MAKALAH STUDI ISLAM : AGAMA (PENGERTIAN, CIRI, HUBUNGAN AGAMA DENGAN PERUBAHAN SOSIAL DAN KEBUDAYAAN)
BAB
I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Agama merupakan suatu aturan atau system yang mengatur tata
keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan YME serta tata kaidah yang
bersangkutan dengan pergaulan manusia dan manusia serta linhkungannya, dengan
agama hidup akan menjadi terarah dan pasti. Tanpa agama hidup tak akan seperti
yang kita harapkan, manusia menjalani hidup dengan sewenang-wenang karena tidak
adanya aturan atau agama yang menjadi pandangan hidup. Setiap manusia wajib
memeluk agama dalam menjalankan kehidupannya. Sebagaimana yang kita ketahui
khususnya di Negara kita sendiri yaitu Indonesia, memiliki beberapa agama
yaitu, Islam, Kristen, hindu, budha, dan katolik. Dalam meyakini
suatu agama tentu kita telah mengetahui dasar-dasar agama tersebut, sehingga
dalam menjalankannya, kita terasa ikhlas dan tanpa beban. Seperti kita ketahui,
masing masing pemeluk agama menganggap bahwa agama yang di anut nya adalah yang
paling benar. Manusia memiliki kemampuan terbatas, kesadaran dan pengakuan akan keterbatasannnya
menjadikan keyakinan bahwa ada sesuatu yang luar biasa diluar dirinya. Sesuatu
yang luar biasa itu tentu berasal dari sumber yang luar biasa juga. Dan sumber
yang luar biasa itu ada bermacam-macam sesuai dengan bahasa manusianya sendiri.
Keyakinan ini membawa
manusia untuk mencari kedekatan diri kepada Tuhan dengan cara menghambakan
diri, yaitu: menerima segala kepastian yang menimpa diri dan sekitarnya dan
yakin berasal dari Tuhan menaati segenap ketetapan, aturan, hukum dll yang
diyakini berasal dari Tuhan. Dengan demikian diperoleh keterangan yang
jelas, bahwa agama itu penghambaan manusia kepada Tuhannya.
B.
RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar
belakang tersebut maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan yang akan dibahas
dalam makalah ini sebagai berikut :
1.
Apa yang dimaksud dengan agama?
2. Apa saja ciri-ciri agama?
3. Bagaimana hubungan agama
dan perubahan sosial?
4.
Bagaiamana hubungan agama dan kebudayaan?
C. TUJUAN PENULISAN
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata
kuliah Studi Islam dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan yang telah penulis
rumuskan diatas, agar kiranya kelak dapat bersama-sama memperluas khazanah ilmu
pengetahuan kita semua khususnya tentang perkembangan pemikiran tentang agama.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
PENGERTIAN AGAMA
Secara sederhana, pengertian Agama dapat dilihat dari sudut
kebahasaan (etimologi) dan sudut istilah (terminologi). Pengertian Agama dari
sudut kebahasaan akan sangat mudah diartikan daripada pengertian dari sudut
istilah, karena pengertian dari sudut istilah ini sudah mengandung muatan
subyektivitas dari orang yang mengartikannya. Atas dasar ini, maka tidak
mengherankan jika muncul beberapa ahli yang tidak tertarik mendefenisikan
Agama.
Secara etimologis kata agama berasal dari bahasa sanskerta. Kata
ini tersusun dari kata A dan Gama. A yang berarti tidak dan sedangkan Gama berarti
berjalan atau berubah. Jadi agama berarti tidak berubah. Demikian juga menurut
H. Muh. Said. sejalan pendapat itu Harun Nasution juga mengemukakan, bahwa
agama berasal dari bahasa Sanskrit. Menurutnya, satu pendapay mengatakan
bahwa kata itu tersusun dari dua kata yaitu A = tidak, dan Gama
= Pergi. Dengan demikian agama berarti tidak pergi atau tetap di
tempatnya.[1]
K.H. Taib Abdul Muin, juga memeberi pendapat bahwa kata agama
berasal dari bahasa sanskerta, yang mana A berarti tidak, dan Gama berarti
kocar kacir. Jadi agama berarti tidak kocar kacir, dalam artian agama itu
teratur.
