1

loading...

Thursday, September 19, 2019

MAKALAH PERKEMBANGAN PESERTA DIDIK USIA 2 6 TAHUN


MAKALAH
PERKEMBANGAN PESERTA DIDIK USIA 2 6 TAHUN



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Peserta didik adalah makhluk sosial. Sebagai makhluk sosial, ia membutuhkan orang lain untuk dapat tumbuh kembang menjadi manusia yang utuh. Dalam perkembangannya, pendapat dan sikap peserta didik dapat berubah karena interaksi dan saling berpengaruh antar sesama peserta didik maupun dengan proses sosialisasi. Dengan mempelajari perkembangan hubungan sosial diharapkan dapat memahami pengertian dan proses sosialisasi peserta didik.
Pada awal manusia dilahirkan belum bersifat sosial, dalam artian belum memiliki kemampuan dalam berinteraksi dengan orang lain. Kemampuan sosial anak diperoleh dari berbagai kesempatan dan pengalaman bergaul dengan orang-orang dilingkungannya.
Kebutuhan berinteraksi dengan orang lain telah dirasakan sejak usia enam bulan, disaat itu mereka telah mampu mengenal manusia lain, terutama ibu dan anggota keluarganya. Anak mulai mampu membedakan arti senyum dan perilaku sosial lain, seperti marah (tidak senang mendengar suara keras) dan kasih sayang.
 Perkembangan sosial pada masa usia dini dan sekolah dasar berkembang kemampuan untuk memahami orang lain sebagai individu yang unik. Baik menyangkut sifat-sifat pribadi, minat, dan perasaan sehingga mendorong runtuk bersosialisasi lebih akrab dengan lingkungan sebaya atau lingkungan masyarakat baik. Seorang anak diharapkan memiliki penyesuaian sosial yang tepat dalam arti kemampuan untuk mereaksi secara tepat terhadap realitas sosial, situasi dan relasi baik di lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat.



B.     Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud perkembangan fisik?
2.      Apa saja yang menjadi factor pengembangan fisik?
3.      Apa saja aspek-aspek kepribadian?
4.      Bagaimana perkembangan kepribadian peserta didik?
C.    Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan ini adalah untuk mengetahui bagaimana perkembangan kepribadian bagi peserta didik 2-6 tahun serta penerapannya. Dan juga bertujuan untuk memenuhi tugas individu mata kuliah.


BAB II
PENDAHULUAN
A.    Perkembangan Fisik
Umur 2 sampai 6 tahun adalah anak usia dini (early childhood) atau tahun-  tahun prasekolah atau masa baik formal maupun nonformal. Pendidikan anak usia dini (PAUD) merupakan upaya pembinaan dan pengebangan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun. Memang, hingga kini masih banyak anak-anak Indonesia yang memasuki PAUD karena aneka alasan dan keterjangkauan. Kegiatan itu dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut.[1]
Di dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas disebutkan bahwa PAUD diselenggarakan sebelum jenjang pendidikan dasar. PAUD dapat diselenggarakan melalui jalur pendidikan formal, nonformal, dan/atau informal. PAUD pada jalur pendidikan formal berbentuk taman kanak-kanak (TK), raudatul athfal (RA), atau bentuk lain yang sederajat. PAUD pada jalur pendidikan nonformal berbentuk kelompok bermain (KB), taman penitipan anak (TPA), atau bentuk lain yang sederajat. PAUD pada jalur pendidikan informal berbentuk pendidikan keluarga atau pendidikan yang diselenggarakan oleh lingkungan.
Seperti bayi dan balita, anak-anak prasekolah tumbuh dengan cepat, baik secara fisik maupun kognitif. Dengan perubahan yang cepat itu, bukan tidak mungkin se orang yang tadinya gemuk pendek dan hampir tidak dapat  berbicara tiba-tiba menjadi seorang anak yang lebih tinggi dan ramping yang mampu berbicara secara baik dan lancar. Terutama terlihat pada anak usia dini adalah kenyataan bahwa perkembangannya benar-benar terintegrasi baik secara biologis, psikologis, maupun perubahan sosial yang terjadi saat ini (serta sepanjang sisa masa hidup) yang saling terkait.
Meskipun perkembangan fisik pada anak-anak prasekolah sangat dramatis, perkembangan itu cenderung lebih lambat dan lebih stabil dibandingkan dengan pada masa bayi. Beberapa pengaruh penting pada perkembangan fisik selama masa prasekolah adalah perubahan kemampuan otak, keterampilan motorik kasar dan halus, serta kesehatan anak.
     a.      Perubahan Fisik
Ketika masih bayi anak-anak begitu banyak berlemak. Pada usia ini, anak- anak mulai kehilangan lemak bayi atau kegemukan mereka, yaitu sekitar usia 3 tahun. Anak balita segera tumbuh lebih ramping dan lebih atletis. Badan dan kaki anak tumbuh, sementara bentuk otot-otot perut berubah dan pengalami pengetatan. Pada tahap awal kehidupan, anak laki-laki cenderung memiliki massa otot lebih dibandingkan dengan perempuan. Proporsi fisik anak-anak prasekolah juga terus berubah, dengan besar kepala mereka yang masih tidak proporsional, tapi kurang begitu tampak dibandingkan dengan pada masa balita. Tinggi dan berat badan anak pada usia 2-6 tahun, seperti juga ketika mereka sudah dewasa berbeda tergantung pada status sosial ekonomi, gizi, kesehatan, dan faktor keturunan.
