1

loading...

Monday, November 26, 2018

TOKOH PEMIKIRAN ISLAM IMAM AL-GHAZALI

TOKOH PEMIKIRAN ISLAM “IMAM AL-GHAZALI”

FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM



A.    Biografi Al-Ghazali
Bahwasannya nama lengkap al-Ghazali adalah Abu Hamid bin Muhammad Al-Ghazali Ath-Thusi An-Naysa buri . ia lahir dikota Thus, yang merupakan kota kedua setelah Naysabun yang terletak di wilayah Khurasan, pada tahun 450 H atau 1058 M. ayahnya adalah seorang sufi yang sangat wara’. Yang hanya makan dari usaha tangannya sendiri. Kerjanya adalah memintal wool dan menjualnya sendiri. Ia meninggal sewaktu anaknya itu masih kecil dan sebelum meninggal ia menitipkan anaknya pada seorang sufi lain untuk mendpat bimbingan dan pendidikan.
Al-Ghazali mempunyai seorang saudara yang bernama Ahmad. Ketika ayahnya meninggal, sahabatnya segera melaksanakan wasiat ayah al-Ghazali. Kedua anak ini dididik dan disekolahnkan. Dan setelah harta pusaka peninggalan ayah mereka habis, mereka dinasehati agar meneruskan mencari ilmu semampu-mampunya.
Sejak kecil al-Ghazali dikenal sebagai anak yang senang menuntut ilmu pengetahuan dan penggadung mencari kebenaran., maka tidaklah mengherankan jika sejak masa kanak-kanak ia telah be;ajar dengan sejumlah guru dari kota kelahirannya. Masa kecilnya dimulai dengan belajar fiqh. Pada ulama terkenal yang benama Ahmad Ibn Muhammad Ar-Razakani di Thus, kemudian belajar kepada Abu Nashr al-Ismail di Jurjan dan akhirnya ia kembali ke Thus lagi sebagai gambaran kecintaannya akan ilmu pengetahuan, dikisahkan pada suatu hari dalam perjalanan pulangnya ke Thus, beliau dan teman-temannya dihadang oleh sekawanan pembegas yang kemudian merampas harta dan kebutuhan yang mereka bawa. Para pembegal merebut tas al-Ghazali yang berisi buku-buku yang ia senangi, kemudian ia meminta dengan penuh iba pada kawanan pembegal itu agar sudi kiranya mengembalikan tasnya, kerena beliau ingin mendapatkan berbagai macam ilmu pengetahuan yang terkandung didalamnya. Kawanan begas itupun merasa iba dan kasihan padanya sehingga mengembalikan ta situ. Dan setelah peristiwa itu, ia menjadi semakin rajin mempelajari dan memahami kandungan kitab-kitabnya dan berusaha mengamalkannya. Bahkan beliau selalu menyimpan kitab-kitab itu disuatu tempat khusus yang aman.

