1

loading...

Friday, November 9, 2018

MAKALAH METODE KERJA KELOMPOK DAN PERANAN

MAKALAH METODE KERJA KELOMPOK DAN PERANAN 

BAB I
PENDAHULUAN
·       Latar Belakang
Kajian tasawuf Nusantara adalah merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kajian Islam di Indonesia. Sejak masuknya Islam di Indonesia telah tampak unsur tasawuf yang mengisi kehidupan beragama masyarakat Indonesia, bahkan saat inipun kajian mengenai tasawuf masih menjadi bagian yang tak terpisahkan dari Indonesia, dapat dibuktikan dengan semakin maraknya kajian Islam.
Menurut Dr. Alwi Shihab, tasawuf adalah faktor terpenting bagi tersebarnya Islam secara luas di Asia Tenggara. Meski setelah itu terjadi perbedaan pendapat mengenai kedatangan tarekat, apakah bersamaan dengan masuknya Islam atau datang kemudian. Perbedaan yang sama terjadi pula mengenai tasawuf falsafi yang diasumsikan sebagai sumber inspirasi bagi penentuan metode dakwah yang dianut dalam penyebaran Islam tersebut.
Maka dari itu dalam makalah ini kami akan menjabarkan mengenai bagaimana tasawuf yang bekembang di Indonesia.
Tasawuf merupakan petualang batin yang penuh keasyikan  dan sarat dengan pesan-pesan spiritual yang menentramkan batin manusia. Sebagai suatu sistem penghayatan keagamaan yang bersifat esoterik. Tasawuf berkembang menjadi wacana kajian akademik yang senantiasa aktual secara kontekstual dalam setiap kajian pemikiran islam. Apalagi di tengah-tengah situasi masyarakat yang cenderung mengarah kepada dekadensi moral, yang imbasnya mulai mendapat perhatian dan dituntut peranannya secara aktif mengatasi masalah tersebut . oleh karena itu, tasawuf secara universal menempati posisi substansi dalam kehidupan manusia.
1.2 Rumusan Masalah
Maka dari latar belakang tersebut penulis bermaksud merumuskan masalah sebagai berikut :
1.    Bagaimana perkembangan tasawuf di indonesia
2.    Bagaimana Reformasi sufisme di indonesia
3.    Bagaimana aliran tasawuf di indonesia
4.    Siapa saja tokoh-tokoh tasawuf di indonesia
1.3 Tujuan Masalah
1.              Mengetahui pekembangan tasawuf di indonesia
2.              Mengetahui reformasi sufisme di indonesia
3.              Mengetahui aliran tasawuf di indonesia
4.              Mengetahui tokoh-tokoh tasawuf di indonesia



BAB II
PEMBAHASAN
  1. Sejarah perkembangan tasawuf di indonesia
Dari segi Linguistik dapat dipahami bahwa tasawuf merupakan sikap mental yang selalu memelihara kesucian diri, beribadah, hidup sederhana, rela berkorban untuk kebaikan dan selalu bersikap bijaksana[1]. Sikap mental yang seperti ini hakikatnya pada akhlak yang mulia karena hanya dapat dipandang dengan mengaplikasikannya dalam kebijakan mengambil. Tasawuf juga berperan dalam membersiahkan hati sanubari. Karean tasawuf banyak berurusan dengan dimensi esoterik (batin).
Tasawuf mulai masuk ke Indonesia bersamaan dengan masuknya Islam ke Indonesia dan tasawuf mengalami banyak perkembangan itu ditandai dengan banyaknya berkembang ajaran tasawuf dan tarikat yang muncul dikalangan masyarakat saat ini yang dibawah oleh para ulama Indonesia yang menuntut ilmu di Mekkah dan Madina kemudian berkembang.
Hawash Abdullah menyebutkan beberapa bukti tentang besarnya peran para sufi dalam menyebarkan Islam pertama kali di Nusantara. Ia menyebutkan Syekh Abdullah Arif yang menyebarkan untuk pertama kali di Aceh sekitar abad ke-12 M.  Dengan beberapa mubalig lainya. Menurut Hawash Abdullah kontribusi para sufilah yang sangat memperngaruhi tumbuh pesatnya perkembangan Islam di Indonesia[2].
Perlu kita ketahui bahwa sebelum Islam datang, dianut, berkembang dan saat ini mendominasi (mayoritas) bahwa telah berkembang berbagai faham tentang konsep Tuhan seperti Animisme, Dinamisme, Budhaisme, Hinduisme. Para mubalig menyebarkan Islam dengan pendekatan tasawuf. M. Sholihin menerangkan bahwa hamper semua daerah yang pertama memeluk Islam bersedia menukar kepercayaannya[3].Karena tertarik pada ajaran tasawuf yang di ajarkan para mubalig pada saat itu.
