MAKALAH PARADIGMA POLITIK ISLAM DALAM LINTASAN SEJARAH
BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Islam dan negara merupakan persoalan debatable atau
diskursus di kalangan peminat kajian keislaman (masuk dalam kajian Fiqh
Siyasah) baik pada era klasik, pertengahan maupun kontemporer. Di antara
tokoh-tokoh Islam atau pemikir politik Muslim awal yang mengkaji persoalan ini
adalah: Ibnu Abi Rabi`, al-Farabi, al-Mawardi,al-Gazali, Ibnu Taimiyyah, dan
Ibnu Khaldun. [1]Munculnya
para pemikir dan pembaru seperti Jamaluddin Al-Afghani (1839-1897 M), Muhammad
Abduh (1849-1905 M), Muhammad Rasyid Ridha (1865-1935 M), Muhammad bin Abdil- Wahab
(1703-1792 M), Hasan Al-Banna (1906-1949 M), Abul A’la Al-Maududi (1903-1979
M), Sayyid Quthb (1906-1968 M), dan Ali Abd Ar-Raziq (1888-1966 M), Mereka
menawarkan berbagai teori tentang Islam dan Negara, dan perbedaan pemikiran
atau teori ini tidak lepas dari situasi dan kondisi mereka yang berbeda. Dalam persoalan Islam dan Negara, al-Qur`an tidak memuat secara
eksplisit untuk mendirikan negara. Seperti dikemukakan oleh Munawir Sjadzali yang dikutip oleh Abdul Azis Thaba,
bahwa Islam tidak memiliki preferensi terhadap sistem politik yang mapan tetapi
hanya memiliki seperangkat tata nilai etis yang dapat dijadikan pedoman
penyelenggaraan negara. yang kemudian melahirkan apa yang disebut fundamentalisme, modernisme, tradisionalisme, sekularisme Islam,
nasionalisme, dan lain-lain adalah bentuk-bentuk riil dari hasil interaksi
intensif antara Islam dan persoalan kemasyarakatan.
B.
RUMUSAN MASALAH
- Apa Pengertian Politk Islam ?
- Bagaimana Sejarah Politk Islam Indonesia ?
- Bagaimana Paradigma
Politk Islam Dalam Lintasan Sejarah Indonesia
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Politk Islam
Politik secara umum diartikan dengan cara atau taktik untuk
mencapai satu tujuan. Politik secara umum berhubungan dengan berbagai cara
dalam pencapaian tujuan hidup manusia. Sedangkan secara khusus penekanannya
kepada kekuasaan dan pemerintahan.
Islam juga mengenal istilah politik yang disebut dengan siyasah.
Kata ini diambil dari akar kata “sasa-yasusu”,yang berarti mengemudikan,
mengendalikan mengatur dan sebagainya. Secara teknis permasalah politik di
dalam Al-Qur’an ditunjukkan kepada semua umat manusia yang lintas ras, etnik,
waktu dan tempat. Sehingga dengan hanya mengemukakan prinsip dan norma-norma
politik umat islam mampu menterjemahkannya disetiap waktu. Namun walaupun dalam
islam terdapat peluang untuk politik secara lebih luas dalam hal kekuasaan
harus tunduk terhadap hukum dan aturan allah. Artinya Allah adalah penguasa
terhadap segala sesuatu didalam semesta ini.
Konsep politik tradisional dalam Islam antara lain
kepemimpinan oleh penerus Nabi, yang disebut sebagai Kalifah (Imam dalam Syiah); pentingnya
mengikuti hukum Syariah; kewajiban bagi pemimpin untuk berkonsultasi dengan
dewan Syura dalam
memerintah negara; dan kewajiban menggulingkan pemimpin yang tidak adil.[2]
Politik
islam didasarkan pada 3 prinsip, yaitu tauhid, risalah dan khalifah. Tauhid
berarti mengesakan Allah SWT selaku pemilik kedaulatan tertinggi. Risalah
merupakan medium perantara penerimaan manusia terhadap hukum-hukum Allah SWT.
Khalifah berarti pemimpin/ wakil Allah di Bumi.
Dalam
pelaksanaan politik, Islam juga memiliki norma-norma yang harus diperhatikan.
