BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Pendidikan
adalah kegiatan mendidik, mengajar, membimbing, melatih, mengarahkan, dan
menggerakkan siswa, yang dilakukan oleh orang-orang yang bertanggung jawab baik
secara formal, informal, maupun nonformal agar tujuan-tujuan pendidikan dapat
tercapai. Pendidikan dipandang sebagai aspek yang sangat mulia, agung, dan juga
memiliki peranan penting dalam membentuk generasi penerus yang tidak terhambat
intelektualnya dan senantiasa terjaga dan sadar akan berbagai perkembangan
segala jenis ilmu pengetahuan dan teknologi.
Tujuan dari pendidikan
adalah untuk membekali para peserta didik dengan keterampilan atau
kompetensi tertentu sebagai bekal untuk menghadapi kehidupan mereka sehingga
pendidikan diharapkan menghasilkan manusia yang berkualitas dan bertanggung
jawab serta mampu mengatasi masa depan.
Pendidikan
merupakan hak dan kewajiban bagi setiap individu untuk memanfaatkan semua
potensi yang dimilikinya. Tidak ada diskriminasi dalam pendidikan antara anak
yang normal dengan anak berkebutuhan khusus. Semua sama
di mata Allah dan tidak ada yang membedakan keduanya kecuali ketaqwaan-nya.
Salah satu anak disabilitas atau yang memiliki
kebutuhan khusus adalah anak tunagrahita atau dikenal juga dengan istilah
keterbelakangan mental karena keterbatasan kecerdasannya yang mengakibatkan
dirinya sukar untuk mengikuti program pendidikan disekolah biasa secara
klasikal, oleh karena itu anak terbelakang mental membutuhkan layanan
pendidikan secara khusus yakni disesuikan dengan kemampuan anak tersebut. Oleh
karena itu, judul dalam makalah ini adalah Pendidikan dan Bimbingan
bagi anak difable Tuna Grahita.
B.
RUMUSAN MASALAH
1. Apa Saja Klasifikasi Anak Difable Tuna Grahita?
2. Apa Saja Faktor Penyakit Kelainan Tuna Grahita?
3. Bagaimana Pelayanan Pendidikan Bagi Anak Tuna Grahita?
4. Bagaimana Sistem Pembelajaran PAI (Akidah-Akhlak,
Fiqih dan Hadits) untuk Anak Tuna
Grahita?
C.
TUJUAN PENULISAN
1. Untuk Mengetahui Apa Saja Klasifikasi Anak Difable
Tuna Grahita.
2. Untuk Mengetahui Apa Saja Faktor Penyakit Kelainan Tuna
Grahita.
3. Untuk Mengetahui Bagaimana Pelayanan Pendidikan Bagi
Anak Tuna Grahita.
4. Untuk Mengetahui Bagaimana Sistem Pembelajaran PAI
(Akidah-Akhlak, Fiqih dan Hadits) untuk
Anak Tuna Grahita.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Klasifikasi Anak Difable Tuna Grahita
Tunagrahita berasal dari kata Tuna dan Grahita. Tuna yang
berarti “merugi” sedangkan Grahita yang berarti “pikiran”. Tuna Grahita
merupakan kata lain dari redartasi mental yang
artinya terbelakang mental. Tunagrahita juga memiliki istilah-istilah
sebagai berikut:
a. Lemah fikiran (feeble minded)
b. Terbelakang mental (mentally retarded)
c. Bodoh atau dungu (idiot)
d. Cacat mental
e. Mental Subnormal,
dll.[1]
Tunagrahita itu sendiri adalah kondisi dimana
perkembangan kecerdasannya mengalami hambatan sehingga tidak mencapai tahap
perkembangan yang optimal.[2]
Ada beberapa
karakteristik umum tunagrahita yaitu:
1. Keterbatasan
Intelegensi
Intelegensi merupakan fungsi yang komplek yang dapat
diartikan sebagai kemampuan untuk mempelajari informasi dan
keterampilan-keterampilan menyesuaikan diri dengan masalah-masalah dan situasi-situasi
kehidupan baru, belajar dari pengalaman masa lalu, berfikir abstrak, kreatif,
dapat menilai secara kritis, menghindari kesalahan-kesalahan, mengatasi
kesalahan-kesalahan dan kemampuan untuk merencanakan masa depan. Kapasitas
belajar anak tunagrahita terutama yang bersifat abstrak seperti belajar dan
berhitung, menulis dan membaca juga terbatas. Kemampuan belajarnya cenderung
tanpa pengertian atau cenderung belajar membeo.