Dalam perkembangan tasawuf di Nusantara menurut Azyumadi Azra, tasawuf yang pertama kali menyebar dan dominan di Nusantara adalah yang bercorak falsafi, yakni tasawuf yang sangat filosofis dan cendrung spekulatif seperti al-Ittihad (Abu Yazid Al-Bustami), Hulul (Al-Hallaj), dan Wahda al Wujud (Ibn Arabi). Dominasi tasawuf filsafi terlihat jelas pada kasus Syekh Siti jenar yang dihukum mati oleh Wali Songo karena dipandang menganut paham tasawuf yang sesat.[4]
Kemudian pada abad ke-16 kitab-kitab klasik mulai ada dan dipelajari kemudian diterjemahkan dalam bahasa melayu seperti kitab Ihya’ Ulumuddin karya Al-Ghazali. Kemudian muncullah beberapa tokoh tasawuf asli Indonesia seperti Hamzah Fansuri, Nuruddin Ar-Raniri, Syekh Abdul Rauf Singkili, Abdul Somad Al-Palembani, Syekh yusuf Al-Makassari.
  1. Reformasi sufisme di indonesia
Hamzah Fanzuri dan Syams Al-Din adalah dua tokoh sufi awal yang menyebarkan ajaran wahdatul wujud di Nusantara. Kedua tokoh sufi itu sangat berjasa dalam meningkatkan tradisi intelektualisme di Nusantara. Hamzah Fanzuri dan Syams Al-Din dikenal sebagai pionir penulisan kitab dan karya kesusasteraan di Nusantara. Namun dalam perjalanannya, ajaran sufisme yang dibawa oleh Fanzuri dan Syams Al-Din menjadi meredup dan kemudian digantikan oleh corak tasawuf yang dibawa oleh Al-Raniri yang lebih menekankan pada paham wahdatul wujud yang lebih moderat dan diwarnai oleh ortodoksi syariah. Ia juga mengubah kecenderungan sufisme lama yang condong pada sikap individualisme dan anti keduniaan menjadi condong pada sikap aktivisme.
Walaupun Al-Raniri dikenal kontroversial akibat pandangannya yang sangat radikal dalam menentang paham wahdatul wujud yang dibawa oleh Hamzah Fanzuri dan Syams Al-Din, namun jasa baik Al-Raniri tak boleh dilupakan. Ia adalah salah satu tokoh yang ikut berkontribusi dalam meningkatkan tradisi intelektualisme di tanah Melayu. Tatkala diberikan kepercayaan untuk menjadi pejabat di kesultanan, Al-Raniri memberi banyak kontribusi pada proses intensifikasi Islam di Nusantara[5],seperti mengarang buku acuan standar tentang fikih kepada penduduk muslim, menerjemahkan hadis ke dalam bahasa Melayu, dan berbagai upaya lainnya. Karena besarnya kontribusi yang diberikan oleh Al-Raniri, sarjana seperti Uka Tjandrasasmita memuji bahwa “tidak ada orang lain di dunia Melayu yang menyumbangkan begitu banyak dalam lapangan ilmu dan pembelajaran Islam daripada Al-Raniri”.17 Pasca Al-Raniri, estafet keilmuan kemudian dilanjutkan oleh Al-Sinkili yang merupakan seorang ahli di bidang fikih, tafsir, kalam, dan tasawuf. Al-Sinkili berhasil mengarang berbagai buku yang memuat tentang aspek muamalat dari fikih secara komprehensif, melampaui ajaran fikih yang dilakukan oleh Al-Raniri. Ia juga merupakan salah satu tokoh yang merintis penafsiran Al-Qur’an ke dalam bahasa Melayu. Baik Hamzah Fanzuri, Syams Al-Din, Al-Raniri, maupun Al-Sinkili adalah tokoh-tokoh Islam Melayu yang berhasil merangsang pesatnya pertumbuhan tradisi intelektualisme secara meluas di Nusantara. Sebelum kemunculan Islam, tradisi intelektualisme menjadi sesuatu yang sangat ekslusif karena ia hanya dimiliki oleh kalangan elit Hindu-Buddha dan juga kalangan istana. Namun, setelah Islam tumbuh di Nusantara, tradisi intelektualisme menjadi tradisi yang bersifat egaliter dan terbuka bagi setiap kalangan. Di era Syekh Yusuf dan tokoh-tokoh sufi setelahnya, umat Islam secara umum telah disibukkan dalam proses perjuangan melawan kolonialisme. Tercatat, ketika Syekh Yusuf menetap di Banten, ia ikut berjihad mengusir VOC Belanda, meskipun pada akhirnya ia berhasil dan ditangkap dan dibuang oleh Belanda ke Afrika Selatan. Tak bisa