     b.      Perkembangan Otak
Perkembangan otak dan sistem saraf pada anak usia dini juga terus berlangsung dramatis. Otak dan sistem syaraf anak-anak berkembang lebih baik, disertai dengan perkembangan perilaku dan kognitif yang lebih kompleks. Otak manusia terdiri dari dua bagian, yaitu belahan otak kanan dan otak kiri yang bersifat lateral. Lateralisasi mengacu pada lokalisasi berbagai macam fungsi, kompetensi, dan keterampilan dalam salah satu atau kedua belahan otak. Secara khusus, bahasa, menulis, logika, dan keterampilan matematika tampaknya terletak di belahan otak kiri; sedangkan kreativitas, fantasi, artistik, dan keterampilan musik tampaknya terletak dibelahan otak kanan. Meskipun belahan mungkin memiliki fungsi yang terpisah, massa otak ini hampir selalu mengkoordinasikan fungsi dan bekerja sama. [2]
Kedua belahan otak berkembang dengan kecepatan yang berbeda. Relahan otak kiri berkembang lebih penuh pada anak usia dini (umur 2  sampai 6 tahun) dan belahan otak kanan lebih lengkap dalam pengembangan masa kanak-kanak tengah (usia 7 hingga 11 tahun). Otak kiri mendominasi awal perkembangan dan lebih lama. Inilah yang mungkin bisa menjelaskan mengapa anak-anak mampu mengakuisisi bahasa sangat dini dan cepat. Aspek lain dari perkembangan otak adalah kidal atau preferensi untuk menggunakan satu tangan lebih dominan daripada yang lain atau handedness. Kapasitas tangan tampaknya sangat dibentuk oleh masa kanak - kanak menengah.[3]
Sekitar 90 persen dari populasi umum adalah "kidal" atau preferensi menggunakan satu tangan lebih dominan daripada yang lain, sedangkan sisanya adalah orang yang tidak menunjukkan preferensi satu tangan lebih dominan dibandingkan dengan yang lain atau ambidextrous. Orang disebut ambidextrous jika dia tidak menunjukkan preferensi kekuatan tangan yang satu di atas kekuatan tangan yang lain. Biasanya, ambidextrous dikaitkan dengan dominasi otak kiri dan handedness dengan dominasi otak kanan.
     c.       Keterampilan Motorik
Keterampilan motorik (motor skills) terdiri dari dua jenis, yaitu keterampilan motorik kasar (gross motor skills) dan keterampilan motorik halus (fine motor skills). Keterampilan motorik adalah kemampuan fisik atau keterampilan motorik kasar yang meliputi berjalan, melompat, melocat, berputar, melempar, menyeimbangkan, dan menari yang melibatkan penggunaan gerakan tubuh besar. Keterampilan motorik halus meliputi menggambar, menulis, dan mengikat tali sepatu, dan aktivitas yang melibatkan penggunaan gerakan tubuh kecil. Kedua keterampilan motorik kasar dan halus berkembang dan disempurnakan pada anak usia dini. Namun demikian, keterampilan motorik halus berkembang lebih lambat pada anak-anak prasekolah.
Jika kita membandingkan kemampuan berjalan anak pada usia 2 tahun dan 6 tahun, misalnya, mungkin kita akan melihat keterampilan berjalan itu tidaklah berbeda. Tentu saja, perbedaan ini lebih mencolok ketika membandingkan 2 tahun dan 6 tahun yang mengikat tali sepatu. Anak usia 2 tahun memiliki kesulitan menangkap konsep sebelum mulai mencoba atau menyelesaikan tugas.
Teori belajar observasional (observational learning theory) yang dikembangkan oleh Albert Bandura dapat diterapkan pada pembelajaran keterampilan motorik kasar dan halus bagi anak prasekolah. Bandura menyatakan bahwa setelah anak-anak secara biologis mampu belajar perilaku tertentu, mereka harus melakukan hal berikut dalam rangka untuk[4]
·         mengembangkan keterampilan barunya:
·         mengamati perilaku orang lain,
·         membentuk citra mental dari perilaku itu,
·         meniru perilaku tersebut,
·         praktik perilaku, dan
·         termotivasi untuk mengulangi perilaku tersebut
Dengan kata lain, anak-anak harus siap, memiliki kesempatan yang memadai, dan tertarik untuk mengembangkan keterampilan motorik. Dengan cara ini anak akan menjadi kompeten pada keterampilan-keterampilan yang ingin atau akan diakuisisi.[5]
     d.      Kesehatan
Anak-anak prasekolah umumnya cukup sehat, tetapi mungkin sebagian mengalami masalah masalah medis. Penyakit ringan khas yang biasanya diderita berlangsung tidak lebih dari 14 hari, termasuk pilek, batuk, dan sakit perut. Penyakit pernapasan paling umum diderita oleh anak-anak pada usia ini karena paru-paru mereka memang masih rentan. Kebanyakan penyakit anak-anak biasanya tidak memerlukan perhatian dokter atau perawat. Selain itu, penyakit ringan dapat membantu anak-anak untuk belajar menghadapi keterampilan, khususnya bagaimana menghadapi ketidaknyamanan fisik dan marabahaya.
Penyakit ringan juga dapat membantu anak-anak belajar empati atau belajar cara memahami ketidaknyamanan dan penderitaan orang lain. Sebaliknya, penyakit utama dari anak usia dini, yang parah dan berlangsung lebih lama dari 14 hari, termasuk influenza, radang paru-paru, kanker, dan lain-lain. Selain masalah fisik, anak-anak menderita penyakit jangka panjang  memiliki hambatan psikologis yang signifikan untuk mengatasinya, termasuk memperlambat perkembangan, kecemasan, dan rasa sakit. Selain itu, anak anak yang menderita sakit harus belajar mengatasi stres di rumah tangga, depresi, dan potensi kerugian perawat mereka.
