loading...
"MAKALAH ISLAM SEBAGAI STUDI ISLAM, WAHYU SEBAGAI PRODUK SEJARAH, DAN ISLAM SEBAGAI SASARAN PENELITIAN"
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sebelum
Islam datang ke dunia ini, telah terdapat sejumlah agama yang dianut oleh umat
mansuia. Para ahli Ilmu Perbandingan Agama (The
Comparative Study Of Religion ) bida membagi agama secara garis besar ke dala
dua bagian. Pertama, kelompok agama yang diturunkan oleh Tuhan melalui
wahyu-wahyunya sebagaimana termaksud dalam kitab suci Alquran. Kedua, kelopok
agama yang didasarkan pada hasil renungan mendalam dari tokoh yang membawanya
sebagaimana terdokumentasikan dalam kitab suci yang disusunnya.
Islam adalah agama yang terakhir di
antara agama besar di dunia yang semuanya merupakan kekuatan raksasa yang
mengeerakkan revolusi dunia, dan mengubah nasib sekalian bangsa. Selain itu,
Islam bukan saja agama yang terakhir melainkan agama yang melengkapi
segala-galanya dan mencakup sekalian agama yang datang sebelumnya.
Dalam
memahami agama banyak pendekatan yang dilakukan. Hal demikian perlu dilakukan,
karena pendekatan tersebut kehadiran agama secara fungsional dapat dirasakan
oleh penganutnya. Berbagai pendekatan tersebut meliputi pendekatan teologis
normatif, antropologis, sosiologis, psikologis, historis, kebudayaan dan
pendekatan filosofis. Adapun yang dimaksud dengan pendekatan di sini adalah
cara pandang atau paradigma yang terdapat dalam suatu bidang ilmu yang
selanjutnya digunakan dalam memahami. Dikalangan para ahli masih terdapat
perbedaan disekitar permasalahan apakah studi islam (agama) dapat dimasukkan ke
dalam bidang ilmu pengetahuan, mengingat sifat dan karakteristik antara ilme
pengetahuan dan agama berbeda.
B. Rumusan Masalah
1.
Apa Yang Dimaksud Islam
Sebagai Produk Wahyu?
2.
Apa Yang Dimaksud Islam
Sebagai Produk Sejarah ?
3.
Apa Yang Dimaksud Islam
Sebagai Sasaran Penelitian?
C. Tujuan
Makalah
1.
Untuk Mengetahui Islam
Sebagai Produk Wahyu.
2.
Untuk Mengetahui Islam
Sebagai Produk Sejarah.
3.
Untuk Mengetahui Islam
Sebagai Sasaran Penelitian.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Islam Sebagai
Produk Wahyu
1.
Pengertian Islam
Agama
Islam adalah agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Dengan agama inilah Allah menutup agama-agama sebelumnya. Allah
telah menyempurnakan agama ini bagi hamba-hambaNya. Dengan agama Islam ini pula
Allah menyempurnakan nikmat atas mereka. Agama Islam ini telah merangkum semua
bentuk kemaslahatan yang diajarkan oleh agama-agama sebelumnya. Agama Islam
yang beliau bawa ini lebih istimewa dibandingkan agama-agama terdahulu karena
Islam adalah ajaran yang bisa diterapkan di setiap masa, di setiap tempat dan
di masyarakat manapun.
