MAKALAH METODE KERJA KELOMPOK DAN PERANAN
BAB I
PENDAHULUAN
·
Latar Belakang
Kajian tasawuf Nusantara adalah merupakan bagian yang
tak terpisahkan dari kajian Islam di Indonesia. Sejak masuknya Islam di
Indonesia telah tampak unsur tasawuf yang mengisi kehidupan beragama masyarakat
Indonesia, bahkan saat inipun kajian mengenai tasawuf masih menjadi bagian yang
tak terpisahkan dari Indonesia, dapat dibuktikan dengan semakin maraknya kajian
Islam.
Menurut Dr. Alwi Shihab, tasawuf adalah faktor
terpenting bagi tersebarnya Islam secara luas di Asia Tenggara. Meski setelah
itu terjadi perbedaan pendapat mengenai kedatangan tarekat, apakah bersamaan
dengan masuknya Islam atau datang kemudian. Perbedaan yang sama terjadi pula
mengenai tasawuf falsafi yang diasumsikan sebagai sumber inspirasi bagi
penentuan metode dakwah yang dianut dalam penyebaran Islam tersebut.
Maka dari itu dalam makalah ini kami akan menjabarkan
mengenai bagaimana tasawuf yang bekembang di Indonesia.
Tasawuf merupakan petualang batin yang penuh
keasyikan dan sarat dengan pesan-pesan
spiritual yang menentramkan batin manusia. Sebagai suatu sistem penghayatan
keagamaan yang bersifat esoterik. Tasawuf berkembang menjadi wacana kajian
akademik yang senantiasa aktual secara kontekstual dalam setiap kajian
pemikiran islam. Apalagi di tengah-tengah situasi masyarakat yang cenderung
mengarah kepada dekadensi moral, yang imbasnya mulai mendapat perhatian dan
dituntut peranannya secara aktif mengatasi masalah tersebut . oleh karena itu,
tasawuf secara universal menempati posisi substansi dalam kehidupan manusia.
1.2 Rumusan
Masalah
Maka dari latar belakang tersebut penulis bermaksud
merumuskan masalah sebagai berikut :
1.
Bagaimana perkembangan tasawuf di indonesia
2.
Bagaimana
Reformasi sufisme di indonesia
3.
Bagaimana aliran tasawuf di indonesia
4.
Siapa saja tokoh-tokoh tasawuf di indonesia
1.3 Tujuan Masalah
1.
Mengetahui pekembangan tasawuf di indonesia
2.
Mengetahui reformasi sufisme di indonesia
3.
Mengetahui aliran tasawuf di indonesia
4.
Mengetahui tokoh-tokoh tasawuf di indonesia
BAB
II
PEMBAHASAN
- Sejarah
perkembangan tasawuf di indonesia
Dari segi
Linguistik dapat dipahami bahwa tasawuf merupakan sikap mental yang selalu
memelihara kesucian diri, beribadah, hidup sederhana, rela berkorban untuk
kebaikan dan selalu bersikap bijaksana[1]. Sikap
mental yang seperti ini hakikatnya pada akhlak yang mulia karena hanya dapat
dipandang dengan mengaplikasikannya dalam kebijakan mengambil. Tasawuf juga
berperan dalam membersiahkan hati sanubari. Karean tasawuf banyak berurusan
dengan dimensi esoterik (batin).
Tasawuf mulai masuk ke
Indonesia bersamaan dengan masuknya Islam ke Indonesia dan tasawuf mengalami
banyak perkembangan itu ditandai dengan banyaknya berkembang ajaran tasawuf dan
tarikat yang muncul dikalangan masyarakat saat ini yang dibawah oleh para ulama
Indonesia yang menuntut ilmu di Mekkah dan Madina kemudian berkembang.
Hawash Abdullah menyebutkan
beberapa bukti tentang besarnya peran para sufi dalam menyebarkan Islam pertama
kali di Nusantara. Ia menyebutkan Syekh Abdullah Arif yang menyebarkan untuk
pertama kali di Aceh sekitar abad ke-12 M. Dengan beberapa mubalig
lainya. Menurut Hawash Abdullah kontribusi para sufilah yang sangat
memperngaruhi tumbuh pesatnya perkembangan Islam di Indonesia[2].
Perlu kita ketahui bahwa
sebelum Islam datang, dianut, berkembang dan saat ini mendominasi (mayoritas)
bahwa telah berkembang berbagai faham tentang konsep Tuhan seperti Animisme,
Dinamisme, Budhaisme, Hinduisme. Para mubalig menyebarkan Islam dengan
pendekatan tasawuf. M. Sholihin menerangkan bahwa hamper semua daerah yang
pertama memeluk Islam bersedia menukar kepercayaannya[3].Karena
tertarik pada ajaran tasawuf yang di ajarkan para mubalig pada saat itu.