Setelah belajar di Thus, ia lalu melanjutkan belajar di Naysabur, tempat dimana ia menjadi murid Al-Juwaini Imam Al-Haramain hingga gurunya itu wafat. Dari beliau, dia belajar ilmu kalam, ushul fiqh dan ilmu pengetahuan agama lainnya. Pada periode ini, ia berusaha bersungguh-sungguh sehingga dapat menamatkan pelajarannya dengan singkat. Gurunya membanggakan dan mempercayakan kedudukannya kepadanya. Ia membimbing murid-murid mewakili gurunya sambil menulis buku. Dengan kecerdasan dan kemauan belajarnya yang luar biasa serta kemampuannya dalam mendebat segala sesuatu yang tidak sesuai dengan penalaran yang jernih, Al-Juwaini kemudian memberikan predikat bahrun mughrid (laut yang dalam dan menenggelamkan).
Dari Naysabur, pada tahun 478 H/1058 M, al-Ghazali kemudian menuju Mu’askar. Untuk bertemu dengan Nidzam al-Mulk, yang merupakan perdana menteri  Sultan Bani Saljuk. Dengan semakin mencuatnya nam al-Ghazali, Nidzam al-Mulk kenudian memerintahkannyapergi ke Bagdad untuk mengajar di Al-Madrasah An-Nadzamiyyah, dimana semua orang mengagumi pandangan-pandangannya yang akhirnya ia menjadi imam bagi penduduk Irak setelah sebelumnya menjadi Imam di Khurasan. Namun, ditengah ketenarannya sebagai seorang ulama, disisi lain pada saat ini ia mengalami fase skeptisisme. Yang membuat keadaannya terbalik. Ia kemudian meninggalkan Bagdad dengan segala kedudukan dan fasilitas kemewahan yang diberikan padanya untuk menyibukkan dirinya dengan ketakwaan.
Perjalanannya kemudian berlanjut menuju Damaskus dimana ia banyak menghabiskan waktunya untuj berdakwah, beribadah dan beri’itikaf. Dari sini ia kemudian menuju Baitul Maqdis untuk menunaikan ibadah haji. Setelah itu, ia kemudian kembali ke Naysabur atas desakan Fakhrul Mulk, anak Nidzam Al-Mulk untuk kembali mengajar. Hanya saja, ia menjadi guru besar dalam bidang studi lain, tidak seperti dahulu lagi. Selama periode mengajarnya yang kedua ini, ia juga menjadi imam ahli agama dan tasawuf serta penasehat spesialis dalam bidang agama.
Setelah mengajar diberbagai tempat seperti Bagdad, Syam dan Naysaburi, pada tahun 500 H/1107 M, al-Ghazali kemudian kembali ke kampung halamannya, banyak bertafaktur, menanamkan ketakutan dalam kalbu sambil mengisi waktunya dengan mengajar pada madrasah yang ia dirikan disebelah rumahnya untuk para penuntut ilmu dan tempat khalwat bagi para sufi. Dan pada hari senin, 14 Jumadal akhirah 505 H/18 Desember 1111 M, imam al-Ghazali berpulang ke rahmatullah ditanah kelahirannya, Thus dalam usia 55 tahun.

