MAKALAH USHUL FIQH
Istihsan
KATA
PENGANTAR
Assalamu’alaikumWr. Wb
Alhamdulillah, segala puji hanya milik Allah SWT yang
senantiasa melimpahkan rahmat dan hidayah – Nya kepada kita semua sehingga kita bisa melakukan aktivitas kita dengan baik, sehat wal‘afiat khususnya kepada penulis sehingga makalah usul fiqh ini bisa diselesaikan dengan baik.
Tak lupa juga kita sampaikan salam dan shalawat kepada junjungan kita Nabi besar Muhammad Saw yang
telah mengayomi kita semua dengan cinta kasih serta perjuangan beliau sehingga kita bisa menghirup udara segar ini penuh dengan nikmat yang takakan mampu kita menghitungnya.
Penulis menyadari bahwa penyusunan makalah ini belum baik dan masih jauh dari kesempurnanan. Sehingga penulis meminta kritikdan saran dari pembaca. Agar penulisan selanjutnya bisa lebih baik lagi.
Bengkulu,
November
2018
Penulis
ii
|
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Ilmu Ushul Fiqih merupakan salah satu instrumen penting yang
harus dipenuhi oleh siapapun yang ingin melakukan mekanisme ijtihad dan istinbath
hukum dalam Islam. Itulah sebabnya dalam pembahasan kriteria seorang Mujtahid,
penguasaan akan ilmu ini dimaksudkan sebagai salah satu syarat mutlaknya untuk
menjaga agar proses ijtihad dan istinbath tetap pada koridor yang
semestinya, Ushul Fiqih-lah salah satu penjaganya.
Meskipun demikan, ada satu fakta yang yang tidak dapat
dipungkiri bahwa penguasaan Ushul Fiqih tidaklah serta merta menjamin kesatuan
hasil ijtihad dan istinbath para Mujtahid. Salah satu cabang dari ilmu Ushul
Fiqih yang dibahas di dalam makalah ini adalah tentang Istihsan, yaitu
ketika seorang Mujtahid lebih cenderung dan lebih memilih hukum tertentu dan
meninggalkan hukum yang lain disebabkan satu hal yang dalam pandangannya lebih
menguatkan hukum kedua dari hukum pertama.
2. Rumusan Masalah
Rumusan masalah didalam makalah ini adalah:
- Apa
pengertianIstihsan?
- Apa
sajakah macam-macam Istihsan?
- Apa
sajakah kehujjahan Istihsan?
BAB II
PEMBAHASAN
A. pengertian istihsan
Istihsan menurut bahasa ialah menganggap baik sesuatu, sedangkan
menurut istilah Ulama’ Ushul ialah berpindahnya seorang Mujtahid dari tuntutan Qiyas
Jali (Qiyas nyata) kepada Qiyas Khafi (Qiyas samar), atau dari hukum
kulli (umum) kepada hukum pengecualian, karena ada dalil yang
menyebabkan dia mencela akalnya, dan dimenangkan baginya perpindahan ini.
Istihsan secara bahasa yaitu kata bentukan (musytaq) dari al-hasan
yang artinya adalah apapun yang baik dari sesuatu. Istihsan sendiri
kemudian berarti kecenderungan seseorang pada sesuatu karena menganggapnya
lebih baik, dan ini bersifat lahiriyah (hissiy) ataupun maknawiyah,
meskipun hal itu dianggap tidak baik oleh orang lain.