Sementara itu K.H. Zainal Arifin Abbas dan Sidi Gazalba,
berpendapat bahwa istilah agama dan religi serta Al Din
itu berbeda-beda antara satu dan lainnya. Masing-masing mempunyai pengertian
sendiri. Lebih jauh lagi, Gazalba menjelaskan bahwa Al-din lebih luas
pengertian nya dari pada pengertian agama dan religi. Agama dan religi
hanya berisi ajaran yang menyangkut aspek hubungan antara manusia dan tuhan
saja. Sedangkan al-din berisi dan memuat ajaran yang mencakup aspek
hubungan antara manusia dan tuhan dan hubungan sesama manusia.[2]
Dari beberapa definisi tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa
intisari yang terkandung dari istilah-istilah diatas adalah ikatan. Agama
memang mengandung arti ikatan yang harus dipegang dan dipatuhi manusia. Ikatan
ini mengandung pengaruh besar sekali terhadap kehidupan manusia sehari-hari.
Ikatan ini berasal dari sesuatu kekuatan yang lebih tinggi dari manusia. Suatu
kekuatan gaib yang tidak dapat ditangkap oleh panca indra.
Sedangkan secara istilah pengertian agama, tidak ada pengertian
agama itu yang benar benar memuaskan, oleh karena keragama agama itu sendiri.
Sehubungan dengan itu pengertian yang akan dibentangakan berikut ini adalah
beberapa pendapat dari pakar yang sudah barang tentu menurut sudut pandang
mereka masing-masing. Beberapa defenisi pengertian agama yang dimaksud
adalah sebagai berikut:
Frazer[3] berpendapat
bahwa agama adalah sebagai perdamain atu tindakan mendamaikan dari kuasa-kuasa
atas kepada manusia yang mana dipercayai mengatur dan mengontrol alam raya
dan kehidupan manusia.
Kemudian Malfijt[4] mengemukakan
bahwa agama adalah system interaksi kepercayaan dan perbuatan yang didasarkan
atas adat-istiadat (kebudayaan) suatu masarakat yang secara bersama-sama
percaya kepada kuasa supernatural yang suci.
Sementara itu Taib Thahir
Abdul Mu’in mengemukakan pengertian agama sebagai suatu peraturan Tuhan yang mendorong
jiwa seseorang yang mempunyai akal untuk dengan kehendak dan pilihannya
sendidri mengikuti peraturan tersebut, guna mencapai kebahagiaan hidup didunia
dan di akhirat.
Karena terlalu banyaknya pengertian tentang Agama yang dikemukakan
oleh para ahli, maka Agama dapat diberi defenisi debagai berikut:
1.
Pengakuan terhadap adanya hubungan
manusia dengan kekuatan gaib yang harus dipatuhi,
2. Pengakuan terhadap adanya
kekuatan gaib yang menguasai manusia,
3. Mengikat diri kepada
suatu bentuk hidup yang mengandung pengakuan pada suatu sumber yang berada
diluar diri manusia yang mempengaruhi perbuatan-perbuatan manusia,
4. Kepercayaan pada suatu kekuatan
gaib yang menimbulkan cara hidup tertentu,
5. Suatu sistem tingkah laku
yang berasal dari kekuatan gaib,
6. Pengakuan terhadap adanya
kewajiban-kewajiban yang diyakini sumber pada suatu kekuatan gaib,
7. Pemujaan terhadap
kekuatan yang gaib yang timbul dari perasaan yang lemah dan perasaan takut
terhadap kekuatan misterius yang terdapat dari dalam alam sekitar manusia,
8.
Agama yang diwahyukan Tuhan kepada manusia melalui seorang rosul.[5]
B.
CIRI-CIRI AGAMA
Dari beberapa
defenisi agama tersebut
diatas, maka dapat diambil ciri-ciri/ karakteristik dalam Agama sebagai berikut:
1.
Unsur kepercayaan terhadap kekuatan
gaib. Kekuatan gaib tersebut dapat mengambil bentuk yang bertacam-macam. Dalam
Agama primitif kekuatan gaib tersebut dapat mengambil bentuk benda-benda yang
memiliki kekuatan misterius, ruh atau jiwa yang terdapat dalam benda-benda yang
memiliki kekuatan misterius (dewa). Kepercayaan akan adanya Tuhan adalah dasar
yang utama sekali dalam paham Agama. Tiap-tiap Agama kecuali Budaisme yang asli
dan beberapa Agama yang lain berdasar atas kepercayaan pada suatu kekuatan gaib,
dan cara tiap-tiap hidup manusia yang percaya pada Agama di dunia ini amat
rapat hubunganya dengan kepercayaan tersebut,
2.