B.     Pemikiran pendidikan Al-Ghazali
Dalam pandangan al-Ghazali yang dikutip oleh Mahmud dalam bukunya pemikiran pendidikan islam mengatakan bahwa sentral dalam pendidikan adalah hati sebab hati adalah esensi dari manusia. Menurutnya substansi manusia bukanlah terletak pada unsur-unsur yang ada pada fisiknya melainkan berada pada hatinya sehingga pendidikan diarahkan pada membentuk akhlak yang mulia.
Tugas guru tidak hanya mencerdaskan pikiran, melainkan membimbing, mengarahkan, meningkatkan dan menyucikan hati untuk mendekatkan diri kepada allah. Jadi peranan guru disini tidak hanya mentransfer ilmu melainkan mendidik.
Adapun beberapa karya al-Ghazali antara lain :
1.      Tahafut al-falasafi (tujuan-tujuan fisuf) 488 H, karya kalam al-Ghazali yang tertuji keoada para filosof dan pengagumnya yang bertentangan dengan akidah islam, secara rasional.
2.      Fadha’ih al-batnihiyyat wa fadha’ih al-mustazhhiriyyah (488 H), karyakalam al-Ghazali yang bertuju kepada golongan batiniyyah, untuk mengoreksi paham mereka yang berbeda dan bertentangan dengan akidah islam yang benar.
3.      Al-Iqtishad fi al-I’tiqad (488 H), karya kalam yang terbesar dari al-Ghazali untuk mempertahankan akidah Ahlusunnah secara rasional.
4.      Al-risalat al-qudsiyyah (488-489 H), karya kalam al-Ghazali yang disajikan secara ringan untuk mempertahankan akidah Ahlusunnah.
5.      Qawa’id al-‘aqa’id (488-489 H), karya teologi al-Ghazali yang mendeskripsikan materi akidah yang benar menurut paham Ahlusunnah. Karya ini yang mencakup juga nomor 4 diatas, kini termasuk dalam kitab ihya’ ulum al-din
6.      Ihya’ ulum al-din (489-485 H), karya tulis al-Ghazali yang terbesar, yang memuat ide sentral al-Ghazali untuk menghidupkan kembali ilmu-ilmu agama islam.
7.      Al-maqashad al-asna:syarh asma’allah al-husna (490-495 H), memuat pembahasan al-Ghazali tentang nama-nama tuhan secara komprehensif, masalah-masalah teologi dan sufisme.
8.      Faysal al-tafriqat bayna al-islam wa al-zandaqah (497 H), berisi konsepsi al-Ghazali tentang toleransi dalam bermadzhab teologi. Juga berisi tentang norma-norma yang dibuatnya untuk memecahkan soal pertentangan antara teks wahyu dan akal dengan cara pentakwilan yang berstruktur.
9.      Kitab al-arba’in fi ushul al-din (499 H), memuat bahasan tentang teologi pada sepuluh pokok pertama, dan ditutup dengan suatu penjelasan mengenai hubungan akidah dan makrifah.
10.  Qanun al-ta’wil (sebelum 500 H), berisi aturan-aturan pentakwilan ayat-ayat al-qur’an dan hadis-hadis nabi secara rasional.
11.  Al-munqidz min al-dhalal (501-502 H), memuat riwayat perkembangan intelektual dan spiritual pribada al-Ghazali, penilaiannya terhadap metode para pemburu kebenaran, macam-macam ilmu pengetahuan dan epistimologinya.
12.  Iljam al-awam’an ‘ilm al-kalam (504-505 H), karyabteologi al-Ghazali yang terakhir.
Yang termasuk karya monumental Al-Ghazali yaitu “Ihya Ulum al-Din” (menghidupkan kembali ilmu agama) al-Ghazali sangat berpengaruh dalam dunia islam, sehingga tidak mengherankan jika ada yang mengatakan bahwa ia adalah salah seorang tokoh terpenting setelah nabi Muhammad SAW, ditinjau dari segi pengaruh dan perannya dalam menata dan mengukur ajaran keagamaan. Adapun karya-karya monumentum al-Ghazali yang lain yaitu : Mizanu al-A’mal, al_Arba’in, al-Tabru Masbuk Fi Nashah al-Mulk, dll.
 Konteks senada dipaparkan oleh Abdul Fattah uhammad Sayyid Ahmad, bahwa kitab-kitab al-Gio pada perkembangan pemikiran islam secara khusus, dan secara umum pada pemikiran humanism. Karya monumental al-Ghazali adalah kitabnya yang berjudul “Ihya Ulum al-Din”. Kitab ini membuat pemikiran orsinil al-Ghazali, yang berisi ilmu pengetahuan, cahaya petunjuk, sendi-sendi keimanan, dam ma’arifat. Dalam kitabnya Ihya al-Ghazali kedudukan ihsan.
Adapun mengenai materi pendidikan, al-Ghazali berpendapat bahwa al-Qur’an beserta kandungannya adalah merupakan ilmu pengetahuan. Dalam hal ini al-Ghazalim membagi ilmu pada dua macam, yaitu : pertama, ilmu syar’iyyah; semua ilmu yang berasal dari para nabi. Kedua, ilmu Ghair Syar’iyyah; semua ilmu yang berasal dari hasil ijtihad ulama atau intelektual muslim.
Dalam pandangan al-Ghazali, pendidik merupakan orang yang berusaha membimbing, meningkatkan, menyempurnakan dan mensucikan hati sehingga menjadi dekat dengan khaliqnya. Ia juga memberikan perhatian yang sangat besar pada tugas dan kedudukan seorang pendidik. Hal ini tercermin dalam tulisannya:
“sebaik-baik ikhwalnyaadalah yang dikatan berupa ilmu pengetahuan. Hal itulah yang dianggap keagungan dalam kerajaan langit. Tidak selayaknya ia seperti jarum yang memberi pakaian kepada orang lain sementara dirinya telanjang, atau seperti sumbu lampu yang menerangi yang lain sementara dirinya terbakar.maka, barang siapa yang memikul beban pengajaran, maka sesungguhnya ia telah memikul perkara yang besar, sehingga haruslah ia menjaga etika dan tugasnya. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pendidik yang dapat diserahi tugas mengajar adalah seorang pendidik yang selain memiliki kompetensi dalam bidang yang diajarkan yang tercermin dalam kesempurnaan akalnya, juga haruslah yang berakhlak baik dan memiliki fisik yang kuat”
Disamping syarat-syarat umum ini, ia juga memberikan kriteria-kriteria khusus yaitu :
1.      Memperlakukan murid dengan penuh kasih saying
2.      Meneladani rasulullah dalam mengajar dengan tidak meminta upah
3.      Memberikan peringatan tentang hal-hal baik demi mendekatkan diri pada Allah SWT
4.      Memperingati murid dari akhlak tercela dengan cara-cara yang simpatik,halus tanpa cacian, maksiat dan kekerasan. Tidak mengekspose kesalahan murid didepan umum
5.      Menjadi teladan bagi muridnya dengan menghargai ilmu-ilmu dan keahlian lain yang bukan keahlian dan spesialisasinya
6.      Menghargai perbedaan potensi yang dimiliki oleh muridnya dan memperlakukannya sesuai dengan tingkat perbedaan yang dimilikinya itu
7.      Memahami perbedaan bakat, tabi’at dan kejiwaan murid sesuai dengan perbedan usianya
8.      Berpegang teguh pada prinsip yang diucapkannya dan berupaya berealisasikan sedemikian rupa