Kemiskinan, stres keluarga, berada di tempat penitipan anak, atau menjadi bagian dari keluarga besar (anggota keluarga lebih meningkatkan risiko seseorang bisa sakit dan penyakit menular kepada anggota keluarga lain) berkorelasi dengan peningkatan risiko penyakit pada kelompok usia anak prasekolah. Kebanyakan dari kematian pada anak usia dini lebih dominan karena cedera ketimbang akibat penyakit.
Di beberapa bahkan hampir di semua negara, sumber yang paling umum penyebab adalah kecelakaan yang mematikan bagi anak-anak prasekolah adalah mobil, sepeda motor, dan kendaraan lainnya. Penyebab kematian lain dari anak-anak prasekolah adalah tenggelam, tercekik, dibakar, diracun, dan jatuh dari ketinggian. Memang, petualangan anak-anak sering melampaui pemahaman mereka tentang bahaya yang melekat dalam berbagai kegiatan dan situasi. Oleh karena itu, pengawasan orang dewasa yang memadai sangat diperlukan oleh setiap saat, baik di rumah, di tempat penitipan anak, maupun di tempat bermain.

B.     Perkembangan Kognitif
Usia prasekolah memberikan contoh luar biasa bagaimana anak-anak memainkan peran aktif dalam pengembangan kognitif mereka sendiri, khususnya dalam upaya memahami, menjelaskan, mengorganisasikan,   memanipulasi, membangun, dan memprediksi. Anak-anak muda juga melihat pola dalam objek dan peristiwa dunia dan kemudian berusaha mengatur pola-pola untuk menjelaskan dunia itu. Pada saat yang sama, anak- anak prasekolah memiliki keterbatasan kognitif. Anak-anak prasekolah mengalami kesulitan mengendalikan perhatian mereka sendiri dan fungsi memori, bingung dalam menampilkan diri, dangkal dengan realitas, dan fokus pada satu aspek pengalaman pada suatu waktu. Anak-anak prasekolah cenderung membuat kesalahan lintas budaya yang sama karena kemampuan kognitif yang belum matang [6]
Menurut Piaget perkembangan kognitif terjadi antara umur 2 dan 7 tahun sebagai tahap praoperasional. Pada tahap ini, anak-anak meningkatkan penggunaan bahasa dan simbol lainnya, mereka meniru perilaku dan permainan orang dewasa. Anak-anak mengembangkan daya tarik dengan bahasa atau kata-kata baik dan buruk. Anak-anak juga memainkan permainan membuat-percaya: menggunakan kotak kosong sebagai mobil, bermain dalam keluarga dengan saudara, dan memelihara persahabatan imajiner. Piaget juga menggambarkan tahap praoperasional dalam hal apa yang anak-anak tidak bisa lakukan.
Setelah melewati masa preoperasional, anak memasuki fase operasional Piaget menggunakan istilah operasional untuk mengacu pada kemampuan reversible, bahwa anak-anak belum berkembang. Dengan reversibel, Piaget menyebut tindakan mental atau fisik yang bisa berulangatau menggunakan cara lain yang mirip -yang berarti bahwa mereka dapat menggunakan di lebih dari satu cara atau arah. Menambahkan (3 + 3 = 6) dan mengurangkan (6-33) adalah cotoh dari tindakan revervibel. Anak- anak pada tahap ini, menurut pendapat Piager, membuat pemikiran magis misalnya ketika ketika berbicara dengan orang tua mereka melalui telepon dan kemudian meminta hadiah, mengharapkan untuk memperoleh hadiah melalui pembicaan telepon itu.
Piaget percaya bahwa kemampuan kognitif anak-anak prasekolah dibatasi oleh egosentrisme atau ketidakmampuan untuk membedakan antara titik pandang mereka sendiri dan sudut pandang orang lain. Kapasitas egosentris jelas pada semua tahap perkembangan kognitif. tetapi egosentrisme sangat jelas pada tahun-tahun prasekolah. Anak-anak kecil akhirnya mengatasi bentuk egosentrisme awal ketika belajar bahwa orang lain memiliki pandangan, perasaan, dan keinginan yang berbeda. Kemudian. anak-anak bisa menafsirkan motif orang lain dan menggunakan mereka untuk berkomunikasi saling memberi interpretasi dan karena itu lebih efektif dengan orang lain.
Akhirnya, anak-anak prasekolah belajar untuk menyesuaikan irama vokal mereka, nada, dan kecepatan untuk mencocokkannya dengan para pendengar. Karena aktivitas komunikasi saling membutuhkan antarpihak dan anak-anak prasekolah masih egosentris, mereka dapat terjerumus ke dalam pidato egosentris (nonmutual), bahkan melahirkan masa frustrasi. Dengan kata lain, anak-anak (dan orang dewasa) dapat mundur ke pola perilaku sebelumnya ketika sumber daya kognitif mereka stres dan kewalahan.
