MAKALAH
MODEL-MODEL BISNIS DAN PRAKTEK MAL-BUSNESS
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkembangan
teknologi informasi yang sangat dramatis dalam beberapa tahun
terakhir telah membawa dampak transformational pada berbagai aspek
kehidupan, termasuk di dalamnya dunia bisnis. Salah
satu konsep yang dinilai merupakan paradigma bisnis baru
adalah e-bussiness atau dikenal pula sebagai kajian yang relatif
masih baru dan akan terus berkembang, e-bussiness berdampak
besar pada praktek bisnis, setidaknya dalam hal penyempurnaan direct
marketing, transformasi organisasi, dan redefinisi organisasi. Model
bisnis ini menekankan
kepada semua orang agar dapat menilai bisnis apa yang baik dan bisnis apa yang
tidak baik untuk dikerjakan.
Oleh karena itu, dalam dunia bisnis yang semakin
berkembang saat ini, sangat penting untuk
mengetahui apa itu E-Business dan apa itu praktek Mal Bisnis sehingga kita dapat
berbisnis dengan baik.
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah pada
makalah ini yaitu sebagai berikut:
1.
Apa yang dimaksud dengan E-Business ?
2.
Apa saja model-model E-Business ?
3.
Apa saja faktor-faktor
penggerak e-business
?
4.
Apa yang dimaksud dengan praktek mal bisnis ?
5.
Apa saja jenis-jenis praktek mal bisnis ?
C. Tujuan Masalah
Tujuan masalah pada makalah
ini yaitu:
1.
Untuk memahami apa itu E-Business
2.
Untuk mengetahui apa saja model-model E-Business
3.
Untuk mengetahui faktor-faktor
penggerak e-business
4.
Untuk memahami dan mengetahui apa itu praktek mal
bisnis
5.
Untuk mengetahui apa saja jenis-jenis dari praktek mal bisnis
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
E-Business
E-Business adalah aktifikasi bisnis
yang dijalankan seluruhnya atau secara signifikan dengan menggunakan teknologi
semacam internet. Banyak orang mengasumsikan
bahwa e-Commerce dan e-Business adalah sama.
Istilah e-Commerce dan e-Business mungkin kedengarannya
sama tapi secara teknis sebenarnya keduanya berbeda. Keduanya memang
memiliki huruf “e‟ yang mengindikasikan penggunaan elektronik
termasuk internet dan EDI (electronic data interchange) untuk mengembangkan
proses bisnis.
Secara definisi e-Commerce merupakan bagian
dari e-bisnis, namun tidak
semua e-Business berarti e-Commerce. E-Commerce lebih
sempit jika dibandingkan e-Business, di manae-Commerce adalah
sub perangkat dari e-Business.
Di mana e-Business sangat luas, menunjuk kepada penggunaan
teknologi untuk menjalankan bisnis yang memberikan hasil,
memberikan dampak yang besar kepada bisnis secara keseluruhan.
E-Commerce mengacu kepada penggunaan internet untuk
belanja online, seperti untuk belanja produk dan jasa. Contohnya terjadi
ketika konsumen meng-order tiket, buku atau hadiah, produk
berwujud maupun tidak berwujud melalui internet.
Jadi pengertian e-commerce adalah proses transaksi jual beli yang
dilakukan melalui internet proses transaksi jual beli yang
dilakukan melalui internet dimana website digunakan sebagai wadah
untuk melakukan proses tersebut.[1]
Dalam aplikasi e-business harus
ditunjang oleh beberapa pilar dan infrastruktur, terdapat empat pilar utama e-business sebagai
berikut:
1)
Pelaku E-Business, meliputi
pembeli, penjual, perantara, manajemen, dan staf system informasi.
2)
Kebijakan publik
meliputi pajak, perundang-undangan, nama domain dan seterusnya.
3)
Standar teknis
baik untuk dokumen, keamanan, protocol jaringan, maupun pembyaran.
4)
Organisasi yaitu
mitra bisnis, pesaing, asosiasi dan instansi pemerintah.
B. Model-Model Bisnis
Adapun
model-model e-busines dapat
dikategorikan menjadi Sembilan model bisnis, yaitu:
1)
Virtual
Storefront, yang menjual produk fisik atau jasa secara on-line, sedangkan
pengirimannya menggunakan sarana-sarana tradisional.