dipungkiri, bahwa pengaruh ajaran sufisme di Nusantara, khususnya setelah Al-Raniri meniupkan ajaran neo-sufisme -yang menekankan pada unsur ortodoksi Islam dan juga cenderung pada sikap aktivis ketimbang pasifis- telah berhasil merangsang semangat perlawanan dan juga memperkuat solidaritas rakyat untuk melawan kolonialisme. Para penganut ajaran sufisme -yang terorganisasi dan terlembaga dalam bentuk tarekat- juga berhasil mengintegrasikan etnik-etnik Nusantara yang berbeda-beda untuk berkonfrontasi melawan kolonialisme. Sebelumnya, hampir tak ada kekuatan yang mampu menyatukan berbagai etnik sebelum tokoh ulama/pemimpin tarekat berhasil menyatukan mereka dalam suatu struktur yang solid dan terorganisir. Dengan adanya dorongan dari para ulama/pemimpin tarekat beserta santri-santrinya, maka aksi perlawanan rakyat terhadap kolonialisme akhirnya pecah pada pertengahan abad ke-17 ketika terjadi Perang Ternate (1635-1646), Perang Makassar (1660-1669), Perang Trunojoyo (1675-1679), Perang Banten (1680-1682), dan kemudian berlanjut pada abad ke-18 dengan pecahnya Perang Cirebon (1802-1806), Perang Palembang (1812-1816)[6] Perang Paderi (1821-1838), Perang Diponegoro (1825-1830), Perang Banjarmasin (1859-1862), dan Perang Aceh (1872-1908).18 Dalam sejarah Indonesia, jasa ulama/pemimpin tarekat dalam menentang kolonialisme sungguh sangat besar. Dengan kharismanya, mereka mampu menggerakkan para pengikutnya menentang penjajahan karena mereka berpandangan bahwa Islam adalah agama yang anti pada segala bentuk penindasan dan ketidakadilan. Sebelum adanya perjuangan anti-kolonialisme yang dilandasi oleh spirit Islam, tak ada satupun kekuatan yang mampu menggerakan gerakan-gerakan kebangsaan. Satu-satunya kekuatan yang sanggup melakukan hal itu hanyalah Islam karena ia memiliki struktur-struktur tradisional yang solid, seperti pesantren, madrasah, masjid, haji, majelis taklim, pengajian-pengajian, gerakan pemuda, organisasi dagang, dan tarekat sufi. Dari struktur-struktur itulah, para ulama tarekat berhasil mendidik dan menyediakan para kader yang memiliki ilmu agama yang luas sekaligus memiliki militansi yang kuat dalam menentang berbagai praktik yang tak sejalan dengan semangat ajaran Islam
  1. Aliran tasawuf di indonesia
Tasawuf Islam terbagi kepada Nazhari dan Amali.
1.      Tasawuf Nazhari ( Sunni / Teori )
Tasawuf Sunni ( teori ) adalah tasawuf yang benar-benar mengikuti Al-qur’an dan Sunnah, terikat, bersumber, tidak keluar dari batasan-batasan keduanya, mengontrol perilaku, lintasan hati serta pengetahuan dengan neraca keduanya.Tasawuf ini berawal dari zuhud dan berakhir pada akhlak.Kesempurnaan dan kesucian jiwa dan raga yang bermula dari pembentukan pribadi yang bermoral dan ber-akhlak mulia, yang dalam ilmu tasawuf dikenal Takhalli (pengosongan diri dari sifat-sifat tercela).Sebagian sufi abad kedua, atau pertengahan abad kedua, dan setelahnya sampai abad keempat hijriyah. Dan personal seperti Hasan Al-Bashri, Imam Abu Hanifa, Al-Junaidi Al-Bagdadi, Al-Qusyairi, As-Sarri As-Saqeti, Al-Harowi, adalah merupakan tokoh-tokoh sufi utama abad ini yang berjalan sesuai dengan tasawuf sunni. Kemudian pada pertengahan abad kelima hijriyah imam Ghozali membentuknya kedalam format atau konsep yang sempurna, kemudian diikuti oleh pembesar syeih Toriqoh.    Akhirnya menjadi salah satu metode tarbiyah ruhiyah Ahli Sunnah wal jamaah. Dan tasawuf tersebut menjadi sebuah ilmu yang menimpali kaidah-kaidah praktis.
2.      Tasawuf Amali
Tasawuf ‘Amali adalah tasawuf yang membahas tentang bagaimana cara mendekatkan diri kepada Allah. Tasawuf amali lebih menekankan pembinaan moral dalam upaya mendekatkan diri kepada Allah.