Dalam
permasalahan kali ini kami akan menjelaskan secara detail tentang Islam sebagai
agama wahyu, klasifikasinya, perbandingan dengan agama lain dan Islam yang
telah disalahpahami serta pembenarannya. Ada dua sisi yang dapat kita gunakan untuk memahami pengertian agama Islam,
yaitu sisi kebahasaan dan sisi peristilahan. Kedua sisi pengertian tentang Islam ini dapat
dijelaskan sebagai berikut :
Dari segi
kebahasaan Islam berasal dari bahasa Arab, yaitu dari kata salima yang
mengandung arti selamat, sentosa dan damai. Dan kata salima selanjutnya
diubah menjadi bentuk aslama yang berarti berserah diri masuk dalam
kedamaian.[1]
Senada
dengan pendapat di atas, sumber lain mengatakan Islam berasal dari bahasa Arab,
terambil dari kata salima yang berarti selamat sentosa. Dari asal kata
itu dibentuk kata aslama yang artinya memelihara dalam keadaan selamat sentosa
dan berarti pula menyerahkan diri, tunduk, patuh dan taat.[2]
Dari
pengertian itu, kata Islam dekat arti kata agama yang berarti menguasai,
menundukkan, patuh, hutang, balasan dan kebiasaan.[3]
2. Sumber Ajaran
Islam
Di kalangan
ulama terdapat kesepakatan bahwa sumber ajaran Islam yang utama adalah Alquran
dan Al-Sunnah; sedangkan penalaran atau akal pikiran sebagai alat untuk
memahami Alquran dan Al-Sunnah .
a.
Alquran
Di kalangan para ulama dijumpai
adanya perbedaan pendapat di sekitar pengertian Alquran baik dari segi bahasa
maupun istilah. Asy-Syafi’i misalnya mengatakan bahwa Alquran bukan berasal
dari akar kata apa pun, dan bukan pula ditulis dengan memakai kata hamzah.
Lafal tersebut sudah lazim digunakan dalam pengertian kalamullah (firman
Allah) yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw. Sementara itu Al-Farra
berpendapat bahwa lafal Alquran berasal dari kata qarain jamak dari kata
qarinah yang berarti kaitan; karena dilihat dari segi makna dan
kandungannya ayat-ayat Alquran itu satu sama lain saling berkaitan.
Selanjutnya, Al-Asy’ari dan para pengikutnya mengatakan bahwa lafal Alquran
diambil dari akar kata qarn yang berarti menggabungkan suatu atas yang
lain; karena surat-surat dan ayat-ayat Alquran satu dan lainnya saling
bergabung dan berkaitan.[4]
Manna’ al-Qathhthan, secara ringkas mengutip pendapat para ulama pada
umumnya yang menyatakan bahwa Alquran adalah firman Allah yang diturunkan
kepada Nabi Muhammad Saw, dan dinilai ibadah bagi yang membacanya. Pengertian
yang demikian senada dengan yang diberikan Al-Zarqani.
b.
Al-Sunnah
Kedudukan
Al-Sunnah sebagai sumber ajaran Islam selain didasarkan pada keterangan
ayat-ayat Alquran dan hadis juga didasarkan kepada pendapat kesepakatan para
sahabat. Yakni seluruh sahabat sepakat untuk menetapkan tentang wajib mengikuti
hadis, baik pada masa Rasulullah masih hidup maupun setelah beliau wafat.
Menurut
bahasa Al-Sunnah artinya jalan hidup yang dibiasakan terkadang jalan tersebut
ada yang baik dan ada pula yang buruk. Pengertian Al-Sunnah seperti ini sejalan
dengan makna hadis Nabi yang artinya : ”Barang siapa yang membuat sunnah
(kebiasaan) yang terpuji, maka pahala bagi yang membuat sunnah itu dan pahala
bagi orang yang mengerjakanny; dan barang siapa yang membuat sunnah yang buruk,
maka dosa bagi yang membuat sunnah yang buruk itu dan dosa bagi orang yang
mengerjakannya.
Sementara
itu Jumhurul Ulama atau kebanyakan para ulama ahli hadis mengartikan
Al-Sunnah, Al-Hadis, Al-Khabar dan Al-Atsar sama saja, yaitu segala sesuatu
yang disandarkan kepada Nabi Muhammad Saw, baik dalam bentuk ucapan, perbuatan
maupun ketetapan. Sementara itu ulama Ushul mengartikan bahwa Al-Sunnah
adalah sesuatu yang berasal dari Nabi Muhammad dalam bentuk ucapan, perbuatan
dan persetujuan beliau yang berkaitan dengan hukum.
