PEMIKIRAN
KALAM FAZLUR RAHMAN DAN ISMAIL RAZI
AL-FARUQI
A. Biografi Fazlur Rahman
Fazlur Rahman dilahirkan pada tanggal 21 September 1919 di Hazara, suatu daerah yang
sekarang terletak di barat laut Pakistan. Fazlur Rahman dilahirkan dalam
suatu keluarga Muslim yang sangat religius. Kerelegiusan ini dinyatakan oleh
Fazlur Rahman sendiri yang mengatakan bahwa ia mempraktekan ibadah-ibadah
keisalaman seperti shalat, puasa, dan lainnya, tanpa meninggalkannya
sekalipun. Dengan latar belakang kehidupan keagamaan yang demikian, maka
menjadi wajar ketika berumur sepuluh tahun ia sudah dapat menghafal Alquran.
Adapun mazhab yang dianut oleh keluarganya ialah mazhab Hanafi.
Orang
tua Fazlur Rahman sangat mempengaruhi pembentukan watak dan keyakinan awal
keagamaannya. Melalui ibunya, Fazlur Rahman memperoleh pelajaran berupa nilai-nilai
kebenaran, kasih sayang, kesetiaan, dan cinta. Ayah Fazlur Rahman merupakan
penganut mazhab Hanafi yang sangat kuat, namun beliau tidak menutup diri dari
pendidikan modern. Tidak seperti penganut mazhab Hanafi fanatik lainnya ketika
itu, ayahnya berkeyakinan
bahwa Islam harus memandang modernitas sebagai tantangan-tantangan dan
kesempatan-kesempatan. Pandangan ayahnya inilah yang kemudian mempengaruhi
pemikiran dan keyakinan Fazlur Rahman. Selain itu, melalui tempaan ayahnya,
Fazlur Rahman pada kemudian hari menjadi seorang yang bersosok cukup tekun
dalam mendapatkan pengetahuan dari berbagai sumber, dan melalui ibunyalah
kemudian ia sangat tegar dan tabah dalam mengembangkan keyakinan dan pembaruan
Islam.
Pada
tahun 1933, Fazlur Rahman melanjutkan pendidikannya di sebuah sekolah modern di
Lahore. Selain mengenyam pendidikan formal, Fazlur Rahman pun mendapatkan
pendidikan atau pengajaran tradisinonal dalam kajian-kajian keislaman dari
ayahnya, Maulana Syahab al Din. Materi pengajaran yang diberikan ayahnya ini
merupakan materi yang ia dapat ketika menempuh pendidikan di Darul Ulum
Deoband, di wilayah utara India. Ketika berumur
empat belas tahun, Fazlur Rahman sudah mulai
mempelajari filsafat, bahasa Arab, teologi atau kalam, hadis dan tafsir.[1]
Setelah
menyelesaikan pendidikan menengahnya, Fazlur Rahman kemudian melanjutkan
pendidikannya dengan mengambil bahasa Arab sebagai kosentrasi studinya dan pada
tahun 1940 ia berhasil mendapatkan gelar Bachelor of Art. Dua tahun kemudian,
tokoh utama gerakan neomodernis Islam ini berhasil menyelesaikan studinya di
universitas yang sama dan mendapatkan gelar Master dalam bahasa Arab.
Pada
tahun 1946, Fazlur Rahman berangkat ke Inggris untuk melanjutkan studinya di
Oxford University. Selama menempuh pendidikan di Barat, Fazlur Rahman
menyempatkan diri untuk belajar berbagai bahasa asing. Bahasa-bahasa yang
berhasil dikuasai olehnya diantaranya ialah Latin, Yunani, Inggris, Jerman,
Turki, Arab dan Urdu. Penguasaan berbagai bahasa ini membantu Fazlur
Rahman dalam memperdalam dan memperluas cakrawala keilmuannya (khususnya studi
keislaman) melalui penelusuran berbagai literatur.
Dan
pada saat berumur 32 tahun Fazlur Rahman meraih gelar doktornya, di Oxford
University, Fazlur Rahman tidak langsung ke negeri asalnya Pakistan (ketika itu
sudah melepaskan diri dari India), ia memutuskan untuk tinggal beberapa saat
disana. Ketika tinggal di tinggal di Inggris, Fazlur Rahman sempat mengajar di
Durham University. Kemudian pindah mengajar ke Institute of Islamic Studies,
McGill University, Kanada, dan menjabat sebagai Associate Professor of
Philosophy sampai awal tahun 1960. Menurut pengakuan Fazlur
Rahman, ketika menempuh studi pasca
sarjana di Oxford University dan mengajar di Durham
University, konflik antara pendidikan modern yang diperolehnya di Barat dengan
pendidikan Islam tradisional yang didapatkan ketika di negeri asalnya mulai menyeruak.