Untuk mencapai hubungan yang dekat dengan Tuhan, seseorang harus mentaati dan melaksanakan syariat atau ketentuan ketentuan agama yang harus diikuti dengan amalan-amalan lahir maupun batin yang disebut tariqah. Dalam amalan-amalan lahir batin itu orang akan mengalami tahap demi tahap perkembangan ruhani. Ketaatan pada syari’ah dan amalan-amalan lahir batin akan mengantarkan seseorang pada kebenaran hakiki (haqiqah) sebagai inti syariat dan akhir tariqah. Kemampuan orang mengetahui haqiqah akan mengantarkan pada ma’rifah, yakni mengetahui dan merasakan kedekatan dengan Tuhan melalui qalb. Pengalaman ini begitu jelas sehingga jiwanya merasa satu dengan yang diketahuinya itu.
Imam terbesar tasawuf ‘amali, yang telah berhasil menyatukan antara teori dan amal adalah Shaykh Abd al-Qodir al-Jilani (470 H/1077 M - 561 H/1166 M), dia adalah orang pertama yang mendirikan madrasah ini dalam bentuk tariqah. Kemudian diikuti oleh Imam Ahmad al-Rifa’i(w.578 H/1106 M), Imam Abu al-H}asan al-Shadhili, dan Imam Baha’ al-Din Muhammad al-Naqshabandi (717-791 M).
3.      Tasawuf Falsafi
Tasawuf Falsafi yaitu tasawuf yang ajaran-ajaranya memadukan antara visi intuitif dan visi resional. Terminology filosofis yang digunakan berasal dari bermacam-macam ajaran filsafat yang telah mempengaruhi para tokohnya, namun orisinalitasnya sebagai tasawuf tetap tidak hilang.
Walaupun demikian tasawuf filosofis tidak bisa di pandang sebagai filsafat, karena ajaran dan metodenya di dasarkan pada dasar dzauq, dan tidak pula bisa di kategorikan pada tasawuf (yang murni) karena sering di ungkapkan dengan bahasa filsafat.
Dalam upaya mengungkapkan pengalaman rohaninya, para shufi falsafi sering menggunakan ungkapan-ungkapan yang samar, yang sering di kenal dengan syathahiyyat, yaitu suatu ungkapan yang sulit difahami, yang seringkali mengakibatkan kesalahpahaman pihak luar, dan menimbulkan tragedy. Tokoh-tokohnya ialah Abu Yazid al-busthami, al-Hallaj, Ibn Arabi.
  1. Tokoh-tokoh tasawuf di indonesia
1. Hamzah Fansuri
a) Riwayat Hidup Hamzah Fansuri
Syekh Hamzah Fansuri di kenal sebagai seorang pujangga Islam yang sangat populer dalam kesusastraan Melayu dan Indonesia. Meskipun kebesaran nama beliau di akui oleh para ahli, namun tahun dan tempat kelahiran beliau belum di ketahui.
Orang banyak menyanggah Al-Fansuri karena ajaran wihdatul wujud, hulul, ittihad-nya mengikuti faham Al-Hallaj sehingga di anggap sebagai zindiq, sesat, dan kafir.
Dalam kesusastraan Melayu dan Indonesia karya-karya beliau tercatat dalam buku-buku syair antara lain Syair Burung Pingai, Syair Dagang, Syair Pungguk, Syair Sidang Faqir, Syair Ikan Tongkol, dan Syair Perahu.  Dan menurut para ahli berdasar syair-syair beliau, Hamzah Fansuri dalam mengembangkan tasawufnya hingga sampai seluruh Semenanjung, di Negeri Perak, Perlis, Kelantan, Trengganu dan lain-lain.
b) Ajaran Tasawuf Hamzah Fansuri
Pemikiran Al-Fansuri banyak di pengaruhi oleh Ibn Arabi dalamWahdat al-Wujud-nya. Ia mengajarkan bahwa Tuhan lebih dekat daripada leher manusia sendiri dan Tuhan tidak bertempat. Ia memahami ayat Al-Qur’an “Di mana kamu hadapkan wajahmu di situ ada wajah Tuhan.” Wajah Tuhan di tafsirkan sebagai sifat-sifat Tuhan seperti Pengasih, Penyayang, Jalal, dan Jamal. Oleh sebab itu ia menolak perkataan Abu Yazid Al-Bustami yang mengatakan bahwa Tuhan berada di dalam jubahnya.
2.  NURUDDIN Ar-RANIRI
a) Riwayat Hidup Nuruddin Ar-Raniri
Nuruddin Ar-Raniri lahir di kota Ranir Pantai Gujarat, India. Tahun kelahirannya tidak di ketahui tetapi banyak ahli yang memperkirakan ia lahir di akhir abad 16. Guru yang paling berpengaruh adalah Abu Nafs Sayyid Imam bin ‘Abdullah bin Syaiban, seorang guru Tarekat Rifa’iyah.
Ar-Raniri merupakan tokoh pembaharuan Islam di Aceh. Pembaharuan utamanya adalah memerangi aliran Wujudiyyah yang dianggap aliran sesat.