2)
Marketplace
Concentrator, yaitu yang memusatkan informasi mengenai produk dan jasa dari
beberapa produsen pada satu titik sentral.
3)
Information
Brokerme, yaitu yang menyediakan informasi mengenai produk, harga dan
kesediaannya dan terkadang menyediakan transaksi.
4)
Trabsaction
Broker, yaitu pembeli dapat mengamati berbagai tariff dan syarat pembelian,
namun aktifitas bisnis utamanya adalah memfasilitasi transaksi.
5)
Electronic
Clearinghouses, yaitu menyediakan suasana seperti tempat lelang produk, dimana
harga dan ketersediaan selalu berubah tergantung pada reaksi konsumen.
6)
Reserve Auction,
yaitu konsumen mengajukan tawaran kepada berbagai penjual untuk membeli barang
atau jasa dengan harga yang disfesifikasi oleh pembeli.
7)
Digital Product
Delivery, yaitu menjual dan mengirim perangkat lunak, multimedia, dan produk
digital lainnya lewat internet.
8)
Content
Provider, yaitu yang memperoleh pendapatan melalui penyediaan kontan.
Pendapatan dapat dihasilkan dari biaya langganan atau biaya akses.
9)
Online Service
Provider, yaitu menyediakan layanan dan dukungan bagi para pemakai perangkat
lunak
C.
Faktor-Faktor
Penggerak E-Business
Jika
dikaji secara sungguh-sungguh perkembangan dari implementasi konsep
dasar e-Business di sebuah industri atau negara sangat ditentukan
oleh desakan faktor dari luar (external driving forces). Paling tidak ada empat
faktor desakan yang saling berkonvergensi satu dengan lainnya yang secara
signifikan akan menentukan percepatan implementasi konsep e-Business,
yaitu:
1)
Customer
Expectations
Paradigma baru menekankan pentingnya pelanggan
ditempatkan sebagai titik awal atau acuan dari penyusunan konsep bisnis sebuah
perusahaan. Dewasa ini seorang pelanggan tidak cukup dapat dipuaskan dengan
baiknya kualitas sebuah produk yang ditawarkan. Pelanggan bersangkutan
mengharapkan adanya pelayanan pra dan pasca jual yang baik.
2)
Competitive
Imperative
Globalisasi telah membentuk sebuah arena persaingan
dunia usaha yang sangat ketat. Hampir semua perusahaan di dunia dapat melakukan
kompetisi secara terbuka di lingkungan pasar bebas. Tentu saja hal ini
menimbulkan dampak yang sangat besar bagi keberadaan sebuah perusahaan.
Pelanggan akan dengan mudahnya membandingbandingkan kualitas produk dan
pelayanan antar perusahaan dari hari ke hari. Dengan prinsip selalu mencari
yang murah, lebih baik, dan lebih cepat, maka secara tidak langsung perusahaan
dipaksa untuk menyusun dan mengembangkan sebuah model dan strategi bisnis yang
tepat.
3)
Deregulation
Harus diakui pula bahwa secara makro deregulasi yang
dilakukan oleh pemerintah maupun negara-negara lain (disamping keberadaan
lembaga-lembaga dan komunitas dunia semacam WTO, APEC, AFTA, dan lain-lain)
telah turut mewarnai bentuk dunia usaha di masa mendatang, terutama yang
berkaitan dengan konsep perdagangan bebas antar negara dan industri.
Ditiadakannya pajak masuk produk-produk impor, dibebaskannya kuota ekspor
produk, disatukannya berbagai mata uang asing (single currency), dialirkannya
informasi secara bebas, tentu saja telah memaksa lingkungan dunia usaha menjadi
lebih efisien dari masa ke masa.