Sebagai
sumber ajaran Islam kedua, setelah Alquran, Al-Sunnah memiliki fungsi yang pada
intinya sejalan dengan alquran. Keberadaan Al-Sunnah tidak dapat dilepaskan
dari adanya sebagian ayat Alquran :
1)
Yang bersifat global (garis besar) yang memerlukan
perincian;
2)
Yang bersifat umum (menyeluruh) yang menghendaki
pengecualian;
3)
Yang bersifat mutlak (tanpa batas) yang
menghendaki pembatasan; dan ada pula
4)
Isyarat Alquran yang mengandung makna lebih dari
satu (musytarak) yang menghendaki penetapan makna yang akan dipakai dari dua
makna tersebut; bahkan terdapat sesuatu yang secara khusus tidak dijumpai
keterangannya di dalam Alquran yang selanjutnya diserahkan kepada hadis nabi.
3. Adapun ciri-ciri Agama Wahyu (langit), ialah
:
1.
Secara
pasti dapat ditentukan lahirnya, dan bukan tumbuh dari masyarakat, melainkan
diturunkan kepada masyarakat.
2.
Disampaikan
oleh manusia yang dipilih Allah sebagai utusan-Nya. Utusan itu bukan
menciptakan agama, melainkan menyampaikannya.
3.
Memiliki
kitab suci yang bersih dari campur tangan manusia.
4.
Ajarannya
serba tetap, walaupun tafsirnya dapat berubah sesuai dengan kecerdasan dan
kepekaan manusia.
5.
Konsep
ketuhanannya adalah : monotheisme mutlak (tauhid)
6.
Kebenarannya
adalah universal yaitu berlaku bagi setiap manusia, masa dan keadaan.
4.
Adapun
ciri-ciri agama budaya (ardhi), ialah :
1. Tumbuh secara
komulatif dalam masyarakat penganutnya.
2. Tidak disampaikan
oleh utusan Tuhan (Rasul).
3.
Umumnya
tidak memiliki kitab suci, walaupun ada akan mengalami perubahan-perubahan
dalam perjalanan sejarahnya.
4.
Ajarannya
dapat berubah-ubah, sesuai dengan perubahan akal pikiran masyarakatnya (penganutnya).
5.
Konsep
ketuhanannya: dinamisme, animisme, politheisme, dan paling tinggi adalah monotheisme
nisbi.
6.
Kebenaran
ajarannya tidak universal, yaitu tidak berlaku bagi setiap manusia, masa, dan
keadaan.
5. Ciri-ciri
Agama Islam
Kata Islam, berasal dari kata ‘as la ma - yus li mu – Is la man’
artinya, tunduk, patuh, menyerahkan diri. Kata Islam terambil dari kata dasar sa la ma atau
sa li ma yang artinya selamat, sejahtera, tidak cacat, tidak tercela. Dari akar
kata sa la ma itu juga terbentuk kata salmon, silmun artinya damai patuh dan
meyerahkan diri. Sedangkan agama, menurut bahasa Al-Qur’an banyak digunakan din.
Islam adalah agama sepanjang sejarah
manusia, ajaran dari seluruh nabi dan rasulnya yang penah di utus oleh Allah
SWT pada bangsa-bangsa dan kelompok-kelompok manusia. Islam agama bagi Adam
a.s, Nabi Ibrahim, Nabi Yakub, Nabi Musa, Nabi Daud, Nabi Sulaiman dan Nabi Isa
a.s. Agama Islam adalah agama Allah yang
disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW untuk disampaikan serta diteruskan kepada
seluruh umat manusia yang mengandung ketentuan-ketentuan keimanan (aqidah) dan
ketentuan-ketentuan ibadah dan muamalah (syariah) yang menentukan proses
berpikir, merasa, berbuat, dan proses terbentuknya hati.
Pada dasarnya Islam terdiri dari 3 unsur
pokok yaitu iman, islam dan ihsan, meskipun ketiganya mempunyai pengertian yang berbeda tetapi dalam
praktek satu sama lain saling terkait dan tidak dapat dipisahkan.