Dalam perkembangan tasawuf di
Nusantara menurut Azyumadi Azra, tasawuf yang pertama kali menyebar dan dominan
di Nusantara adalah yang bercorak falsafi, yakni tasawuf yang sangat filosofis
dan cendrung spekulatif seperti al-Ittihad (Abu Yazid Al-Bustami), Hulul
(Al-Hallaj), dan Wahda al Wujud (Ibn Arabi). Dominasi tasawuf filsafi terlihat
jelas pada kasus Syekh Siti jenar yang dihukum mati oleh Wali Songo karena
dipandang menganut paham tasawuf yang sesat.[4]
Kemudian pada abad ke-16
kitab-kitab klasik mulai ada dan dipelajari kemudian diterjemahkan dalam bahasa
melayu seperti kitab Ihya’ Ulumuddin karya Al-Ghazali. Kemudian muncullah
beberapa tokoh tasawuf asli Indonesia seperti Hamzah Fansuri, Nuruddin
Ar-Raniri, Syekh Abdul Rauf Singkili, Abdul Somad Al-Palembani, Syekh yusuf
Al-Makassari.
- Reformasi
sufisme di indonesia
Hamzah Fanzuri dan
Syams Al-Din adalah dua tokoh sufi awal yang menyebarkan ajaran wahdatul wujud
di Nusantara. Kedua tokoh sufi itu sangat berjasa dalam meningkatkan tradisi
intelektualisme di Nusantara. Hamzah Fanzuri dan Syams Al-Din dikenal sebagai
pionir penulisan kitab dan karya kesusasteraan di Nusantara. Namun dalam
perjalanannya, ajaran sufisme yang dibawa oleh Fanzuri dan Syams Al-Din menjadi
meredup dan kemudian digantikan oleh corak tasawuf yang dibawa oleh Al-Raniri
yang lebih menekankan pada paham wahdatul wujud yang lebih moderat dan diwarnai
oleh ortodoksi syariah. Ia juga mengubah kecenderungan sufisme lama yang
condong pada sikap individualisme dan anti keduniaan menjadi condong pada sikap
aktivisme.
Walaupun Al-Raniri
dikenal kontroversial akibat pandangannya yang sangat radikal dalam menentang
paham wahdatul wujud yang dibawa oleh Hamzah Fanzuri dan Syams Al-Din, namun
jasa baik Al-Raniri tak boleh dilupakan. Ia adalah salah satu tokoh yang ikut
berkontribusi dalam meningkatkan tradisi intelektualisme di tanah Melayu.
Tatkala diberikan kepercayaan untuk menjadi pejabat di kesultanan, Al-Raniri
memberi banyak kontribusi pada proses intensifikasi Islam di Nusantara[5],seperti
mengarang buku acuan standar tentang fikih kepada penduduk muslim,
menerjemahkan hadis ke dalam bahasa Melayu, dan berbagai upaya lainnya. Karena
besarnya kontribusi yang diberikan oleh Al-Raniri, sarjana seperti Uka
Tjandrasasmita memuji bahwa “tidak ada orang lain di dunia Melayu yang
menyumbangkan begitu banyak dalam lapangan ilmu dan pembelajaran Islam daripada
Al-Raniri”.17 Pasca Al-Raniri, estafet keilmuan kemudian dilanjutkan oleh
Al-Sinkili yang merupakan seorang ahli di bidang fikih, tafsir, kalam, dan
tasawuf. Al-Sinkili berhasil mengarang berbagai buku yang memuat tentang aspek
muamalat dari fikih secara komprehensif, melampaui ajaran fikih yang dilakukan
oleh Al-Raniri. Ia juga merupakan salah satu tokoh yang merintis penafsiran
Al-Qur’an ke dalam bahasa Melayu. Baik Hamzah Fanzuri, Syams Al-Din, Al-Raniri,
maupun Al-Sinkili adalah tokoh-tokoh Islam Melayu yang berhasil merangsang
pesatnya pertumbuhan tradisi intelektualisme secara meluas di Nusantara.
