1

loading...

Friday, July 12, 2019

PEMIKIRAN KALAM FAZLUR RAHMAN DAN ISMAIL RAZI AL-FARUQI


PEMIKIRAN KALAM FAZLUR RAHMAN DAN ISMAIL RAZI
AL-FARUQI


A.    Biografi Fazlur Rahman
Fazlur Rahman dilahirkan pada tanggal 21 September 1919 di Hazara, suatu daerah  yang sekarang terletak di barat laut Pakistan. Fazlur Rahman dilahirkan dalam suatu keluarga Muslim yang sangat religius. Kerelegiusan ini dinyatakan oleh Fazlur Rahman sendiri yang mengatakan bahwa ia mempraktekan ibadah-ibadah keisalaman seperti shalat, puasa, dan lainnya, tanpa meninggalkannya sekalipun. Dengan latar belakang kehidupan keagamaan yang demikian, maka menjadi wajar ketika berumur sepuluh tahun ia sudah dapat menghafal Alquran. Adapun mazhab yang dianut oleh keluarganya ialah mazhab Hanafi.
            Orang tua Fazlur Rahman sangat mempengaruhi pembentukan watak dan keyakinan awal keagamaannya. Melalui ibunya, Fazlur Rahman memperoleh pelajaran berupa nilai-nilai kebenaran, kasih sayang, kesetiaan, dan cinta. Ayah Fazlur Rahman merupakan penganut mazhab Hanafi yang sangat kuat, namun beliau tidak menutup diri dari pendidikan modern. Tidak seperti penganut mazhab Hanafi fanatik lainnya ketika itu, ayahnya berkeyakinan bahwa Islam harus memandang modernitas sebagai tantangan-tantangan dan kesempatan-kesempatan. Pandangan ayahnya inilah yang kemudian mempengaruhi pemikiran dan keyakinan Fazlur Rahman. Selain itu, melalui tempaan ayahnya, Fazlur Rahman pada kemudian hari menjadi seorang yang bersosok cukup tekun dalam mendapatkan pengetahuan dari berbagai sumber, dan melalui ibunyalah kemudian ia sangat tegar dan tabah dalam mengembangkan keyakinan dan pembaruan Islam.
            Pada tahun 1933, Fazlur Rahman melanjutkan pendidikannya di sebuah sekolah modern di Lahore. Selain mengenyam pendidikan formal, Fazlur Rahman pun mendapatkan pendidikan atau pengajaran tradisinonal dalam kajian-kajian keislaman dari ayahnya, Maulana Syahab al Din. Materi pengajaran yang diberikan ayahnya ini merupakan materi yang ia dapat ketika menempuh pendidikan di Darul Ulum Deoband, di wilayah utara India. Ketika berumur empat belas tahun, Fazlur Rahman sudah mulai mempelajari filsafat, bahasa Arab, teologi atau kalam, hadis dan tafsir.[1]
            Setelah menyelesaikan pendidikan menengahnya, Fazlur Rahman kemudian melanjutkan pendidikannya dengan mengambil bahasa Arab sebagai kosentrasi studinya dan pada tahun 1940 ia berhasil mendapatkan gelar Bachelor of Art. Dua tahun kemudian, tokoh utama gerakan neomodernis Islam ini berhasil menyelesaikan studinya di universitas yang sama dan mendapatkan gelar Master dalam bahasa Arab.
            Pada tahun 1946, Fazlur Rahman berangkat ke Inggris untuk melanjutkan studinya di Oxford University. Selama menempuh pendidikan di Barat, Fazlur Rahman menyempatkan diri untuk belajar berbagai bahasa asing. Bahasa-bahasa yang berhasil dikuasai olehnya diantaranya ialah Latin, Yunani, Inggris, Jerman, Turki, Arab dan Urdu. Penguasaan berbagai bahasa ini membantu Fazlur Rahman dalam memperdalam dan memperluas cakrawala keilmuannya (khususnya studi keislaman) melalui penelusuran berbagai literatur.