Unsur kepercayaan bahwa kebahagiaan dan kesejahteraan hidup di dunia ini
dan di akhirat nanti tergantung pada adanya hubungan yang baik dengan kekuatan
gaib yang dimaksud. Dengan hilangnya hubungan yang baik itu
kesejahteraan dan kebahagiaan yang dicari akan hilang pula. Hubungn baik ini
selanjutnya diwujudkan dalam bentuk peribadatan, selalu mengingatnya,
melaksanakan segala perintahnya dan menjaihi larangannya.
3.
Unsur respon yang bersifat
emosional dari manusia. Respon tersebut dapat mengambil rasa takut, seperti
yang terdapat pada Agama primitif, atau perasaan cinta seperti yang terdapat
pada Agama-Agama monoteisme. Selanjutnya respon tersebut dapat pula mengambil
bentuk dan cara hidup tertentu bagi masyarakat yang bersangkutan.
4.
Unsur paham adanya yang kudus
(sacred) dan suci, dalam bentuk kekuatan gaib, dalam bentuk kitab suci yang
mengajarkan ajaran Agama yang dersangkutan, tempat-tempat tertuntu, peralatan
untuk menyelenggarakan ibadah dan sebagainya.[6]
Berdasarkan uraian diatas
dapat kita ambil kesimpulan bahwa Agama adalah ajaran yang berasal dari Tuhan
atau hasil renungan manusia yang terkandung dalam kitab suci yang turun temurun
diwariskan oleh suatu generasi ke generasi dengan tujuan untuk memberi tuntunan
dan pedoman hidup bagi manusia agar mencapai kebahagiaan di dunia dan di
akhirat, yang didalamnya mencakup unsur kepercayaan dan kekuatan gaib yang
selanjutnya menimbulkan respon emosional dan keyakinan bahwa kebahagiaan hidup
tersebut tergantung pada adanya hubungan yang baik dengan kekuatan gaib
tersebut.
Dari kesimpulan tersebut dapat dijumpai lima aspek yang menjadi ciri yang terkandung dalam
Agama. Pertama aspek asal-usul, yaitu yang berasal dari Tuhan seperti
Agama samawi, dan ada yang berasal dari hasil pemikiran manusia seperti Agama
ardi atau Agama kebudayaan. Kedua aspek tujuan, yaitu untuk memberi
tuntunan hidup agar bahagia di dunia dan di akhirat. Ketiga aspek
ruang lingkupnya yaitu keyakinan akan adanya kekuatan gaib, keyakinan manusian
bahwa kesejahteraan di dinia ini dan kehidupan di akhirat tergantung pada
adanya hubungan yang baik dengan dengan kekuatan gaib, respon yang bersifat
emosional dan adanya yang dianggap suci, keempat aspek
pemasyarakatanya, yaitu disampaikan secara tutun-temurun dan diwariskan dari
generasi ke generasi berikutnya, dan kelima aspek sumbernya, yaitu
kitab suci.
C.
AGAMA DAN PERUBAHAN SOSIAL
Agama adalah
peraturan Ilahi yang mengantarkan orang-orang yang berakal sehat, atas kehendak
mereka sendiri, menuju kebahagian dunia dan akhirat. Sehubungan dengan
pengertian diatas, tampaknya Al-Qur’an sendiri telah memuat pernyataan tentang
hal ini jauh sebelum pengertian tadi dirumuskan. Allah dalam berbagai ayat
al-Qur’an telah menegaskan bahwa agama diturunkan-Nya kepada manusia melalui
para nabi dan rasul adalah untuk kebahagiaan ummat manusia di dunia dan
diakhirat.
Kenyataanya bahwa manusia
memiliki fitrah keagamaan tersebut, yakni agama adalah kebutuhan fitrah
manusia, fitrah keagamaan inilah yang melatarbelakangi perlunya manusia pada
agama. Oleh karenanya
ketika datang wahyu Tuhan yang menyeru manusia agar beragama, maka seruan
tersebut memang amat sejalan dengan fitrahnya itu.
