1

loading...

Friday, November 9, 2018

MAKALAH ISLAM SEBAGAI STUDI ISLAM, WAHYU SEBAGAI PRODUK SEJARAH, DAN ISLAM EBAGAI SASARAN PENELITIAN

loading...

"MAKALAH ISLAM SEBAGAI STUDI ISLAM, WAHYU SEBAGAI PRODUK SEJARAH, DAN ISLAM SEBAGAI SASARAN PENELITIAN" 

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sebelum Islam datang ke dunia ini, telah terdapat sejumlah agama yang dianut oleh umat mansuia. Para ahli Ilmu Perbandingan Agama (The Comparative Study Of Religion ) bida membagi agama secara garis besar ke dala dua bagian. Pertama, kelompok agama yang diturunkan oleh Tuhan melalui wahyu-wahyunya sebagaimana termaksud dalam kitab suci Alquran. Kedua, kelopok agama yang didasarkan pada hasil renungan mendalam dari tokoh yang membawanya sebagaimana terdokumentasikan dalam kitab suci yang disusunnya.
Islam adalah agama yang terakhir di antara agama besar di dunia yang semuanya merupakan kekuatan raksasa yang mengeerakkan revolusi dunia, dan mengubah nasib sekalian bangsa. Selain itu, Islam bukan saja agama yang terakhir melainkan agama yang melengkapi segala-galanya dan mencakup sekalian agama yang datang sebelumnya.
Dalam memahami agama banyak pendekatan yang dilakukan. Hal demikian perlu dilakukan, karena pendekatan tersebut kehadiran agama secara fungsional dapat dirasakan oleh penganutnya. Berbagai pendekatan tersebut meliputi pendekatan teologis normatif, antropologis, sosiologis, psikologis, historis, kebudayaan dan pendekatan filosofis. Adapun yang dimaksud dengan pendekatan di sini adalah cara pandang atau paradigma yang terdapat dalam suatu bidang ilmu yang selanjutnya digunakan dalam memahami. Dikalangan para ahli masih terdapat perbedaan disekitar permasalahan apakah studi islam (agama) dapat dimasukkan ke dalam bidang ilmu pengetahuan, mengingat sifat dan karakteristik antara ilme pengetahuan dan agama berbeda.
B. Rumusan Masalah
1.     Apa Yang Dimaksud Islam Sebagai Produk Wahyu?
2.     Apa Yang Dimaksud Islam Sebagai Produk Sejarah ?
3.     Apa Yang Dimaksud Islam Sebagai Sasaran Penelitian?
C.    Tujuan Makalah
1.     Untuk Mengetahui Islam Sebagai Produk Wahyu.
2.     Untuk Mengetahui Islam Sebagai Produk Sejarah.
3.     Untuk Mengetahui Islam Sebagai Sasaran Penelitian.

