PENDAHULUAN
1.1
LATAR BELAKANG
Pada
saat krisis nasional, seperti jaman perang atau masa penyesuaian sesudah
perang, sejrawan akan memperoleh tekanan-tekanan untuk menuliskan kisah
perkembangan negerinya secara sentimentil jika perlu dengan sedikit
mengorbankan kebenaran. Pengajaran sejarah memang dapat dipergunakan untuk
melatih warganegara yang setia jika memang kisah tanah airnya dapat menimbulkan
rasa bangga pada diri kaum patriot atau jika kisah itu dapat demikian diubah
dan disesuaikan sehingga nampaknya lebih mulia.
2.1
RUMUSAN MASALAH
1.
Bagaimana hubungan sejarah dengan
humaniora dan ilmu-ilmu sosial
2.
Bagaimana hubungan sejarah dengan
persoalan-persoalan masa kini
3.
Apasaja nilai dari metode sejarah
bagi ilmuwan sosial
BAB II
PEMBAHASAN
A.
PENDIDIKAN SEJARAWAN DAN
ILMU-ILMU SOSIAL
2.1
SEJARAWAN SEBAGAI ILMUWAN SOSIAL
Kenyataan bahwa spencer
dan banyak tokoh filsuf terkemuka lainnya sama pentingnya bagi ilmuwan
humaniora, dan ilmuwan sosial, disamping adanya fakta-fakta lain, menyebabkan
kita cenderung kepada kesimpulan bahwa dua jenis sarjana ini terkadang lebih
berbeda dalam hal titik berat dan waktu daripada dalam hal pokok pembahasan dan
tujuan. Sejarawan humaniora tidak perlu,
tetapi dapat menjadi ilmiawan sosial bagi masa lampau.
Ia tidak perlu menjadi
ilmiawan sosial bagi masa lampau, karena cukup terdapat minat kepada masa
lampau demi masa lampau itu sendiri, banyak tuntutan akan pemeliharaan warisan
budaya, yakni pengalaman, pikiran, adat istiadat, sopan santun, agama, lembaga,
tokoh-tokoh, sastra, seni musik, ilmu dan kearifan dari pada masa lampau, untuk
membenarkan sikap ilmiawan humaniora yang inginn mencurahkan dirinya kepada
contoh unik, wilayah-wilayah yang terisolasi, masa-masa yang jauh, atau garis
perkembangan yang khusus. Tetapi ia dapat menghubungkan contoh, wilayah, zaman,
dan garis perkembangan itu kepada konsep-konsep dan generalisasi sosialyang
lebih luas jika ia mau dan berani melakukan usaha tambahan.
Alcibiades secara yang
dapat dibenarkan boleh diperlakukan hanya sebagai seorang jenderal dan
politikus Junani, tapi ia dapat pula dipelajari sebagai contoh daripada jenis
personalitas militer dan politik. Perang salib kanak-kanak di lukiskan hanya
sebagai kisah mengenai peristiwa yang patetis dalam tahunn 2012, tetapi dapat
pula dipergunakan untuk memberi ilustrasi bagi sejumlah konsepsi mengenai
psikologi kanak-kanak, perilaku sosial, dan pengalaman keagamaan, puisi John Dryden menimbulkan kepuasan apabila diperiksa
hanya untuk “scansion”, kosa kata atau “phrasing” tetapi puisi itu dapat pula
dipergunakan sebagai sumber bagi sejarah gagasan dan bagi suasana intelektual
sezaman atau sebagai bagian daripada ideologi yang kontinyu umat manusia.[1]
2.2
SEJARAH BERHUBUNGAN DENGAN
HUMANIORA MAUPUN ILMU-ILMU SOSIAL
Disini ditegaskan, bahwa
rekonstruksi-rekonstruksi itu harus di bangun sesuai dengan aturan-aturan
tertentu. Jika aturan-aturan itu diterapkan, sejarawan tidak hanya akan
bertindak secara ilmiah dalam mempergunakan metode untuk mengumoulkan data elementer, melainkan juga
dapat mengusahakan pemakaian prosedur ilmiah (dalam batas-batas yang sangat
jelas) dalam usaha menghimpun data, hal ini diketengahkan tanpa melibatkan
pengarang kepada salah satu pihak dalam rangka debat yang telah berabat-abat
lamanya. Apakah sejarah adalah atau seharusnya hanyalah termasuk golongan
humaniora atau ilmu-ilmu sosial.
