1

loading...
Tampilkan postingan dengan label MAKALAH USHUL FIQH. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label MAKALAH USHUL FIQH. Tampilkan semua postingan

Kamis, 27 Desember 2018

MAKALAH USHUL FIQH


MAKALAH USHUL FIKIH
 RUANG LINGKUP HUKUM SYARA’



BAB I
PENDAHULUAN
     A.    Latar Belakang
Berikut Makalah ini akan menjelaskan tentang Pengertian Hukum Syara Taklifi dan Wadh'i. Hukum syara’ ialah hukum yang sangat penting untuk dipelajari terlebih lagi bagi mukallaf,  yaitu bagi orang yang sudah baligh (dewasa) dan berakal. Karena hukum syara ialah peraturan dari Allah yang sifat mengikat bagi semua umat yang beragama Islam.
Aktivititas seorang muslim selalu terikat dengan hukum syara. hukum syara ini mengikat aktivitas kita, baik perkataan kita, perbuatan kita harus memiliki dasar hukum syara yang jelas, apakah terkategori wajib, mubah, mandub, makruh, dan haram. semua ini disebut dengan ahkmul khamsah. kenapa sih harus terikat? keterikatan kita kepada hukum syara lah yang menandakan bahwa kita ialah seorang muslim sejati, muslim sejati dilihat dari indeks ketaatannya kepada hukum syara atau dalam kata lain ketaqwaannya.
Oleh karena itu pemakalah mencoba membuat makalah sederhana untuk membahas ilmu yang berhubungan dengan hukum syara serta unsur-unsur yang terdapat di dalamnya, seperti hukum taklifi dan hukum wadh’i.

B. Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian dan berapa macam pembagian hukum syara’?
2.      apa pengertian dan bentuk-bentuk hukum taklifi?
3.      apa pengertian dan bentuk-bentuk hukum wadh’i?
4.      bagaimana perbedaan hukum taklifi dan hukum wadh’i?


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian hukum syara’

            Secara bahasa hukum berarti memutuskan (alqadha),dan mencegah                      (al man’un). Hukum juga berate menetapkan sesuatu atas sesuatu yang lain             (itsbat syai’ala syai’). Menurut istilah hukum di pahami menurut 2 pengertian.menurut ushulyun ( ulama ahli ushul fikih ) hukum adalah perkataan allah yang berhubungan dengan perbuatan orang mukhalaf,baik dalam bentuk tuntutan pilihan,maupun wadh’I   .
            Sedangkan menurut fuqaha ( ulama ahli fikih ) hukum adalah sifat yang bersifat syar’I yang merupakan pengaruh dari  titah allah. Atau pengaruh titah allah yang berkaitan dengan perbuatan orang mukhalaf baik dalam bentuk tuntutan, pilihan,maupun wad’i.
            Jadi, yang disebut hukum dalam kajian ushul fikih adalah teks ayat atau sunah rasullah yang mengatur amal perbuatan manusia, yang popular disebut sebagai ayat-ayat ahkam dan hadist-hadist ahkam.
            Hadist-hadist hukum dapat di kategorikan beberapa macam
a.    perintah untuk melakukan suatu perbuatan. Perbuatan mukhalaf yang di printahkan itu sifatnya wajib
b.    larangan melakukan suatu perbuatan.perbuatan yang di lakukan itu sifatnya haram
c.    anjuran untuk melakukan suatu perbuatan, dan perbuatan yang di anjurkan untuk di lakukan itu sifatnya mandub.
d.   anjuran untuk meninggalkan suatu perbuatan.perbuatan yang di anjurkan untuk di tinggalkan itu makruh.
e.    memberi kebebasan untuk memilih antara melakukan atau tidak melakukan, dan perbuatan yang diberi pilih untuk di lakukan atau di tinggalkan itu sifatnya mubah .
f.     menetapkan suatu sebagai sebab
g.    menetapkan sesuatu sebagai syarat
h.    menetapkan sesuatu sebagai mani’ ( penghalang).
i.      menetapkan Sesutu sebagai kriteria sah dan fasad atau batal.
j.      menetapkan sesuatu sebagai kriteria azima dan rukhsah

A.  Pembagian Hukum Syara’
                        Hukum sayara’ fi bagi menjadi 2,yaitu hukum taklifi dan hukum wadh’I.hukum taklifi ialah titah allah yang menuntut di kerjakannya atau di tinggalkannya untuk suatu perkerjaan atau pilihan antara mengerjakan atau tidak mengerjakannya. Sedangkan hukum wadh’I ialah menjadikan sesuatu sebagai  sebab adanya yang lain, atau syarat bagi yang lain atau penghalang yang lain.
            Misalnya pada hukum taklifi menjelaskan bahwa sholat wajib di laksanakan umat islam dan hukum wadh’I menjelaskan bahwa waktu matahari tergelincir di tengah hari menjadi sebab tanda bagi wajibnya seseorang menunaikan shalat zuhur.