Konflik ini kemudian membawanya pada skeptisisme yang cukup dalam, yang
diakibatkan studinya dalam bidang filsafat.[2]
Setelah
tiga tahun mengajar di McGill University, akhirnya pada awal tahun 1960 Fazlur
Rahman kembali ke Pakistan setelah sebelumnya diminta bantunnya oleh Ayyub Khan
untuk membangun negeri asalnya, Pakistan. Menurut Moosa, permintaan Ayyub
Khan kepada Fazlur Rahman ialah bertujuan untuk membawa Pakistan pada khittah
berupa negara yang bervisi Islam Selanjutnya pada tahun 1962, Fazlur Rahman
diminta oleh Ayyub Khan untuk memimpin Lembaga Riset Islam (Islamic Research
Institute) dan menjadi anggota Dewan Penasihat Ideologi Islam (The Advisory
Council of Islamic Ideology). Motivasi Fazlur Rahman untuk menerima tawaran
dari Ayyub Khan dapat dilacak pada keinginannya untuk membangkitkan kembali
visi Al-quran yang dinilainya telah terkubur dalam puing-puing sejarah.[3]
Kursi
panas yang diduduki oleh Fazlur Rahman akhirnya menuai berbagai reaksi. Para
ulama tradisional menolak jika Fazlur Rahman mendudukinya, ini disebabkan oleh
latar belakang pendidikannya yang ditempuh di Barat. Penentangan atas Fazlur
Rahman akhirnya mencapai klimaksnya ketika jurnal Fikr-o-Nazar menerbitkan
tulisannya yang kemudian menjadi dua bab pertama bukunya yang berjudul Islam.
Pada tulisan tersebut, Fazlur Rahman mengemukakan pikiran kontroversialnya
mengenai hakikat wahyu dan hubungannya dengan Muhammad saw. Menurut Fazlur
Rahman, Al-quran sepenuhnya adalah kalam atau perkataan Allah swt, namun dalam
arti biasa, Al-quran juga merupakan perkataan Muhammad saw. Akibat
pernyataan-pernyataannya tersebut, Fazlur Rahman dinyatakan sebagai mengingkari Qur’an (orang yang tidak
percaya Al-quran). Menurut Amal, kontroversi dalam media masa Pakistan mengenai
pemikiran Fazlur Rahman tersebut berlalu hingga kurang lebih satu tahun, yang
pada akhirnya kontroversi ini membawa pada gelombang demonstrasi massa dan
mogok total di beberapa daerah Pakistan pada September 1968. Menurut hampir
seluruh pengkaji pemikiran Fazlur Rahman berpendapat bahwa penolakan atasnya
bukanlah ditujukan kepada Fazlur Rahman tetapi untuk menentang Ayyub Khan.
Hingga akhirya pada 5 September 1968 permintaan Fazlur Rahman untuk
mengundurkan diri dari pimpinan Lembaga Riset Islam dikabulkan oleh Ayyub Khan.
Pada
akhir tahun 1969 Fazlur Rahaman meninggalkan Pakistan untuk memenuhi tawaran
Universitas California, Los Angeles, dan langsung diangkat menjadi Guru Besar
Pemikiran Islam di universitas yang sama. Mata kuliah yang ia ajarkan meliputi
pemahaman Al-quran, filsafat Islam, tasawuf, hukum Islam, pemikiran politik
Islam, modernism Islam, kajian tentang al Ghazali, Shah Wali Allah, Muhammad
Iqbal, dan lain-lain. Salah satu alasan yang menjadikan Rahman memutuskan untuk
mengajar di Barat disebabkan oleh keyakinan bahwa gagasan-gagasan yang
ditawarkannya tidak akan menemukan lahan subur di Pakistan. Selain itu, Rahman
menginginkan adanya keterbukaan atas berbagai gagasan dan suasana perdebatan
yang sehat, yang tidak ia temukan di Pakistan.
Selama
di Chicago, Fazlur Rahman mencurahkan seluruh kehidupannya pada dunia keilmuan
dan Islam. Kehidupannya banyak dihabiskan di perpustakaan pribadinya di
basement rumahnya, yang terletak di Naperville, kurang lebih 70 kilometer dari
Universitas Chicago. Rahman sendiri menggambarkan aktitivitas dirinya tersebut
laiknya ikan yang naik ke atas hanya untuk mendapatkan udara. Dari
konsistensinya dan kesungguhannya terhadap dunia keilmuan akhirnya Rahman
mendapatkan pengakuan lembaga keilmuan berskala internasional. Pengakuan tersebut
salah satunya ialah pada tahun 1983 ia menerima Giorgio Levi Della Vida dari
Gustave E von Grunebaum Center for Near Eastern Studies, Universitas
California, Los Angeles.[4]
Selama
kurang lebih 18 tahun menetap di Chicago, rahman telah menampilkan sebagai
pigur pemikir modern yang bertanggung jawab dan senantiasa berfikir untuk
mencari solusi-solusi dari problema yang dihadapi islam dan umatnya. Ada
sejumlah buku yang berhasil dia tulis dan puluhan artikel lainnya yang tersebar
di berbagai jurnal ilmiah internasional. Itulah sebagai peninggalannya yang
smpai kini pemikiran-pemikirannya masih terus di kaji banyak kalangan. Pada
tanggal 26 juli 1998, setelah lama terserang dibetes, Fazlur Rahma meninggal
dunia.
