1

loading...

Thursday, November 8, 2018

MAKALAH STUDI ISLAM

MAKALAH STUDI ISLAM : AGAMA (PENGERTIAN, CIRI, HUBUNGAN AGAMA DENGAN PERUBAHAN SOSIAL DAN KEBUDAYAAN)
BAB I
PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG
Agama merupakan suatu aturan atau system yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan YME serta tata kaidah yang bersangkutan dengan pergaulan manusia dan manusia serta linhkungannya, dengan agama hidup akan menjadi terarah dan pasti. Tanpa agama hidup tak akan seperti yang kita harapkan, manusia menjalani hidup dengan sewenang-wenang karena tidak adanya aturan atau agama yang menjadi pandangan hidup. Setiap manusia wajib memeluk agama dalam menjalankan kehidupannya. Sebagaimana yang kita ketahui khususnya di Negara kita sendiri yaitu Indonesia, memiliki beberapa agama yaitu, Islam, Kristen, hindu, budha, dan katolik. Dalam meyakini suatu agama tentu kita telah mengetahui dasar-dasar agama tersebut, sehingga dalam menjalankannya, kita terasa ikhlas dan tanpa beban. Seperti kita ketahui, masing masing pemeluk agama menganggap bahwa agama yang di anut nya adalah yang paling benar. Manusia memiliki kemampuan terbatas, kesadaran dan pengakuan akan keterbatasannnya menjadikan keyakinan bahwa ada sesuatu yang luar biasa diluar dirinya. Sesuatu yang luar biasa itu tentu berasal dari sumber yang luar biasa juga. Dan sumber yang luar biasa itu ada bermacam-macam sesuai dengan bahasa manusianya sendiri.
Keyakinan ini membawa manusia untuk mencari kedekatan diri kepada Tuhan dengan cara menghambakan diri, yaitu: menerima segala kepastian yang menimpa diri dan sekitarnya dan yakin berasal dari Tuhan menaati segenap ketetapan, aturan, hukum dll yang diyakini berasal dari Tuhan. Dengan demikian diperoleh keterangan yang jelas, bahwa agama itu penghambaan manusia kepada Tuhannya.

B.     RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang tersebut maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan yang akan dibahas dalam makalah ini sebagai berikut :
1.      Apa yang dimaksud dengan agama?
2.      Apa saja ciri-ciri agama?
3.      Bagaimana hubungan agama dan perubahan sosial?
4.      Bagaiamana hubungan agama dan kebudayaan?

C.    TUJUAN PENULISAN
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah Studi Islam dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan yang telah penulis rumuskan diatas, agar kiranya kelak dapat bersama-sama memperluas khazanah ilmu pengetahuan kita semua khususnya tentang perkembangan pemikiran tentang agama.