Pada hemat kami, salah
satu mungkin benar atau dua-duanya mungkin benar. Sejarah dapat memiliki sifat
ilmu-ilmu sosial, dan dapat kita harapkan bahwa dalam hal itu akan dapat
diperoleh kemajuan-kemajuan. Tetapi sejarah juga menaruh minat kepada masa
lampau demi masa lampau itu sendiri beserta manusia individual dan beserta
tindakan khusus atau garis perkembangan khusus manusia, karena manusia menarik
hati sebagai manusia.
Jika sejarawan yang
menganggap dirinya pengawal daripada warisan budaya dan penafsir daripada
perkembangan manusia, juga ingin memperoleh generalisasi-seneralisasi yang
nampaknya sah serta memberikan keterangan-keterangan yang berguna mengenai
perkembangan masa kini, fikiran, sopan santun, dan lembaga maka oleh usaha
tambah itu ia tidak berkurang kedudukannya selaku sejarawan, jikapun tidak
malahan bertambah. Jika ia lebih suka untuk tidak melakukan usaha tambahan itu,
ia masih merupakan sejarawan yang baik. Sejarawan sebagai ilmiawan sosial dan
sejarawan ilmiawan humaniora, tidak perlu menjadi dua orang yang terpisah
dengan mudah bisa menjadi satu. Dan manfaat dari pada yang satu itu, kepada baik
humaniora maupun ilmu-ilmu sosial akan sangat bertambah jika ia tidak bertindak
schizophrenis.[2]
2.3
HUBUNGAN ANTARA HUMNIORA DAN
ILMU-ILMU SOSIAL
Karena beda antara
humaniora dan ilmu-ilmu sosial dengan mudah dapat dilebih-lebihkan. Pokok
pembahasan yang semestinya daripada kedua bidang itu adalah manusia sebagai
makhluk budaya, makhluk intelektual, dan makhluk sosial. Kedua bidang ini
menemukan generarisasi-generalisasi, meskipun ilmuwan sosial biasanya lebih
berminat kepada ramalan dan pengendalian, dibandingkan dengan homaniora yang
biasanya lebih berminat kepada contoh yang baik, terlebih-lebih lagi yang luar
biasa, dibandingkan dengan ilmuwan sosial. Kedua bidang berminat kepada masa
lampau, masa kini, dan masa depan, (meskipun ilmuwan humaniora cenderung untuk
menitik beratkan diri kepada masa lampau sedangkan ilmuwan sosial lebih
menitikberatkan diri kepada masa kini dan masa depan).
Dalil filologi Grimm
mengenai persesuaian konsonan tidak kalah sifatnya sebagai generalisasi ilmiah
daripada dalil sosiologi Vierkandt mengenai pergantian tahapan destruktif dan
konstruktif didalam revolusi atau dalil ekonomi Gresham mengenai hubungan
antara uang baik dan uang buruk, dan tidak pula tanpa arti bagi ilmuwan sosial.
Bahkan sesungguhnya dalil itu lebih tergantung kepada observasi ahli daripada
dalil Vierkandt dan Gresham dan lebih jauh daripada obrolan pinggir jalan.
Mereka yang tidak mau mengakui
hubungan yang erat antara humaniora dan ilmu-ilmu sosial besar kemungkinannya
tidak banyak mengetahui mengenai ilmu sosial yang baik yang telah dikemukakan
pada masa lampau oleh para filsuf dan sastrawan, atau mengenai akal yang sehat
yang sekarang diajukan oleh ilmuwan sosial. Baik ilmuwan humaniora maupun
ilmuwan sosial tidak akan berani mengabaikan filsuf Herbert Spencer.akan tetapi
andaikata ia kebetulan menjadi penting sebelum sosiologi yang pada masa
sekarang akan mengabaikannya, dan andaikata ia menulis pada masa sekarang, maka
banyak ilmuwan humaniora yang akan menganggap sepi kepadanya, untuk beberapa
tahun kemudian menuliskan karangan-karangan ilmiah mengenai dia dalam menjawab
pertanyaan-pertanyaan yang pada hari ini akann diajukan mengenai oleh sarjana
sosiologi, sedangkan para ahli sosiologi pada dasawarsa yang akan datang itu,
yang sudah mulai melupakannya, akan mulai mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang
sama mengenai tokoh yang lebih hampir sezaman.