Piaget menunjukkan bahwa anak-anak belum menguasai klasifikasi atau kemampuan mengelompokkan agar sesuai dengan fitur. Juga mereka belum menguasai serial keteraturan (serial ordering) atau kemampuan mengelompokkan untuk menyesuaikan dengan perkembangan yang logis. Piaget juga percaya bahwa anak-anak tidak dapat memahami konservasi (conservation) atau konsep bahwa sifat fisik dan penampilan tetap konstan dan akhirnya mengubah bentuk. Anak-anak kecil memiliki pernahaman bahwa zat yang sama-sama cair dituangkan ke dalam wadah dengan berbagai bentuk, tetap sama. Menurut Piaget, ketika anak-anak mengembangkan kemampuan kognitif untuk konservasi atau pelestarian (sekitar usia 7 tahun) anak-anak pindah ke tahap pengembangan berikutnya, yaitu operasi konkret
Penelitian yang lebih kekinian menunjukkan bahwa anak-anak tidak seperti apa yang dikemukakan oleh Piaget sebagai fase operasional, magis, atau egosentris. Dalam mempelajari penggunaan simbol-simbol anak-anak herpikir representasi. Renee Baillargeon dalam penelitiannya menemukan bahwa anak-anak prasekolah seusia 2,5 tahun dapat menerapkan berpikir mental reversibel. Penelitian Baillargeon melibatkan percobaan berikut: Dua obiek -bantal merah besar dan bantal merah miniatur- disembunyikan di uangan besar dan sebuah replika miniatur ruangan, masing-masing ditampilkan; di mana bantal miniatur disembunyikan di ruang miniature ternyata seorang anak menempatkan bantal besar yang sesuai di ruang besar Baillargeon menyarankan bahwa kemampuan tersebut adalah indikasi pemikiran simbolis, di mana objek tidak hanya merupakan objek itu sendiri, melainkan juga terkait dengan obyek lain.
Berbeda dengan teori Piaget mengenai egosentrisme masa kanak- kanak, studi yang sama menunjukkan bahwa anak-anak dapat dan melakukan sesuatu berkaitan dengan kerangka acuan orang lain. Anak berusia 2 atau 3 tahun, misalnya, telah menunjukkan kemampuan untuk memodifikasilisan mereka dalam upaya berkomunikasi dengan lebih jelas dengan anak- anak muda. Peneliti John Flavell menyarankan bahwa kemajuan anak prasekolah melalui dua tahap empati atau berbagi perspektif. Pada tingkat pertama, sekitar usia 2 sampai 3 tahun, anak memahami bahwa orang lain memiliki pengalaman mereka sendiri. Pada tingkat kedua, sekitar umur 4 sampai 5, anak-anak menafsirkan pengalaman orang lain, termasuk pikiran dan perasaan mereka. Pergeseran dalam perspektif ini adalah indikasi perubahan kognitif: pada tingkat pertama, anak berfokus pada penampilan, pada tingkat kedua pada realitas saat mereka memahaminya., Oleh karena itu, anak-anak muda mengembangkan kognisi sosial (social cognition) atau mengetahui dunia sosial mereka, namun mungkin belum menghasilkan pemahaman.
Khusus anak berusia lima tahun, tertarik pada bagaimana pikiran mereka dan pikiran orang lain bekerja. Anak-anak akhirnya membentuk sebuah teori pikiran (theory of mind), kesadaran, dan pemahaman tentang state of thinking lain serta tindakan yang menyertainya. Anak-anak Kemudian dapat memprediksi bagaimana orang lain akan berpikir dan bereaksi, terutama berdasarkan pengalaman mereka sendiri di dunianya berdasarkan hasil penelitian ini, khusus anak yang berusia 2 sampai 5 tahun jelas menunjukkan bahwa Piaget salah mengasumsikan bahwa anak-anak praoperasional hanya berpikiran secara harfiah. Bahkan, anak-anak dapat berpikir logis, memproyeksikan diri sendiri ke dalam situasi orang lain, dan menafsirkan lingkungannya. Jadi, untuk sementara kualitas kognitif tahap praoperasional versi Piaget mungkin berlaku bagi beberapa atau bahkan banyak anak, sifat-sifat ini tidak berlaku untuk semua anak.
      a.      Ingatan
Memori adalah kemampuan untuk menyandikan, mempertahankan, dan mengingat kembali informasi yang diperoleh dari waktu ke waktu. Anak- anak harus belajar mengkodekan objek, orang, dan tempat-tempat; kemudian bisa mengingatnya dengan memori jangka panjang. Anak-anak kecil bisa mengingat, seperti halnya anak-anak lain dan orang dewasa. Selain itu, anak- anak ini lebih baik dari pada sekadar pengakuan mengingat memori tugas. Para peneliti menduga beberapa kemungkinan penyebab perkembangan ini. Salah satu penjelasan yang relevan adalah bahwa anak-anak prasekolah mungkin kekurangan dalam aspek tertentu dari perkembangan otak yang diperlukan untuk kemampuan memori dibandingkan dengan orang dewasa. Bahwa anak-anak prasekolah tidak memiliki kemampuan numerik yang sama dan jenis pengalaman menarik pada pengolahan informasi sebagaimana dimiliki oleh orang dewasa. Mereka cenderung kurang perhatian selektif (selective attention), yang berarti ia lebih mudah terganggu. Pada sisi lain anak-anak tidak memiliki kualitas dan kuantitas yang sama, serta strategi mnemonic efektif sebagai orang dewasa.