a)      Hukum taklifi
            Istilah hukum dalam kajian ushul fikih pada asalnya adalah teks ayat atau hadist hukum.teks ayat hukum dan hadist hukum yang berhubungn dengan hukum taklifi terbagi dalam lima bentuk,[1]
1.      Ijab ( mewajibkan )
            yaitu ayat atau hadist dalam bentuk printah yang mengharuskan untuk melakukan suatu perbuatan.misalnya, ayat yang memerintahkan untuk melakukan shalat.
            Jika dilihat dari segi orang yang dibebani kewajiban hukum Wajib di bagi menjadi 2 macam yaitu
1.      Wajib aini
            Yaitu kewajiban yang dibebankan kepada setiap orang yang sudah balik berakal ( mukalaf ), tanpa kecuali. Kewajiban seperti initudak bias gugur kecuali dilakukannya sendiri. Misalnya kewajiban melaksanakan sholat lima waktu sehari semalam melaksanakan puasa di bulan rhamadhan, dan melaksanakan haji bagi siapa yang mampu.
2.      Wajib kifa’i(wajib kifayah)
            Yaitu kewajiban yag dibebankan kepda seluruh mukalaf, namun bilamana telah dilaksanakan oleh sebagian umat islam maka kewajiban itu sudah di anggap terpenuhi sehingga orang yang tidak ikut melaksanakannya tidak lagi diwWaajibkan mengerjakannya. Missalnya pelaksanaan sholat jenazah.
Dilihat dau segi kandungan perintah, hukum wajib dapat dibagi menjadi dua macam
1.      Wajib mu’ayyun
            Yaitu suatu kewajiban yang mana yang menjadi objeknya adalah tertentu tanpa ada pilihan lain. Misalnya, kewajiban melakukkan sholat lima waktu sehari semalam, kewajiban melakukan puasa di bulan rahmadan,membayar zakat, dan menegakkan keadilan. Kewajiban seperti ini tidak dianggap terlksana , kecuali dengan melaksanakan kewajiban yang telah di tentukan itu.
2.      Wajib mukhayyar
            Yaitu suatu kewajiban dimana yang menjadi objeknya boleh dipilih antara beberapa alternative. Misalnya, keajiban membayar kaffarat (denda melanggar) sumpah
            Bila dilihat dari segi pelaksanaannya, hukum wajib terbagi kepada dua macam.
1.    Wajib mutlak
     Yaitu kewajiban yang pelaksanaannya tidak dibatasi dengan waktu tertentu. Misalnya, kewajiban untuk membayar puasa yang tertinggal.
2.    Wajib muaqqat
Yaitu kewajiban yang pelaksanaannya dibatasi dengan waktu tertentu. Misalnya melaksanakan sholat lima waktu. Wajib muaqqat terbagi menjadi dua:
a.    Wajib muassa’
     Yaitu wajib dimana waktu yang di peruntukkan baginya cukup untuk melakukan kewajiban tersebut dan cukup untuk melakukkan kewajibban lain sejenis. Misalnya waktu sholat zuhur, sholat ashar, sholat isha, membayar zakat fitrah
b.    Wajib mudhayyaq
     Wajib dimana waktu ditentukan untuknnya hanya cukup untuk melakukan kewajiban itu sendiri dan tidak cukup untuk melakukan ibadah lain sejenis, seperti puasa rhamadan

       2. Nadb ( anjuran untuk melakukan )
                      Yaitu ayat atau hadits yang menganjurkan untuk melakukan suatu perbuatan.
                 Pembagian nadb seperti yang dikemukakan abdul karim zaidan, nad terbagi kepada beberapa tingkatan[2]

a.    Sunnah muakkadah(sunnah yang sangat dianjurkan)
     Yaitu perbuatan yang di biasakan rasulullah SAW dan jarang di tinggalkan nya. Misalnya sholat sunnah dua rakaat sebelum fajar
b.    Sunnah ghair al muakkadah(sunnah biasa)
     Yaitu suatu yang dilakukan rasulullah, namun bukan menjadi kebiasaannya. Misalnya, melakukan sholat sunnah dua kali dua rakaat sebelum sholat zuhur, dan seperti memberikan sedekah sunnah kepada orang yang tidak dalam keadaan terdesak.
c.    Sunnah al-zawaid
     Yaitu mengikuti kebiasaan sehari-hari rasulullah sebagai manusia. Misalnya, sopan santun nya dalam makan, minum, dan tidur.

3.    Tahrim
          Ayat atau hadits yang melarang secara pasti untuk melakukan suatu perbuatan yang dapat mendatangkan siksa bagi yang melakukannya dan bila di tinggalkan berpahala.[3]
     Tahrim dibagi menjadi dua yaitu
a.    Al-muharram lidzatihi
     Yaitu suat yang di haramkan oleh syariat karena esensinya mengandung ke mudharatan bagi kehidupan manusia, dan kemudharatan itu tidak bisa tepisah dari zatnya, misalnya larangan berzina, mencuri, membunuh, berdusta, meminum khamar dan memakan bangkai.
b.    Al-muharram lighairihi
     Yaitu susuatu yang di larang bukan Karena esensinya karena secara esensial tidak mengandung ke mudharatan, namun kondisi tertentu, sesuatu itu dilarang karena ada pertimbangan eksternal yang akan membawa kepada sesuatu yang dilarang secara esensial, misalnya larangan melakukan jual beli pada waktu azan sholat jum’at, puasa tanggal 1 shawal dan lain-lain.

4.      Makruh    
            Makruh dalah ayat atau hadits yang menganjurkan untuk meninggalkan suatu perbuatan  dengan  tuntutan yang tidak pasti. Misalnya talak, banyak bertanya, sholat sunnah setelah subuh dan lain-lain.


Menurut kalangan hnafiyah, makruh terbagi menjadi dua macam :
1.    Makruh tahrim
     Yaitu sesuatu yang dilarang oleh syariat, tetapi dalil yang melarang itu bersifat zhanni al-wurrud ( kebenaran datangnya dari rasulullah hanya sampai ke dugaan keras ), tidak bersifat pasti . misalnya, larangan meminang wanita yang telah di pinang orang lain dan larangan membeli sesuatu yang telah di tawar orang lain.
2.    Makruh tanzih
     Yaitu sesuatu yang di anjurkan oleh syariat untuk meninggalkannya. Misalnya memakan daging kuda dan meminum susunya pada waktu sangat butuhdi waktu perang.