BAB II
PEMBAHASAN
A.    PENGERTIAN AGAMA
Secara sederhana, pengertian Agama dapat dilihat dari sudut kebahasaan (etimologi) dan sudut istilah (terminologi). Pengertian Agama dari sudut kebahasaan akan sangat mudah diartikan daripada pengertian dari sudut istilah, karena pengertian dari sudut istilah ini sudah mengandung muatan subyektivitas dari orang yang mengartikannya. Atas dasar ini, maka tidak mengherankan jika muncul beberapa ahli yang tidak tertarik mendefenisikan Agama.
Secara etimologis kata agama berasal dari bahasa sanskerta. Kata ini tersusun dari kata A dan Gama. A yang berarti tidak dan sedangkan Gama berarti berjalan atau berubah. Jadi agama berarti tidak berubah. Demikian juga menurut H. Muh. Said. sejalan pendapat itu Harun Nasution juga mengemukakan, bahwa agama berasal dari bahasa Sanskrit. Menurutnya, satu pendapay mengatakan bahwa kata itu tersusun dari dua kata yaitu A = tidak, dan Gama =  Pergi. Dengan demikian agama berarti tidak pergi atau tetap di tempatnya.[1]
K.H. Taib Abdul Muin, juga memeberi pendapat bahwa kata agama berasal dari bahasa sanskerta, yang mana A berarti tidak, dan Gama berarti kocar kacir. Jadi agama berarti tidak kocar kacir, dalam artian agama itu teratur.
Sementara itu K.H. Zainal Arifin Abbas  dan Sidi Gazalba, berpendapat bahwa istilah agama dan religi  serta Al Din itu berbeda-beda antara satu dan lainnya. Masing-masing mempunyai pengertian sendiri. Lebih jauh lagi, Gazalba menjelaskan bahwa Al-din lebih luas pengertian nya dari pada pengertian agama dan religi. Agama dan religi hanya berisi ajaran yang menyangkut aspek hubungan antara manusia dan tuhan saja. Sedangkan al-din berisi dan memuat ajaran yang mencakup aspek hubungan antara manusia dan tuhan dan hubungan sesama manusia.[2]
Dari beberapa definisi tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa intisari yang terkandung dari istilah-istilah diatas adalah ikatan. Agama memang mengandung arti ikatan yang harus dipegang dan dipatuhi manusia. Ikatan ini mengandung pengaruh besar sekali terhadap kehidupan manusia sehari-hari. Ikatan ini berasal dari sesuatu kekuatan yang lebih tinggi dari manusia. Suatu kekuatan gaib yang tidak dapat ditangkap oleh panca indra.
Sedangkan secara istilah pengertian agama, tidak ada pengertian agama itu yang benar benar memuaskan, oleh karena keragama agama itu sendiri. Sehubungan dengan itu pengertian yang akan dibentangakan berikut ini adalah beberapa pendapat dari pakar yang sudah barang tentu menurut sudut pandang mereka masing-masing. Beberapa defenisi pengertian agama yang dimaksud adalah sebagai berikut:
Frazer[3] berpendapat bahwa agama adalah sebagai perdamain atu tindakan mendamaikan dari kuasa-kuasa atas kepada manusia yang mana dipercayai mengatur dan mengontrol alam raya dan kehidupan manusia.
Kemudian Malfijt[4] mengemukakan bahwa agama adalah system interaksi kepercayaan dan perbuatan yang didasarkan atas adat-istiadat (kebudayaan) suatu masarakat yang secara bersama-sama percaya kepada kuasa supernatural yang suci.
Sementara itu Taib Thahir Abdul Mu’in mengemukakan pengertian agama sebagai suatu peraturan Tuhan yang mendorong jiwa seseorang yang mempunyai akal untuk dengan kehendak dan pilihannya sendidri mengikuti peraturan tersebut, guna mencapai kebahagiaan hidup didunia dan di akhirat.
Karena terlalu banyaknya pengertian tentang Agama yang dikemukakan oleh para ahli, maka Agama dapat diberi defenisi debagai berikut:
1.      Pengakuan terhadap adanya hubungan manusia dengan kekuatan gaib yang harus dipatuhi,
2.      Pengakuan terhadap adanya kekuatan gaib yang menguasai manusia,
3.      Mengikat diri kepada suatu bentuk hidup yang mengandung pengakuan pada suatu sumber yang berada diluar diri manusia yang mempengaruhi perbuatan-perbuatan manusia,
4.      Kepercayaan pada suatu kekuatan gaib yang menimbulkan cara hidup tertentu,
5.      Suatu sistem tingkah laku yang berasal dari kekuatan gaib,
6.      Pengakuan terhadap adanya kewajiban-kewajiban yang diyakini sumber pada suatu kekuatan gaib,
7.      Pemujaan terhadap kekuatan yang gaib yang timbul dari perasaan yang lemah dan perasaan takut terhadap kekuatan misterius yang terdapat dari dalam alam sekitar manusia,
8.      Agama yang diwahyukan Tuhan kepada manusia melalui seorang rosul.[5]