Karya-karya beliau antara lain Ash-Shirath Al-Mustaqim, Bustan As-Salatin fi DzikirAl-Awwalin wa Al-Akhirin, Durrat Al-Farra’idh bi Syarhi Al’Aqa’id, Syifa Al-Qulub.
b) Ajaran Tasawuf Ar-Raniri
Mengenai ketuhanan, Ar-Raniri berupaya menyatukan pahamMutakallimin dengan paham para sufi yang diwakili oleh Ibn Arabi. Ia berpendapat ungkapan “wujud Allah dan Alam Esa” berarti alam ini merupakan sisi lahir dari hakikat batin yaitu Allah SWT sebagaimana yang dimaksud Ibn Arabi. Tetapi hakikatnya alam ini tidak ada yang ada adalah wujud Allah Yang Esa. Jadi ia berpendapat bahwa alam ini tidak bisa dikatakan berbeda dengan Allah atau bersatu dengan Allah, alam ini merupakan tajalli Allah SWT.
Ar-Raniri berpandangan alam ini diciptakan melalui tajalli, ia menolak ajaran Al-Farabi tentang emanasi karena membawa pada pengakuan alam ini qadim hingga dapat jatuh pada kemusyrikan.
Ajaran Wujudiyyah menurutnya Ar-Raniri berpusat pada Wahdat Al-Wujud yang di salah artikan oleh kaum Wujudiyyah dengan arti kemanunggalan Allah SWT.  Menurutnya, ajaran Hamzah Al-Fansuri tentang wahdat Al-wujud  dapat membawa kepada kekafiran. Jika Tuhan dan makhluk itu satu maka dapat di artikan Tuhan adalah makhluk dan makhluk adalah Tuhan. Semua perbuatan manusia tentang baik dan buruk berarti Tuhan juga melakukannya.
3. SYEKH ABDUR RAUF As-SINKILI
a)  Riwayat Hidup Abdur Rauf As-Sinkili
Abdur Rauf As-Sinkili merupakan ulama dan mufti besar kerajaan Aceh abad ke-7 (1606-1637 M). Ayahnya berasal dari Persia yang datang ke Samudera Pasai menetap di Fansur, Barus. Pendidikan Abdur Rauf As-Sinkili di dapat dari ayahnya di Simpang Kanan (Sinkil). Dari ayahnya ia menguasai banyak ilmu agama, sejarah, dan bahasa. Menurut para ahli, Abdur Rauf As-Sinkili di akui memang mempunyai silsilah bersambung dari gurunya hingga kepada Nabi Muhammad SAW.
Di antara karya-karya beliau antara lain Mir’at Ath-Thullab, Hidayat Al-Balighah, ‘Umdat Al-Muhtajin, Syams Al-Ma’rifat, Kifayat Al-Muhtajin, Turjuman Al-Mustafidh, dll.
b) Ajaran tasawuf Abdur Rauf As-Sinkili
Ajaran tasawuf Abdur Rauf As-Sinkili sama dengan Syamsudin dan Nuruddin, yaitu menganut paham satu-satunya wujud hakiki, yaitu Allah SWT., sedangkan alam merupakan bayangan dari yang hakiki. Sehingga bayangan memiliki keserupaan sifat dari yang memancarkan. Sifat-sifat manusia adalah bayangan dari sifat-sifat Allah SWT., seperti hidup, tahu, dan melihat.
Ajaran tasawuf As-Sinkili yang lain mengenai martabat perwujudan Tuhan. Menurutnya ada tiga martabat perwujudan tuhan. Pertama,martabat la ta’ayyun yaitu alam masih berupa hakikat gaib dalam ilmu Tuhan. Kedua, martabat ta’ayyun awwal yaitu adanya potensi terciptanya alam. Ketiga, martabat ta’ayyun tsani,  dari sinilah alam tercipta. Syair Ibn Arabi tentang “Aku Engkau, Kami Engkau, Engkau Ia” hanya benar pada ta’ayyun awwal. Sedang dalam ta’ayyun tsanialam sudah memiliki sifat tersendiri tapi merupakan cerminan dari sifat Tuhan
4.  SYEKH YUSUF AL MAKASARI
a) Riwayat Hidup Shekh Yusuf Al Makasari
Syekh Yusuf Al Makasari merupakan tokoh sufi dari Sulawesi. Lahir pada 8 Syawal 1036 H atau 3 Juli 1629 M. Dalam relatif singkat ia mampu mempelajari Al-Qur’an 30 juz dan mungkintermasuk penghapal, setelah itu dilanjutkan ke ilmu-ilmu yang lain seperti nahwu, sharaf, bayan, balaghah, mantiq, fikih, ilmu ushuluddin dan tasawuf.
b)  Ajaran Tasawuf Syekh Yusuf Al Makasari
Syekh Yusuf Al Makasari mengungkapkan tentang paradigma sufistiknya berasal dua aspek, yaitu lahir (syari’at) dan batin (hakikat) yang harus di pandang dan diamalkan secara bersamaan.