Menurut istilah dari Al-Hasan Al-Kurkhi Al-Hanafi yaitu
salah seorang ulama’ ushul, memberikan pendapat tentang Istihsan adalah
perbuatan adil terhadap suatu permasalahan hukum dengan memandang hukum yang
lain, karena adanya suatu yang lebih kuat yang membutuhkan keadilan.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa Istihsan yaitu ketika
seorang Mujtahid lebih cenderung dan lebih memilih hukum tertentu dan
meninggalkan hukum yang lain disebabkan satu hal yang dalam pandangannya lebih
menguatkan hukum kedua dari hukum pertama.[1]
B.Dasar Hukum Istihsan
para ulama yang mempertahankan istihsan mengambil dalil dari al-Qur’an dan
Sunnah yang menyebutkan kata istihsan dalam pengertian denotatif (lafal yang
seakar dengan istihsan) seperti Firman Allah Swt dalam surah Al-Zumar: 18
وَاتَّبِعُوا أَحْسَنَ مَا أُنْزِلَ إِلَيْكُمْ
مِنْ رَبِّكُمْ
Artinya: Dan ikutilah Sebaik-baik apa yang telah diturunkan kepadamu
dari Tuhanmu sebelum datang azab kepadamu dengan tiba-tiba, sedang kamu tidak
menyadarinya. (QS. Az-Zumar: 18)
Menurut mereka, dalam ayat ini Allah memerintahkan kita untuk mengikuti
yang terbaik, dan perintah menunjukkan bahwa ia adalah wajib. Dan di sini tidak
ada hal lain yang memalingkan perintah ini dari hukum wajib. Maka ini
menunjukkan bahwa Istihsan adalah hujjah
Hadits Nabi saw:
فَمَا رَأَى الْمُسْلِمُونَ حَسَنًا فَهُوَ عِنْدَ اللَّهِ حَسَنٌ وَمَا رَأَوْا سَيِّئًا فَهُوَ عِنْدَ اللَّهِ سَيِّئٌ.
Artinya:“Apa yang
dipandang kaum muslimin sebagai sesuatu yang baik, maka ia di sisi Allah adalah
baik dan apa-apa yang dipandang sesuatu yang buruk, maka disisi Allah adalah
buruk pula”.
Hadits ini menunjukkan bahwa apa yang dipandang baik oleh kaum muslimin
dengan akal-sehat mereka, maka ia pun demikian di sisi Allah. Ini menunjukkan
kehujjahan Istihsan.
Contoh istihsan macam pertama: Menurut Madzhab Hanafi: bila seorang
mewaqafkan sebidang tanah pertanian, maka termasuk yang diwaqafkannya itu hak
pengairan, hak membuat saluran air di atas tanah itu dan sebagainya. Hal ini
ditetapkan berdasar istihsan. Menuryt qiyas jali hak-hak tersebut tidak mungkin
diperoleh, karena mengqiyaskan waqaf itu dengan jual beli. Pada jual beli yang
penting ialah pemindahan hak milik dari penjual kepada pembeli. Bila waqaf
diqiyaskan kepada jual beli, berarti yang penting ialah hak milik itu. Sedang
menurut istihsan hak tersebut diperoleh dengan mengqiyaskan waqaf itu kepada
sewa-menyewa. Pada sewa-menyewa yang penting ialah pemindahan hak memperoleh
manfaat dari pemilik barang kepada penyewa barang. Demikian pula halnya dengan waqaf.
Yang penting pada waqaf ialah agar barang yang diwaqafkan itu dapat
dimanfaatkan. Sebidang sawah hanya dapat dimanfaatkan jika memperoleh pengairan
yang baik. Jika waqaf itu diqiyaskan kepada jual beli (qiyas jali), maka tujuan
waqaf tidak akan tercapai, karena pada jual beli yang diutamakan pemindahan hak
milik. Karena itu perlu dicari ashalnya yang lain, yaitu sewa-menyewa. Kedua
peristiwa ini ada persamaan ‘illatnya yaitu mengutamakan manfaat barang atau
harta, tetapi qiyasnya adalah qiyas khafi. Karena ada suatu kepentingan, yaitu
tercapainya tujuan waqaf, maka dilakukanlah perpindahan dari qiyas jali kepada
qiyas khafi, yang disebut istihsan.
Contoh lain adalah mengenai sisa minuman burung buas, seperti sisa burung
elang burung gagak dan sebagainya adalah suci dan halal diminum. Hal ini
ditetapkan dengan istihsan. Menurut qiyas jali sisa minuman binatang buas,
seperti anjing dan burung-burung buas adalah haram diminum karena sisa minuman
yang telah bercampur dengan air liur binatang itu diqiyaskan kepada dagingnya.
