1

loading...

Rabu, 01 November 2017

MAKALAH SEJARAH KEBUDAYAAN ISLAM MI

MAKALAH
SEJARAH KEBUDAYAAN ISLAM MIPERISTIWA HAJI WADA’ ,WAFATNYA RASULULLAH DAN PROSES PEMILIHAN KHALIFAH PENGGANTI NABI MUHAMMAD SAW


BAB I
PENDAHULUAN

LATAR BELAKANG MASALAH
Mengetahui tantang wafat Rasulullah saw merupakan salah satu cara mengenali karakter dan pribadi Rasulullah saw. Sebagai muslim yang sejati sudah seyogyanya mengenali nabinya, karena beliau adalah uswatunhasana yang bisa di jadikan contoh dalam berprilaku dan bersikap dalam kehidupan sehari-hari.
Dengan wafatnya nabi, berakhirnya situasi yang sangat unik dalam sejarah islam, yakni hadirnya seorang pemimpin. Sementara itu, beliau tidak meninggalkan wasiat atau pesan tentang siapa diantara sahabat yang harus menggantikan beliau sebagai pemimpin. Dalam al-Quran maupun Hadist nabi tidak terdapat petunjuk tentang bagaimana cara menentukan pemimpin umat atau kepala negara sepeninggal beliau nanti,


RUMUSAN MASALAH
1.   Apa Pengertian Dari Haji Wadah ?
2.   Apa Penyebab Rasululla Meninggal ?
3.   Proses Pemilihan Khalifah Pengganti Nabi Muhammad SAW ?

TUJUAN
1.      Untuk Mengetahui Apa Haji Wada’
2.      Untuk Mengetahui Apa Penyebab Meinggalnya Rasulullah
3.      Untuk Mengetahui Proses Pemilihan Khlifah pengganti Nabi Muhammad SAW

BAB II
PEMBAHASAN

A.     Pengertian Haji Wada’
Haji wada’ atau haji perpisahan adalah ibadah haji terakhir yang dilakukan oleh Rasulullah sebelum beliau wafat. Pada bulan zulhijjah tahun 10 H, Rasulullah bersama sekitar 100.000 umat islam berkumpul di padang Arafah untuk melaksanakan ibadah haji. Kemudian di sebut haji wada’ atau haji perpisahan Karena haji tersebut adalah haji terakhir yang di kerjakan oleh Rasulullah SAW. Pada haji wada’ ini, Rasulullah menyembelih seekor unta sebagai korban yang di bagikan kepada umat islam.
Nabi Muhammad memberitahukan kepada para sahabat dan utusan yang menemuinya, bahwa haji yang akan beliau laksanakan pada tahun itu tampaknya haji terakhir. Karena itu kaum muslimin berlomba-lomba untuk menghadiri haji p, yaitu Haji Wada' lebih kurang pada tanggal 18 Dzulhijjah, tahun 10 Hijriyah (kurang lebih 15 Maret 632 Masehi). Ada yang menyatakan terkumpul sekitar 90.000 orang, ada juga 140.000, ada pula 120.000, bahkan ada yang menyatakan lebih dari itu.[1]
1. Peristiwa Haji Wada’ Rasulullah
Selama sembilan tahun tinggal di Madinah, Nabi belum melaksanakan haji. Kemudian pada tahun kesepuluh beliau melaksanakan haji. Rasulullah melaksanakan ibadah hajinya seraya mengajarkan manasik dan sunnah-sunnah haji kepada orang-orang yang menunaikan ibadah haji bersamanya.
Pada hari Arafah, Rasulullah menyampaikan khutbah umum di tengah-tengah kaum  Muslimin yang sedang berkumpul di tempat wuquf. Berikut ini adalah teks khutbah beliau.
“Wahai manusia,  dengarkanlah apa yang hendak kukatakan. Mungkin sehabis tahun ini, aku tidak akan bertemu lagi dengan kalian di tempat ini untuk selama-lamanya.
Hai manusia, sesungguhnya darah dan harta benda kalian adalah suci bagi kalian (yang tidak boleh dinodai oleh siapapun juga) seperti hari dan bulan suci sekarang ini, di negeri kalian ini. Ketahuilah, sesungguhnya segala bentuk perilaku dan tindakan jahiliyah tidak boleh berlaku lagi. Tindakan menuntut balas atas kematian seseorang sebagaimana yang berlaku di masa jailiyah itu pertama kali kunyatakan tidak berlaku ialah tindakan pembalasan atas kematian Ibnu Rabi’ bin Harits.
Riba jahiliyah tidak berlaku, dan riba yang pertama kunyatakan tidak berlaku adalah riba Abbas bin Abdul Muthalib. Sesungguhnya segala macam riba sudah tidak boleh berlaku lagi.
Sesungguhnya jaman berputar seperti kendaraan-Nya pada waktu Allah menciptakan langit dan bumi. Satu tahun adalah dua belas bulan. Empat bulan di antaranya adalah bulan-bulan suci. Tiga bulan berturut-turut, Dzul Qa’dah, Dzul Hijjah, dan Muharram. Bulan Rajab adalah antara bulan Jumadil Akhir dan bulan Sya’ban.
Wahai manusia, dengarkanlah perkataanku dan perhatikanlah! Kalian tahu bahwa setiap orang Muslim adalah saudara bagi orang-orang Muslim yang lain, dan semua kaum Muslimin adalah saudara. Seseorang tidak dibenarkan mengambil sesuatu dari saudaranya kecuali yang telah diberikan kepadanya dengan senang hati.
Kemudian beliau menjama’ takbir shalat maghrib dan isya’ di Muzdalifah, kemudian sebelum terbit matahari beliau berangkat ke Mina, lalu melemparkan Jumratul Aqabah dengan tujuh batu kecil seraya bertakbir di setiap lemparan. Setelah itu beliau pergi ke tempat penyembelihan, lalu menyembelih 63 hewan sembelihan (budnah). Kemudian beliau menyerahkan kepada Ali untuk menyembelih sisanya sampai genap 100 sembelihan. Setelah itu beliau berangkat ke Ka’bah (ifadhah) lalu shalat Dhuhur di Mekkah, dan pergi mendatangi Banu Abdul Muthalib yang sedang mengambil air Zamzam lalu bersambda, “Timbalah wahai Banu Abdul Muthaib, kalau tidak karena orang-orang tersebut bersama kalian, niscaya aku akan menimba bersama kalian.” Kemudian mereka memberikan setimba air kepadanya dan  minum darinya Akhirnya Nabi berangkat kembali ke Madinah.
inti khotbah, pesan dan hikmah yang dapat di ambil dari peristiwa HAJI WADA’ ,yaitu:
Ø     Kaum Muslimin harus mejnaga harta, jiwa dan kehormatan sesama Muslim, tidak boleh   berbuat dzalim kepada sesama muslim.
Ø    Riba adalah haram.
    Ada 4 bulan yang dimuliakan Allah: Dzul Qa’dah, Dzul Hijjah, Muharram, dan Rajab. Pada bulan tersebut kaum Muslimin tidak diperbolehkan berperang.
Hikmah dan pesan utama , dalam khutbahnya Rasulullah menyampaikan juga yang tak kalah pentingnya, di antaranya:
Menetapkan Mekkah dan Madinah sebagai Tanah Suci. Menurut beliau, dengan sucinya tempat ini, maka orang-orang yang berada di wilayah ini harus senantiasa dalam keadaan suci dari segala perbuatan.
Hari raya Idul Adha atau sering juga disebut dengan Hari Raya Haji memiliki banyak makna bagi Ummat Islam. Peristiwa-peristiwa ‘mensejarah’ sangat banyak terjadi di bulan Dzulhijjah ini. Peristiwa-peristiwa yang tentunya dapat diambil pelajaran darinya bagi Ummat Islam yang berusaha ‘bangkit’ mencontoh kejayaan yang telah diraih oleh Nabi Shalallahu ‘alaihi wa salam dan para sahabatnya.
Salah satu peristiwa yang sangat bermakna ialah peristiwa Haji Wada’ tepatnya Khutah pada Haji Wada’ nya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam. Pada haji wada’ inilah turun ayat terakhir darial-Quran yakni al-Maidah ayat 2 . Sangat banyak pesan super penting yang disampaikan oleh Baginda
3
Nabi Shalallahu ‘alaihi wa salam dalam Khutbah Haji Wada tersebut. Salah satu yang menjadi pokok perhatian penulis ialah pentingnya Dakwah dalam kesempurnaan Din al-Islam. Ini tergambar dari kalimat ucapan Nabi yang kira-kira artinya “Hendaklah yang hadir (yang mendengarkan wasiatku ini) meneruskan kepada siapa saja yang tidak hadir.”
Memang, Dakwah adalah salah satu pilar dalam kesempurnaan ajaran Islam. Islam berkembang karena Dakwah. Ajaran Islam menyebar ke seluruh penjuru dunia ialah sebab pertolongan Allah melalui usaha Dakwah yang dilakukan para da’i/ah.[2]

