MAKALAH
HUKUM PIDANA DI INDONESIA PADA MASA KERAJAAN NUSANTARA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Membicarakan sejarah hukum pidana tidak akan lepas dari
sejarah bangsa Indonesia. Bangsa Indonesia mengalami perjalanan sejarah yang
sangat panjang hingga sampai dengan saat ini. Beberapa kali periode mengalami
masa penjajahan dari bangsa asing. Hal ini secara langsung mempengaruhi hukum
yang diberlakukan di negara ini, khususnya hukum pidana. Hukum pidana sebagai
bagian dari hukum publik mempunyai peranan penting dalam tata hukum dan
bernegara. Aturan-aturan dalam hukum pidana mengatur agar munculnya sebuah
keadaan kosmis yang dinamis. Menciptakan sebuah tata sosial yang damai dan
sesuai dengan keinginan masyarakat.
Hukum pidana menurut Van Hammel adalah semua dasar-dasar
dan aturan-aturan yang dianut oleh suatu negara dalam menyelanggarakan
ketertiban hukum yaitu dengan melarang apa yang bertentangan dengan hukum dan
mengenakan suatu nestapa kepada yang melanggar peraturan tersebut. Mempelajari
sejarah hukum akan mengetahui bagaimana suatu hukum hidup dalam masyarakat pada
masa periode tertentu dan pada wilayah tertentu. Sejarah hukum punya pegangan
penting bagi yuris pemula untuk mengenal budaya dan pranata hukum.
Hukum Eropa Continental merupakan suatu tatanan hukum yang merupakan perpaduan
antara hukum Germania dan hukum yang berasala dari hukum Romawi “Romana
Germana”. Hukum tidak hanya berubah dalam ruang dan letak, melainkan juga dalam
lintasan kala dan waktu. Secara umum sejarah hukum pidana di Indonesia dibagi
menjadi beberapa periode yaitu pada masa kerajaan Nusantara, masa Penjajahan
dan masa KUHP 1915 sampai sekarang. Sehingga untuk lebih jelasnya tentang
sejarah hukum pidana di Indonesia akan dibahas dalam bab selanjutnya.
1.2
Rumusan
Masalah
1.
Bagaimana sejarah hukum
pidana di Indonesia pada masa Kerajaan Nusantara?
2.
Apakah yang dimaksud Ilmu
Hukum Pidana?
3.
Bagaimana keadaan hukum pidana diindonesia?
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian
Istilah
Pidana berasal dari bahasa hindu Jawa yang artinya Hukuman, nestapa atau sedih
hati, dalam bahasa Belanda disebut straf. Dipidana artinya dihukum, kepidanan
artinya segala sesuatu yang bersifat tidak baik, jahat, pemidanaan artinya
penghukuman. Jadi Hukum Pidana sebagai terjemahan dari bahasa belanda
strafrecht adalah semua aturan yang mempunyai perintah dan larangan yang
memakai sanksi (ancaman) hukuman bagi mereka yang melanggarnya.
Sedangkan
menurut Prof. Moeljatno, S.H Hukum Pidana adalah bagian daripada
keseluruhan Hukum yang berlaku di suatu negara, yang mengadakan
dasar-dasar dan aturan-aturan untuk:
1. Menentukan
perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan dan yang dilarang, dengan
disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa yang
melanggar larangan tersebut.
2. Menentukan
kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar
larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang
telah diancamkan.
3. Menentukan
dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang
yang disangka telah melanggar larangan tersebut.
Hukum
pidana tidak lahir dengan sendirinya atau dengan kata lain hukum pidana tidak
lahir dari norma hukum itu sendiri, tetapi telah ada pada norma lain seperti
norma agama, adat dan kesusilaan. Lahirnya hukum pidana adalah untuk menguatkan
norma-norma tersebut.
2.2 Sumber - Sumber Hukum Pidana Indonesia
1.
Sumber hukum tertulis dan terkodifikasi
a.