B. Biografi Ismail Al-Faruqi
Ismail Raji Al-faruqi, lahir pada tanggal 1 Januari 1921 di Jaffa
palestina. Pendidikan dasarnya di mulai di madrasah, lalu pendidikan menengah
di College des Freres St. Joseph, dengan bahasa pengantar Perancis. Pada
tahun 1941, Al-faruqi mengambil kuliah filsafat di American University, berikut.
Setelah tamat dan meraih gelar bachelor of Arts, ia kemudian bekerja
sebagai pegawai negeri sipil pada pemerintahan Inggris-yang memegang mandat
atas Palestina ketika itu-selama empat tahun. Karena kepemimpinannya menonjol,
pada usia 24 tahun, ia diangkat menjadi Gubernur Galilea.
Pada tahun
1948, Palestina dijarah israel dan Faruqi, seperti warga Palestina lainnya,
terusir dari tanah kelahirannya. Ia tercatat sebagai Gubernur Galilea terakhir
yang berdarah palestina. Setelah setahun menganggur, pada tahun berikutnya
1949, faruqi hijrah ke As untuk melanjutkan kuliahnya. Ia mendapat gelar master
filsafat dari Universitas Indiana. Dua tahun kemudian, gelar master
filsafat kembali ia raih dari Universitas Harvard.
Di Harvard
inilah pengalaman mengajarinya, yakni belajar tanpa dukungan finansial itu
sulit. Biaya kuliah yang tinggi di AS mengharuskannya untuk bekerja.[5]
Dengan uang US$ 1.000 dari American Council of Learned Sociates (honornya
menerjemahkan dua buku bahasa Arab), ia memasuki bisnis konstruksi. Dengan
menspesialisasikan diri pada bangunan rumah, kesempatan untuk menjadi kaya
semakin terbuka baginya. Akan
tetapi hasrat dan bakat bisnis itu ditepisnya. Faruqi memilih kembali ke
Universitas Indiana, dan pada 1952 meraih Ph. D filsafat dengan judul
On Justifiying the God: Metaphysics and Epistemology of Value.[6]
Sambil
bergurau, Faruqi mengenang kisah itu.”kami para filosof, membutuhkan waktu
untuk tafakur sendiri. Kau tidak dapat bekerja dan menulis disertai filsafat
pada saat bersamaan,” katanya pada Steve Johnson, murid kristennya yang
membutuhkan biaya hidup enam bulan untuk menulis disertainya. Kemudian
lanjutnya, “Begini saja, kau kan tahu bagaimana menjadi pendeta. Cobalah
menjadi pendeta.
Merasa kurang pengetahuannya
mengenai Islam walaupun sudah bergelar doktor- Faruqi lalu pergi ke Mesir.
Selama tiga tahun, ia menyelesaikan pascasarjana di Universitas Al-Azhar.
Karena kuat dorongan belajarnya itu pulalah, Faruqi memenuhi undangan Wilfred
C. Smith untuk bergabung dengan Institute of Islamic Studies di
Universitas McGill, Canada. Ia mempelajari etika Yahudi dan Kristen.
Pada tahun 1964, Faruqi kembali ke
AS. Pertama-tama yang dia kerjakan adalah menjadi guru besar tamu pada Universitas
Syacuse. Lalu pada tahun 1968, hingga wafatnya, ia menjabat guru besar
agama pada Universitas Temple. Bersamaan itu juga ia menjabat sebagai profesor
studi keislaman pada Central Institute of Islamic Research, Karachi. Di
ruang kuliah, Faruqi tergolong pengajar yang humoris dan memiliki banyak cara
untuk membuat muridnya tidak merasa jenuh. “Faruqi penuh semangatdan dinamis.
Kuliah-kuliahnya mengenai Islam menjadikan iman dan sejarah Islam sebagai sesuatu
yang hidup di kelas.” Kenang John L.Esposito, mantan muridnya, seorang yang
mejadi pemerhati perkembangan Islam di Asia Tenggara.[7]
Di antara kontribusi terbesar Faruqi
adalah kepeloporannya memperkenalkan program studi-studi Islam di Universitas
AS. Sayyed Hussein Nasr, sarjana muslim yang jugamengajar di berbagai
universitas di AS, menyebutnya sebagai “Sarjana muslim pertamayang
mendedikasikan sepanjang hayatnya pada studi-studi Islam di AS. Faruqi juga sangat berjasa dalam memperkenalkan kepada
masyarakat Amerika tentang hakikat Islam yang sebelumnya sebagai agama yang
buruk, di samping itu ia aktif pula menghadiri berbagai pertemuan sekitar studi
agama-agama yang ada. Bahkan,
ia sempat membentuk kelompok kajian Islam American Academy of Religion dan
mengetuai komite pengarahnya selama beberapa tahun.