Anak-anak prasekolah menunjukkan minat yang inten dalam belajar keterampilan dan mengembangkan inisiatif. Anak-anak memiliki rasa ingin tahu yang melekat tentang dunianya, yang menuntut kebutuhan untuk belajar sebanyak dan secepat mungkin. Beberapa anak muda mungkin menjadi frustasi ketika belajar tidak terjadi secepat atau seefisien yang diinginkan. Ketika situasi belajar terstruktur anak-anak mungkin berhasil –menetapkan tujuan cukup terjangkau dan memberikan bimbingan dan dukungan- mereka bisa sangat matang dalam kemampuan memproses informasi.
      b.      Bahasa
Kemampuan bahasa juga terus mengalami perbaikan selama anak usia dini. Bahasa merupakan hasil dari kemampuan seorang anak untuk menggunakan dan memaknai simbol-simbol, sesuai dengan tingkat penalaran mereka. Jadi sebagai otak manusia mengembangkan dan memperoleh kapasitas untuk berpikir representasional, anak-anak juga memperoleh dan memperbaiki kemampuan bahasa. Beberapa peneliti, seperti Roger Brown, telah mengukur perkembangan bahasa dengan jumlah rata-rata kata dalam kalimat yang dikuasai oleh anak. Semakin banyak anak menggunakan kata-kata dalam kalimat, semakin canggih perkembangan bahasa anak. Brown berkesimpulan bahwa bahasa berkembang secara bertahap berurutan: ujaran, frasa dengan nada, kalimat sederhana dan kalimat kompleks. Menurut Brown, sintaks dasar tidak sepenuhnya disadari oleh anak sampai sekitar usia 10 tahun.
Pada fase prasekolah anak-anak belajar banyak kata-kata baru. Orang tua, saudara, teman sebaya, guru, dan media memberikan kesempatan bagi anak-anak prasekolah untuk meningkatkan kosa kata mereka. Dengan demikian makin muncul keyakinan bahwa perolehan bahasa terjadi dalam konteks sosial dan budaya. Tentu saja, guru, orang tua, dan orang dewasa lainnya harus mengajari anak-anak bagaimana berpikir dan bertindak dengan cara yang diterima secara sosial. Anak-anak belajar tentang masyarakat sekaligus belajar tentang bahasa atau sebaliknya. Nilai-nilai, norma, folkways (aturan perilaku informal yang dapat diterima), dan adat-istiadat (aturan formal dari perilaku yang dapat diterima) yang dikirim oleh orang tua dan orang lain menjukkan bagaimana penggunaan kata-kata.
Di banyak negara, beberapa anak muda adalah bilingual, atau dapat berbicara lebih dari satu bahasa. Anak-anak belajar dua bahasa secara bersamaan, biasanya sebagai akibat dari tumbuh dengan orang tua yang berbicara dua bahasa bahasa kedua di rumah. Banyak dari anak-anak bilingual dapat berbicara lancar dengan dua bahasa pada usia 4 tahun.
Beberapa anak belajar berbicara dialek etnis atau variasi bahasa, sebelum mereka belajar berbicara bahasa Inggris standar. Memang, ketika berbicara mengenai dialek etnis merebak perdebatan mengenai apakah dialek etnis harus dianggap atau tidak sama dengan nilai untuk bahasa konvensional. Sebagai contoh, beberapa guru percaya bahwa dialek seperti Economics (bahasa Inggris warga kulit hitam) dan Spanglish (bahasa Inggris Spanyol) harus diajarkan di kelas bahasa Inggris Amerika tradisional. Banyak guru yang khawatir bahwa Ebonics dan Spanglish menempatkan anak-anak berisiko tidak menguasai bahasa Inggris standar, yang pada gilirannya menempatkan mereka pada posisi yang kurang menguntungkan dalam mempersiapkan untuk kuliah dan dunia kerja.
     c.       Pengembangan Kepribadian
Tahun-tahun prasekolah erat kaitannya dengan keutamaan pengembangan kepribadian dan sosialisasi bagi anak-anak muda. Masa prasekolah anak- anak tidak lagi sepenuhnya bergantung pada orang tua mere ka, di mana  anak-anak prasekolah mulai menempuh perjalanan panjang untuk menjadi mahir berfungsi pada dunia mereka sendiri. Selama anak usia dini (usia 2-6 tahun), anak-anak mendapatkan beberapa rasa yang terpisah dan independen dari orang tua mereka. Menurut Erikson, tugas anak prasekolah adalah untuk mengembangkan otonomi atau arah-diri (usia 1-3 tahun), serta inisiatif atau kemandirian (usia 3 - 6 tahun).[7]
Kepribadian meliputi ciri-ciri psikologis yang stabil yang mendefinisikan bahwa setiap manusia merupakan pribadi unik. Baik anak-anak maupun orang dewasa memiliki ciri-ciri kepribadian (karakteristik jangka panjang, seperti temperamen) dan sikap dasar (karakteristik yang berubah, seperti kemurungan). Sementara beragam penjelasan di mana kebanyakan ahli sepakat bahwa apa pun penyebabnya, kepribadian individu adalah kokoh didirikan pada akhir anak usia dini. Menurut Freud, tahun kedua dari masa kanak-kanak adalah tahap perkembangan psikoseksual anal, ketika orang tua menghadapi banyak tantangan baru untuk melatih anak-anak mereka. Fiksasi pada tahap ini dapat menimbulkan ciri-ciri kepribadian selayaknya karakteristik yang muncul di usia dewasa. Ciri-ciri kepribadian termasuk retensi dubur (anal retentionanal expulsion), seperti kerapian yang berlebihan atau kekacauan dan altruisme. Teoritikus kepribadian setelah Freud berusaha menjelaskan pengembangan kepribadian anak usia dini. Teori belajar menyatakan bahwa kepribadian berkembang sebagai hasil dari pengkondisian klasik atau classical conditioning operant (Ivan Pavlov, belajar melalui asosiasi); BF Skinner belajar dengan penguatan; dan belajar observasional (Albert Bandura, belajar dengan peniruan). Kategori yang terakhir ini melibatkan identifikasi atau internalisasi, di mana anak-anak mengamati dan mengadopsi nilai-nilai, ide, dan standar lain yang signifikan. Psikolog kognitif berspekulasi bahwa kepribadian muncul (sebagian) dari sikap dan bias yang diungkapkan oleh orang dewasa di sekitar mereka. Teori jender mengklaim bahwa kepribadian berkembang dari "identifikasi jender" dan "sosialisasi gender". Teori genetis lebih berspekulasi bahwa kepribadian lebih ditimbulkan oleh "kabel dalam" genetik dan pengaruh biokimia ketimabang dari faktor-faktor psikososial.