Iman artinya membenarkan dengan hati,
mengucapkan dengan lisan dan merealisasikannya dalam perbuatan akan adanya
Allah SWT, dengan adanya segala Kemaha sempurnaan-Nya, para Malaikat, Kitab-kitab
Allah, para Nabi dan Rasul, hari akhir serta Qadha dan Qadhar. Islam artinya
taat, tunduk, patuh dan menyerahkan diri dari segala ketentuan yang telah
ditetapkan Allah SWT. Ihsan artinya berakhlak serta berbuat shalih sehingga
dalam melaksanakan ibadah kepada Allah dan bermuamalah (interaksi) dengan
sesama mahluk dilaksanakan dengan penuh keikhlasan seakan-akan Allah
menyaksikan gerak-geriknya sepanjang waktu meskipun ia sendiri tidak
melihatnya.
Dari yang telah diuraikan dapat
disimpulkan bahwa pada agama Islamlah kita temui ciri-ciri agama wahyu yang
lengkap. Sehingga agama Islam, bukan hanya agama yang benar, tetapi juga agama
yang sempurna.
B. Islam Sebagai
Produk Sejarah
Sejarah
atau historis adalah suatu ilmu yang di dalamnya dibahas berbagai peristiwa
dengan memperhatikan unsur tempat, waktu, objek, latar belakang dan pelaku dari
peristiwa tersebut.[5]
Melalui
pendekatan sejarah seseorang diajak menukik dari alam idealis ke alam yang
bersifat empiris dan mendunia. Dari keadaan ini seseorang akan melihat adanya
kesenjangan atau keselarasan antara yang terdapat dalam alam idealis dengan
yang ada di alam empiris dan historis. Islam bukanlah agama yang tidak mau
memahami konteks perubahan zaman. Dimensi historisitas Islam lebih melihat
kenyataan sosial-budaya untuk membuka ruang kemanusiaan sedalam-dalamnya.
Humanitas bisa ditangkap apabila rasio dan akal budi dipakai dalam menganalisis
teks agama. Sisi historisitas
agama lebih banyak dieksplorasi untuk lebih memahami kenyataan kemanusiaan hari
ini.
Gagasan
Islam otentik dan Islam universal kurang mengeksplorasi sisi historitas Islam.
Realitas lokalitas (budaya) kurang mendapat tempat dalam pemahaman mereka.
Islam dengan sangat apresiatif memahami budaya, dan berposisi secara
rekonsiliatif. Bahkan fenomena budaya banyak dijadikan rujukan keagamaan. Ada
dialektika antara agama dan budaya. Dan di Islam, kaitan antara teks dan budaya
memang sering sulit untuk dipisahkan. Kekuatan budaya banyak mempengaruhi
proses pembentukan teks-teks agama. Mengenai pengaruh budaya dalam Islam pada
masa Arab klasik, Khalil Abdul Karim menyebut sakralisasi Bulan Ramadhan
merupakan salah satu tradisi yang diwarisi Islam dari bangsa Arab —yang menjadi
sumber dasar Islam. Hal lain misalkan, mengagungkan bulan-bulan haram (Dzulqa’dah,
Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab) bukan merupakan tradisi Islam.
Ada
tenggara, penyebutan bulan-bulan suci itu dilatarbelakangi oleh tradisi bangsa
Arab yang tidak membenarkan perang dalam rentang keempat bulan tersebut. Tradisi berperang merupakan tradisi tribalisme suku-suku Arab pada
saat itu, sehingga penetapan empat bulan suci itu sebagai fase gencatan sejata
dan kesempatan untuk menunaikan ibadah haji dan umrah. Atau, misalkan juga mengenai jilbab. Jilbab merupakan produk
budaya Arab pada saat itu sebagai alat kultural untuk media pengamanan sosial
bagi perempuan. Karena jilbab itu pada awalnya adalah budaya, dan Al-Qur’an
menyebutkannya maka sering kita mengartikan jilbab itu adalah bagian dari
tradisi Islam. Hal semacam itu banyak disalahartikan. Kaitan budaya antara Arab
dan Islam membuat kita kesulitan untuk memilah mana yang merupakan budaya Islam
sendiri dan mana yang bukan.