B.     CIRI-CIRI AGAMA
Dari beberapa defenisi agama tersebut diatas, maka dapat diambil ciri-ciri/ karakteristik dalam Agama sebagai berikut:
1.      Unsur kepercayaan terhadap kekuatan gaib. Kekuatan gaib tersebut dapat mengambil bentuk yang bertacam-macam. Dalam Agama primitif kekuatan gaib tersebut dapat mengambil bentuk benda-benda yang memiliki kekuatan misterius, ruh atau jiwa yang terdapat dalam benda-benda yang memiliki kekuatan misterius (dewa). Kepercayaan akan adanya Tuhan adalah dasar yang utama sekali dalam paham Agama. Tiap-tiap Agama kecuali Budaisme yang asli dan beberapa Agama yang lain berdasar atas kepercayaan pada suatu kekuatan gaib, dan cara tiap-tiap hidup manusia yang percaya pada Agama di dunia ini amat rapat hubunganya dengan kepercayaan tersebut,
2.      Unsur kepercayaan bahwa kebahagiaan dan kesejahteraan hidup di dunia ini dan di akhirat nanti tergantung pada adanya hubungan yang baik dengan kekuatan gaib yang dimaksud. Dengan hilangnya hubungan yang baik itu kesejahteraan dan kebahagiaan yang dicari akan hilang pula. Hubungn baik ini selanjutnya diwujudkan dalam bentuk peribadatan, selalu mengingatnya, melaksanakan segala perintahnya dan menjaihi larangannya.
3.      Unsur respon yang bersifat emosional dari manusia. Respon tersebut dapat mengambil rasa takut, seperti yang terdapat pada Agama primitif, atau perasaan cinta seperti yang terdapat pada Agama-Agama monoteisme. Selanjutnya respon tersebut dapat pula mengambil bentuk dan cara hidup tertentu bagi masyarakat yang bersangkutan.
4.      Unsur paham adanya yang kudus (sacred) dan suci, dalam bentuk kekuatan gaib, dalam bentuk kitab suci yang mengajarkan ajaran Agama yang dersangkutan, tempat-tempat tertuntu, peralatan untuk menyelenggarakan ibadah dan sebagainya.[6]
Berdasarkan uraian diatas dapat kita ambil kesimpulan bahwa Agama adalah ajaran yang berasal dari Tuhan atau hasil renungan manusia yang terkandung dalam kitab suci yang turun temurun diwariskan oleh suatu generasi ke generasi dengan tujuan untuk memberi tuntunan dan pedoman hidup bagi manusia agar mencapai kebahagiaan di dunia dan di akhirat, yang didalamnya mencakup unsur kepercayaan dan kekuatan gaib yang selanjutnya menimbulkan respon emosional dan keyakinan bahwa kebahagiaan hidup tersebut tergantung pada adanya hubungan yang baik dengan kekuatan gaib tersebut.
Dari kesimpulan tersebut dapat dijumpai lima aspek yang menjadi ciri yang terkandung dalam Agama. Pertama aspek asal-usul, yaitu yang berasal dari Tuhan seperti Agama samawi, dan ada yang berasal dari hasil pemikiran manusia seperti Agama ardi atau Agama kebudayaan. Kedua aspek tujuan, yaitu untuk memberi tuntunan hidup agar bahagia di dunia dan di akhirat. Ketiga aspek ruang lingkupnya yaitu keyakinan akan adanya kekuatan gaib, keyakinan manusian bahwa kesejahteraan di dinia ini dan kehidupan di akhirat tergantung pada adanya hubungan yang baik dengan dengan kekuatan gaib, respon yang bersifat emosional dan adanya yang dianggap suci, keempat aspek pemasyarakatanya, yaitu disampaikan secara tutun-temurun dan diwariskan dari generasi ke generasi berikutnya, dan kelima aspek sumbernya, yaitu kitab suci.

C.    AGAMA DAN PERUBAHAN SOSIAL
Agama adalah peraturan Ilahi yang mengantarkan orang-orang yang berakal sehat, atas kehendak mereka sendiri, menuju kebahagian dunia dan akhirat. Sehubungan dengan pengertian diatas, tampaknya Al-Qur’an sendiri telah memuat pernyataan tentang hal ini jauh sebelum pengertian tadi dirumuskan. Allah dalam berbagai ayat al-Qur’an telah menegaskan bahwa agama diturunkan-Nya kepada manusia melalui para nabi dan rasul adalah untuk kebahagiaan ummat manusia di dunia dan diakhirat.
Kenyataanya bahwa manusia memiliki fitrah keagamaan tersebut, yakni agama adalah kebutuhan fitrah manusia, fitrah keagamaan inilah yang melatarbelakangi perlunya manusia pada agama. Oleh karenanya ketika datang wahyu Tuhan yang menyeru manusia agar beragama, maka seruan tersebut memang amat sejalan dengan fitrahnya itu.

فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا فِطْرَةَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لا يَعْلَمُون َ
Artinya : “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”
Hal ini juga dijelaskan dalam Hadits Hadits shohih bukhari no. 1296
حَدَّثَنَا آدَمُ حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي ذِئْبٍ عَنْ الزُّهْرِيِّ عَنْ أَبِي سَلَمَةَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كُلُّ مَوْلُودٍ يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ كَمَثَلِ الْبَهِيمَةِ تُنْتَجُ الْبَهِيمَةَ هَلْ تَرَى فِيهَا جَدْعَاءَ
Telah menceritakan kepada kami Adam telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Dza'bi dari Az Zuhriy dari Abu Salamah bin 'Abdurrahman dari Abu Hurairah radliallahu 'anhu berkata; Nabi Shallallahu'alaihiwasallam bersabda: "Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fithrah. Kemudian kedua orang tuanyalah yang akan menjadikan anak itu menjadi Yahudi, Nashrani atau Majusi sebagaimana binatang ternak yang melahirkan binatang ternak dengan sempurna. Apakah kalian melihat ada cacat padanya?"

Sejalan dengan hal tersebut fenomena perubahan sosial dewasa ini menggambarkan dan menjelaskan kepada kita bahwa agama menjadi salah satu faktor perubahan sosial itu sendiri. Agama sebagai hasil kebudayaan, yang ada, hidup dan berkembang dalam masyarakat memiliki peranan penting dalam perubahan sosial tersebut. Perubahan sosial yang terjadi dalam masyarakat merupakan hal yang tidak bisa terlepas dari keterikatannya dengan adanya agama. Dalam hal ini, menggagas pemikiran tentang hubungan antara agama dan perubahan sosial bertitik-tolak dari pengandaian bahwa perubahan sosial merupakan suatu fakta yang sedang berlangsung, yang diakibatkan oleh kekuatan-kekuatan yang sebagian besar berada diluar kontrol kita, bahwa tidak ada kemungkinan sedikitpun untuk menghentikannya. Di sini, disposisi agama, pada satu sisi dapat menjadi penentang perubahan dan pada sisi lain dapat menjadi pendorong adanya perubahan sosial. Perubahan sosial dalam masyarakat atau komunitas manusia tertentu dapat berakibat atau berdampak positif maupun negatif.
Pelapisan sosial adalah tidak adanya keseimbangan dalam pembagian hak & kewajiban, kewajiban dan tanggung jawab nilai sosial & pengaruhnya di antara anggota masyarakat. Dan agama muncul untuk menghapuskan ketidakseimbangan yang terjadi, serta pengaruhnya terhadap prilaku ekonomi.
1.      Agama Sebagai Kausal variabel
Agama sebagai kausal variable secara sederhana mengandung pengertian agama sebagai sebab musabab terjadinya suatu perubahan dalam masyarakat. Secara sosiologis munculnya semangat perubahan sosial di Indonesia, biasanya lebih difokuskan pada dinamika sosial yang berkembang, meskipun pada gilirannya hampir semua aspek dapat pula menjadi pemicu arah perubahan itu sendiri. Bahkan sebagaian sosiolog sependapat, bahwa perubahan di semua sektor merupakan keharusan yang tidak dapat ditawar dan ditunda-tunda, kendatipun dalam proses perjalanannya diketemukan kendala-kendala yang tidak ringan. Sebut saja, mulai dari perubahan dalam bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, keamanan, agama dan berbagai macam yang menyangkut hajat hidup rakyat Indonesia
Ajaran agama memiliki pengaruh yang besar dalam penyatuan persepsi kehidupan masyarakat tentang semua harapan hidup[7]. Kehadiran agama pada satu sisi, secara fungsional agama mempunyai watak sebagai “perekat sosial”, memupuk solidaritas sosial, toleran, dan seperangkat peranan yang memelihara kestabilan sosial (harmoni). Di sisi lain, agama juga mempunyai kecenderungan atomisasi (memecah-belah), disintegrasi, dan intoleransi. Secara teoritis-sosiologis, hal ini dapat juga difahami dari dua bentuk antagonisme dalam agama. Pertama, ketegangan atau konflik yang berkembang di kalangan umat suatu agama (intern). Kedua, ketegangan atau konflik yang terjadi antar umat beragama (ekstern).
Sosiolog seperti Robertson Smith dan Emile Durkheim memandang kemunculan agama secara positif sejalan dengan perkembangan masyarakat. Agama bagi mereka bukanlah persoalan individu melainkan representasi kolektif dari masyarakat. Mereka menekankan bahwa agama pertama-tama adalah aksi bersama dari masyarakat dalam bentuk ritual-ritual, upacara keagamaan, larangan-larangan praktis dari pada keimanan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa masyarakat secara positif berperan dalam terbentuknya atau munculnya agama.
Di lain pihak pemikir seperti Marx memandang kemunculan  agama sebagai reaksi manusia atas keadaan masyarakat yang ‘rusak’.
Jon Elstern menyatakan bahwa kenyataan masyarakat yang terbagi dalam kelas-kelas sosial mendorong sekelompok orang dari kelas yang tertindas untuk melarikan diri dari keadaan struktural masyarakat yang represif dan kemudian melarikan impian dan harapannya kepada agama. Agama adalah “…usaha manusia untuk menemukan makna dan arti kehidupan, di tengah derita yang menimpa wujud kasadnya.” Keterkaitan yang demikian erat antara agama dan masyarakat ini berdampak pada pemanfaatan fungsi kolektif agama untuk menggerakkan masyarakat demi perubahan sosial atau juga demi tujuan tertentu yang entah menguntungkan atau merugikan masyarakat itu sendiri.[8]
Untuk beberapa kasus di Indonesia, semisal keberadaan  agama Islam dengan kecenderungan dan intensitas perubahannya, dapat ditelaah melalui pengamatan yang serius, baik melalui umatnya maupun kiprah institusi-institusinya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Selintas terkesan kegairahan menghayati agama  meningkat, terutama di kalangan masyarakat perkotaan yang nota-bene terdidik. Atau paling  tidak  pendidikannnya relatif sudah mapan. Kenyataan ini tidak memberikan jaminan dan mungkin masih diragukan, apakah ini mencerminkan bertumbuhnya kekuatan agama (Islam) atau sebaliknya? Sebab hal ini berbarengan dengan indikasi krisis kepercayaan sebagian umat Islam terhadap lembaga-lembaga politik (parpol) yang bernuansa agama (Islam) dan adanya “tekanan-tekanan” terhadap para penganutnya.