Dalam analisis akhir, tidak ada perspektif sendiri yang cukup bisa menjelaskan proses kompleks pengembangan kepribadian. Kombinasi nengaruh psikososial, orang tua, dan biologislah yang mungkin bertanggungjawab untuk penentuan sifat-sifat utama manusia dan kebiasaannya.
      d.      Hubungan Keluarga
Hubungan keluarga sangat penting untuk perkembangan kesehatan fisik, mental, dan sosial anak prasekolah. Banyak aspek dan dimensi teknis yang terkait dengan pengasuhan keluarga, seperti disiplin, jumlah dan urutan kelahiran saudara kandung, keuangan, keadaan atau kondisi, dan kesehatan keluarga yang memberi kontribusi bagi perkembangan psikososial anak-anak muda.
Fungsi orang tua antara lain adalah mengasuh anak dengan baik, seperti halnya guru kepada peserta didiknya. Orang tua yang berbeda menggunakan teknik pengasuhan yang berbeda pula kepada anak-anaknya. Teknik kepengasuhan para orang tua tergantung pada standar budaya dan masyarakat, situasi, dan perilaku anak-anak pada waktu itu. Para orang tua menggunakan teknik kepengasuhan dalam berhubungan dengan anak-anak mereka dicirikan oleh derajat kontrol dan kehangatan orang tua. Ada orang tua yang  mengunakan kontrol kepengasuhan yang ketat, ada pula yang dilakukan dengan penuh kehangatan dan rasa cinta. Orang tua yang otoriter menunjukkan kontrol yang tinggi dan kehangatan rendah.
Orang tua yang demokratis cenderung menggunakan kontrol relative dan dengan hubungan kehangatan yang tinggi. Orang tua yang permisif menunjukkan kehangatan tinggi dan kontrol orang tua rendah, seperti halnya terjadi pada keluarga yang demokratis. Namun, keluarga yang permisif cenderung kebablasam, sehingga mengesankan serba boleh dan membiarkan anak bertindak dan berperilaku sesuai dengan keinginannya. Persoalan sekarang, bagaimana orang tua bisa mengontrol perilaku anaknya dengan penuh kehangatan. Hal yang sama juga harus dilakukan oleh guru kepada peserta didiknya, kontrol tetap diperlukan sesuai dengan standar disiplin yang disepakati bersama atau ditetapkan oleh sekolah, namun hubungan yang hangat tetap terjaga.
Gaya kepengasuhan keluarga dan orang tua memiliki dampak tertentu pada anak-anak, seperti halnya kepengasuhan guru kepada peserta didiknya. Gaya demokratis orang tua menumbuhkan komunikasi dan pemecahan masalah secara terbuka antara orang tua dan anak-anak mereka. Sebaliknya, orang tua yang otoriter dapat menghasilkan anak-anak takut dan tergantung. Guru yang otoriter juga menimbulkan rasa takut dan antikreatif kepada siswanya, disamping ketergantungan yang laten. Orang tua yang permisif dapat mengakibatkan anak memberontak. Dengan cara itu pula orang tua dapat membuat anak acuh tak acuh, bermusuhan, dan menyisakan persepsi yang buruk akibat ketidakjelasan sikap. Pemberontakan semacam itu juga dalam jangka panjang bisa muncul dari peserta didik yang oleh gurunya diperlakukan secara permisif.
Dalam keluarga dengan dua orang tua, di mana masing-masingnya, katakanlah ayah pada satu sisi dan ibu pada sisi lain memiliki gaya pengasuhan yang berbeda, gaya satu orang tua yang sering positif menjadi counterbalances gaya orang tua lainnya. Sebagai contoh, gaya permisif ibu bisa mengimbangi gaya otoriter suaminya. Namun demikian, hal ini sulit berlaku di sekolah. Misalnya, gaya permisif guru mata Matematika tidak cukup logis jika diasumsikan dapat diimbangi oleh gaya demokratis guru Fisika.
Keinginan orang tua bernegosiasi dengan anak-anak mereka untuk mencapai tujuan bersama adalah sangat diinginkan. Negosiasi untuk penugasan atau ketika muncul perbedaan pendapat antara guru dan peserta didik pun sangat dipentingkan. Bagaimana pun kesediaan ini tidak berarti bahwa segala sesuatu dalam sistem keluarga dan sekolah bisa dinegosiasikan. Baik orang tua maupun anak-anak mereka harus bertanggungjawab pada semua waktu dan situasi, seperti tingkat kontrol yang tidak sehat menyebabkan "perebutan kekuasaan" dalam keluarga. Negosiasi orang tua harus menunjukkan pembelajaran kepada anak-anak bahwa kualitas hubungan bisa berjalan adil atau sama dalam hal hak berbagi (sharing), tanggung jawab, dan pengambilan keputusan. Negosiasi di lingkungan rumah yang hangat, menampung ide, dan saling mendukung adalah kondisi ideal. Menjadi ideal pula, jika hal ini bisa dilakukan oleh guru dengan peserta didik, kepala sekolah dengan guru, dan sebagainya.
