1

loading...

Sabtu, 11 Mei 2019

MAKALAH CITRA LULUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

MAKALAH CITRA LULUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM 


BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
Pendidikan Agama Islam adalah suatu usaha untuk membina dan mengasuh peserta didik agar senantiasa dapat memahami kandungan ajaran Islam secara menyeluruh, menghayati makna tujuan, yang pada akhirnya dapat mengamalkan serta menjadikan Islam sebagai pandangan hidup. Pendidikan merupakan kunci kemajuan dan peradaban suatu bangsa. Semakin baik kualitas pedidikan yang diselenggarakan oleh suatu masyarakat atau bangsa, maka akan diikuti dengan semakin baik pula kualitas sumber daya masyarakat atau bangsa tersebut yang kemudian melahirkan peradaban bernilai tinggi yang dibangun di atas fondasi ilmu pengetahuan.
Dalam proses pembelajaran pendidikan Agama Islam, pemilihan dan penggunaan metode serta tekhnik yang digunakan seorang pengajar harus tepat dan sesuai sehingga pembelajaran pendidikan Agama Islam dapat berhasil dan tidak terlepas dari beberapa faktor yang saling mempengaruhi dalam pembelajaran pendidikan Agama Islam, yang menghasilkan out put yang diharapkan.pengaruh tersebut tentunya akan kami bahas dalam makalah ini.

B. Rumusan Masalah
1    .      Bagaimana propil lulusan PAI dan bagaimana citra lulusan PAI
2    .      Bagaiman fase-fase lulusan PAI
3      .      Bekal apa saja yang harus dimiliki oleh lulusan PAI
4      .      Bagaimana peserta didik mendapatkan bekal

C. Tujuan
1.      Untuk mengetahui bagaimana propil lulusan PAI dan bagaimana citra lulusan PAI
2.      Untuk mengetahhui bagaimana fase-fase lulusan PAI
3.      Untuk mengetahui bekal apa saja yang harus dimiliki oleh lulusan PAI
4.      Untuk mengetahui bagaimana peserta didik mendapatkan bekal

BAB II
PEMBAHASAN

A.  Pengertian Pendidikan Agama Islam
Menurut Zakiah Daradjat, pendidikan Agama Islam adalah: pendidikan dengan melalui ajaran-ajaran agama Islam, yaitu berupa bimbingan dan asuhan terhadap anak didik agar nantinya setelah selesai dari pendidikan ia dapat memahami, menghayati dan mengamalkan ajaran-ajaran agama Islam yang telah diyakininya secara menyeluruh, serta menjadikan ajaran agama Islam itui sebagai suatu pandangan hidupnya demi keselamatan dan kesejahteraan hidup di dunia dan di akhirat kelak.
Kesimpulannya bahwa pendidikan Agama Islam adalah suatu proses bimbingan jasmani dan rohani yang berlandaskan ajaran Islam dan dilakukan dengan kesadaran untuk mengembangkan potensi anak menuju perkembangan yang maksimal, sehingga terbentuk kepribadian yang memiliki nilai-nilai Islam.

B. Tujuan Pendidikan Agama Islam
Menurut Zakiah Daradjat Tujuan ialah suatu yang diharapkan tercapai setelah sesuatu usaha atau kegiatan selesai. Tujuan pendidikan bukanlah suatu benda yang berbentuk tetap dan statis, tetapi ia merupakan suatu keseluruhan dari kepribadian seseorang, berkenaan dengan seluruh aspek kehidupannya, yaitu kepribadian seseorang yang membuatnya menjadi "insan kamil" dengan pola taqwa. Insan kamil artinya manusia utuh rohani dan jasmani, dapat hidup berkembang secara wajar dan normal karena taqwanya kepada Allah SWT.
Mahmud Yunus mengatakan bahwa tujuan pendidikan agama adalah mendidik anak-anak, pemuda-pemudi maupun orang dewasa supaya menjadi seorang muslim sejati, beriman teguh, beramal saleh dan berakhlak mulia, sehingga ia menjadi salah seorang masyarakat yang sanggup hidup di atas kakinya sendiri, mengabdi kepada Allah dan berbakti kepada bangsa dan tanah airnya, bahkan sesame umat manusia.
Imam Al-Ghazali mengatakan bahwa tujuan pendidikan Islam yang paling utama ialah beribadah dan taqarrub kepada Allah, dan kesempurnaan insani yang tujuannya kebahagiaan dunia akhirat.
Jadi, tujuan pendidikan agama Islam adalah berkisar kepada pembinaan pribadi muslim yang terpadu pada perkembangan dari segi spiritual, jasmani, emosi, intelektual dan social. Atau lebih jelas lagi, ia berkisar pada pembinaan warga Negara muslim yang baik, yang prcaya pada Tuhan dan agamanya, berpegang teguh pada ajaran agamanya, berakhlak mulia, sehat jasmani dan rohani.