5.    mubah
     Yaitu ayat atau hadits yang memberi pilihan seseoranf untuk melakukan atau meninggalkan suatu perbuatan. Sesuatu yang mubah dapat berubah hukumnyanya karena adanya factor lain. Misalnya, tidur siang dapat memperoleh pahala bila diniatkan untuk bangun tengah malam untuk beribadah, mubah juga dapat menjadi haram misalnya, makan tengah malam dengan tujuan agar menambah tenaga u tuk mencuri besok.[4]
             Pembagian mubah Menurut abu ishaq al syat hibi dalam kitab nya al muwafaqat membagi mubah menjadi 3 macam :
1. mubah yang berfungsi untuk menghantarkan seseorang kepda sesuatu hal yang wajib di lakukan. Misalnya makan dan minum merupakan sesuatu yang mubah. Namun berfungsi untuk menghantarkan seseorang sampai ia mampu mengerjakan kewajiban-kewajiban yang di bebankan kepanya seperti shalat dan berusah mencari rezeki.
2. sesuatu baru di anggap mubah hukumnya bila mana di lakukan sekali-sekali,tetapi haram hukumnya bila dilkukan setiap waktu,misalnya bermain dan mendengarkan nyanyian hukumnya adalah mubah bila di lakukan sekali-sekali tetapi haram hukumnya menghabiskan waktu hanya untuk bermain dan mendengar nyanyian.
3. sesuatu yang mubah yang berfungsi sebagai sarana untuk mencapai sesuatu yang mubah pula.misalnya, membeli prabotan rumah tangga untuk kesenangan hidup.

b)      Pengertian Hukum Wadh’i
                   Hukum wadh’i yakni hukum yang mengandung sebab, syarat dan halangan terjadinya hukum dan hubungan hukum. Hukum wadh’i juga merupakan titah Allah yang berhubungan dengan sesuatu yang berhubungan atau berkaitan dengan hukum-hukum taklifi.  Hukum wadh’i ialah firman Allah swt. yang menuntuk untuk menjadikan sesuatu sebab, syarat atau penghalang dari sesuatu yang lain. Sebab ialah sesuatu yang tampak yang dijadikan tanda adanya hukum. Misalnya kematian menjadi sebab adanya kewarisan, akad nikah menjadi sebab halalnya hubungan suami isteri.
Syarat ialah sesuatu yang kepadannya tergantung suatu hukum. Misalnya syarat mengeluarkan zakat ialah jika telah mencapai nizab (jumlah tertentu) dan haul (waktu tertentu), syarat sholat sempurna menghadap khiblat.Halangan atau mani’ ialah sesuatu yang dapat menghalangi hubungan hukum. Misalnya pembunuhan menghalangi hubungan kewarisan, keadaan gila menghalangi untuk melakukan perbuatan atau tindakan hukum. Mani’ ialah sesuatu yang ditetapkan sebagai penghalang bagi adanya hukum atau penghalang bagi berfungsinya suatu sebab.[5]
v Macam-Macam Hukum Wadh’i
1.    Sebab
Maksudnya sesuatu yang kepadanya bergantung suatu hukum. Sebab juga dapat diartikan suatu hukum yang dijadikan syar’i sebagai tanda adanya hukum. Misalnya dalam firman Allah dalam surat al-Isra: 78, yang artinya: “Dirikanlah shalat sesudah matahari tergelincir.”Pada ayat tersebut, tergelincir matahari dijadikan sebab wajibnya shalat.
2.    Syarat
Yaitu sesuat yang tampak dan sebagai tanda adnya hukum. Dalam arti lain syarat ialah sesuatu yang berada diluar hukum syara’ tetapi keberadaan hukum syara bergantung kepadanya. Misalnya firman Allah dalam surat an-Nisa: 6 yang artinya: “Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin (dewasa).”
Ayat tersebut menunjukan kedewasaan anak yatim menjadi syarat hilangnya perwalian atas dirinya.”
3.    Mani’ (penghalang)
Halangan disini mempunyai arti sesuatu yang dapat menghalangi hubungan hukum, yaitu sifat yang keberadaannya menyebabkan tidak ada hukum atau tidak ada sebab. Misalnya dalam hadis nabi yang berbunyi: “Pembunuh tidak memdapat waris.”
Hadis tersebut menunjukkan bahwa pembunuhan sebagai penghalang untuk mendapatkan warisan.
B.     Perbedaan Hukum Taklifi dan Wadh’i
1. Dalam hukum taklifi ada tuntutan untuk melaksanakan, meninggalkan atau memilih untuk berbuat atau tidak berbuat. Namun dalam hukum wadh’i tidak ada tuntutan. Dalam hukum wadh’i  ada keterkaitan antara 2 persoalan sehingga salah satu diantara keduanya bisa dijadikan sebab penghalang atau syarat.[6]
2.  Hukum taklifi ditujukan kepada mukallaf, yaitu orang yang telah baligh dan berakal. Namun hukum wadh’i ditujukan kepada semua manusia, baik yang mukallaf, anak-anak dan juga orang gila.
3. Hukum taklifi merupakan tuntutan langsung bagi mukallaf untuk melaksanakan, meninggalkan atau memilih. Hukum wadh’i tidak dimaksudkan agar langsung dilakukan mukallaf. Hukum wadh’i ditentukan syar’i agar dapat dilaksanakan hukum taklifi, misalnya zakat hukumnya wajib (hokum taklifi), tetapi kewajiban zakat ini tidak bisa dilaksanakan jika belum mencapai 1 nishab dan belum haul. Ukuran 1 nishab ini merupakan penyebab (hukum wadh’i). wajib zakat dan haul merupakan syarat (hukum wadh’i wajib zakat).
4. Sah atau shahih, ialah suatu hukum yang sesuai dengan tuntutan syara, yaitu terpenuhnya sebab, syarat dan tidak ada mani.
5. Bathil atau batal, ialah terlepasnya hukum syara dari ketentuan yang ditetapkan dan tidak ada akibat hukum yang ditimbulkannya. Misalnya: memperjualbelikan minuman keras. Akad ini dipandang batal, karena minuman keras tidak bernilai harta dalam pandangan syara’




