1

loading...

Thursday, November 8, 2018

MAKALAH PANCASILA : LATAR BELAKANG SEJARAH, SOSIOLOGIS DAN FILOSOFIS, PROSES PERUMUSAN PANCASILA

MAKALAH PANCASILA : LATAR BELAKANG SEJARAH, SOSIOLOGIS DAN FILOSOFIS, PROSES PERUMUSAN PANCASILA
BAB I
PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG
Dasar negara Republik Indonesia adalah Pancasila yang terdapat dalam  Pembukaan UUD 1945 dan secara resmi disahkan oleh PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945, kemudian diundangkan dalam Berita Republik Indonesia tahun II No. 7 bersama-sama dengan batang tubuh UUD 1945.
Pancasila apabila dikaji secara ilmiah memiliki pengertian-pengertian yang luas, baik dalam kedudukannya sebagai dasar Negara, sebagai pandangan hidup Bangsa, sebagai kepribadian Bangsa, sebagai ideologi Bangsa dan Negara, selain itu Pancasila secara kedudukan dan fungsinya harus di pahami secara kronoligis. Kurangnya pemahaman tentang Pancasila baik pengertian maupun kronologinya.
Sebagai warga negara yang setia pada nusa dan bangsa, seharusnyalah mempelajari dan menghayati pandangan hidup bangsa yang sekaligus sebagai dasar filsafat negara, seterusnya untuk diamalkan dan dipertahankan sebagai ideologi negara. Oleh karena itu, pancasila sebagai dasar filsafat negara yang secara resmi tercantum dalam pembukaan UUD 1945 wajib dipelajari dan dipahami, apa sebenarnya yang terkandung dalam ajaran Pancasila itu.

B.     RUMUSAN MASALAH
1.      Bagaimana Latar Belakang Sejarah, Sosiologis dan Filososfis Pancasila?
2.      Bagaimana Proses Perumusan- Perumusan Pancasila?

C.    TUJUAN PENULISAN
1.      Untuk mengetahui latar belakang sejarah, sosiologis dan filososfis pancasila.
2.      Untuk mengetahui proses perumusan- perumusan pancasila.

