1

loading...

Saturday, May 11, 2019

MAKALAH TAFSIR MUNAKAHAT " IDDAH"


 MAKALAH TAFSIR MUNAKAHAT



BAB I
PENDAHULUAN


A.      Latar Belakang Masalah
Di dalam pernikahan dituntut untuk selalu dapat menjaga dan mempertahankan keharmonisan dan keutuhan rumah tangga sehingga tercipta keluarga yang sakinah mawaddah wa rohmah. Namun, terkadang di dalam rumah tangga sering terjadi konflik keluarga. Hal inilah yang dapat menyebabkan suatu keluarga tersebut terjadi perceraian. Di dalam agama Islam perceraian merupakan perbuatan yang halal namun sangat dibenci oleh Allah SWT. Untuk itu agama Islam menetapkan suatu aturan hukum yang mengatur pernikahan, perceraian hingga kembali bersatu menjadi keluarga yang utuh. Akibat dari adanya perceraian inilah yang menyebabkan adanya kewajiban bagi seorang perempuan untuk “beriddah” atau dalam istilah lain disebut “masa tunggu”.

B.       Rumusan Masalah
1. Apa pengertian iddah?
2.  Apa  saja ayat tentang iddah dan tafsiran tentang iddah?

BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Iddah
Iddah (Arab: عدة; "waktu menunggu") di dalam agama Islam adalah sebuah masa di mana seorang perempuan yang telah diceraikan oleh suaminya, baik diceraikan karena suaminya mati atau karena dicerai ketika suaminya hidup, untuk menunggu dan menahan diri dari menikahi laki-laki lain.[1]

B.     Ayat Yang Berkenaan Tentang Iddah dan tafsiran tentang iddah
1.      Al- Baqarah ayat 228
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ ۚ وَلَا يَحِلُّ لَهُنَّ أَنْ يَكْتُمْنَ مَا خَلَقَ اللَّهُ فِي أَرْحَامِهِنَّ إِنْ كُنَّ يُؤْمِنَّ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِي ذَٰلِكَ إِنْ أَرَادُوا إِصْلَاحًا ۚ وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ ۚ وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ ۗ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah. Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. Akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.(Q.S. Al- Baqarah : 228)