C.  Profil Lulusan Pendidikan Agama Islam  
a)    Bertakwa kepada Tuhan  Yang Maha Esa dan mampu menunjukkan sikap religius
b)   Menjunjung   tinggi   nilai   kemanusiaan  dalam   menjalankan   tugas berdasarkan agama,moral,dan etika
c)    Menghargai  keanekaragaman  budaya,  pandangan,  agama,  dan kepercayaan, serta pendapat atau temuan orisinal orang lain
d)   Menunjukkan sikap bertanggung jawab atas pekerjaan bidang keahliannya secara mandiri
e)    Menjadi Guru Pendidikan Agama Islam di Sekolah dan Madrasah dan Umum;
f)    Menjadi Peneliti Pendidikan Agama Islam
g)   Menjadi Pengelola sekolah  yang berlandaskan pada nilai-nilai Al- Islam dan Kemuhammadiyahan
h)   Pendidik Agama Islam yang berkompeten.
D.  Gambaran/Citra/Image Lulusan PAI
a)    Mempunyai nilai akhlak yang baik, memiliki sopan santun yang tinggi
1.    Akhlak terhadap Allah
Akhlak terhadap Allah merupakan pengakuan terhadap kalimat tauhid lā ilāha illallāh yang menjadi dasar dari segala ajaran Islam bukan sekedar diyakini sebagai kunci segala sesuatu, tidak sekedar untuk diucapkan dengan lidah sebagai buah bibir belaka melainkan dia akan memiliki fungsi riil dan makna signifikan bagi yang mengaplikasikannya dalam kehidupan.
Maknanya adalah bahwa jika kalimat tersebut diucapkan berarti  tidak diperbolehkan sama sekali mengakui adanya Tuhan selain Allah. Di antara kata lā dan illa atau antara ungkapan negative dan konfirmatif terdapat prinsip fundamental akidah Islam. Kata lā menunjukkan negasi atas segala bentuk penuhanan terhadap apapun seperti harta kekayaan dan sebagainya.
Kalimat tauhid di atas merupakan sebuah perjanjian, aturan dan falsafah hidup, karena itu ia harus dilaksanakan dan direalisasikan dalam kehidupan. Mewujudkan kalimat tauhid itu merupakan penangkal segala kesulitan dan kunci segala kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Karena itu, mengucapkannya di mulut benar-benar tidak ada artinya jika tidak diikuti keyakinan yang kuat dan realisasi dalam kehidupan nyata. Kalimat itu merupakan prinsip dasar dan falsafah hidup, bukan sekedar rangkaian huruf dan kata.
Di samping mengucapkan kalimat tauhid lā ilāha illallāh, Allah swt. juga mengajarkan kepada manusia agar senantiasa mensucikan-Nya, sebagai Tuhan yang memiliki sifat-sifat terpuji yang begitu agung. Allah berfirman dalam surah al-A’lā ayat 1 yang berbunyi:
سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى
Artinya: Sucikanlah nama Tuhanmu yang Maha Tingi (QS. Al-A’lā [87]: 1)
Allah memerintahkan agar diri-Nya disucikan dan bahkan menurut petunjuk Alquran bahwa bukan hanya manusia saja yang menyucikan-Nya melainkan segala sesuatu pun juga menyucikan-Nya.
Allah berfirman dalam surah al-Isra’ ayat 44:
تُسَبِّحُ لَهُ ٱلسَّمَٰوَٰتُ ٱلسَّبۡعُ وَٱلۡأَرۡضُ وَمَن فِيهِنَّۚ وَإِن مِّن شَيۡءٍ إِلَّا يُسَبِّحُ بِحَمۡدِهِۦ وَلَٰكِن لَّا تَفۡقَهُونَ تَسۡبِيحَهُمۡۚ إِنَّهُۥ كَانَ حَلِيمًا غَفُورٗا ٤٤
Artinya: Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah. dan tak ada suatupun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka. Sesungguhnya dia adalah Maha Penyantun lagi Maha Pengampun (QS. al-Isra’ [17]: 44).
Dari ayat tersebut dapat dipahami segala makhluk Allah selain manusia pun senantiasa menyucikan Allah dan memuji-Nya, sehingga alangkah anehnya jika manusia yang dikaruniai akal pikiran tidak mau melakukannya.