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Islam Sebagai Produk Wahyu
1.     Pengertian Islam
Agama Islam adalah agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dengan agama inilah Allah menutup agama-agama sebelumnya. Allah telah menyempurnakan agama ini bagi hamba-hambaNya. Dengan agama Islam ini pula Allah menyempurnakan nikmat atas mereka. Agama Islam ini telah merangkum semua bentuk kemaslahatan yang diajarkan oleh agama-agama sebelumnya. Agama Islam yang beliau bawa ini lebih istimewa dibandingkan agama-agama terdahulu karena Islam adalah ajaran yang bisa diterapkan di setiap masa, di setiap tempat dan di masyarakat manapun.
Dalam permasalahan kali ini kami akan menjelaskan secara detail tentang Islam sebagai agama wahyu, klasifikasinya, perbandingan dengan agama lain dan Islam yang telah disalahpahami serta pembenarannya.  Ada dua sisi yang dapat kita gunakan untuk memahami pengertian agama Islam, yaitu sisi kebahasaan dan sisi peristilahan. Kedua sisi pengertian tentang Islam ini dapat dijelaskan sebagai berikut :
Dari segi kebahasaan Islam berasal dari bahasa Arab, yaitu dari kata salima yang mengandung arti selamat, sentosa dan damai. Dan kata salima selanjutnya diubah menjadi bentuk aslama yang berarti berserah diri masuk dalam kedamaian.[1]
Senada dengan pendapat di atas, sumber lain mengatakan Islam berasal dari bahasa Arab, terambil dari kata salima yang berarti selamat sentosa. Dari asal kata itu dibentuk kata aslama yang artinya memelihara dalam keadaan selamat sentosa dan berarti pula menyerahkan diri, tunduk, patuh dan taat.[2]
Dari pengertian itu, kata Islam dekat arti kata agama yang berarti menguasai, menundukkan, patuh, hutang, balasan dan kebiasaan.[3]
2.     Sumber Ajaran Islam
Di kalangan ulama terdapat kesepakatan bahwa sumber ajaran Islam yang utama adalah Alquran dan Al-Sunnah; sedangkan penalaran atau akal pikiran sebagai alat untuk memahami Alquran dan Al-Sunnah .
a.      Alquran
Di kalangan para ulama dijumpai adanya perbedaan pendapat di sekitar pengertian Alquran baik dari segi bahasa maupun istilah. Asy-Syafi’i misalnya mengatakan bahwa Alquran bukan berasal dari akar kata apa pun, dan bukan pula ditulis dengan memakai kata hamzah. Lafal tersebut sudah lazim digunakan dalam pengertian kalamullah (firman Allah) yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw. Sementara itu Al-Farra berpendapat bahwa lafal Alquran berasal dari kata qarain jamak dari kata qarinah yang berarti kaitan; karena dilihat dari segi makna dan kandungannya ayat-ayat Alquran itu satu sama lain saling berkaitan. Selanjutnya, Al-Asy’ari dan para pengikutnya mengatakan bahwa lafal Alquran diambil dari akar kata qarn yang berarti menggabungkan suatu atas yang lain; karena surat-surat dan ayat-ayat Alquran satu dan lainnya saling bergabung dan berkaitan.[4]
 Manna’ al-Qathhthan, secara ringkas mengutip pendapat para ulama pada umumnya yang menyatakan bahwa Alquran adalah firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw, dan dinilai ibadah bagi yang membacanya. Pengertian yang demikian senada dengan yang diberikan Al-Zarqani.
b.     Al-Sunnah
Kedudukan Al-Sunnah sebagai sumber ajaran Islam selain didasarkan pada keterangan ayat-ayat Alquran dan hadis juga didasarkan kepada pendapat kesepakatan para sahabat. Yakni seluruh sahabat sepakat untuk menetapkan tentang wajib mengikuti hadis, baik pada masa Rasulullah masih hidup maupun setelah beliau wafat.
Menurut bahasa Al-Sunnah artinya jalan hidup yang dibiasakan terkadang jalan tersebut ada yang baik dan ada pula yang buruk. Pengertian Al-Sunnah seperti ini sejalan dengan makna hadis Nabi yang artinya : ”Barang siapa yang membuat sunnah (kebiasaan) yang terpuji, maka pahala bagi yang membuat sunnah itu dan pahala bagi orang yang mengerjakanny; dan barang siapa yang membuat sunnah yang buruk, maka dosa bagi yang membuat sunnah yang buruk itu dan dosa bagi orang yang mengerjakannya.