     e.       Saudara Kandung
Saudara adalah kelompok sepermainan (peer group) pertama dan terutama bagi anak-anak di dalam keluarga dan dalam pendampingan untuk pergaulan sosial. Sebutan pendampingan mengandung makna bahwa ketika berinteraksi dengan individu atau kelompok di luar keluarga, mereka nyaris selalu ditemani oleh saudara kandung, keluarga dekat, atau orangtuanya. Anak- anak prasekolah dapat belajar banyak atau lebih dari saudara mereka sebagai dari  rang tua. Terlepas dari perbedaan usia, hubungan saudara merupakan cermin hubungan sosial lainnya, menyediakan persiapan dasar untuk berhubungan dengan orang di luar rumah. Biasanya saudara hanya dapat  memberikan kesempatan (baik yang diinginkan atau tidak) bagi anak-anak untuk berlatih menghadapi sisi positif dan negatif hubungan antarmanusia. Tentu saja anak-anak yang tanpa saudara tidak selalu mengalami kerugian dalam perkembangannya. Penelitian membuktikan bahwa anak- anak yang dibesarkan sendiri di dalam keluarga berpotensi sama untuk berkembang dibandingkan dengan anak-anak yang memiliki saudara kandung -jika tidak lebih baik dari yang lain- dilihat dari perkembangan kepribadian, kecerdasan, dan prestasi. Salah satu penjelasan yang mungkin dikedepankan di sini, bahwa anak yang pertama dalam urutan kelahiran anak-anak hanya dapat memiliki perhatian penuh atau hampir penuh perhatian orangtuanya, yang pada gilirannya memiliki lebih banyak menghabiskan waktu secara berkualitas dalam berinteraksi dengan anak satu- satunya.
     f.       Keadaan Keluarga dan Kelas Sosial
Keadaan keluarga secara pasti mempengaruhi perkembangan anak-anak muda. Karenanya, dengan keluarga yang aman dan utuh serta mempunyai kemampuan keuangan yang baik anak-anaknya pun cenderung berkembang dengan baik. Sayangnya, tidak semua keluarga memiliki sumber daya yang memungkinkan orang tua tetap di rumah pada siang hari atau untuk membeli layanan penitipan anak sebaik mungkin. Selain itu, tidak semua keluarga mampu mengakses layanan kesehatan yang diperlukan. Konsekuensi emosional jangka panjang bagi anak-anak yang berasal dari keluarga dengan status sosial ekonomi rendah sangat mungkin memerlukan perhatian yang lebih serius Untuk melihat seberapa jauh efek dari kelas sosial pada sikap dan perkembangan anak, sosiolog Melvin Kohn mempelajari perbedaan dalam gaya pengasuhan orang tua kelas pekerja dan kelas menengah. Kohn menemukan bahwa orang tua kelas pekerja cenderung stres pada anak-anak mereka ketika ke luar, sementara orang tua kelas menengah cenderung stress pada aspek ekspresi diri, motivasi, dan rasa ingin tahu pada anak-anak mereka. Kohn menyimpulkan bahwa kelas sosial -di mana sikap dan perilaku orang tua diturunkan kepada anak-anak-juga mereka memainkan peran dalam pengembangan psikososial anak-anak muda.
Pada sisi lain, dari dialog dengan para guru terungkap beberapa pendapat subjektif. Anak-anak yang berasal dari kelas bawah menjadi sumber keluhan mereka selama mengajar, meski tidak ada bukti bahwa anak-anak dari keluarga miskin itu akan "miskin" pula prestasinya. Anak-anak yang berasal  dari kelas menengah umumnya tidak menjadi sumber keluhan para guru, meski tidak juga ada bukti bahwa prestasi mereka akan mengungguli anak- anak lain pada umumnya. Bahkan, anak-anak dari keluarga kelas menengah sering berulah yang mengesankan arogan di mata kawan-kawannya, sementara guru menanggung beban psikologis untuk menertibkannya.
Sebutan kelas menengah itu menggunakan indikator posisi orang tua, birokrasi pemerintahan, jabatan politik, keluarga "terpandang" atau "darahbiru", dan kondisi ekonomi.
      g.      Teman dan Sahabat Bermain
Kontak awal yang baik di dalam keluarga dapat menentukan kemudahan anak-anak untuk membangun persahabatan dan hubungan lainnya. Anak- anak yang memiliki hubungan yang penuh kasih, stabil, dan menerima asuhan yang baik dari orang tua dan saudara kandung pada umumnya lebih cenderung membentuk karakter yang baik.
Sama seperti orang dewasa, anak-anak prasekolah cenderung mengembangkan persahabatan dengan anak-anak dan yang memiliki kepentingan bersama, menyenangkan, menawarkan dukungan, dan mirip dalam ukuran dan penampilannya. Usia persahabatan menciptakan kesempatan bagi anak anak untuk belajar bagaimana menangani situasi -memancing kemarahan, berbagi, belajar nilai-nilai, dan mempraktikkan perilaku yang lebih matang.
Anak-anak prasekolah yang populer dengan rekan-rekan mereka unggul dalam kegiatan ini, di mana mereka tahu bagaimana menjadi seorang teman, tidak hanya bagaimana memiliki teman.
Di sisi lain, anak-anak yang "pengoceh secara tidak atau kurang bersahabat" atau menciptakan permusuhan langsung kepada teman-teman mereka cenderung kurang populer. Pada gilirannya, anak-anak yang agresif sering mempunyai teman lebih sedikit dan cenderung menjadi "bahan bakar permusuhan. Di sekolah pun, anak-anak yang egois disertai dengan ketidakunggulan pada hampir semua mata pelajaran dan kegiatan ekstrakurikuler cenderung terasing di mata kawan-kawannya. Mereka mungkin saja bukan diasingkan, melainkan mengasingkan diri. Mereka yang berpenampilan seperti ini sering merepotkan guru ketika berada di kelas dan di sekolah serta sangat kuat potensinya berbuat onar.
