MAKALAH“Pandangan Islam Mengenai Kebaikan dan Kebahagiaan”
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Psikologi Islami, sebagai madzhab
psikologi yang mendasarkan pada nilai-nilai Islam dalam memandang persoalan
manusia, memiliki misi yang besar dan mulia dalam mengantarkan manusia agar
dapat menemukan kembali visi spiritualnya, yaitu menggapai kehidupan yang
bermakna menuju kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.
Visi inilah yang akan membuat manusia
dapat menjalani kehidupan di dunia ini dengan penuh rasa bahagia. Hanya saja,
saat ini kajian psikologi Islami belum banyak yang mengarah kepada masalah
kebahagiaan manusia. Berangkat dari kebutuhan tersebut, melalui makalah ini, penulis memandang
perlu untuk melakukan sebuah konseptualisasi Psikologi Kebaikan dan Kebahagiaan dengan
cara menggali ayat-ayat Al-Qur’an yang terkait dengan tema Kebaikan dan Kebahagiaan.
B. Rumusan Masalah
1.
Apa pengertian kebaikan menurut pandangan Islam ?
2.
Apa pengertian kebahagiaan menurut pandangan Islam ?
C. Tujuan Masalah
1.
Mengetahui definisi kebaikan menurut Islam
2.
Mengetahui apa itu kebahagiaan menurut Islam
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Kebaikan Menurut Pandangan Islam
Kebaikan berasal dari kata baik (al-khair),
yang berarti sesuatu telah mencapai kesempurnaan, sesuatu yang menimbulkan rasa
keharuan dalam kepuasan, membawa kesenangan dan persatuan.[1]
Baik juga berarti sesuatu yang mempunyai nilai kebenaran, nilai yang diharapkan
memberikan kepuasaan, mendatangkan rahmat, memberikan perasaan senang atau
bahagia. Dalam salah satu ayat Al-Quran, kebaikan disebut "Al-Biru".
Ulama mengartikannya sebagai "kebaikan yang banyak". Allah SWT merinci apa saja yang
disebut kebaikan dalam firman-Nya:
Artinya: "Kebaikan
itu bukanlah dengan menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat, akan tetapi
sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, Hari Kemudian,
malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi, dan memberikan harta yang
dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir
(yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta;
(memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan
orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang
sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah
orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.”
(QS. 2:177).
Dari ayat di atas, yang dimaksud perbuatan baik atau
kebaikan dalam Islam antara lain:
1. Beriman. Beriman kepada Allah, Hari
Kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, dan nabi-nabi.
2. Suka Infak, Dermawan. Memberikan harta
yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin,
musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta;
(memerdekakan) hamba sahaya.
3. Taat Ibadah. Mendirikan shalat dan menunaikan
zakat.
4. Menepati Janji. Menepati janjinya
apabila ia berjanji
5. Sabar. Orang-orang yang sabar dalam
kesempitan, penderitaan, dan dalam peperangan.
Dalam Al-Quran dan Tafsirnya dari
Universitas Islam Indonesia (1991) dijelaskan, ayat ini bukan saja ditujukan
kepada umat Yahudi dan Nasrani, tetapi mencakup semua umat yang menganut agama
samawi (agama yang turun dari langit) termasuk umat Islam.
Allah SWT menjelaskan kepada semua
umat manusia, bahwa kebaktian bukanlah sekedar menghadapkan muka kepada suatu
arah tertentu (baik arah ke Timur atau ke Barat). Tetapi hakikat kebaktian
adalah beriman kepada Allah dengan sesungguhnya, iman yang bersemayam di lubuk
hati yang dapat menentramkan jiwa, yang dapat menunjukkan kebenaran dan
mencegah diri dari segala macam dorongan hawa nafsu dan kejahatan. Beriman pada
hari akhirat sebagai tujuan terakhir dari kehidupan dunia yang serba kurang dan
fana ini. Beriman kepada malaikat yang di antara tugasnya menjadi perantara dan
pembaca wahyu dari Allah kepada para Nabi dan Rasul. Beriman kepada semua
kitab-kitab (Zabur, Taurat, Injil, dan Al-Quran) yang diturunkan Allah. Beriman
kepada semua nabi tanpa membedakan antara seorang nabi dengan nabi yang lain.