2.4
SEJARAWAN DAN MASALAH-MASALAH
MASA KINI
Telah dikatakan bahwa “suatu
Gesetzwissenschaft mempergunakan suatu kasus tunggal semata-mata untuk
membantunya mengerti suatu prinsip umum, sedangkan suatu Gesetzwissenschaft
mempergunakan suatu prinsip umun semata-mata untuk membantunya mengerti satu
kasus tunggal”. Pentingnya mengerti prinsip-prinsip umum, yakni mengetahui
apakah kasus-kasus tunggal yang mereka bahas cocok di dalam salah satu
generalisasi atau typikasi, sering luput dari perhatian sejarawan. Itulah sebab
mengapa sejarawan kadang-kadang tidak lebih daripada hanya antn ia tidak
antiquarianisme saja, suatu usaha untuk mneceritakan suatu kisah
selengkap-lengkapnya mengenai sesuatu dalam masa lampau yang mungkin menarik
sejarawan, meskipun ia tidak mampu atau tidak merasa terpanggil untuk
menerangkan mengapa harus pula menarik minat orang lain.
Penggunaan ilmu-ilmu
sosial yang lebih banyak oleh sejarawan dalam usahanya untuk memberikan ilustrasi
atau menguji dan menyesuaikan atau mengambil alih generalisasi-generalisasi dan
klasifikasi-klasifikasi dari pihak sarjana-sarjana sosiologi pada waktu akhir
ini telah di anjurkan oleh beberapa sejawan, terutama oleh sejarawan Amerika
Serikat.[3]
2.5
SEJARAH DAN PENGERTIAN-PENGERTIAN
ILMU SOSIAL
Meskipun ada terdapat
kekhawatiran-kekhawatiran yang tegas dan luas namun penggunan daripada
generalisasi-generalisasi ilmu sosial oleh sejarawan terus bertambah. Misalnya,
bukanlah suatu kebetulan bahwa pada masa yang akhir-akhir ini telah terdapat
demikian banyak perhatian terhadan sejarah kota, kereta api dan perniagaan,
kepada sejarah harga-harga dan pemikiran sosial, kepada sosial ekonomi daripada
perang, serta kepada pengembangan lembaga-lembaga internasional.
Lingkupan perhatian
sejarawan cenderung untuk dikuasai oleh hukum permintaan dan penyediaan,
sedangkan kebutuhan disiplin-disiplin lain akan data jenis tertentu. Mendorong
sejarawan untuk berusaha memenuhi kebutuhan itu. Dengan melakukan hal itu ia
berusaha* untuk menemukan kasus-kasus tunggal yang akan memberikan ilustrasi
kepada generalisasi ilmu sosial.** untuk menemukan kasus-kasus tunggal yang
akan membantah suatu generalisasi ilmu sosial dan*** untuk menerapkan sebuah
generalisasi ilmu sosial kepada suatu trend sejarah atau suatu seri daripada
peristiwa-peristiwa yang bersamaan. Didalam ketiga usaha itu sambil bekerjasama
dengan Gesetzwissenschaft yang
bersangkutan, sejarawan berusaha untuk mengubah, memperkuat, atau mengajukan
perkecualian terhadap suatu gagasan umum yang dipinjam dari disiplin-disiplin
sosial lain biasanya dengan harapan bahwa dalil sosiologi akan sedikit
menyinari hubungan kausal di antara gejala-gejala sejarah.[4]
2.6
NILAI DARIPADA METODE SEJARAH
BAGI ILMUWAN SOSIAL
Sejarawan juga membuat
sejumlah besar generalisasi yang bersifat metodologi yang diabaikan oleh
sarjana-sarjana ahli masyarakat, dengan akibat yang merugikan. Bahkan Thomas
dan Znaniecki menggunakan otobiografi dan surat-surat kepada redaksi surat
kabar tanpa menyelidiki secara cermat otensitas atakukredibilitasnya ilmuwan
sosial yang kurang kalibernya lebih banyak lagi berbuat salah dalam hal ini.