فَأَقِمْ
وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا فِطْرَةَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا
لا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ
النَّاسِ لا يَعْلَمُون َ
Artinya : “Maka hadapkanlah wajahmu dengan
lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan
manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah)
agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”
Hal ini juga dijelaskan dalam Hadits Hadits
shohih bukhari no. 1296
حَدَّثَنَا آدَمُ حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي ذِئْبٍ عَنْ
الزُّهْرِيِّ عَنْ أَبِي سَلَمَةَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ
رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
كُلُّ مَوْلُودٍ يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ
يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ كَمَثَلِ الْبَهِيمَةِ تُنْتَجُ الْبَهِيمَةَ
هَلْ تَرَى فِيهَا جَدْعَاءَ
Telah menceritakan kepada kami Adam telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu
Dza'bi dari Az Zuhriy dari Abu Salamah bin 'Abdurrahman dari Abu Hurairah
radliallahu 'anhu berkata; Nabi Shallallahu'alaihiwasallam bersabda:
"Setiap anak dilahirkan dalam keadaan
fithrah. Kemudian kedua orang tuanyalah yang akan menjadikan anak itu menjadi
Yahudi, Nashrani atau Majusi sebagaimana binatang ternak yang melahirkan
binatang ternak dengan sempurna. Apakah kalian
melihat ada cacat padanya?"
Sejalan dengan hal tersebut fenomena perubahan
sosial dewasa
ini menggambarkan dan menjelaskan kepada kita bahwa agama menjadi
salah satu faktor perubahan sosial itu sendiri. Agama sebagai hasil
kebudayaan, yang ada, hidup dan berkembang dalam masyarakat memiliki peranan
penting dalam perubahan sosial tersebut. Perubahan sosial yang
terjadi dalam masyarakat merupakan hal yang tidak bisa terlepas dari
keterikatannya dengan adanya agama. Dalam hal ini, menggagas pemikiran
tentang hubungan antara agama dan perubahan sosial bertitik-tolak
dari pengandaian
bahwa perubahan sosial merupakan suatu fakta yang sedang berlangsung,
yang diakibatkan oleh kekuatan-kekuatan yang sebagian besar berada diluar
kontrol kita, bahwa tidak ada kemungkinan sedikitpun untuk menghentikannya. Di
sini, disposisi agama, pada satu sisi dapat menjadi penentang perubahan
dan pada sisi lain dapat menjadi pendorong adanya perubahan sosial. Perubahan
sosial dalam masyarakat atau komunitas manusia tertentu dapat berakibat
atau berdampak positif maupun negatif.
Pelapisan sosial adalah tidak adanya keseimbangan dalam pembagian hak &
kewajiban, kewajiban dan tanggung jawab nilai sosial & pengaruhnya di
antara anggota masyarakat. Dan agama muncul
untuk menghapuskan ketidakseimbangan yang terjadi, serta
pengaruhnya terhadap prilaku ekonomi.
1. Agama Sebagai Kausal variabel
Agama sebagai kausal variable
secara sederhana mengandung pengertian agama sebagai sebab
musabab terjadinya suatu perubahan dalam masyarakat. Secara sosiologis
munculnya semangat perubahan sosial di Indonesia, biasanya lebih
difokuskan pada dinamika sosial yang berkembang, meskipun pada gilirannya
hampir semua aspek dapat pula menjadi pemicu arah perubahan itu sendiri. Bahkan
sebagaian sosiolog sependapat, bahwa perubahan di semua sektor merupakan
keharusan yang tidak dapat ditawar dan ditunda-tunda, kendatipun dalam proses
perjalanannya diketemukan kendala-kendala yang tidak ringan. Sebut saja, mulai
dari perubahan dalam bidang politik, ekonomi, sosial, budaya,
keamanan, agama dan berbagai macam yang menyangkut hajat hidup rakyat
Indonesia
Ajaran agama memiliki
pengaruh yang besar dalam penyatuan persepsi kehidupan masyarakat tentang semua
harapan hidup[7].