Kepedulian Faruqi terhadap Islam dan
kaum muslimin diawali oleh komitmen teguhnya pada Islam. Oleh karena itu,
aktivitas-aktivitasnya melampaui batas-batas akademis. Ia dapat dapat disebut
sarjana, aktifis, dan pemimpin yang mendedikasikan diri pada pembaruan dan
reformasi. Baginya, kerja merupakan itulah dakwah sesungguhnya, pergulatan
nyata untuk merealisasikan dan mengaktualisasikan Islam dan sejarah, seperti
diungkapkan oleh John. L. Esposito.
Keaktifan Faruqi di berbagai kelompok studi
Islam dan keterlibatannya dalam gerakan-gerakan Islam amat menonjol, ia adalah
tokoh di balik pembentukan MSA, ISNA, AJISS, AMSS, IIIT, dan banyak lagi
keislaman di AS. Ia juga kerap di undang sebagai tutor oleh para pemimpin muda
muslim yang terlibat dalam gerakan-gerakan Islam. Faruqi juga duduk sebagai
penasihat di berbagai universitas di dunia Islam dan ikut mendesain program
studi Islam di Pakistan, India, Afrika Selatan, Malaysia, Libya, Saudi Arabia,
dan Mesir. Juga di tempat-tempat terpencil Mindanao State University,
Filipina dan Universitas Islam kum, teheran. [8]
Dia menjadi
dewan editorial pada sejumlah jurnal, menulis lebih dari 100 artikel di
berbagai jurnal ilmiah, di samping mengarang dua puluh lima judul buku, antara
lain: Tahwid: Its Implications for Though and Life, Trialogue of the
Abrahamic Faith (telah di-Indonesiakan dengan judul Trialogue of tiga
Agama Besar, diterbitkan oleh Pustaka Progresif 1994 ), Islamization
of knowledge: General Principles and workplan, The Historical Atlas of the
Relegions of the World. Christian Ethic: a Historical and Systematic Analysis
of Its Dominant Ideas, dan lainnya. Adapun The Cultural Atlas of Islam adalah
salah satu karyanya yang merupakan hasil kerja sama dengan Prof. Lamnya,
istrinya.
C. Pokok-pokok Pemikiran Fazlur Rahman dan Ismail
Al-Faruqi
1. Fazlur Rahman dan Pemikirannya
a. Tuhan
Menurut pandangan Fazlur Rahman, yang menyatakan semata-mata Tuhan sebagai
zat Transenden tidaklah bersumber dari Qur’an, tetapi muncul dari
perkembangan teologis Islam belakangan. Jikalau ditelaah secara cermat dari
kandungan Qur’an akan sampai pada kesimpulan bahwa ia menghubungkan seluruh
proses dan peristiwa alam kepada Tuhan, mulai dari turunnya hujan, proses
bangun dan jatuhnya bangsa, sampai perjalanan benda-benda kosmis. Semua ini
jelas menegaskan “Tuhan bukan saja yang paling transenden, tetapi juga yang
paling Immanen.” Karena ketidak terhinggaan-Nya merupakan eksistensi-Nya bersama-sama
dengan ciptaan-Nya “ingatlah betapa Dia lebih dekat kepada manusia dari pada
urat dilehernya”.[9]
b. Alam Semesta
Menurut Fazlur Rahman, ajaran fundamental Islam tentang alam bertumpu pada
3 gagasan sebagai berikut :
1)
Ia merupakan
sebuah kosmos
2)
Ia merupakan
suatu tatanan berkembang dan dinamis
3)
Ia bukanlah
suatu permainan yang sia-sia sehingga harus dimanfaatkan sebagai aktifitas yang mempunyai tujuan.
c.
Manusia
Menurutnya,
suatu keistimewaan karekteristik manusia adalah makhluk termulia dari seluruh
ciptaan Tuhan. Dalam pandangan Rahman, kenabian dan wahyu itu berdasarkan
kepengasihan Allah mengingat ketidak dewasaan manusia dalam persepsi dan
motivasi etisnya. Karena para nabi merupakan manusia yang terpilih dan yang
luar biasa, kepekaan kesabaran serta ketabahan merekalah yang dapat menggiring
motivasi etis manusia sehingga dapat membedakan jalan yang baik dan jalan yang
salah.