            Dan pada saat berumur 32 tahun Fazlur Rahman meraih gelar doktornya, di Oxford University, Fazlur Rahman tidak langsung ke negeri asalnya Pakistan (ketika itu sudah melepaskan diri dari India), ia memutuskan untuk tinggal beberapa saat disana. Ketika tinggal di tinggal di Inggris, Fazlur Rahman sempat mengajar di Durham University. Kemudian pindah mengajar ke Institute of Islamic Studies, McGill University, Kanada, dan menjabat sebagai Associate Professor of Philosophy sampai awal tahun 1960. Menurut pengakuan   Fazlur Rahman, ketika menempuh studi pasca sarjana di Oxford University dan mengajar di Durham University, konflik antara pendidikan modern yang diperolehnya di Barat dengan pendidikan Islam tradisional yang didapatkan ketika di negeri asalnya mulai menyeruak. Konflik ini kemudian membawanya pada skeptisisme yang cukup dalam, yang diakibatkan studinya dalam bidang filsafat.[2]
            Setelah tiga tahun mengajar di McGill University, akhirnya pada awal tahun 1960 Fazlur Rahman kembali ke Pakistan setelah sebelumnya diminta bantunnya oleh Ayyub Khan untuk membangun negeri asalnya, Pakistan. Menurut Moosa, permintaan Ayyub Khan kepada Fazlur Rahman ialah bertujuan untuk membawa Pakistan pada khittah berupa negara yang bervisi Islam Selanjutnya pada tahun 1962, Fazlur Rahman diminta oleh Ayyub Khan untuk memimpin Lembaga Riset Islam (Islamic Research Institute) dan menjadi anggota Dewan Penasihat Ideologi Islam (The Advisory Council of Islamic Ideology). Motivasi Fazlur Rahman untuk menerima tawaran dari Ayyub Khan dapat dilacak pada keinginannya untuk membangkitkan kembali visi Al-quran yang dinilainya telah terkubur dalam puing-puing sejarah.[3]
            Kursi panas yang diduduki oleh Fazlur Rahman akhirnya menuai berbagai reaksi. Para ulama tradisional menolak jika Fazlur Rahman mendudukinya, ini disebabkan oleh latar belakang pendidikannya yang ditempuh di Barat. Penentangan atas Fazlur Rahman akhirnya mencapai klimaksnya ketika jurnal Fikr-o-Nazar menerbitkan tulisannya yang kemudian menjadi dua bab pertama bukunya yang berjudul Islam. Pada tulisan tersebut, Fazlur Rahman mengemukakan pikiran kontroversialnya mengenai hakikat wahyu dan hubungannya dengan Muhammad saw. Menurut Fazlur Rahman, Al-quran sepenuhnya adalah kalam atau perkataan Allah swt, namun dalam arti biasa, Al-quran juga merupakan perkataan Muhammad saw. Akibat pernyataan-pernyataannya tersebut, Fazlur Rahman dinyatakan sebagai mengingkari Quran (orang yang tidak percaya Al-quran). Menurut Amal, kontroversi dalam media masa Pakistan mengenai pemikiran Fazlur Rahman tersebut berlalu hingga kurang lebih satu tahun, yang pada akhirnya kontroversi ini membawa pada gelombang demonstrasi massa dan mogok total di beberapa daerah Pakistan pada September 1968. Menurut hampir seluruh pengkaji pemikiran Fazlur Rahman berpendapat bahwa penolakan atasnya bukanlah ditujukan kepada Fazlur Rahman tetapi untuk menentang Ayyub Khan. Hingga akhirya pada 5 September 1968 permintaan Fazlur Rahman untuk mengundurkan diri dari pimpinan Lembaga Riset Islam dikabulkan oleh Ayyub Khan.
            Pada akhir tahun 1969 Fazlur Rahaman meninggalkan Pakistan untuk memenuhi tawaran Universitas California, Los Angeles, dan langsung diangkat menjadi Guru Besar Pemikiran Islam di universitas yang sama. Mata kuliah yang ia ajarkan meliputi pemahaman Al-quran, filsafat Islam, tasawuf, hukum Islam, pemikiran politik Islam, modernism Islam, kajian tentang al Ghazali, Shah Wali Allah, Muhammad Iqbal, dan lain-lain. Salah satu alasan yang menjadikan Rahman memutuskan untuk mengajar di Barat disebabkan oleh keyakinan bahwa gagasan-gagasan yang ditawarkannya tidak akan menemukan lahan subur di Pakistan. Selain itu, Rahman menginginkan adanya keterbukaan atas berbagai gagasan dan suasana perdebatan yang sehat, yang tidak ia temukan di Pakistan.
            Selama di Chicago, Fazlur Rahman mencurahkan seluruh kehidupannya pada dunia keilmuan dan Islam. Kehidupannya banyak dihabiskan di perpustakaan pribadinya di basement rumahnya, yang terletak di Naperville, kurang lebih 70 kilometer dari Universitas Chicago. Rahman sendiri menggambarkan aktitivitas dirinya tersebut laiknya ikan yang naik ke atas hanya untuk mendapatkan udara. Dari konsistensinya dan kesungguhannya terhadap dunia keilmuan akhirnya Rahman mendapatkan pengakuan lembaga keilmuan berskala internasional. Pengakuan tersebut salah satunya ialah pada tahun 1983 ia menerima Giorgio Levi Della Vida dari Gustave E von Grunebaum Center for Near Eastern Studies, Universitas California, Los Angeles.[4]
            Selama kurang lebih 18 tahun menetap di Chicago, rahman telah menampilkan sebagai pigur pemikir modern yang bertanggung jawab dan senantiasa berfikir untuk mencari solusi-solusi dari problema yang dihadapi islam dan umatnya. Ada sejumlah buku yang berhasil dia tulis dan puluhan artikel lainnya yang tersebar di berbagai jurnal ilmiah internasional. Itulah sebagai peninggalannya yang smpai kini pemikiran-pemikirannya masih terus di kaji banyak kalangan. Pada tanggal 26 juli 1998, setelah lama terserang dibetes, Fazlur Rahma meninggal dunia.