Diantara norma-norma itu ialah:[3]
- Politik merupakan alat
atau sarana untuk mencapai tujuan.
- Politik islam berhubungan
dengan kemashlahatan umat
- Kekusaan mutlak adalah
milik Allah.
- Manusia diberi amanah
sebagai khalifah untuk mengatur alam ini secara baik.
- Pengangkatan
pemimpin didasari atas prinsip musyawarah.
- Ketaatan
kepada pemimpin wajib hukumnya setelah taat kepada Allah dan Rasul-Nya.
- Islam
tidak menentukan secara eksplisit bentuk pemerintahan negara.
B. Sejarah Politik Islam Indonesia
Asal mula Islam sebagai gerakan politik telah
dimulai sejak zaman nabi Muhammad. Pada 622 M, sebagai pengakuan atas klaim kenabiannya,
Muhammad diundang untuk memimpin kota Medinah. Pada saat itu dua kaum yang menguasai kota; Arab Bani Aus dan
Bani Khazraj, berselisih. Warga Medinah menganggap Muhammad sebagai orang
luar yang netral, adil, dan imparsial, diharapkan dapat mendamaikan konflik
ini. Muhammad dan pengikutnya hijrah ke Medinah, di mana Muhammad
menyusun Piagam Madinah. Dokumen ini mengangkat Muhammad sebagai pemimpin kota
sekaligus mengakuinya sebagai rasul Allah. Hukum yang diterapkan Muhammad pada saat
berkuasa berdasarkan Quran dan Sunnah (perilaku yang dicontohkan
Muhammad), yang kemudian dianggap kaum Muslim sebagai Syariah atau hukum Islam, yang kini ingin ditegakkan oleh
gerakan Islam hingga kini. Muhammad mendapatkan banyak pengikut dan membentuk
tentara. Pengaruhnya kemudian meluas dan menaklukkan kota asalnya Mekkah, dan kemudian menyebar ke seluruh Jazirah Arab berkat kombinasi diplomasi dan penaklukan
militer.[4]
Indonesia
yang memiliki posisi wilayah sebgai Nusa yang terletak diantara pengaruh ajaran
islam dari Khulafaur rasyidin, Khilafah Umayyah, Khilafah Abbasyiah, Khilafah
fatimiyah, Khilafah/Kesultanan Turki, kesultanan Mongol, dan Mughal serta peran
umat islam di cina, tidak mungkin menjadikan wilayahnya sebgai isolated
country. Pengaruh berikutnya menjadikan indonesia sebgai wilayah yang
terbuka terhadap kehadiran budaya yang datang dari Luar. Dengan adanya
perkembangan kekuasaan politik islam dari timur tengah, cina, dan india kemudian
lahirlah kekuasaaan politik islam di indonesia dan sekitarnya menggantikan
kekuasaan plitik hindu/budha. Perkembangan politik islam erat kaitannya dengan
masuknya islam ke indonesia.[5]
Dibawah peta kekuasaan politik dunia yang sedang dipimpin islam pada waktu itu
tidakalah jika indonesia bangkit pula kekuasaan politik islam dan kesultanan,
terlepas dari itu semua peran pasar,
pesantren dan kekuasaan politik islam/ kesultanan itu tadi yang menjadi jalan
terbentuknya politik islam maka dari itu lahirlah sebuah kelompok baru di
tengah masyarakat indonesia saat itu yaitu sebagai berikut:
- Wirausahawan dari pasar dan bandar pelabuhan
- Ulama dari pesantren dan masjid serta Pasar
- Santri dan masyarakat, putra Sultan dan Putra wirausahawan
- Perkembangan berikutnya komunitas islam ini menuntut dibentuknya
kekuasaan politik islam atau
Khilafah. pada saat itu mulailah berkembang politik islam di indonesia.[6]
C.
Paradigma Politik Islam Dalam Lintasan Sejarah
Indonesia
Sebagaimana sering dikatakan oleh banyak pengamat
politk Islam, hubungan antara Islam dan negara tidak selalu berjalan mulus.