Oleh sebab
itu, metode “kritik historis” (an-naqd at-tarikhy) sangat penting untuk
dilakukan dalam menganalisis tradisi. Apakah teks seluruhnya merupakan turunan
dari langit? Bukankah intervensi manusiawi sangat mempengaruhi nalar pemikiran
dalam teks agama? Muhammad dan Jibril sebagai penerima teks pertama juga tidak
lepas dari bagaimana keduanya mencoba menafsirkan teks. Otentisitas dan
universalitas yang ada dalam Islam lebih dimaknai sebagai pemahaman teologis
yang sifatnya hanya dalam wilayah privat dalam keyakinan keagamaan kita.
Penggalian makna Islam yang lebih memahami konteks budaya menjadi sesuatu yang
tidak tabu dan perlu untuk mendapat tempat seluas-luasnya dalam wacana atau
tradisi pemikiran kita.[6]
C. Islam Sebagai
Sasaran Penelitian
Untuk
penelitian agama yang sasarannya adalah agama sebagai doktrin. Agama sebagai teologi, tidak terbatas hanya sekedar menerangkan
hubungan antara manusia dengan Tuhan (Transendental) saja,
tetapi tidak terelakan adalah melibatkan kesadaran
berkelompok (sosiologis), kesadaran pencarain asal-usul
agama (antropologi), pemenuhan kebutuhan untuk membentuk kepribadian
yang kuat dan ketenangan jiwa (psikologis) bahkan ajaran agama tertentu dapat
diteliti sejauh mana keterkaitan ajaran
etikanya dengan corak pandangan hidup yang memberi doronganyang kuat
untuk memperoleh derajat kesejahteraan hidup yang optimal (ekonomi).
Apabila kita memandangan agama
sebagai doktrin yangsacral, suci dan tabuh, maka tertutup untuk kajian-kajian atau penelitian. Tetapi, apabila
kajian-kajian diarahkan pada elemen-elemen agama, maka terbuka pintu untuk
melakukan penelitian dan bahkan metodologi penelitian sudah pernah
dirintis, yaitu ilmu ushul fiqh sebagai metode
untuk men gistimbatkan hukum dalam agama Islam, dan ilmu
musthalah hadis sebagai metode
untuk menilai akurasi dan kekuatan sebab-sebab Nabi (hadis),merupakan
bukti adanya keinginan untuk mengembangkan metodologi penelitian.
Al-Qur’an bukan
semata-mata teks puji-pujian ataupun tuntutan kesalehan pribadi
dan sama halnya, karier kerasulan Nabi Muhammad juga diarahkan kepada perbaikan moral manusia dalam artian yang konkrit
dan komunal, bukan hanya sekedarkepada hal-hal yang bersifat pribadi dan
metafisik saja. Dengan sendirinya mendorong para ahli hukum dan intelektual muslim untuk memandang al-Qur’an dan
Sunnah Rasul sebagai sumber yang mampu menjawab semua persoalan (Fazlur
Rahman, 1985: 2).
Sebelum
mendekati agama, memang amat perlu mengetahui sasaran yang akan didekati, yaitu agama atau kepercayaan yang terjadi karena adanya
dipandang mahakuasa menjadi sumber dari segala
sesuatu. Dalam berbagai disiplin ilmu sosial dipelajari adanya
dua macam agama yaitu:
1. Agama Alam, atau sering juga
disebut agama suku bangsa primitif, disebut juga “innerweltlich
religion”. Berbagai sebutan yang diberikan kepada agama itu, sesuai
dengan dasar kepercayaannya, seperti animisme, dinamisme, polytheismedan
ada yang menyebut dengan agama
leluuhur, kepercayaan nenek moyang; paganisme, syamanisme dengan
berbagai ritus dan perbuatan-perbuatan keagamaan dengan aneka sebutan, sepeti
dewa, Tuhan, dan lain-lain seolah-olah berada dalam dalam kehidupan manusia, tetapi kuasa memberikan
kekuatan-kekuatan atau kesaktianpada manusia yang menguasai tata cara
untuk memperoleh kekuatan sakti itu.