Binatang buas itu langsung minum dengan mulutnya, sehingga air liurnya masuk ke
tempat minumnya. Menurut qiyas khafi bahwa burung buas itu berbeda mulutnya
dengan mulut binatang huas. Mulut binatang buas terdiri dari daging yang haram
dimakan, sedang mulut burung buas merupakan paruh yang terdiri atas tulang atau
zat tanduk dan tulang atau zat tanduk bukan merupakan najis. Karena itu sisa
minum burung buas itu tidak bertemu dengan dagingnya yang haram dimakan, sebab
diantara oleh paruhnya, demikian pula air liurnya. Dalam hal ini keadaan yang
tertentu yang ada pada burung buas yang membedakannya dengan binatang buas.
Berdasar keadaan inilah ditetapkan perpindahan dari qiyas jali kepada qiyas
khafi, yang disebut istihsan.
Contoh istihsan macam kedua: Syara’ melarang seseorang memperjualbelikan
atau mengadakan perjanjian tentang sesuatu barang yang belum ada wujudnya, pada
saat jual beli dilakukan. Hal ini berlaku untuk seluruh macam jual beli dan
perjanjian yang disebut hukum kuIIi. Tetapi syara’ memberikan rukhshah
(keringanan) kepada pembelian barang dengan kontan tetapi barangnya itu akan
dikirim kemudian, sesuai dengan waktu yang telah dijanjikan, atau dengan
pembelian secara pesanan (salam). Keringanan yang demikian diperlukan untuk memudahkan
lalu-lintas perdagangan dan perjanjian. Pemberian rukhshah kepada salam itu
merupakan pengecualian (istitana) dari hukum kulli dengan menggunakan hukum
juz-i, karena keadaan memerlukan dan telah merupakan adat kebiasaan dalam
masyarakat.
Yang berpegang dengan dalil istihsan ialah Madzhab Hanafi, menurut mereka
istihsan sebenarnya semacam qiyas, yaitu memenangkan qiyas khafi atas qiyas
jali atau mengubah hukum yang telah ditetapkan pada suatu peristiwa atau
kejadian yang ditetapkan berdasar ketentuan umum kepada ketentuan khusus karena
ada suatu kepentingan yang membolehkannya. Menurut mereka jika dibolehkan
menetapkan hukum berdasarkan qiyas jali atau maslahat mursalah, tentulah
melakukan istihsan karena kedua hal itu pada hakekatnya adalah sama, hanya
namanya saja yang berlainan. Disamping Madzhab Hanafi,
golongan lain yang menggunakan istihsan ialah sebagian Madzhab Maliki dan
sebagian Madzhab Hambali.
Yang menentang istihsan dan tidak menjadikannya sebagai dasar hujjah ialah
Madzhab Syafi’i. Istihsan menurut mereka adalah menetapkan hukum syara’
berdasarkan keinginan hawa nafsu. Imam Syafi’i berkata: “Siapa yang berhujjah
dengan istihsan berarti ia telah menetapkan sendiri hukum syara’ berdasarkan
keinginan hawa nafsunya, sedang yang berhak menetapkan hukum syara’ hanyalah
Allah SWT.” Dalam buku Risalah Ushuliyah karangan beliau, dinyatakan:
“Perumpamaan orang yang melakukan istihsan adalah seperti orang yang melakukan
shalat yang menghadap ke suatu arah yang menurut istihsan bahwa arah itu adalah
arah Ka’bah, tanpa ada dalil yang diciptakan pembuat syara’ untuk menentukan
arah Ka’bah itu.”
Jika diperhatikan alasan-alasan yang dikemukakan kedua pendapat itu serta
pengertian istihsan menurut mereka masing-masing, akan jelas bahwa istihsan
menurut pendapat Madzhab Hanafi berbeda dari istihsan menurut pendapat Madzhab
Syafi’i. Menurut Madzhab Hanafi istihsan itu semacam qiyas, dilakukan karena
ada suatu kepentingan, bukan berdasarkan hawa nafsu, sedang menurut Madzhab
Syafi’i, istihsan itu timbul karena rasa kurang enak, kemudian pindah kepada
rasa yang lebih enak. Seandainya istihsan itu diperbincangkan dengan baik,
kemudian ditetapkan pengertian yang disepakati, tentulah perbedaan pendapat itu
dapat dikurangi. Karena itu asy-Syathibi dalam kitabnya Al-Muwâfaqât
menyatakan: “orang yang menetapkan hukum berdasarkan istihsan tidak boleh
berdasarkan rasa dan keinginannyya semata, akan tetapi haruslah berdasarkan
hal-hal yang diketahui bahwa hukum itu sesuai dengan tujuan Allah SWT
menciptakan syara’ dan sesuai pula dengan kaidah-kaidah syara’ yang umum”.[2]
- Macam-Macam Istihsan
a. Istihsan
Qiyasi
Yaitu menggunakan Qiyas khafi (samar) dan meninggalkan Qiyas jali (nyata)
karena ada petunjuk untuk itu.