B. Biografi Ismail Al-Faruqi
Ismail Raji Al-faruqi, lahir pada tanggal 1 Januari 1921 di Jaffa palestina. Pendidikan dasarnya di mulai di madrasah, lalu pendidikan menengah di College des Freres St. Joseph, dengan bahasa pengantar Perancis. Pada tahun 1941, Al-faruqi mengambil kuliah filsafat di American University, berikut. Setelah tamat dan meraih gelar bachelor of Arts, ia kemudian bekerja sebagai pegawai negeri sipil pada pemerintahan Inggris-yang memegang mandat atas Palestina ketika itu-selama empat tahun. Karena kepemimpinannya menonjol, pada usia 24 tahun, ia diangkat menjadi Gubernur Galilea.
Pada tahun 1948, Palestina dijarah israel dan Faruqi, seperti warga Palestina lainnya, terusir dari tanah kelahirannya. Ia tercatat sebagai Gubernur Galilea terakhir yang berdarah palestina. Setelah setahun menganggur, pada tahun berikutnya 1949, faruqi hijrah ke As untuk melanjutkan kuliahnya. Ia mendapat gelar master filsafat dari Universitas Indiana. Dua tahun kemudian, gelar master filsafat kembali ia raih dari Universitas Harvard.
Di Harvard inilah pengalaman mengajarinya, yakni belajar tanpa dukungan finansial itu sulit. Biaya kuliah yang tinggi di AS mengharuskannya untuk bekerja.[5] Dengan uang US$ 1.000 dari American Council of Learned Sociates (honornya menerjemahkan dua buku bahasa Arab), ia memasuki bisnis konstruksi. Dengan menspesialisasikan diri pada bangunan rumah, kesempatan untuk menjadi kaya semakin terbuka baginya. Akan tetapi hasrat dan bakat bisnis itu ditepisnya. Faruqi memilih kembali ke Universitas Indiana, dan pada 1952 meraih Ph. D filsafat dengan judul On Justifiying the God: Metaphysics and Epistemology of Value.[6]
Sambil bergurau, Faruqi mengenang kisah itu.”kami para filosof, membutuhkan waktu untuk tafakur sendiri. Kau tidak dapat bekerja dan menulis disertai filsafat pada saat bersamaan,” katanya pada Steve Johnson, murid kristennya yang membutuhkan biaya hidup enam bulan untuk menulis disertainya. Kemudian lanjutnya, “Begini saja, kau kan tahu bagaimana menjadi pendeta. Cobalah menjadi pendeta.
Merasa kurang pengetahuannya mengenai Islam walaupun sudah bergelar doktor- Faruqi lalu pergi ke Mesir. Selama tiga tahun, ia menyelesaikan pascasarjana di Universitas Al-Azhar. Karena kuat dorongan belajarnya itu pulalah, Faruqi memenuhi undangan Wilfred C. Smith untuk bergabung dengan Institute of Islamic Studies di Universitas McGill, Canada. Ia mempelajari etika Yahudi dan Kristen.
Pada tahun 1964, Faruqi kembali ke AS. Pertama-tama yang dia kerjakan adalah menjadi guru besar tamu pada Universitas Syacuse. Lalu pada tahun 1968, hingga wafatnya, ia menjabat guru besar agama pada Universitas Temple. Bersamaan itu juga ia menjabat sebagai profesor studi keislaman pada Central Institute of Islamic Research, Karachi. Di ruang kuliah, Faruqi tergolong pengajar yang humoris dan memiliki banyak cara untuk membuat muridnya tidak merasa jenuh. “Faruqi penuh semangatdan dinamis. Kuliah-kuliahnya mengenai Islam menjadikan iman dan sejarah Islam sebagai sesuatu yang hidup di kelas.” Kenang John L.Esposito, mantan muridnya, seorang yang mejadi pemerhati perkembangan Islam di Asia Tenggara.[7]
Di antara kontribusi terbesar Faruqi adalah kepeloporannya memperkenalkan program studi-studi Islam di Universitas AS. Sayyed Hussein Nasr, sarjana muslim yang jugamengajar di berbagai universitas di AS, menyebutnya sebagai “Sarjana muslim pertamayang mendedikasikan sepanjang hayatnya pada studi-studi Islam di AS. Faruqi juga sangat berjasa dalam memperkenalkan kepada masyarakat Amerika tentang hakikat Islam yang sebelumnya sebagai agama yang buruk, di samping itu ia aktif pula menghadiri berbagai pertemuan sekitar studi agama-agama yang ada. Bahkan, ia sempat membentuk kelompok kajian Islam American Academy of Religion dan mengetuai komite pengarahnya selama beberapa tahun.
