1

loading...

Friday, November 9, 2018

MAKALAH PARADIGMA POLITIK ISLAM DALAM LINTASAN SEJARAH

MAKALAH PARADIGMA POLITIK ISLAM DALAM LINTASAN SEJARAH

BAB I
PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG
Islam dan negara merupakan persoalan debatable atau diskursus di kalangan peminat kajian keislaman (masuk dalam kajian Fiqh Siyasah) baik pada era klasik, pertengahan maupun kontemporer. Di antara tokoh-tokoh Islam atau pemikir politik Muslim awal yang mengkaji persoalan ini adalah: Ibnu Abi Rabi`, al-Farabi, al-Mawardi,al-Gazali, Ibnu Taimiyyah, dan Ibnu Khaldun. [1]Munculnya para pemikir dan pembaru seperti Jamaluddin Al-Afghani (1839-1897 M), Muhammad Abduh (1849-1905 M), Muhammad Rasyid Ridha (1865-1935 M), Muhammad bin Abdil- Wahab (1703-1792 M), Hasan Al-Banna (1906-1949 M), Abul A’la Al-Maududi (1903-1979 M), Sayyid Quthb (1906-1968 M), dan Ali Abd Ar-Raziq (1888-1966 M), Mereka menawarkan berbagai teori tentang Islam dan Negara, dan perbedaan pemikiran atau teori ini tidak lepas dari situasi dan kondisi mereka yang berbeda. Dalam persoalan Islam dan Negara, al-Qur`an tidak memuat secara eksplisit untuk mendirikan negara. Seperti dikemukakan oleh Munawir Sjadzali yang dikutip oleh Abdul Azis Thaba, bahwa Islam tidak memiliki preferensi terhadap sistem politik yang mapan tetapi hanya memiliki seperangkat tata nilai etis yang dapat dijadikan pedoman penyelenggaraan negara. yang kemudian melahirkan apa yang disebut fundamentalisme, modernisme, tradisionalisme, sekularisme Islam, nasionalisme, dan lain-lain adalah bentuk-bentuk riil dari hasil interaksi intensif antara Islam dan persoalan kemasyarakatan.
B.     RUMUSAN MASALAH
  1. Apa Pengertian Politk Islam ?
  2. Bagaimana Sejarah Politk Islam Indonesia ?
  3.  Bagaimana Paradigma Politk Islam Dalam Lintasan Sejarah Indonesia  
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Politk Islam
Politik secara umum diartikan dengan cara atau taktik untuk mencapai satu tujuan. Politik secara umum berhubungan dengan berbagai cara dalam pencapaian tujuan hidup manusia. Sedangkan secara khusus penekanannya kepada kekuasaan dan pemerintahan.
Islam juga mengenal istilah politik yang disebut dengan siyasah. Kata ini diambil dari akar kata “sasa-yasusu”,yang berarti mengemudikan, mengendalikan mengatur dan sebagainya. Secara teknis permasalah politik di dalam Al-Qur’an ditunjukkan kepada semua umat manusia yang lintas ras, etnik, waktu dan tempat. Sehingga dengan hanya mengemukakan prinsip dan norma-norma politik umat islam mampu menterjemahkannya disetiap waktu. Namun walaupun dalam islam terdapat peluang untuk politik secara lebih luas dalam hal kekuasaan harus tunduk terhadap hukum dan aturan allah. Artinya Allah adalah penguasa terhadap segala sesuatu didalam semesta ini.
Konsep politik tradisional dalam Islam antara lain kepemimpinan oleh penerus Nabi, yang disebut sebagai Kalifah (Imam dalam Syiah); pentingnya mengikuti hukum Syariah; kewajiban bagi pemimpin untuk berkonsultasi dengan dewan Syura dalam memerintah negara; dan kewajiban menggulingkan pemimpin yang tidak adil.[2]
Politik islam didasarkan pada 3 prinsip, yaitu tauhid, risalah dan khalifah. Tauhid berarti mengesakan Allah SWT selaku pemilik kedaulatan tertinggi. Risalah merupakan medium perantara penerimaan manusia terhadap hukum-hukum Allah SWT. Khalifah berarti pemimpin/ wakil Allah di Bumi.
Dalam pelaksanaan politik, Islam juga memiliki norma-norma yang harus diperhatikan. Diantara norma-norma itu ialah:[3]
  1. Politik merupakan alat atau sarana untuk mencapai tujuan.
  2. Politik islam berhubungan dengan kemashlahatan umat
  3. Kekusaan mutlak adalah milik Allah.
  4. Manusia diberi amanah sebagai khalifah untuk mengatur alam ini secara baik.
  5. Pengangkatan pemimpin didasari atas prinsip musyawarah.
  6. Ketaatan kepada pemimpin wajib hukumnya setelah taat kepada Allah dan Rasul-Nya.
  7. Islam tidak menentukan secara eksplisit bentuk pemerintahan negara.
B.     Sejarah Politik Islam Indonesia