2. Pemikiran Kalam
Ismail Al-Faruqi
Pemikiran Al-Faruqi tentang kalam dapat ditelusuri melalui karyanya
yang berjudul, Tahwid: Its Implications for Though and Life (Edisi
Indonesiannya berjudul Tauhid). Sesuai dengan judulnya, buku ini mengupas
hakikat tauhid secara mandalam. Al-Faruqi menjelaskan hakikat tauhid sebagai
berikut,
a.
Tauhid Sebagai Inti Pengalaman Agama
Inti pengalaman agama, kata Al-Faruqi adalah tuhan. Kalimat syahadat
menempati posisi sentral dalam setiap kedudukan, tindakan, dan pemikiran setiap
muslim. Kehadiran Tuhan mengisi kesadaran muslim dalam setiap waktu. Bagi kaum
muslimin, tuhan benar-benar merupakan obsesi yang agung.[10]
Esensi pengalaman agama dalam Islam tiada lain adalah realisasi prinsip bahwa
hidup dan kehidupan ini tidaklah sia-sia.[11]
b.
Tauhid Sebagai Pandangan Dunia
Tauhid merupakan pandangan umum tentang realitas, kebenaran, dunia
ruang, dan waktu, sejarah manusia, dan takdir.
c.
Tauhid Sebagai Intisari Islam
Dapat dipastikan bahwa esensi peradaban Islam adalah Islam sendiri,
dan esensi Islam adalah tauhid atau pengesaan Tuhan. Tidak ada satu perintah
pun dalam Islam yang terdapat dilepaskan dari tauhid. Tanpa tauhid, Islam tidak
akan ada. Tanpa tauhid, bukan hanya sunnah nabi yang patut diragukan, bahkan
pranata kenabian pun menjadi sirna.
d.
Tauhid Sebagai Prinsip Sejarah
Tauhid
menempatkan manusia pada suatu etika berbuat
atau bertindak, yaitu etika ketika keberhargaan manusia sebagai pelaku moral
diukur dari tingkat keberhasilan yang dicapainya dalam mengisi aliran ruang dan
waktu. Eskatologi Islam tidak mempunyai kaitan dengan situasi para pengikutnya pada
masa kelahirannya seperti halnya dalam agama Yahudi atau Kristen. Ia dipandang
sebagai suatu klimaks moral bagi kehidupan di atas bumi.[12]
e.
Tauhid Sebagai Prinsip Pengetahuan
Berbeda dengan “iman” Kristen, iman Islam adalah kebenaran yang
diberikan kepada pikiran, bukan kepada perasaan manusia yang mudah mempercayai
apa saja. Kebenaran, atau proposisi iman bukanlah misteri, hal yang sulit
dipahami dan tidak di ketahui dan tidak masuk akal, melainkan bersifat kritis
dan rasional. Kebenaran-kebenarannya telah dihadapkan pada ujian keraguan dan
lulus dalam keadaan utuh dan ditetapkan sebagai kebenaran.
f.
Tauhid Sebagai Prinsip Metafisika
Dalam Islam, alam adalah ciptaan dan anugerah. Sebagai ciptaan, ia bersifat
teologis, sempurna, dan teratur. Sebagai anugerah, ia merupakan kebaikan yang
tak mengandung dosa yang disediakan untuk manusia. Tujuannya adalah
memungkinkan manusia melakukan kebaikan dan mencapai kebahagiaan. Tiga
penilaian ini, keteraturan,kebertujuan, dan kebaikan, menjadi ciri dan
meringkas pandangan umat Islam tentang alam.
g.
Tauhid Sebagai Prinsip Etika
Tauhid menegaskan bahwa tuhan telah memberi amanat-nya kepada
manusia, suatu amanat yang tidak mampudipikul oleh langit dan bumi, amanat yang
mereka hindaridengan penuh ketakutan. Amanat dan kepercayaan Ilahi tersebut
berupa pemenuhan unsur etika dari kehendak Ilahi, yang sifatnya mensyaratkan
bahwa ia harus direalisasikan dengan kemerdekaan, dan manusia adalah
satu-satunya makhluk yang mampu melaksanakannya. Dalam Islam, etika tidak dapat
dipisahkan dari agama da bahkan dibangun di atasnya.[13]
h.
Tauhid Sebagai Prinsip Tata Sosial
Dalam Islam, tidak ada perbedaan antara manusia satu dan lainnya.
Masyarakat Islam adalah masyarakat terbuka dan setiap manusia boleh bergabung
dengannya, baik sebagai anggota tetap ataupun sebagai yang dilindungi (dzimmah).