Kepedulian Faruqi terhadap Islam dan kaum muslimin diawali oleh komitmen teguhnya pada Islam. Oleh karena itu, aktivitas-aktivitasnya melampaui batas-batas akademis. Ia dapat dapat disebut sarjana, aktifis, dan pemimpin yang mendedikasikan diri pada pembaruan dan reformasi. Baginya, kerja merupakan itulah dakwah sesungguhnya, pergulatan nyata untuk merealisasikan dan mengaktualisasikan Islam dan sejarah, seperti diungkapkan oleh John. L. Esposito.
Keaktifan Faruqi di berbagai kelompok studi Islam dan keterlibatannya dalam gerakan-gerakan Islam amat menonjol, ia adalah tokoh di balik pembentukan MSA, ISNA, AJISS, AMSS, IIIT, dan banyak lagi keislaman di AS. Ia juga kerap di undang sebagai tutor oleh para pemimpin muda muslim yang terlibat dalam gerakan-gerakan Islam. Faruqi juga duduk  sebagai penasihat di berbagai universitas di dunia Islam dan ikut mendesain program studi Islam di Pakistan, India, Afrika Selatan, Malaysia, Libya, Saudi Arabia, dan Mesir. Juga di tempat-tempat terpencil Mindanao State University, Filipina dan Universitas Islam kum, teheran. [8]
Dia menjadi dewan editorial pada sejumlah jurnal, menulis lebih dari 100 artikel di berbagai jurnal ilmiah, di samping mengarang dua puluh lima judul buku, antara lain: Tahwid: Its Implications for Though and Life, Trialogue of the Abrahamic Faith (telah di-Indonesiakan dengan judul Trialogue of tiga Agama Besar, diterbitkan oleh Pustaka Progresif 1994 ), Islamization of knowledge: General Principles and workplan, The Historical Atlas of the Relegions of the World. Christian Ethic: a Historical and Systematic Analysis of Its Dominant Ideas, dan lainnya. Adapun The Cultural Atlas of Islam adalah salah satu karyanya yang merupakan hasil kerja sama dengan Prof. Lamnya, istrinya.
C. Pokok-pokok Pemikiran Fazlur Rahman dan Ismail Al-Faruqi
1. Fazlur Rahman dan Pemikirannya
a. Tuhan
Menurut pandangan Fazlur Rahman, yang menyatakan semata-mata Tuhan sebagai zat Transenden tidaklah bersumber dari Qur’an, tetapi muncul dari perkembangan teologis Islam belakangan. Jikalau ditelaah secara cermat dari kandungan Qur’an akan sampai pada kesimpulan bahwa ia menghubungkan seluruh proses dan peristiwa alam kepada Tuhan, mulai dari turunnya hujan, proses bangun dan jatuhnya bangsa, sampai perjalanan benda-benda kosmis. Semua ini jelas menegaskan “Tuhan bukan saja yang paling transenden, tetapi juga yang paling Immanen.” Karena ketidak terhinggaan-Nya merupakan eksistensi-Nya bersama-sama dengan ciptaan-Nya “ingatlah betapa Dia lebih dekat kepada manusia dari pada urat dilehernya”.[9]
b. Alam Semesta
Menurut Fazlur Rahman, ajaran fundamental Islam tentang alam bertumpu pada 3 gagasan sebagai berikut :
1)      Ia merupakan sebuah kosmos
2)      Ia merupakan suatu tatanan berkembang dan dinamis
3)      Ia bukanlah suatu permainan yang sia-sia sehingga harus dimanfaatkan  sebagai aktifitas yang mempunyai tujuan.
c. Manusia
Menurutnya, suatu keistimewaan karekteristik manusia adalah makhluk termulia dari seluruh ciptaan Tuhan. Dalam pandangan Rahman, kenabian dan wahyu itu berdasarkan kepengasihan Allah mengingat ketidak dewasaan manusia dalam persepsi dan motivasi etisnya. Karena para nabi merupakan manusia yang terpilih dan yang luar biasa, kepekaan kesabaran serta ketabahan merekalah yang dapat menggiring motivasi etis manusia sehingga dapat membedakan jalan yang baik dan jalan yang salah.