B. WAFATNYA RASULULLAH
      1. Detik-detik perpisahan
      Pada bulan Ramadhan tahun 10 Hijriah, Rasulullah beri’tikaf dua puluh hari, di mana pada (tahun-tahun) sebelumnya beliau tidak pernah beri’tikaf kecuali sepuluh hari saja, dan malaikat Jibril bertadarrus Al-Quran dengan beliau sebanyak 2 kali.
  Dan telah diturunkan kepada beliau di pertengahan hari tasyriq surah An-Nashr, sehingga beliau mengetahui bahwa hal itu adalah perpisahan, dan merupakan isyarat akan (dekatnya) kepergian beliau untuk selama-lamanya.
Di awal bulan Saraf 11 Hijriah, beliau pergi menuju Uhud, keemudian melakukan shalat untuk para syuhada’, sebagai (ungkapan) perpisahan bagi orang-orang yang masih hidup dan yang telah mati. Kemudian beranjak menuju mimbar, dan bersabda,“Sesungguhnya aku akan mendahului kalian dan menjadi saksi atas kalian. Demi Allah, sesungguhnya aku sekarang benar-benar melihat telagaku, dan telah di berikan kepadaku kunci-kunci perbendaharaan bumi atau kuci-kunci bumi, dan demi Allah, sesungguhnya aku tidak mengkhawatirkan kalian akan melakukan kesyirikan sepeninggalanku nanti, akan tetapi akan aku khawatirkan terhadap kalian adalah kalian berlomba-lomba di dalam merebut kekayaan dunia.
      Pada pertengahan suatu malam, Rasulullah keluar menuju (kuburan) Baqi’ untuk memohonkan amponan bagi mereka
2. Permulaan sakit
Pada tanggal 28 atau 29 bulan  Safar tahun 11 Hijriyah (hari senin) Rasulullah menghadiri  penguburan jenazah seorang sahabat di Baqi. Ketika kembali, di tengah perjalanan beliau merasakan pusing di kepalanya dan panas mulai merampat pada sekujur tubuhnya sampai-sampai mereka (para sahabat) dapat merasakan pengaruh panasnya pada sorban yang beliau pakai.
Nabi shalat bersama para sahabat dalam keadan sakit selama  sebelas hari, sedangkan jumlah saklit beliau adalah 13 atau 14 hari.[3]
3. Minggu terakhir
Penyakit Rasulullah semakin berat, sehingga beliau bertanya-tanya kepada Istri-strinya, ‘’Di mana (giliran) ku besok? Di mana (giliran) ku besok? Mereka pun memahami maksudnya, sehingga beliau dizinkan untuk berada pada tempat yang beliau kehendaki. Kemudian beliau pergi ke tempat Aisyah, beliau berjalan dengan diapit oleh al-Fadhl bin al-Abbas dan Ali bin Abi Thalib sedangkan kepalanya di ikat dengan kain, dan beliau melangkahkan kedua kakinya hingga memasuki bilik Aisyah. Beliau menghabiskan minggu terakhir dari detik-detik kehidupannya di sisi Aisyah.
Aisyah  membaca Mu’awwidzat (al-ikhlas, al-Falaq dan an-Nas) dan doabyang di hafal dari rasulullah, kemudian meniupkannya pada tubuh Rasulullah dan mengusapkan tangannya dengan mengharap keberkahan dari hal tersebut.
4. Lima hari sebelum wafat
Hari Rabu, lima hari sebelum wafat, demam menyerang seluruh tubuhnya, hingga sakitnya pun semakin parah dan beliau pingsan karenanya. Ketika sadar beliau berkata, “Siramkanlah kepadaku tujuh gayung air yang beraal dari sumur yang berbeda-beda, sehingga aku bias keluar menemui para sahabat untuk menyampaikan amanat kepada mereka.”. Meraka mendudukkan beliau di sebuah bejana kemudian menyiramkan kepadanya air tersebut, hingga beliau berkata, “Cukup, cukup!”.
Pada saat itu beliau membaik, kemudian masuk kedalam masjid dalam keadaan kepala diikat dengan sorban berwarna hitam, lalu duduk di atas mimbar. Beliau berkhutbah di hadapan para sahabatnya yang berkumpul di sekelilingnya.
Setelah itu beliau turun (dari mimbar) untuk melaksanakan shalat Zhuhur, kemudian duduk di atas mimbar dan mengulangi perkataannya yang pertama tentang permasalahan (antar sesama) dan yang lainnya.