BAB II
PEMBAHASAN
A.    Latar Belakang Sejarah, Sosiologis dan Filosofis Pancasila
1.      Historis/ Sejarah
Secara historis istilah “Pancasila” mula-mula dipergunakan oleh masyarakat India yang memeluk agama Budha, Pancasila berarti “lima-aturan” atau “Five Moral Principles” yang harus ditaati dan dilaksanakan oleh para penganut biasa (awam) agama Budha, yang dalam bahasa aslinya, yaitu bahasa pali “Panca-Sila”, yang berisi lima larangan atau lima pantangan yang bunyinya menurut encyclopedia atau kamus-kamus Buddhisme adalah sebagai berikut:
a.       Panatipata veramani sikkhapadam samadiyami. Artinya: Janganlah mencabut nyawa setiap yang hidup: maksudnya dilarang membunuh.
b.      Addinnadana veramani sikkhapadam samadiyami. Artinya: Janganlah mengambil barang yang tidak diberikan: maksudnya dilarang mencuri.
c.       Kameshu micchacara veramani sikkhapadam samadiyami. Artinya: Janganlah berhubungan kelamin yang tidak sah dengan perempuan: maksudnya dilarang berzina.
d.      Musawada veramani sikkhapadam samadiyami. Artinya: Janganlah berkata palsu: maksudnya dilarang berdusta.
e.       Sura-meraya –majja-pamadatthana veramani sikkhapadam samadiyami.Artinya: Janganlah minum minuman yang menghilangkan pikiran: maksudnya dilarang minum minuman keras.
Jadi pertama kali istilah “Pancasila” digunakan untuk memberi nama rumusan lima dasar moral dalam agama Budha. Pancasila berarti lima aturan tingkah laku yang baik, atau lima aturan moral.
Perkembangan selanjutnya istilah “Pancasila” masuk dalam khazanah kesusasteraan Jawa Kuno pada zaman Majapahit di bawah raja Hayam Wuruk dan patih Gajah Mada. Istilah “Pancasila” terdapat dalam buku keropak Negara kertagama yang berupa syair pujian ditulis oleh pujangga istana bernama Empu Prapanca selesai pada tahun 1365, yakni di dalam sarga 53 bait ke 2 yang berbunyi sebagai berikut:
“Yatnanggeguani pancasyila kertasangskarabhisekaka krama”.
Artinya: (Raja) menjalankan dengan setia kelima pantang (Pancasila) itu begitu pula upacara-upacara ibadat dan penobatan-penobatan.
Selain terdapat dalam buku Nagarakertagama yang masih dalam zaman Majapahit istilah “Pancasila” juga terdapat dalam buku Sutasoma karangan Empu Tantular. Dalam buku Sotasoma ini istilah Pancasila di samping mempunyai arti “berbatu sendi yang lima” (dari bahasa Sansekerta) juga mempunyai arti “pelaksanaan kesusilaan yang lima” (Pancasila Krama), yaitu:
a.       Tidak boleh melakukan kekerasan
b.      Tidak boleh mencuri
c.       Tidak boleh berjiwa dengki
d.      Tidak boleh berbohong
e.       Tidak boleh mabuk minuman keras[1]
Bangsa Indonesia terbentuk melalui proses yang panjang mulai zaman kerajaan Kutai, Sriwijaya, Majapahit sampai datangnya penjajah. Bangsa Indonesia berjuang untuk menemukan jati dirinya sebagai bangsa yang merdeka dan memiliki suatu prinsip yang tersimpul dalam pandangan hidup serta filsafat hidup, di dalamnya tersimpul ciri khas, sifat karakter bangsa yang berbeda dengan bangsa lain. Oleh para pendiri bangsa kita (the founding father) dirumuskan secara sederhana namun mendalam yang meliputi lima prinsip (sila) dan diberi nama Pancasila.
Dalam era reformasi bangsa Indonesia harus memiliki visi dan pandangan hidup yang kuat (nasionalisme) agar tidak terombang-ambing di tengah masyarakat internasional. Hal ini dapat terlaksana dengan kesadaran berbangsa yang berakar pada sejarah bangsa.
Secara historis nilai-nilai yang terkandung dalam setiap sila Pancasila sebelum dirumuskan dan disahkan menjadi dasar negara Indonesia secara objektif historis telah dimiliki oleh bangsa Indonesia sendiri. Sehingga asal nilai-nilai Pancasila tersebut tidak lain adalah dari bangsa Indonesia sendiri, atau bangsa Indonesia sebagai kausa materialis Pancasila.[2]
Landasan historis bahwa nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, sudah ada sejak bangsa Indonesia ada. Berketuhanan yaitu percaya pada sesuatu yang berkuasa di luar diri manusia. Berkemanusiaan dalam wujud cinta sesama manusia. Berpersatuan baik persatuan dalam kelompok suku yang kemudian meluas menjadi bangsa. Berkerakyatan dalam kelompok kecil berkekeluargaan kemudian meluas dalam negara disebut berkerakyatan. Berkeadilan yaitu ingin diperlakukan secara adil baik dirinya sendiri maupun terhadap orang lain.