2. Pemikiran Kalam Ismail Al-Faruqi
     Pemikiran Al-Faruqi tentang kalam dapat ditelusuri melalui karyanya yang berjudul, Tahwid: Its Implications for Though and Life (Edisi Indonesiannya berjudul Tauhid). Sesuai dengan judulnya, buku ini mengupas hakikat tauhid secara mandalam. Al-Faruqi menjelaskan hakikat tauhid sebagai berikut,
a.    Tauhid Sebagai Inti Pengalaman Agama
          Inti pengalaman agama, kata Al-Faruqi adalah tuhan. Kalimat syahadat menempati posisi sentral dalam setiap kedudukan, tindakan, dan pemikiran setiap muslim. Kehadiran Tuhan mengisi kesadaran muslim dalam setiap waktu. Bagi kaum muslimin, tuhan benar-benar merupakan obsesi yang agung.[10] Esensi pengalaman agama dalam Islam tiada lain adalah realisasi prinsip bahwa hidup dan kehidupan ini tidaklah sia-sia.[11]
b.    Tauhid Sebagai Pandangan Dunia
     Tauhid merupakan pandangan umum tentang realitas, kebenaran, dunia ruang, dan waktu, sejarah manusia, dan takdir.
c.    Tauhid Sebagai Intisari Islam
          Dapat dipastikan bahwa esensi peradaban Islam adalah Islam sendiri, dan esensi Islam adalah tauhid atau pengesaan Tuhan. Tidak ada satu perintah pun dalam Islam yang terdapat dilepaskan dari tauhid. Tanpa tauhid, Islam tidak akan ada. Tanpa tauhid, bukan hanya sunnah nabi yang patut diragukan, bahkan pranata kenabian pun menjadi sirna. 
d.   Tauhid Sebagai Prinsip Sejarah
          Tauhid menempatkan manusia pada suatu etika berbuat atau bertindak, yaitu etika ketika keberhargaan manusia sebagai pelaku moral diukur dari tingkat keberhasilan yang dicapainya dalam mengisi aliran ruang dan waktu. Eskatologi Islam tidak mempunyai kaitan dengan situasi para pengikutnya pada masa kelahirannya seperti halnya dalam agama Yahudi atau Kristen. Ia dipandang sebagai suatu klimaks moral bagi kehidupan di atas bumi.[12]
e.    Tauhid Sebagai Prinsip Pengetahuan
          Berbeda dengan “iman” Kristen, iman Islam adalah kebenaran yang diberikan kepada pikiran, bukan kepada perasaan manusia yang mudah mempercayai apa saja. Kebenaran, atau proposisi iman bukanlah misteri, hal yang sulit dipahami dan tidak di ketahui dan tidak masuk akal, melainkan bersifat kritis dan rasional. Kebenaran-kebenarannya telah dihadapkan pada ujian keraguan dan lulus dalam keadaan utuh dan ditetapkan sebagai kebenaran.
f.      Tauhid Sebagai Prinsip Metafisika
          Dalam Islam, alam adalah ciptaan dan anugerah. Sebagai ciptaan, ia bersifat teologis, sempurna, dan teratur. Sebagai anugerah, ia merupakan kebaikan yang tak mengandung dosa yang disediakan untuk manusia. Tujuannya adalah memungkinkan manusia melakukan kebaikan dan mencapai kebahagiaan. Tiga penilaian ini, keteraturan,kebertujuan, dan kebaikan, menjadi ciri dan meringkas pandangan umat Islam tentang alam.
g.    Tauhid Sebagai Prinsip Etika
          Tauhid menegaskan bahwa tuhan telah memberi amanat-nya kepada manusia, suatu amanat yang tidak mampudipikul oleh langit dan bumi, amanat yang mereka hindaridengan penuh ketakutan. Amanat dan kepercayaan Ilahi tersebut berupa pemenuhan unsur etika dari kehendak Ilahi, yang sifatnya mensyaratkan bahwa ia harus direalisasikan dengan kemerdekaan, dan manusia adalah satu-satunya makhluk yang mampu melaksanakannya. Dalam Islam, etika tidak dapat dipisahkan dari agama da bahkan dibangun di atasnya.[13]
h.    Tauhid Sebagai Prinsip Tata Sosial
          Dalam Islam, tidak ada perbedaan antara manusia satu dan lainnya. Masyarakat Islam adalah masyarakat terbuka dan setiap manusia boleh bergabung dengannya, baik sebagai anggota tetap ataupun sebagai yang dilindungi (dzimmah). Masyrakat Islam harus berusaha mengembangkan dirinya untuk mencakup seluruh umat manusia. Jika tidak, ia akan kehilangan klaim keislamannya. Selanjutnya, ia mungkin akan terus hidup sebagai suatu komunitas Islam yang lain, atau oleh komunitas non-Islam.[14]
I.     Tauhid Sebagai Prinsip Ummah