2. Keterbatasan sosial
Anak tunagrahita juga memiliki kesulitan dalam
mengurus diri sendiri dalam masyarakat, oleh karena itu, mereka memerlukan
bantuan orang lain. Anak tunagrahita cenderung berteman dengan anak-anak yang
lebih muda usianya, ketergantungan terhadap orang tua sangat besar, tidak bisa memikul
tanggung jawab sosial dengan bijaksana, sehingga mereka harus selalu dibimbing
dan diawasi. Mereka juga mudah dipengaruhi dan cenderung melakukan sesuatu
tanpa memikirkan akibatnya.
3. Keterbatasan
Fungsi-Fungsi Mental Lainnya
Anak tunagrahita memiliki keterbatasan dalam
penguasaan bahasa. Mereka bukan mengalami kerusakan artikulasi, akan tetapi
pusat pengelolahan (perbendaharaan kata) yang kurang berfungsi sebagaimana
mestinya. karena alasan itu mereka membutuhkan kata-kata konkrit yang sering di
dengarnya.
Selain itu, anak tunagrahita kurang mampu untuk mempertimbangkan
sesuatu, membedakan antara yang baik dan yang buruk, dan membedakan yang benar
dan salah. Ini semua karena kemampuannya terbatas sehingga anak tunagrahita
tidak dapat membayangkan terlebih dahulu konsekuensi dari suatu perbuatan.
Edgar Doll berpendapat seseorang dikatakan tunagrahita
jika : (1) secara tidak cakap, (2) secara mental di bawah normal, (3)
kecerdasannya terhambat sejak lahir atau pada usia muda, dan (4) kematangannya
terhambat (Kirk, 1970). Sedangkan menurut The
American Association on Mental Deficiency (AAMD), seseorang dikategorikan
tunagrahita apabila kecerdasannya secara umum di bawah rata-rata dan mengalami
kesulitan penyesuaian social dalam setiap fase perkembangannya (Hallahan dan
Kauffman,1986).[3]
Dalam makalah
ini pengelompokan anak terbelakang mental akan dilakukan atas dasar berat
ringannya hambatan mental atau kecerdasan yang dialami oleh anak. cara ini
dipilih karena memiliki manfaat praktis dalam perkiraan kemampuan yang dapat
dilakukan oleh anak. di samping itu
juga memberi manfaat dalam mempertimbangkan cara di dalam memberikan pelayananan pendidikan untuk
mereka. atas dasar itu, maka tunagrahita diklasifikasikan
ke dalam 4 kelompok yaitu:
1.
Retardasi
mental ringan (IQ :
55-69)
Pada
umumnya mereka lancar berbicara, tetapi perbendaharaan katanya terbatas. mereka
mengalami kesukaran berpikir abstrak tetapi masih dimungkinkan untuk mengikuti
pelajaran akademik walaupun dalam tingkatan yang rendah atau sederhana sebagian
dari mereka dapat mencapai kecerdasan singkat anak usia 12 tahun ketika mereka
mencapai usia 16 tahun secara umum kecerdasan mereka paling tinggi dapat
mencapai kemampuan tingkat anak usia 12 tahun.
2.
Retardasi
mental sedang (IQ : 40-54)
Secara umum mereka tidak jauh berbeda dengan anak tunagrahita ringan,
mereka juga dapat diajak untuk berkomunikasi. Namun, kelemahannya mereka tidak
begitu mahir dalam menulis, membaca dan berhitung.
perkembangan bahasanya lebih terbatas dibandingkan anak
tunagrahita ringan dan
mereka umumnya belajar secara membeo yaitu mempelajari dan
menguasai sesuatu tanpa makna.
mereka dapat membedakan bahaya dan tidak bahaya tetapi
mereka hampir selalu bergantung pada petunjuk dan perlindungan orang lain, mereka masih dapat
dilatih kemampuan untuk memelihara dirinya sendiri dan beberapa pekerjaan yang
memiliki nilai ekonomi,
kecerdasan mereka maksimum berkembang secara setara anak usia 7 tahun.
3.
Retardasi
mental berat (IQ : 25-39)
Hampir seluruh waktu dan
aktivitas bergantung kepada pertolongan orang lain mereka tidak dapat
memelihara dirinya sendiri seperti makan berpakaian mandi dan lain-lainnya pada
umumnya juga tidak dapat membedakan bahaya dan tidak bahaya mereka juga tidak
diharapkan dapat berpartisipasi dalam lingkungan sekitarnya .
4.
Retardasi
mental sangat berat (IQ dibawah
25)
Kondisi mereka umumnya
hampir sama seperti terbelakang mental berat.
dalam literatur memang
mereka yang terbelakang mental berat dan sangat berat sering diilustrasikan
secara bersama, perkembangan
maksimum kecerdasan mereka setara
dengan anak normal usia 3 atau 4 tahun.[4]
B.
Faktor Penyakit Kelainan Tuna Grahita
Terdapat beberapa faktor penyebab Tunagrahita. Strauss (Mumpuniarti, 2000) mengelompokkan faktor penyebab Tunagrahita menjadi dua gugus,
yaitu letaknya pada faktor keturunan (endogen) dan letaknya diluar faktor keturunan (eksogen).