Pandangannya sama dengan Wahdatul Al-Wujud dalam filsafat Ibnu Arabi. Ia meyakini bahwa Tuhan melingkupi segala sesuatu dan selalu dekat dengan sesuatu. Syekh Yusuf mengembangkan istilah al-ihathah(peliputan) dan al-ma’iyyah (kesertaan). Maksudnya Tuhan turun (tanazul) sementara manusia naik (taraqi), proses spiritual yang membuat keduanya dekat. Proses ini menurutnya tidak akan mengambil bentuk kesatuan wujud antara manusia dan Tuhan.
Syekh Yusuf berpendapat tentang Insan Kamil dan proses penyucian jiwa. Menurutnya manusia akan tetap manusia walau sudah naik derajat dan Tuhan tetap Tuhan walau telah turun ke diri hamba. Mengenai menyucian jiwa, ia menempuh dengan jalan moderat yaitu bahwa dunia ini tidak untuk di tinggalkan dan mematikan hawa nafsu. Hidup di arahkan untuk menuju Tuhan dan hawa nafsu di kendalikan dengan tertib hidup dan disiplin atas orientasi ketuhanan.  
5. SYEKH NAWAWI AL-BANTANI
a)  Riwayat Hidup Syekh Nawawi Al-Bantani
1230-1314 H / 1815- 1897 M Lahir dengan nama Abû Abdul Mu’ti Muhammad Nawawi bin ‘Umar bin ‘Arabi. Ulama besar ini hidup dalam tradisi keagamaan yang sangat kuat. Ulama yang lahir di Kampung Tanara, sebuah desa kecil di kecamatan Tirtayasa, Kabupaten Serang, Propinsi Banten. Bernasab kepada keturunan Maulana Hasanuddin Putra Sunan Gunung Jati, Cirebon. Keturunan ke-12 dari Sultan Banten. Nasab beliau melalui jalur ini sampai kepada Baginda Nabi Muhammad saw.
Di usia beliau yang belum lagi mencapai 15 tahun, Syaikh Nawawi telah mengajar banyak orang. Pada usia 15 tahun beliau menunaikan haji dan berguru kepada sejumlah ulama terkenal di Mekah, sepertiSyaikh Khâtib al-SambasiAbdul Ghani BimaYusuf Sumbulaweni,Abdul Hamîd DaghestaniSyaikh Sayyid Ahmad NahrawiSyaikh Ahmad DimyatiSyaikh Ahmad Zaini DahlanSyaikh Muhammad Khatib Hambali, dan Syaikh Junaid Al-Betawi. Tapi guru yang paling berpengaruh adalah Syaikh Sayyid Ahmad NahrawiSyaikh Junaid Al-Betawi dan Syaikh Ahmad Dimyatiulama terkemuka di Mekah. Lewat ketiga Syaikh inilah karakter beliau terbentuk. Selain itu juga ada dua ulama lain yang berperan besar mengubah alam pikirannya, yaituSyaikh Muhammad Khatib dan Syaikh Ahmad Zaini Dahlan, ulama besar di Madinah.
Di antara buku yang ditulisnya dan mu’tabar (diakui secara luas–Red) seperti Tafsir Marah Labid, Atsimar al-Yaniah fi Ar-Riyadah al-Badiah, Nurazh Sullam, al-Futuhat al-Madaniyah, Tafsir Al-Munir, Tanqih Al-Qoul, Fath Majid, Sullam Munajah, Nihayah Zein, Salalim Al-Fudhala, Bidayah Al-Hidayah, Al-Ibriz Al-Daani, Bugyah Al-Awwam, Futuhus Samad, dan al-Aqdhu Tsamin. Sebagian karyanya tersebut juga diterbitkan di Timur Tengah.
b)  Ajaran Tasawuf Syekh Nawawi Al-Bantani
Dalam bidang tasawuf ia memiliki konsep yang identik dengan tasawuf ortodok.
Pandangan tasawufnya meski tidak tergantung pada gurunya Syekh Khatib Sambas, seorang ulama tasawuf asal Jawi yang memimpin sebuah organisasi tarekat, bahkan tidak ikut menjadi anggota tarekat, namun ia memiliki pandangan bahwa keterkaitan antara praktek tarekat, syariat dan hakikat sangat erat. Untuk memahami lebih mudah dari keterkaitan ini Nawawi mengibaratkan syariat dengan sebuah kapal, tarekat dengan lautnya dan hakekat merupakan intan dalam lautan yang dapat diperoleh dengan kapal berlayar di laut. Dalam proses pengamalannya Syariat (hukum) dan tarekat merupakan awal dari perjalanan (ibtida’i) seorang sufi, sementara hakikat adalah hasil dari syariat dan tarikat. Pandangan ini mengindikasikan bahwa Syekh Nawawi tidak menolak praktek-praktek tarekat selama tarekat tersebut tidak mengajarkan hal-hat yang bertentangan dengan ajaran Islam, syariat.