Masyrakat Islam harus berusaha mengembangkan dirinya untuk mencakup seluruh
umat manusia. Jika tidak, ia akan kehilangan klaim keislamannya. Selanjutnya,
ia mungkin akan terus hidup sebagai suatu komunitas Islam yang lain, atau oleh
komunitas non-Islam.[14]
I. Tauhid Sebagai Prinsip Ummah
Al-Faruqi menjelaskan prinsip ummah tauhidi dengan tiga
identitas: pertama, menentang etnosentrisme. Maksudnya, tata
sosial Islam adalah universal, mencakup seluruh umat manusia tanpa kecuali,
tidak hanya untuk segelintir etnis. Kedua, universalisme. [15]Maksudnya,
Islam bersifat universal dalam arti meliputi seluruh manusia. Cita-cita
komunitas universal adalah cita-cita Islam yang diungkapkan dalam ummah dunia.
Ketiga, totalisme. Maksudnya Islm relevan dengan setiap bidang kegiatan
hidup manusia. Totalisme tata social Islam
tidak hanya menyangkut aktivitas manusia dan tujuannya di masa mereka saja,
tetapi mencakup seluruh aktivitas di setiap masa dan tempat. Keempat,
kemerdekaan. Maksudnya, tata sosial Islam adalah kemerdekaan. Jika dibangun
dengan kekerasan atau dengan memaksa rakyat, Islam akan kehilangan saifatnya
yang khas.[16]
J. Tauhid Sebagai Prinsip Keluarga
Al-Faruqi memandang bahwa selama tetap melestarikan identitas
mereka dari gerorotan Komunisme dan ideologi-ideologi Barat, umat Islam akan
menjadi masyarakat yang selamat dan tetap menempati kedudukannya yang
terhormat. Keluarga Islam memiliki peluang lebih besar untuk tetap lestari
sebabb ditopang oleh hukum Islam dan dideterminisi oleh hubungan erat dengan
tauhid.[17]
k. Tauhid Sebagai Prinsip Tata Politik
Al-Faruqi mengaitkan tata politik tauhidi dengan kekhalifahan.
Kekhalifahan didefenisikan sebagai kesepakatan ketiga dimensi, yakni
kesepakatan wawasan (ijma ar-Ru’yah), kehendak (ijma al-Iradah), dan tindakan (ijma al-Amal). Wawasan yang dimaksud Al-Faruqi adalah pengetahuan akan
nilai-nilai yang membentuk kehendak Ilahi. Kehendak yang dimaksud Al-Faruqi
adalah pengetahuan akan nilai-nilai yang membentuk kehendk Ilahi. Kehendak
dimaksud Al-Faruqi juga apa ayng disebutnya dengan ashabiyyah. Yakni
kepedulian kaum muslimin menanggapi
peristiwa-peristiwa dan situasi dengan suatu cara yang sama, dalam kepatuhan
yang padu terhadap seruan Tuhan. Adapun yang dimaksud dengan tindakan adalah
pelaksanaan kewajiban yang timbul dari kesepakatan.
l. Tauhid Sebagai PrinsipTtata Ekonomi
Al-Faruqi melihat bahwa premis mayor implikasi Isam untuk tata
ekonomi melahirkan dua prinsip utama: pertama, bahwa tak ada seorang
atau kelomok pun boleh memeras yang lain. Kedua, tak satu kelompok pun
boleh mengasingkan atau memisahkan diri dari umat manusia lainnya dengan tujuan
untuk membatasi kondisi ekonomi mereka pada diri mereka sendiri.
m. Tauhid Sebagai Prinsip Estetika
Tauhid tidak menentang kreativitas seni: juga tidak menentang
kenikmatan dan keindahan. Sebaliknya, Islam memberkati keindahan. Islam
menganggap bahwa keindahan mutlak hanya ada dalam diri Tuhan dan dalam
kehendak-nya yang diwahyukan dalam firman-firmannya.
D. Komentar terhadap Pemikiran Fazlur Rahman
dan Ismail Al-Faruqi
Menurut
pemahaman penulis mengenai pemikiran Fazlur Rahman tentang Mu’tazilah, yang
disimpulkan bahwa aliran ini secara logis menyatakan bahwa Allah tidak dapat
berbuat yang tidak masuk akal, maka dapat dilihat bahwa pemikiran aliran itu
sangat membutuhkan pemikiran yang rasional sesuai perkembangan zaman, sebenarnya
zaman tidak berubah hanya manusianya saja yang merubah dunia ini.
Aliran ini dalam mengambil sikap secara tidak langsung
menempatkan mereka pada manusia yang beretika berbuat atau bertindak sesuai
pernyataan Ismail Al-Faruqi.
E. Membandingkan antara Pemikiran Fazlur Rahman dan Ismail Al-Faruqi
Pemikiran
mengenai Tuhan, Tuhan bukan saja yang paling Trasenden, tetapi juga yang
paling Immanen, menurut Fazlur Rahman Tuhan untuk menjelaskan keteraturan
alam semesta karena Tuhan bukan saja yang paling Trasenden tetapi juga
yang Immanen. Dan tanpa adanya aktivitas Tuhan maka semuanya tidak dapat
dijelaskan dan sia-sia. Sedangkan menurut Ismail Al-Faruqi, Tuhan merupakan
inti dari pengalaman agama. Pemikiran Al-Faruqi menyatakan bahwa adanya Tuhan
merupakan realita prinsip bahwa kehidupan di alam semesta ini tidak sia-sia.