Istihsan ini terjadi pada suatu kasus yang mungkin dilakukan padanya salah
satu dari dua bentuk qiyas, yaitu qiyas jali dan qiyas khafi.
a. Contoh
Istihsan Qiyasi
Menurut Madzhab Hanafi: bila seorang mewaqafkan sebidang tanah pertanian,
maka termasuk yang diwaqafkannya itu hak pengairan, hak membuat saluran air di
atas tanah itu dan sebagainya. Hal ini ditetapkan berdasar istihsan. Menurut
qiyas jail, hak-hak tersebut tidak mungkin diperoleh, karena mengqiyaskan waqaf
itu dengan jual beli. Pada jual beli yang penting ialah pemindahan hak milik
dari penjual kepada pembeli.Bila waqaf diqiyaskan kepada jual beli, berarti
yang penting ialah hak milik itu.Sedang menurut istihsan hak tersebut diperoleh
dengan mengqiyaskan waqaf itu kepada sewa-menyewa.Pada sewa-menyewa yang
penting ialah pemindahan hak memperoleh manfaat dari pemilik barang kepada
penyewa barang.Demikian pula halnya dengan waqaf.Yang penting pada waqaf ialah
agar barang yang diwaqafkan itu dapat dimanfaatkan.Sebidang sawah hanya dapat
dimanfaatkan jika memperoleh pengairan yang baik. Jika waqaf itu diqiyaskan
kepada jual beli (qiyas jali), maka tujuan waqaf tidak akan tercapai, karena
pada jual beli yang diutamakan pemindahan hak milik. Karena itu perlu dicari
ashalnya yang lain, yaitu sewa-menyewa. Kedua peristiwa ini ada persamaan
'illatnya yaitu mengutamakan manfaat barang atau harta, tetapi qiyasnya adalah
qiyas khafi. Karena ada suatu kepentingan, yaitu tercapainya tujuan waqaf, maka
dilakukanlah perpindahan dari qiyas jali kepada qiyas khafi, yang disebut
istihsan
b. Istihsan
Istisnaiy
Yaitu hukum pengecualian dari kaidah-kaidah yang berlaku umum karena ada
petunjuk untuk hal tersebut.
Istihsan
Istisnaiy terbagi kepada beberapa macam, yaitu :
1.
Istihsan bin-nash, yaitu hukum pengecualian berdasarkan nash (al-Qur’an
atau As-Sunnah) dari kaidah yang bersifat umum yang berlaku bagi kasus-kasus
serupa.
2. Istihsan
berlandaskan ijma’, yaitu terjadinya sebuah ijma’ –baik yang sharih maupun
sukuti- terhadap sebuah hukum yang menyelisihi qiyas atau kaidah umum.
3. Istihsan
yang berlandaskan ‘urf (adat/kebiasaan), yaitu meninggalkan apa yang menjadi
konsekwensi qiyas menuju hukum lain yang berbeda karena ‘urf yang umum berlaku
–baik ‘urf yang bersifat perkataan maupun perbuatan-.
4. Istihsan
yang didasarkan atas maslahah mursalah, yaitu ketika seorang mujtahid melihat
ada suatu kedaruratan atau kemaslahatan yang menyebabkan ia meninggalkan qiyas,
demi memenuhi hajat yang darurat itu atau mencegah kemudharatan..