Hubungan yang selalu diwarnai tarik menarik kepentingan dalam gelombang pasang
surut tergantung dinamika perkembangan politik nasional. Namun sebenarnya
persoalan mendasarnya dari akar-akar ketegangan itu bagaimanapun juga berpangkal
pada paradigma pemikiran Islam Politik yang menjadi referensi perilaku politik
umat Islam indonesia. Konsep pemahaman politik Islam ini dirasa merupakan
faktor fundamental, sebab diluar problem-problem perilaku politik umat sialm
saat ini terdapat cara model tertentu dalam menafsirkan dan
menghayati politk Islam secara normatif berdasar Teks Al-Quran dan Sunnah.
Secara garis besar menurut Munawwir Sadjali hubungan
antara agama dan politik dalam Islam dapat dikategorisasikan dalam tiga
paradigma besar.[7]
Pertama, pendapat yang menyatakan bahwa Islam tidaklah sekedar agama
sebagaimana dikatakan pada masyarakat Barat yang terlepas dari kehidupan
politik pada umunya. Namun lebih dari itu agama selain mengurusi aspek
sipritualitas-ukhrawi juga berkaitan dengan problem keduniaan. Islam disini
selain dipahami secara normatif sebagai sumber dan paradigma nilai juga
diyakini menyangkut dan mengatur segala aspek kehidupan manusia, dari mulai
norma individu, persoalan keluarga, sosial ekonomi sampai ketatanegaraan. Islam
sendiri sebenarnya sudah mempunyai konsep politik Islam, karena itu umat Islam
hendaknya kembali kepada sistem ketatanegaraan yang Islami sebagaimana pernah
dipraktikkan nabi di Madinah dan masa kepemimpinan kekhalifahan empat.
Kedua, pendirian yang menyatakan bahwa Islam sebenarnya tidak pernah di
maksudkan sebagai sebuah sistem politik. Keberadaan Islam tidak lebih bersifat
privat. Misi nabi Muhammad tak lebih sebagai Rasul, bukan sebagai pemimpin
politik untuk mendirikan dan mengepalai suatu negara.
Ketiga, pendirian yang menengahi antara dua ekstrem pemikiran
tersebut. Mereka selain menolak pandangan bahwa Islam adalah agama yang sudah
lengkap dan menggariskan sebuah tata pemerintahan khusus sebagaiman diyakini
paradigma pertama yang cenderung fundamentalis, juga menolak pendapat yang
berasal dari pihak liberal yang menyatakan bahwa Islam tak lebih sebagi urusan
privat dan tak ada sangkut pautnya dengan urusan politik. Sebenarnya pendapat
ini agak memiliki kemiripan dengan pendapat kedua, namun dengan penekanan dan
sikap yang lebih moderat. Menurut kelompok ketiga ini, sebagaiman diwakili oleh
pemikiran Husain Haykal, dalam Islam sebenaranya terdapat etika dan nilai
tertentu bagi kehidupan bernegara namun tidak menggariskan secara khsus teori
tentang tetanegara. Inilah padangan yang kerap dijadikan argumen bagi kelompok
moderat indonesia seperti Abdurrahaman Wahid guna menolak pandangan
kelompok yang ingin menjadikan Indonesia sebagai negara syariat berdasar aturan
politik Islam, atau usaha menjadikan Islam sebagai ideologi.
Selian dari itu, meski dalam dasar ketegorisai yang
sama Syafii Anwar membedakan paham dalam politik Islam yang membentuk perilaku
umat Islam saat ini menjadi dua macam.
Pertama adalah Legal–Eksklusif dan kedua yaitu
Substantif–Inklusif.[8] Pada
pandangan yang pertama atau Legal-Eksklusif, Islam diyakini bukan sekedar
agama, tapi juga menyangkut sebuah sistem politik, ideologi, hukum yang
paripurna. Agama Islam diyakini dapat menjadi pedoman dan solusi terhadap
bebabagai persoalan umat dari urusan rumah tanggga sampai urusan negara. Islam
dalam ketegori pendangan ini diyakini sebagai totalitas utuh menyangku tiga
dimensi kehidupan, yaitu agama, dunia dan negara. Dalam konteks Politik Islam
paradigma ini mewajibkan setiap umat untuk mendirikan negara Islam, guna
menegakkan syariat Islam dalam kondisi apapaun.