2. Agama Pro fetis, yang biasanya juga disebut agama samawi,yaitu
agama yang diturunkan oleh Khalik (Pencipta)
melalui utusan atau nabi-Nya kepada manusia.Agama yang tergolong jenis ini, adalah agama Islam, Nasrani, dan
Yahudi. Tuhan atau Khalik Yang Maha Pencipta, berkuasa atas segala sesuatu (makhluk-Nya) berada di
luar makhluk, dan menentukan sendiri kehendak-Nya dan tidak tergantung pada
makhluk-Nya (Mattulada, dlm Taufik Abdullah dan Rusli Karim, 1989:2)
Dalam perkembangan kegamaan, ilmu-ilmu pengetahuan sosial dan antropologi budaya telah mengembangkan metode-metode ilmiah dalam penelitian agama-agama alam, kepercayaan suku-suku bangsa primitif. Agama-agama itu dilihat sebagai fenomena kehidupan kebudayaan para penganutnya. Adapun agama-agama profetis, ilmu pengetahuan modern juga telah melakukan pengkajian-pengkajian atasnya. Marx, Durkheim hingga Weber, memang telah banyak mengkaji tentang agama Nasrani dan Yahudi, tetapi amat sepele perhatiannya terhadap Islam. Pengkajian terhadap agama Islam mulai timbul seiring dengan perkembangan pengkajian ilmu perbandingan agama, yang dilatarbelakangi oleh factor kepustakaan Islam yang langkah, tidak memadai dan eksklusif (Mattulada, dlm Taufik Abdullah dan Rusli Karim, 1989:2).
Dalam perkembangan kegamaan, ilmu-ilmu pengetahuan sosial dan antropologi budaya telah mengembangkan metode-metode ilmiah dalam penelitian agama-agama alam, kepercayaan suku-suku bangsa primitif. Agama-agama itu dilihat sebagai fenomena kehidupan kebudayaan para penganutnya. Adapun agama-agama profetis, ilmu pengetahuan modern juga telah melakukan pengkajian-pengkajian atasnya. Marx, Durkheim hingga Weber, memang telah banyak mengkaji tentang agama Nasrani dan Yahudi, tetapi amat sepele perhatiannya terhadap Islam. Pengkajian terhadap agama Islam mulai timbul seiring dengan perkembangan pengkajian ilmu perbandingan agama, yang dilatarbelakangi oleh factor kepustakaan Islam yang langkah, tidak memadai dan eksklusif (Mattulada, dlm Taufik Abdullah dan Rusli Karim, 1989:2).
Masalah
keagamaan, merupakan masalah yang selalu hadir dalam sejarh kehidupan manusia
sepanjang zaman dan sama dengan masalah kehidupan lainnya. Perilaku hidup
beragama yang amat luas tersebar di permukaan bumi dan dikatakan menjadi
“bagian dari hidup kebudayaan” yang dapat dikembangkan dalam aneka corak yang khas antara suatu lingkup sosial-budaya
berbeda dengan lingkup sosial budayalainnya.
“Fenomena keagamaan yang berakumulasi pada pola perilaku manusia dalam
kehidupannya beragama adalah perwujudan dari “sikap” dan “perilaku”
manusia yang menyangkut dengan hal-hal
yang dipandang sacral, suci, keramat yang berasalan dari
suatu kegaiban.