Sementara itu Jumhurul Ulama atau kebanyakan para ulama ahli hadis mengartikan Al-Sunnah, Al-Hadis, Al-Khabar dan Al-Atsar sama saja, yaitu segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad Saw, baik dalam bentuk ucapan, perbuatan maupun ketetapan. Sementara itu ulama Ushul mengartikan bahwa Al-Sunnah adalah sesuatu yang berasal dari Nabi Muhammad dalam bentuk ucapan, perbuatan dan persetujuan beliau yang berkaitan dengan hukum.
Sebagai sumber ajaran Islam kedua, setelah Alquran, Al-Sunnah memiliki fungsi yang pada intinya sejalan dengan alquran. Keberadaan Al-Sunnah tidak dapat dilepaskan dari adanya sebagian ayat Alquran :
1)     Yang bersifat global (garis besar) yang memerlukan perincian;
2)     Yang bersifat umum (menyeluruh) yang menghendaki pengecualian;
3)     Yang bersifat mutlak (tanpa batas) yang menghendaki pembatasan; dan  ada pula
4)     Isyarat Alquran yang mengandung makna lebih dari satu (musytarak) yang menghendaki penetapan makna yang akan dipakai dari dua makna tersebut; bahkan terdapat sesuatu yang secara khusus tidak dijumpai keterangannya di dalam Alquran yang selanjutnya diserahkan kepada hadis nabi.
3.     Adapun ciri-ciri Agama Wahyu (langit), ialah :
1.   Secara pasti dapat ditentukan lahirnya, dan bukan tumbuh dari masyarakat, melainkan diturunkan kepada masyarakat.
2.   Disampaikan oleh manusia yang dipilih Allah sebagai utusan-Nya. Utusan itu bukan menciptakan agama, melainkan menyampaikannya.
3.   Memiliki kitab suci yang bersih dari campur tangan manusia.
4.   Ajarannya serba tetap, walaupun tafsirnya dapat berubah sesuai dengan kecerdasan dan kepekaan manusia.
5.   Konsep ketuhanannya adalah : monotheisme mutlak (tauhid)
6.   Kebenarannya adalah universal yaitu berlaku bagi setiap manusia, masa dan keadaan.
4.     Adapun ciri-ciri agama budaya (ardhi), ialah :
1.   Tumbuh secara komulatif dalam masyarakat penganutnya.
2.   Tidak disampaikan oleh utusan Tuhan (Rasul).
3.   Umumnya tidak memiliki kitab suci, walaupun ada akan mengalami perubahan-perubahan dalam perjalanan sejarahnya.
4.   Ajarannya dapat berubah-ubah, sesuai dengan perubahan akal pikiran masyarakatnya (penganutnya).
5.   Konsep ketuhanannya: dinamisme, animisme, politheisme, dan paling tinggi adalah monotheisme nisbi.
6.   Kebenaran ajarannya tidak universal, yaitu tidak berlaku bagi setiap manusia, masa, dan keadaan.
5.     Ciri-ciri Agama Islam           
Kata Islam, berasal dari kata ‘as la ma - yus li mu – Is la man’ artinya, tunduk, patuh, menyerahkan diri. Kata Islam terambil dari kata dasar sa la ma atau sa li ma yang artinya selamat, sejahtera, tidak cacat, tidak tercela. Dari akar kata sa la ma itu juga terbentuk kata salmon, silmun artinya damai patuh dan meyerahkan diri. Sedangkan agama, menurut bahasa Al-Qur’an banyak digunakan din.
Islam adalah agama sepanjang sejarah manusia, ajaran dari seluruh nabi dan rasulnya yang penah di utus oleh Allah SWT pada bangsa-bangsa dan kelompok-kelompok manusia. Islam agama bagi Adam a.s, Nabi Ibrahim, Nabi Yakub, Nabi Musa, Nabi Daud, Nabi Sulaiman dan Nabi Isa a.s.  Agama Islam adalah agama Allah yang disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW untuk disampaikan serta diteruskan kepada seluruh umat manusia yang mengandung ketentuan-ketentuan keimanan (aqidah) dan ketentuan-ketentuan ibadah dan muamalah (syariah) yang menentukan proses berpikir, merasa, berbuat, dan proses terbentuknya hati.
Pada dasarnya Islam terdiri dari 3 unsur pokok yaitu iman, islam dan ihsan, meskipun ketiganya mempunyai pengertian yang berbeda tetapi dalam praktek satu sama lain saling terkait dan tidak dapat dipisahkan.