BAB III
PENUTUP
Kesumpulan
Hukum syara ialah seperangkat peraturan berdasarkan ketentuan Allah tentang tingkah laku manusia yang diakui dan diyakini berlaku serta mengikat untuk semua umat yang beragama Islam. Hukum syara terbagi menjadi dua macam yaitu hukum taklifi dan hukum wadh’i. Bentuk-bentuk hukum taklifi menurut jumhur ulama ushul fiqih/mutakallimin ada lima macam, yaitu ijab, nadb, ibahah, karahah dan tahrim.
Hukum taklifi ialah sesuatu yang menuntut suatu pekerjaan dari mukallaf, atau menuntut untuk berbuat, atau memberikan pilihan kepadanya antara melakukan dan meninggalkannya. Bentuk-bentuk hukum taklifi menurut jumhur ulama ushul fiqh/mutakallimin ada lima macam, yaitu ijab, nadb, ibahah, karahah dan tahrim.
Hukum wadh’i ialah firman Allah swt. yang menuntuk untuk menjadikan sesuatu sebab, syarat atau penghalang dari sesuatu yang lain. bentuk-bentuk hukum wadh’I ada yaitu sebab, syarat, mani (penghalang), rukhshah (keringanan) dan Azimah.
Ada perbedaan antara hukum taklifi dan hukum wadh’I.  Hukum taklifi merupakan tuntutan langsung bagi mukallaf untuk melaksanakan, meninggalkan atau memilih. Hukum wadh’i tidak dimaksudkan agar langsung dilakukan mukallaf. Hukum wadh’i ditentukan syar’i agar dapat dilaksanakan hukum taklifi, misalnya zakat hukumnya wajib (hukum taklifi), tetapi kewajiban zakat ini tidak bisa dilaksanakan jika belum mencapai 1 nishab dan belum haul. Ukuran 1 nishab ini merupakan penyebab (hukum wadh’i). wajib zakat dan haul merupakan syarat (hukum wadh’i wajib zakat).

DAFTAR PUSTAKA

Dahlan, Rahman. 2010. Ushul Fiqih. Jakarta: Sinar Greafika Offset
Saebani, Beni Ahmad. 2009. ilmu Ushul Fikih. Bandung: CV Pustaka Setia
Wahhab, Abdul khallaf. 2014. ilmu Ushul Fikih. Semarang: PT Dina Utama                        Semarang
Zahra, Muhammad Abu. 2010. Ilmu Ushul Fikih. Jakarta: PT Pustaka Firdaus



[1] Abd Rahman Dahlan,M.A, Ushul, Fiqh,  Jakarta: Sinar Grafika offset, 2010, h  40
[2] Abd.Rahman, Dahlan,  Ibid, h. 27

[3] Abd.Rahman Dahlan.Ibid, h  27

[4] Muhammad Abu Zahra,  Ilmu Ushul Fikih. Jakarta: PT Pustaka Firdaus, 2010, h 56

[5] Muhammad Abu Zahra,  Ilmu Ushul Fikih. Jakarta: PT Pustaka Firdaus, 2010, h 69
[6] Beni Ahmad Saebani, ilmu ushul fiqh, Bandung: CV Pustaka Setia, 2009  h 52

Senin, 12 November 2018

MAKALAH USHUL FIQH


MAKALAH USHUL FIQH

Istihsan

KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikumWr. Wb
Alhamdulillah, segala puji hanya milik Allah SWT yang senantiasa melimpahkan rahmat dan hidayah – Nya kepada kita semua sehingga kita bisa melakukan aktivitas kita dengan baik, sehat wal‘afiat khususnya kepada penulis sehingga makalah usul fiqh ini bisa diselesaikan dengan baik.
Tak lupa juga kita sampaikan salam dan shalawat kepada junjungan kita Nabi besar Muhammad Saw yang telah mengayomi kita semua dengan cinta kasih serta perjuangan beliau sehingga kita bisa menghirup udara segar ini penuh dengan nikmat yang takakan mampu kita menghitungnya.
Penulis menyadari bahwa penyusunan makalah ini belum baik dan masih jauh dari kesempurnanan. Sehingga penulis meminta kritikdan saran dari pembaca. Agar penulisan selanjutnya bisa lebih baik lagi.

                                                                                                            Bengkulu,   November 2018


                                                                                                                        Penulis


ii
 





BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Ilmu Ushul Fiqih merupakan salah satu instrumen penting yang harus dipenuhi oleh siapapun yang ingin melakukan mekanisme ijtihad dan istinbath hukum dalam Islam. Itulah sebabnya dalam pembahasan kriteria seorang Mujtahid, penguasaan akan ilmu ini dimaksudkan sebagai salah satu syarat mutlaknya untuk menjaga agar proses ijtihad dan istinbath tetap pada koridor yang semestinya, Ushul Fiqih-lah salah satu penjaganya.
Meskipun demikan, ada satu fakta yang yang tidak dapat dipungkiri bahwa penguasaan Ushul Fiqih tidaklah serta merta menjamin kesatuan hasil ijtihad dan istinbath para Mujtahid. Salah satu cabang dari ilmu Ushul Fiqih yang dibahas di dalam makalah ini adalah tentang Istihsan, yaitu ketika seorang Mujtahid lebih cenderung dan lebih memilih hukum tertentu dan meninggalkan hukum yang lain disebabkan satu hal yang dalam pandangannya lebih menguatkan hukum kedua dari hukum pertama.
2. Rumusan Masalah
Rumusan masalah didalam makalah ini adalah:
  1. Apa pengertianIstihsan?
  2. Apa sajakah macam-macam Istihsan?
  3. Apa sajakah kehujjahan Istihsan?