Faktor penyebab ketunagrahitaan ialah sebagai berikut:
1.
Faktor keturunan, terjadi karena adanya
kelainan kromosom dan kelainan gen.
2.
Gangguan motabolisme dan gizi.
3.
Infeksi dan keracunan.
4.
Trauma dan zat radioaktif
5.
Masalah pada kelahiran
6.
Faktor lingkungan (sosial budaya)
Muljono Abdurrahman dan sudjati. S (1994) mengatakan bahwa tunagrahita
dapat disebabkan oleh beberapa factor, sebagai berikut:
1.
Faktor genetic, yaitu kerusakan biokimia dan
abnormalitas kromosomal.
2.
Pada masa prenatal, yang disebabkan karena
virus rubella (cacar) dan factor rhesus (Rh)
3.
Pada masa natal, yaitu luka saat kelahiran,
sesak nafas dan prematuritas
4.
Pada masa post natal, yang disebabkan karena
infeksi, encephalitis (peradangan system saraf pusat), meningitis (Peradangan
selaput otak) dan malnutrisi.
5.
Sosiokultular.
C.
Pelayanan Pendidikan Bagi Anak Tuna Grahita
Undang-undang
nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional, secara yuridis telah
memberikan jaminan tentang perlunya anak-anak dengan kondisi khusus memperoleh
layanan pendidikan yang khusus.
Warga
negara yang mempunyai kelainan fisik emosional mental intelektual dan atau
sosial berhak memperoleh pendidikan khusus. Pasal 32 Ayat
1, lebih lanjut menegaskan bahwa yang
dimaksud pendidikan khusus adalah pendidikan bagi peserta didik yang memiliki
tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional,
mental, sosial dan atau memiliki potensi
kecerdasan dan bakat istimewa.
Jika ingin menjadi guru untuk anak tunagrahita, maka
harus dapat membuat langkah kecil dengan kesabaran yang luar biasa, untuk
menempuh hasil yang kecil, anak sering
membutuhkan pujian-pujian, serta anggukan-anggukan yang memuaskan sehingga bisa
membangkitkan semangat mereka. Tiap-tiap pujian harus bersifat mendidik. Kasih
sayang dan kehendak-kehendak yang bersungguh-sungguh harus tetap dijaga.
Pada umumnya, anak-anak handicapt atau tunagrahita
kerap sekali di dekatkan kepada nivo yang rendah, maksudnya ialah perlakuan
terhadap anak-anak ini sering tidak menguntungkan dipihak anak. Mereka sama
sekali dianggap sebagai anak yang tidak dapat diajak bicara. Perlakuan yang
kebayi-bayian ini atau yang tidak semestinya ini sama sekali tidak memberikan
dorongan dan pengajaran yang membuat anak semakin maju.
Setiap
anak memiliki kondisi dan karakteristik yang berbeda. perbedaan itu terjadi pada berbagai aspek dalam
perkembangan manusia yaitu: aspek fisik, kognitif,
emosi dan sosial. ketika perbedaan tersebut sangat
mencolok dan signifikan maka muncullah konsep anak luar biasa atau aksional
children atau sering disebut juga anak berkebutuhan khusus atau (student with special
Needs).
· Layanan
pendidikan tunagrahita
Untuk layanan pendidikan anak-anak tunagrahita terdiri dari bentuk
layanan yaitu : (bentuk
segregasi dan bentuk integrasi).
a.
Bentuk layanan segregasi
adalah bentuk layanan yang terbesar bagi anak tunagrahita, bentuk ini meliputi
sekolah luar biasa bagian C untuk tunagrahita yang didik (ringan) dan C1 untuk
tuna grahita yang mampu latih (sedang). sekolah luar biasa (SLB) yang menerima
anak tunagrahita mampu didik atau ringan. sedangkan
panti rehalibitasi penyandang cacat mental (PRPCM) adalah yang menerima anak
tunagrahita yang latih (sedang).
b.
Bentuk layanan intergrasi adalah bentuk layanan yang memungkinkan
dilakukan untuk anak- anak yang mampu didik ringan. adapun bentuknya adalah
berupa bentuk kelas khusus dan bentuk sekolah umum.[5]
D.
Sistem Pembelajaran PAI (Akidah-Akhlak, Fiqih dan
Hadits) untuk Anak Tuna Grahita
Proses
pembelajaran untuk anak terbelakang mental membutuhkan kondisi khusus yang
berbeda dengan pembelajaran untuk anak normal pada umumnya. Kurikulum dan
strategi pembelajaran yang umum mungkin tidak efektif bagi anak tunagrahita,
karena kapasitas intelektualnya kurang memadai untuk itu. Pembelajaran harus
dimodifikasi, diatur atau disesuaikan dengan kondisi anak tunagrahita, sehingga
dapat memberikan hasil yang optimal.