Asal mula Islam sebagai gerakan politik telah dimulai sejak zaman nabi Muhammad. Pada 622 M, sebagai pengakuan atas klaim kenabiannya, Muhammad diundang untuk memimpin kota Medinah. Pada saat itu dua kaum yang menguasai kota; Arab Bani Aus dan Bani Khazraj, berselisih. Warga Medinah menganggap Muhammad sebagai orang luar yang netral, adil, dan imparsial, diharapkan dapat mendamaikan konflik ini. Muhammad dan pengikutnya hijrah ke Medinah, di mana Muhammad menyusun Piagam Madinah. Dokumen ini mengangkat Muhammad sebagai pemimpin kota sekaligus mengakuinya sebagai rasul Allah. Hukum yang diterapkan Muhammad pada saat berkuasa berdasarkan Quran dan Sunnah (perilaku yang dicontohkan Muhammad), yang kemudian dianggap kaum Muslim sebagai Syariah atau hukum Islam, yang kini ingin ditegakkan oleh gerakan Islam hingga kini. Muhammad mendapatkan banyak pengikut dan membentuk tentara. Pengaruhnya kemudian meluas dan menaklukkan kota asalnya Mekkah, dan kemudian menyebar ke seluruh Jazirah Arab berkat kombinasi diplomasi dan penaklukan militer.[4]
            Indonesia yang memiliki posisi wilayah sebgai Nusa yang terletak diantara pengaruh ajaran islam dari Khulafaur rasyidin, Khilafah Umayyah, Khilafah Abbasyiah, Khilafah fatimiyah, Khilafah/Kesultanan Turki, kesultanan Mongol, dan Mughal serta peran umat islam di cina, tidak mungkin menjadikan wilayahnya sebgai isolated country. Pengaruh berikutnya menjadikan indonesia sebgai wilayah yang terbuka terhadap kehadiran budaya yang datang dari Luar. Dengan adanya perkembangan kekuasaan politik islam dari timur tengah, cina, dan india kemudian lahirlah kekuasaaan politik islam di indonesia dan sekitarnya menggantikan kekuasaan plitik hindu/budha. Perkembangan politik islam erat kaitannya dengan masuknya islam ke indonesia.[5] Dibawah peta kekuasaan politik dunia yang sedang dipimpin islam pada waktu itu tidakalah jika indonesia bangkit pula kekuasaan politik islam dan kesultanan, terlepas dari itu semua  peran pasar, pesantren dan kekuasaan politik islam/ kesultanan itu tadi yang menjadi jalan terbentuknya politik islam maka dari itu lahirlah sebuah kelompok baru di tengah masyarakat indonesia saat itu yaitu sebagai berikut:
  1. Wirausahawan dari pasar dan bandar pelabuhan
  2. Ulama dari pesantren dan masjid serta Pasar
  3. Santri dan masyarakat, putra Sultan dan Putra wirausahawan
  4. Perkembangan berikutnya komunitas islam ini menuntut dibentuknya kekuasaan politik islam  atau Khilafah. pada saat itu mulailah berkembang politik islam di indonesia.[6]
C.    Paradigma Politik Islam Dalam Lintasan Sejarah Indonesia
Sebagaimana sering dikatakan oleh banyak pengamat politk Islam, hubungan antara Islam dan negara tidak selalu berjalan mulus. Hubungan yang selalu diwarnai tarik menarik kepentingan dalam gelombang pasang surut tergantung dinamika perkembangan politik nasional. Namun sebenarnya persoalan mendasarnya dari akar-akar ketegangan itu bagaimanapun juga berpangkal pada paradigma pemikiran Islam Politik yang menjadi referensi perilaku politik umat Islam indonesia. Konsep pemahaman politik Islam ini dirasa merupakan faktor fundamental, sebab diluar problem-problem perilaku politik umat sialm saat ini terdapat cara model tertentu  dalam menafsirkan dan menghayati politk Islam secara normatif berdasar Teks Al-Quran dan Sunnah.
Secara garis besar menurut Munawwir Sadjali hubungan antara agama dan politik dalam Islam dapat dikategorisasikan dalam tiga paradigma besar.[7]
Pertama, pendapat yang menyatakan bahwa Islam tidaklah sekedar agama sebagaimana dikatakan pada masyarakat Barat yang terlepas dari kehidupan politik pada umunya. Namun lebih dari itu agama selain mengurusi aspek sipritualitas-ukhrawi juga berkaitan dengan problem keduniaan. Islam disini selain dipahami secara normatif sebagai sumber dan paradigma nilai juga diyakini menyangkut dan mengatur segala aspek kehidupan manusia, dari mulai norma individu, persoalan keluarga, sosial ekonomi sampai ketatanegaraan. Islam sendiri sebenarnya sudah mempunyai konsep politik Islam, karena itu umat Islam hendaknya kembali kepada sistem ketatanegaraan yang Islami sebagaimana pernah dipraktikkan nabi di Madinah dan masa kepemimpinan kekhalifahan empat. 
Kedua, pendirian yang menyatakan bahwa Islam sebenarnya tidak pernah di maksudkan sebagai sebuah sistem politik. Keberadaan Islam tidak lebih bersifat privat. Misi nabi Muhammad tak lebih sebagai Rasul, bukan sebagai pemimpin politik untuk mendirikan dan mengepalai suatu negara. 