5. Empat hari sebelum wafat
pada hari itu Rasulullah mewasiatkan tiga perkara: yaitu berwasiat untuk mengeluarkan orang-orang Yahudi, Nasrani dan orang-orang musyrik dari jazirah Arab, dan berwasiat untuk memberikan penghargaan kepada para utusan (delegasi) sebagaimana yang telah beliau berikan kepada mereka sebelumnya. Sedangkan wasiat yang ketiga, periwayat hadis ini lupa, barangkali wasiat tersebut adalah wasiat untuk perpegang teguh pada al-Qur’an dan as-Sunnah,atau prngiriman tentara Usamah, atau wasiatnya dalam sabda beliau, “ jagalah shalat dan budak-budak kalian.”[4]
6. Dua atau sehari sebelum wafat
Pada hari sabtu atau hari Ahad Nabi, merasakan penyakit pada dirinyua berkurang, beliau keluar dengan dipapah dua orang untuk menunaikan shalat Zhuhur, sedangkan Abu Bakar tengah melakuykan shalat bersama para sahabat (sebagai imam), ketika Abu Bakar melihatnya ia bergerak mundur. Rasulullah member isyarat dengan kepalanya agar dia tidak mundur.7. Sehari sebelum wafat
 Hari Ahad, sehari sebelum nabi wafat, beliau memerdekakan budak-budaknya, dan bersedekah dengan enam atau tujuh dinar yang dimilikinya serta memberikan senjata-senjatanya kepada kaum Muslimin. Di malam harinya Aisyah membawa lampunya kepada seseorang tetengga perempuan. Aisyah berhata (kepada perempuan tersebut), “Berikanlah kepada kami sedikit dari minyak yang kamu miliki pada lamnpu kami ini.
8. Hari terakhir
Anas bian Malik meriwayakan bahwa pada saat kaun Muslimin shalat subuh pada hari senin dan Abu bakar menjadi imam mereka, Rasulullah secara tiba-tiba mengagetkan mereka dengan membuka tirai kamar Aisyah untuk melihat mereka, sedangkan mereka berada pada barisan shalat.
Ketika beranjak waktu dhuha, Nabi memanggi Fatimah, kemudian membisikan sesuatu kepadanya, dan ia pun menangis. Kemudian memanggilnya lagi dan membisikkan sesuatu yang lainnya, ia pun tertawa. Aisyah berkata, Kami menanyakan (kepadanya) tentang hal itu, yakni pada hari-hari berikutnya, dan Fatimah menjawab, “ Nabi membisikan kepadaku bahwa beliau akan meninggal pada sakit yang beliau derita saat ini, sehingga aku menangis, dan membisikan kepadaku bahwa aku yang pertama kali dari keluarganya yang mengikutinya (meninggal) sehingga aku tertawa.
Nabi memberikan kabar gembira kepada Fatimah bahwa ia adalah penghulu para wanita di dunia.Nabi memanggil al-Hasan dan al-Husain, kemudian mencium keduanya dan berwasiat untuk selalu berbuat baik. Selanjutnya beliau memanggil istri-istrinya kemudian menasihati mereka dan mengingatkan mereka.
Penyakit Rasulullah semakin parah dan bertambah berat, dan muncul (pada tubuhnya) pengaruh racun yang pernah dimakannya pada saat perang Khaibar.
9. Detik-detik kematian
Detik-detik kematian telah tiba, Aisyah menyandarkan tubuh beliau kepadanya, ia berkata, “Termasuk di antara nikmat Allah yang diberikan kepadaku, adalah bahwa Rasulillah wafat di rumahku, di antara paru-paruku dan tenggorokanku, Allah mengumpulkan antara ludahku dan ludahnya pada saat kematiannya. Abdurrahman bin Abu Bakar masuk, di tangannya ada sepotong siwak, sedangkan Rasulullah bersandar pada tubuhku, aku melihat Rasulullah memandang siwak tersebut dan aku tahu bahwa ia menyukai siwak, aku berkata kepadanya, “Maukah aku ambilkan
6
untukmu?” Beliau menganggukan kepalanya bertanda mengiyakan, kemudian aku berikan siwak tersebut kepadanya, akan tetapi siwak tersebut sangat keras baginya, sehingga aku bertanya kepadanya, “maukah aku lunakkan untukmu?” beliau mengisyaratkan dengan kepalanya bertabda mengiyakan, maka akupun melunakannya, kemudian Rasulullah menggosokkannya pada giginya. Di dalam sebuah riwayat lainnya disebutkan, bahwa beliau bersiwak dengan sebaik-baiknya sebagaimana kita lakukan. Di depan beliau ada sebuah bejana berisi air, lalu beliau memasukkan kedua tangannya ke dalam air tersebut kemudian mengusapkannya ke wajahnya kemudian berkata, “la ilaha illallah, sesungguhnya kematian itu mengalami sekarat.”
Tak berapa lama selesai bersiwak, Rasulullah mengangkat tangan atau jarinya dan menatapkan pandangannya keatap, kedua bibirnya bergerak,dan Aisyah mendengarkannya.
Kejadian ini berlangsung pada saat waktu Dhuha sedang panas-panasnya,yaitu pada hari Senin 12 Rabi’ul Awwal tahub 11 Hijriyah, umur beliau saat itu telah mencapai 63 tahub lebih empat hari.
10. Puncak kesedihan para nabi
Tersebarlah  berita yang menyedihkan itu, langit dan penjuru kota Madhina pun menjadi kelabu. Anas berkata, “ aku tidak mendapatkan hari yang lebih indah dan lebih bercahaya dari pada hari di kala Rasulullah memasuki kota Madinah, dan aku tidak pernah menemukan hari yang lebih buruh dan lebih gelap dari pada hari ketika Rasulullah wafat.
11. Sikap Umar
Umar bin al-Khaththab berdiri dan berkata, ‘’Sesungguhnya beberapa orang dari kaum munafik beranggapan bahwa Rasulullah telah wafat! Sesungguhnya Rasulullah itu tidak mati, akan tetapi pergi menemui Tuhannya sebagaimana nabi Musa bin Imran pergi kepadanya, ia pergi meninggalkan kaumnya selama 40 hari, kemudian dia kembali lagi kepada mereka setelah sebelumnya di kabarkan telah mati. Demi Allah, Rasulullah benar-benar akan kembali, sungguh dia akan memotong tangan dan kaki mereka yang menganggap bahwa beliau telah mati.
12. Sikap Abu Bakar
Abu bakar dating dengan menunggang kuda dari tempat tinggalnya di kampong Sunh, kemudian ia turun dan masuk ke dalam masjid, ia tidak berbicara kepada mereka yang hadir, hingga masuk ke bilih Aisyah dan menuju ketempat Rasulullah yang sedang di tutupi dengan kain lebar. Abu Bakar membuka wajahnya, kemudian menundukkan kepala kepadanya, lalu mwncumnya dan menangis.
13. Mempersiapkan dan melepas jasad rasulullah yang mulia ke dalam tanah
Telah terjadi perselisihan dalam masalah kekhalifahan, sebelum mereka mengurus jasad Rasulullah, sehingga berlangsung diskusi, debat, dialog bantah-bantahan antara kaun Muhajirin dan kaum Anshar di Saqifah kebun bani Sa’idah, dan akhirnya mereka sepakat untuk mengangkat Abu Bakar sebagai Khalifah. Dan hal ini berelangsung sepanjang hari Senin hingga masuk waktu malam, kemudian mereka sibuk mengurus jenazah Rasulullah, hingga akhir malam (malam selasa)
mendekati shubu jasad beliau yang diberkahi masih berada di kasur tertutup kain, dan pintunya di tutup bagi orang lain kecuali keluarganya.Pada hari selasa mereka memandikan beliau tanpa melepas pakaiannya, orang-orang yang memandikannya adalah al-Abbas, Ali, al-Fadhl bin al-Abbas, Qutsm bin al-Abbas, Syaqran budak Rasulullah, Usamah bin Zaid dan Aus bin Khauli. Al-Abbas, al-Fadhl dan Qutsm yang membalik jasad beliau, sedangkan Usman dan Syawran yang menyiramkan airnya, sedang Ali yang membasuhnya dan Aus yang menyandarkannya ke dadanya
Beliau dibasuh dengan air dan bidara tiga kali basuhan, dan dimandikan dengan air dari sebuah sumur yang bernama al-Ghars milik Sa’ad Haitsamah di Quba’ yang mana Rasulullah pernah meminum air dari sumur tersebut.
Kemudian mereka mengafaninya dengan tiga helai kain tenunan Yaman. Kain itu berwarna putih, terbuat dari katun, tanpa baju dan surban. Mereka mengenakan pakaian tersebut padanya satu persatu secara berlapis.
Mereka berselisih tentang tempat pemakamannya, Abu Bakar berkata, “Sesungguhnya aku telah mendengar Rasulullah bersabda, ‘Tidaklah seorang Nabi wafat  kecuali di kubur di tempai ia wafat.’ Maka Abu Thalhah mengangkat kasur yang dipakai Rasulullah pada saat meninggal, dan membentul liang lahad.
Orang-orang memasuki kamar secara bergantian sepuluh sepuluh. Mereka menshalatkan Rasulullah secara sendiri-sendiri tanpa ada seorang pun yang mengimami mereka. Pertama kali yang menshalatkan adalah keluarganya, kemudian orang-orang Muhajirin, setelah itu orang-orang Anshar. Para wanita menshalatkannya setelah kaum pria, setelah itu  anak-anak kecil, atau anak-anak kecil dahulu kemudian para wanita
Hal itu berlangsung pada hari Selasa dan terus berlalu hingga tiba malam Rabu, Aisyah berkata, “Kami tidak mengetahui berlangsungnya pemakaman Rasulullah kecuali setelah kami mendengar suara cangkul di tengah malam.” Di dalam sebuah riwayat disebutkan, “pada akhir malam Rabu.”  [5]
C. Proses pemilihan khalifah pengganti nabi muhammad saw
Sistem politik untuk memilih pemimpin/khalifah, dimulai setelah Nabi Muhammad SAW wafat. Ummat sempat bingung untuk menentukan siapa pengganti Rasul untuk memimpin ummat Islam. Orang-orang Anshar (penduduk asli Madinah) sudah pasti akan memilih Sa’ad bin Ubadah sebagai pemimpin dari kelompok Anshar di Saqifah (aula pertemuan) dan mempersilahkan orang-orang Muhajirin (orang-orang Mekkah yang berhijrah ke Madinah) agar memilih pemimpinnya sendiri.
Dari sini sudah cukup jelas bahwa Rasulullah tidak mengatur secara jelas mekanisme pemilihan khalifah/pengganti Rasul secara baku/tetap. Kalau sudah baku sudah pasti tidak ada saling sengketa dan perbedaan pendapat di antara mereka.
Yang bisa menyelesaikan perbedaan pendapat yang berpotensi menimbulkan perpecahan di Saqifah justru argumen yang sangat mantap yang disampaikan oleh Umar bin Khaththab ra. Umar mengusulkan agar masyarakat secara aklamasi mengangkat Abubakar Shiddiq ra sebagai khalifah pengganti Rasul karena berbagai pertimbangan diantaranya:
1.            Beliau orang dewasa pria pertama yang masuk Islam
2.            Beliau pula yang oleh Rasul digelari Ash-Shiddiq
3.            Beliau adalah satu-satunya shahabat yang diajak berhijrah bersama-sama Rasul dan
4.            Beliau satu-satunya yang diijinkan/disuruh oleh Rasul untuk mengimami sholat berjamaah ketika Rasul sakit dan tidak bisa menghadiri /mengimami sholat berjamaah di Masjid Nabawi.
Mengingat kuatnya hujjah Umar tersebut, maka masyarakat baik dari Anshor maupun Muhajirin mengerti dan menerima sepenuhnya bahwa memang tidak ada yang lebih layak menggantikan Rasulullah selain Shahabat Abubakar Shiddiq.
Setelah Khalifah Abubakar wafat, kepemimpinan diganti oleh Umar bin Khaththab berdasarkan surat wasiat Khalifah Abubakar, karena tidak ada shahabat yang lebih mulia dan mengungguli Umar bin Khaththab ra dalam berbagai aspek dan seginya, sehingga tidak ada keberatan apa pun terhadap pengangkatan Umar walau berdasar penunjukan.
Sebelum Amirul Mukminin Umar meninggal , beliau masih sempat menunjuk dewan formatur yang terdiri dari enam Shahabat senior untuk memutuskan siapa bakal pengganti beliau yaitu : Usman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Abdurrahman bin Auf, Zubair bin Awwam, Thalhah bin Zubair dan Saad bin Abi Waqas.
Empat orang diantaranya menyatakan tidak bersedia untuk menjadi Khalifah/Amirul Mukminin, hanya Usman dan Ali yang bersedia dipilih untuk menjadi pengganti Umar.
Mengingat ada dua kandidat calon yang setara ilmu dan jasanya, setara pula dukungannya, maka anggota formatur yang dipimpin oleh Abdurrahman bin Auf pun masih minta masukan secara langsung ke masyarakat untuk turut memilih satu di antara dua calon yang ada.
Abdurrahman bin Auf masih berkeliling ke masyarakat untuk dimintai tanggapannya, baik ke para shahabat senior atau yunior, laki-laki atau perempuan dsb. maka Usman sepakat dipilih sebagai khalifah ketiga. Dari sini jelas, mekanisme mengatur pemimpin menjadi hak masyarakat, bukan penunjukan dari wahyu. Ada proses seleksi, pemilihan, adu argumen, dukung-mendukung dan partisipasi masyarakat yang lebih luas, walau dalam bentuk yang belum baku seperti dalam sistem demokrasi modern.
Begitu hebatnya pemelihan pemimpin pada masa tersebut, sampai-sampai seorang orientalis, Thomas Arnold, pun mengakui, kenyataan tersebut dangan mengatakan bahwa,
9
”sungguh telah terpilih, tanpa diragukan, khalifah yang empat, Abu Bakar, Umar, Ustman dan Ali, tanpa ada unsur pewarisan (kekuasaan) dan juga jauh dari unsur hubungan kerabat dan keluarga”(Abd Syafi` Muh. Abd. Latif :2008).[6]


BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Nabi Muhammad memberitahukan kepada para sahabat dan utusan yang menemuinya, bahwa haji yang akan beliau laksanakan pada tahun itu tampaknya haji terakhir. Karena itu kaum muslimin berlomba-lomba untuk menghadiri haji p, yaitu Haji Wada' lebih kurang pada tanggal 18 Dzulhijjah, tahun 10 Hijriyah (kurang lebih 15 Maret 632 Masehi). Ada yang menyatakan terkumpul sekitar 90.000 orang, ada juga 140.000, ada pula 120.000, bahkan ada yang menyatakan lebih dari itu.
1.  Penunjukan secara langsung karena si calon pemimpin sangat memenuhi krtiteria menjadi pemimpin.
2.  Penunjukan melalui surat wasiat, karena sangat yakin dengan kualitas pemimpin yang akan menggantikannya.
3.  Membentuk anggota formatur yang alim untuk memilih salah seorang dari dua calon pemimpin yang memiliki kualitas yang sama. Kemudian meminta masukan dari masyarakat, siapa yang terbaik di antara keduanya.

SARAN
Demikian makalah yang dapat kami sampaikan kurang lebihnya kami mohon di maafkan, kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan, jika ada kesalahan mohon di ingatkan dan dibenarkan, sebagai perbaikan saya kedepan. Semoga apa yang tertera disini bisa membawa manfaat untuk kita semua dan bisa membawa wawasan kita semua dalam kompeterensi terkait.

DAFTAR PUSTAKA

idup Rasul Yang Agung, Muhammad SAW”, (Jakarta: DARUL HAQ, 2001) hal 697,698,699,700,701,702,703,704
http://islammoderat.com/bagaimana-pemimpin-dipilih/

[3] Syaikh Shafiyyurrahman al-Mubarakfuri, “Sirah Nabawiyah Perjalanan Hidup Rasul Yang Agung, Muhammad SAW”, (Jakarta: DARUL HAQ, 2001) hal 692
[4] Syaikh Shafiyyurrahman al-Mubarakfuri, “Sirah Nabawiyah Perjalanan Hidup Rasul Yang Agung, Muhammad SAW”, (Jakarta: DARUL HAQ, 2001) hal 694

[5] Syaikh Shafiyyurrahman al-Mubarakfuri, “Sirah Nabawiyah Perjalanan Hidup Rasul Yang Agung, Muhammad SAW”, (Jakarta: DARUL HAQ, 2001) hal 697,698,699,700,701,702,703,704

[6] http://islammoderat.com/bagaimana-pemimpin-dipilih/

Selasa, 31 Oktober 2017

MAKALAH SEJARAH DAN KEBUDAYAAN

MAKALAH ILMU SEJARAH DAN KEBUDAYAAN “PENDIDIKAN SEJARAWAN DAN ILMU-ILMU SOSIAL”

BAB I
PENDAHULUAN

1.1  LATAR BELAKANG
Pada saat krisis nasional, seperti jaman perang atau masa penyesuaian sesudah perang, sejrawan akan memperoleh tekanan-tekanan untuk menuliskan kisah perkembangan negerinya secara sentimentil jika perlu dengan sedikit mengorbankan kebenaran. Pengajaran sejarah memang dapat dipergunakan untuk melatih warganegara yang setia jika memang kisah tanah airnya dapat menimbulkan rasa bangga pada diri kaum patriot atau jika kisah itu dapat demikian diubah dan disesuaikan sehingga nampaknya lebih mulia.

