angkatan
Pujangga Baru, tahun 42, sastra Jepang, tahun 45, tahun 60-an yang melahirkan
Angkatan 66 dan sastra mutakhir atau kontemporer.
c. Sejarah
sastra komparatif, yaitu sejarah sastra yang mengkaji dan membandingkan
beberapa karya sastra pada masa lalu, pertengahan, dan masa kini. Bandingan
tersebut bisa meliputi karya-karya sastra antar negara seperti sastra Eropa
dengan sastra Indonesia,Melayu, dan sebagainya. Aspek-aspek yang dibandingkan
dapat meliputi beberapa hal seperti yang dikemukakan oleh Rene Wellek, yaitu :
1) Comparative
literature : The study of oral literature
expecially of falle talk themes and then imigration, of how and other
they have entered higher artistic. (Pengkajian sastra lisan khususnya mengenai
terra-terra cerita rakyat dan cerita kepindahannya, bagaimana dan kapan
sastra-sastra rakyat tersebut berkembang/ masuk pada bagian yang lebih tinggi
pada keindahan sastra itu yang bersifat aristik).
2) The
study of relationship betwen two or more literature.(Hubungan kajian antara dua
atau beberapa karya sastra).
3) The
study of literature in its totality . (Kajian sastra secara keseluruhan).
Kesusastraan dibagi menjadi tiga wilayah. Tiga wilayah
kesusastraan itu adalah :
1. Wilayah
penciptaan sastra
2. Wilayah
penikmatan sastra
3. Wilayah
penelitian sastra
Dikemukakan oleh Mursal Esten
(1978:13-14), bahwa ketiga wilayah dalam kehidupan kesusastraan itu saling
berhubungan dan saling membantu. “Wilayah penciptaaan kesusastraan adalah
wilayah para sastrawan , yang diisi dengan ciptaan-ciptaan yang baik dan
bermutu. Persoalan mereka ialah bagaimana menciptakan ciptasastra yang baik dan
bermutu. Wilayah penelitian ialah wilayah para ahli dan para kritikus.
Mereka berusaha menjelaskan,
menafsirkan, dan memberikan penilaian terhadap ciptasastra-ciptasastra. Tentu
saja mereka harus melengkapi diri mereka dengan segala pengetahuan yang mungkin
diperlukan untuk memahami ciptasastra yang mereka hadapi. Wilayah para penikmat
ialah wilayah para pembaca. Wilayah ini tidak kurang pentingnya, karena untuk
merekalah sesungguhnya ciptasastra-ciptasastra ditulis oleh para pengarang.”
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari pembahasan
di atas penulis dapat menyimpulkan bahwa kaidah sastra mencakup beberapa unsur penting: 1). kreativitas, 2). Tegangan (suspense), 3).Konflik, dan 4) jarak estetika.
1) Kreativitas bisa mengacu pada
pengertian hasil yang baru, berbeda dengan yang pernah ada. Kreativitas terdiri
atas beberapa tahap, antara lain: a) pemunculan ide, b) pengembangan ide, dan
c) penyempurnaan ide. 2) Tegangan (suspense). Tanpa tegangan, cerita tidak
memikat.penulis/pencerita yang mahir akan memelihara tegangan itu, sehingga
mampu mempermainkan hasrat ingin tahu pembaca. Bahkan kadang¬kadang segenap
pikiran dan perasaan pembaca terkonsentrasikan ke dalam cerita itu, karena
kuatnya tegangan yang dirangkai oleh sang penulis
Penulis karya
sastra harus mempunyai bekal kemampuan bahasa yang memadai. Untuk mengembangkan
kemampuan bahasa dapat dilakukan dengan cara; 1) mengembangkan kosakata, 2)
mengembangkan penguasaan kaidah bahasa, dan 3) mengembangkan pengetahuan
makna.Kemampuan seorang penulis tentang seluk beluk karya sastra akan
mempermudah penulisan karya sastra, baik puisi, prosa (cerpen, novel, roman),
maupun drama. Untuk meningkatkan kemampuan sastra seseorang dapat dilakukan
dengan cara: 1)
meningkatkan kemampuan apresiasi terhadap suatu karya sastra, 2) mengikuti kegiatan bersastra, 3) melakukan kritik karya sastra, 4) meningkatkan pengetahuan sastra,
dan 5) menulis sastra.
B.
Kritik dan
Saran
Sebagai mahasiswa jurusan sastra
maka sangat diperlukan untuk memahami berbagai kaidah-kaidah sastra untuk
menunjang pembelajarannya. Terutama untuk mengembangkan kemampuannya dalam
mengenal dan mengapresiasi sastra. Sehingga mempelajari kaidah sastra merupakan
suatu keharusan bagi mahasiswa jurusan sastra.
DAFTAR PUSTAKA
Tarigan, Henry Guntur.
1981. Menulis; Sebagai Suatu Ketrampilan Berbahasa. Bandung Angkasa.
Esten, Mursal. 1978. Kesusastraan
: Pengantar Teori dan Sejarah. Bandung : Angkasa.
Fananie, Z. 2000.
Telaah Sastra . Yogyakarta : Muhammadiyah University
Luxemburg, Jan Van, dkk.1984. Pengantar Ilmu Sastra. Jakarta : PT Gramedia.
Pradopo, Rachmat Djoko.2002. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik dan Penerapannya. Yogyakarta :
Pustaka Pelajar.
Waluyo, Herman J. 1994. Pengkajian Cerita Fiksi. Surakarta : Sebaelas Maret
University Press.
Wellek, Rene dan Warren Austin.1993. Teori Kesusastraan. Jakarta : PT Gramedia.
No comments:
Post a Comment