·         Tafsir Ayat
Ini merupakan perintah allah ta’ala bagi para wanita yang dicerai, yang sudah di dukhul dan yang masih haid. Artinya, hendaknya mereka menanti selama tiga quru’. Si wanita harus diam selama tiga quru’ setelah di cerai oleh suaminya. Bila masa penantian sudah habis, dia boleh menikah lagi jika mau.
           Adapun masalah penantian budak  perempuan di perselisihkan oleh para ulama. Ada yang berpendapat bahwa apabila dia di cerai, maka iddahnya  dua quru’ sebab dia memiliki setengah dari ketentyan yang berlaku bagi wanita merdeka.  Hal itu karena yang satu quru’ lagi tidak dapat dibagi dua, maka digenapkanlah menjadi satu. Hal ini berdasarkan hadist (337), “budak perempuan memiliki dua talaq dan iidahnya selama dua kali haid”. Namun, kedudukan keterangan itu sebagai hadist belum mantap. Addaru Quthni misalnya, mengatakan bahwa keterangan itu merupakan pendapat Qasim bin Muhammad. Kemudian, Al- Makhzumi Al- Madani mengatakan bahwa keterangan itu lemah keseluruhannya dan diriwayatkan secara tidak marfu’dari pendapat Ibbnu Umar. Para ulama mengatakan bahwa di kalangan ulam tidak dikenal ikhtilaf mengenai hal itu, dan ini lah yang menjadi pegangan ke empat imma mazhab.
           Sebagian ulama salaf mengatakan bahwa iddah budak perempuan adalah seperti wanita merdeka lantaran berdasarkan keumuman ayat,dan karena masalah ini bersifat alamiayah. Jadi, dalam hal ini antara wanita merdeka dengan budak perempuan itu sama saja. Pandangan ini di ceritakan oleh syekh Abu Umar bin Abbdul Bar dari Muhammad bin Sirin. Namun, sebagaian kaum zhahiri memandangnya lemah.
           Telah terjadi ikhtilaf diantara para ulama salaf dan khalaf serta para imam mengenai maksud istilah quru’.  Pendapat mereka terbagi dua :
           1. yang dimaksud dengan quru’ ialah masa suci. Dari aisyah dikatakan bahwa quru’ artinya suci. Diriwayatkan dari Ibnu Umar bahwa dia berkata, “apabila suami menceraikan istrinya dan si istri sudah masuk masa haid ketiga, maka istri bebas dari suaminya, demikian pula sebaliknya”. Maka Malik berkata, “pendapat Ibbu Umar sama dengan kami ”. pendapat seperti itu juga di kemukakan oleh Ibbnu Abbas, Zaid bin Tsabit, sekelompok tabi’in dan ahli fikih yang tujuh.juga merupakan pendapat mazhab Syafi’i, Malik, Daud, Abu Tsaur, dan riwayat dari Ahmad. Pendapat mereka itu berdalilkan firman Allah ta’ala, “maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat iddahnya”.yakni masa sucinya. Tatkala masa suci menjadi pertimbangan dalam pelaksanaan perceraian, maka hal itu menunjukkan kepada masa suci sebagai salah satu quru’ yang diperintahkan untuk di pakai menunggu oleh karena itu , mereka mengatakan bahwa masa iddah wanita yang di cerai itu habis dan terbebas dari suaminya  dengan berhentinya masa haid yang ketiga.
           2.pendapat kedua mengatakan  bahwa yang dimaksud dengan quru’ ialah masa haid. Jadi, iddah belum habis jika istri belum suci dari haid ketiga.ulama menambahkan dengan kata-kata “dan ia sudah mandi besar pula”. Pendapat bahwa quru’ berarti haid ini di riwayatkan dari pada sahabat utama, termasuk khalifah yang empat dan para pembesar tabi’in. Pendapat kedua ini menjadi pegangan mazhab Hanafi. Riwayat yang paling shahih di antata dua riwayat itu ialah yang dari Ahmad bin Hambal yang sekaligus menjadi mazhab Tsauri, Auza’i, Ibbnu Abi Laila dan sebagainya.
           Pendapat kedua ini dikuatkan dengan hadist yang diriwayatkan oleh Abu Daud dan Nasa’i dari jalan Al-mundzir bin Al Mughirah, dari Urwah bin Zubair, dari Fatimah binti Abi Hubaisy bahwasanya rasulullah SAW berkata pada Fatimah, “tinggalkanlah shalatmu ketika kamu berada pada masa quru’”. Jika hadist ini shahih, maka jelaslah bahwa yang di maksud dengan quru’ ialah haid. Namun, Al-Mundzir mengatakan dalam hadist itu ada sanad bernama Abu Hatim yang majhul tidak terkenal. Demikianlah menurut Ibnu Hibban dalam Ats-Tsiqat.syeh abdul Umar  bin Abdul Bar berkat, “tidak ada perselisihan antara para ahli bahasa Arab dan ahli fikiq bahwa  quru’ dapat berarti haid dan dapat berarti suci”.sesungguhnya para ulama hanya berbeda pandangan dalam maksud ayat yang terbagi kepada dua pendapat itu. [2]

2.      Al- Baqarah 234

وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا ۖ فَإِذَا بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا فَعَلْنَ فِي أَنْفُسِهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ ۗ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ

Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila telah habis 'iddahnya, maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.