Kehadiran agama pada satu
sisi, secara fungsional agama mempunyai watak sebagai “perekat
sosial”, memupuk solidaritas sosial, toleran, dan seperangkat peranan yang
memelihara kestabilan sosial (harmoni). Di sisi lain, agama juga
mempunyai kecenderungan atomisasi (memecah-belah), disintegrasi, dan
intoleransi. Secara teoritis-sosiologis, hal ini dapat juga difahami dari dua
bentuk antagonisme dalam agama. Pertama, ketegangan atau konflik yang
berkembang di kalangan umat suatu agama (intern). Kedua, ketegangan
atau konflik yang terjadi antar umat beragama (ekstern).
Sosiolog seperti Robertson Smith
dan Emile Durkheim memandang kemunculan agama secara positif sejalan
dengan perkembangan masyarakat. Agama bagi mereka bukanlah persoalan
individu melainkan representasi kolektif dari masyarakat. Mereka menekankan
bahwa agama pertama-tama adalah aksi bersama dari masyarakat dalam
bentuk ritual-ritual, upacara keagamaan, larangan-larangan praktis dari pada
keimanan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa masyarakat secara positif
berperan dalam terbentuknya atau munculnya agama.
Di lain pihak pemikir seperti Marx
memandang kemunculan agama sebagai
reaksi manusia atas keadaan masyarakat yang ‘rusak’.
Jon Elstern menyatakan bahwa
kenyataan masyarakat yang terbagi dalam kelas-kelas sosial mendorong sekelompok
orang dari kelas yang tertindas untuk melarikan diri dari keadaan struktural
masyarakat yang represif dan kemudian melarikan impian dan harapannya kepada agama. Agama adalah
“…usaha manusia untuk menemukan makna dan arti kehidupan, di tengah derita yang
menimpa wujud kasadnya.” Keterkaitan yang demikian erat
antara agama dan masyarakat ini berdampak pada pemanfaatan fungsi
kolektif agama untuk menggerakkan masyarakat demi perubahan
sosial atau juga demi tujuan tertentu yang entah menguntungkan atau
merugikan masyarakat itu sendiri.[8]
Untuk beberapa kasus di Indonesia, semisal keberadaan agama Islam
dengan kecenderungan dan intensitas perubahannya, dapat ditelaah melalui
pengamatan yang serius, baik melalui umatnya maupun kiprah
institusi-institusinya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Selintas terkesan kegairahan menghayati agama meningkat,
terutama di kalangan masyarakat perkotaan yang nota-bene terdidik. Atau paling tidak pendidikannnya relatif sudah mapan. Kenyataan
ini tidak memberikan jaminan dan mungkin masih diragukan, apakah ini
mencerminkan bertumbuhnya kekuatan agama (Islam) atau sebaliknya? Sebab
hal ini berbarengan dengan indikasi krisis kepercayaan sebagian umat Islam
terhadap lembaga-lembaga politik (parpol) yang bernuansa agama (Islam)
dan adanya “tekanan-tekanan” terhadap para penganutnya.
Dari kenyataan demikian, nampak
adanya – dapat disebut “ideologi” — yang dapat menyaingi
keberadaan agama (Islam). Indikasi ini lebih diperkuat dengan cara
menghayati agama, di mana penghayatan dirasakan cukup apabila sudah
melaksanakan kewajiban pribadinya dalam beribadah. Sedangkan tanggung jawab
sosialnya kurang mendapat perhatian. Padahal semestinya
ajaran agama bukan sekedar ibadah individual kepada Tuhan akan tetapi
kewajiban kerja kemanusiaan atau amal shaleh dalam agama (Islam)
lebih ditekankan.
Merujuk pada perspektif di atas, memang perubahan sosial di
Indonesia sampai sekarang pun seiring dengan ritme perjalanan sejarahnya, yakni
meliputi bidang agama, sosial, budaya, politik, ekonomi, dan berbagai
bidang kehidupan yang lain. Perwujudan
yang kongkrit dari perubahan itu, adalah berupa upaya pembangunan yang
terencana, termasuk di dalamnya sumber daya manusia. Tetapi dalam
implementasinya, proses pembangunan tidak jarang menimbulkan disorientasi,
seperti alienasi (keterasingan dan kerenggangan) dan dehumanisasi
(“penjungkirbalikan” nilai-nilai kemanusiaan) bahkan konflik horisontal pun
yang tak kunjung selesai.