          Al-Faruqi menjelaskan prinsip ummah tauhidi dengan tiga identitas: pertama, menentang etnosentrisme. Maksudnya, tata sosial Islam adalah universal, mencakup seluruh umat manusia tanpa kecuali, tidak hanya untuk segelintir etnis. Kedua, universalisme. [15]Maksudnya, Islam bersifat universal dalam arti meliputi seluruh manusia. Cita-cita komunitas universal adalah cita-cita Islam yang diungkapkan dalam ummah dunia. Ketiga, totalisme. Maksudnya Islm relevan dengan setiap bidang kegiatan hidup manusia. Totalisme tata social Islam tidak hanya menyangkut aktivitas manusia dan tujuannya di masa mereka saja, tetapi mencakup seluruh aktivitas di setiap masa dan tempat. Keempat, kemerdekaan. Maksudnya, tata sosial Islam adalah kemerdekaan. Jika dibangun dengan kekerasan atau dengan memaksa rakyat, Islam akan kehilangan saifatnya yang khas.[16]
J.     Tauhid Sebagai Prinsip Keluarga
          Al-Faruqi memandang bahwa selama tetap melestarikan identitas mereka dari gerorotan Komunisme dan ideologi-ideologi Barat, umat Islam akan menjadi masyarakat yang selamat dan tetap menempati kedudukannya yang terhormat. Keluarga Islam memiliki peluang lebih besar untuk tetap lestari sebabb ditopang oleh hukum Islam dan dideterminisi oleh hubungan erat dengan tauhid.[17]
k.    Tauhid Sebagai Prinsip Tata Politik
          Al-Faruqi mengaitkan tata politik tauhidi dengan kekhalifahan. Kekhalifahan didefenisikan sebagai kesepakatan ketiga dimensi, yakni kesepakatan wawasan (ijma ar-Ru’yah), kehendak (ijma al-Iradah), dan tindakan (ijma al-Amal). Wawasan yang dimaksud Al-Faruqi adalah pengetahuan akan nilai-nilai yang membentuk kehendak Ilahi. Kehendak yang dimaksud Al-Faruqi adalah pengetahuan akan nilai-nilai yang membentuk kehendk Ilahi. Kehendak dimaksud Al-Faruqi juga apa ayng disebutnya dengan ashabiyyah. Yakni kepedulian kaum  muslimin menanggapi peristiwa-peristiwa dan situasi dengan suatu cara yang sama, dalam kepatuhan yang padu terhadap seruan Tuhan. Adapun yang dimaksud dengan tindakan adalah pelaksanaan kewajiban yang timbul dari kesepakatan.
l.      Tauhid Sebagai PrinsipTtata Ekonomi
          Al-Faruqi melihat bahwa premis mayor implikasi Isam untuk tata ekonomi melahirkan dua prinsip utama: pertama, bahwa tak ada seorang atau kelomok pun boleh memeras yang lain. Kedua, tak satu kelompok pun boleh mengasingkan atau memisahkan diri dari umat manusia lainnya dengan tujuan untuk membatasi kondisi ekonomi mereka pada diri mereka sendiri.
m.  Tauhid Sebagai Prinsip Estetika
          Tauhid tidak menentang kreativitas seni: juga tidak menentang kenikmatan dan keindahan. Sebaliknya, Islam memberkati keindahan. Islam menganggap bahwa keindahan mutlak hanya ada dalam diri Tuhan dan dalam kehendak-nya yang diwahyukan dalam firman-firmannya.

D. Komentar terhadap Pemikiran Fazlur Rahman dan Ismail Al-Faruqi
              Menurut pemahaman penulis mengenai pemikiran Fazlur Rahman tentang Mu’tazilah, yang disimpulkan bahwa aliran ini secara logis menyatakan bahwa Allah tidak dapat berbuat yang tidak masuk akal, maka dapat dilihat bahwa pemikiran aliran itu sangat membutuhkan pemikiran yang rasional sesuai perkembangan zaman, sebenarnya zaman tidak berubah hanya manusianya saja yang merubah dunia ini.
Aliran ini dalam mengambil sikap secara tidak langsung menempatkan mereka pada manusia yang beretika berbuat atau bertindak sesuai pernyataan Ismail Al-Faruqi.
E. Membandingkan antara Pemikiran Fazlur Rahman dan Ismail Al-Faruqi
              Pemikiran mengenai Tuhan, Tuhan bukan saja yang paling Trasenden, tetapi juga yang paling Immanen, menurut Fazlur Rahman Tuhan untuk menjelaskan keteraturan alam semesta karena Tuhan bukan saja yang paling Trasenden tetapi juga yang Immanen. Dan tanpa adanya aktivitas Tuhan maka semuanya tidak dapat dijelaskan dan sia-sia. Sedangkan menurut Ismail Al-Faruqi, Tuhan merupakan inti dari pengalaman agama. Pemikiran Al-Faruqi menyatakan bahwa adanya Tuhan merupakan realita prinsip bahwa kehidupan di alam semesta ini tidak sia-sia.