2.1                 RUMUSAN MASALAH
1.      Bagaimana hubungan sejarah dengan humaniora dan ilmu-ilmu sosial
2.      Bagaimana hubungan sejarah dengan persoalan-persoalan masa kini
3.      Apasaja nilai dari metode sejarah bagi ilmuwan sosial

BAB II
PEMBAHASAN

A.     PENDIDIKAN SEJARAWAN DAN ILMU-ILMU SOSIAL
2.1  SEJARAWAN SEBAGAI ILMUWAN SOSIAL
Kenyataan bahwa spencer dan banyak tokoh filsuf terkemuka lainnya sama pentingnya bagi ilmuwan humaniora, dan ilmuwan sosial, disamping adanya fakta-fakta lain, menyebabkan kita cenderung kepada kesimpulan bahwa dua jenis sarjana ini terkadang lebih berbeda dalam hal titik berat dan waktu daripada dalam hal pokok pembahasan dan tujuan.  Sejarawan humaniora tidak perlu, tetapi dapat menjadi ilmiawan sosial bagi masa lampau.
Ia tidak perlu menjadi ilmiawan sosial bagi masa lampau, karena cukup terdapat minat kepada masa lampau demi masa lampau itu sendiri, banyak tuntutan akan pemeliharaan warisan budaya, yakni pengalaman, pikiran, adat istiadat, sopan santun, agama, lembaga, tokoh-tokoh, sastra, seni musik, ilmu dan kearifan dari pada masa lampau, untuk membenarkan sikap ilmiawan humaniora yang inginn mencurahkan dirinya kepada contoh unik, wilayah-wilayah yang terisolasi, masa-masa yang jauh, atau garis perkembangan yang khusus. Tetapi ia dapat menghubungkan contoh, wilayah, zaman, dan garis perkembangan itu kepada konsep-konsep dan generalisasi sosialyang lebih luas jika ia mau dan berani melakukan usaha tambahan.

Alcibiades secara yang dapat dibenarkan boleh diperlakukan hanya sebagai seorang jenderal dan politikus Junani, tapi ia dapat pula dipelajari sebagai contoh daripada jenis personalitas militer dan politik. Perang salib kanak-kanak di lukiskan hanya sebagai kisah mengenai peristiwa yang patetis dalam tahunn 2012, tetapi dapat pula dipergunakan untuk memberi ilustrasi bagi sejumlah konsepsi mengenai psikologi kanak-kanak, perilaku sosial, dan pengalaman keagamaan, puisi John  Dryden menimbulkan kepuasan apabila diperiksa hanya untuk “scansion”, kosa kata atau “phrasing” tetapi puisi itu dapat pula dipergunakan sebagai sumber bagi sejarah gagasan dan bagi suasana intelektual sezaman atau sebagai bagian daripada ideologi yang kontinyu umat manusia.[1]

2.2  SEJARAH BERHUBUNGAN DENGAN HUMANIORA MAUPUN ILMU-ILMU SOSIAL
Disini ditegaskan, bahwa rekonstruksi-rekonstruksi itu harus di bangun sesuai dengan aturan-aturan tertentu. Jika aturan-aturan itu diterapkan, sejarawan tidak hanya akan bertindak secara ilmiah dalam mempergunakan metode untuk  mengumoulkan data elementer, melainkan juga dapat mengusahakan pemakaian prosedur ilmiah (dalam batas-batas yang sangat jelas) dalam usaha menghimpun data, hal ini diketengahkan tanpa melibatkan pengarang kepada salah satu pihak dalam rangka debat yang telah berabat-abat lamanya. Apakah sejarah adalah atau seharusnya hanyalah termasuk golongan humaniora atau ilmu-ilmu sosial.
Pada hemat kami, salah satu mungkin benar atau dua-duanya mungkin benar. Sejarah dapat memiliki sifat ilmu-ilmu sosial, dan dapat kita harapkan bahwa dalam hal itu akan dapat diperoleh kemajuan-kemajuan. Tetapi sejarah juga menaruh minat kepada masa lampau demi masa lampau itu sendiri beserta manusia individual dan beserta tindakan khusus atau garis perkembangan khusus manusia, karena manusia menarik hati sebagai manusia.

Jika sejarawan yang menganggap dirinya pengawal daripada warisan budaya dan penafsir daripada perkembangan manusia, juga ingin memperoleh generalisasi-seneralisasi yang nampaknya sah serta memberikan keterangan-keterangan yang berguna mengenai perkembangan masa kini, fikiran, sopan santun, dan lembaga maka oleh usaha tambah itu ia tidak berkurang kedudukannya selaku sejarawan, jikapun tidak malahan bertambah. Jika ia lebih suka untuk tidak melakukan usaha tambahan itu, ia masih merupakan sejarawan yang baik. Sejarawan sebagai ilmiawan sosial dan sejarawan ilmiawan humaniora, tidak perlu menjadi dua orang yang terpisah dengan mudah bisa menjadi satu. Dan manfaat dari pada yang satu itu, kepada baik humaniora maupun ilmu-ilmu sosial akan sangat bertambah jika ia tidak bertindak schizophrenis.[2]

2.3  HUBUNGAN ANTARA HUMNIORA DAN ILMU-ILMU SOSIAL
Karena beda antara humaniora dan ilmu-ilmu sosial dengan mudah dapat dilebih-lebihkan. Pokok pembahasan yang semestinya daripada kedua bidang itu adalah manusia sebagai makhluk budaya, makhluk intelektual, dan makhluk sosial. Kedua bidang ini menemukan generarisasi-generalisasi, meskipun ilmuwan sosial biasanya lebih berminat kepada ramalan dan pengendalian, dibandingkan dengan homaniora yang biasanya lebih berminat kepada contoh yang baik, terlebih-lebih lagi yang luar biasa, dibandingkan dengan ilmuwan sosial. Kedua bidang berminat kepada masa lampau, masa kini, dan masa depan, (meskipun ilmuwan humaniora cenderung untuk menitik beratkan diri kepada masa lampau sedangkan ilmuwan sosial lebih menitikberatkan diri kepada masa kini dan masa depan).

Dalil filologi Grimm mengenai persesuaian konsonan tidak kalah sifatnya sebagai generalisasi ilmiah daripada dalil sosiologi Vierkandt mengenai pergantian tahapan destruktif dan konstruktif didalam revolusi atau dalil ekonomi Gresham mengenai hubungan antara uang baik dan uang buruk, dan tidak pula tanpa arti bagi ilmuwan sosial. Bahkan sesungguhnya dalil itu lebih tergantung kepada observasi ahli daripada dalil Vierkandt dan Gresham dan lebih jauh daripada obrolan pinggir jalan.

Mereka yang tidak mau mengakui hubungan yang erat antara humaniora dan ilmu-ilmu sosial besar kemungkinannya tidak banyak mengetahui mengenai ilmu sosial yang baik yang telah dikemukakan pada masa lampau oleh para filsuf dan sastrawan, atau mengenai akal yang sehat yang sekarang diajukan oleh ilmuwan sosial. Baik ilmuwan humaniora maupun ilmuwan sosial tidak akan berani mengabaikan filsuf Herbert Spencer.akan tetapi andaikata ia kebetulan menjadi penting sebelum sosiologi yang pada masa sekarang akan mengabaikannya, dan andaikata ia menulis pada masa sekarang, maka banyak ilmuwan humaniora yang akan menganggap sepi kepadanya, untuk beberapa tahun kemudian menuliskan karangan-karangan ilmiah mengenai dia dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan yang pada hari ini akann diajukan mengenai oleh sarjana sosiologi, sedangkan para ahli sosiologi pada dasawarsa yang akan datang itu, yang sudah mulai melupakannya, akan mulai mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang sama mengenai tokoh yang lebih hampir sezaman.