Dari kenyataan demikian, nampak adanya – dapat disebut “ideologi” — yang dapat menyaingi keberadaan agama (Islam). Indikasi ini lebih diperkuat dengan cara menghayati agama, di mana penghayatan dirasakan cukup apabila sudah melaksanakan kewajiban pribadinya dalam beribadah. Sedangkan tanggung jawab sosialnya kurang mendapat perhatian. Padahal semestinya ajaran agama bukan sekedar ibadah individual kepada Tuhan akan tetapi kewajiban kerja kemanusiaan atau amal shaleh dalam agama (Islam) lebih ditekankan.
Merujuk pada perspektif di atas, memang perubahan sosial di Indonesia sampai sekarang pun seiring dengan ritme perjalanan sejarahnya, yakni meliputi bidang agama, sosial, budaya, politik, ekonomi, dan berbagai bidang kehidupan yang lain. Perwujudan yang kongkrit dari perubahan itu, adalah berupa upaya pembangunan yang terencana, termasuk di dalamnya sumber daya manusia. Tetapi dalam implementasinya, proses pembangunan tidak jarang menimbulkan disorientasi, seperti alienasi (keterasingan dan kerenggangan) dan dehumanisasi (“penjungkirbalikan” nilai-nilai kemanusiaan) bahkan konflik horisontal pun yang tak kunjung selesai.
Hal ini sejalan dengan pandangan Faisal Ismail[9] bahwa alienasi tersebut menyangkut hubungan manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia dan manusia dengan alam sekitarnya. Semua itu, akibat dari pola pembangunan yang lebih memprioritaskan aspek fisik atau kebendaan semata. Dehumanisasi semakin marak dari proses pembangunan yang mementingkan praktis-pragmatis di atas nilai-nilai kemanusiaan. Manusia tidak lebih dari obyek pembangunan ketimbang subyek pembangunan.
Kenyataan ini, pada gilirannya dapat menciptakan semangat penolakan dan perlawanan dari pihak yang merasa dimarginalkan. Teori sosiologi mendeskripsikan bahwa semakin kuatnya tekanan tehadap keberadaan kelompok tertentu, maka akan semakin mempercepat munculnya semangat militansi untuk mempertahankan eksistensinya. Begitu halnya di Indonesia, semakin represif para penguasa (semisal di era rezim Orba) membatasi aktivitas umat Islam, yang pada gilirannya semakin tumbuh subur munculnya aliran-aliran yang bernuansa radikalisme. Perubahan yang dihendaki oleh kelompok radikal keagamaan, biasanya cenderung revolusioner dan mendasar. Mereka beranggapan, bahwa dengan merubah secara mendasar seluruh aspek kehidupan manusia dan sekaligus melawan dari segala bentuk penindasan dan ketidakadilan, adalah sesuatu perwujudan kewajiban religius yang harus dilaksanakan.
2.      Agama dan Perubahan
Pada hakikatnya seluruh agama menghendaki adanya perubahan dalam setiap kehidupan manusia. “Agama” dan “Perubahan” merupakan dua entitas yang seperti berdiri masing-masing. Namun, belum tentu setiap dua entitas atau lebih, adalah sesuatu yang berbeda atau bahkan berlawanan. Kemungkian saja dua entitas itu saling melengkapi (complementary), dan boleh jadi saling mensifati satu sama lain. Bisa juga, “agama” dan “perubahan” dipahami sebagai hal yang overlapping. Artinya, “perubahan” dalam pandangan sebagian kalangan, justru dianggap sebagai inti ajaran agama. Sebagian pengiat sosiologi dan sosiologi agama, seperti Ibnu Khaldun, Max Weber, Emile Durkheim, Peter L.Berger, Ali Syariati, Robert N.Bellah, dan yang lainnya menyiratkan pandangannya tentang hubungan antara agama dan perubahan sosial.
Makna “perubahan” kemudian dirumuskan oleh agama setidaknya Islam, sebagai keharusan universal-meminjam istilah Islam sunnnahtullah agar dapat merubah dari kebodohan, kemiskinan, keterbelakangan, ketertindasan dan dari berbagai macam yang bersifat dehumanisasi menuju terwujudnya masyarakat/umat yang berprikemanusian dan berperadaban. Paling tidak, agama mengajarkan nilai-nilai seperti itu, selain doktrin-doktrin yang bersifat ritual. Sebab, dapat dibayangkan apabila kehadiran agama di tengah-tengah hingar-bingarnya akselerasi kehidupan manusia tidak dapat menawarkan semangat perubahan, maka eksistensi agama akan menjadi pudar. Dengan kata lain, kalau sudah demikian, tidak mustahil agama akan ditinggalkan oleh umatnya dan boleh jadi belakangan menjadi “gulung tikar” karena dianggap sudah tidak up to date.
Oleh karena itu, diperlukan pemahaman diskursus “agama” di satu sisi, dan “perubahan” di sisi lain sebagai bagian satu entitas yang tak dapat dipisahkan sebab yang satu mensifati yang lain. “Perubahan” berfungsi sebagai sifat “kecenderungan”, “titik tekan”, atau “melingkupi” keberadaan agama. Ilustrasi ini dapat diambil contoh dari berbagai peristiwa di belahan dunia tentang perubahan sosial yang diakibatkan ekses dari agama, seperti, gerakan Protestan Lutheranian, revolusi Islam Iran, atau kasus bom Bali di Indonesia.
Identifikasi di atas tidak hanya di fokuskan pada perubahan yang berorientasi progress (arah kemajuan) semata, tetapi ke arah regress (kemunduran) pun menarik untuk dijadikan contoh. Memang tidak selamanya perubahan yang diakibatkan sepak terjang agama dapat berdampak kemajuan peradaban bagi manusia. Tidak sedikit perubahan yang mengarah pada kemunduran (regress) sebuah peradaban bangsa tertentu — yakni seperti terjadinya perang Salib di masa lalu (antara Islam dan Kristen) atau konflik-konflik yang mengatasnamakan agama.
Sedangkan perubahan yang mengarah pada kemajuan (progress) peradaban manusia, posisi agama pun memberikan kontribusi yang sangat besar. Dengan agama, manusia dapat menebarkan perdamaian dan cinta kasih di antara sesama, optimis dalam menatap masa depan, menciptakan alat-alat teknologi untuk peningkatan kesejahteraan, menegakkan keadilan, sekaligus pemihakan terhadap golongan lemah. Tanpa itu, dapat dipastikan semakin lama sesuai dengan tuntutan zaman, agama akan ditinggalkan oleh pemeluknya dan pada akhirnya “gulung tikar” seperti yang di alami oleh agama–agama Mesir kuno. Meskipun acap kali tidak mudah untuk mensosialisasikan agama sebagai bagian dari spirit proses perubahan sosial.[10]