C.    Relevansi pemikiran Al-Ghazali dengan pendidikan nasional
Dalam kaitannya dengan peserta didik atau dengan kata lain yaitu murid, lebih lanjut al-Ghazali menjelaskan bahwa mereka adalah makhluk yang telah dibekali dengan potensi atau fitrah untuk beriman kepada allah swt. Fitrah itu sengaja disiapkan oleh allah swt sesuai dengan kejadia manusia yang tabi’at dasarnya adalah cenderung kepada agama tauhid (islam). Untuk itu, seorang pendidik bertugas mengarahkan fitrah tersebut agar dapat tumbuh dan berkembang sesuai tujuan penciptanya sebagai manusia.
Pemikiran al-Ghazali yang sangat luas dan memadukan antara dua komponen keilmuan, sehingga menghantarkan pemahaman bahwa konsep peserta didik menurutnya peserta didik adalah manusia yang fitrah. Konsepnya berlandaskannpemahamannya terhadap menafsirkan firman allah pada surat Ar-Rum ayat 30:
Artinya:
Maka hadapkanlah dengan lurus kepada agama alla; (tetaplah atas) fitrah allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah allah. (itulah) agama yang lurus ; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.
            Ada pun kaitanya terhadap peserta didik, bahwa fitrah manusia yang sangat luas. Al-Gazali menjelaskan klafikasi fitra dalam beberapa fokok sebagai berikut:
1.      Beriman kepada allah
2.      Kemampuan dan kesediaan untuk menerima kebaikan dan keterunan atau dasar kemampuan untuk menerima pendidikan dan pengajaran
3.      Dorongan untuk mencari hakika kebenaran yang merupakan dya untuk berpikir
4.      Dorongan biologis yang berupa syahwat dan ghodlob atau insting
5.      Kekuatan lain-lain dan sifat sifat manusia yang dapat di kembangkan dan di sempurnakan
Dengan demikian konsep fitrah yang di letakan al-Gazali dalam memahami peserta didik masi memiliki relevansi dengan dunia pendidikan modern dalam hal sifat-sifat pembawaan, keterunan dan insting manusia. Hanya saja, dalam hal ini pandangan al-gazali lebih berkontraksi pada nilai moral, belajar merupakan slah satu bagian dari ibadah guna mencapai seorang hamba yang tetap dekat (taqarruf) dengan khaliknya. Maka dari itu, seorang peserta didik harus berusaha mensuciksn jiwa nya dan ahlak yang tercelah.
Selanjutnya syarat yang mendasar bagi peserta didik seperti diatas, mendorong kepada terwujudnya syarat dan sifat lain sebagai seorang peserta didik, syarat-syarat tersebut antara lain :
1.      Peserta didik harus memuliakan pendidik dan bersikap rendah hati atau tidak takabur. Hal ini sejalan dengan pendapat al-Ghazali yang menyatakan bahwa menuntut ilmu merupakan perjuangan yang berat yang menuntut kesungguhan yang tinggi dan bimbingan dari pendidik
2.      Peserta didik harus merasa satu bimbingan dengan peserta didik lainnya dan sebagai satu bangunan maka peserta didik harus saling menyayangi dan menolong serta berkasih saying sesamanya
3.      Peserta didik harus menjauhi diri dari pembelajaran berbagai madzhab yang dapat menimbulkan kekacauan dalam pikiran
4.      Peserta didik harus mempelajari tidak hanya satu jenis ilmu yang berminat, melainkan ia harus mempelajari berbagai ilmu lainnya dan berupaya sungguh-sungguh mempelajarinya sehingga tujuan dari setiap ilmu tersebut tercapai.
Adapun pemikiran al-Ghazali lainnya sebagai berikut :
1)      Belajar merupakan proses jiwa
2)      Belajar menuntut konsentrasi