2.4  SEJARAWAN DAN MASALAH-MASALAH MASA KINI
Telah dikatakan bahwa “suatu Gesetzwissenschaft mempergunakan suatu kasus tunggal semata-mata untuk membantunya mengerti suatu prinsip umum, sedangkan suatu Gesetzwissenschaft mempergunakan suatu prinsip umun semata-mata untuk membantunya mengerti satu kasus tunggal”. Pentingnya mengerti prinsip-prinsip umum, yakni mengetahui apakah kasus-kasus tunggal yang mereka bahas cocok di dalam salah satu generalisasi atau typikasi, sering luput dari perhatian sejarawan. Itulah sebab mengapa sejarawan kadang-kadang tidak lebih daripada hanya antn ia tidak antiquarianisme saja, suatu usaha untuk mneceritakan suatu kisah selengkap-lengkapnya mengenai sesuatu dalam masa lampau yang mungkin menarik sejarawan, meskipun ia tidak mampu atau tidak merasa terpanggil untuk menerangkan mengapa harus pula menarik minat orang lain.
Penggunaan ilmu-ilmu sosial yang lebih banyak oleh sejarawan dalam usahanya untuk memberikan ilustrasi atau menguji dan menyesuaikan atau mengambil alih generalisasi-generalisasi dan klasifikasi-klasifikasi dari pihak sarjana-sarjana sosiologi pada waktu akhir ini telah di anjurkan oleh beberapa sejawan, terutama oleh sejarawan Amerika Serikat.[3]

2.5  SEJARAH DAN PENGERTIAN-PENGERTIAN ILMU SOSIAL
Meskipun ada terdapat kekhawatiran-kekhawatiran yang tegas dan luas namun penggunan daripada generalisasi-generalisasi ilmu sosial oleh sejarawan terus bertambah. Misalnya, bukanlah suatu kebetulan bahwa pada masa yang akhir-akhir ini telah terdapat demikian banyak perhatian terhadan sejarah kota, kereta api dan perniagaan, kepada sejarah harga-harga dan pemikiran sosial, kepada sosial ekonomi daripada perang, serta kepada pengembangan lembaga-lembaga internasional.

Lingkupan perhatian sejarawan cenderung untuk dikuasai oleh hukum permintaan dan penyediaan, sedangkan kebutuhan disiplin-disiplin lain akan data jenis tertentu. Mendorong sejarawan untuk berusaha memenuhi kebutuhan itu. Dengan melakukan hal itu ia berusaha* untuk menemukan kasus-kasus tunggal yang akan memberikan ilustrasi kepada generalisasi ilmu sosial.** untuk menemukan kasus-kasus tunggal yang akan membantah suatu generalisasi ilmu sosial dan*** untuk menerapkan sebuah generalisasi ilmu sosial kepada suatu trend sejarah atau suatu seri daripada peristiwa-peristiwa yang bersamaan. Didalam ketiga usaha itu sambil bekerjasama dengan  Gesetzwissenschaft yang bersangkutan, sejarawan berusaha untuk mengubah, memperkuat, atau mengajukan perkecualian terhadap suatu gagasan umum yang dipinjam dari disiplin-disiplin sosial lain biasanya dengan harapan bahwa dalil sosiologi akan sedikit menyinari hubungan kausal di antara gejala-gejala sejarah.[4]

2.6  NILAI DARIPADA METODE SEJARAH BAGI ILMUWAN SOSIAL
Sejarawan juga membuat sejumlah besar generalisasi yang bersifat metodologi yang diabaikan oleh sarjana-sarjana ahli masyarakat, dengan akibat yang merugikan. Bahkan Thomas dan Znaniecki menggunakan otobiografi dan surat-surat kepada redaksi surat kabar tanpa menyelidiki secara cermat otensitas atakukredibilitasnya ilmuwan sosial yang kurang kalibernya lebih banyak lagi berbuat salah dalam hal ini.

Ilmuwan sosial lebih sering daripada sejarawan berbuat salah dalam menggunakan questionaire yang “menyesatkan”. Mereka juga sering, lebih daripada sejarawan, cenderung untuk mempercayai dokumen-dokumen pemerintah secara tidak kritis dan menerima baik sejarah-sejarah resmi tanpa kecurigaan. Tambahan pula, terkadang mereka menggunakan karangan sejarah yang bersifat sekunder tanpa analisa yang seksama mengenai mutu dan sumber-sumber informasinya atau tanpa mempertimbangkan adanya madzab-madzab pemikiran yang bertentangan. Misalnya saja, satu studi mengenai sejarah alamiah daripada revolusi yang semata-mata didasarkan atas hasil karya sejarawan-sejarawan liberal, patut di kritik sebagai berat sebelah. Bahkan pernah dikatakan, barangkali tidak secara sepenuhnya beralasan, bahwa jika seorang sejarawan jarang menerima baik sesuatu pertelaan sekunder  kecuali sebagai suatu titik tolak bagi pertelan yang lebih baik, maka seorang ilmuan sosial mungkin menerimanya sebagai sumber data secara tidak kritis.

Kadang-kadang ilmuwan sosial sama sekali mengabaikan informasi sejarah. Sekali-kali kita mempunyai perasaan bahwa ilmuwan sosial mengharap bahan-bahan yang dikenal secara ruet sebagaimana yang dikatakan seseorang yang sinis. Mereka menghabiskan ribuan sinyal untuk mengetahui lokasi rumah-rumah pelacuran padahal “survival” atau kesaksian yang lebih awal  mungkin akan dapat memberikan informasi yang dikehendaki secara sederhana.
Jika sejarawan sering memperlihatkan hasrat yang partikularistis akan antiquwarianisme yang kering, maka sejarah sosiologi seringkali memperlihatkan preferensi terhadap statistik, qwantum dan pengukuran-pengukuran yang pengeterapannya nampaknya jauh daripada faedah sosial maupun makna sejarah.
Tambahan pula, sejarawan terkadang mempunyai perasaan bahwa beberapa generalisasi sosialogi yang menyangkut jenis atau siklus, paling jauh hanya merupakan “Hunches” atau perumpamaan dan bukan merupakan hipotese kerja.[5]

BAB III
PENUTUP


3.1  KESIMPULAN
Pada dasarnya, sejarawan-sejarawan memiliki keterkaitan dan hubungan yang erat dengan ilmu-ilmu sosial dan humaniora.  Metode-metode sejarah yang digunakan para sejarawan  memiliki nilai terhadap ilmu-ilmu sosial. Dapa perkembangangannya, sejarah juga memiliki pengaruh besar bagi perkembangan zaman yang semakin modern atau masakini. Dan para sejarawanjuga mengkaji masalaah-masalah masa kini. Sejarah juga memiliki hubungan dengan humaniora dan ilmu-ilmu sosial lainnya. Sehingga menyebabkan mereka memiliki keterkaitan yang kuat diantara masing-masing.
3.2  SARAN
Penulis menyadari dalam pembuatan makalah ini masih banyak terdapat kesalahan dan kekeliruan. Untuk itu, penulis mengharapkan kritik serta saran dari pembaca dan Dosen Pengampuh Program Studi Sejarah dan Kebudayaan, agar makalah ini dapat menjadi lebih baik.
Penulis juga berharap makalah ini dapat memberikan manfaat serta dapat menambah wawasan dan ilmu pengetahuan pembaca.
                                                           DAFTAR PUSTAKA
Gottschalk, Louis, Notosunanto Nugroho, Mengerti Sejarah, Jakarta:  Penerbit  Universitas Indonesia,1985.