Adapun
prinsip-prinsip materi yang berkaitan dengan mata pelajaran Pendidikan Agama Islam bagi anak
tunagrahita. guru agama islam
hendaknya memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
1.
Materi
PAI hendaknya disederhanakan bila terdapat materi yang dianggap sulit.
2.
Materi bersifat konkrit tidak abstrak dan
verbal .
3.
Materi bersifat praktis tidak teoritik.
4.
Materi PAI bila menyangkut hafalan
hendaknya disingkat atau disederhanakan.
5.
Materi disampaikan secara bertahap dan
berulang kali sehingga anak dapat memahami dan akhirnya menjadi kebiasaan.
6.
Materi henaknya kontekstual atau sedang terjadi
dan dilakukan oleh siswa di
lingkungan sekitarnya.
7.
Materi PAI hendaknya disesuaikan dengan
kemampuan siswa.
Contohnya:
Dalam pelajaran akidah
akhlak di tingkat dasar, maka cukup diberikan materi tentang rukun islam atau
rukun iman. Kemudian, di jenjang selanjutnya materi dinaikkan sedikit apabila
anak sudah mengerti dengan materi awal. Dan materi ini diberikan sesuai dengan
kemampuan anak dalam menangkap atau memahami materi yang telah diajarkan.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1.
Anak Tuna Grahita memiliki kecerdasan dibawah rata-rata sedemikian rupa
dibandingkan dengan anak normal pada umumnya.
2.
Adanya keterbatasan dalam perkembangan tingkah laku pada masa perkembangan.
3.
Terlambat atau terbelakang dalam perkembangan mental dan social.
4.
Serta mengalami kesulitan dalam mengingat apa yang dilihat, di dengar,
sehingga menyebabkan kesulitan dalam berbicara dan berkomunikasi.
5.
Mengalami masalah persepsi yang menyebabkan tuna grahita mengalami
kesulitan berbagai bentuk benda (visual perception) dan suara (audiotary
perception).
Anak
berkebutuhan khusus juga memiliki
hak yang sama, khususnya tunagrahita. Hak yang sama dalam berbagai hal,
termasuk mendapatkan pendidikan yang layak
baik
pendidikan secara formal
ataupun nonformal. Mereka juga
memiliki hak untuk mendapatkan semua fasilitas yang diberikan oleh negara
dengan tanpa dibeda-bedakan. memiliki
relevansi dalam rangka mewujudkan proses belajar Pembelajaran Agama Islam yang
mampu memberdayakan peserta didik secara maksimal.
B.
Saran
Agar
pembelajaran dapat berjalan dengan baik guna mencapai tujuan pembelajaran yang
sudah di targetkan. Maka harus ada hubungan yang baik antara guru dan siswa
dalam suatu proses pembelajaran, guru harusnya menggunakan metode pembelajaran
yang menarik perhatian siswa, memberikan kesempatan kepada siswa dalam menggunakan
gaya belajarnya sendiri dan memahami situasi dan kondisi siswa serta membantu siswa untuk mengembangkan potensi yang
dimiliki oleh siswa, terutama bagi anak tuna grahita.
DAFTAR PUSTAKA
Haedari Amin, 2010, Pendidikan
Agama Di Indonesia, Jakarta, Puslitbang.
Efendi Mohammnad, 2006, Pengantar
Psikopedagogik Anak Berkalianan, Jakarta, PT Bumi Aksara.
Somantri Sutjihati, 2006, Psikologi
Anak Luar Biasa, Bandung, PT. Refika Aditama.
Suparno, 2007, pendidikan
anak berkebbutuhan khusus, direktorat
jendral pendidikan tinggi departemen pendidikan nasional, senin,
4 november 2018. jam 18:00.
Yosiani,Novita
2014, Relasi Karakteristik Anak Tuna Grahita Dengan Pola Tata Ruang Belajar
Di Sekolah Luar Biasa, Vol. 1, No. 2.
[1]2Novita
Yosiani, Relasi Karakteristik Anak Tuna
Grahita Dengan Pola Tata Ruang Belajar Di Sekolah Luar Biasa, Vol. 1, No.
2, 2014, hal. 112-113.
[2]T. Sutjihati Somantri, Psikologi Anak Luar Biasa, (Bandung: PT
Refika Aditama, 2006), hlm. 103-104.
[3]Mohammnad
Efendi, Pengantar Psikopedagogik Anak
Berkalianan, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2006), hlm. 89
[5]Suparno, pendidikan anak berkebutuhan
khusus, direktorat
jendral pendidikan tinggi departemen pendidikan nasional, 2007. senin, 4 november
2018. jam 18:00.
No comments:
Post a Comment