Iman artinya membenarkan dengan hati, mengucapkan dengan lisan dan merealisasikannya dalam perbuatan akan adanya Allah SWT, dengan adanya segala Kemaha sempurnaan-Nya, para Malaikat, Kitab-kitab Allah, para Nabi dan Rasul, hari akhir serta Qadha dan Qadhar. Islam artinya taat, tunduk, patuh dan menyerahkan diri dari segala ketentuan yang telah ditetapkan Allah SWT. Ihsan artinya berakhlak serta berbuat shalih sehingga dalam melaksanakan ibadah kepada Allah dan bermuamalah (interaksi) dengan sesama mahluk dilaksanakan dengan penuh keikhlasan seakan-akan Allah menyaksikan gerak-geriknya sepanjang waktu meskipun ia sendiri tidak melihatnya. 
Dari yang telah diuraikan dapat disimpulkan bahwa pada agama Islamlah kita temui ciri-ciri agama wahyu yang lengkap. Sehingga agama Islam, bukan hanya agama yang benar, tetapi juga agama yang sempurna.
B.    Islam Sebagai Produk Sejarah
Sejarah atau historis adalah suatu ilmu yang di dalamnya dibahas berbagai peristiwa dengan memperhatikan unsur tempat, waktu, objek, latar belakang dan pelaku dari peristiwa tersebut.[5]
Melalui pendekatan sejarah seseorang diajak menukik dari alam idealis ke alam yang bersifat empiris dan mendunia. Dari keadaan ini seseorang akan melihat adanya kesenjangan atau keselarasan antara yang terdapat dalam alam idealis dengan yang ada di alam empiris dan historis. Islam bukanlah agama yang tidak mau memahami konteks perubahan zaman. Dimensi historisitas Islam lebih melihat kenyataan sosial-budaya untuk membuka ruang kemanusiaan sedalam-dalamnya. Humanitas bisa ditangkap apabila rasio dan akal budi dipakai dalam menganalisis teks agama. Sisi historisitas agama lebih banyak dieksplorasi untuk lebih memahami kenyataan kemanusiaan hari ini.
Gagasan Islam otentik dan Islam universal kurang mengeksplorasi sisi historitas Islam. Realitas lokalitas (budaya) kurang mendapat tempat dalam pemahaman mereka. Islam dengan sangat apresiatif memahami budaya, dan berposisi secara rekonsiliatif. Bahkan fenomena budaya banyak dijadikan rujukan keagamaan. Ada dialektika antara agama dan budaya. Dan di Islam, kaitan antara teks dan budaya memang sering sulit untuk dipisahkan. Kekuatan budaya banyak mempengaruhi proses pembentukan teks-teks agama. Mengenai pengaruh budaya dalam Islam pada masa Arab klasik, Khalil Abdul Karim menyebut sakralisasi Bulan Ramadhan merupakan salah satu tradisi yang diwarisi Islam dari bangsa Arab —yang menjadi sumber dasar Islam. Hal lain misalkan, mengagungkan bulan-bulan haram (Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab) bukan merupakan tradisi Islam.
Ada tenggara, penyebutan bulan-bulan suci itu dilatarbelakangi oleh tradisi bangsa Arab yang tidak membenarkan perang dalam rentang keempat bulan tersebut. Tradisi berperang merupakan tradisi tribalisme suku-suku Arab pada saat itu, sehingga penetapan empat bulan suci itu sebagai fase gencatan sejata dan kesempatan untuk menunaikan ibadah haji dan umrah. Atau, misalkan juga mengenai jilbab. Jilbab merupakan produk budaya Arab pada saat itu sebagai alat kultural untuk media pengamanan sosial bagi perempuan. Karena jilbab itu pada awalnya adalah budaya, dan Al-Qur’an menyebutkannya maka sering kita mengartikan jilbab itu adalah bagian dari tradisi Islam. Hal semacam itu banyak disalahartikan. Kaitan budaya antara Arab dan Islam membuat kita kesulitan untuk memilah mana yang merupakan budaya Islam sendiri dan mana yang bukan.
Oleh sebab itu, metode “kritik historis” (an-naqd at-tarikhy) sangat penting untuk dilakukan dalam menganalisis tradisi. Apakah teks seluruhnya merupakan turunan dari langit? Bukankah intervensi manusiawi sangat mempengaruhi nalar pemikiran dalam teks agama? Muhammad dan Jibril sebagai penerima teks pertama juga tidak lepas dari bagaimana keduanya mencoba menafsirkan teks. Otentisitas dan universalitas yang ada dalam Islam lebih dimaknai sebagai pemahaman teologis yang sifatnya hanya dalam wilayah privat dalam keyakinan keagamaan kita. Penggalian makna Islam yang lebih memahami konteks budaya menjadi sesuatu yang tidak tabu dan perlu untuk mendapat tempat seluas-luasnya dalam wacana atau tradisi pemikiran kita.[6]