4)
Teknologi
Faktor terakhir dan menentukan dalam
mengimplementasikan konsepe-Business adalah kemajuan teknologi informasi,
yang didominasi oleh percepatan perkembangan teknologi komputer dan
telekomunikasi. Fungsi dari teknologi informasi tidak hanya kritikal bagi
perkembangan e-Business (enabling
function) tetapi justru telah menjadi penggerak dari dimungkinkannya
pengembangan modelmodel bisnis baru yang tidak terpikirkan sebelumnya. Dengan
e-business aliran informasi dari perusahaan ke pelanggan, pemasok, pemerintah,
pemilik modal dan masyarakat haruslah dikelola dengan baik. Pengelolaan
informasi pada perusahaan tergantung pada strategi yang diterapkan dan dukungan
eksekutif, manajer dan karyawan. Dengan dukungan sarana dan prasarana maka
diharapkan aliran informasi perusahaan akan cepat, tepat dan akurat, dengan
demikian perusahaan akan dapat mempertahankan hidupnya, memperoleh keuntungan
dan dapat berkompetisi dengan sehat.[2]
D. Pengertian Mal
Bisnis
Praktek mal bisnis adalah
praktek-praktek bisnis yang tidak terpuji karena merugikan pihak lain dan
melanggar hukum yang ada. Perilaku yang ada dalam praktek bisnis mal sangat
bertentangan dengan nilai-nilai
yang ada dalam Al-Qur’an.[3]
Praktek mal bisnis di sini artinya adalah mencakup semua
perbuatan yang tidak baik, jelek, secara moral terlarang, membawa akibat
kerugian bagi pihak lain, maupun yang meliputi aspek hukum pidana yang disebut bussines
crimes atau business tourt.
Business crimes adalah
tindak pidana dalam bisnis, yaitu perbuatan-perbuatan tercela yang dilakukan
oleh pebisnis atau pegawai suatu bisnis baik untuk keuntungan bisnisnya maupun
yang merugikan bisnis pihak lain. Adapaun business tourt adalah
perbuatan yang tidak terpuji yang dilakukan oleh usahawan yang merupakan
pelanggaran terhadap pengusaha lain. Di Indonesia kedua praktek ini dianggap
sebagai kejahatan bisnis.
Al-Qur'an sebagai sumber nilai, memiliki nilai-nilai prinsip untuk
mengenali prilaku-prilaku yang bertentangan dengan nilainya. Oleh karenanya ada
beberapa term yang digunakan dalam menyebut praktek mal bisnis, diantaranya al-bhatil,
al-fasad, dan adz-dzalim sebagai landasan atau muara
perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh Al-Qur’an.[4]
Al-bathil berasal
dari al-buthlu dan al-buthlan, berarti kesia-siaan dan kerugian,
yang menurut syara’ mengambil harta tanpa pengganti hakiki dan tanpa keridhaan dari
pemilik harta yang diambil tersebut.
Al-fasad sendiri yang berasal
dari kata dasar f-s-d berarti kerusakan, kebusukan, yang tidak sah, yang
batal, lawan dari perbaikan, atau sesuatu yang keluar dari keadilan baik sedikit
maupun banyak, atau juga kerusakan yang terjadi pada diri manusia, benda dan
lain-lain. “Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain
diantara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan)
harta itu
kepada hakim, supaya kami dapat memakan sebahagian daripada harta benda
orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padapadahal kamu mengetahuinya.”
Sedangkan Azh-zulm terambil dari kata dasar zh-l-m bermakna, meletakkan sesuatu
tidak pada tempatnya, ketidakadilan, penganiayaan, penindasan,
tindakan sewenang-wenang, kegelapan. Zhalim adalah tidak adanya
cahaya,merupakan gambaran dari kebodohan, kesyirikan. Dalam konteks hukum menurut
ar-Raghib, kezhaliman dibagi tiga; pertama, kezhaliman manusia terhadap
Allah seperti kufur, syirik, nifak. Kedua, kezhaliman antar sesama
manusia. Dan ketiga, kezhaliman terhadap diri sendiri. Dalam konteks
hubungan kemanusiaan, al-Qur’an pada beberapa tempat menyatakan kandungan makna
kezhaliman sebagai landasan praktek yang berlawanan dengan nilai-nilai etika,
termasuk dalam mal bisnis.
E. Jenis-Jenis Praktek Mal Bisnis
1)
Riba
Riba dari segi
bahasa berarti ziyadah (kelebihan) atau tambahan. Sedangkan menurut
istilah syara’, berarti bertambahnya harta (dalam pelunasan hutang) tanpa imbalan
jasa apapun. Dalam al-Qur’an pengertian riba dipakai untuk istilah bunga.
Tetapi dari segi ekonomi riba berarti surplus pendapatan yang diterima
dari debitur sebagai imbalan karena menangguhkan untuk waktu atau periode
tertentu.[5] Riba
dilarang bukan hanya di kalangan kaum Muslim saja tetapi juga dilarang di
kalangan agama lain, terutama agama samawi. Islam menganggap riba sebagai kejahatan
ekonomi yang menimbulkan penderitaan bagi masyarakat, baik itu secara ekonomis,
moral, maupun sosial. Oleh karena itu al -Qur'an melarang kaum muslimin untuk
memberi ataupun menerima riba.