Ketiga, pendirian yang menengahi antara dua ekstrem pemikiran tersebut. Mereka selain menolak pandangan bahwa Islam adalah agama yang sudah lengkap dan menggariskan sebuah tata pemerintahan khusus sebagaiman diyakini paradigma pertama yang cenderung fundamentalis, juga menolak pendapat yang berasal dari pihak liberal yang menyatakan bahwa Islam tak lebih sebagi urusan privat dan tak ada sangkut pautnya dengan urusan politik. Sebenarnya pendapat ini agak memiliki kemiripan dengan pendapat kedua, namun dengan penekanan dan sikap yang lebih moderat. Menurut kelompok ketiga ini, sebagaiman diwakili oleh pemikiran Husain Haykal, dalam Islam sebenaranya terdapat etika dan nilai tertentu bagi kehidupan bernegara namun tidak menggariskan secara khsus teori tentang tetanegara. Inilah padangan yang kerap dijadikan argumen bagi kelompok moderat indonesia seperti Abdurrahaman Wahid  guna menolak pandangan kelompok yang ingin menjadikan Indonesia sebagai negara syariat berdasar aturan politik Islam, atau usaha menjadikan Islam sebagai ideologi.
Selian dari itu, meski dalam dasar ketegorisai yang sama Syafii Anwar membedakan paham dalam politik Islam yang membentuk perilaku umat Islam saat ini menjadi dua macam.
Pertama adalah Legal–Eksklusif dan kedua yaitu Substantif–Inklusif.[8] Pada pandangan yang pertama atau Legal-Eksklusif, Islam diyakini bukan sekedar agama, tapi juga menyangkut sebuah sistem politik, ideologi, hukum yang paripurna. Agama Islam diyakini dapat menjadi pedoman dan solusi terhadap bebabagai persoalan umat dari urusan rumah tanggga sampai urusan negara. Islam dalam ketegori pendangan ini diyakini sebagai totalitas utuh menyangku tiga dimensi kehidupan, yaitu agama, dunia dan negara. Dalam konteks Politik Islam paradigma ini mewajibkan setiap umat untuk mendirikan negara Islam, guna menegakkan syariat Islam dalam kondisi apapaun.
Sedang pendekatan Substantif–Inklusif  meyakini bahwa Islam sebenarnya tidak menyediakan konsep teoritis apapun tentang sistem politik, ia tidak lebih dari sebuah agama yang menjadi referensi moral bagi perilaku kehidupan. Al-Quran memang memerintahkan umatnya untuk menegakkan keadilan, kesetaraan dan kebebasan, namun tidak ada satupun Ayat Al-Quran yang secara pasti menyuruh Muslim untuk mendirikan negara Islam. Asumsi utama paradigma ini adalah bahwa misi Rasul di dunia ini bukanlah untuk mendirikan sebuah kerajaan dan Dinasti Islam, namun lebih untuk mendakwakan nilai dan kebaikan umat. Kepentingan nabi masa Madinah, bukanlah untuk mendirikan negara Islam, melainkan dengan tujuan untuk menyatukan umat Islam dan menyempurnakan akhlak umat. Syariah disini diapahami secara subsantif sebagai tempat pijakan moral dan kesejahteraan manusia, bukan sebagai landasan konstitusional yang harus ada dalam sebuah negara. Pentingnya Syariah pertama-tama tidak terletak pada fiqih dan kodifikasi hukumnya, melainkan lebih pada konstruksi Tauhid dan Akhlak.
Dalam aras kehidupan pesantren pun, sebagaimana dalam peneltian Muhammad Asfar bahwa para Kiai yang terlibat aktif dalam politik didasari pandangan bahwa hubungan antara Islam dan politik tidak dapat dipisahkan.[9] Letak pentingnya Islam bagi politik bukan hanya sekedar sebagai motivasi dan sandaran moral perilaku politik namun lebih dari itu ia juga menyediakan rumusan praktis dalam politik. Kebanyakan Kiai pesantren yang ikut aktif dan mencatat sebagai pengurus partai ataupun masuk pada parlemen pemerintah menyatakan bahwa secara konseptual Islam sebenarnya tidak saja mengurusi persoalan akhirat dan keagamaan saja, namun  juga mengurusi persoalan kehidupan termasuk masalah politik. Dengan demkian, dapat disimpulkan bahwa perilaku politik Islam, khususnya Santri dapat dipahami sebagai manifesatsi dari syariah dan pemahaman mereka tentang ajaran Islam ketika dikontekstualisasikan dalam arena politik. 
Perilaku politik Islam tidak hanya ditentukan oleh pemahaman mereka terhadap penafsiran Islam dan negara, namun juga sangat dipengaruhi oleh situasi sosial-politik disekelilingnya. Hubungan antara umat Islam dan negara Indonesia sepanjang sejarahnya pada saat tertentu lekat dengan citra oposisinya terhadap pemerintah namun disaat lain mereka merupakan mitra strategis dari kebijakan pemerintah seperti ditunjukkan pada pembahasan berikut ini.
Pengalaman Indonesia hubungan agama (Islam) dan negara berdasarkan era rezim pemerintah yang berkuasa dapat dipolakan sebsagai berikut:
1)      Sebelum Kemerdekaan,
2)      SetelahKemnerdekaan Rezim Pemerintahan Orde Lama,
3)      RezimPemerintahan Orde Baru,
4)      Rezim Pmerintahan Reformasi.
·         Sebelum Kemerdekaan
Persoalan yang menarik pada masa ini adalah wacana dan perdebatan tentang konsep kebangsaan yang juga membawa gagasan Islam sebagai dasar negara dan gagasan lain yang menghendaki berlakunya negara dan hukum lain yang juga berakar dalam kehidupan rakyat Indonesia.