BAB II
PEMBAHASAN
A. pengertian istihsan
Istihsan menurut bahasa ialah menganggap baik sesuatu, sedangkan menurut istilah Ulama’ Ushul ialah berpindahnya seorang Mujtahid dari tuntutan Qiyas Jali (Qiyas nyata) kepada Qiyas Khafi (Qiyas samar), atau dari hukum kulli (umum) kepada hukum pengecualian, karena ada dalil yang menyebabkan dia mencela akalnya, dan dimenangkan baginya perpindahan ini.
Istihsan secara bahasa yaitu kata bentukan (musytaq) dari al-hasan yang artinya adalah apapun yang baik dari sesuatu. Istihsan sendiri kemudian berarti kecenderungan seseorang pada sesuatu karena menganggapnya lebih baik, dan ini bersifat lahiriyah (hissiy) ataupun maknawiyah, meskipun hal itu dianggap tidak baik oleh orang lain.
Menurut istilah dari Al-Hasan Al-Kurkhi Al-Hanafi yaitu salah seorang ulama’ ushul, memberikan pendapat tentang Istihsan adalah perbuatan adil terhadap suatu permasalahan hukum dengan memandang hukum yang lain, karena adanya suatu yang lebih kuat yang membutuhkan keadilan.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa Istihsan yaitu ketika seorang Mujtahid lebih cenderung dan lebih memilih hukum tertentu dan meninggalkan hukum yang lain disebabkan satu hal yang dalam pandangannya lebih menguatkan hukum kedua dari hukum pertama.[1]


B.Dasar Hukum Istihsan
            para ulama yang mempertahankan istihsan mengambil dalil dari al-Qur’an dan Sunnah yang menyebutkan kata istihsan dalam pengertian denotatif (lafal yang seakar dengan istihsan) seperti Firman Allah Swt dalam surah Al-Zumar: 18