الَّذِينَ
يَأْكُلُونَ الرِّبَا لَا يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ
الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ۚ ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ
مِثْلُ الرِّبَا ۗ وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا ۚ فَمَنْ
جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ فَانْتَهَىٰ فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى
اللَّهِ ۖ وَمَنْ عَادَ فَأُولَٰئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ ۖ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
Artinya: Orang-orang
memakan riba tidak dapat berdiri, melainkan berdirinya seperti berdirinya orang
yang kemasukan setan karena gila. Yang demikian itu karena mereka berkata bahwa
jual beli sama dengan riba. Padahal, Allah telah mengahalalkan jual beli dan
mengharamkan riba. Barang siapa mendapat peringatan dari Tuhannya, lalu dia
berhenti, maka apa yang telah diperolehnya dahulu menjadi miliknya dan
urusannya (terserah) kepada Allah. Barang siapa yang mengulanginya, maka mereka
itu lah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.(Q.S al-Baqarah :275)
Dalam mengungkap rahasia
makna riba dalam al-Qur’an, ar-Razi menggali sebab dilarangnya riba dari sudut
pandang ekonomi, dengan beberapa indikasi sebagai berikut;
a)
Riba tak lain adalah mengambil harta orang lain tanpa ada nilai imbangan
apapun. Padahal, menurut sabda Nabi harta seseorang adalah seharam darahnya
bagi orang lain.
b)
Riba dilarang karena menghalangi pemodal untuk terlibat dalam usaha
mencari rezeki. Orang kaya, jika ia mendapatkan penghasilan dari riba, akan
bergantung pada cara yang gampang dan membuang pikiran untuk giat berusaha.
c)
Riba biasanya pemodal semakin kaya dan bagi pe-minjam semakin miskin,
sekiranya dibenarkan maka yang ada orang kaya menindas orang miskin.
2)
Perjudian (qimar atau maisir)
Adapun judi dalam
bahasa arab disebut al-maisir, al-qimar, rahanahu fi al-qimar li'bun
qimar, muqamarah, maqmarah (rumah judi). Termasuk dalam jenis judi adalah
bisnis yang dilakukan dengan sistem pertaruhan.[7]
Perilaku judi dalam
proses maupun pengembangan bisnis dilarang secara tegas oleh al-Qur'an. Judi
atau al-maisir ditetapkan sebagai hal yang harus dihindari dan dijauhi
oleh orang yang beriman bersama dengan larangan khamr dan mengundi
nasib, karena termasuk perbuatan syetan. Firman pertama yang ditunjukkan pada
kejahatan ini menyatakan bahwa kejahatan judi itu jauh lebih parah daripada
keuntungan yang diperolehnya. Hal ini ditunjukkan dalam Q.S. al-Maidah (5) ayat
90:
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنْصَابُ
وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ
تُفْلِحُونَ
Artinya Wahai
orang-orang yang beriman! Sesungguhnya minuman keras, berjudi (berkurban untuk)
berhala, dan mengundi nasib dengan anak panah, adalah perbuatan keji dan
termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah (perbuatan-perbuatan) itu agar kamu
beruntung.
Ayat itulah pertama
kali dibicarakan mengenai judi berupa celaan sebagai suatu kejahatan sosial.
Langkah berikut dan final adalah melarang perjudian dilakukan bersama-sama.
Sedangkan dalam ayat lain dijelaskan bahwa semua bentuk perjudian atau taruhan
itu dilarang dan dianggap sebagai perbuatan dzalim dan sangat dibenci. Kata maisir
dalam bahasa Arab yang arti harfiahnya adalah memperoleh sesuatu dengan
sangat mudah tanpa kerja keras atau mendapat keuntungan tanpa bekerja, oleh
karena itu disebut berjudi.