Sebelum kemunculan Islam, tradisi intelektualisme menjadi sesuatu yang sangat
ekslusif karena ia hanya dimiliki oleh kalangan elit Hindu-Buddha dan juga
kalangan istana. Namun, setelah Islam tumbuh di Nusantara, tradisi
intelektualisme menjadi tradisi yang bersifat egaliter dan terbuka bagi setiap
kalangan. Di era Syekh Yusuf dan tokoh-tokoh sufi setelahnya, umat Islam secara
umum telah disibukkan dalam proses perjuangan melawan kolonialisme. Tercatat,
ketika Syekh Yusuf menetap di Banten, ia ikut berjihad mengusir VOC Belanda,
meskipun pada akhirnya ia berhasil dan ditangkap dan dibuang oleh Belanda ke
Afrika Selatan. Tak bisa dipungkiri, bahwa pengaruh ajaran sufisme di
Nusantara, khususnya setelah Al-Raniri meniupkan ajaran neo-sufisme -yang
menekankan pada unsur ortodoksi Islam dan juga cenderung pada sikap aktivis
ketimbang pasifis- telah berhasil merangsang semangat perlawanan dan juga
memperkuat solidaritas rakyat untuk melawan kolonialisme. Para penganut ajaran
sufisme -yang terorganisasi dan terlembaga dalam bentuk tarekat- juga berhasil
mengintegrasikan etnik-etnik Nusantara yang berbeda-beda untuk berkonfrontasi
melawan kolonialisme. Sebelumnya, hampir tak ada kekuatan yang mampu menyatukan
berbagai etnik sebelum tokoh ulama/pemimpin tarekat berhasil menyatukan mereka
dalam suatu struktur yang solid dan terorganisir. Dengan adanya dorongan dari
para ulama/pemimpin tarekat beserta santri-santrinya, maka aksi perlawanan
rakyat terhadap kolonialisme akhirnya pecah pada pertengahan abad ke-17 ketika
terjadi Perang Ternate (1635-1646), Perang Makassar (1660-1669), Perang
Trunojoyo (1675-1679), Perang Banten (1680-1682), dan kemudian berlanjut pada
abad ke-18 dengan pecahnya Perang Cirebon (1802-1806), Perang Palembang
(1812-1816)[6]
Perang Paderi (1821-1838), Perang Diponegoro (1825-1830), Perang Banjarmasin
(1859-1862), dan Perang Aceh (1872-1908).18 Dalam sejarah Indonesia, jasa
ulama/pemimpin tarekat dalam menentang kolonialisme sungguh sangat besar.
Dengan kharismanya, mereka mampu menggerakkan para pengikutnya menentang
penjajahan karena mereka berpandangan bahwa Islam adalah agama yang anti pada
segala bentuk penindasan dan ketidakadilan. Sebelum adanya perjuangan
anti-kolonialisme yang dilandasi oleh spirit Islam, tak ada satupun kekuatan
yang mampu menggerakan gerakan-gerakan kebangsaan. Satu-satunya kekuatan yang
sanggup melakukan hal itu hanyalah Islam karena ia memiliki struktur-struktur
tradisional yang solid, seperti pesantren, madrasah, masjid, haji, majelis
taklim, pengajian-pengajian, gerakan pemuda, organisasi dagang, dan tarekat
sufi. Dari struktur-struktur itulah, para ulama tarekat berhasil mendidik dan
menyediakan para kader yang memiliki ilmu agama yang luas sekaligus memiliki
militansi yang kuat dalam menentang berbagai praktik yang tak sejalan dengan
semangat ajaran Islam
- Aliran tasawuf
di indonesia
Tasawuf Islam
terbagi kepada Nazhari dan Amali.
1. Tasawuf
Nazhari ( Sunni / Teori )
Tasawuf Sunni
( teori ) adalah tasawuf yang benar-benar mengikuti
Al-qur’an dan Sunnah, terikat, bersumber, tidak keluar dari batasan-batasan
keduanya, mengontrol perilaku, lintasan hati serta pengetahuan dengan neraca
keduanya.Tasawuf ini berawal dari zuhud dan berakhir pada
akhlak.Kesempurnaan dan kesucian jiwa dan raga yang bermula dari pembentukan
pribadi yang bermoral dan ber-akhlak mulia, yang dalam ilmu tasawuf
dikenal Takhalli (pengosongan diri dari sifat-sifat tercela).Sebagian sufi
abad kedua, atau pertengahan abad kedua, dan setelahnya sampai abad keempat
hijriyah. Dan personal seperti Hasan Al-Bashri, Imam Abu
Hanifa, Al-Junaidi Al-Bagdadi, Al-Qusyairi, As-Sarri As-Saqeti, Al-Harowi,
adalah merupakan tokoh-tokoh sufi utama abad ini yang berjalan sesuai dengan
tasawuf sunni. Kemudian pada pertengahan abad kelima hijriyah imam Ghozali
membentuknya kedalam format atau konsep yang sempurna, kemudian diikuti oleh
pembesar syeih Toriqoh. Akhirnya
menjadi salah satu metode tarbiyah ruhiyah Ahli Sunnah wal jamaah. Dan tasawuf
tersebut menjadi sebuah ilmu yang menimpali kaidah-kaidah praktis.
2. Tasawuf
Amali
Tasawuf ‘Amali
adalah tasawuf yang membahas tentang bagaimana cara mendekatkan diri kepada
Allah. Tasawuf amali lebih menekankan pembinaan moral dalam upaya mendekatkan
diri kepada Allah.