Sedang pendekatan
Substantif–Inklusif meyakini bahwa Islam sebenarnya tidak
menyediakan konsep teoritis apapun tentang sistem politik, ia tidak lebih dari
sebuah agama yang menjadi referensi moral bagi perilaku kehidupan. Al-Quran
memang memerintahkan umatnya untuk menegakkan keadilan, kesetaraan dan
kebebasan, namun tidak ada satupun Ayat Al-Quran yang secara pasti menyuruh
Muslim untuk mendirikan negara Islam. Asumsi utama paradigma ini adalah bahwa
misi Rasul di dunia ini bukanlah untuk mendirikan sebuah kerajaan dan Dinasti
Islam, namun lebih untuk mendakwakan nilai dan kebaikan umat. Kepentingan nabi
masa Madinah, bukanlah untuk mendirikan negara Islam, melainkan dengan tujuan
untuk menyatukan umat Islam dan menyempurnakan akhlak umat. Syariah disini
diapahami secara subsantif sebagai tempat pijakan moral dan kesejahteraan
manusia, bukan sebagai landasan konstitusional yang harus ada dalam sebuah
negara. Pentingnya Syariah pertama-tama tidak terletak pada fiqih dan
kodifikasi hukumnya, melainkan lebih pada konstruksi Tauhid dan Akhlak.
Dalam aras kehidupan pesantren pun, sebagaimana dalam
peneltian Muhammad Asfar bahwa para Kiai yang terlibat aktif dalam politik
didasari pandangan bahwa hubungan antara Islam dan politik tidak dapat
dipisahkan.[9]
Letak pentingnya Islam bagi politik bukan hanya sekedar sebagai motivasi
dan sandaran moral perilaku politik namun lebih dari itu ia juga menyediakan
rumusan praktis dalam politik. Kebanyakan Kiai pesantren yang ikut aktif dan
mencatat sebagai pengurus partai ataupun masuk pada parlemen pemerintah
menyatakan bahwa secara konseptual Islam sebenarnya tidak saja mengurusi
persoalan akhirat dan keagamaan saja, namun juga mengurusi persoalan
kehidupan termasuk masalah politik. Dengan demkian, dapat disimpulkan bahwa
perilaku politik Islam, khususnya Santri dapat dipahami sebagai manifesatsi
dari syariah dan pemahaman mereka tentang ajaran Islam ketika
dikontekstualisasikan dalam arena politik.
Perilaku politik Islam tidak hanya ditentukan oleh
pemahaman mereka terhadap penafsiran Islam dan negara, namun juga sangat
dipengaruhi oleh situasi sosial-politik disekelilingnya. Hubungan antara umat
Islam dan negara Indonesia sepanjang sejarahnya pada saat tertentu lekat dengan
citra oposisinya terhadap pemerintah namun disaat lain mereka merupakan mitra
strategis dari kebijakan pemerintah seperti ditunjukkan pada pembahasan berikut
ini.
Pengalaman Indonesia hubungan agama (Islam) dan negara berdasarkan
era rezim pemerintah yang berkuasa dapat dipolakan sebsagai
berikut:
1)
Sebelum Kemerdekaan,
2)
SetelahKemnerdekaan Rezim Pemerintahan Orde Lama,
3)
RezimPemerintahan Orde Baru,
4)
Rezim Pmerintahan Reformasi.
·
Sebelum Kemerdekaan
Persoalan yang menarik pada masa ini adalah wacana dan
perdebatan tentang konsep kebangsaan yang juga membawa
gagasan Islam sebagai dasar negara dan gagasan lain yang
menghendaki berlakunya negara dan hukum lain yang juga berakar
dalam kehidupan rakyat Indonesia.