Pertama, pada tahun 1916, muncul heboh Jiwo Hisworo yaitu pertarungan politik antara perjuangan ideologi non Islam melawan Islam. Ketika itu sebuah koran berbahasa Jawa Jiwo Hisworo memuat tulisan yang menghina Nabi Muhammad dengan mengatakannya sebagai pemabuk dan pemadat yang tentu saja kemudian membangkitkan umat Islam untuk membela nabinya disertai muatan gagasan bahwa masyarakat perlu diatur secara Islam, seperti yang disyariatkan melalui Nabi Muhammad SAW. Gerakan ini secara gencar disuarakan antara lain oleh Sarekat Islam. Menghadapi reaksi umat Islam seperti ini pada tahun 1918 pendukung Jawi Hisworo membentuk Panitia Kebangsaan Jawa. Panitia ini mengecam gerakan kelompok Sarekat Islam dalam kehidupan politik untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Kelompok ini menandaskan bahwa politik dan agama harus dipisah, sedang kelompak Sarekat Islam justru ingin mengaitkan politik dengan agama[10]
Kedua, Soekarno dan Nastir pada era ini telah melakukan polemik tentang Islam dan Negara. Polemik ini diawali dari tulisan Soekarno dalam Panji Islam dengan judul Memudakan Pengertian Islam”. Tulisan ini semula dimaksudkan untuk menanggapi tulisan K.H. Mas Mansur yang berjudul Memperhatikan Gerakan Pemuda” di dalam Majalah Adil dan Panji Islam berisi kritik tajam terhadap kekolotan Islam yang dikatakannya perlu dikoreksi pengertian-pengertiannya. Dalam tulisannya Soekarno mengajak agar paham dan pemikiran Islam selalu diperbaharui dan tidak dipertahankan secara kolot sebab hukum-hukum Islam itu dapat selalu memnyesuaikan dengan kultur dan perkembangan keadaan dan dapat cocok dengan kemajuan. Selain itu dalam tulisan Soekarno ini juga menyinggung hubungan negara dengan agama, yaitu demi kebaikan bahwa agama dan negara keduanya harus dipisahkan sebagai mana dikemukakan oleh Kemal at-Taturk pada tahun 1928. Tulisan Soekarno selanjutnya ditanggapi oleh Natsir dengan nama samaran Muchlis dalam Majalah al-Manar dan Panji Islam dengan judul Perskot dengan melontarkan keheranan Soekarno yang mengagungkan Kemal at-Taturk yang memisahkan negara dengan agama, dan mengapa pula Soekarno untuk menolak persatuan dan agama dengan alasan tidak ada ijma`, maka dalam tulisan Natsir ini membalik logika Soekarno tentang ijma` dengan menanyakan, kalau tidak ada ijma` tentang persatuan negara dan agama, maka adakah ijma` tentang keharusan memisahkan antara agama dan negara. Oleh karena itu pandangan Soekarno ini ditolak tidak dapat diterima karena tidak ada ijma`.[11]
Ketiga, pengalaman berikutnya adalah perdebatan secara formal ada di Badan Penyelidik Uasaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPKI) yang dibentuk pada bulan April 1945 maupun dalam Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) adalah badan yang dibentuk untuk menyatakan kemerdekaan, melakukan pengalihan kekuasaan, mensahkan konstitusi, dan membentuk pemerintahan bagi Indonesia jika akan merdeka.[12] Di sinilah puncak pertentangan ini tampak semakin jelas ketika proses pembentukan Dasar Negara Republik Indonesia. Pertentangan-pertentangan seperti ini, selain memang telah ada sebelum Jepang datang, sebenarnya hasil maksimal dari proses devide et empera yang dilakukan Jepang untuk memperkuat kedudukannya. Pada sidang pleno II tanggal 10-16 Juli 1945 dicapai kesepakatan  tentang Dasar Negara dan UUD negara yakni Piagam Jakarta dan UUD 1945. Piagam Jakarta yang dituangkan dalam Rancangan Mukadimah mengakomodasi Islam sebagai dasar negara khusus bagi umat Islam, yang dimasukkan di dalam sila pertama dengan kalimat “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari`at Islam bagi pemeluknya.” Terlepas dari isinya yang memang tak diperdebatkan, penyusun Mukadimah dengan Piagam Jakarta dijelaskan oleh kedua sumber buku secara berbeda. Menurut keterangan Yamin dalam bukunya, bahwa Piagam Jakarta itu disusun oleh Panitia Sembilan yang ditunjuk oleh BPUPKI pada sidang tanggal 1 Juni 1945, tetapi dalam bukunya AB Koesoemo dikemukakan bahwa sebenarnya Panitia Sembilan itu tidak pernah dibentuk oleh BPUPKI, melainkan dibentuk secara spotan dan tidak prosedural oleh Soekarno karena paerkembangan situasi Perang Dunia II yang sedang memanas pada saat itu. AB Koesoemo ini didasarkan pada isi pidato Bung Karno sendiri yang meminta maaf kepada sidang BPUPKI karena telah mengumpulkan 9 orang secara tidak prosedural untuk menyusun Mukadimah dan Piagam Jakarta itu.