Untuk mencapai
hubungan yang dekat dengan Tuhan, seseorang harus mentaati dan melaksanakan
syariat atau ketentuan ketentuan agama yang harus diikuti dengan amalan-amalan
lahir maupun batin yang disebut tariqah. Dalam amalan-amalan lahir batin itu
orang akan mengalami tahap demi tahap perkembangan ruhani. Ketaatan pada
syari’ah dan amalan-amalan lahir batin akan mengantarkan seseorang pada
kebenaran hakiki (haqiqah) sebagai inti syariat dan akhir tariqah. Kemampuan
orang mengetahui haqiqah akan mengantarkan pada ma’rifah, yakni mengetahui dan
merasakan kedekatan dengan Tuhan melalui qalb. Pengalaman ini begitu jelas
sehingga jiwanya merasa satu dengan yang diketahuinya itu.
Imam terbesar
tasawuf ‘amali, yang telah berhasil menyatukan antara teori dan amal adalah
Shaykh Abd al-Qodir al-Jilani (470 H/1077 M - 561 H/1166 M), dia adalah orang
pertama yang mendirikan madrasah ini dalam bentuk tariqah. Kemudian diikuti
oleh Imam Ahmad al-Rifa’i(w.578 H/1106 M), Imam Abu al-H}asan al-Shadhili, dan
Imam Baha’ al-Din Muhammad al-Naqshabandi (717-791 M).
3. Tasawuf
Falsafi
Tasawuf Falsafi
yaitu tasawuf yang ajaran-ajaranya memadukan antara visi intuitif dan visi
resional. Terminology filosofis yang digunakan berasal dari bermacam-macam
ajaran filsafat yang telah mempengaruhi para tokohnya, namun orisinalitasnya
sebagai tasawuf tetap tidak hilang.
Walaupun demikian
tasawuf filosofis tidak bisa di pandang sebagai filsafat, karena ajaran dan
metodenya di dasarkan pada dasar dzauq, dan tidak pula bisa di kategorikan pada
tasawuf (yang murni) karena sering di ungkapkan dengan bahasa filsafat.
Dalam upaya mengungkapkan
pengalaman rohaninya, para shufi falsafi sering menggunakan ungkapan-ungkapan
yang samar, yang sering di kenal dengan syathahiyyat, yaitu suatu ungkapan yang
sulit difahami, yang seringkali mengakibatkan kesalahpahaman pihak luar, dan
menimbulkan tragedy. Tokoh-tokohnya ialah Abu Yazid al-busthami, al-Hallaj, Ibn
Arabi.
- Tokoh-tokoh
tasawuf di indonesia
1. Hamzah
Fansuri
a) Riwayat
Hidup Hamzah Fansuri
Syekh Hamzah
Fansuri di kenal sebagai seorang pujangga Islam yang sangat populer dalam
kesusastraan Melayu dan Indonesia. Meskipun kebesaran nama beliau di akui oleh
para ahli, namun tahun dan tempat kelahiran beliau belum di ketahui.
Orang banyak
menyanggah Al-Fansuri karena ajaran wihdatul wujud, hulul, ittihad-nya
mengikuti faham Al-Hallaj sehingga di anggap sebagai zindiq, sesat, dan kafir.
Dalam kesusastraan
Melayu dan Indonesia karya-karya beliau tercatat dalam buku-buku syair antara
lain Syair Burung Pingai, Syair Dagang, Syair Pungguk, Syair Sidang Faqir,
Syair Ikan Tongkol, dan Syair Perahu. Dan menurut para
ahli berdasar syair-syair beliau, Hamzah Fansuri dalam mengembangkan tasawufnya
hingga sampai seluruh Semenanjung, di Negeri Perak, Perlis, Kelantan, Trengganu
dan lain-lain.
b) Ajaran Tasawuf Hamzah
Fansuri
Pemikiran
Al-Fansuri banyak di pengaruhi oleh Ibn Arabi dalamWahdat al-Wujud-nya. Ia
mengajarkan bahwa Tuhan lebih dekat daripada leher manusia sendiri dan Tuhan
tidak bertempat. Ia memahami ayat Al-Qur’an “Di mana kamu hadapkan wajahmu di
situ ada wajah Tuhan.” Wajah Tuhan di tafsirkan sebagai sifat-sifat Tuhan
seperti Pengasih, Penyayang, Jalal, dan Jamal. Oleh sebab itu ia menolak
perkataan Abu Yazid Al-Bustami yang mengatakan bahwa Tuhan berada di dalam
jubahnya.
2. NURUDDIN Ar-RANIRI
a) Riwayat Hidup
Nuruddin Ar-Raniri
Nuruddin Ar-Raniri
lahir di kota Ranir Pantai Gujarat, India. Tahun kelahirannya tidak di ketahui
tetapi banyak ahli yang memperkirakan ia lahir di akhir abad 16. Guru yang paling
berpengaruh adalah Abu Nafs Sayyid Imam bin ‘Abdullah bin Syaiban, seorang guru
Tarekat Rifa’iyah.
Ar-Raniri merupakan
tokoh pembaharuan Islam di Aceh. Pembaharuan utamanya adalah memerangi aliran
Wujudiyyah yang dianggap aliran sesat.