Pertama, pada
tahun 1916, muncul heboh Jiwo Hisworo yaitu
pertarungan politik antara perjuangan ideologi non Islam
melawan Islam. Ketika itu sebuah koran berbahasa Jawa Jiwo Hisworo memuat
tulisan yang menghina Nabi Muhammad dengan
mengatakannya sebagai pemabuk dan pemadat yang tentu
saja kemudian membangkitkan umat Islam untuk membela
nabinya disertai muatan gagasan bahwa masyarakat perlu
diatur secara Islam, seperti yang disyariatkan melalui Nabi Muhammad
SAW. Gerakan ini secara gencar disuarakan antara lain
oleh Sarekat Islam. Menghadapi reaksi umat Islam seperti ini
pada tahun 1918 pendukung Jawi Hisworo membentuk Panitia
Kebangsaan Jawa. Panitia ini
mengecam gerakan kelompok
Sarekat Islam dalam kehidupan politik untuk memperjuangkan
kemerdekaan Indonesia. Kelompok ini menandaskan
bahwa politik dan agama harus dipisah, sedang kelompak
Sarekat Islam justru ingin mengaitkan politik dengan agama[10]
Kedua, Soekarno
dan Nastir pada era ini telah melakukan
polemik tentang Islam
dan Negara. Polemik ini diawali
dari tulisan Soekarno dalam Panji Islam dengan judul “Memudakan
Pengertian Islam”. Tulisan ini semula dimaksudkan untuk
menanggapi tulisan K.H. Mas Mansur yang berjudul “Memperhatikan
Gerakan Pemuda” di dalam Majalah Adil dan Panji
Islam berisi kritik
tajam terhadap kekolotan Islam yang dikatakannya
perlu dikoreksi pengertian-pengertiannya. Dalam tulisannya
Soekarno mengajak agar paham dan pemikiran Islam selalu
diperbaharui dan tidak dipertahankan secara kolot sebab hukum-hukum
Islam itu dapat selalu memnyesuaikan dengan kultur
dan perkembangan keadaan dan dapat cocok dengan kemajuan.
Selain itu dalam tulisan Soekarno ini juga menyinggung
hubungan negara dengan agama, yaitu demi kebaikan
bahwa agama dan negara keduanya harus dipisahkan sebagai
mana dikemukakan oleh Kemal at-Taturk pada tahun 1928. Tulisan
Soekarno selanjutnya ditanggapi oleh Natsir dengan
nama samaran Muchlis dalam Majalah al-Manar dan Panji
Islam dengan judul Perskot
dengan melontarkan keheranan Soekarno
yang mengagungkan Kemal at-Taturk yang memisahkan
negara dengan agama, dan mengapa pula Soekarno
untuk menolak persatuan dan agama dengan alasan tidak
ada ijma`, maka dalam tulisan Natsir ini membalik logika Soekarno
tentang ijma` dengan menanyakan, kalau tidak ada ijma`
tentang persatuan negara dan agama, maka adakah ijma` tentang
keharusan memisahkan antara agama dan negara. Oleh karena
itu pandangan Soekarno ini ditolak tidak dapat diterima karena
tidak ada ijma`.[11]
Ketiga, pengalaman
berikutnya adalah perdebatan secara formal ada di Badan Penyelidik Uasaha-Usaha
Persiapan Kemerdekaan (BPUPKI) yang dibentuk pada bulan April 1945 maupun dalam
Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) adalah badan yang dibentuk untuk
menyatakan kemerdekaan, melakukan pengalihan kekuasaan, mensahkan konstitusi,
dan membentuk pemerintahan bagi Indonesia jika akan merdeka.[12]
Di sinilah puncak pertentangan ini tampak semakin jelas ketika proses
pembentukan Dasar Negara Republik Indonesia. Pertentangan-pertentangan seperti ini, selain
memang telah ada sebelum Jepang datang, sebenarnya
hasil maksimal dari proses devide et empera yang dilakukan
Jepang untuk memperkuat kedudukannya. Pada
sidang pleno II tanggal 10-16 Juli 1945 dicapai
kesepakatan tentang Dasar Negara dan UUD negara yakni
Piagam Jakarta dan UUD 1945. Piagam Jakarta yang dituangkan
dalam Rancangan Mukadimah mengakomodasi Islam
sebagai dasar negara khusus bagi umat Islam, yang dimasukkan
di dalam sila pertama dengan kalimat “Ketuhanan
dengan kewajiban menjalankan syari`at Islam bagi pemeluknya.”