C.    Islam Sebagai Sasaran Penelitian
Untuk penelitian agama yang sasarannya adalah agama sebagai doktrin. Agama sebagai teologi, tidak terbatas hanya sekedar menerangkan hubungan antara manusia dengan Tuhan (Transendental) saja, tetapi tidak terelakan adalah melibatkan kesadaran berkelompok (sosiologis), kesadaran pencarain asal-usul agama (antropologi), pemenuhan kebutuhan untuk membentuk kepribadian yang kuat dan ketenangan jiwa (psikologis) bahkan ajaran agama tertentu dapat diteliti sejauh mana keterkaitan ajaran etikanya dengan corak pandangan hidup yang memberi doronganyang kuat untuk memperoleh derajat kesejahteraan hidup yang optimal (ekonomi).
Apabila kita memandangan agama sebagai doktrin yangsacral, suci dan tabuh, maka tertutup untuk kajian-kajian atau penelitian. Tetapi, apabila kajian-kajian diarahkan pada elemen-elemen agama, maka terbuka pintu untuk melakukan penelitian dan bahkan metodologi penelitian sudah pernah dirintis, yaitu ilmu ushul fiqh sebagai metode untuk men gistimbatkan hukum dalam agama Islam, dan ilmu musthalah hadis sebagai metode untuk menilai akurasi dan kekuatan sebab-sebab Nabi (hadis),merupakan bukti adanya keinginan untuk mengembangkan metodologi penelitian.
Al-Qur’an bukan semata-mata teks puji-pujian ataupun tuntutan kesalehan pribadi dan sama halnya, karier kerasulan Nabi Muhammad juga diarahkan kepada perbaikan moral manusia dalam artian yang konkrit dan komunal, bukan hanya sekedarkepada hal-hal yang bersifat pribadi dan metafisik saja. Dengan sendirinya mendorong para ahli hukum dan intelektual muslim untuk memandang al-Qur’an dan Sunnah Rasul sebagai sumber yang mampu menjawab semua persoalan (Fazlur Rahman, 1985: 2).
Sebelum mendekati agama, memang amat perlu mengetahui sasaran yang akan didekati, yaitu agama atau kepercayaan yang terjadi karena adanya dipandang mahakuasa menjadi sumber dari segala sesuatu. Dalam berbagai disiplin ilmu sosial dipelajari adanya dua macam agama yaitu:
1.     Agama Alam, atau sering juga disebut agama suku bangsa primitif, disebut juga “innerweltlich religion”. Berbagai sebutan yang diberikan kepada agama itu, sesuai dengan dasar kepercayaannya, seperti animisme, dinamisme, polytheismedan ada yang menyebut dengan agama leluuhur, kepercayaan nenek moyang; paganisme, syamanisme dengan berbagai ritus dan perbuatan-perbuatan keagamaan dengan aneka sebutan, sepeti dewa, Tuhan, dan lain-lain seolah-olah berada dalam dalam kehidupan manusia, tetapi kuasa memberikan kekuatan-kekuatan atau kesaktianpada manusia yang menguasai tata cara untuk memperoleh kekuatan sakti itu. 
2.     Agama Pro fetis, yang biasanya juga disebut agama samawi,yaitu agama yang diturunkan oleh Khalik (Pencipta) melalui utusan atau nabi-Nya kepada manusia.Agama yang tergolong jenis ini, adalah agama Islam, Nasrani, dan Yahudi. Tuhan atau Khalik Yang Maha Pencipta, berkuasa atas segala sesuatu (makhluk-Nya) berada di luar makhluk, dan menentukan sendiri kehendak-Nya dan tidak tergantung pada makhluk-Nya (Mattulada, dlm Taufik Abdullah dan Rusli Karim, 1989:2)
   Dalam perkembangan kegamaan, ilmu-ilmu pengetahuan sosial dan antropologi budaya telah mengembangkan metode-metode ilmiah dalam penelitian agama-agama alam, kepercayaan suku-suku bangsa primitif. Agama-agama itu dilihat sebagai fenomena kehidupan kebudayaan para penganutnya. Adapun agama-agama profetis, ilmu pengetahuan modern juga telah melakukan pengkajian-pengkajian atasnya. Marx, Durkheim hingga Weber, memang telah banyak mengkaji tentang agama Nasrani dan Yahudi, tetapi amat sepele perhatiannya terhadap Islam. Pengkajian terhadap agama Islam mulai timbul seiring dengan perkembangan pengkajian ilmu perbandingan agama, yang dilatarbelakangi oleh factor kepustakaan Islam yang langkah, tidak memadai dan eksklusif (Mattulada, dlm Taufik Abdullah dan Rusli Karim, 1989:2).
         Masalah keagamaan, merupakan masalah yang selalu hadir dalam sejarh kehidupan manusia sepanjang zaman dan sama dengan masalah kehidupan lainnya. Perilaku hidup beragama yang amat luas tersebar di permukaan bumi dan dikatakan menjadi “bagian dari hidup kebudayaan” yang dapat dikembangkan dalam aneka corak yang khas antara suatu lingkup sosial-budaya berbeda dengan lingkup sosial budayalainnya. “Fenomena keagamaan yang berakumulasi pada pola perilaku manusia dalam kehidupannya beragama adalah perwujudan dari “sikap” dan “perilaku” manusia yang menyangkut dengan hal-hal yang dipandang sacral, suci, keramat yang berasalan dari suatu kegaiban.
            Sedangkan ilmu pengetahuan, dalam hal ini ilmu pengetahuan sosial dengan caranya masing-masing, atau metode, teknik dan peralatannya, dapat mengamati secara cermat perilaku manusia itu, hingga menemukan segala unsure yang menjadi komponen terjadinya perilaku tersebut. Ilmu sejarah mengamati proses terjadinya perilaku itu, ilmu sosiologi menyoroti dari sudut posisi manusia yang membawanyakepada perilaku itu, sedangkan ilmu antropologi memperhatikan terbentuknya pola-pola perilaku tersebut dalam tatanan nilai (value) yang dianut dalam kehidupan manusia (Mattulada, dlm Taufik Abdullah dan Rusli Karim, 1989:1)
            Apabila, kita mencoba menggambarkannya dalam pendekatan sejarah, sosiologi, dan antropologi secara sintetik, maka fenomena keagamaan itu berakumulasi pada “pola perilaku manusia” didekati dengan menggunakan ketiga model pendekatan sesuai dengan posisi perilaku itu dalam konteksnya masing-masing (Mattulada, dlm Taufik Abdullah dan Rusli Karim, 1989:1).
            Uraian di atas, membatasi diri pada upaya menemukan metode yang tepat bagi penelitian dalam studi Islam. Karena itu, tekanan utama dititikberatkan pada segi-segi metodologi stusi Islam, yaitu aspek-aspek ajaran Islam yang dapat didekati secara ilmiah yang relevan dan perkembangan pengkajian Islam di masa depan.
BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Islam berasal dari bahasa Arab, terambil dari kata salima yang berarti selamat sentosa. Dari asal kata itu dibentuk kata aslama yang artinya memelihara dalam keadaan selamat sentosa dan berarti pula menyerahkan diri, tunduk, patuh dan taat
Penelitian keagamaan merupakan penelitian yang objek kajiannya adalah agama sebagai produk ”interaksi sosial” atau ”perilaku manusia”. Oleh karena itu, metode yang digunakan adalah metode-metode penelitian sosial pada umumnya. Maka, berkenaan dengan hal itu, tanpaknya kitapun tidak perlu menyusun teori penelitian tersendiri, tetapi cukup meminjam teori ilmu-ilmu sosial yang sudah ada dan telah diuji.
Islam bukanlah agama yang tidak mau memahami konteks perubahan zaman. Dimensi historisitas Islam lebih melihat kenyataan sosial-budaya untuk membuka ruang kemanusiaan sedalam-dalamnya. Humanitas bisa ditangkap apabila rasio dan akal budi dipakai dalam menganalisis teks agama. Sisi historisitas agama lebih banyak dieksplorasi untuk lebih memahami kenyataan kemanusiaan hari ini