Menurut penulis menyimpulkan dari pemikiran Fazlur Rahman
dan Ismail Al-Faruqi bahwa kita hidup di dunia sudah diatur Tuhan, ibarat wayang
kulit. Yang menjadi wayang kulit itu sendiri manusia, dan Tuhan menjadi
dalangnya (yang memainkan). Jadi wayang kulit itu bisa bergerak jikalau si dalang
itu yang memainkannya dan sebaliknya jika dalang tidak memainkannya maka tidak
akan pernah wayang itu bergerak, jadi yang mengatur permainan itu adalah dalang.
Begitu juga kehidupan kita di dunia sudah ada yang mengatur yaitu Tuhan manusia hanya bisa menjalankannya saja
bagaimana cara hidup. Pernyataan ini sesuai dengan Q.S 5:26-27:
Artinya: “Segala sesuatu yang berada di atasnya,
(secara harfiah di atas bumi tetap yang dimaksudkan adalah keseluruhan alam
semesta akan musnah, yang senantiasa ad adalah wajah Tuhanmu, pemilik keagungan
dan rezki)....”
F. Relevansi Pemikiran Fazlur Rahman dan
Ismail Al-Faruqi pada Konteks Sekarang
Seiring dengan perkembangan zaman, serta
pengetahuan dan teknologi moder, maka apabila kita lihat pada konteks sekarang
dengan pemikiran para tokoh yang luar biasa seperti kedua tokoh yang kami bahas
dalam makalah kami ini, yaitu Fazlur Rahman dan Ismail Al-Faruqi yang terkenal
ahli dalam perbandingan agama, maka dapat kita ambil salah satu pemikiran
teologi Fazlur Rahman yakni mengenai aliran Ahlussunah wal jama’ah (sunni) yang
hingga saat ini keberadaannya masih sangat kokoh. Apabila jika kita telusuri
lebih jauh di Indonesia sendiri merupakan mayoritas penganut aliran Ahlussunah
wal jama’ah. Dan hal ini sesuai dengan pernyataan Fazlur Rahman bahwa
menurutnya keberadaan Sunni sebagai aliran tercapainya Ekuilibrium
dan kohesi sosial yang mengagumkan. Karena sunni merupakan representasi
mayoritas umat Islam dan karena itu pula keberadaanya tidak mudah tergoyahkan. Sunni
adalah golongan orang-orang yang mengikuti jalan yang ditempuh oleh Nabi
Muhammad SAW dan para sahabatnya.
Dengan
adanya aliran Sunni ini maka tercipta lah ajaran-ajaran Islam yang benar
dan lurus sesuai dengan yang diajarkan Nabi Muhammad SAW, ajaran Sunni
juga lah yang menyelamatkan kehidupan umat Islam dari bahaya dari
pemikiran-pemikiran yang ekstrim. Kita sebagai generasi muda dan penganut
ajaran yang berbasis positif agar dapat tercipta Islam yang damai dan
sejahtera.
Sedangkan
menurut Al-Faruqi, tauhid menempatkan manusia pada suatu etika berbuat atau
bertindak, yaitu etika keberhargaan manusia sebagai pelaku moral diukur dari
tingkat keberhasilan yang dicapainya dalam mengisi aliran ruang dan waktu. Nah,
di sinilah kita dapat melihat pemikiran Ismail Al-Faruqi apabila kita juga
mengaitkan dengan aliran Ahlussunah wal jama’ah yang terlihat dengan tingkat
keberhasilan dan kekokohan aliran ini hingga saat ini.
BAB III
PENUTUP
B.
KESIMPULAN
Biografi
Fazlur Rahman dapat dikategori sebagai salah seorang pemikir neo modern yang
paling serius dan produktif dan juga sebagai seorang tokoh intelektual Muslim
yang memiliki latar belakang yang menarik. Rahman memiliki latar belakang
tradisi keilmuan yang bertentangan yakni keilmuan madrasah india Pakistan yang
tradisional dan keilmuan barat yang liberal, keduanya berpengaruh dalam
membentuk intelektualismenya. Fazlur Rahman lahir pada tanggal 21 September
1919, di tengah-tengah keluarga malak yang letaknya di Hazara sebelum
terpecahnya India, yang kini merupakan bagian dari negara Pakistan. Dalam usia
10 tahun, ia sudah dapat menghafal Al-Qur’an diluar kepala. Ketika berusia 14
tahun, ia sudah mulai belajar Filsafat, Bahasa Arab, Teologi, Hadits, dan
Tafsir. Pada tanggal 26 Juli 1988, setelah lama terserang diabetes , Fazlur
Rahman meninggal dunia.