Implementasi kebaikan dalam konteks
ayat di atas antara lain:
1. Memberikan harta yang dicintai kepada
karib kerabat yang membutuhkannya.
2. Mendirikan salat, artinya melaksanakan
pada waktunya dengan khusyu' sesuai rukun-rukun salat dan syarat-syarat salat.
3. Menunaikan zakat kepada yang berhak
menerimanya berdasarkan QS. 9: 60. Dalam Al-Quran, antara salat dan zakat
terjalin hubungan sangat erat dalam melaksanakan kebaktian dan kebajikan.
4. Menepati janji bagi mereka yang telah
mengadakan perjanjian, baik janji kepada Allah SWT (seperti sumpah dan nazar)
maupun janji kepada manusia.
Menurut Al-Ghazali ada empat pokok
keutamaan etika baik, yaitu sebagai berikut [2]:
1. Mencari Hikmah. Hikmah adalah keutamaan
yang lebih baik. Ia memandang bentuk hikmah yang harus dimiliki seseorang yaitu
jika berusaha untuk mencapai kebenaran dan ingin terlepas dari semua kesalahan
dari semua hal.
2. Bersikap berani. Berani berarti sikap
yang dapat mengendalika kekuatan amarahnya dengan akal untuk maju. Orang yang
memiliki etika baik biasanya pemberani, dapat menimbulkan sifat-sifat yang
mulia suka menolong, cerdas, dapat mengendalikan jiwanya, suka menrima saran
dan kritik orang lain, penyantun, memiliki perasaan kasih dan cinta.
3. Bersuci Diri. Suci berarti mencapai
fitrah, yaitu sifat yang dapat mengendalikan syahwatnya dengan akal dan agama.
Orang yang memiliki sifat fitrah dapat menimbulkan sifat-sifat pemurah, pemalu,
sabar, toleransi, sederhana, suka menolong, cerdik, dan tidak rakus. Fitrah
merupakan suatu potensi yang diberikan Allah, di bawa oleh manusia sejak lahir
yang menurut tabi’atnya cenderung kepada kebaikan, dan mendorong manusia untuk
berbuat baik.
4. Berlaku Adil. Adil yaitu seseorang yang
dapat membagi dan memberi haknya sesuai dengan fitrahnya, atau seseorang mampu
menahan kemarahannya dan nafsu syahwatnya untuk mendapatkan hikmah di balik peristiwa
yang terjadi. Adil juga berarti tindakan keputusan yang dilakukan dengan cara
tidak berat sebelah atau merugikan satu pihak, tetapi saling menguntungkan.
Pepatah mengatakan bahwa langit dan bumi ditegakkan dengan keadilan.
Orang yang mempunyai etika baik
dapat bergaul dengan masyarakat secara luwes, karena dapat melahirkan sifat
saling cinta mencintai dan saling tolong menolong. Etika baik, bukanlah
semata-mata teori yang muluk-muluk, melainkan etika baik sebagai tindak-tanduk
manusia yang keluar dari hati. Etika baik merupakan sumber dari segala
perbuatan yang sewajarnya. Suatu perbuatan yang dilihat merupakan gambaran dari
sifat-sifatnya tertanam dalam jiwa baik.
B. Kebahagiaan Hidup Menurut Islam
Dalam pengertian biasa, bahagia itu disamakan
artinya dengan kesenangan. Kesengan yang dimaksud adalah menurut ukuran pisik,
harta, atau apa saja yang tampak, yang dapat di nilai dengan uang.[3]
Jadi orang yang sudah senang karena harta bendanaya yang banyak, sudah sama
artinya dengan orang yang berbahagia. Bahagia = Kesenangan. Yang mengherankan
adalah orang yang sudah menganggap diri sudah bahagia tidak tahu memberikan
penjelasan, apakah sebenarnya bahagia yang telah diperoleh itu.