B.    Saran
Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih banyak terdapat kesalahan dan kekurangan maka dari itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak demi perbaikan makalah ini dimasa yang akan datang
DAFTAR PUSTAKA


Amin Abdullah, Studi Agama Normativitas atau Historisitas,  1996.

Abudinnata, Metodologi Studi Islam,  2001.

M. Atho Mudzhar, Pendekatan Studi Islam dalam Teori dan Praktek.

Endang Saifuddin Anshari,  Wawasan Islam.

Taufik Abdullah dan Rusli Karim, Metodologi Penelitian Agama.



[1] Maulana Muhammad ali, Islamologi (dinul Islam) (Jakarta : Ikhtiar Baru Vam Hoeve, 1980), Hlm 2
[2] Narsruddin Razak, Dienul Islam, (Bandung : Al-Ma’arif), 1977) cet II, hlm 56
[3] Harun nasution, Islam ditinjau dari berbagai aspeknya, Jilid I ( Jakarta : UI Press, 1979, hlm 9
[4] Lihat subhi as-shalih, membahas ilmu-ilmu al-qiuran, (terj) . pustaka Firdaus dari judl asli Mabahits fi ulum al-quran, (Jakarta : Pustaka firdaus, 1991), cet. II, hlm 9
[5] Abudinnata, Metodologi Studi Islam,  2001 hal 46

[6] http://jn76.wordpress.com/2008/09/21/islam-sebagai-produk-budaya/

No comments:

Post a Comment