Hal ini sejalan dengan pandangan
Faisal Ismail[9]
bahwa alienasi tersebut menyangkut hubungan manusia dengan Tuhan, manusia
dengan manusia dan manusia dengan alam sekitarnya. Semua itu, akibat dari pola
pembangunan yang lebih memprioritaskan aspek fisik atau kebendaan semata.
Dehumanisasi semakin marak dari proses pembangunan yang mementingkan
praktis-pragmatis di atas nilai-nilai kemanusiaan. Manusia tidak lebih dari
obyek pembangunan ketimbang subyek pembangunan.
Kenyataan ini, pada gilirannya
dapat menciptakan semangat penolakan dan perlawanan dari pihak yang merasa
dimarginalkan. Teori sosiologi mendeskripsikan bahwa semakin kuatnya tekanan
tehadap keberadaan kelompok tertentu, maka akan semakin mempercepat munculnya
semangat militansi untuk mempertahankan eksistensinya. Begitu halnya di
Indonesia, semakin represif para penguasa (semisal di era rezim Orba) membatasi
aktivitas umat Islam, yang pada gilirannya semakin tumbuh subur munculnya
aliran-aliran yang bernuansa radikalisme. Perubahan yang dihendaki oleh
kelompok radikal keagamaan, biasanya cenderung revolusioner dan mendasar.
Mereka beranggapan, bahwa dengan merubah secara mendasar seluruh aspek
kehidupan manusia dan sekaligus melawan dari segala bentuk penindasan dan
ketidakadilan, adalah sesuatu perwujudan kewajiban religius yang harus dilaksanakan.
2. Agama dan Perubahan
Pada hakikatnya
seluruh agama menghendaki adanya perubahan dalam setiap kehidupan
manusia. “Agama” dan “Perubahan” merupakan dua entitas yang seperti berdiri
masing-masing. Namun, belum tentu setiap dua entitas atau lebih, adalah sesuatu
yang berbeda atau bahkan berlawanan. Kemungkian saja dua entitas itu saling
melengkapi (complementary), dan boleh jadi saling mensifati satu sama lain.
Bisa juga, “agama” dan “perubahan” dipahami sebagai hal yang overlapping.
Artinya, “perubahan” dalam pandangan sebagian kalangan, justru dianggap sebagai
inti ajaran agama. Sebagian pengiat sosiologi dan sosiologi agama,
seperti Ibnu Khaldun, Max Weber, Emile Durkheim, Peter L.Berger, Ali Syariati,
Robert N.Bellah, dan yang lainnya menyiratkan pandangannya tentang hubungan
antara agama dan perubahan sosial.
Makna “perubahan” kemudian dirumuskan oleh agama setidaknya Islam,
sebagai keharusan universal-meminjam istilah Islam sunnnahtullah agar dapat
merubah dari kebodohan, kemiskinan, keterbelakangan, ketertindasan dan dari
berbagai macam yang bersifat dehumanisasi menuju terwujudnya masyarakat/umat
yang berprikemanusian dan berperadaban. Paling
tidak, agama mengajarkan nilai-nilai seperti itu, selain doktrin-doktrin
yang bersifat ritual. Sebab, dapat dibayangkan apabila
kehadiran agama di tengah-tengah hingar-bingarnya akselerasi
kehidupan manusia tidak dapat menawarkan semangat perubahan, maka
eksistensi agama akan menjadi pudar. Dengan kata lain, kalau sudah
demikian, tidak mustahil agama akan ditinggalkan oleh umatnya dan
boleh jadi belakangan menjadi “gulung tikar” karena dianggap sudah tidak up to
date.
Oleh karena itu, diperlukan
pemahaman diskursus “agama” di satu sisi, dan “perubahan” di sisi lain sebagai
bagian satu entitas yang tak dapat dipisahkan sebab yang
satu mensifati yang lain. “Perubahan” berfungsi sebagai sifat “kecenderungan”,
“titik tekan”, atau “melingkupi” keberadaan agama.
Ilustrasi ini dapat diambil contoh dari berbagai peristiwa di belahan dunia
tentang perubahan sosial yang diakibatkan ekses dari agama,
seperti, gerakan Protestan Lutheranian, revolusi Islam Iran, atau kasus bom
Bali di Indonesia.