Karya-karya beliau
antara lain Ash-Shirath Al-Mustaqim, Bustan As-Salatin fi DzikirAl-Awwalin
wa Al-Akhirin, Durrat Al-Farra’idh bi Syarhi Al’Aqa’id, Syifa Al-Qulub.
b) Ajaran Tasawuf
Ar-Raniri
Mengenai ketuhanan,
Ar-Raniri berupaya menyatukan pahamMutakallimin dengan paham para sufi
yang diwakili oleh Ibn Arabi. Ia berpendapat ungkapan “wujud Allah dan Alam
Esa” berarti alam ini merupakan sisi lahir dari hakikat batin yaitu Allah SWT
sebagaimana yang dimaksud Ibn Arabi. Tetapi hakikatnya alam ini tidak ada yang
ada adalah wujud Allah Yang Esa. Jadi ia berpendapat bahwa alam ini tidak bisa
dikatakan berbeda dengan Allah atau bersatu dengan Allah, alam ini
merupakan tajalli Allah SWT.
Ar-Raniri
berpandangan alam ini diciptakan melalui tajalli, ia menolak ajaran
Al-Farabi tentang emanasi karena membawa pada pengakuan alam
ini qadim hingga dapat jatuh pada kemusyrikan.
Ajaran Wujudiyyah
menurutnya Ar-Raniri berpusat pada Wahdat Al-Wujud yang di salah
artikan oleh kaum Wujudiyyah dengan arti kemanunggalan Allah
SWT. Menurutnya, ajaran Hamzah Al-Fansuri tentang wahdat
Al-wujud dapat membawa kepada kekafiran. Jika Tuhan dan makhluk itu
satu maka dapat di artikan Tuhan adalah makhluk dan makhluk adalah Tuhan. Semua
perbuatan manusia tentang baik dan buruk berarti Tuhan juga melakukannya.
3. SYEKH ABDUR RAUF As-SINKILI
a) Riwayat Hidup Abdur
Rauf As-Sinkili
Abdur Rauf
As-Sinkili merupakan ulama dan mufti besar kerajaan Aceh abad ke-7 (1606-1637
M). Ayahnya berasal dari Persia yang datang ke Samudera Pasai menetap di
Fansur, Barus. Pendidikan Abdur Rauf As-Sinkili di dapat dari ayahnya di
Simpang Kanan (Sinkil). Dari ayahnya ia menguasai banyak ilmu agama, sejarah,
dan bahasa. Menurut para ahli, Abdur Rauf As-Sinkili di akui memang mempunyai
silsilah bersambung dari gurunya hingga kepada Nabi Muhammad SAW.
Di antara
karya-karya beliau antara lain Mir’at Ath-Thullab, Hidayat Al-Balighah,
‘Umdat Al-Muhtajin, Syams Al-Ma’rifat, Kifayat Al-Muhtajin, Turjuman
Al-Mustafidh, dll.
b) Ajaran tasawuf Abdur Rauf
As-Sinkili
Ajaran tasawuf
Abdur Rauf As-Sinkili sama dengan Syamsudin dan Nuruddin, yaitu menganut paham
satu-satunya wujud hakiki, yaitu Allah SWT., sedangkan alam merupakan bayangan
dari yang hakiki. Sehingga bayangan memiliki keserupaan sifat dari yang
memancarkan. Sifat-sifat manusia adalah bayangan dari sifat-sifat Allah SWT.,
seperti hidup, tahu, dan melihat.
Ajaran tasawuf
As-Sinkili yang lain mengenai martabat perwujudan Tuhan. Menurutnya ada tiga
martabat perwujudan tuhan. Pertama,martabat la ta’ayyun yaitu
alam masih berupa hakikat gaib dalam ilmu
Tuhan. Kedua, martabat ta’ayyun awwal yaitu adanya potensi
terciptanya alam. Ketiga, martabat ta’ayyun
tsani, dari sinilah alam tercipta. Syair Ibn Arabi tentang “Aku
Engkau, Kami Engkau, Engkau Ia” hanya benar pada ta’ayyun awwal. Sedang
dalam ta’ayyun tsanialam sudah memiliki sifat tersendiri tapi merupakan
cerminan dari sifat Tuhan
4. SYEKH YUSUF AL MAKASARI
a) Riwayat Hidup Shekh Yusuf Al
Makasari
Syekh Yusuf Al
Makasari merupakan tokoh sufi dari Sulawesi. Lahir pada 8 Syawal 1036 H atau 3
Juli 1629 M. Dalam relatif singkat ia mampu mempelajari Al-Qur’an 30 juz dan
mungkintermasuk penghapal, setelah itu dilanjutkan ke ilmu-ilmu yang lain
seperti nahwu, sharaf, bayan, balaghah, mantiq, fikih, ilmu ushuluddin dan
tasawuf.
b) Ajaran Tasawuf
Syekh Yusuf Al Makasari
Syekh Yusuf Al
Makasari mengungkapkan tentang paradigma sufistiknya berasal dua aspek, yaitu
lahir (syari’at) dan batin (hakikat) yang harus di pandang dan diamalkan secara
bersamaan.