Terlepas dari isinya yang memang tak diperdebatkan,
penyusun Mukadimah dengan Piagam Jakarta
dijelaskan oleh kedua sumber buku secara berbeda. Menurut keterangan Yamin dalam bukunya, bahwa Piagam Jakarta
itu disusun oleh Panitia Sembilan yang ditunjuk oleh BPUPKI pada sidang tanggal
1 Juni 1945, tetapi dalam bukunya AB Koesoemo dikemukakan bahwa sebenarnya Panitia
Sembilan itu tidak pernah dibentuk oleh BPUPKI, melainkan dibentuk secara spotan
dan tidak prosedural oleh Soekarno karena paerkembangan situasi Perang Dunia II
yang sedang memanas pada saat itu. AB Koesoemo ini didasarkan pada isi pidato
Bung Karno sendiri yang meminta maaf kepada sidang BPUPKI karena telah mengumpulkan
9 orang secara tidak prosedural untuk menyusun Mukadimah dan Piagam Jakarta
itu.
·
Setelah Kemerdekaan Rezim Pemerintah Orde Lama (1945-1966)
Arah sejarah berbelok lagi, pada sidang PPKI tanggal 18
Agustus 1945 tujuh kata yang ada pada Piagam Jakarta yang selanjutnya
menjadi dasar berlakunya hukum Islam di Indonesia dicoret.
Pencoretan tujuh kata itu diakui oleh Hatta sebagai prakarsanya
yang telah disetujui oleh wakil Islam di PPKI, yaitu:
Ki Bagus Hadikusumo, KH. Wahid Hasyim, Tengku M. Hasan,
dan Kasman Singodimejo. Latar belakang pencoretan itu
sendiri, kata Hatta karena pada sore hari tanggal 17 Agustus 1945
dirinya didatangi oleh seseorang dari bagian timur Indonesia
yang diantar oleh Maeda (penguasa militer di Jakarta) dan
meminta agar tujuh kata dalam Piagam Jakarta itu dicoret, Beberapa
masalah yang kemudian muncul adalah:[13]
Pertama, siapa
dan atas mandat dari mana orang bagian timur Indonesia
itu sehingga mendorong Hatta melakukan itu. Kedua,
Maeda (sesuai dengan interview Seichi Okawa dari majalah
Tempo bulan Agustus 1945) yang oleh Hatta dikatakan sebagai
pengantar orang timur Indonesia itu ternyata menyatakan
tak tahu menahu dan tak pernah mengantarkan orang
bertemu Hatta untuk urusan seperti itu meskipun diakui sore
hari tanggal 17 Agustus 1945 dirinya memang bertemu Hatta.
Ketiga, Wahid
Hasyim yang kata Hatta dimintai pendapatnya sebelum sidang dimulai, kabarnya
pada hari itu tidak hadir pada sidang BPUPKI karena ada acara NU di Jawa Timur.
Keempat, Kasman
Singodimejo dan Tengku M. Hasan adalah anggota PPKI yang baru yang dulunya tidak
menjadi anggota BPUPKI sehingga ia tak pernah ikut menghayati
perbedaan-perbedaan dan kompromi yang kemudian dicapai. karena bersifat
diskriminatif. Menurut orang
itu jika tujuh kata tidak dicoret
pihaknya lebih baik tidak ikut merdeka bersama Indonesia.
Itulah sebabnya sebelum sidang PPKI tanggal 18 Agustus
1945 itu dimulai, Hatta meminta empat tokoh yang disebutkan
di atas.
Kelima,kemungkinan
secara pribadi Hatta adalah dilatarbelakangi oleh pendidikannya, yaitu sebagai
sarjana produk dari Belanda sehingga ketika itu kurang menghayati kondisi riel
bangsa (umat Islam) saat itu, dan kurang perhatiannya terhadap rumusan Piagam
Jakarta yang diketuai Soekarno yang merupakan sarjana produk dalam negeri
sehingga lebih menghayati kondisi riel saat itu. Setelah tanggal 18 Agustus 1945 perjuangan umat Islam
untuk kembali ke Piagam Jakarta terus berlangsung, yaitu
di ajang pergumulan Majelis Konstituante hasil
Pemilihan Umum 1955 (yang ditulang punggungi
oleh Masyumi dan NU bersatu memperjuangkan Dasar Negara Islam di sidang-sidang
Konstituante namun tidak berhasil sampai akhirnya Konstituante dibubarkan
dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Di bawah pemerintah Soekarno (1959- 1966)
dengan demokrasi terpimpin (Orde Lama).