 وَاتَّبِعُوا أَحْسَنَ مَا أُنْزِلَ إِلَيْكُمْ مِنْ رَبِّكُمْ


Artinya: Dan ikutilah Sebaik-baik apa yang telah diturunkan kepadamu dari Tuhanmu sebelum datang azab kepadamu dengan tiba-tiba, sedang kamu tidak menyadarinya. (QS. Az-Zumar: 18)
Menurut mereka, dalam ayat ini Allah memerintahkan kita untuk mengikuti yang terbaik, dan perintah menunjukkan bahwa ia adalah wajib. Dan di sini tidak ada hal lain yang memalingkan perintah ini dari hukum wajib. Maka ini menunjukkan bahwa Istihsan adalah hujjah
Hadits Nabi saw:
فَمَا رَأَى الْمُسْلِمُونَ حَسَنًا فَهُوَ عِنْدَ اللَّهِ حَسَنٌ وَمَا رَأَوْا سَيِّئًا فَهُوَ عِنْدَ اللَّهِ سَيِّئٌ.
Artinya:“Apa yang dipandang kaum muslimin sebagai sesuatu yang baik, maka ia di sisi Allah adalah baik dan apa-apa yang dipandang sesuatu yang buruk, maka disisi Allah adalah buruk pula”.
Hadits ini menunjukkan bahwa apa yang dipandang baik oleh kaum muslimin dengan akal-sehat mereka, maka ia pun demikian di sisi Allah. Ini menunjukkan kehujjahan Istihsan.
Contoh istihsan macam pertama: Menurut Madzhab Hanafi: bila seorang mewaqafkan sebidang tanah pertanian, maka termasuk yang diwaqafkannya itu hak pengairan, hak membuat saluran air di atas tanah itu dan sebagainya. Hal ini ditetapkan berdasar istihsan. Menuryt qiyas jali hak-hak tersebut tidak mungkin diperoleh, karena mengqiyaskan waqaf itu dengan jual beli. Pada jual beli yang penting ialah pemindahan hak milik dari penjual kepada pembeli. Bila waqaf diqiyaskan kepada jual beli, berarti yang penting ialah hak milik itu. Sedang menurut istihsan hak tersebut diperoleh dengan mengqiyaskan waqaf itu kepada sewa-menyewa. Pada sewa-menyewa yang penting ialah pemindahan hak memperoleh manfaat dari pemilik barang kepada penyewa barang. Demikian pula halnya dengan waqaf.
Yang penting pada waqaf ialah agar barang yang diwaqafkan itu dapat dimanfaatkan. Sebidang sawah hanya dapat dimanfaatkan jika memperoleh pengairan yang baik. Jika waqaf itu diqiyaskan kepada jual beli (qiyas jali), maka tujuan waqaf tidak akan tercapai, karena pada jual beli yang diutamakan pemindahan hak milik. Karena itu perlu dicari ashalnya yang lain, yaitu sewa-menyewa. Kedua peristiwa ini ada persamaan ‘illatnya yaitu mengutamakan manfaat barang atau harta, tetapi qiyasnya adalah qiyas khafi. Karena ada suatu kepentingan, yaitu tercapainya tujuan waqaf, maka dilakukanlah perpindahan dari qiyas jali kepada qiyas khafi, yang disebut istihsan.
Contoh lain adalah mengenai sisa minuman burung buas, seperti sisa burung elang burung gagak dan sebagainya adalah suci dan halal diminum. Hal ini ditetapkan dengan istihsan. Menurut qiyas jali sisa minuman binatang buas, seperti anjing dan burung-burung buas adalah haram diminum karena sisa minuman yang telah bercampur dengan air liur binatang itu diqiyaskan kepada dagingnya. Binatang buas itu langsung minum dengan mulutnya, sehingga air liurnya masuk ke tempat minumnya. Menurut qiyas khafi bahwa burung buas itu berbeda mulutnya dengan mulut binatang huas. Mulut binatang buas terdiri dari daging yang haram dimakan, sedang mulut burung buas merupakan paruh yang terdiri atas tulang atau zat tanduk dan tulang atau zat tanduk bukan merupakan najis. Karena itu sisa minum burung buas itu tidak bertemu dengan dagingnya yang haram dimakan, sebab diantara oleh paruhnya, demikian pula air liurnya. Dalam hal ini keadaan yang tertentu yang ada pada burung buas yang membedakannya dengan binatang buas. Berdasar keadaan inilah ditetapkan perpindahan dari qiyas jali kepada qiyas khafi, yang disebut istihsan.
Contoh istihsan macam kedua: Syara’ melarang seseorang memperjualbelikan atau mengadakan perjanjian tentang sesuatu barang yang belum ada wujudnya, pada saat jual beli dilakukan. Hal ini berlaku untuk seluruh macam jual beli dan perjanjian yang disebut hukum kuIIi. Tetapi syara’ memberikan rukhshah (keringanan) kepada pembelian barang dengan kontan tetapi barangnya itu akan dikirim kemudian, sesuai dengan waktu yang telah dijanjikan, atau dengan pembelian secara pesanan (salam). Keringanan yang demikian diperlukan untuk memudahkan lalu-lintas perdagangan dan perjanjian. Pemberian rukhshah kepada salam itu merupakan pengecualian (istitana) dari hukum kulli dengan menggunakan hukum juz-i, karena keadaan memerlukan dan telah merupakan adat kebiasaan dalam masyarakat.
Yang berpegang dengan dalil istihsan ialah Madzhab Hanafi, menurut mereka istihsan sebenarnya semacam qiyas, yaitu memenangkan qiyas khafi atas qiyas jali atau mengubah hukum yang telah ditetapkan pada suatu peristiwa atau kejadian yang ditetapkan berdasar ketentuan umum kepada ketentuan khusus karena ada suatu kepentingan yang membolehkannya. Menurut mereka jika dibolehkan menetapkan hukum berdasarkan qiyas jali atau maslahat mursalah, tentulah melakukan istihsan karena kedua hal itu pada hakekatnya adalah sama, hanya namanya saja yang berlainan. Disamping Madzhab Hanafi,
golongan lain yang menggunakan istihsan ialah sebagian Madzhab Maliki dan sebagian Madzhab Hambali.
Yang menentang istihsan dan tidak menjadikannya sebagai dasar hujjah ialah Madzhab Syafi’i. Istihsan menurut mereka adalah menetapkan hukum syara’ berdasarkan keinginan hawa nafsu. Imam Syafi’i berkata: “Siapa yang berhujjah dengan istihsan berarti ia telah menetapkan sendiri hukum syara’ berdasarkan keinginan hawa nafsunya, sedang yang berhak menetapkan hukum syara’ hanyalah Allah SWT.” Dalam buku Risalah Ushuliyah karangan beliau, dinyatakan: “Perumpamaan orang yang melakukan istihsan adalah seperti orang yang melakukan shalat yang menghadap ke suatu arah yang menurut istihsan bahwa arah itu adalah arah Ka’bah, tanpa ada dalil yang diciptakan pembuat syara’ untuk menentukan arah Ka’bah itu.”
Jika diperhatikan alasan-alasan yang dikemukakan kedua pendapat itu serta pengertian istihsan menurut mereka masing-masing, akan jelas bahwa istihsan menurut pendapat Madzhab Hanafi berbeda dari istihsan menurut pendapat Madzhab Syafi’i. Menurut Madzhab Hanafi istihsan itu semacam qiyas, dilakukan karena ada suatu kepentingan, bukan berdasarkan hawa nafsu, sedang menurut Madzhab Syafi’i, istihsan itu timbul karena rasa kurang enak, kemudian pindah kepada rasa yang lebih enak. Seandainya istihsan itu diperbincangkan dengan baik, kemudian ditetapkan pengertian yang disepakati, tentulah perbedaan pendapat itu dapat dikurangi. Karena itu asy-Syathibi dalam kitabnya Al-Muwâfaqât menyatakan: “orang yang menetapkan hukum berdasarkan istihsan tidak boleh berdasarkan rasa dan keinginannyya semata, akan tetapi haruslah berdasarkan hal-hal yang diketahui bahwa hukum itu sesuai dengan tujuan Allah SWT menciptakan syara’ dan sesuai pula dengan kaidah-kaidah syara’ yang umum”.[2]
  1. Macam-Macam Istihsan
a. Istihsan Qiyasi
Yaitu menggunakan Qiyas khafi (samar) dan meninggalkan Qiyas jali (nyata) karena ada petunjuk untuk itu.
Istihsan ini terjadi pada suatu kasus yang mungkin dilakukan padanya salah satu dari dua bentuk qiyas, yaitu qiyas jali dan qiyas khafi.
a. Contoh Istihsan Qiyasi