Sedangkan ilmu pengetahuan, dalam hal
ini ilmu pengetahuan sosial dengan caranya
masing-masing, atau metode, teknik dan peralatannya, dapat mengamati secara
cermat perilaku manusia itu, hingga menemukan segala unsure
yang menjadi komponen terjadinya
perilaku tersebut. Ilmu sejarah mengamati proses terjadinya perilaku itu, ilmu
sosiologi menyoroti dari sudut posisi manusia yang membawanyakepada
perilaku itu, sedangkan ilmu antropologi memperhatikan terbentuknya pola-pola
perilaku tersebut dalam tatanan nilai (value) yang dianut dalam kehidupan
manusia (Mattulada, dlm Taufik Abdullah dan Rusli Karim, 1989:1)
Apabila,
kita mencoba menggambarkannya dalam pendekatan sejarah, sosiologi, dan antropologi secara sintetik, maka
fenomena keagamaan itu berakumulasi pada “pola perilaku manusia” didekati
dengan menggunakan ketiga model pendekatan sesuai dengan posisi perilaku itu dalam konteksnya masing-masing (Mattulada,
dlm Taufik Abdullah dan Rusli Karim, 1989:1).
Uraian di atas, membatasi
diri pada upaya menemukan metode yang tepat bagi penelitian dalam studi Islam.
Karena itu, tekanan utama dititikberatkan pada segi-segi metodologi stusi Islam, yaitu aspek-aspek ajaran
Islam yang dapat didekati secara ilmiah yang relevan dan perkembangan
pengkajian Islam di masa depan.
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Islam
berasal dari bahasa Arab, terambil dari kata salima yang berarti selamat
sentosa. Dari asal kata itu dibentuk kata aslama yang artinya memelihara dalam
keadaan selamat sentosa dan berarti pula menyerahkan diri, tunduk, patuh dan
taat
Penelitian
keagamaan merupakan penelitian yang objek kajiannya adalah agama sebagai produk
”interaksi sosial” atau ”perilaku manusia”. Oleh karena itu, metode yang
digunakan adalah metode-metode penelitian sosial pada umumnya. Maka, berkenaan
dengan hal itu, tanpaknya kitapun tidak perlu menyusun teori penelitian
tersendiri, tetapi cukup meminjam teori ilmu-ilmu sosial yang sudah ada dan
telah diuji.
Islam bukanlah agama yang tidak mau
memahami konteks perubahan zaman. Dimensi historisitas Islam lebih melihat
kenyataan sosial-budaya untuk membuka ruang kemanusiaan sedalam-dalamnya.
Humanitas bisa ditangkap apabila rasio dan akal budi dipakai dalam menganalisis
teks agama. Sisi historisitas agama lebih banyak dieksplorasi untuk lebih
memahami kenyataan kemanusiaan hari ini
B. Saran
Penulis menyadari bahwa dalam
pembuatan makalah ini masih banyak terdapat kesalahan dan kekurangan maka dari
itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak demi perbaikan
makalah ini dimasa yang akan datang
DAFTAR
PUSTAKA
Amin Abdullah, Studi
Agama Normativitas atau Historisitas, 1996.
Abudinnata,
Metodologi Studi Islam, 2001.
M. Atho Mudzhar,
Pendekatan Studi Islam dalam Teori dan Praktek.
Endang Saifuddin
Anshari, Wawasan Islam.
Taufik Abdullah dan
Rusli Karim, Metodologi Penelitian Agama.
[1] Maulana Muhammad ali, Islamologi (dinul Islam) (Jakarta : Ikhtiar
Baru Vam Hoeve, 1980), Hlm 2
[2] Narsruddin Razak, Dienul
Islam, (Bandung
: Al-Ma’arif), 1977) cet II, hlm 56
[3] Harun nasution, Islam
ditinjau dari berbagai aspeknya, Jilid I ( Jakarta : UI Press, 1979, hlm 9
[4] Lihat subhi as-shalih, membahas
ilmu-ilmu al-qiuran, (terj) . pustaka Firdaus dari judl asli Mabahits fi
ulum al-quran, (Jakarta : Pustaka firdaus, 1991), cet. II, hlm 9
[6] http://jn76.wordpress.com/2008/09/21/islam-sebagai-produk-budaya/
No comments:
Post a Comment