Menurut penulis menyimpulkan dari pemikiran Fazlur Rahman dan Ismail Al-Faruqi bahwa kita hidup di dunia sudah diatur Tuhan, ibarat wayang kulit. Yang menjadi wayang kulit itu sendiri manusia, dan Tuhan menjadi dalangnya (yang memainkan). Jadi wayang kulit itu bisa bergerak jikalau si dalang itu yang memainkannya dan sebaliknya jika dalang tidak memainkannya maka tidak akan pernah wayang itu bergerak, jadi yang mengatur permainan itu adalah dalang. Begitu juga kehidupan kita di dunia sudah ada yang mengatur yaitu Tuhan  manusia hanya bisa menjalankannya saja bagaimana cara hidup. Pernyataan ini sesuai dengan Q.S 5:26-27:
Artinya: “Segala sesuatu yang berada di atasnya, (secara harfiah di atas bumi tetap yang dimaksudkan adalah keseluruhan alam semesta akan musnah, yang senantiasa ad adalah wajah Tuhanmu, pemilik keagungan dan rezki)....” 
F. Relevansi Pemikiran Fazlur Rahman dan Ismail Al-Faruqi pada Konteks Sekarang
              Seiring dengan perkembangan zaman, serta pengetahuan dan teknologi moder, maka apabila kita lihat pada konteks sekarang dengan pemikiran para tokoh yang luar biasa seperti kedua tokoh yang kami bahas dalam makalah kami ini, yaitu Fazlur Rahman dan Ismail Al-Faruqi yang terkenal ahli dalam perbandingan agama, maka dapat kita ambil salah satu pemikiran teologi Fazlur Rahman yakni mengenai aliran Ahlussunah wal jama’ah (sunni) yang hingga saat ini keberadaannya masih sangat kokoh. Apabila jika kita telusuri lebih jauh di Indonesia sendiri merupakan mayoritas penganut aliran Ahlussunah wal jama’ah. Dan hal ini sesuai dengan pernyataan Fazlur Rahman bahwa menurutnya keberadaan Sunni sebagai aliran tercapainya Ekuilibrium dan kohesi sosial yang mengagumkan. Karena sunni merupakan representasi mayoritas umat Islam dan karena itu pula keberadaanya tidak mudah tergoyahkan. Sunni adalah golongan orang-orang yang mengikuti jalan yang ditempuh oleh Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya.
              Dengan adanya aliran Sunni ini maka tercipta lah ajaran-ajaran Islam yang benar dan lurus sesuai dengan yang diajarkan Nabi Muhammad SAW, ajaran Sunni juga lah yang menyelamatkan kehidupan umat Islam dari bahaya dari pemikiran-pemikiran yang ekstrim. Kita sebagai generasi muda dan penganut ajaran yang berbasis positif agar dapat tercipta Islam yang damai dan sejahtera.
              Sedangkan menurut Al-Faruqi, tauhid menempatkan manusia pada suatu etika berbuat atau bertindak, yaitu etika keberhargaan manusia sebagai pelaku moral diukur dari tingkat keberhasilan yang dicapainya dalam mengisi aliran ruang dan waktu. Nah, di sinilah kita dapat melihat pemikiran Ismail Al-Faruqi apabila kita juga mengaitkan dengan aliran Ahlussunah wal jama’ah yang terlihat dengan tingkat keberhasilan dan kekokohan aliran ini hingga saat ini.



BAB III
PENUTUP

B.                     KESIMPULAN
               Biografi Fazlur Rahman dapat dikategori sebagai salah seorang pemikir neo modern yang paling serius dan produktif dan juga sebagai seorang tokoh intelektual Muslim yang memiliki latar belakang yang menarik. Rahman memiliki latar belakang tradisi keilmuan yang bertentangan yakni keilmuan madrasah india Pakistan yang tradisional dan keilmuan barat yang liberal, keduanya berpengaruh dalam membentuk intelektualismenya. Fazlur Rahman lahir pada tanggal 21 September 1919, di tengah-tengah keluarga malak yang letaknya di Hazara sebelum terpecahnya India, yang kini merupakan bagian dari negara Pakistan. Dalam usia 10 tahun, ia sudah dapat menghafal Al-Qur’an diluar kepala. Ketika berusia 14 tahun, ia sudah mulai belajar Filsafat, Bahasa Arab, Teologi, Hadits, dan Tafsir. Pada tanggal 26 Juli 1988, setelah lama terserang diabetes , Fazlur Rahman meninggal dunia.