Contoh
Istihsan Istisnaiy :
1. Istihsan bin-nash : hukum jual-beli al-salam. Yaitu menjual sesuatu yang
telah jelas sifatnya namun belum ada dzatnya saat akad, dengan harga yang
dibayar dimuka.Model ini tentu saja berbeda dengan model jual-beli yang umum
ditetapkan oleh Syariat, yaitu yang mempersyaratkan adanya barang pada saat
akad terjadi. Hanya saja, model jual beli ini dibolehkan berdasarkan sebuah
hadits Nabi saw yang pada saat datang ke Madinah menemukan penduduknya
melakukan hal ini pada buah untuk masa satu atau dua tahun. Maka beliau
berkata:
“Barang
siapa yang melakukan (jual-beli) al-salaf, maka hendaklah melakukannya dalam
takaran dan timbangan yang jelas (dan) untuk jangka waktu yang jelas pula.”
(HR. Al-Bukhari no. 2085 dan Muslim no. 3010)
2. Istihsan berlandaskan Ijma’ : Di antara contohnya adalah masalah
penggunaan kamar mandi umum (hammam) tanpa adanya pembatasan waktu dan kadar
air yang digunakan. Secara qiyas seharusnya hal ini tidak dibenarkan, karena
adanya ketidak-jelasan (al-jahalah) dalam waktu dan kadar air. Padahal para
penggunanya tentu tidak sama satu dengan yang lain. Akan tetapi hal ini
dibolehkan atas dasar Istihsan pada ijma yang berjalan sepanjang zaman dan
tempat yang tidak mempersoalkan hal tersebut.
3. Istihsan yang berlandaskan ‘Urf : Salah satu contoh Istihsan dengan ‘urf
yang bersifat yang berupa perkataan adalah jika seseorang bersumpah untuk tidak
masuk ke dalam rumah manapun, lalu ternyata ia masuk ke dalam mesjid, maka
dalam kasus ini ia tidak dianggap telah melanggar sumpahnya, meskipun Allah
menyebut mesjid dengan sebutan rumah (al-bait) dalam firman-Nya:
“Dalam
rumah-rumah yang Allah izinkan untuk diangkat dan dikumandangkan Nama-Nya di
dalamnya.” (al-Nur:36)
Namun ‘urf
yang berlaku di tengah masyarakat menunjukkan bahwa penyebutan kata “rumah”
(al-bait) secara mutlak tidak pernah digunakan untuk masjid. Itulah sebabnya,
orang yang bersumpah tersebut tidak menjadi batal sumpahnya jika ia masuk ke
dalam masjid. Adapun contoh Istihsan dengan ‘urf yang berupa perbuatan adalah
seperti kebolehan mewakafkan benda bergerak seperti buku dan perkakas alat
memasak, berdasarkan adat setempat.Padahal wakaf biasanya hanya pada harta yang
bersifat kekal dan tidak bergerak seperti tanah.
5. Istihsan yang didasarkan atas Mashlahah Mursalah : seperti mengharuskan
ganti rugi atas penyewa rumah jika perabotnya rusak ditangannya, kecuali
disebabkan bencana alam. Tujuannya agar penyewa berhati-hati dan lebih
bertanggung jawab.Padahal menurut ketentuan umum penyewa tidak dikenakan ganti
rugi jika ada yang rusak, kecuali disebabkan kelalaiannya.[3]
3. Kehujjahan Istihsan
Dari definisi istihsan dan penjelasan terhadap kedua
macamnya jelaslah bahwasannya pada hakekatnya istihsan bukan sumber hukum yang
berdiri sendiri, karena sesungguhnya hukum istihsan bentuk yang pertama dari
kedua bentuknya berdalilkan qiyas yang tersembunyi yang mengalahkan terhadap
qiyas yang jelas, karena adanya beberapa faktor yang memenangkannya yang
membuat tenang hati si Mujtahid. Itulah segi Istihsan.Sedangkan bentuk yang
kedua dari istihsan ialah bahwa dalilnya adalah maslahat, yang menuntut
pengecualian kasuistis dari hukum kulli (umum), dan juga yang disebut dengan
segi istihsan.[4]
Adapun kehujjahan istihsan menurut para ulama’, antara lain:
- Ulama’
Hanafiyah
Abu Zahrah berpendapat bahwa Abu Hanifah banyak sekali
menggunakan istihsan.Begitu pula dalam keterangan yang ditulis dalam beberapa
kitab Ushul yang menyebutkan bahwa Hanafiyah mengakui adanya istihsan.Bahkan, dalam
beberapa kitab fiqihnya banyak sekali terdapat permasalahan yang menyangkut
istihsan.