D.    Agama Dan Kebudayaan
1.      Pengertian Kebudayaan
Menurut Koentjara Ningrat ialah berasal dari bahasa Sansekerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Dalam bahasa Inggris, kebudayaan disebut culture, yang berasal dari kata Latin Colere, yaitu mengolah atau mengerjakan.[11]
Ditinjau dari sudut Bahasa Indonesia, kebudayaan berasal dari bahasa Sansakerta “Buddhayah”, yaitu bentuk jamak dari buddhi yang berarti budi atau akal. Pendapat lain megatakan juga bahwa kata budaya adalah sebagai suatu perkembangan dari kata majemuk budidaya, yang mempunyai arti “daya” dan “budi”. Karena itu mereka membedakan antara budaya dan kebudayaan. Sedangkan budaya sendiri adalah daya dari budi yang berupa cipta, karsa dan rasa; dan kebudayaan adalah hasil dari cipta, karsa dan rasa tersebut.[12]
2.      Hubungan Antara Agama dan Kebudayaan
Seperti halnya kebudayaan, agama sangat menekankan makna dan signifikasi sebuah tindakan. Karena itu sesungguhnya terdapat hubungan yang sangat erat antara kebudayaan dan agama bahkan sulit dipahami kalau perkembangan sebuah kebudayaan dilepaskan dari pengaruh agama. Sesunguhnya tidak ada satupun kebudayaan yang seluruhnya didasarkan pada agama. Untuk sebagian kebudayaan juga terus ditantang oleh ilmu pengetahuan, moralitas, serta pemikiran kritis.
Meskipun tidak dapat disamakan, agama dan kebudayaan dapat saling mempengaruhi. Agama mempengaruhi sistem kepercayaan serta praktik-praktik kehidupan. Sebaliknya kebudayaan pun dapat mempengaruhi agama, khususnya dalam hal bagaimana agama diinterprestasikan atau bagaimana ritual-ritualnya harus dipraktikkan. Tidak ada agama yang bebas budaya dan apa yang disebut Sang –Illahi tidak akan mendapatkan makna manusiawi yang tegas tanpa mediasi budaya, dalam masyarakat Indonesia saling mempengarui antara agama dan kebudayaan sangat terasa. Praktik inkulturasi dalam upacara keagamaan hampir umum dalam semua agama.
Agama yang digerakkan budaya timbul dari proses interaksi manusia dengan kitab yang diyakini sebagai hasil daya kreatif pemeluk suatu agama tapi dikondisikan oleh konteks hidup pelakunya, yaitu faktor geografis, budaya dan beberapa kondisi yang objektif. Budaya agama tersebut akan terus tumbuh dan berkembang sejalan dengan perkembangan kesejarahan dalam kondisi objektif dari kehidupan penganutnya.
Hubungan kebudayaan dan agama tidak saling merusak, keduanya justru saling mendukung dan mempengaruhi. Ada paradigma yang mengatakan bahwa ”Manusia yang beragama pasti berbudaya tetapi manusia yang berbudaya belum tentu beragama”.
Jadi agama dan kebudayaan sebenarnya tidak pernah bertentangan karena kebudayaan bukanlah sesuatu yang mati, tapi berkembang terus mengikuti perkembangan jaman. Demikian pula agama, selalu bisa berkembang di berbagai kebudayaan dan peradaban dunia.[13]

BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
1.      Agama memiliki peranan yang penting dalam kehidupan. Ia berfungsi sebagai penyelaras kehidupan di muka bumi ini. Agama dikatakan sebagai sebab perubahan, tentunya menjadi perubahan ke arah yang lebih baik.
2.      Ada lima aspek yang menjadi ciri yang terkandung dalam Agama. Pertama aspek asal-usul, yaitu yang berasal dari Tuhan seperti Agama samawi, dan ada yang berasal dari hasil pemikiran manusia seperti Agama ardi atau Agama kebudayaan. Kedua aspek tujuan, yaitu untuk memberi tuntunan hidup agar bahagia di dunia dan di akhirat. Ketiga aspek ruang lingkupnya yaitu keyakinan akan adanya kekuatan gaib, keyakinan manusian bahwa kesejahteraan di dinia ini dan kehidupan di akhirat tergantung pada adanya hubungan yang baik dengan dengan kekuatan gaib, respon yang bersifat emosional dan adanya yang dianggap suci, keempat aspek pemasyarakatanya, yaitu disampaikan secara tutun-temurun dan diwariskan dari generasi ke generasi berikutnya, dan kelima aspek sumbernya, yaitu kitab suci.
3.      Fenomena perubahan sosial dewasa ini menggambarkan dan menjelaskan kepada kita bahwa agama menjadi salah satu faktor perubahan sosial itu sendiri. Agama sebagai hasil kebudayaan, yang ada, hidup dan berkembang dalam masyarakat memiliki peranan penting dalam perubahan sosial tersebut. Perubahan sosial yang terjadi dalam masyarakat merupakan hal yang tidak bisa terlepas dari keterikatannya dengan adanya agama.
4.       Seperti halnya kebudayaan, agama sangat menekankan makna dan signifikasi sebuah tindakan. Karena itu sesungguhnya terdapat hubungan yang sangat erat antara kebudayaan dan agama bahkan sulit dipahami kalau perkembangan sebuah kebudayaan dilepaskan dari pengaruh agama.