Pandangannya sama
dengan Wahdatul Al-Wujud dalam filsafat Ibnu Arabi. Ia meyakini bahwa
Tuhan melingkupi segala sesuatu dan selalu dekat dengan sesuatu. Syekh Yusuf
mengembangkan istilah al-ihathah(peliputan)
dan al-ma’iyyah (kesertaan). Maksudnya Tuhan turun (tanazul) sementara
manusia naik (taraqi), proses spiritual yang membuat keduanya dekat. Proses ini
menurutnya tidak akan mengambil bentuk kesatuan wujud antara manusia dan Tuhan.
Syekh Yusuf
berpendapat tentang Insan Kamil dan proses penyucian jiwa. Menurutnya
manusia akan tetap manusia walau sudah naik derajat dan Tuhan tetap Tuhan walau
telah turun ke diri hamba. Mengenai menyucian jiwa, ia menempuh dengan jalan
moderat yaitu bahwa dunia ini tidak untuk di tinggalkan dan mematikan hawa
nafsu. Hidup di arahkan untuk menuju Tuhan dan hawa nafsu di kendalikan dengan
tertib hidup dan disiplin atas orientasi ketuhanan.
5. SYEKH NAWAWI AL-BANTANI
a) Riwayat
Hidup Syekh Nawawi Al-Bantani
1230-1314 H / 1815-
1897 M Lahir dengan nama Abû Abdul Mu’ti Muhammad Nawawi bin ‘Umar bin ‘Arabi.
Ulama besar ini hidup dalam tradisi keagamaan yang sangat kuat. Ulama yang
lahir di Kampung Tanara, sebuah desa kecil di kecamatan Tirtayasa, Kabupaten
Serang, Propinsi Banten. Bernasab kepada keturunan Maulana Hasanuddin Putra
Sunan Gunung Jati, Cirebon. Keturunan ke-12 dari Sultan Banten. Nasab beliau
melalui jalur ini sampai kepada Baginda Nabi Muhammad saw.
Di usia beliau yang
belum lagi mencapai 15 tahun, Syaikh Nawawi telah mengajar banyak orang. Pada
usia 15 tahun beliau menunaikan haji dan berguru kepada sejumlah ulama terkenal
di Mekah, sepertiSyaikh Khâtib
al-Sambasi, Abdul Ghani Bima, Yusuf Sumbulaweni,Abdul Hamîd Daghestani, Syaikh Sayyid
Ahmad Nahrawi, Syaikh Ahmad Dimyati, Syaikh Ahmad
Zaini Dahlan, Syaikh
Muhammad Khatib Hambali, dan Syaikh Junaid
Al-Betawi. Tapi guru yang paling berpengaruh adalah Syaikh Sayyid
Ahmad Nahrawi, Syaikh Junaid
Al-Betawi dan Syaikh Ahmad Dimyati, ulama terkemuka
di Mekah.
Lewat ketiga Syaikh inilah karakter beliau terbentuk. Selain itu juga ada dua
ulama lain yang berperan besar mengubah alam pikirannya, yaituSyaikh Muhammad Khatib dan Syaikh Ahmad
Zaini Dahlan, ulama besar di Madinah.
Di antara buku yang
ditulisnya dan mu’tabar (diakui secara luas–Red) seperti Tafsir Marah Labid,
Atsimar al-Yaniah fi Ar-Riyadah al-Badiah, Nurazh Sullam, al-Futuhat
al-Madaniyah, Tafsir Al-Munir, Tanqih Al-Qoul, Fath Majid, Sullam Munajah,
Nihayah Zein, Salalim Al-Fudhala, Bidayah Al-Hidayah, Al-Ibriz Al-Daani, Bugyah
Al-Awwam, Futuhus Samad, dan al-Aqdhu Tsamin. Sebagian karyanya tersebut juga
diterbitkan di Timur Tengah.
b) Ajaran
Tasawuf Syekh Nawawi Al-Bantani
Dalam bidang
tasawuf ia memiliki konsep yang identik dengan tasawuf ortodok.
Pandangan
tasawufnya meski tidak tergantung pada gurunya Syekh Khatib Sambas, seorang
ulama tasawuf asal Jawi yang memimpin sebuah organisasi tarekat, bahkan tidak
ikut menjadi anggota tarekat, namun ia memiliki pandangan bahwa keterkaitan
antara praktek tarekat, syariat dan hakikat sangat erat. Untuk memahami lebih
mudah dari keterkaitan ini Nawawi mengibaratkan syariat dengan sebuah kapal,
tarekat dengan lautnya dan hakekat merupakan intan dalam lautan yang dapat
diperoleh dengan kapal berlayar di laut. Dalam proses pengamalannya Syariat
(hukum) dan tarekat merupakan awal dari perjalanan (ibtida’i) seorang sufi,
sementara hakikat adalah hasil dari syariat dan tarikat. Pandangan ini
mengindikasikan bahwa Syekh Nawawi tidak menolak praktek-praktek tarekat selama
tarekat tersebut tidak mengajarkan hal-hat yang bertentangan dengan ajaran
Islam, syariat.