Kelima hal ini kemudian menjadi ciri khas dan karakter bangsa yang berbeda dengan bangsa lain, yang kemudian direnungkan oleh tokoh-tokoh pendiri negara Indonesia, yang oleh Bung Karno diberi nama Pancasila, yang selanjutnya pada tanggal 18 Agustus 1945 disahkan sebagai dasar negara oleh PPKI.[3]
2.      Sosiologis
Bangsa Indonesia yang penuh kebhinekaan terdiri atas lebih dari 300 suku bangsa yang tersebar di lebih dari 17.000 pulau, secara sosiologis telah mempraktikan Pancasila karena nilai-nilai yang terkandung didalamnya merupakan kenyataan-kenyataan (materil, formal, dan fungsional) yang ada dalam masyarakat Indonesia. Kenyataan objektif ini menjadikan Pancasila sebagai dasar yang mengikat setiap warga bangsa untuk taat pada nilai-nilai instrumental yang berupa norma atau hukum tertulis (peraturan perundang-undangan, yurisprudensi, dan traktat) maupun yang tidak tertulis seperti adat istiadat, kesepakatan atau kesepahaman, dan konvensi.
Kebhinekaan atau pluralitas masyarakat bangsa Indonesia yang tinggi, dimana agama, ras, etnik, bahasa, tradisi-budaya penuh perbedaan, menyebabkan ideology Pancasila bisa diterima sebagai ideologi pemersatu. Data sejarah menunjukan bahwa setiap kali ada upaya perpecahan atau pemberontakan oleh beberapa kelompok masyarakat, maka nilai-nilai Pancasilalah yang dikedepankan sebagai solusi untuk menyatukan kembali. Begitu kuat dan ‘ajaibnya’ kedudukan Pancasila sebagai kekuatan pemersatu, maka kegagalan upaya pemberontakan yang terakhir (G30S/PKI) pada 1 Oktober 1965 untuk seterusnya hari tersebut dijadikan sebagai Hari Kesaktian Pancasila.
Bangsa Indonesia yang plural secara sosiologis membutuhkan ideologi pemersatu Pancasila. Oleh karena itu nilai-nilai Pancasila perlu dilestarikan dari generasi ke generasi untuk menjaga keutuhan masyarakat bangsa. Pelestarian nilai-nilai Pancasila dilakukan khususnya lewat proses pendidikan formal, karena lewat pendidikan berbagai butir nilai Pancasila tersebut dapat dikembangkan secara terencana dan terpadu.[4]
3.      Filosofis
Landasan filosofis adalah landasan yang berdasarkan atas filsafat atau pandangan hidup. Pancasila merupakan dasar filsafat negara. Dalam aspek penyelenggaraan negara harus bersumber pada nilai-nilai pancasila termasuk sistem perundang-perundangan.
Secara Filosofis bangsa Indonesia sebelum mendirikan negara adalah sebagai bangsa yang berketuhanan dan berkemanusiaan, hal ini berdasarkan kenyataan obyektif bahwa manusia adalah mahluk Tuhan YME. Setiap aspek penyelenggaraan negara harus bersumber pada nilai-nilai Pancasila termasuk sistem peraturan perundang-undangan di Indonesia. Oleh karena itu dalam realisasi kenegaraan termasuk dalam proses reformasi dewasa ini merupakan suatu keharusan bahwa Pancasila merupakan sumber nilai dalam pelaksanaan kenegaraan, baik dalam pembangunan nasional, ekonomi, politik, hukum, sosial budaya, maupun pertahanan keamanan.[5]
Dalam filsafat Pancasila terdapat 3 (tiga) tingkatan nilai, yaitu nilai dasar, nilai instrumental dan nilai praktis.
1)      Nilai Dasar
Nilai yang mendasari nilai instrumental. Nilai dasar  yaitu asas-asas yang kita terima sebagai dalil yang bersifat sedikit banyak mutlak. Kita menerima nilai dasar itu sebagai sesuatu yang benar atau tidak perlu dipertanyakan lagi. Nilai-Nilai dasar sendiri dalam Pancasila adalah Nilai-nilai dari sila-sila Pancasila. Nilai dasar itu mendasari semua aktivitas kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Nilai dasar bersifat fundamental dan tetap.
2)      Nilai Instrumental
Nilai sebagai pelaksanaan umum dari nilai dasar. Umumnya terbentuk norma sosial dan norma hukum yang selanjutnya akan terkristalisasi dalam peraturan dan mekanisme lembaga-lembaga negara.
3)      Nilai Praksis
Nilai yang sesungguhnya kita laksanakan dalam kenyataan. Nilai Praksis sesungguhnya menjadi batu ujian, apakah nilai dasar dan nilai instrumental itu benar-benar hidup dalam masyarakat Indonesia.