[1] Gottschalk, Louis, penerjemah: Nugroho Notosumanto, Understanding History, Mengerti Sejarah, (Jakarta: UI-Press, 1986), hlm. 21-22.
[2] Gottschalk, Louis, penerjemah: Nugroho Notosumanto, Understanding History, Mengerti Sejarah, (Jakarta: UI-Press, 1986), hlm. 20-21.
[3] Gottschalk, Louis, penerjemah: Nugroho Notosumanto, Understanding History, Mengerti Sejarah, (Jakarta: UI-Press, 1986), hlm. 183.
[4] Gottschalk, Louis, penerjemah: Nugroho Notosumanto, Understanding History, Mengerti Sejarah, (Jakarta: UI-Press, 1986), hlm. 184
[5] Gottschalk, Louis, penerjemah: Nugroho Notosumanto, Understanding History, Mengerti Sejarah, (Jakarta: UI-Press, 1986), hlm. 189-190.

MAKALAH PANCASILA

MAKALAH PANCASILA POLA PELAKSANAAN PEDOMAN PENGHAYATAN DAN PENGAMALAN PANCASILA

BAB I
PENDAHULUAN
1.1  LATAR BELAKANG
Setelah kita memiliki P-4, agar pancasila itu benar-benar terasa dalam kehidupan sehari-hari dan dengan demikian sekaligus melestarikan Pancasila, maka kita perlu melaksanakan P-4, dengan mendarah dagingkan nilai-nilai luhur yang terkandung dalam Pancasila dan yang sudah lebih terperinci dalam P-4.
Dengan perkataan lain, dengan petunjuk P-4 itu kita masing-masing harus berusaha agar nilai-nilai, norma-norma, sikap dan tingkah laku yang dijabarkan dari kelima Sila dan Pancasila itu benar-benar menjadi bagian yang utuh dan tuntunan yang diberian oleh P-4 itu menyatu dengan kepribadian setiap manusia Indonesia, oleh karenanya dapat mengatur dan memberi arah tingkah laku dan tindak tanduknya.

2.1  RUMUSAN MASALAH
1.      Apa makna dari Pancasila sebagai moral pembangunan
2.      Apa saja peran kepemimpinan dalam rangka pelaksanaan P-4
3.      Apa saja pola pelaksanaan P-4 dan jalur-jalur yang digunakan

BAB II
PEMBAHASAN

2.1  PANCASILA SEBAGAI MORAL PEMBANGUNAN
 Dengan bekal penghayatan Pancasila dan dengan pengamalan Pancasila oleh setiap manusia di Indonesia, maka gerak pembangunan yang kita lakukan bersama-sama akan berjalan lurus dan tiba dengan selamat pada tujuannya. Unsur manusia dalam pembangunan ini sangat penting sebab manusia adalah pelaku dan sekaligus tujuan pembangunan. Karena pancasila adalah dasar dan juga tujuan kehidupan bangsa ini. Maka setiap gerak, arah, dan cara kita melaksanakan pembangunan itu juga harus senantiasa dijiwai oleh Pancasila.
Pembangunan ini bukan saja harus mendatangkan kemakmuran, akan tetapi juga harus menjamin keadilan sosial. Bukan saja berisi bidang kebendaan lahiriah, akan tetapi juga dalam  keseimbangannya dengan bidang kejiwaan rohaniah. Bukan hanya berkembang di suatu daerah melainkan harus merata ke seluruh wilayah tanah air.
Republik Indonesia lahir sebagai hasil perjuangan bangsa melawan penjajahan. Dari hasil perjuangan kemerdekaan tersebut dibentuklah pemerintah negara Indonesia yan berkedaulatan rakyat berdasar Pancasila. Dengan demikian, Pancasila juga merupakan suatu hasil perjuangan yang sekaligus menjadi sumber inspirasi perjuangan bagi bangsa Indonesia yang membangun suatu negara yang sanggup melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
Pembangunan bangsa di berbagai bidang perlu dan memang sudah ditangani dengan segala kecermatan perencanaan dan keahlian serta ketekunan pelaksanaan. Hasil yang telah dicapai hingga sekarang cukup memadai. Namun, harus diakui bahwa disamping keberhasilan yang nyata, proses pembangunan kita selama ini telah mencatat pula berbagai kelemahan dan kekurangan di bidang tertentu, serta akibat sampingan yang tak terduga.
Disamping berbagai faktor lainnya, adanya kekurangan dan akibat samping tadi, pada akhirnya faktor yang menentukan dalam setiap pembangunan itu adalah manusia yang harus mewujudkan dan melaksanakan rencana pembangunan tersebut.

2.2  PERAN KEPEMIMPINAN DALAM RANGKA PELAKSANAAN P-4
A.     Kedudukan dan pengertiam kepemimpinan
Keberhasilan upaya memasyarakatkan P-4 ditandai oleh menjelmanya P-4 yang mengandung 36 butir menjadi tatanan yang ditaati oleh segenap anggota masyarakat sebagai tatanan untuk hidup bersama dalam linngkungan sosialnya.
Pada ptaran atau giliran beriutnya dan dalamm tingkatan yang lebih mendalam tatanan tersebut akan menjelma menjadi keseluruhan tata pikir, pikran, sikap, tingkah laku, dan erbuatan segenap anggota masyarakat yang membuahkan hasil nyata didalam lingkungan masyarakat tersebut. Hal ini merupakan tanda keberhasilan upaya membudayakan P4.
Dengan demikian keberhasilan kedua rangkaian upaya terpadu tersebut (Memasyarakatkan dan Membudayakan) ditentukan oleh tiga unsur berikut. Yaitu :
·         Unsur kelompok manusia sebagai pelaku, sebagai anggota masyarakat, yang menjalin hubungan satu dengan yang lain dan salingmempengaruhi. Berganntung kepada kadar pengetahuan dan mutu sikap, tingkah laku, serta perbuatan manusia-manusia itulah terwujudnya tata cara dan corak jalinan hubungan antar mereka.
·         Unsur masyarakat dan lingkungan sebagai wadah dari para anggotanya. Masyarakatsebagai wadah terbentuk oleh adanyan tata hubungan antar individu yang diakibatkan oleh persamaan, tempat tinggal, kepentingan, lapangan kerja, dan  lain-lain.
·         Unsur pemimpin atau kepemimpinan yang memadukan kedua unsurtersebut diatas dan memadu serta membimbingnya ke arah terwujudnya tata kehidupan yang berkebudayaan dalam rangka mempertahankan dan mengejar kehidupan yang lebih baik sesuai dengan naluri manusia.


B.     Tugas dan fungsi kepemimpinan
a.       Integritas dengan Lingkungan
Modal awal yang mula-mula harus dimiliki oleh seorang pemimpin adalah menempatkan diri di tengah lingkungan masyarakat dan menyatukan dirinya dalam sistem tata sosial yang berlaku. Dengan kedudukan tersebut, seorang pemimpin pada tahap selanjutnya harus benar-benar mengenal kemampuan lingkungan dalam memikul beban. Dengan demikian semua cetusan gagasannya, ajakan, dan ungkapannya akan selalu dalam ambang batas kemampuan masyarakat atau lingkungan.
b.      Pemberian teladan
Sikap, tingkah laku, dan perbuatan  pemimpin harus selalu sesuai dengan norma yang berlaku dengan disertai kesadarannya. Hal tersebut pada saatnya akan menjadi teladan normatif bagi para anggota masyarakat.
c.       Meyakinkan orang
Membangktkan motivasi orang lain sebagai upaya awal menumbuhkan kesadaran dan niatnya untuk berbuat baik bagi masyarakat.
d.      Mendidik
Seorang pemimppin dengan melalui proses belajar mengajar, mendidik dan melatih harus mampu mengalihkan, mengembangkan pengetahuan tentang P-4 untuk dihayati oleh setiap anggota masyarakat,  menanamkan sikap dan tingkah laku, serta memberikan keterampilan untuk mengamalkannya dalam kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat, bangsa dan negara.
e.       Mengendalikan
Mengendalikan, menggerakkan, mengarahkan, dan mengendalikan kegiatan semua anggota masyarakat untuk mewujudkan Pancasila menjadi kenyataan yang dapat diamati dan dirasakan di dalam kehidupan masyarakat.