Paparan konsep
tasawufnya ini tampak pada konsistensi dengan pijakannya terhadap pengalaman
spiritualitas ulama salaf. Tema-teman yang digunakan tidak jauh dari rumusan
ulama tasawuf klasik. Model paparan tasawuf inilah yang membuat Nawawi harus
dibedakan dengan tokoh sufi Indonesia lainnya. la dapat dimakzulkan (dibedakan)
dari karakteristik tipologi tasawuf Indonesia, seperti Hamzah Fansuri, Nuruddin
al-Raniri, Abdurrauf Sinkel dan sebagainya.
6. HAMKA
a) Riwayat
Hidup Hamka
Hamka, atau nama
lengkapnya Haji Abdul Malik Karim Amrullah (lahir di Kampung Molek, Maninjau, Sumatera
Barat, Indonesia pada 17 Februari 1908 - 24 Julai 1981) adalah
seorang penulis dan ulama terkenal Indonesia.
Ayahnya ialah Syekh Abdul Karim bin Amrullah, yang
dikenal sebagai Haji Rasul, yang merupakan pelopor Gerakan Islah (tajdid) diMinangkabau.
Beliau banyak
menghabiskan masanya dengan membaca buku falsafah,sastera,sejarah,dan politik.Hamka
juga menyelidiki karya-karya Arab dan Barat yang diterjemahkan ke bahasa Arab
seperti Karl Marx dan Arnold Toynbee.
Beliau melibatkan
diri dengan pertubuhan Muhammadiyah dan menyertai cawangannya dan dilantik
menjadi anggota pimpinan pusat Muhammadiyah.Beliau melancarkan penentangan
terhadap khurafat,bida'ah,thorikoh kebatinan yang menular di Indonesia.Oleh
itu,beliau mengambil inisiatif untuk mendirikan pusat latihan dakwah
Muhammadiyah.
b) Ajaran
Tasawuf Hamka
Sebagai realisasi
dari upayanya memurnikan kembali ajaran tasawuf, Hamka menulis beberapa karya
yang berkenaan dengan tasawuf.
Berikut ini
dikemukakan beberapa pokok pikirannya, sebagaimana yang terdapat dalam
bukunya, Tasauf Moderen.
1) Tentang Harta
Benda dan Kekayaan
Untuk mendekatkan
diri sedekat-dekatnya kepada Tuhan, seorang sufi harus menempuh beberapa tahap,
antara lain al-zuhd dan al-faqr. Untuk tahap pertama,
seseorang harus mengabaikan kehidupan duniawi, sebab dunia dengan segala
kehidupan materialnya adalah sumber kemaksiatan dan penyebab terjadinya segala
kejahatan yang menimbulkan kerusakan dan dosa. Sedangkan tahap kedua, seseorang
harus bersikap tidak memaksa diri untuk mendapatkan sesuatu, tidak menuntut
lebih dari apa yang telah dimiliki, atau melebihi dari kebutuhan primer.
Bagi Hamka, harta
benda sangat perlu dalam melakukan pendekatan kepada Tuhan. Banyak kejadian
orang yang suci hatinya, tinggi maksudnya ingin berbuat baik kepada orang lain,
tetapi cita-citanya itu terhalang karena tidak memiliki harta yang memadai.
Bagaimana mungkin seseorang bisa memiliki pakaian untuk dipakai beribadah, atau
dapat membayar zakat dan naik haji, jika ia tidak memiliki harta.
Namun
demikian, Hamka menggarisbawahi bahwa orang yang sedikit
keperluannya, itulah orang yang paling kaya. Sebaliknya, orang yang paling
banyak keperluannya, itulah orang yang paling miskin. Jadi, pada hakekatnya,
kekayaan dan kemiskinan itu tergantung pada kebutuhan dan ketenteraman hati
seseorang.
2) Al-Qana’ah
Qana’ah ialah
menerima dengan cukup. Maksudnya, seseorang harus memagar apa yang dimilikinya
dan tidak menjalar pikirannya kepada apa yang dimiliki oleh orang lain.
Bukanlah qana’ah jika
menerima apa adanya dan tidak mau berusaha lagi, melemahkan hati, memalaskan
pikiran, serta mengajak berpangku tangan. Akan tetapi, qana’ah adalah
modal yang paling teguh untuk menghadapi kesungguhan hidup untuk mencari rezki
yang halal.