Anak usia 3- 6 tahun ditandai dengan tahap perkembangan psikoseksual falik (phallic stage), ketika mereka telah melalui pengalaman konkret pada alat kelaminnya. Freud berspekulasi bahwa pada fase tertentu anak-anak secara erotis tertarik pada orang tua yang berlawanan jenis. Anak-anak lagi- laki cenderung mengakami oedipal kompleks, sedangkan anak-anak perempuan mengalami elektra kompleks, sebagaimana telah dijelaskan.
Sebagian besar anak melakukan masturbasi di beberapa titik selama tahap falik (phallic stage). Orang tua mungkin perlu diingatkan bahwa mendukung preposisi bahwa masturbasi berbahaya dengan cara apapun, masturbasi tersebar luas di kalangan anak-anak. Tidak ada bukti ilmiah yang dengan pengecualian pada rasa bersalah dan emosi negatif lainnya yang timbul dari reaksi orang lain.
Meskipun orang tua mungkin akan terkejut ketika mengetahui bahwa anak-anak mereka masturbasi, namun melarang keras praktik semacam itu dapat merusak psikologis anak-anak dari waktu ke waktu. Sebaliknya, orang tua harus membantu anak-anak mereka belajar lebih banyak tentang fungsi yang tepat dari alat kelamin mereka dalam kerangka pergaulan sosial. Selain minat yang tumbuh di tubuh mereka sendiri, anak-anak prasekolah menjadi penasaran terhadap perilaku serupa dari saudara mereka dan teman-teman bermain, terutama dalam kaitannya dengan perbedaan laki-laki dan perempuan.




BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Umur 2 sampai 6 tahun adalah anak usia dini (early childhood) atau tahun-  tahun prasekolah atau masa baik formal maupun nonformal. Pendidikan anak usia dini (PAUD) merupakan upaya pembinaan dan pengebangan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun. Memang, hingga kini masih banyak anak-anak Indonesia yang memasuki PAUD karena aneka alasan dan keterjangkauan. Kegiatan itu dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut.
Di dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas disebutkan bahwa PAUD diselenggarakan sebelum jenjang pendidikan dasar. PAUD dapat diselenggarakan melalui jalur pendidikan formal, nonformal, dan/atau informal. PAUD pada jalur pendidikan formal berbentuk taman kanak-kanak (TK), raudatul athfal (RA), atau bentuk lain yang sederajat. PAUD pada jalur pendidikan nonformal berbentuk kelompok bermain (KB), taman penitipan anak (TPA), atau bentuk lain yang sederajat. PAUD pada jalur pendidikan informal berbentuk pendidikan keluarga atau pendidikan yang diselenggarakan oleh lingkungan.
Perkembangan peserta didik usia 2-6 tahun juga dipengaruhi beberapa factor, seperti keadaan lingkungan, keluarga, teman sebaya serta apa yang diwariskan atau diajarkan oleh orang tua.
B.     Saran
      Penulis menyadari akan kekurangan bahan dari materi makalah ini jadi penulis menyarankan apabila terdapat kekurangan atau isi dari makalah ini maka saran – saran kritik dari pembaca adalah penutup dari semua kekurangan kami dan menjadikan semua itu guna menjadi bahan acuan untuk memotivasi dan menyempurnakan makalah kami.

DAFTAR PUSTAKA

Ali, Mohammad dan Mohammad Asrori. 2004. Psikologi Remaja (Perkembangan Peseta didik). Jakarta. PT. Bumi Aksara.
Danim ,Sundarwan .2013. Perkembangan Peserta Didik .Bandung. Alfabeta
Davidof, Linda L. 1988. Psikologi Suatu Pengantar. Jakarta. Erlangga.
Desmita. 2009. Psikologi Perkembangan Peserta Didik. Bandung. PT. Remaja Rosadakarya.
Muhibbin, Syah. 2008. Psikologi Belajar. Jakarta. PT. Raja Grafindo Persada.
Padmonodewo, Soemiarti. 2000. Buku Ajar Pendidikan Pra Sekolah. Jakarta. Depdikbud, Dirjen Dikti.
Sholehuddin, M. Drs. 1997. Konsep Dasar Pendidikan Pra Sekolah. IKIP Bandung.



[1] Davidof, Linda L. 1988. Psikologi Suatu Pengantar. Jakarta. Erlangga.
[2] Danim ,Sundarwan .2013. Perkembangan Peserta Didik .Bandung. Alfabeta
[3] Desmita. 2009. Psikologi Perkembangan Peserta Didik. Bandung. PT. Remaja Rosadakarya.
[4] Muhibbin, Syah. 2008. Psikologi Belajar. Jakarta. PT. Raja Grafindo Persada.
[5] Sholehuddin, M. Drs. 1997. Konsep Dasar Pendidikan Pra Sekolah. IKIP Bandung.
[6] Padmonodewo, Soemiarti. 2000. Buku Ajar Pendidikan Pra Sekolah. Jakarta. Depdikbud, Dirjen Dikti.
[7] Ali, Mohammad dan Mohammad Asrori. 2004. Psikologi Remaja (Perkembangan Peseta didik). Jakarta. PT. Bumi Aksara.

No comments:

Post a Comment