Sedangkan
menurut Achmad Charris Zubair dalam bukunya yang berjudul kuliah etika,
Kebahagiaan terbagi menjadi dua, yaitu :
1.
Kebahagian Subjektif
Kebiasaan subjektif ini meliputi :
1)
Manusia merasa kosong, tak puas, gelisah,
selama keinginannya tak terpenuhi. Kepuasan yang sadar, yang dirasakan
seseorang karena keinginannya memiliki kebaikan sudah terlaksana, di sebut
kebaikan.
2)
Seluruh manusia mencari kebahagiaan, karena
setiap orang berusaha memenuhi keinginannya. Kebahagiaan merupakan dasar
alasan, seluruh perbuatan manusia. Tetapi terdapat perbedaan tentang apa yang
akan menjadi hal yang memberikan kebahagiaan.
3)
Kebahagiaan sempurna dapa tercapai. Beberapa
hal yang menjadikan landasan bahwa kebahagiaan dapat tercapai adalah sebagai
berikut : Manusia mempunyai keinginan akan bahagia sempurna. Keinginan tersebut merupakan bawaan kodrat
manusia, yang merupakan dorongan pada alam rohaniah yang bukan sekedar efek
samping. Keinginan tersebut berasal dari sesuatu yang transenden. Sifat bawaan
tersebut dimaksudkan untuk mencapai kesempurnaan yang sesuai dengan harkat
manusia.
2.
Kebahagiaan Objektif
ü
Manusia berusaha melaksanakan dalam dirinya
suasana kebahagiaan (sempurna) yang tetap. Ini tujuan subjektif manusia.
ü
Pandangan Tentang Objek Kehidupan. Pandangan
tentang Objek kehidupan tidak akan lepas dari beberapa hal, antara lain : Kekayaan, kekuasaan, bukan merupakan tujuan
akhir manusia untuk mendapatkan kepuasan dan kebahagiaan, melainkan hanya
sebagai alat saja. Kebutuhan hidup
jasmani, sebagai kesehatan, kekuatan, keindahan, tergolong ketidaksempurnaan Kebutuhan jiwa adalah pengetahuan untuk
kebajikan. Dimana kebutuhan mulia itu
sangat diharuskan untuk kebahagiaan.
Sedangkan
kebahagiaan hidup dalam pandangan Islam tidak dilihat pada sisi materi.
Walaupun Islam mengakui kalau materi menjadi bagian dari unsur kebahagiaan.
Islam pada dasarnya memandang masalah materi sebagai sarana bukan tujuan. [4]Oleh
karenanya, Islam memberikan perhatian sangat besar pada unsur ma'nawi seperti
memiliki budi pekerti yang luhur sebagai cara mendapatkan kebahagiaan hidup.
Beberapa nash syar'i telah menunjukkan hal ini:
"Dan
Dia telah menciptakan binatang ternak untuk kamu; padanya ada (bulu) yang
menghangatkan dan berbagai-bagai manfaat, dan sebagiannya kamu makan. Dan kamu
memperoleh pandangan yang indah padanya, ketika kamu membawanya kembali ke
kandang dan ketika kamu melepaskannya ke tempat penggembalaan." (QS. An-Nahl:
5-6).
Menurut
pandangan Islam ada dua jenis kebahagiaan,[5]
sebagai berikut:
a)
Kebahagiaan dunia
Islam telah
menetapkan beberapa hukum dan beberapa kriteria yang mengarahkan manusia untuk
mencapai kebahagiaan hidupnya di dunia. Hanya saja Islam menekankan bahwa
kehidupan dunia, tidak lain, hanyalah jalan menuju akhirat. Sedangkan kehidupan
yang sebenarnya yang harus dia upayakan adalah kehidupan akhirat. Allah Ta'ala
berfirman:
Artinya: "Barang siapa yang
mengerjakan amal shaleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman,
maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik."