·         Tafsif ayat
Ini merupakan perintah dari Allah bagi kaum wanita yang ditinggal mati oleh suaminya yaitu hendaklah mereka beriddah selama empat bulam sepuluh malam. Ketetapan  ini berlaku biaik bagi istri yang sudah di dukhul maupun belum melalui persenggamaan. Yang menjadi sandaran beralkunya ketetapan bagi yang belum di dukhul ialah keumuman ayat yang mulia dan hadist nabi SAW. yang diriwayatkan oleh imama Ahmad dan para penulis sunan, dan di shahihkan oleh tirmidzi (371), “sesungguhnya ibnu mas’ud ditanya tentang seseorang yang menikah lalu dia meninggal sebelum sempat mendukhulnya atau mencoba-cobanya. Orang-orang berulang kali mempertanyakan hal itu kepada ibnu mas’ud. Dia berkata, ‘saya akan sampaikan pendapat saya mengenaihal itu. Jika benar, maka dari Allah dan jika salah, maka dari ku atau setan  karena Allah dan Nabi terbebas dari kesalahan : wanita itu berhak menerima mahar secara penuh ’.dalam redaksi lain dikatakan, ‘baginyanmahar seperti yang diberikan kepada wanita yang sudah di dukhul jangan mengurangin atau melebihi, dan berlaku atasnya iddah serta berhak menerima harta pusaka’. Kemudian mu’kil  bin Yasar al- Asyja’i beranjak seraya berkata,’ saya mendengar Rasulluh SAW pun memutuskan Barwa’ binti Wasyiq dengan ketetapan demikian’. Mendengar itu, maka abdullah ibn Mas’ud pun gembira sekali.”

3.      Al- Baqarah 235

وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا عَرَّضْتُمْ بِهِ مِنْ خِطْبَةِ النِّسَاءِ أَوْ أَكْنَنْتُمْ فِي أَنْفُسِكُمْ ۚ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ سَتَذْكُرُونَهُنَّ وَلَٰكِنْ لَا تُوَاعِدُوهُنَّ سِرًّا إِلَّا أَنْ تَقُولُوا قَوْلًا مَعْرُوفًا ۚ وَلَا تَعْزِمُوا عُقْدَةَ النِّكَاحِ حَتَّىٰ يَبْلُغَ الْكِتَابُ أَجَلَهُ ۚ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ مَا فِي أَنْفُسِكُمْ فَاحْذَرُوهُ ۚ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ غَفُورٌ حَلِيمٌ

Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran atau kamu menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu. Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka, dalam pada itu janganlah kamu mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia, kecuali sekedar mengucapkan (kepada mereka) perkataan yang ma'ruf. Dan janganlah kamu berazam (bertetap hati) untuk beraqad nikah, sebelum habis 'iddahnya. Dan ketahuilah bahwasanya Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu; maka takutlah kepada-Nya, dan ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.


·         Tafsir ayat
Allah ta’ala berfirman,”dan tidak ada dosa atasmu untuk meminang wanita dengan sindiran,” tidak berterus terang dalam masa iddah karena di tinggal mati oleh suaminya. Dari Ibnu Abbas dikatakan bahwa yang di maksud sindiran misalnya seseorang mengatakan, “saya ingin menikah” atau “ saya mencintai seorang wanita dan tentangnya “. Kata-kata itu disampaikan dengan baik. Dia jangan memintak kepastian dari si wanita selama dia dalam masa iddah.
Begitu pula ketetapan bagi wanita yang di talaq biasa dapat dilamar dengan sindiran, sebagaimana Nabi SAW. bersabda kepada Fatimah binti Qais tatkala ia di cerai oleh suaminya yang bernama abu Hafash bin Umar dengan talaq tiga. Beliau menyuruhnya menjalani iddah di rumah Ibnu Ummi Kulsum. Beliau berkata kepada fatimah (378),” ‘apabila engkau telah halal beritau saya ‘. Setelah dia halal, maka usamah bin Zaid, budak beliau melamarnya, dan beliau menikahkan fatimah kepada usamah”.[3]