3)
Probabilitas atau resiko (gharar)
Gharar pada arti asalnya
adalah al-khida’, yaitu sesuatu yang tidak diketahui pasti benar atau
tidaknya. Dari arti itu, gharar dapat berarti sesuatu yang lahirnya menarik,
tetapi dalamnya belum jelas diketahui dan menimbulkan kebencian.[8]
Bisnis gharar dengan demikian adalah jual beli yang tidak memenuhi
perjanjian yang tidak dapat dipercaya, dalam keadaan bahaya tidak diketahui
harganya, barangnya, kondisi, serta waktu mem-perolehnya. Dengan demikian
antara yang melakukan transaksi tidak mengetahui batas-batas hak yang
di-peroleh melalui transaksi tersebut. Dalam konsepsi fiqh, termasuk didalamnya
jenis gharar adalah membeli ikan dalam kolam, membeli buah-buahan yang masih
mentah di pohon. Praktek gharar ini, tidak dibenarkan salah satunya dengan
tujuan menutup pintu bagi perselisihan dan perebutan dua belah pihak.[9]
Didalam kontrak bisnis, gharar berarti melakukan sesuatu secara
membabi buta tanpa pengetahuan yang mencukupi; atau megambil resiko sendiri
dari suatu perbuatan yang mengandung resiko tanpa mengetahui dengan persis apa
akibatnya, atau memasuki kancah resiko tanpa memikirkan konsekuensinya. Dalam
segala situasi tersebut, di situ selalu hadir suatu resiko. Gharar bisa
tampil sebagai cermin ketidakadilan. Gharar dikaitkan dengan perjudian,
sebab adanya unsur ketidakpastian yang berarti mirip dengan taruhan dalam
perjudian, tentang akibat yang bakal terjadi, yang cenderung sepihak, salah
satu pihak tidak tahu apa yang tersimpan atau akan diperolehnya pada akhir
suatu transaksi. Sementara dalam perjudian, masing-masing pihak sama-sama
menghadapi kosekuensi kalah atau menang.
Jadi meskipun dari segi konsep dan praktek berbeda, keduanya, gharar dan
judi memiliki akibat yang sama, yaitu salah satu pihak mendapatkan keuntungan
yang tidak adil (menjadikan salah satu pihak menarik pihak lain ke posisinya
yang dirugikan), yang berarti ada unsur memakan harta sesama dengan cara
bathil. Disamping itu akibatnya terjadi kekecewaan dan kebencian, karena
disamping prinsip keadilan yang harus ditegakkan dalam bisnis yang harus
memperhatikan prinsip kerelaan 'antaradzin' antara pelaku bisnis.
4)
Penipuan (al-gabn dan tadlis)
Al-gabn menurut bahasa
bermakna al-khida' yang berarti penipuan. Dikatakan: Ghabanahu
ghabnan fi al-bay' wa asy-syira'; khada'au wa ghalabahu (dia benar-benar
menipunya dalam jual beli yaitu menipunya dan menekannya. Ghabana fulanan;
naqashahu fit-tsaman wa ghayyarahu (dia menipu seseorang yaitu dengan
me-ngurangi dan merubah harganya). Ghabn adalah membeli harga dengan
lebih tinggi atau lebih rendah dari harga rata-rata. Penipuan model ghabn ini
disebut penipuan bila sudah sampai taraf yang keji.30 Adapun penipuan (tadlis)
adalah penipuan, baik pada pihak penjual maupun pembeli dengan cara
menyem-bunyikan kecacatan ketika terjadi transaksi. Dalam bisnis modern
perilaku ghabn atau tadlis bisa terjadi dalam proses mark-up yang
melampaui kewajaran atau wanprestasi.
Penipuan (bedrog), dalam KUHD Perdata Indonesia pengaturannya
terdapat dalam pasal 1328. dengan penipuan dimaksudkan penyesatan dengan
sengaja oleh salah satu pihak terhadap pihak lawan janji dengan memberikan
keterangan-keterangan palsu disertai dengan tipu muslihat untuk membujuk pihak
lawannya agar memberikan perijinannya, dimana jelas bahwa kalu tidak karena
tipu muslihat itu, dia tidak membuat perikatan yang bersangkutan atau paling
tidak, tidak dengan syarat yang telah disetujuinya. Di sini pihak tertipu
memang telah menyatakan perizinannya, namun merupakan perizinan dan kehendak
yang tidak murni, kehendak yang sesat karena tindakan penipuan pihak lawan
janji. Jadi di sini kehendaknya adalah cacat, yang disebabkan oleh perbuatan
lawan janji yang melakukan tipu muslihat.[10]
Dasar penipuan ini dapat merujuk hadist riwayat Abu Hurairah;
Dari Abu Hurairah (dilaporkan bahwa) Ia mengatakan; Rasulullah SAW
pernah lewat pada seseorang yang sedang menjual bahan makanan, lalu Rasulullah
memasukkan tangannya ke dalam bahan makanan itu, lalu ternyata bahan makanan tersebut tipuan. Maka Rasulullah bersabda, "tidak termasuk
golongan kami orang yang menipu."