Kitab Undang-undang Hukum
Pidana (KUHP)
KUHP ini mempunyai nama asli Wetboek van Strafrecht voor
Nederlandsch Indie (WvSNI) yang diberlakukan di Indonesia pertama kali dengan
Koninklijk Besluit (Titah Raja) Nomor 3315 Oktober 1915 dan mulai diberlakukan
sejak tanggal 1 Januari 1918.13 WvSNI merupakan turunan dari WvS
negeri Belanda yang dibuat pada tahun 1881 dan diberlakukan di negara Belanda
pada tahun 1886. Walaupun WvSNI notabene turunan dari WvS Belanda, namun
pemerintah kolonial pada saat itu menerapkan asas konkordansi (penyesuaian)
bagi pemberlakuan WvS di negara jajahannya. Beberapa pasal dihapuskan dan
disesuaikan dengan kondisi dan misi kolonialisme Belanda atas wilayah
Indonesia. WvSNI berubah menjadi KUHP dan berlaku untuk seluruh wilayah
Indonesia berdasarkan Undang-undang Nomor 1 tahun 1946 tentang Peraturan Hukum
Pidana dan dipertegas dengan Undang-undang Nomor 73 tahun 1958 (LN nomor 127
tahun 1958)14tentang Peraturan Hukum Pidana untuk
Seluruh Wilayah Republik Indonesia.
b.
Undang-undang Nomor 8 tahun
1981 tentang Hukum Acara Pidana.
Undang-undang Nomor 8 tahun 198115 atau biasa disebut dengan Kitab
Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Peraturan yang menjadi dasar bagi
pelaksanaan hukum acara pidana dalam lingkungan peradilan umum sebelum
undang-undang ini berlaku adalah "Reglemen Indonesia yang dibaharui atau
yang terkenal dengan nama "Het Herziene Inlandsch Reglement" atau
H.I.R.16 (Staatsblad Tahun 1941 Nomor 44),
yang berdasarkan Pasal 6 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Darurat. Tahun 1951,
seberapa mungkin harus diambil sebagai pedoman tentang acara perkara pidana
sipil oleh semua pengadilan dan kejaksaan negeri dalam wilayah Republik
Indonesia, kecuali atas beberapa perubahan dan tambahannya.
Dengan Undang-undang Nomor 1 Darurat. Tahun 1951 itu
dimaksudkan untuk mengadakan unifikasi hukum acara pidana, yang sebelumnya
terdiri dari hukum acara pidana bagi landraad dan hukum acara pidana bagi raad
van justitie. Adanya dua macam hukum acara pidana itu, merupakan akibat semata
dari perbedaan peradilan bagi golongan penduduk Bumiputera dan peradilan bagi
golongan bangsa Eropa di Jaman Hindia Belanda yang masih tetap dipertahankan,
walaupun Reglemen Indonesia yang lama (Staatsblad Tahun 1848 Nomor 16) telah
diperbaharui dengan Reglemen Indonesia yang dibaharui (R.I.B.)17 karena tujuan dari
pembaharuan itu bukanlah dimaksudkan untuk mencapai satu kesatuan hukum acara
pidana, tetapi justeru ingin meningkatkan hukum acara pidana bagi raad van
justitie. Meskipun Undang-undang Nomor 1 Darurat. Tahun 1951 telah menetapkan
bahwa hanya ada satu hukum acara pidana yang berlaku untuk seluruh Indonesia
yaitu R.I.B, akan tetapi ketentuan yang tercantum di dalamnya ternyata belum
memberikan jaminan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia, perlindungan
terhadap harkat dan martabat manusia sebagaimana wajarnya dimiliki oleh suatu negara
hukum. Khususnya mengenai bantuan hukum di dalam pemeriksaan oleh penyidik atau
penuntut umum tidak diatur dalam R.I.B, sedangkan mengenai hak pemberian ganti
kerugian juga tidak terdapat ketentuannya.
Oleh karena itu demi pembangunan dalam bidang hukum dan
sehubungan dengan hal sebagaimana telah dijelaskan di muka, maka "Het
Herziene Inlandsch Reglement" (Staatsblad Tahun 1941 Nomor 44) berhubungan
dengan dan Undang-undang Nomor 1 Darurat. Tahun 195118 (Lembaran Negara Tahun 1951 Nomor
59, Tambahan Lembaran Negara Nomor 81) serta semua peraturan pelaksanaannya dan
ketentuan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan lainnya, sepanjang hal
itu mengenai hukum acara pidana, perlu dicabut karena tidak sesuai dengan
cita-cita hukum nasional dan diganti dengan undang-undang hukum acara pidana
baru yang mempunyai ciri kondifikatif dan unifikatif berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945, yaitu Undang-undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum
Acara Pidana atau dikenal dengan KUHAP.
2.
Sumber hukum tertulis dan tidak terkodifikasi
Sumber hukum ini juga biasa disebut hukum pidana khusus,
yaitu hukum pidana yang mengatur golongan-golongan tertentu atau terkait dengan
jenis-jenis tindak pidana tertentu. Sumber hukum pidana khusus di
Indonesia ini di antaranya KUHP Militer, dan beberapa
perundang-undangan antara lain:
a.
Undang-undang Nomor
22 tahun 1997 tentang Narkotika
b.
Undang-undang Nomor 5 tahun
1997 tentang Psikotropika
c.
Undang-undang Nomor
31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
3.
Ketentuan Pidana dalamPeraturan perundang-undangan non-pidana
Contoh UU non pidana yang memuat sanksi Pidana:
· UU Lingkungan
· UU Pers
· UU PendidikanNasional
· UU Perbankan
· UU Pajak
· UU PartaiPolitik
· UU pemilu
· UU Merek
· UU Kepabeana
· UU PasarModal Pidana
2.3
Sejarah Terjadinya KUH pidana
1. Masa Kerajaan Nusantara
Pada masa kerajaan Nusantara banyak kerajaan yang sudah
mempunyai perangkat aturan hukum. Aturan tersebut tertuang dalam keputusan para
raja ataupun dengan kitab hukum yang dibuat oleh para ahli hukum. Tidak
dipungkiri lagi bahwa adagium ubi societas ibi ius sangatlah
tepat. Karena di manapun manusia hidup, selama terdapat komunitas dan kelompok
maka akan ada hukum. Hukum pidana yang berlaku dahulu kala berbeda dengan hukum
pidana modern. Hukum pada zaman dahulu kala belum memegang teguh prinsip
kodifikasi. Aturan hukum lahir melalui proses interaksi dalam masyarakat tanpa
ada campur tangan kerajaan. Hukum pidana adat berkembang sangat pesat dalam
masyarakat.
Hukum pidana yang berlaku saat itu belum mengenal
unifikasi. Di setiap daerah berlaku aturan hukum pidana yang berbeda-beda.
Kerajaan besar macam Sriwijaya sampai dengan kerajaan Demak pun menerapkan
aturan hukum pidana. Kitab peraturan seperti Undang-undang raja niscaya,
undang-undang mataram, jaya lengkara, kutara Manawa, dan kitab Adilullah
berlaku dalam masyarakat pada masa itu. Hukum pidana adat juga menjadi
perangkat aturan pidana yang dipatuhi dan ditaati oleh masyarakat nusantara.
Hukum pidana pada periode ini banyak dipengaruhi oleh
agama dan kepercayaan masyarakat. Agama mempunyai peranan dalam pembentukan
hukum pidana di masa itu. Pidana potong tangan yang merupakan penyerapan dari
konsep pidana Islam serta konsep pembuktian yang harus lebih dari tiga orang
menjadi bukti bahwa ajaran agam Islam mempengaruhi praktik hukum pidana
tradisional pada masa itu.
2. Masa Penjajahan
Pada masa periodisasi ini sangatlah panjang, mencapai
lebih dari empat abad. Indonesia mengalami penjajahan sejak pertama kali
kedatangan bangsa Portugis, Spanyol, kemudian selama tiga setengah abad dibawah
kendali Belanda. Indonesia juga pernah mengalami pemerintahan dibawah kerajaan
Inggris dan kekaisaran Jepang. Selama beberapa kali pergantian pemegang
kekuasaan atas nusantara juga membuat perubahan besar dan signifikan.
Pola pikir hukum barat yang sekuler dan realis menciptakan konsep peraturan
hukum baku yang tertulis. Pada masa ini perkembangan pemikiran rasional sedang
berkembang dengan sangat pesat. Segala peraturan adat yang tidak tertulis
dianggap tidak ada dan digantikan dengan peraturan-peraturan tertulis. Tercatat
beberapa peraturan yang dibuat oleh pemerintah kolonial Belanda seperti statuta
Batavia (statute van batavia). Berlaku dua peraturan hukum pidana yakni KUHP
bagi orang eropa (weetboek voor de europeanen) yang berlaku sejak tahun 1867.
Diberlakukan pula KUHP bagi orang non eropa yang berlaku sejak tahun 1873.
3.
Masa KUHP 1915
- Sekarang
Selama lebih dari seratus tahun sejak KUHP Belanda
diberlakukan, KUHP terhadap dua golongan warganegara yang berbeda tetap
diberlakukan di Hindia Belanda. Hingga pada akhirnya dibentuklah KUHP yang
berlaku bagi semua golongan sejak 1915. KUHP tersebut menjadi sumber hukum
pidana sampai dengan saat ini. Pembentukan KUHP nasional ini sebenarnya bukan
merupakan aturan hukum yang menjadi karya agung bangsa. Sebab KUHP yang berlaku
saat ini merupakan sebuah turunan dari Nederland Strafwetboek (KUHP Belanda).
Sudah menjadi konskwensi ketika berlaku asas konkordansi terhadap peraturan
perundang-undangan.
KUHP yang berlaku di negeri Belanda sendiri merupakan
turunan dari code penal perancis. Code penal menjadi inspirasi pembentukan
peraturan pidana di Belanda. Hal ini dikarenakan Belanda berdasarkan perjalanan
sejarah merupakan wilayah yang berada dalam kekuasaan kekaisaran perancis.
Desakan pembentukan segera KUHP nasional sebagai sebuah negara yang pernah
dijajah oleh bangsa asing, hukum yang berlaku di Indonesia secara langsung
dipengaruhi oleh aturan-aturan hukum yang berlaku di negara penjajah tersebut.
Negeri Belanda yang merupakan negeri dengan sistem hukum continental menurunkan
betuknya melalui asas konkordansi. Peraturan yang berlaku di Negara jajahan
harus sama dengan aturan hukum negeri Belanda. Hukum pidana (straffrecht)
merupakan salah satu produk hukum yang diwariskan oleh penjajah.
Pada tahun 1965
LPHN (Lembaga Pembinaan Hukum Nasional) memulai suatu usaha pembentukan KUHP
baru. Pembaharuan hukum pidana Indonesia harus segera dilakukan. Sifat
undang-undang yang selalu tertinggal dari realitas sosial menjadi landasan
dasar ide pembaharuan KUHP. KUHP yang masih berlaku hingga saat ini merupakan
produk kolonial yang diterapkan di negara jajahan untuk menciptakan ketaatan.
Indonesia yang kini menjadi Negara yang bebas dan merdeka hendaknya menyusun
sebuah peraturan pidana baru yang sesuai dengan jiwa bangsa.
2.4 Sistematika Hukum pidana
Sistem hukuman yang
dicantumkan dalam pasal 10 tentang pidana pokok dan tambahan, menyatakan bahwa
hukuman yang dapat dikenakan kepada seseorang pelaku tindak pidana terdiri dari
:
a. Hukuman
Pokok (hoofd straffen ).
1.
Hukuman mati.
2.
Hukuman penjara.
3. Hukuman
kurungan.
4. Hukuman denda.
b. Hukuman Tambahan (Bijkomende staffen)
1.
Pencabutan beberapa hak tertentu
2.
Perampasan barang-barang tertentu
3.
Pengumuman putusan hakim.
Hukum
Pidana dapat dibagi sebagai berikut:
1) Hukum Pidana Objektif (lus Punale),
yang dapat dibagi ke dalam:
- Hukum Pidana Materiil
- Hukum Pidana Formil (Hukum Acara Pidana).
2) Hukum Pidana Subjektif (ius Puniendi).
3)
Hukum Pidana Umum.
4)
Hukum Pidana Khusus, yang dapat dibagi lagi ke dalam:
- Hukum Pidana Militer.
- Hukum Pidana Pajak (Fiskal).
2.5
Teori-Teori Hukum Pidana
1.
Teori Absolut
Teori Absolut disebut juga teori pembalasan. Pandangan
dalam teori ini adalah bahwa syarat dan pembenaran dalam penjatuhan pidana
tercakup dalam kejahatan itu sendiri, terlepas dari fungsi praktis yang
diharapkan dari penjatuhan pidana tersebut. Dalam ajaran ini, pidana terlepas
dari dampaknya di masa depan, karena telah dilakukan suatu kejahatan maka harus
dijatuhkan hukuman. Dalam
ajaran absolut ini terdapat keyakinan yang mutlak atas pidana itu sendiri,
sekalipun penjatuhan pidana sebenarnya tidak berguna atau bahkan memiliki
dampak yang lebih buruk terhadap pelaku kejahatan. Perlu diketahui bahwa maksud
dan tujuan ajaran absolut ini selain sebagai pembalasan, menurut pandangan
Stammler adalah juga untuk menunjukkan kepada masyarakat bahwa hukum telah
ditegakkan. Tujuan pemidanaan dalam ajaran absolut ini memang jelas sebagai
pembalasan, tetapi cara bagaimana pidana tersebut dapat dibenarkan kurang
jelas, karena dalam ajaran ini tidak dijelaskan mengapa harus dianggap adil
meniadakan rasa terganggunya masyarakat dengan cara menjatuhkan penderitaan
terhadap seseorang yang melakukan kejahatan. Tindakan Pembalasan di dalam
penjatuhan pidana mempunyai dua arah yaitu:
a. Ditujukan
pada penjahatnya (sudut subyektif dari pembalasan)
b. Ditujukan
untuk memenuhi kepuasan dari perasaan dendam di kalangan masyarakat (sudut
obyektif dari pembalasan)
2.
Teori
Relatif
Teori
reltif atau teori tujuan berpangkal pada dasar bahwa pidana adalah alat untuk
menegakan tata tertib (hukum) dalam masyarakat. Pidana adalah alat untuk
mencegah timbulnya suatu kejahatan dengan tujuan agar tata tertib masyarakat
tetap terpelihara. Dalam teori relatif penjatuhan pidana tergantung dari efek
yang diharapkan dari penjatuhan pidana itu sendiri, yakni agar seseorang tidak
mengulangi perbuatannya. Hukum pidana difungsikan sebagai ancaman sosial dan
psikis. Hal tersebut menjadi satu alasan mengapa hukum pidana kuno
mengembangkan sanksi pidana yang begitu kejam dan pelaksanaannya harus dilakukan
di muka umum, yang tidak lain bertujuan untuk memberikan ancaman kepada
masyarakat luas. Sementara itu, sifat pencegahannya dari teori ini ada 2 macam
yaitu:
1. Teori pencegahan Umum
Menurut
teori ini, pidana yang dijatuhkan pada penjahat ditujukan agar orang-orang
menjadi takut untuk berbuat kejahatan. Penjahat yang dijatuhi pidana itu
dijadikan contoh oleh masyarakat agar masyarakat tidak meniru dan melakukan
perbuatan yang serupa dengan penjahat itu. Feuerbach memberkenalkan teori pencegahan umum yang
disebut dengan Paksaan Psikologis. Dalam teorinya menghendaki penjeraan bukan
melalui pidana, melainkan melalui ancaman pidana dalam
perundang-undangan. Tetapi apabila ancaman tidak berhasil mencegah suatu
kejahatan, maka pidana harus dijatuhkan karena apabila pidana tidak dijatuhkan
akan mengakibatkan hilangnya kekuatan dari ancaman tersebut. Ajaran
yang dikembangkan Feuerbach tidak mengenal pembatasan ancaman pidana, hanya
syarat bahwa ancaman pidana tersebut harus sudah ditetapkan terlebih dahulu.
2. Teori pencegahan Khusus
Menurut
teori ini, tujuan pidana ialah mencegah pelaku kejahatan yang telah dipidana
agar ia tidak mengulang lagi melakukan kejahatan dan mencegah agar orang yang
telah berniat buruk untuk tidak mewujudkan niatnya itu kedalam bentuk perbuatan
nyata. Tujuan itu dapat dicapai dengan jalan menjatuhkan pidana yang sifatnya
ada tiga macam yaitu menakut-nakutinya, memperbaikinya, dan membuatnya menjadi
tidak berdaya. Van Hamel membuat suatu gambaran tentang pemidanaan yang
bersifat pencegahan khusus yaitu:
a. Pidana selalu dilakukan untuk
pencegahan khusus, yakni untuk menakut-nakuti orang-orang yang yang cukup dapat
dicegah dengan cara penjatuhan pidana agar orang tidak melakukan niat jahatnya.
b. Akan tetapi, jika tidak dapat lagi
ditakut-takuti dengan cara menjatuhkan pidana, penjatuhan pidana harus bersifat
memperbaiki dirinya.
c. Jika penjahat itu tidak dapat
diperbaiki, penjatuhan pidana harus bersifat membinasakan atau membuat mereka
tidak berdaya.
d.
Tujuan satu-satunya dari pidana adalah mempertahankan tata tertib hukum
didalam masyarakat.
3. Teori Gabungan
Teori ini mendasarkan pidana pada asas pembalasan dan
asas pertahanan tata tertib masyarakat, dengan kata lain dua alasan itu menjadi
dasar dari penjatuhan pidana. Teori gabungan dapat dibedakan menjadi dua
yaitu:
a. Teori gabungan yang mengutamakan pembalasan,
tetapi pembalasan itu tidak boleh melampaui batas dari apa yang perlu dan cukup
untuk dapatnya dipertahankan tata tertib dimasyarakat.
b. Teori gabungan
yang mengutamakan perlindungan tata tertib masyarakat, tetapi penderitaan atas
dijatuhinya pidana tidak boleh lebih berat daripada perbuatan yang dilakukan
terpidana.
Titik
tolak dari ajaran ini, sebagaimana dianut oleh Hugo Grotius, adalah bahwa siapa
yang berbuat kejahatan, maka ia akan terkena derita. Penderitaan dianggap wajar
diterima oleh pelaku kejahatan, tetapi manfaat sosial akan mempengaruhi
berat-ringannya derita yang layak dijatuhkan. Sejalan dengan pandangan
tersebut, M.P. Rossi menyatakan bahwa selain pembalasan, prevensi umum juga
dianggap tujuan penting dalam hukum pidana. Karena kita hidup dalam masyarakat
yang tidak sempurna dan tidak mungkin juga untuk menuntut keadilan yang
absolut, maka dapat kiranya kita mencukupkan diri dengan pemidanaan yang
dilandaskan pada tertib sosial yang tidak sempurna tersebut. Dengan kata lain
penerapan hukum pidana yang manusiawi dibatasi oleh syarat-syarat yang dituntut
oleh masyarakat.
Pandangan
seperti di atas dengan sudut pandang agama Katolik juga muncul seperti
dikemukakan oleh Thomas Aquinas yang membedakan antara pidana sebagai pidana
dan pidana sebagai obat. Maksud pembedaan yang dilakukan oleh Thomas Aquinas
tersebut adalah ketika negara menjatuhkan pidana, maka perlu diperhatikan pula
fungsi prevensi umum dan prevensi khusus. Dengan ajaran ini akan tercipta
kepuasan nurani masyarakat dan ada pemberian rasa aman kepada masyarakat.
Pembelajaran dan rasa takut juga akan muncul dalam masyarakat, termasuk
perbaikan dari pelaku kejahatan. Negara dalam menjatuhkan pidana sebagai
pembalasan, penjeraan, dan perbaikan disubordinasikan terhadap kemanfaatan dari
penjatuhan pidana tersebut. Pidana sebagai pembalasan dipandang sebagai sarana
untuk menegakkan tertib hukum.
Menurut pendapat saya teori
hukum pidana yang ada di Indonesia adalah teori gabungan karena penjatuhan
pidana yang ada di indonesia, didasarkan pada asas pembalasan dan pertahanan
tata tertib masyarakat. Hal ini dapat di lihat pada KUHP yang ada di Indonesia.
Peraturan itu dibuat bukan hanya untuk menakut-nakuti penjahat tetapi juga
dapat memperbaiki dirinya. Dan
pidana yang diberikan bisa manjadikan mereka tidak berdaya. Selain itu
pemidanaan juga mengutamakan perlindungan tata tertib masyarakat.
2.5 Keadaan Hukum Pidana di Indonesia
1.
Penyebab Terjadinya Masalah Pada Penegakan
Hukum Di Indonesia
Ada dua faktor yang menyebabkan hukum di Indonesia itu dirasakan
lemah, kurang dapat menciptakan ketertiban dan mampu menyelesaikan permasalahan
masyarakat, sehingga kerap kali menimbulkan berbagai masalah berupa
keberpihakan terhadap salah satu pihak sehingga hukum yang ditujukan untuk
mengadili malah tidak berjalan sebagaimana mestinya. Kedua
faktor tersebut yaitu sebagai
berikut:
1.
Aparat Penegak Hukum/Alat Penegak Hukum
Polisi,
Jaksa, Advokat, Hakim, Lembaga Pemasyarakatan dan Eksekutor
2.
Sanksi/Hukuman
Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP) serta sumber hukum lainnya hingga saat ini masih menerapkan sanksi
yang lemah sehingga kurang mampu memberi
efek jera dan menyadarkan masyarakat. Begitu banyak peraturan hukum yang dibuat
oleh para penegak hukum untuk mengatur kehidupan masyarakat, tapi faktanya
walaupun hukum tersebut dibuat beserta sanksinya tapi tetap saja peraturan tersebut
dikarenakan pemerintah dan aparat hukum tidak sungguh-sungguh dalam
menegakkannya, setelah peraturan dibuat praktek dilapangan begitu banyak
pelanggaran-pelanggaran yang masih bisa ditolerir.
2.
Dampak yang Timbul dari Penegakan Hukum di
Indonesia
Penyelewengan atau inkonsistensi di Indonesia berlangsung
lama bertahun-tahun hingga sekarang, sehingga bagi masyarakat Indonesia ini
merupakan rahasia umum, hukum yang dibuat berbeda dengan hukum yang dijalankan,
contoh paling dekat dengan lingkungan adalah, penilangan pengemudi kendaraan
yang melanggar tata tertib lalu lintas. Mereka yang melanggar tata tertib lalu
lintas tidak jarang ingin berdamai di tempat atau menyelewengkan hukum,
kemudian seharusnya aparat yang menegakkan hukum tersebut dapat menangi secara
hukum yang berlaku di Indonesia, namun tidak jarang penegak hukum tersebut
justru mengambil kesempatan yang tidak terpuji itu untuk menambah pundi-pundi
uangnya.
Oleh karena itu, akibat-akibat yang ditimbulkan dari
penegakan hukum di Indonesia yang sarat akan masalah penyelewengan hukum
tersebut diantaranya , yaitu:
1. Ketidakpercayaan
masyarakat pada hukum.
2. Penyelesaian
konflik dengan kekerasan.
3. Pemanfaatan
Inkonsistensi Penegakan Hukum untuk Kepentingan Pribadi.
4. Penggunaan Tekanan
Asing dalam Proses Peradilan.
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Hukum Pidana, sebagai salah
satu bagian independen dari Hukum Publik merupakan salah satu instrumen hukum
yang sangat urgen eksistensinya sejak zaman dahulu. Hukum ini ditilik sangat
penting eksistensinya dalam menjamin keamanan masyarakat dari ancaman tindak
pidana, menjaga stabilitas negara dan (bahkan) merupakan “lembaga moral” yang
berperan merehabilitasi para pelaku pidana. Hukum ini terus berkembang sesuai
dengan tuntutan tindak pidana yang ada di setiap masanya.
B. Kritik Dan Saran
Hukum di indonesia harus
lebih di tegakkan agar permasalahan kasus-kasus hukum pidana di indonesia bisa
diatur lebih baik lagi dan yang melanggar hukum harus diberi hukuman yang
setimpal sesuai dengan Undang-undang.
DAFTAR
PUSTAKA
Hamzah,
andi,1984. bunga rampai hukum pidana dan acara pidana.Jakarta:
Ghalia Indonesia.
Hamzah,
Andi. 1987. Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: Ghalia
Indonesia.
Ali, Zainuddin Ali. 2006. Filsafat
Hukum. Jakarta: Sinar Grafik.
Hilman Hadikusuma, Bahasa Hukum Indonesia, Bandung:
Penerbit Alumni, 1992
Leden
Marpaung, Asas-Teori-Praktek Hukum Pidana,
Jakarta: Sinar Grafika, 2005
Seno.Oemar,Adji,
Perkembangan Hukum Pidana & Hukum
Acara Pidana Sekarang Dan Dimasa Jang Akan datang, Jakarta CV. Pantjuran
Tujuh 1971.
No comments:
Post a Comment