B.     Proses Perumusan Pancasila
Secara historis-sosiologis Pancasila yang sekarang kita miliki merupakan pandangan dan falsafah hidup hasil penggalian dan pemikiran yang dalam oleh Bapak Pendiri Negara (the founding fathers). Selanjutnya hal tersebut dikristalisasikan dan dirumuskan menjadi lima prinsip dasar yang dinamakan Pancasila. Proses ini dimulai sejak Jepang secara resmi menguasai Indonesia pada tanggal 9 maret 1942 setelah jenderal Ter Poorten sebagai Panglima Tertinggi Angkatan darat Sekutu di Jawa menyerah tanpa syarat di Kalijati. Setelah dua tahun menguasai Indonesia, secara pelan tapi pasti Jepang mulai terdesak. Untuk menenangkan bangsa Indonesia agar tidak melakukan pemberontakan, pada tanggal 7 September 1944 Perdana Menteri Jepang  Kiso, mengumumkan janji pemerintah Jepang kepada Indonesia bahwa Hindia Belanda akan diberi kemerdekaan kelak dikemudian hari.
Untuk mendapatkan dukungan dan simpati dari bangsa Indonesia, sebagai realisasinya tanggal 1 maret 1945 di pantai utara pulau Jawa, diumumkan antara lain dibentuk Dokuritsu Zyuunbi Tioosakai atau badan untuk menyelidiki usaha-usaha persiapan kemerdekaan atau Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI).
Badan penyelidik tersebut baru dibentuk tanggal 29 April 1945, yaitu pada saat hari ulang tahun Tenno Heika, Maharaja Jepang. Tanggal 28 Mei 1945 diadakan upacara pembukaan Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia. Sususnan badan penyelidik itu terdiri dari ketua Dr. Radjiman Wediodiningrat, ketu muda Ichibangse (dari Jepang), Ketua Muda R.P Soeroso, dengan 60 orang snggota.
Sidang BPUPKI Tanggal 29 Mei sampai 1 Juni 1945 Membahas Dasar Negara. Sidang BPUPKI ini dilaksanakan selama 4 hari berturut-turut, yang tampil berpidato menyampaikan usulannya adalah sebagai berikut :[6]
a.      Mr. Muh. Yamin (29 Mei 1945)
Dalam pidatonya pada tanggal 29 Mei 1945, beliau mengusulkan rumusan dasar negara yaitu sebagai berikut :[7]
1)      Peri Kebangsaan
2)      Peri Kemanusiaan
3)      Peri ketuhanan
4)      Peri Kerakyatan
5)      Kesejahteraan Rakyat (Keadilan Sosial)
Selain usulan tersebut, pada akhir pidatonya Mr. Muh. Yamin menyerahkan naskah lampiran yaitu suatu rancangan usulan sementara berisi rumusan UUD RI dan rancangan itu dimulai dengan pembukaan yang rumusan dasar negaranya adalah sebagai berikut :
1)      Ketuhanan Yang Maha Esa.
2)      Kebangsaan dan Persatuan Indonesia.
3)      Rasa Kemanusiaan yang Adil dan Beradab.
4)      Kerakyatan yang di Pimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan.
5)      Keadilan bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
Dari hasil yang dikemukakan oleh Mr. Muh. Yamin ini, jelas bahwa beliau adalah penggali Pancasila yang lebih khusus, yakni Pancasila sebagai Dasar Negara.
b.      Mr. Soepomo (31 Mei 1945)
Dalam pidatonya pada tanggal 31 Mei 1945, beliau lebih menekankan pengertian dasar negara sebagai staatsidee (cita-cita) dengan konsep integralistik, yaitu mampu mengatasi semua aliran. Adapun mengenai dasar negara, secara garis besar disampaikan usulan sebagai berikut :
1)      Paham negara persatuan (negara integralistik).
2)      Hubungan antara agama dan negara harus terpisah. Warga negara hendaknya tunduk dan patuh kepada Tuhan.
3)      Sistem badan permusyawaratan.
4)      Sosialisme negara.
5)      Hubungan antarbangsa yang bersifat Asia Timur Raya.
c.       Ir. Soekarno (1 Juni 1945)
Usulan dasar Negara dalam sidang BPUPKI pertama berikutnya adalah dari Ir.Soekarno. Beliau mengusulkan rumusan dasar negara yang diberi nama Pancasila yaitu sebagai berikut :
1)      Nasionalisme (kebangsaan Indonesia)
2)      Internasionalisme (peri kemanusiaan)
3)      Mufakat (demokrasi)
4)      Kesejahteraan sosial
5)      Ketuhanan Yang Maha Esa (Ketuhanan Yang Berkebudayaan)
Kelima dasar tersebut kemudian diberi nama Pancasila yang menurut Bung Karno sendiri, atas petunjuk dari teman beliau yang seorang ahli bahasa. Kemudian dengan suara bulat sidang menerima Pancasila sebagai dasar negara Indonesia yang abadi. Dengan selesainya rapat tanggal 1 Juni, selesai pula persidangan pertama Badan Penyelidik.
d.      Rumusan Dasar Negara menurut Piagam Jakarta (tanggal 22 juni 1945)
Setelah sidang pertama selesai, dibentuk panitia perumus yang tugasnya adalah menggolong-golongkan usulan-usulan pada rapat BPUPKI pertama. Jumlah tim perumus tersebut adalah delapan orang. Pada tanggal 22 juni 1945 diadakan pertemuan antara panitia kecil (tim perumus) dengan sebagian anggota BPUPKI yang kebetulan ada acara di Jakarta. Disepakati dibentuk panitia kecil yang jumlahnya sembilan orang yang terkenal dengan Panitia Sembilan. Anggita panitia tersebut adalah:
1)      Ir. Soekarno,
2)      Wachid Hasyim,
3)      Mr. Muh. Yamin,
4)      Mr.Maramis,
5)      Drs Moh. Hatta,
6)      Mr. Soebardjo,
7)      Kyai Abdul Kahar Moezakir,
8)      Abikoesno Tjokrosoejoso, dan
9)      Haji Agus Salim.
Panitia sembilan ini setelah mengadakan pertemuan secara masak dan sempurna telah mencapai suatu hasil yang baik yaitu suatu modus atau persetujuan antara golongan islam dan golongan nasionalis. Modus atau persetujuan tersebut dituangkan dalam suatu rancangan pembukaan hukum dasar, yang terkenal dengan Piagam Jakarta dengan rumusan dasar negara sebagai berikut :
1)      Ketuhanan dengan Kewajiban menjalankan Syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya.
2)      Kemanusiaan yang adil dan beradab.
3)      Persatuan Indonesia.
4)      Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.
5)      Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Konsep itu diterima dengan suatu perubahan penting, yakni sila pertama yang tercantum pada Pembukaan itu, yang semula berbunyi “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan Syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya” diganti dengan “Ketuhanan Yang Maha Esa”, sehingga pada pembukaan UUD 1945 yang telah ditetapkan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada tanggal 18 Agustus 1945, rumusan Pancasila adalah sebagai berikut :
1)      Ketuhan Yang Maha Esa.
2)      Kemanusiaan yang adil dan beradab.
3)      Persatuuan Indonesia.
4)      Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.
5)      Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesi
Dengan disahkannya UUD 1945 yang didalamnya terdapat Pancasila sebagai dasar Negara, maka secara resmi Pancasila sebagai dasar Negara Lahir.

BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
1.      Secara historis nilai-nilai yang terkandung dalam setiap sila Pancasila sebelum dirumuskan dan disahkan menjadi dasar negara Indonesia secara objektif historis telah dimiliki oleh bangsa Indonesia sendiri. Sehingga asal nilai-nilai Pancasila tersebut tidak lain adalah dari bangsa Indonesia sendiri, atau bangsa Indonesia sebagai kausa materialis Pancasila.
2.      Bangsa Indonesia yang penuh kebhinekaan terdiri atas lebih dari 300 suku bangsa yang tersebar di lebih dari 17.000 pulau, secara sosiologis telah mempraktikan Pancasila karena nilai-nilai yang terkandung didalamnya merupakan kenyataan-kenyataan (materil, formal, dan fungsional) yang ada dalam masyarakat Indonesia.
3.      Pancasila merupakan dasar filsafat negara. Dalam aspek penyelenggaraan negara harus bersumber pada nilai-nilai pancasila termasuk sistem perundang-perundangan. Secara Filosofis bangsa Indonesia sebelum mendirikan negara adalah sebagai bangsa yang berketuhanan dan berkemanusiaan, hal ini berdasarkan kenyataan obyektif bahwa manusia adalah mahluk Tuhan YME.
4.      Pancasila adalah pandangan hidup bangsa dan dasar negara Republik Indonesia. Pancasila juga merupakan sumber kejiwaan masyarakat dan negara Republik Indonesia. Maka manusia Indonesia menjadikan pengamalan Pancasila sebagai perjuangan utama dalam kehidupan kemasyarakatan dan kehidupan kengaraan. Oleh karena itu pengalamannya harus dimulai dari setiap warga negara Indonesia, setiap penyelenggara negara yang secara meluas akan berkembang menjadi pengalaman Pancasila oleh setiap lembaga kenegaraan dan lembaga kemasyarakatan, baik dipusat maupun di daerah.