Identifikasi di atas tidak hanya
di fokuskan pada perubahan yang berorientasi progress (arah kemajuan) semata,
tetapi ke arah regress (kemunduran) pun menarik untuk dijadikan contoh. Memang
tidak selamanya perubahan yang diakibatkan sepak terjang agama dapat
berdampak kemajuan peradaban bagi manusia. Tidak sedikit perubahan yang
mengarah pada kemunduran (regress) sebuah peradaban bangsa tertentu — yakni
seperti terjadinya perang Salib di masa lalu (antara Islam dan Kristen) atau
konflik-konflik yang mengatasnamakan agama.
Sedangkan perubahan yang mengarah
pada kemajuan (progress) peradaban manusia, posisi agama pun
memberikan kontribusi yang sangat besar. Dengan agama, manusia dapat
menebarkan perdamaian dan cinta kasih di antara sesama, optimis dalam menatap
masa depan, menciptakan alat-alat teknologi untuk peningkatan kesejahteraan,
menegakkan keadilan, sekaligus pemihakan terhadap golongan lemah. Tanpa itu,
dapat dipastikan semakin lama sesuai dengan tuntutan
zaman, agama akan ditinggalkan oleh pemeluknya dan pada akhirnya
“gulung tikar” seperti yang di alami oleh agama–agama Mesir kuno. Meskipun
acap kali tidak mudah untuk mensosialisasikan agama sebagai bagian
dari spirit proses perubahan sosial.[10]
D.
Agama Dan Kebudayaan
1.
Pengertian Kebudayaan
Menurut Koentjara
Ningrat ialah berasal dari bahasa Sansekerta yaitu buddhayah, yang
merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan
sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Dalam bahasa
Inggris, kebudayaan disebut culture, yang berasal dari kata
Latin Colere, yaitu mengolah atau mengerjakan.[11]
Ditinjau dari sudut
Bahasa Indonesia, kebudayaan berasal dari bahasa Sansakerta “Buddhayah”, yaitu
bentuk jamak dari buddhi yang berarti budi atau akal. Pendapat lain
megatakan juga bahwa kata budaya adalah sebagai suatu perkembangan dari kata
majemuk budidaya, yang mempunyai arti “daya” dan “budi”. Karena itu mereka
membedakan antara budaya dan kebudayaan. Sedangkan budaya sendiri adalah daya
dari budi yang berupa cipta, karsa dan rasa; dan kebudayaan adalah hasil dari
cipta, karsa dan rasa tersebut.[12]
2. Hubungan Antara Agama dan
Kebudayaan
Seperti halnya kebudayaan, agama sangat menekankan makna dan
signifikasi sebuah tindakan. Karena itu sesungguhnya terdapat hubungan yang
sangat erat antara kebudayaan dan agama bahkan sulit dipahami kalau
perkembangan sebuah kebudayaan dilepaskan dari pengaruh agama. Sesunguhnya
tidak ada satupun kebudayaan yang seluruhnya didasarkan pada agama. Untuk
sebagian kebudayaan juga terus ditantang oleh ilmu pengetahuan, moralitas, serta
pemikiran kritis.
Meskipun tidak dapat disamakan, agama dan kebudayaan dapat saling
mempengaruhi. Agama mempengaruhi sistem kepercayaan serta praktik-praktik
kehidupan. Sebaliknya kebudayaan pun dapat mempengaruhi agama, khususnya dalam
hal bagaimana agama diinterprestasikan atau bagaimana ritual-ritualnya harus
dipraktikkan. Tidak ada agama yang bebas budaya dan apa yang disebut Sang
–Illahi tidak akan mendapatkan makna manusiawi yang tegas tanpa mediasi budaya,
dalam masyarakat Indonesia saling mempengarui antara agama dan kebudayaan
sangat terasa. Praktik inkulturasi dalam upacara keagamaan hampir umum dalam
semua agama.
Agama yang digerakkan
budaya timbul dari proses interaksi manusia dengan kitab yang diyakini sebagai
hasil daya kreatif pemeluk suatu agama tapi dikondisikan oleh konteks hidup
pelakunya, yaitu faktor geografis, budaya dan beberapa kondisi yang objektif. Budaya agama
tersebut akan terus tumbuh dan berkembang sejalan dengan perkembangan
kesejarahan dalam kondisi objektif dari kehidupan penganutnya.