3) Tawakkal
Dalam kehidupan sufi,
tawakkal adalah, selain menyerahkan diri sepenuhnya kepada Tuhan, juga tidak
meminta, tidak menolak dan tidak menduga-duga. Nasib apapun yang diterima, itu
adalah karunia dari Tuhan. Menurut mereka, sikap ini akan berimplikasi pada
keadaan jiwa yang tenang, berani, dan ikhlas dalam menalani hidupnya.
Bagi Hamka, makna
tawakkal adalah penyerahan diri kepada Tuhan tanpa terlepas dari hukum
alam-Nya (sunnatullah). Sebagai contoh, sebelum keluar rumah, pintu
dikunci sambil bertawakkal kepada Tuhan. Sebaliknya, bukanlah tawakkal jika
seseorang yang duduk di bawah dinding yang hendak runtuh.
Untuk memperkuat
pendapatnya, ia mengutip sebuah riwayat yang pernah terjadi di zaman
Rasulullah. Seorang Arab Badwi yang datang menghadap kepada beliau tanpa
mengikat ontanya, dengan dasar tawakkal kepada Tuhan
BAB III
PENUTUP
- Saran
Setelah para
pembaca selesai membaca makalah ini, pastilah terdapat banyak kesalahan di
dalam penulisan makalah di atas, memang makalah ini masih jauh dari sempurna,
maka penulis mengharapkan kritik dan saran dari Bapak Dosen demi perbaikan
makalah yang selanjutnya serta menuju arah yang lebih baik.
Kemudain diharapkan
kepada para pembaca untuk pembuatan makalah selanjutnya, agar bisa menambah
referensi yang lebih mendukung, karena dalam pembuatan makalah ini penulis
hanya menggunakan beberapa referansi saja, hal ini dikarenakan keterbatasan
buku referensi yang penulis dapatkan.
- Kesimpulan
Masuknya tasawuf di
Indonesia bersamaan dengan masuknya Islam di Indonesia, karena sejarah Islam di
Indonesia tidak bisa lepas dari pengaruh ajaran tasawuf yang digunakan oleh
para penyebarnya. Kefleksibelan tasawuf yang mewarnai penyebaran tersebut
menjadikan Islam berhasil masuk dan kemudian mengakar dalam diri masyarakat
Indonesia, hampir tanpa catatan sejarah pertumpahan darah.
Tokoh sufi yang
mempengaruhi perkembangan tasawuf di Indonesia diantaranya adalah; Hamzah
Fansuri, Nuruddin al-Raniri, Abdur Rauf al-sinkili, dan Yusuf al-Makasari.
Diantara
tokoh-tokoh sufi tersebut terdapat pemikiran-pemikiran tasawuf yang beragam,
seperti pemikiran al-Fansuri tentang tasawuf yang banyak dipengaruhi Ibnu
‘Arabi dalam paham wahdad al wujud-nya. Sedangkan al-Raniri dalam masalah
ke-Tuhan-an pada umumnya bersifat kompromis. Ia berupaya menyatukan paham Mutakallimin dengan
paham para sufi yang diwakili Ibnu ‘Arabi.
DAFTAR
PUSTAKA
Abuddin
Nata, Akhlak Tasawuf, (Rajawali Press,: Jakarta, 2010). hlm. 179
Hawash
Abdullah, Perkembangan Ilmu Tasawuf dan Tokoh-Tokohnya di Nusantara,
(Al-Ikhlas : Surabaya, 1930). hlm.10
M.
Sholihin dan Rosihon Anwar, Ilmu Tasawuf, (Pustaka Setia : Bandung,
2008). hlm.141
Azyumadi
Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan
XVIII,
Azyumardi
Azra, Islam Reformis: Dinamika Intelektual dan Gerakan, h.170. Martin van
Bruinessen, “Sufism, ‘Popular’ Islam and the Encounter with Modernity”, dalam
Muhammad Khalid Masud, et, al, Islam and Modernity: Key Issues and Debates,
(Edinburgh University Press, 2009), h. 139.
Uka
Tjandrasasmita, Arkeologi Islam Nusantara, (Jakarta: Kepustakaan Populer
Gramedia, 2009), h. 30
1997. Ensiklopedia Islam. Jakarta : Ichtiar Baru Van
Hoeve.
Anwar, Rasihon. 2010. Akhlak Tasawu. Bandung:
Pustaka Setia
[2] Hawash
Abdullah, Perkembangan Ilmu Tasawuf dan Tokoh-Tokohnya di Nusantara,
(Al-Ikhlas : Surabaya, 1930). hlm.10
[5] 15Azyumardi Azra, Islam
Reformis: Dinamika Intelektual dan Gerakan, h. 170. 16Martin van Bruinessen,
“Sufism, ‘Popular’ Islam and the Encounter with Modernity”, dalam Muhammad
Khalid Masud, et, al, Islam and Modernity: Key Issues and Debates, (Edinburgh
University Press, 2009), h. 139. 11 seperti
[6] ), Uka Tjandrasasmita,
Arkeologi Islam Nusantara, (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2009), h.
30. 12
No comments:
Post a Comment