C.     Prinsip utama kepemimpinan
Kelima fungsi kepemimpinan seperti diuraikan diatas pada ahakikatnya adalah terapan dari prinsip utama kepemimpinan sebagai berikut :
a.       Keseluruhan sikap, tingkah laku, dan perbuatan seorang pemimpin harus sesuai dengan norma yang berlaku, sehingga otrang yang dipimpinnya menjadikannya sebagai teladan, panutan, dan mengikutinya.
b.      Seorang pemimpin harus mampu memotivasi dan membangkitkan tekad serta semangat orang-orang yang dipimpinnya untuk berswakarsa, berkreasi, dan berkehendak berbuat.
c.       Seorang pemimpin harus mendorong dan mengedepankan orang-orang yang dipimpinnya seraya membekalinya dengan kemampuan nyata (keterampilan) serta memperbaikinya apabila ada kekurangan.

D.     Syarat pendukung
Tiga prinsip utama sebagaimana diuraikan diatas akan lebih mudah melaksanakannya apabila seorang pemimpin memiliki 8 (delapan) bekal pangkal pada dirinya (kepribadiannya), serta mengerjakan 5 (lima) amal sehingga dengan demikian, ia akan memperoleh kehormatan, kewibawaan, dan terpercaya.
a.       Delapan bekal pangkal tersebut ialah suatu gejala yang melekat pada jiwanya, drinya dan berkaitan erat satu dengan yang lain, yakni : jujur, wajar, tegas dan sederhana, sedangkan empat lainnya adalah: jiwa besar, pandangan jauh kedepan, mawas diri, dan ingin tau.
b.      Lima hal berikut ini mungkin diamalkan oleh seorang pemimpin yang telah memiliki 8 (delapan) bekal pangkal. Kelima amal ttersebut ialah : pengabdian, adil-bijaksana, bertanggung jawab, mengayomi, dan berani serta mampu mengatasi kesulitan. Amal tersebut merupakan niat dan karya yang dirasakan oleh orang lain (yang memimpinnya).
c.       Sebagai akibat dari lima amal yang menggunakan delapan bekal pangkal, maka seorang pemimpin akan memperoleh kehormatan dari yang dipimpinnya berupa : berwibawa dan terpercaya.

E.      Pola pelaksanaan P-4
Untuk melaksanakan P-4 perlu usaha yang dilakukan secara berencana dan terarah berdasarkan satu pola. Tujuannya adalah agar Pancasila sungguh-sungguh dihayati dan diamalkan oleh segenap warga negara, baik dalam kehidupan seseorang maupun dalam kehidupan kemasyarakatan. Berdasarkan pola itu diharapkan lebih terarah usaha-usaha  :
v  Pembinaan manusia Indonesia agar menjadi insan Pancasila.
v  Pembangunan bangsa untung mewujudkan masyarakat Pancasila.
Sasaran pelaksanaan P-4 adalah perorangan, keluarga, dan masyarakat. Baik di lingkungan tempat tinggal masing-masing maupun di lingkungan tempat bekerja.langkah pertama adalah dengan penataran pegawai Republik Indonesia, karena mereka adalah abdi masyarakat yang pertama-tama harus menghayati dan mengamalkan pancasila. Langkah selanjutnya ialah menyebarluaskannya kepada seluruh lapisan masyarakat dengan menggunakan berbagai jalur dan penciptaan suasana yang menunjang, antara lain :
1.      Jalur-jalur yang digunakan
a.       Jalur pendidikan
Dalam pelaksanaan P-4, maka peranan pendidikan sangat penting, baikpendidikan di sekolah (formal) maupun pendidikan di luar sekolah (nonformal) yang terlaksana di dalam keluarga, sekolah, dan lingkungan masyarakat.

b.      Keluarga
Dalam pendidikan, sebenarnya peranan keluarga tidak kalah artinya dibanding dengan peranan sekolah. Bahkan pengaruh keluarga jauh mendahului sekolah. Oleh karena itu, pembinaan keluarga agar menjadi linngkungan yang benar-benar dijiwai oleh nilai-nilai moral pancasila harus menjadi kesadaran masyarakat.
c.       Sekolah
Semua unsur didalam lembaga pendidikan formal dalam tindak-tanduknya hendaklah mencerminkan nilai-nilai luhur pancasila.. para Guru yang menjadi contoh peserta didik hendaklah benar-benar menghayati dan mengamalkan pancasila.
d.      Lingkungan
Pengaruh lingkunngan terhadap pertumbuhan generasi muda sangat besar. Oleh karena itu, lngkungan masyarakat perlu dibina dengan sungguh-sungguh agar menjadi tempat yang subur bagi pelaksanaan P-4.
e.       Jalur media massa
Walaupun pola pelaksanaan P-4 melalui media massa dapat pula digolongkan sebagai salah satu aspek jalur pendidikan dalam arti luas. Namun peranan media massa sedemikian pentingnya sehingga perlu mendapat penonjolannya sebagai suatu jalur tersendiri.
2.      Penciptaan suasana yang menunjang
a.       Kebijaksanaan Pemerintah dan Peraturan Perundang-undangan
Semangat dan isi berbagai kebijaksanaan pemerintah dan peraturan perundang-undangan haruslah secara sadar mencerminkan jiwa dan norma-norma pancasila. Penjabaran kebijaksanaan pemerintah dan perundang-undangan merupakan salah satu jalur yang dapat memperlancar pelaksanaan P-4, sehingga dapatlah dilembagakan suatu sistem masyarakat yang menunjang pengamalan pancasila dalam segala segi kehidupan bangsa dan negara.
b.      Aparatur Negara
Dalam hubungan ini aparatur pemerintah sebagai pelaksana danpengabdi kepentingan rakyat hendaklah berusaha memahami perasaan yang hidup di dalam masyarakat. Sarana maupun prasarana dalam masyarakat yang menunjang pelaksanaan P-4 perlu disediakan.
c.       Kepemimpinan dan Pemimpin Masyarakat
Peranan kepemimpinan dan pemimpin masyarakat, baik pemimpin formal maupun informal adalah penting sekali dalam pelaksanaan P-4. Mereka dapat menyampaikan P-4 kepada masyarakat sekitarnya dengan bahasa dan cara yang mudah dipahami dan dihayati oleh masyarakat. Pemimpin itu meliputi seluruh strata dalam masyarakat, seperti golongan agama, pegawai Republik Indonesia, petani, buruh, nelayan, pemuda, wanita, pemuka adat, dan semua pemimpin rakyat.
3.      Pendekatan sasaran khalayak
Masyarakat indonesia adalah masyarakat yang berbhineka dan heterogen. Karena itu dalam memasyarakatkaan dan membudayakan P-4 harus memperhatikan sasaran khalayak. Untuk itu perlu dipilih metode tertentu untuk sasaran khalayak tertentu, memberi contoh yang didukung oleh nilai budaya luhur yang dianut khalayak tertentu dan penyampaian gagasan dengan dialog yang terbuka dan jujur.

Maka dari itu, semua pihak harus diberi peluang dan kebebasan untuk mengenmabngkan diri agar tetap terus terpeliharanya kreativitas dan prakarsa serta dinamika kehidupan bermasyarakat, bebangsa, dan bernegara.

DAFTAR PUSTAKA
Pedoman Penghayatan dan pengamalan Pancasila, (Jakarta : BP-7 PUSAT, 1996)