Ilmuwan sosial lebih
sering daripada sejarawan berbuat salah dalam menggunakan questionaire yang
“menyesatkan”. Mereka juga sering, lebih daripada sejarawan, cenderung untuk
mempercayai dokumen-dokumen pemerintah secara tidak kritis dan menerima baik sejarah-sejarah
resmi tanpa kecurigaan. Tambahan pula, terkadang mereka menggunakan karangan
sejarah yang bersifat sekunder tanpa analisa yang seksama mengenai mutu dan
sumber-sumber informasinya atau tanpa mempertimbangkan adanya madzab-madzab
pemikiran yang bertentangan. Misalnya saja, satu studi mengenai sejarah alamiah
daripada revolusi yang semata-mata didasarkan atas hasil karya
sejarawan-sejarawan liberal, patut di kritik sebagai berat sebelah. Bahkan
pernah dikatakan, barangkali tidak secara sepenuhnya beralasan, bahwa jika
seorang sejarawan jarang menerima baik sesuatu pertelaan sekunder kecuali sebagai suatu titik tolak bagi
pertelan yang lebih baik, maka seorang ilmuan sosial mungkin menerimanya
sebagai sumber data secara tidak kritis.
Kadang-kadang ilmuwan
sosial sama sekali mengabaikan informasi sejarah. Sekali-kali kita mempunyai
perasaan bahwa ilmuwan sosial mengharap bahan-bahan yang dikenal secara ruet
sebagaimana yang dikatakan seseorang yang sinis. Mereka menghabiskan ribuan
sinyal untuk mengetahui lokasi rumah-rumah pelacuran padahal “survival” atau
kesaksian yang lebih awal mungkin akan
dapat memberikan informasi yang dikehendaki secara sederhana.
Jika sejarawan sering
memperlihatkan hasrat yang partikularistis akan antiquwarianisme yang kering,
maka sejarah sosiologi seringkali memperlihatkan preferensi terhadap statistik,
qwantum dan pengukuran-pengukuran yang pengeterapannya nampaknya jauh daripada
faedah sosial maupun makna sejarah.
Tambahan pula, sejarawan
terkadang mempunyai perasaan bahwa beberapa generalisasi sosialogi yang
menyangkut jenis atau siklus, paling jauh hanya merupakan “Hunches” atau
perumpamaan dan bukan merupakan hipotese kerja.[5]
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Pada
dasarnya, sejarawan-sejarawan memiliki keterkaitan dan hubungan yang erat
dengan ilmu-ilmu sosial dan humaniora.
Metode-metode sejarah yang digunakan para sejarawan memiliki nilai terhadap ilmu-ilmu sosial.
Dapa perkembangangannya, sejarah juga memiliki pengaruh besar bagi perkembangan
zaman yang semakin modern atau masakini. Dan para sejarawanjuga mengkaji
masalaah-masalah masa kini. Sejarah juga memiliki hubungan dengan humaniora dan
ilmu-ilmu sosial lainnya. Sehingga menyebabkan mereka memiliki keterkaitan yang
kuat diantara masing-masing.
3.2 SARAN
Penulis
menyadari dalam pembuatan makalah ini masih banyak terdapat kesalahan dan
kekeliruan. Untuk itu, penulis mengharapkan kritik serta saran dari pembaca dan
Dosen Pengampuh Program Studi Sejarah dan Kebudayaan, agar makalah ini dapat
menjadi lebih baik.
Penulis
juga berharap makalah ini dapat memberikan manfaat serta dapat menambah wawasan
dan ilmu pengetahuan pembaca.
DAFTAR PUSTAKA
Gottschalk, Louis, Notosunanto
Nugroho, Mengerti Sejarah, Jakarta: Penerbit
Universitas Indonesia,1985.
[1] Gottschalk, Louis,
penerjemah: Nugroho Notosumanto, Understanding
History, Mengerti Sejarah,
(Jakarta: UI-Press, 1986), hlm. 21-22.
[2] Gottschalk, Louis,
penerjemah: Nugroho Notosumanto, Understanding
History, Mengerti Sejarah,
(Jakarta: UI-Press, 1986), hlm. 20-21.
[3] Gottschalk,
Louis, penerjemah: Nugroho Notosumanto, Understanding
History, Mengerti Sejarah, (Jakarta: UI-Press, 1986), hlm. 183.
[4] Gottschalk,
Louis, penerjemah: Nugroho Notosumanto, Understanding
History, Mengerti Sejarah,
(Jakarta: UI-Press, 1986), hlm. 184
[5] Gottschalk,
Louis, penerjemah: Nugroho Notosumanto, Understanding
History, Mengerti Sejarah,
(Jakarta: UI-Press, 1986), hlm. 189-190.
No comments:
Post a Comment