B.     Kritik dan Saran
Demikian pembahasan makalah yang dapat kami susun. Pemakalah menyadari bahwa dalam makalah ini masih terdapat beberapa kekurangan. Karenanya, sudilah kiranya pembaca budiman berkenan memberikan saran guna perbaikan makalah ini kedepannya.

DAFTAR PUSTAKA
NN. Tanpa Tahun. Pedoman Penghayatan Dan Pengamalan Pancasila. Sekretariat Negara Republik Indonesia Tap MPR No. II/MPR/1987.
Noor Ms Bakry, Pendidikan Pancasila, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2010
NN. Tanpa Tahun. Pedoman Penghayatan Dan Pengamalan Pancasila. Sekretariat Negara Republik Indonesia Tap MPR No. II/MPR/1987.
Komunitas guru Pkn. 2017. Sejarah Perumusan Pancasila. http://komunitasgurupkn.blogspot.com/2017/01/sejarah-perumusan-pancasila-sebagai.html. Diakses pada 24 September 2017 pukul 15.12 WIB.




[1] Noor Ms Bakry, Pendidikan Pancasila, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2010. Hal. 14-16
[2] Noor Ms Bakry, Pendidikan Pancasila, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2010.  Hlm.2,
[3] Ibid., Hal. 3
[4] Ibid., Hal. 4
[5] Komunitas guru Pkn. 2017. Sejarah Perumusan Pancasila. http://komunitasgurupkn.blogspot.com/2017/01/sejarah-perumusan-pancasila-sebagai.html. Diakses pada 24 September 2017 pukul 15.12 WIB.
[6] NN. Tanpa Tahun. Pedoman Penghayatan Dan Pengamalan Pancasila. Sekretariat Negara Republik Indonesia Tap MPR No. II/MPR/1987.
[7] Komunitas guru Pkn. 2017. Sejarah Perumusan Pancasila. http://komunitasgurupkn.blogspot.com/2017/01/sejarah-perumusan-pancasila-sebagai.html. Diakses pada 24 September 2017 pukul 15.12 WIB.

No comments:

Post a Comment