·
Rezim Pemerintah Orde Baru (1967-1998)
Pemerintahan Orde Baru adalah pemerintahan yang menggantikan
sistem pemerintahan Soekarno (Orde Lama) yang
mengalami krisis ekonomi dan politik yang akut, yang ditandai
oleh G. 30 S./PKI tahun 1965. Setelah G.30 S./PKI berhasil
ditumpas oleh Angkatan Darat, sejarah politik Indonesia
akhirnya melahirkan Surat Perintah sebelas Maret tahun
1966 dari Presiden Soekarno kepada Soeharto untuk mengambil
segala tindakan yang diperlukan dalam rangka keselamatan
negara dan kepala negara. Berdasar surat perintah itulah,
di luar kehendak Bung Karno,
Jendral Soeharto membubarkan PKI
dan memproklamirkan sistem politik baru yang
disebut Orde Baru (Orba). Dengan munculnya Orde Baru,
maka periode pemerintahan sebelumnya disebut sebgai periode
Orde Lama. Orde Baru sendiri diartikan sebagai tatanan
politik dan masyarakat Indonesia yang didasarkan pada pelaksanaan
Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen[14]
BAB III
PENUTUP
Kesumpulan
Politik islam diambil dari akar kata “sasa-yasusu”,yang berarti mengemudikan,
mengendalikan mengatur dan sebagainya. Secara teknis permasalah politik di
dalam Al-Qur’an ditunjukkan kepada semua umat manusia yang lintas ras, etnik,
waktu dan tempat.
Asal
mula Islam sebagai gerakan politik telah dimulai sejak zaman nabi Muhammad. Pada 622 M, sebagai pengakuan atas klaim kenabiannya,
Muhammad diundang untuk memimpin kota Medinah. Pada saat itu dua kaum yang menguasai kota; Arab Bani Aus dan
Bani Khazraj, berselisih. Warga Medinah menganggap Muhammad sebagai orang
luar yang netral, adil, dan imparsial, diharapkan dapat mendamaikan konflik
ini. Muhammad dan pengikutnya hijrah ke Medinah, di mana Muhammad
menyusun Piagam Madinah.
Ada 3 paradigma dalam politk islam menurut Munawir sadjali
Pertama, pendapat yang menyatakan bahwa Islam tidaklah sekedar agama
sebagaimana dikatakan pada masyarakat Barat yang terlepas dari kehidupan
politik pada umunya.
Kedua, pendirian yang menyatakan bahwa Islam sebenarnya tidak pernah di
maksudkan sebagai sebuah sistem politik.
Ketiga, pendirian yang menengahi antara dua ekstrem pemikiran
tersebut. Mereka selain menolak pandangan bahwa Islam adalah agama yang sudah
lengkap dan menggariskan sebuah tata pemerintahan khusus sebagaiman diyakini
paradigma pertama yang cenderung fundamentalis,
Anwar, Syafii. 2006 Agama , Negara
Dan Dinamika Civil Society Di Indonesia ( jurnal Al Washatiyyah .Vol
I/3),
Asfar, Muhammad.1995 Pergeseran
Otoritas Kepemimpinaan Politik Kia, .(Jurnal Prisma 5)
Anwar,
Fuandy, dkk. 2008. Pendidikan Agama Islam Di Perguruan Tinggi Umum. Padang :
UNP Perss.
Kamsi. 2012. “Paradigma
Politik Islam Tentang Relasi
Agama Dan Negara”, jurnal Agama
dan Hak Azazi Manusia
Vol.2, No.1,
Mansur Suryanegara , Ahmad 2018, api sejarah, cet.IV, edisi
revisi, salamadani, bandung,
Munawwir
Sadjali, Islam Dan Tatanegara, Sejarah Dan Pemikiran (Jakarata:UII
Press, 1990)
https://id.wikipedia.org/wiki/Politik_Islam
[1] Kamsi, “Paradigma Politik Islam Tentang Relasi
Agama Dan Negara”, jurnal Agama
dan Hak Azazi Manusia Vol.2, No.1,
2012.hl.42-43
[2] https://id.wikipedia.org/wiki/Politik_Islam diakses pada
tanggal 05 April 18 pada pukul 19:00 wib
No comments:
Post a Comment