3)      Belajar harus didasari sikap tawadhu’
4)      Belajar bertukar pendapat hendaklah telah mantap pengetahuan dasarnya
5)      Belajar harus mengetahui nilai dan tujuan ilmu pengetahuan yang dipelajari
6)      Belajar secara bertahap
7)      Tujuan belajar untuk berakhlakul karimah
Oleh karena itu arahan pendidik al-Ghazali menuju manusia sempurna yang dapat mencapai tujuan hidupnya yakni kebahagiaan dunia dan akhirat yang hal ini berlangsung hingga akhir hayatnya. Hal ini berarti bahwa manusia hidup selalu berkedudukan sebagai murid.
Menurut al-Ghazali metode perolehan ilmu dapat dibagi berdasarkan jenis ilmu itu sendiri, yaitu’ (1) ilmu kasbi dapat diperoleh melalui metode atau cara berfikir sistematik yang dilakukan secara konsisten dan bertahap melalui proses pengamatan, penelitian, percobaan dan penemuan, yang mana perolehannua dapat menggunakan pendekatan ta’lim insani, (2) ilmu ladunni dapat diperoleh orang-orang tertentu dengan tidak melalui proses perolehan ilmu pada umumnya tetapi melalui proses pencerahan oleh hadirnya cahaya illahi dalam qalbu, yang mana perolehannya adalah menggunakan pedekatan ta’lim rabbani.
Al-Ghazali menggunakan tsawuf(pahala) dan uqubah(dosa) sebagai reward and punishment-nya. Di samping itu, ia juga mengalaborasi dengan pendekatan humanistic yang mengatakan bahwa para pendidik harus memandang anak didik sebagai manusia secara holistic dan menghargai mereka sebagai manusia. Bahasa al-Ghazali tentang hal ini adalah bagaimana seorang guru harus bersikap lemah lembut dan penuh kasih sayang pada murid selayaknya mereka adalah anak kandung sendiri.
Menurut al-Ghazali pendidik tidak semata-mata sebagai suatu proses yang dengannya guru menanamkan pengetahuan yang diserap oleh siswa, yang setelah proses itu masing-masing guru dan murid berjalan dijalan mereka yang berlainan. Lebih dari itu, ia adalah interaksi yang saling mempengaruhi dan menguntungkan antara guru dan murid dalam tataran sama, yang pertama mendapatkan jasa karena memberikan pendidikan dan yang terakhir dapat mengolah dirinya dengan tambahan pengetahuan yang di dapatkannya.
Selanjutnya ilmu pengetahuan terbagi menjadi dua : yaitu ilmu yang terpuji dan ilmu yang tercela. Ilmu-ilmu yang berkaitan dengan masalah aqidah dan ibadah wajib, misalnya termasuk ilmu yang fardhu’ain. Secara ringkas ilmu tersebut adalah ilmu yang diperlukan untuk mengamalkan kewajiban. Untuk orang-orang yang dikaruniai akal yang cerdas, maka beban dan kewajiban untuk mengkaji keilmuan itu tentu lebih berat. Mereka seharusnya lebih mendalami ilmu-ilmu yang fardhu’ain, lebih aripada orang lain yang kurang kadar kecerdasan akalnya.

D.    Referensi

1.      (Jakarta: Khalifah, 2005) Abdul Majid al-Najjari, pemahaman islam; antara rakyu dan wahyu cet. 1, Bandung: Renaja Rosda Karya, 1997
2.      Abd. Rahman Dahlan dan Ahmad Qorib, aliran politik dan Aqidah dalam islam cet. 1, (Jakarta: Logos, 1996)
3.      (Bandung: Mizan, 2006) Hasyimsah Nasution, filsafat islam cet. 3
4.      Shofiyyulah Mukhlas, Ensiklopeda filsafat. Cet. 1 (Jakarta: Khalifah Puataka al-Kautsar Grup 2005)
5.      Syaikh Al-‘Aidarus, Ed, Ihya Ulum al Din al Majlid al-Awal (Muqaddimah Ihya), (Beirut: Dar al-Jail, 1992)
6.      Yunasril Ali, perkembangan pemikiran filsafat dalam islam, cet 1, (Jakarta: Bumi Aksara, 1991)

No comments:

Post a Comment