4.      At-talaq 4
وَاللَّائِي يَئِسْنَ مِنَ الْمَحِيضِ مِنْ نِسَائِكُمْ إِنِ ارْتَبْتُمْ فَعِدَّتُهُنَّ ثَلَاثَةُ أَشْهُرٍ وَاللَّائِي لَمْ يَحِضْنَ ۚ وَأُولَاتُ الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ ۚ وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْرًا
Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), maka masa iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid. Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. Dan barang -siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya.
·         Tafsir ayat
Diriwayatkan bahwasanya ada satu kaum, di antara mereka itu terdapat Ubay bin Ka’ab dan Khalid bin Nu’man. Mereka itu setelah mendengar firman Allah SWT. “wanita-wanita yang ditalaq hendaknya menahan diri (menunggu) tiga quru’ (tiga kali suci)”. Mereka bertanya, “wahai Rasullullah maka berapakah iddah wanita yang tidak ada haidnya, baik yang belum pernah haid atau yang tidak haid lagi”, maka turunlah ayat ini yang menjelaskan bahwa jika kamu ragu tentang iddah pereempuan-perempuan yang ya-is yakni yang tidak haid lagi, karena telah mencapai umur lebih kurang lima puluh lita tahun keatas maka iddahnya 3 bulan. Begitu pula wanita muda yang belum pernah haid. Adapun bagi perempuan-perempuan yang hamil maka iddahnya sampai melahirkan kandungannya. Begitu  juga perempuan-perempuan hamil yang suminya meninggal iddahnya sampai melahirkan kandungannya, sebagaimana yang diriwayatkan imam Malik, iman Syafi’i, Abdul Razak, Ibbu Abi Syaibah, dan Ibnul Munzir dari ibnu Umar. Ketika ia ditanya tentang perempuan yang hamil dan meninggal suaminya Ibnu Umar menjawab,”apabila perempuan itu melahirkan kandungannya, maka halallah ia”. Orang yang bertakwa kepada Allah, melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya, maka ia akan dimudahkan urusannya, dilepaskan dadi kesulitan yang dialaminya.[4]

5.      Al-ahzab 49
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نَكَحْتُمُ الْمُؤْمِنَاتِ ثُمَّ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ فَمَا لَكُمْ عَلَيْهِنَّ مِنْ عِدَّةٍ تَعْتَدُّونَهَا ۖ فَمَتِّعُوهُنَّ وَسَرِّحُوهُنَّ سَرَاحًا جَمِيلًا
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan-perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya maka sekali-sekali tidak wajib atas mereka 'iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya. Maka berilah mereka mut'ah dan lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik-baiknya.
·         Tafsir ayat
(Hai orang-orang yang beriman! Apabila kalian menikahi perempuan-perempuan yang beriman, kemudian kalian ceraikan mereka sebelum kalian mencampurinya) menurut suatu qiraat lafal Tamassuuhunna dibaca Tumaassuuhunna, artinya sebelum kalian menyetubuhi mereka (maka sekali-kali tidak wajib atas mereka idah bagi kalian yang kalian minta menyempurnakannya) yaitu yang kalian hitung dengan quru' atau bilangan yang lainnya. (Maka berilah mereka mutah) artinya berilah mereka uang mutah sebagai pesangon dengan jumlah yang secukupnya. Demikian itu apabila pihak lelaki belum mengucapkan jumlah maharnya kepada mereka, apabila ternyata ia telah mengucapkan jumlahnya, maka uang mutah itu adalah separuh dari mahar yang telah diucapkannya. Demikianlah menurut pendapat Ibnu Abbas kemudian pendapatnya itu dijadikan pegangan oleh Imam Syafii (dan lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik-baiknya) yaitu dengan tanpa menimbulkan kemudaratan pada dirinya.[5]

BAB III
PENUTUP

A.      KESIMPULAN
Iddah (Arab: عدة; "waktu menunggu") di dalam agama Islam adalah sebuah masa di mana seorang perempuan yang telah diceraikan oleh suaminya, baik diceraikan karena suaminya mati atau karena dicerai ketika suaminya hidup, untuk menunggu dan menahan diri dari menikahi laki-laki lain.

DAFTAR PUSTAKA

Ar-Rifa’i, Muhammad Nasib.1999. Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir. jilid ke 1.  Jakarta: Gema Insani Press.
Rifai, MOH. 1993. Al-qur’an dan Tafsirnya. Jilid ke 10. Semarang: CV. Wicaksana.




[1] https://id.wikipedia.org/wiki/Iddah diakses Pada Tanggal 11 Mei 2019, Pukul 13:41
[2] Muhammad Nasib Ar-Rifa’i,Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, Jilid I,(Jakarta :Gema Insani Press 1999 h..370 - 372
[3] Ibid 392-397
[4] MOH. Rifa’i,Al-Qur’an Dan Tafsirnya, Jilid 10 (Semarang:CV. Wicaksana 1993 )h.205-206
[5] https://tafsirq.com/33-al-ahzab/ayat-49 diakses pada tanggal 11 Mei 2019,pukul 14:27

No comments:

Post a Comment