DAFTAR PUSTAKA
Aflatun Muchtar, Tunduk Kepada Allah Fungsi Dan Peran Agama Dalam Kehidupan Manusia, Khazanah Baru, Jakarta: 2001
Al-Qur’an dan Terjemah, AL ‘Aliyy, Diponegoro, Bandung : 2005
elearning.gunadarma.ac.id/…sosial…/bab6_lapisanlapisan_dalam_masyarakat_(stratifikas_sosial).pdf –
Harun Nasution, Islam dilihat dari beberapa aspeknya, UI Press, Jakarta: 1979
Ibrahim Gultom, Agama Mlim Di Tanah Batak, PT.Bumi Aksara, Jakarta : 2010
Prasetya Tri Joko, Drs. Ilmu Budaya Dasar, Jakarta : PT Rineka Cipta, 1998


 



[1] Aflatun Muchtar, Tunduk Kepada Allah Fungsi Dan Peran Agama Dalam Kehidupan Manusia, Khazanah Baru, Jakarta 2001, h.22
[2] Aflatun Muchtar, Ibid,. h.23
[3] Ibrahim Gultom, Agama Mlim Di Tanah Batak, PT.Bumi Aksara, Jakarta : 2010, h.17
[4] Ibrahim Gultom, Ibid., h.8
[5] Harun Nasution, Islam dilihat dari beberapa aspeknya, (Jakarta: UI Press, 1979), hal, 9-10.
[6] Ibid, hal. 11.
[7]elearning.gunadarma.ac.id/…sosial…/bab6_lapisanlapisan_dalam_masyarakat_(stratifikas_sosial).pdf –
[8] elearning.gunadarma.ac.id/…Ibid..
[9]Faisal Ismail,200. h. 239 dalam elearning.gunadarma.ac.id/…Ibid..
[10]elearning.gunadarma.ac.id/…sosial…/bab6_lapisanlapisan_dalam_masyarakat_(stratifikas_sosial).pdf –
[11] Prijono, Prasaran Mengenai Kebudayaan,  (Jakarta: Rineka Cipta, 2008), Hal 1.
[12] Joko Tri Prasetyo, Ilmu Budaya Dasar, (Jakarta ; PT Rineka Cip, 1998) hal. 28
[13] Abu Ahmadi, Noor Salimi, Dasar-Dasar Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), Hal. 6.

No comments:

Post a Comment