Paparan konsep tasawufnya ini tampak pada konsistensi dengan pijakannya terhadap pengalaman spiritualitas ulama salaf. Tema-teman yang digunakan tidak jauh dari rumusan ulama tasawuf klasik. Model paparan tasawuf inilah yang membuat Nawawi harus dibedakan dengan tokoh sufi Indonesia lainnya. la dapat dimakzulkan (dibedakan) dari karakteristik tipologi tasawuf Indonesia, seperti Hamzah Fansuri, Nuruddin al-Raniri, Abdurrauf Sinkel dan sebagainya.
6. HAMKA
a)  Riwayat Hidup Hamka
Hamka, atau nama lengkapnya Haji Abdul Malik Karim Amrullah (lahir di Kampung Molek, ManinjauSumatera BaratIndonesia pada 17 Februari 1908 - 24 Julai 1981) adalah seorang penulis dan ulama terkenal Indonesia.
Ayahnya ialah Syekh Abdul Karim bin Amrullah, yang dikenal sebagai Haji Rasul, yang merupakan pelopor Gerakan Islah (tajdid) diMinangkabau.
Beliau banyak menghabiskan masanya dengan membaca buku falsafah,sastera,sejarah,dan politik.Hamka juga menyelidiki karya-karya Arab dan Barat yang diterjemahkan ke bahasa Arab seperti Karl Marx dan Arnold Toynbee.
Beliau melibatkan diri dengan pertubuhan Muhammadiyah dan menyertai cawangannya dan dilantik menjadi anggota pimpinan pusat Muhammadiyah.Beliau melancarkan penentangan terhadap khurafat,bida'ah,thorikoh kebatinan yang menular di Indonesia.Oleh itu,beliau mengambil inisiatif untuk mendirikan pusat latihan dakwah Muhammadiyah.
b)  Ajaran Tasawuf Hamka
Sebagai realisasi dari upayanya memurnikan kembali ajaran tasawuf, Hamka menulis beberapa karya yang berkenaan dengan tasawuf.
Berikut ini dikemukakan beberapa pokok pikirannya, sebagaimana yang terdapat dalam bukunya, Tasauf Moderen.
1) Tentang Harta Benda dan Kekayaan
Untuk mendekatkan diri sedekat-dekatnya kepada Tuhan, seorang sufi harus menempuh beberapa tahap, antara lain al-zuhd dan al-faqr. Untuk tahap pertama, seseorang harus mengabaikan kehidupan duniawi, sebab dunia dengan segala kehidupan materialnya adalah sumber kemaksiatan dan penyebab terjadinya segala kejahatan yang menimbulkan kerusakan dan dosa. Sedangkan tahap kedua, seseorang harus bersikap tidak memaksa diri untuk mendapatkan sesuatu, tidak menuntut lebih dari apa yang telah dimiliki, atau melebihi dari kebutuhan primer.
Bagi Hamka, harta benda sangat perlu dalam melakukan pendekatan kepada Tuhan. Banyak kejadian orang yang suci hatinya, tinggi maksudnya ingin berbuat baik kepada orang lain, tetapi cita-citanya itu terhalang karena tidak memiliki harta yang memadai. Bagaimana mungkin seseorang bisa memiliki pakaian untuk dipakai beribadah, atau dapat membayar zakat dan naik haji, jika ia tidak memiliki harta.
Namun demikian, Hamka menggarisbawahi bahwa orang yang sedikit keperluannya, itulah orang yang paling kaya. Sebaliknya, orang yang paling banyak keperluannya, itulah orang yang paling miskin. Jadi, pada hakekatnya, kekayaan dan kemiskinan itu tergantung pada kebutuhan dan ketenteraman hati seseorang.   
2)  Al-Qana’ah
Qana’ah ialah menerima dengan cukup. Maksudnya, seseorang harus memagar apa yang dimilikinya dan tidak menjalar pikirannya kepada apa yang dimiliki oleh orang lain.
Bukanlah qana’ah jika menerima apa adanya dan tidak mau berusaha lagi, melemahkan hati, memalaskan pikiran, serta mengajak berpangku tangan. Akan tetapi, qana’ah adalah modal yang paling teguh untuk menghadapi kesungguhan hidup untuk mencari rezki yang halal.
3) Tawakkal 
Dalam kehidupan sufi, tawakkal adalah, selain menyerahkan diri sepenuhnya kepada Tuhan, juga tidak meminta, tidak menolak dan tidak menduga-duga. Nasib apapun yang diterima, itu adalah karunia dari Tuhan. Menurut mereka, sikap ini akan berimplikasi pada keadaan jiwa yang tenang, berani, dan ikhlas dalam menalani hidupnya.