Biografi
Ismail Raji Al-Faruqi dilahirkan di Jaffa (Palestina) pada 1 Januari 1921.
Ayahnya bernama Abd al-Huda al-Faruqi adalah seorang hakim (Qadli) yang
merupakan seorang yang memiliki agama yang kokoh serta berpendidikan Islam. Dan
meninggal dunia pada tanggal 24 Mei 1986. Pendidikan dasarnya dilalui di
College Des Frese, Libanon sejak 1926 sampai 1936.
Pokok-pokok
Fazlur Rahman dan pemikirannya, tuhan, alam semesta, manusia, teologi Fazlur
Rahman terhadap sejarah. Pemikiran Kalam Ismail Al-Faruqi, Tauhid sebagai inti
pengalaman agama, Tauhid sebagai Intisari Islam, Tauhid sebagai pandangan
dunia, Tauhid sebagai prinsip sejarah, Tauhid sebagai prinsip etika, Tauhid
sebagai prinsip pengetahuan, Tauhid sebagai metafisika, Tauhid sebagaibprinsip
tata sosial, Tauhid sebagai prinsip ummah, Tauhid sebagai prinsip keluarga,
Tauhid
sebagai prinsip tata politik, Tauhid sebagai
prinsip tata ekonomi, tauhid sebagai prinsip estetika.
Menurut
paham penulis mengenai pemikiran Fazlur Rahman tentang aliran Mu’tazilah, yang
disimpulkan bahwa aliran ini secara logis menyatakan bahwa Allah tidak dapat
berbuat yang tidak masuk akal maka apabila dilihat dari segi positifnya,
keberanian aliran ini dalam mengambil sikap secara tidak langsung menempatkan mereka
pada manusia pada suatu etika berbuat atau bertindak sesuai dengan pernyataan
Ismail Al-Faruqi.
Dari
pemikiran kedua tokoh mengenai Tuhan di atas, penulis sependapat bahwa pada
intinya perbedaan pemikiran Fazlur Rahman dan Ismail Al-Faruqi hanya dapat
diawal namun pada kesimpulannya sama yakni tidak ada kemampuan apapun dan akan
sia-sialah yang ada pada diri manusia kecuali dengan kehendak dan kuasanya
karena Tuhan Maha segalanya.
C.
SARAN
Dengan terselesaikannya
makalah yang sederhana ini penulis berharap bisa bermanfaat untuk diri kami
sendiri dan bagi yang membacanya lain pada umumnya. Disini kami sebagai penulis
menyarankan dengan kemajuan dan perkembangan zaman banyak pemikiran-pemikiran
baru dari sesoarang filosof, karena banyaknya pemikiran baru yang bermunculan
itu merupakan awal dari kita memecahkan persoalan yang dianggap perlu untuk
dicari bagaimana solusi terbaiknya.
[1] IAIN Syarif
Hidayatullah, Eksiklopedi Islam Indonesia. Jakarta: Djambatan,
1992, h. 20.
[2]Prasinggar Al
Suffi, Biografi dan Pemikiran Fazlur Rahman. http://hamamburhanuddin.Wordpress.com/2012/06/14/analisa-fazlur-rahman-tentangpendidikan/ (Diunduh pada
tanggal 03 Juli 2019).
[3] Subki Ali, Pemikiran
Fazlur Rahman. http://id.wikipedia.org/wiki/Fazlur_Rahman (Diunduh pada
tanggal 03 Juli 2019)
[4] Ahmad Syafi’i
Ma’arif, Hembaharuan Hukum Islam, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1998.
[5] Lamya
AL-Faruqi, Masa Depan KaumWanita, Surabaya: Al-Fikr 1991, h. 17.
[6] Abdul Rozak,
M.Ag, Drs. Rosihon Anwar M.Ag, Ilmu Kalam, Bandung: Pustaka Setia, h.
227.
[8] Abdul Rozak,
M.Ag, Drs. Rosihon Anwar M.Ag, Ilmu Kalam, Bandung: Pustaka Setia, h.
229.
[9]Abdul Rozak,
M.Ag, Drs. Rosihon Anwar M.Ag, Ilmu Kalam, Bandung: Pustaka Setia, h.
230.
[10] Ismail Raji
AlFaruqi, Tauhid, Rahmani Astuti, pustaka, h. 1.
[11] Ismail Raji
AlFaruqi, Tauhid, Rahmani Astuti, pustaka, h. 13-18.
[12] Ismail Raji
AlFaruqi, Tauhid, Rahmani Astuti, pustaka, h. 35-37.
[13] Ismail Raji
AlFaruqi, Tauhid, Rahmani Astuti, pustaka, h. 42-45.
No comments:
Post a Comment