Menurut Madzhab Hanafi: bila seorang mewaqafkan sebidang tanah pertanian, maka termasuk yang diwaqafkannya itu hak pengairan, hak membuat saluran air di atas tanah itu dan sebagainya. Hal ini ditetapkan berdasar istihsan. Menurut qiyas jail, hak-hak tersebut tidak mungkin diperoleh, karena mengqiyaskan waqaf itu dengan jual beli. Pada jual beli yang penting ialah pemindahan hak milik dari penjual kepada pembeli.Bila waqaf diqiyaskan kepada jual beli, berarti yang penting ialah hak milik itu.Sedang menurut istihsan hak tersebut diperoleh dengan mengqiyaskan waqaf itu kepada sewa-menyewa.Pada sewa-menyewa yang penting ialah pemindahan hak memperoleh manfaat dari pemilik barang kepada penyewa barang.Demikian pula halnya dengan waqaf.Yang penting pada waqaf ialah agar barang yang diwaqafkan itu dapat dimanfaatkan.Sebidang sawah hanya dapat dimanfaatkan jika memperoleh pengairan yang baik. Jika waqaf itu diqiyaskan kepada jual beli (qiyas jali), maka tujuan waqaf tidak akan tercapai, karena pada jual beli yang diutamakan pemindahan hak milik. Karena itu perlu dicari ashalnya yang lain, yaitu sewa-menyewa. Kedua peristiwa ini ada persamaan 'illatnya yaitu mengutamakan manfaat barang atau harta, tetapi qiyasnya adalah qiyas khafi. Karena ada suatu kepentingan, yaitu tercapainya tujuan waqaf, maka dilakukanlah perpindahan dari qiyas jali kepada qiyas khafi, yang disebut istihsan
b. Istihsan Istisnaiy
Yaitu hukum pengecualian dari kaidah-kaidah yang berlaku umum karena ada petunjuk untuk hal tersebut.
Istihsan Istisnaiy terbagi kepada beberapa macam, yaitu :
1.      Istihsan bin-nash, yaitu hukum pengecualian berdasarkan nash (al-Qur’an atau As-Sunnah) dari kaidah yang bersifat umum yang berlaku bagi kasus-kasus serupa.
2. Istihsan berlandaskan ijma’, yaitu terjadinya sebuah ijma’ –baik yang sharih maupun sukuti- terhadap sebuah hukum yang menyelisihi qiyas atau kaidah umum.
3. Istihsan yang berlandaskan ‘urf (adat/kebiasaan), yaitu meninggalkan apa yang menjadi konsekwensi qiyas menuju hukum lain yang berbeda karena ‘urf yang umum berlaku –baik ‘urf yang bersifat perkataan maupun perbuatan-.
4. Istihsan yang didasarkan atas maslahah mursalah, yaitu ketika seorang mujtahid melihat ada suatu kedaruratan atau kemaslahatan yang menyebabkan ia meninggalkan qiyas, demi memenuhi hajat yang darurat itu atau mencegah kemudharatan..
Contoh Istihsan Istisnaiy :
1. Istihsan bin-nash : hukum jual-beli al-salam. Yaitu menjual sesuatu yang telah jelas sifatnya namun belum ada dzatnya saat akad, dengan harga yang dibayar dimuka.Model ini tentu saja berbeda dengan model jual-beli yang umum ditetapkan oleh Syariat, yaitu yang mempersyaratkan adanya barang pada saat akad terjadi. Hanya saja, model jual beli ini dibolehkan berdasarkan sebuah hadits Nabi saw yang pada saat datang ke Madinah menemukan penduduknya melakukan hal ini pada buah untuk masa satu atau dua tahun. Maka beliau berkata:
“Barang siapa yang melakukan (jual-beli) al-salaf, maka hendaklah melakukannya dalam takaran dan timbangan yang jelas (dan) untuk jangka waktu yang jelas pula.” (HR. Al-Bukhari no. 2085 dan Muslim no. 3010)
2. Istihsan berlandaskan Ijma’ : Di antara contohnya adalah masalah penggunaan kamar mandi umum (hammam) tanpa adanya pembatasan waktu dan kadar air yang digunakan. Secara qiyas seharusnya hal ini tidak dibenarkan, karena adanya ketidak-jelasan (al-jahalah) dalam waktu dan kadar air. Padahal para penggunanya tentu tidak sama satu dengan yang lain. Akan tetapi hal ini dibolehkan atas dasar Istihsan pada ijma yang berjalan sepanjang zaman dan tempat yang tidak mempersoalkan hal tersebut.
3. Istihsan yang berlandaskan ‘Urf : Salah satu contoh Istihsan dengan ‘urf yang bersifat yang berupa perkataan adalah jika seseorang bersumpah untuk tidak masuk ke dalam rumah manapun, lalu ternyata ia masuk ke dalam mesjid, maka dalam kasus ini ia tidak dianggap telah melanggar sumpahnya, meskipun Allah menyebut mesjid dengan sebutan rumah (al-bait) dalam firman-Nya:
 “Dalam rumah-rumah yang Allah izinkan untuk diangkat dan dikumandangkan Nama-Nya di dalamnya.” (al-Nur:36)
Namun ‘urf yang berlaku di tengah masyarakat menunjukkan bahwa penyebutan kata “rumah” (al-bait) secara mutlak tidak pernah digunakan untuk masjid. Itulah sebabnya, orang yang bersumpah tersebut tidak menjadi batal sumpahnya jika ia masuk ke dalam masjid. Adapun contoh Istihsan dengan ‘urf yang berupa perbuatan adalah seperti kebolehan mewakafkan benda bergerak seperti buku dan perkakas alat memasak, berdasarkan adat setempat.Padahal wakaf biasanya hanya pada harta yang bersifat kekal dan tidak bergerak seperti tanah.
5. Istihsan yang didasarkan atas Mashlahah Mursalah : seperti mengharuskan ganti rugi atas penyewa rumah jika perabotnya rusak ditangannya, kecuali disebabkan bencana alam. Tujuannya agar penyewa berhati-hati dan lebih bertanggung jawab.Padahal menurut ketentuan umum penyewa tidak dikenakan ganti rugi jika ada yang rusak, kecuali disebabkan kelalaiannya.[3]
3. Kehujjahan Istihsan
Dari definisi istihsan dan penjelasan terhadap kedua macamnya jelaslah bahwasannya pada hakekatnya istihsan bukan sumber hukum yang berdiri sendiri, karena sesungguhnya hukum istihsan bentuk yang pertama dari kedua bentuknya berdalilkan qiyas yang tersembunyi yang mengalahkan terhadap qiyas yang jelas, karena adanya beberapa faktor yang memenangkannya yang membuat tenang hati si Mujtahid. Itulah segi Istihsan.Sedangkan bentuk yang kedua dari istihsan ialah bahwa dalilnya adalah maslahat, yang menuntut pengecualian kasuistis dari hukum kulli (umum), dan juga yang disebut dengan segi istihsan.[4]
Adapun kehujjahan istihsan menurut para ulama’, antara lain:
  1. Ulama’ Hanafiyah
Abu Zahrah berpendapat bahwa Abu Hanifah banyak sekali menggunakan istihsan.Begitu pula dalam keterangan yang ditulis dalam beberapa kitab Ushul yang menyebutkan bahwa Hanafiyah mengakui adanya istihsan.Bahkan, dalam beberapa kitab fiqihnya banyak sekali terdapat permasalahan yang menyangkut istihsan.
  1. Ulama’ Malikiyah
Asy-Syatibi berkata bahwa sesungguhnya istihsan itu dianggap dalil yang kuat dalam hukum sebagaimana pendapat Imam Maliki dan Imam Abu Hanifah.Begitupula menurut Abu Zahrah, bahwa Imam Malik sering berfatwa dengan menggunakan istihsan.
  1. Ulama’ Hanabilah
Dalam beberapa kitab Ushul disebutkan bahwa golongan Hanabilah mengakui adanya istihsan, sebagaimana dikatakan oleh Imam Al Amudi dan Ibnu Hazib. Akan tetapi, Al-Jalal Al-Mahalli dalam kitab Syarh Al-Jam’ Al-Jawami’ mengatakan bahwa istihsan itu diakui oleh Abu Hanifah, namun ulama’ yang lain mengingkarinya termasuk di dalamnya golongan Hanabilah.
  1. Ulama’ Syafi’iyah
Golongan Al Syafi’i secara masyhur tidak mengakui adanya istihsan, dan mereka betul-betul menjauhi untuk menggunakan dalam istinbat hukum dan tidak menggunakannya sebagai dalil.Bahkan, Imam Syafi’i berkata “Barang siapa yang menggunakan istihsan berarti ia telah membuat syari’at.Beliau juga berkata, Segala urusan itu telah diatur oleh Allah SWT., setidaknya ada yang menyerupainyasehingga dibolehkan menggunakan qiyas.Namun tidak boleh menggunakan istihsan.