Dengan aksioma kebenaran ini, maka etika bisnis Islam sangat menjaga dan
berlaku preventif terhadap kemungkinan adanya kerugian salah satu pihak yang
melakukan transaksi, kerja sama atau perjanjian dalam bisnis. al-Qur'an
menegaskan agar dalam bisnis tidak dilakukan dengan cara-cara yang mengandung
kebatilan, kerusakan dan kedzaliman, sebaliknya harus dilakukan dengan
kesadaran dan kesukarelaan.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pembahasan diatas dapat kami simpulkan, bahwa kita
boleh melakukan bisnis asalkan bisnis yang kita lakukan adalah bisnis yang baik
bagi kita maupun orang lain (tidak mendzhalimi salah satu pihak). Berbisnis
tidak boleh dilakukan dengan cara-cara yang Allah larang seperti halnya
mengambil keuntungan terlalu besar (riba), perjudian (maysir) Probabilitas atau resiko (gharar), dan penipuan (al-gabn dan tadlis).
B. Saran
Semoga pembahasan dari makalah ini dapat bermanfaat
untuk semua orang yang membacanya, dan berusaha untuk memahaminya agar bisa
berbisnis sesuai yang Allah perintahkan dan menjahui praktek mal bisnis.
DAFTAR
PUSTAKA
Afzalurrahman,
1996. Doktrin Ekoomi Islam, alih bahasa Suroyo dan M. Nastangin cet. 1.
Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf.
Al-Asad,
Ahmad Muhammad dan Fathi Ahmad Abd Karim. 1999. Sistem, Prinsip, dan Tujuan
Ekonomi Islam, alih bahasa Imam Saefuddin, Bandung: Pustaka Setia.
Ambo Aco1, Andi Hutami Endang, Junal
Analisis
Bisnis E-Commerce, Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar
An-Nabhani, Taqiyyuddin. 1996. Membangun
Sistem Ekonomi Alternatif Perspektif Islam, alih bahasa Maghfur Wachid,
Surabaya: Risalah Gusti.
Ariyadi, Bisnis Dalam Islam, Universitas Muhammadiyah Palangkaraya, (Pelangka
Raya, Vol. 5, No. 1, Juni 2018.
Ar-Razi,
Fakhruddin Muhammad. tt. Tafsir al-Kabir, Tuhran: Dar al-Kutub
al-Ilmiyyah.
Az-Zuhaily,
Wahbah. 1989. al-Fiqh al-Islami wa Adilatuh, juz. 4 Beirut: Dar al-Fikr.
Suwantoro. 1999. Aspek-aspek Pidana
di Bidang Ekonomi, Jakarta: Ghalia Indonesia.
Syamsul
Anwar, Hukum Perjanjian Dalam Islam:
Kajian terhadap masalah cacat Kehendak (Wilsgebreken), dalam Jurnal
Penelitian Agama, No. 21Th VII Januari April 1999
[1] Ambo Aco1, Andi
Hutami Endang, Junal Analisis Bisnis E-Commerce, Universitas Islam Negeri Alauddin
Makassar
[2] Ambo Aco1, Andi
Hutami Endang, Junal Analisis Bisnis E-Commerce, Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar
[3] Ariyadi, Bisnis
Dalam Islam, Universitas
Muhammadiyah Palangkaraya, (Pelangka Raya, Vol. 5, No. 1, Juni 2018
[6] Fakhruddin Muhammad ar-Razi, Tafsir al-Kabi, h.87
[9]
Ahmad Muhammad al-Asad dan Fathi Ahmad Abd
Karim, Sistem, Prinsip, dan Tujuan Ekonomi Islam, h. 93 dan 95
[10] Syamsul Anwar, Hukum
Perjanjian Dalam Islam: Kajian terhadap masalah cacat Kehendak (Wilsgebreken),
dalam Jurnal Penelitian Agama, No. 21Th VII Januari April 1999
No comments:
Post a Comment