·         Setelah Kemerdekaan Rezim Pemerintah Orde Lama (1945-1966)
Arah sejarah berbelok lagi, pada sidang PPKI tanggal 18 Agustus 1945 tujuh kata yang ada pada Piagam Jakarta yang selanjutnya menjadi dasar berlakunya hukum Islam di Indonesia dicoret. Pencoretan tujuh kata itu diakui oleh Hatta sebagai prakarsanya yang telah disetujui oleh wakil Islam di PPKI, yaitu: Ki Bagus Hadikusumo, KH. Wahid Hasyim, Tengku M. Hasan, dan Kasman Singodimejo. Latar belakang pencoretan itu sendiri, kata Hatta karena pada sore hari tanggal 17 Agustus 1945 dirinya didatangi oleh seseorang dari bagian timur Indonesia yang diantar oleh Maeda (penguasa militer di Jakarta) dan meminta agar tujuh kata dalam Piagam Jakarta itu dicoret, Beberapa masalah yang kemudian muncul adalah:[13]
Pertama, siapa dan atas mandat dari mana orang bagian timur Indonesia itu sehingga mendorong Hatta melakukan itu. Kedua, Maeda (sesuai dengan interview Seichi Okawa dari majalah Tempo bulan Agustus 1945) yang oleh Hatta dikatakan sebagai pengantar orang timur Indonesia itu ternyata menyatakan tak tahu menahu dan tak pernah mengantarkan orang bertemu Hatta untuk urusan seperti itu meskipun diakui sore hari tanggal 17 Agustus 1945 dirinya memang bertemu Hatta.    
Ketiga, Wahid Hasyim yang kata Hatta dimintai pendapatnya sebelum sidang dimulai, kabarnya pada hari itu tidak hadir pada sidang BPUPKI karena ada acara NU di Jawa Timur.
Keempat, Kasman Singodimejo dan Tengku M. Hasan adalah anggota PPKI yang baru yang dulunya tidak menjadi anggota BPUPKI sehingga ia tak pernah ikut menghayati perbedaan-perbedaan dan kompromi yang kemudian dicapai. karena bersifat diskriminatif. Menurut orang itu jika tujuh kata tidak dicoret pihaknya lebih baik tidak ikut merdeka bersama Indonesia. Itulah sebabnya sebelum sidang PPKI tanggal 18 Agustus 1945 itu dimulai, Hatta meminta empat tokoh yang disebutkan di atas.
Kelima,kemungkinan secara pribadi Hatta adalah dilatarbelakangi oleh pendidikannya, yaitu sebagai sarjana produk dari Belanda sehingga ketika itu kurang menghayati kondisi riel bangsa (umat Islam) saat itu, dan kurang perhatiannya terhadap rumusan Piagam Jakarta yang diketuai Soekarno yang merupakan sarjana produk dalam negeri sehingga lebih menghayati kondisi riel saat itu. Setelah tanggal 18 Agustus 1945 perjuangan umat Islam untuk kembali ke Piagam Jakarta terus berlangsung, yaitu di ajang pergumulan Majelis Konstituante hasil
Pemilihan Umum 1955 (yang ditulang punggungi oleh Masyumi dan NU bersatu memperjuangkan Dasar Negara Islam di sidang-sidang Konstituante namun tidak berhasil sampai akhirnya Konstituante dibubarkan dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Di bawah pemerintah Soekarno (1959- 1966) dengan demokrasi terpimpin (Orde Lama).
·         Rezim Pemerintah Orde Baru (1967-1998)
Pemerintahan Orde Baru adalah pemerintahan yang menggantikan sistem pemerintahan Soekarno (Orde Lama) yang mengalami krisis ekonomi dan politik yang akut, yang ditandai oleh G. 30 S./PKI tahun 1965. Setelah G.30 S./PKI berhasil ditumpas oleh Angkatan Darat, sejarah politik Indonesia akhirnya melahirkan Surat Perintah sebelas Maret tahun 1966 dari Presiden Soekarno kepada Soeharto untuk mengambil segala tindakan yang diperlukan dalam rangka keselamatan negara dan kepala negara. Berdasar surat perintah itulah, di luar kehendak Bung Karno, Jendral Soeharto membubarkan PKI dan memproklamirkan sistem politik baru yang disebut Orde Baru (Orba). Dengan munculnya Orde Baru, maka periode pemerintahan  sebelumnya disebut sebgai periode Orde Lama. Orde Baru sendiri diartikan sebagai tatanan politik dan masyarakat Indonesia yang didasarkan pada pelaksanaan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen[14]