BAB III
PENUTUP
  1. Kesimpulan
Dengan demikian, dapat disimpulakan bahwa Istihsan yaitu ketika seorang Mujtahid lebih cenderung dan lebih memilih hukum tertentu dan meninggalkan hukum yang lain disebabkan satu hal yang dalam pandangannya lebih menguatkan hukum kedua dari hukum pertama.
Macam macam istihsan ada dua macam, yaitu pertama: Pentarjihan qiyas khafi (yang tersembunyi) atas qiyas jail (nyata) karena adanya suatu dalil. Kedua: Pengecualian kasuistis (juz’iyyah) dari suatu hukum kuli (umum) dengan adanya suatu dalil.
2.     Kritik dan Saran
Manusia tidak selamanya tepat pertimbangannya, adil sikapnya, kadang-kadang manusia berbuat yang tidak masuk akal.oleh sebab itu, manusia perlu sekali tahu mengenai dirinya sendiri,kami menyadari bahwa makalah ini masih sangat jauh dari kesempurnaan, Masih banyak kesalahan dan kekurangan dalam penulisan makalah ini, baik yang kami senga maupun yang tidak kami sengaja. Maka dari itu sangat kami harapkan saran dan kritik yang membangun dari pembawa demi kesempurnaan makalah ini.semoga dengan berbagai kekurangan yang ada ini tidak mengurangi nilai-nilai dan manfaat dari mempelajari ,tentang pengertian istihsan dasar hukum istihsan macam-macam istihsan.



DAFTAR PUSTAKA
Wahab, Khalaf Abdul, 1996, Kaidah-kaidah Hukum Islam (Ilmu Ushul Fiqh), Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Syafe’i Rachmat, 1999, Ilmu Ushul Fiqih, Bandung: Pustaka Setia.
Wahab, Khalaf Abdul, 1994, Ilmu Ushul Fiqih, Semarang: Dina Utama.
Al-Khudhari Biek, Muhammad, 2007, Ushul Fiqih, Jakarta: Pustaka Amani.















[1]Abdul Wahab Khalaf, Kaidah-kaidah Hukum Islam (Ilmu Ushul Fiqih), Jakarta, 1996, hlm. 120

[2]Rachmat Syafe’i, M.A., Ilmu Ushul Fiqih, Bandung, 1999, hlm. 111-112

[3]Abdul Wahab, Ilmu Ushul Fiqh, Semarang, 1994, hlm. 110
[4]Al-Khudhari Biek, Muhammad, 2007, Ushul Fiqih, Jakarta: Pustaka Amani