(QS. An-Nahl: 97)
Artinya: "Dan
carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri
akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi."
(QS. Al-Qashshash: 77)
b)
Kebahagiaan akhirat
Kebahagiaan
akhirat merupakan kebahagiaan abadi yang kekal. Menjadi balasan atas keshalihan
hamba selama hidup di dunia. Allah berfirman,
Artinya: "(yaitu)
orang-orang yang diwafatkan dalam keadaan baik oleh para malaikat dengan
mengatakan (kepada mereka): "Salaamun`alaikum, masuklah kamu ke dalam
surga itu disebabkan apa yang telah kamu kerjakan"." (QS. An
Nahl: 32)
Artinya: "Orang-orang
yang berbuat baik di dunia ini mendapat (pembalasan) yang baik. Dan
sesungguhnya kampung akhirat adalah lebih baik dan itulah sebaik-baik tempat
bagi orang yang bertakwa." (QS. Al Nahl: 30)
Islam telah
menetapkan tugas manusia di bumi sebagai khalifah di dalamnya. Bertugas
memakmurkan bumi dan merealisasikan kebutuhan manusia yang ada di sana. Hanya
saja dalam pelaksanaannya senantiasa ada kesulitan, sehingga menuntutnya
bersungguh-sungguh dan bersabar. Hidup tidak hanya kemudahan sebagaimana yang
diinginkan dan diangankan orang. Bahkan dia selalu berganti dari mudah ke
sulit, dari sehat ke sakit, dari miskin ke kaya, atau sebaliknya.
Ujian-ujian
ini akan selalu mengisi hidup manusia yang menuntunnya untuk bersabar,
berkeinginan kuat, bertekad tinggi, bertawakkal, berani, berkorban, dan
berakhlak mulia serta lainnya. Semua ini akan mendatangkan ketenangan,
kebahagiaan, dan ridla. Allah Ta'ala
berfirman:
Artinya: "Dan sungguh akan Kami berikan cobaan
kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan
buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar,
(yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan,
"Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji`uun" Mereka itulah yang
mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka, dan mereka
itulah orang-orang yang mendapat petunjuk." (QS. Al Baqarah: 155-157).
Selain
jenis-jenis kebahagiaan ada juga beberapa cara meraih kebahagiaan, sebagai
berikut:[6]
1)
Beriman dan
beramal shalih.
Meraih kebahagiaan melalui iman ditinjau dari beberapa
segi:
a.
Orang yang
beriman kepada Allah Yang Mahatinggi dan Yang Esa, tiada sekutu bagi-Nya,
dengan iman yang sempurna, bersih dari kotoran dosa, maka dia akan merasakan
ketenangan hati dan ketentraman jiwa. b.
Iman menjadikan seseorang memiliki pijakan hidup yang mendorongnya untuk
diwujudkan. Maka hidupnya akan memiliki nilai yang tinggi dan berharga yang mendorongnya
untuk beramal dan berjihad di Jalan-Nya. Dengan itu pula, dia akan meninggalkan
gaya hidup egoistis yang sempit sehingga hidupnya bermanfaat untuk masyarakat
di mana dia tinggal.
b.
Peran iman bukan saja untuk mendapatkan
kebahagiaan, namun juga sebagai sarana untuk menghilangkan kesengsaraan. Hal
itu karena seorang mukmin tahu dia akan senantiasa diuji dalam hidupnya.
2)
Memiliki akhlak mulia yang mendorong untuk
berbuat baik kepada sesama.
Manusia
adalah makhluk sosial yang harus melakukan interaksi dengan makhluk
sebangsanya. Dia tidak mungkin hidup sendiri tanpa memerlukan orang lain dalam
memenuhi seluruh kebutuhannya. Jika bersosialisasi dengan mereka merupakan satu
keharusan, sedangkan manusia memiliki tabiat dan pemikiran yang bermacam-macam,
maka pasti akan terjadi kesalahpahaman dan kesalahan yang membuatnya sedih.
Jika tidak disikapi dengan sikap bijak maka interaksinya dengan manusia akan
menjadi sebab kesengsaraan dan membawa kesedihan dan kesusahan. Karena itulah,
Islam memberikan perhatian besar terhadap akhlak dan pembinaannya.
3)
Memperbanyak
dzikir dan merasa selalu disertai Allah.
Sesungguhnya keridlaan hamba tergantung pada dzat
tempat bergantung. Dan Allah Dzat yang paling membuat hati hamba tentram dan
dada menjadi lapang dengan mengingat-Nya. Karena kepadaNya seorang mukmin
meminta bantuan untuk mendapatkan kebutuhan dan menghindarkan dari mara bahaya.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Allah menciptakan manusia dengan
memberikan kelebihan dan keutamaan yang tidak diberikan kepada makhluk lainnya.
Kelebihan dan keutamaan itu berupa potensi dasar yang disertakan Allah atasnya,
baik potensi internal (yang terdapat dalam dirinya) dan potensi eksternal
(potensi yang disertakan Allah untuk membimbingnya). Potensi ini adalah modal
utama bagi manusia untuk melaksanakan tugas dan memikul tanggung jawabnya. Oleh
karena itu, ia harus diolah dan didayagunakan dengan sebaik-baiknya, sehingga
ia dapat menunaikan tugas dan tanggung jawab dengan sempurna.
Al-Qur’an memandang manusia sebagai makhluk biologis,
psikologis, dan sosial. Di samping itu, manusia di beri akal dan hati sehingga
dapat memahami ilmu yang diturunkan Allah. Allah menciptakan manusia dalam
keadaan sebaik-baiknya. Kemampuan manusia dalam mengendalikan hawa nafsunya
berbeda-beda. Mengalirnya ruh diseluruh tubuh itu,
menimbulkan cahaya kehidupan, menumbuhkan perasaan, melahirkan pendengaran,
penglihatan dan penciuman penerimaan akal
lebih kepada perkara yang zahir. Apabila sampai bab hakikat dan makrifat, akal
tidak boleh memainkan peranannya.
B Saran
Dengan segala yang telah melekatat pada manusia,
mulai dari proses penciptaan sampai dengan keistimewaan yang dimiliki olehnya,
hendaknya manusia lebih mengetahui apa sebenarnya tujuan dari hidupnya, untuk
apa dan siapa dia hidup. Hingga dapat mencapai titik kemuliaan yang
sesungguhnya disisi Allah SWT.
DAFTAR PUSTAKA
Achmad Charris Zubair. 1995. Kuliah Etika. Jakarta: Raja Grafindo
Persada.
M. Yatimin, Abdillah. 2006.Pengantar Studi
Etika,. Jakarta: Raja Grafindo.
Poerwantana,
Ahmadi, Rosali.1988. Seluk-beluk
Filsafat Islam.Rosda:bandung,1988
Risalah Islam. 2016. Pengertian kebaikan dalam islam. Di akses pada 01 , Desember 2018,
dari https://www.risalahislam.com/2016/02/pengertian-kebaikan-dalam-Islam.html
[1] Risalah Islam. Pengertian kebaikan
dalam islam. Di akses pada 01 , Desember 2018, dari https://www.risalahislam.com/2016/02/pengertian-kebaikan-dalam-Islam.html
[6] Risalah Islam. Pengertian kebaikan dalam islam. Di akses
pada 01 , Desember 2018, dari https://www.risalahislam.com/2016/02/pengertian-kebaikan-dalam-Islam.html
No comments:
Post a Comment