BAB III
PENUTUP
Kesumpulan
Politik islam diambil dari akar kata “sasa-yasusu”,yang berarti mengemudikan, mengendalikan mengatur dan sebagainya. Secara teknis permasalah politik di dalam Al-Qur’an ditunjukkan kepada semua umat manusia yang lintas ras, etnik, waktu dan tempat.  
Asal mula Islam sebagai gerakan politik telah dimulai sejak zaman nabi Muhammad. Pada 622 M, sebagai pengakuan atas klaim kenabiannya, Muhammad diundang untuk memimpin kota Medinah. Pada saat itu dua kaum yang menguasai kota; Arab Bani Aus dan Bani Khazraj, berselisih. Warga Medinah menganggap Muhammad sebagai orang luar yang netral, adil, dan imparsial, diharapkan dapat mendamaikan konflik ini. Muhammad dan pengikutnya hijrah ke Medinah, di mana Muhammad menyusun Piagam Madinah.
Ada 3 paradigma dalam politk islam menurut Munawir sadjali
Pertama, pendapat yang menyatakan bahwa Islam tidaklah sekedar agama sebagaimana dikatakan pada masyarakat Barat yang terlepas dari kehidupan politik pada umunya.
Kedua, pendirian yang menyatakan bahwa Islam sebenarnya tidak pernah di maksudkan sebagai sebuah sistem politik.
Ketiga, pendirian yang menengahi antara dua ekstrem pemikiran tersebut. Mereka selain menolak pandangan bahwa Islam adalah agama yang sudah lengkap dan menggariskan sebuah tata pemerintahan khusus sebagaiman diyakini paradigma pertama yang cenderung fundamentalis,