- Ulama’
Malikiyah
Asy-Syatibi berkata bahwa sesungguhnya istihsan itu dianggap
dalil yang kuat dalam hukum sebagaimana pendapat Imam Maliki dan Imam Abu
Hanifah.Begitupula menurut Abu Zahrah, bahwa Imam Malik sering berfatwa dengan
menggunakan istihsan.
- Ulama’
Hanabilah
Dalam beberapa kitab Ushul disebutkan bahwa golongan
Hanabilah mengakui adanya istihsan, sebagaimana dikatakan oleh Imam Al Amudi
dan Ibnu Hazib. Akan tetapi, Al-Jalal Al-Mahalli dalam kitab Syarh Al-Jam’
Al-Jawami’ mengatakan bahwa istihsan itu diakui oleh Abu Hanifah, namun
ulama’ yang lain mengingkarinya termasuk di dalamnya golongan Hanabilah.
- Ulama’
Syafi’iyah
Golongan Al Syafi’i secara masyhur tidak mengakui adanya
istihsan, dan mereka betul-betul menjauhi untuk menggunakan dalam istinbat
hukum dan tidak menggunakannya sebagai dalil.Bahkan, Imam Syafi’i berkata
“Barang siapa yang menggunakan istihsan berarti ia telah membuat syari’at.Beliau
juga berkata, Segala urusan itu telah diatur oleh Allah SWT., setidaknya ada
yang menyerupainyasehingga dibolehkan menggunakan qiyas.Namun tidak boleh
menggunakan istihsan.
BAB III
PENUTUP
- Kesimpulan
Dengan demikian, dapat disimpulakan
bahwa Istihsan yaitu ketika seorang Mujtahid lebih cenderung dan lebih
memilih hukum tertentu dan meninggalkan hukum yang lain disebabkan satu hal
yang dalam pandangannya lebih menguatkan hukum kedua dari hukum pertama.
Macam macam istihsan ada dua macam,
yaitu pertama: Pentarjihan qiyas khafi (yang tersembunyi) atas qiyas
jail (nyata) karena adanya suatu dalil. Kedua: Pengecualian
kasuistis (juz’iyyah) dari suatu hukum kuli (umum) dengan adanya suatu
dalil.
2.
Kritik dan
Saran
Manusia tidak selamanya tepat
pertimbangannya, adil sikapnya, kadang-kadang manusia berbuat yang tidak masuk
akal.oleh sebab itu, manusia perlu sekali tahu mengenai dirinya sendiri,kami
menyadari bahwa makalah ini masih sangat jauh dari kesempurnaan,
Masih banyak kesalahan dan kekurangan dalam penulisan makalah ini, baik
yang kami senga maupun yang tidak kami sengaja. Maka dari itu sangat kami
harapkan saran dan kritik yang membangun dari pembawa demi kesempurnaan makalah
ini.semoga dengan berbagai kekurangan yang ada ini tidak mengurangi nilai-nilai
dan manfaat dari mempelajari ,tentang pengertian istihsan dasar hukum istihsan
macam-macam istihsan.
DAFTAR PUSTAKA
Wahab,
Khalaf Abdul, 1996, Kaidah-kaidah Hukum Islam (Ilmu Ushul Fiqh),
Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Syafe’i
Rachmat, 1999, Ilmu Ushul Fiqih, Bandung: Pustaka Setia.
Wahab,
Khalaf Abdul, 1994, Ilmu Ushul Fiqih, Semarang: Dina Utama.
Al-Khudhari
Biek, Muhammad, 2007, Ushul Fiqih, Jakarta: Pustaka Amani.
[1]Abdul Wahab Khalaf, Kaidah-kaidah Hukum Islam (Ilmu Ushul
Fiqih), Jakarta, 1996, hlm. 120
[2]Rachmat Syafe’i, M.A., Ilmu Ushul
Fiqih, Bandung, 1999, hlm. 111-112
[4]Al-Khudhari Biek, Muhammad, 2007, Ushul Fiqih,
Jakarta: Pustaka Amani
No comments:
Post a Comment