               Biografi Ismail Raji Al-Faruqi dilahirkan di Jaffa (Palestina) pada 1 Januari 1921. Ayahnya bernama Abd al-Huda al-Faruqi adalah seorang hakim (Qadli) yang merupakan seorang yang memiliki agama yang kokoh serta berpendidikan Islam. Dan meninggal dunia pada tanggal 24 Mei 1986. Pendidikan dasarnya dilalui di College Des Frese, Libanon sejak 1926 sampai 1936.
               Pokok-pokok Fazlur Rahman dan pemikirannya, tuhan, alam semesta, manusia, teologi Fazlur Rahman terhadap sejarah. Pemikiran Kalam Ismail Al-Faruqi, Tauhid sebagai inti pengalaman agama, Tauhid sebagai Intisari Islam, Tauhid sebagai pandangan dunia, Tauhid sebagai prinsip sejarah, Tauhid sebagai prinsip etika, Tauhid sebagai prinsip pengetahuan, Tauhid sebagai metafisika, Tauhid sebagaibprinsip tata sosial, Tauhid sebagai prinsip ummah, Tauhid sebagai prinsip keluarga, Tauhid


sebagai prinsip tata politik, Tauhid sebagai prinsip tata ekonomi, tauhid sebagai prinsip estetika.
               Menurut paham penulis mengenai pemikiran Fazlur Rahman tentang aliran Mu’tazilah, yang disimpulkan bahwa aliran ini secara logis menyatakan bahwa Allah tidak dapat berbuat yang tidak masuk akal maka apabila dilihat dari segi positifnya, keberanian aliran ini dalam mengambil sikap secara tidak langsung menempatkan mereka pada manusia pada suatu etika berbuat atau bertindak sesuai dengan pernyataan Ismail Al-Faruqi.
               Dari pemikiran kedua tokoh mengenai Tuhan di atas, penulis sependapat bahwa pada intinya perbedaan pemikiran Fazlur Rahman dan Ismail Al-Faruqi hanya dapat diawal namun pada kesimpulannya sama yakni tidak ada kemampuan apapun dan akan sia-sialah yang ada pada diri manusia kecuali dengan kehendak dan kuasanya karena Tuhan Maha segalanya.
C.           SARAN
               Dengan terselesaikannya makalah yang sederhana ini penulis berharap bisa bermanfaat untuk diri kami sendiri dan bagi yang membacanya lain pada umumnya. Disini kami sebagai penulis menyarankan dengan kemajuan dan perkembangan zaman banyak pemikiran-pemikiran baru dari sesoarang filosof, karena banyaknya pemikiran baru yang bermunculan itu merupakan awal dari kita memecahkan persoalan yang dianggap perlu untuk dicari bagaimana solusi terbaiknya.


[1] IAIN Syarif Hidayatullah, Eksiklopedi Islam Indonesia. Jakarta: Djambatan, 1992, h. 20.
[2]Prasinggar Al Suffi, Biografi dan Pemikiran Fazlur Rahman.         http://hamamburhanuddin.Wordpress.com/2012/06/14/analisa-fazlur-rahman-tentangpendidikan/ (Diunduh pada tanggal 03 Juli  2019).
[3] Subki Ali, Pemikiran Fazlur Rahman. http://id.wikipedia.org/wiki/Fazlur_Rahman (Diunduh pada tanggal 03 Juli  2019)
[4] Ahmad Syafi’i Ma’arif, Hembaharuan Hukum Islam, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1998.
[5] Lamya AL-Faruqi, Masa Depan KaumWanita, Surabaya: Al-Fikr 1991, h. 17.
[6] Abdul Rozak, M.Ag, Drs. Rosihon Anwar M.Ag, Ilmu Kalam, Bandung: Pustaka Setia, h. 227.
[7] Abdul Rozak, M.Ag, Drs. Rosihon Anwar M.Ag, Ilmu Kalam, Bandung: Pustaka Setia, h. 228.
[8] Abdul Rozak, M.Ag, Drs. Rosihon Anwar M.Ag, Ilmu Kalam, Bandung: Pustaka Setia, h. 229.
[9]Abdul Rozak, M.Ag, Drs. Rosihon Anwar M.Ag, Ilmu Kalam, Bandung: Pustaka Setia, h. 230.
[10] Ismail Raji AlFaruqi, Tauhid, Rahmani Astuti, pustaka, h. 1.
[11] Ismail Raji AlFaruqi, Tauhid, Rahmani Astuti, pustaka, h. 13-18.
[12] Ismail Raji AlFaruqi, Tauhid, Rahmani Astuti, pustaka, h. 35-37.
[13] Ismail Raji AlFaruqi, Tauhid, Rahmani Astuti, pustaka, h. 42-45.
[14] Ismail Raji AlFaruqi, Tauhid, Rahmani Astuti, pustaka, h. 50-54.

No comments:

Post a Comment