Anwar, Syafii. 2006 Agama , Negara Dan Dinamika Civil Society Di Indonesia ( jurnal Al Washatiyyah .Vol I/3),
Asfar, Muhammad.1995 Pergeseran Otoritas Kepemimpinaan Politik Kia, .(Jurnal Prisma 5)
Anwar, Fuandy, dkk. 2008. Pendidikan Agama Islam Di Perguruan Tinggi Umum. Padang : UNP Perss.
Kamsi. 2012.Paradigma Politik Islam Tentang Relasi Agama Dan Negara”, jurnal Agama dan Hak Azazi Manusia Vol.2, No.1,
Mansur Suryanegara , Ahmad  2018, api sejarah, cet.IV, edisi revisi, salamadani, bandung,

Munawwir Sadjali, Islam Dan Tatanegara, Sejarah Dan Pemikiran (Jakarata:UII Press, 1990)
https://id.wikipedia.org/wiki/Politik_Islam



        [1] Kamsi, “Paradigma Politik Islam Tentang Relasi Agama Dan Negara”, jurnal Agama dan Hak Azazi Manusia Vol.2, No.1, 2012.hl.42-43

                   [2] https://id.wikipedia.org/wiki/Politik_Islam  diakses pada tanggal 05 April 18 pada pukul 19:00 wib
                       [3] Anwar, Fuandy, dkk. 2008. Pendidikan Agama Islam Di Perguruan Tinggi Umum. Padang : UNP Perss.
           [4] https://id.wikipedia.org/wiki/Politik_Islam diakses pada tanggal 05 April 18 pada pukul 19:00 wib
               [5] Ahmad Mansur Suryanegara, api sejarah, cet.IV, edisi revisi, salamadani, bandung, hal.89-91
           [6] ibid,hal. 149-155
            [7] Munawwir Sadjali, Islam Dan Tatanegara, Sejarah Dan Pemikiran (Jakarata:UII Press, 1990)
               [8] Syafii Anwar. Agama , Negara Dan Dinamika Civil Society Di Indonesia ( jurnal Al Washatiyyah .Vol I/3 2006), hlm. 8-10
             [9] Muhammad Asfar, Pergeseran Otoritas Kepemimpinaan Politik Kia, .(Jurnal Prisma 5/1995), hlm. 33

                [10] Kamsi, “Paradigma Politik Islam Tentang Relasi Agama Dan Negara”, jurnal Agama dan Hak Azazi Manusia Vol.2, No.1, 2012. hal.54
[11] ibid. hal.55
      [12] ibid. hal.55-56
                  [13] ibid. hal.56-57
[14] ibid. hal.58-59

No comments:

Post a Comment