2.    Akhlak terhadap Sesama Manusia
Akhlak terhadap sesama manusia inilah kelihatannya yang paling mendapatkan porsi yang lebih besar dalam Alquran. Banyak sekali ayat-ayat yang mejadi dasar untuk mengatur kehidupan manusia megenai bagaimana seharusnya ia bertindak dan bertingkah laku terhadap sesamanya manusia dan sebagainya.
Petunjuk semacam ini adakalanya dalam bentuk perintah dan adakalanya pula dalam bentuk larangan. Hal-hal yang baik tentunya menjadi hal yang diperintahkan dan sebaliknya hal-hal yang buruk menjadi suatu hal yang dilarang. Allah swt. memerintahkan untuk selalu melakukan perbuatan-perbuatan baik mulai dari bagaimana seorang hamba bertutur kata yang baik (QS. Al-Baqarah [2]: 83) sampai kepada tata cara berbuat baik dalam membunuh orang kafir ketika dalam peperangan pun menjadi suatu anjuran (QS. Muhammad [47]: 4).
3.    Akhlak terhadap Lingkungan
Lingkungan adalah segala sesuatu yang berada di sekitar manusia, baik binatang, tumbuh-tumbuhan, maupun benda-benda tak bernyawa. Jangankan kepada Allah dan manusia bahkan kepada makhluk lain selain manusia pun mendapatkan tempat dalam akhlak Islam. Allah swt memberi perhatian kepada alam sehingga pengrusakan terhadap alam pun sangat dikecam. Allah berfirman dalam  surah al-A’rāf ayat 56:
وَلَا تُفۡسِدُواْ فِي ٱلۡأَرۡضِ بَعۡدَ إِصۡلَٰحِهَا وَٱدۡعُوهُ خَوۡفٗا وَطَمَعًاۚ إِنَّ رَحۡمَتَ ٱللَّهِ قَرِيبٞ مِّنَ ٱلۡمُحۡسِنِينَ ٥٦
Artinya: Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (Tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik (QS. al-A’rāf [7]: 56).
Manusia dituntut untuk memiliki tanggung jawab sehingga ia tidak melakukan pengrusakan. Setiap pengrusakan terhadap alam atau lingkungan harus dinilai sebagai pengrusakan pada diri manusia sendiri. Binatang, tumbuhan dan benda-benda tak bernyawa semuanya diciptakan oleh Allah dan menjadi milik Allah, serta semua memiliki ketergantungan kepada-Nya.
Keyakinan seperti ini yang mengantarkan seorang hamba Allah untuk menyadari bahwa semuanya adalah makhluk Allah yang harus diperlakukan secara wajar dan baik. Allah swt. berfirman dalam surah al-An’ām ayat 38:
وَمَا مِن دَآبَّةٖ فِي ٱلۡأَرۡضِ وَلَا طَٰٓئِرٖ يَطِيرُ بِجَنَاحَيۡهِ إِلَّآ أُمَمٌ أَمۡثَالُكُمۚ مَّا فَرَّطۡنَا فِي ٱلۡكِتَٰبِ مِن شَيۡءٖۚ ثُمَّ إِلَىٰ رَبِّهِمۡ يُحۡشَرُونَ ٣٨
Artinya: Dan tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan umat (juga) seperti kamu. Tiadalah kami alpakan sesuatupun dalam Al-Kitab, Kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan (QS. al-An’ām [6]: 38).
Ditegaskan bahwa binatang melata dan burung-burung pun adalah umat seperti manusia juga sehingga semuanya tidak boleh diperlakukan secara aniaya. Ketika Abdullah bin Umar berjalan di suatu tempat lalu mendapati segerombolan pemuda menangkap seekor ayam lalu mengikatnya dan melemparkannya, Abdullah bin Umar berkata ‘’Rasulullah melaknat orang yang berbuat seperti itu.
Kisah tersebut sepatutnya senantiasa menjadi teladan untuk selalu menjadi perhatian dengan memberi kasih sayang kepada makhluk Allah, meskipun dia bukan manusia.
b)   Sarjana yang mampu mendidik  dan  melakukan pembelajaran PAI  tingkat Pendidikan Dasar dan Menengah. