MAKALAH TAFSIR MUNAKAHAT
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Di dalam
pernikahan dituntut untuk selalu dapat menjaga dan mempertahankan keharmonisan
dan keutuhan rumah tangga sehingga tercipta keluarga yang sakinah mawaddah wa
rohmah. Namun, terkadang di dalam rumah tangga sering terjadi konflik keluarga.
Hal inilah yang dapat menyebabkan suatu keluarga tersebut terjadi perceraian.
Di dalam agama Islam perceraian merupakan perbuatan yang halal namun sangat dibenci
oleh Allah SWT. Untuk itu agama Islam menetapkan suatu aturan hukum yang
mengatur pernikahan, perceraian hingga kembali bersatu menjadi keluarga yang
utuh. Akibat dari adanya perceraian inilah yang menyebabkan adanya kewajiban
bagi seorang perempuan untuk “beriddah” atau dalam istilah lain disebut “masa
tunggu”.
B.
Rumusan Masalah
1. Apa pengertian iddah?
2. Apa
saja ayat tentang iddah dan tafsiran tentang iddah?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Iddah
Iddah
(Arab: عدة;
"waktu menunggu") di dalam agama Islam adalah sebuah masa di mana
seorang perempuan yang telah diceraikan oleh suaminya, baik diceraikan karena
suaminya mati atau karena dicerai ketika suaminya hidup, untuk menunggu dan
menahan diri dari menikahi laki-laki lain.[1]
B.
Ayat Yang Berkenaan Tentang Iddah dan tafsiran tentang iddah
1.
Al-
Baqarah ayat 228
وَالْمُطَلَّقَاتُ
يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ ۚ وَلَا يَحِلُّ لَهُنَّ أَنْ
يَكْتُمْنَ مَا خَلَقَ اللَّهُ فِي أَرْحَامِهِنَّ إِنْ كُنَّ يُؤْمِنَّ بِاللَّهِ
وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِي ذَٰلِكَ إِنْ
أَرَادُوا إِصْلَاحًا ۚ وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ ۚ
وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ ۗ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
Wanita-wanita
yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'. Tidak boleh
mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka
beriman kepada Allah dan hari akhirat. Dan suami-suaminya berhak merujukinya
dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah. Dan para
wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang
ma'ruf. Akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada
isterinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.(Q.S. Al- Baqarah : 228)
·
Tafsir
Ayat
Ini merupakan
perintah allah ta’ala bagi para wanita yang dicerai, yang sudah di dukhul dan
yang masih haid. Artinya, hendaknya mereka menanti selama tiga quru’. Si wanita
harus diam selama tiga quru’ setelah di cerai oleh suaminya. Bila masa
penantian sudah habis, dia boleh menikah lagi jika mau.
Adapun masalah penantian budak perempuan di perselisihkan oleh para ulama.
Ada yang berpendapat bahwa apabila dia di cerai, maka iddahnya dua quru’ sebab dia memiliki setengah dari
ketentyan yang berlaku bagi wanita merdeka.
Hal itu karena yang satu quru’ lagi tidak dapat dibagi dua, maka
digenapkanlah menjadi satu. Hal ini berdasarkan hadist (337), “budak perempuan
memiliki dua talaq dan iidahnya selama dua kali haid”. Namun, kedudukan
keterangan itu sebagai hadist belum mantap. Addaru Quthni misalnya, mengatakan
bahwa keterangan itu merupakan pendapat Qasim bin Muhammad. Kemudian, Al-
Makhzumi Al- Madani mengatakan bahwa keterangan itu lemah keseluruhannya dan
diriwayatkan secara tidak marfu’dari pendapat Ibbnu Umar. Para ulama mengatakan
bahwa di kalangan ulam tidak dikenal ikhtilaf mengenai hal itu, dan ini lah
yang menjadi pegangan ke empat imma mazhab.
Sebagian ulama salaf mengatakan bahwa
iddah budak perempuan adalah seperti wanita merdeka lantaran berdasarkan
keumuman ayat,dan karena masalah ini bersifat alamiayah. Jadi, dalam hal ini
antara wanita merdeka dengan budak perempuan itu sama saja. Pandangan ini di
ceritakan oleh syekh Abu Umar bin Abbdul Bar dari Muhammad bin Sirin. Namun,
sebagaian kaum zhahiri memandangnya lemah.
Telah terjadi ikhtilaf diantara para
ulama salaf dan khalaf serta para imam mengenai maksud istilah quru’. Pendapat mereka terbagi dua :
1. yang dimaksud dengan quru’ ialah
masa suci. Dari aisyah dikatakan bahwa quru’ artinya suci. Diriwayatkan dari
Ibnu Umar bahwa dia berkata, “apabila suami menceraikan istrinya dan si istri
sudah masuk masa haid ketiga, maka istri bebas dari suaminya, demikian pula sebaliknya”.
Maka Malik berkata, “pendapat Ibbu Umar sama dengan kami ”. pendapat seperti
itu juga di kemukakan oleh Ibbnu Abbas, Zaid bin Tsabit, sekelompok tabi’in dan
ahli fikih yang tujuh.juga merupakan pendapat mazhab Syafi’i, Malik, Daud, Abu
Tsaur, dan riwayat dari Ahmad. Pendapat mereka itu berdalilkan firman Allah
ta’ala, “maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat iddahnya”.yakni
masa sucinya. Tatkala masa suci menjadi pertimbangan dalam pelaksanaan
perceraian, maka hal itu menunjukkan kepada masa suci sebagai salah satu quru’
yang diperintahkan untuk di pakai menunggu oleh karena itu , mereka mengatakan
bahwa masa iddah wanita yang di cerai itu habis dan terbebas dari suaminya dengan berhentinya masa haid yang ketiga.
2.pendapat kedua mengatakan bahwa yang dimaksud dengan quru’ ialah masa
haid. Jadi, iddah belum habis jika istri belum suci dari haid ketiga.ulama
menambahkan dengan kata-kata “dan ia sudah mandi besar pula”. Pendapat bahwa quru’
berarti haid ini di riwayatkan dari pada sahabat utama, termasuk khalifah yang
empat dan para pembesar tabi’in. Pendapat kedua ini menjadi pegangan mazhab
Hanafi. Riwayat yang paling shahih di antata dua riwayat itu ialah yang dari
Ahmad bin Hambal yang sekaligus menjadi mazhab Tsauri, Auza’i, Ibbnu Abi Laila
dan sebagainya.
Pendapat kedua ini dikuatkan dengan
hadist yang diriwayatkan oleh Abu Daud dan Nasa’i dari jalan Al-mundzir bin Al
Mughirah, dari Urwah bin Zubair, dari Fatimah binti Abi Hubaisy bahwasanya
rasulullah SAW berkata pada Fatimah, “tinggalkanlah shalatmu ketika kamu berada
pada masa quru’”. Jika hadist ini shahih, maka jelaslah bahwa yang di maksud
dengan quru’ ialah haid. Namun, Al-Mundzir mengatakan dalam hadist itu ada sanad
bernama Abu Hatim yang majhul tidak terkenal. Demikianlah menurut Ibnu Hibban
dalam Ats-Tsiqat.syeh abdul Umar bin
Abdul Bar berkat, “tidak ada perselisihan antara para ahli bahasa Arab dan ahli
fikiq bahwa quru’ dapat berarti haid dan
dapat berarti suci”.sesungguhnya para ulama hanya berbeda pandangan dalam
maksud ayat yang terbagi kepada dua pendapat itu. [2]
2.
Al-
Baqarah 234
وَالَّذِينَ
يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ
أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا ۖ فَإِذَا بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلَا جُنَاحَ
عَلَيْكُمْ فِيمَا فَعَلْنَ فِي أَنْفُسِهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ ۗ وَاللَّهُ بِمَا
تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ
Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan
isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah)
empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila telah habis 'iddahnya, maka tiada
dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut
yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.
·
Tafsif
ayat
Ini merupakan
perintah dari Allah bagi kaum wanita yang ditinggal mati oleh suaminya yaitu
hendaklah mereka beriddah selama empat bulam sepuluh malam. Ketetapan ini berlaku biaik bagi istri yang sudah di
dukhul maupun belum melalui persenggamaan. Yang menjadi sandaran beralkunya
ketetapan bagi yang belum di dukhul ialah keumuman ayat yang mulia dan hadist
nabi SAW. yang diriwayatkan oleh imama Ahmad dan para penulis sunan, dan di
shahihkan oleh tirmidzi (371), “sesungguhnya ibnu mas’ud ditanya tentang
seseorang yang menikah lalu dia meninggal sebelum sempat mendukhulnya atau
mencoba-cobanya. Orang-orang berulang kali mempertanyakan hal itu kepada ibnu
mas’ud. Dia berkata, ‘saya akan sampaikan pendapat saya mengenaihal itu. Jika
benar, maka dari Allah dan jika salah, maka dari ku atau setan karena Allah dan Nabi terbebas dari kesalahan
: wanita itu berhak menerima mahar secara penuh ’.dalam redaksi lain dikatakan,
‘baginyanmahar seperti yang diberikan kepada wanita yang sudah di dukhul jangan
mengurangin atau melebihi, dan berlaku atasnya iddah serta berhak menerima
harta pusaka’. Kemudian mu’kil bin Yasar
al- Asyja’i beranjak seraya berkata,’ saya mendengar Rasulluh SAW pun
memutuskan Barwa’ binti Wasyiq dengan ketetapan demikian’. Mendengar itu, maka
abdullah ibn Mas’ud pun gembira sekali.”
3.
Al-
Baqarah 235
وَلَا جُنَاحَ
عَلَيْكُمْ فِيمَا عَرَّضْتُمْ بِهِ مِنْ خِطْبَةِ النِّسَاءِ أَوْ أَكْنَنْتُمْ
فِي أَنْفُسِكُمْ ۚ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ سَتَذْكُرُونَهُنَّ وَلَٰكِنْ لَا
تُوَاعِدُوهُنَّ سِرًّا إِلَّا أَنْ تَقُولُوا قَوْلًا مَعْرُوفًا ۚ وَلَا
تَعْزِمُوا عُقْدَةَ النِّكَاحِ حَتَّىٰ يَبْلُغَ الْكِتَابُ أَجَلَهُ ۚ
وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ مَا فِي أَنْفُسِكُمْ فَاحْذَرُوهُ ۚ
وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ غَفُورٌ حَلِيمٌ
Dan tidak ada
dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran atau kamu
menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu. Allah mengetahui
bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka, dalam pada itu janganlah kamu
mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia, kecuali sekedar mengucapkan
(kepada mereka) perkataan yang ma'ruf. Dan janganlah kamu berazam (bertetap
hati) untuk beraqad nikah, sebelum habis 'iddahnya. Dan ketahuilah bahwasanya
Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu; maka takutlah kepada-Nya, dan
ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.
·
Tafsir
ayat
Allah ta’ala
berfirman,”dan tidak ada dosa atasmu untuk meminang wanita dengan sindiran,”
tidak berterus terang dalam masa iddah karena di tinggal mati oleh suaminya.
Dari Ibnu Abbas dikatakan bahwa yang di maksud sindiran misalnya seseorang
mengatakan, “saya ingin menikah” atau “ saya mencintai seorang wanita dan
tentangnya “. Kata-kata itu disampaikan dengan baik. Dia jangan memintak
kepastian dari si wanita selama dia dalam masa iddah.
Begitu pula
ketetapan bagi wanita yang di talaq biasa dapat dilamar dengan sindiran,
sebagaimana Nabi SAW. bersabda kepada Fatimah binti Qais tatkala ia di cerai
oleh suaminya yang bernama abu Hafash bin Umar dengan talaq tiga. Beliau
menyuruhnya menjalani iddah di rumah Ibnu Ummi Kulsum. Beliau berkata kepada
fatimah (378),” ‘apabila engkau telah halal beritau saya ‘. Setelah dia halal,
maka usamah bin Zaid, budak beliau melamarnya, dan beliau menikahkan fatimah
kepada usamah”.[3]
4.
At-talaq
4
وَاللَّائِي يَئِسْنَ مِنَ الْمَحِيضِ مِنْ
نِسَائِكُمْ إِنِ ارْتَبْتُمْ فَعِدَّتُهُنَّ ثَلَاثَةُ أَشْهُرٍ وَاللَّائِي لَمْ
يَحِضْنَ ۚ وَأُولَاتُ الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ ۚ
وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْرًا
Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara
perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), maka masa
iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang
tidak haid. Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah
sampai mereka melahirkan kandungannya. Dan barang -siapa yang bertakwa kepada
Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya.
·
Tafsir
ayat
Diriwayatkan
bahwasanya ada satu kaum, di antara mereka itu terdapat Ubay bin Ka’ab dan
Khalid bin Nu’man. Mereka itu setelah mendengar firman Allah SWT.
“wanita-wanita yang ditalaq hendaknya menahan diri (menunggu) tiga quru’ (tiga
kali suci)”. Mereka bertanya, “wahai Rasullullah maka berapakah iddah wanita
yang tidak ada haidnya, baik yang belum pernah haid atau yang tidak haid lagi”,
maka turunlah ayat ini yang menjelaskan bahwa jika kamu ragu tentang iddah
pereempuan-perempuan yang ya-is yakni yang tidak haid lagi, karena telah
mencapai umur lebih kurang lima puluh lita tahun keatas maka iddahnya 3 bulan.
Begitu pula wanita muda yang belum pernah haid. Adapun bagi perempuan-perempuan
yang hamil maka iddahnya sampai melahirkan kandungannya. Begitu juga perempuan-perempuan hamil yang suminya
meninggal iddahnya sampai melahirkan kandungannya, sebagaimana yang
diriwayatkan imam Malik, iman Syafi’i, Abdul Razak, Ibbu Abi Syaibah, dan Ibnul
Munzir dari ibnu Umar. Ketika ia ditanya tentang perempuan yang hamil dan
meninggal suaminya Ibnu Umar menjawab,”apabila perempuan itu melahirkan
kandungannya, maka halallah ia”. Orang yang bertakwa kepada Allah, melaksanakan
perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya, maka ia akan dimudahkan urusannya,
dilepaskan dadi kesulitan yang dialaminya.[4]
5.
Al-ahzab
49
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نَكَحْتُمُ الْمُؤْمِنَاتِ
ثُمَّ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ فَمَا لَكُمْ عَلَيْهِنَّ
مِنْ عِدَّةٍ تَعْتَدُّونَهَا ۖ فَمَتِّعُوهُنَّ وَسَرِّحُوهُنَّ سَرَاحًا
جَمِيلًا
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi
perempuan-perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu
mencampurinya maka sekali-sekali tidak wajib atas mereka 'iddah bagimu yang
kamu minta menyempurnakannya. Maka berilah mereka mut'ah dan lepaskanlah mereka
itu dengan cara yang sebaik-baiknya.
·
Tafsir
ayat
(Hai
orang-orang yang beriman! Apabila kalian menikahi perempuan-perempuan yang
beriman, kemudian kalian ceraikan mereka sebelum kalian mencampurinya) menurut
suatu qiraat lafal Tamassuuhunna dibaca Tumaassuuhunna, artinya sebelum kalian
menyetubuhi mereka (maka sekali-kali tidak wajib atas mereka idah bagi kalian
yang kalian minta menyempurnakannya) yaitu yang kalian hitung dengan quru' atau
bilangan yang lainnya. (Maka berilah mereka mutah) artinya berilah mereka uang
mutah sebagai pesangon dengan jumlah yang secukupnya. Demikian itu apabila
pihak lelaki belum mengucapkan jumlah maharnya kepada mereka, apabila ternyata
ia telah mengucapkan jumlahnya, maka uang mutah itu adalah separuh dari mahar yang
telah diucapkannya. Demikianlah menurut pendapat Ibnu Abbas kemudian
pendapatnya itu dijadikan pegangan oleh Imam Syafii (dan lepaskanlah mereka itu
dengan cara yang sebaik-baiknya) yaitu dengan tanpa menimbulkan kemudaratan
pada dirinya.[5]
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Iddah (Arab: عدة; "waktu menunggu") di dalam agama Islam adalah sebuah
masa di mana seorang perempuan yang telah diceraikan oleh suaminya, baik
diceraikan karena suaminya mati atau karena dicerai ketika suaminya hidup,
untuk menunggu dan menahan diri dari menikahi laki-laki lain.
DAFTAR PUSTAKA
Ar-Rifa’i, Muhammad Nasib.1999. Ringkasan
Tafsir Ibnu Katsir. jilid ke 1. Jakarta:
Gema Insani Press.
Rifai, MOH. 1993. Al-qur’an
dan Tafsirnya. Jilid ke 10. Semarang: CV. Wicaksana.
[1]
https://id.wikipedia.org/wiki/Iddah
diakses Pada Tanggal 11 Mei 2019, Pukul 13:41
[2]
Muhammad Nasib
Ar-Rifa’i,Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, Jilid I,(Jakarta :Gema Insani
Press 1999 h..370 - 372
[3]
Ibid 392-397
No comments:
Post a Comment