Bagi Hamka, makna tawakkal adalah penyerahan diri kepada Tuhan tanpa terlepas dari hukum alam-Nya (sunnatullah). Sebagai contoh, sebelum keluar rumah, pintu dikunci sambil bertawakkal kepada Tuhan. Sebaliknya, bukanlah tawakkal jika seseorang yang duduk di bawah dinding yang hendak runtuh.
Untuk memperkuat pendapatnya, ia mengutip sebuah riwayat yang pernah terjadi di zaman Rasulullah. Seorang Arab Badwi yang datang menghadap kepada beliau tanpa mengikat ontanya, dengan dasar tawakkal kepada Tuhan
BAB III
PENUTUP
  1. Saran
Setelah para pembaca selesai membaca makalah ini, pastilah terdapat banyak kesalahan di dalam penulisan makalah di atas, memang makalah ini masih jauh dari sempurna, maka penulis mengharapkan kritik dan saran dari Bapak Dosen demi perbaikan makalah yang selanjutnya serta menuju arah yang lebih baik.
Kemudain diharapkan kepada para pembaca untuk pembuatan makalah selanjutnya, agar bisa menambah referensi yang lebih mendukung, karena dalam pembuatan makalah ini penulis hanya menggunakan beberapa referansi saja, hal ini dikarenakan keterbatasan buku referensi yang penulis dapatkan.
  1. Kesimpulan
Masuknya tasawuf di Indonesia bersamaan dengan masuknya Islam di Indonesia, karena sejarah Islam di Indonesia tidak bisa lepas dari pengaruh ajaran tasawuf yang digunakan oleh para penyebarnya. Kefleksibelan tasawuf yang mewarnai penyebaran tersebut menjadikan Islam berhasil masuk dan kemudian mengakar dalam diri masyarakat Indonesia, hampir tanpa catatan sejarah pertumpahan darah.
Tokoh sufi yang mempengaruhi perkembangan tasawuf di Indonesia diantaranya adalah; Hamzah Fansuri, Nuruddin al-Raniri, Abdur Rauf al-sinkili, dan Yusuf al-Makasari.
Diantara tokoh-tokoh sufi tersebut terdapat pemikiran-pemikiran tasawuf yang beragam, seperti pemikiran al-Fansuri tentang tasawuf yang banyak dipengaruhi Ibnu ‘Arabi dalam paham wahdad al wujud-nya. Sedangkan al-Raniri dalam masalah ke-Tuhan-an pada umumnya bersifat kompromis. Ia berupaya menyatukan paham Mutakallimin dengan paham para sufi yang diwakili Ibnu ‘Arabi.
DAFTAR PUSTAKA


Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Rajawali Press,: Jakarta, 2010). hlm. 179
Hawash Abdullah, Perkembangan Ilmu Tasawuf dan Tokoh-Tokohnya di Nusantara, (Al-Ikhlas : Surabaya, 1930). hlm.10
M. Sholihin dan Rosihon Anwar, Ilmu Tasawuf, (Pustaka Setia : Bandung, 2008). hlm.141
 Azyumadi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII, 
Azyumardi Azra, Islam Reformis: Dinamika Intelektual dan Gerakan, h.170. Martin van Bruinessen, “Sufism, ‘Popular’ Islam and the Encounter with Modernity”, dalam Muhammad Khalid Masud, et, al, Islam and Modernity: Key Issues and Debates, (Edinburgh University Press, 2009), h. 139.
Uka Tjandrasasmita, Arkeologi Islam Nusantara, (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2009), h. 30
1997. Ensiklopedia Islam. Jakarta : Ichtiar Baru Van Hoeve.
Anwar, Rasihon. 2010. Akhlak Tasawu. Bandung: Pustaka Setia





[1] Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Rajawali Press,: Jakarta, 2010). hlm. 179
[2] Hawash Abdullah, Perkembangan Ilmu Tasawuf dan Tokoh-Tokohnya di Nusantara, (Al-Ikhlas : Surabaya, 1930). hlm.10
[3] M. Sholihin dan Rosihon Anwar, Ilmu Tasawuf, (Pustaka Setia : Bandung, 2008). hlm.141
[4] Azyumadi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII, 
[5] 15Azyumardi Azra, Islam Reformis: Dinamika Intelektual dan Gerakan, h. 170. 16Martin van Bruinessen, “Sufism, ‘Popular’ Islam and the Encounter with Modernity”, dalam Muhammad Khalid Masud, et, al, Islam and Modernity: Key Issues and Debates, (Edinburgh University Press, 2009), h. 139. 11 seperti
[6] ), Uka Tjandrasasmita, Arkeologi Islam Nusantara, (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2009), h. 30. 12

No comments:

Post a Comment