Hubungan kebudayaan dan agama tidak saling merusak, keduanya justru
saling mendukung dan mempengaruhi. Ada paradigma
yang mengatakan bahwa ”Manusia yang
beragama pasti berbudaya tetapi manusia
yang berbudaya belum tentu beragama”.
Jadi agama dan kebudayaan
sebenarnya tidak pernah bertentangan karena kebudayaan bukanlah sesuatu yang
mati, tapi berkembang terus mengikuti perkembangan jaman. Demikian pula
agama, selalu bisa berkembang di berbagai kebudayaan dan peradaban dunia.[13]
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1.
Agama memiliki
peranan yang penting dalam kehidupan. Ia berfungsi
sebagai penyelaras kehidupan di muka bumi ini. Agama dikatakan
sebagai sebab perubahan, tentunya menjadi perubahan ke arah yang lebih baik.
2.
Ada lima aspek yang menjadi ciri yang terkandung dalam
Agama. Pertama aspek asal-usul, yaitu yang berasal dari Tuhan seperti
Agama samawi, dan ada yang berasal dari hasil pemikiran manusia seperti Agama
ardi atau Agama kebudayaan. Kedua aspek tujuan, yaitu untuk memberi
tuntunan hidup agar bahagia di dunia dan di akhirat. Ketiga aspek
ruang lingkupnya yaitu keyakinan akan adanya kekuatan gaib, keyakinan manusian
bahwa kesejahteraan di dinia ini dan kehidupan di akhirat tergantung pada
adanya hubungan yang baik dengan dengan kekuatan gaib, respon yang bersifat
emosional dan adanya yang dianggap suci, keempat aspek
pemasyarakatanya, yaitu disampaikan secara tutun-temurun dan diwariskan dari
generasi ke generasi berikutnya, dan kelima aspek sumbernya, yaitu
kitab suci.
3.
Fenomena perubahan
sosial dewasa
ini menggambarkan dan menjelaskan kepada kita bahwa agama menjadi
salah satu faktor perubahan sosial itu sendiri. Agama sebagai hasil
kebudayaan, yang ada, hidup dan berkembang dalam masyarakat memiliki peranan
penting dalam perubahan sosial tersebut. Perubahan
sosial yang terjadi dalam masyarakat merupakan hal yang tidak bisa
terlepas dari keterikatannya dengan adanya agama.
4.
Seperti halnya kebudayaan, agama
sangat menekankan makna dan signifikasi sebuah tindakan. Karena itu
sesungguhnya terdapat hubungan yang sangat erat antara kebudayaan dan agama
bahkan sulit dipahami kalau perkembangan sebuah kebudayaan dilepaskan dari
pengaruh agama.
DAFTAR PUSTAKA
Aflatun Muchtar, Tunduk Kepada Allah Fungsi
Dan Peran Agama Dalam Kehidupan Manusia, Khazanah Baru, Jakarta: 2001
Al-Qur’an dan
Terjemah, AL ‘Aliyy, Diponegoro, Bandung : 2005
elearning.gunadarma.ac.id/…sosial…/bab6_lapisanlapisan_dalam_masyarakat_(stratifikas_sosial).pdf –
Harun
Nasution, Islam dilihat dari beberapa aspeknya, UI Press, Jakarta: 1979
Ibrahim Gultom, Agama Mlim Di Tanah Batak,
PT.Bumi Aksara, Jakarta : 2010
Prasetya Tri
Joko, Drs. Ilmu Budaya Dasar, Jakarta : PT
Rineka Cipta, 1998
[1] Aflatun Muchtar, Tunduk Kepada Allah Fungsi Dan Peran
Agama Dalam Kehidupan Manusia, Khazanah Baru, Jakarta 2001, h.22
[7]elearning.gunadarma.ac.id/…sosial…/bab6_lapisanlapisan_dalam_masyarakat_(stratifikas_sosial).pdf –
[10]elearning.gunadarma.ac.id/…sosial…/bab6_lapisanlapisan_dalam_masyarakat_(stratifikas_sosial).pdf –
[13]
Abu Ahmadi, Noor Salimi, Dasar-Dasar
Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), Hal. 6.
No comments:
Post a Comment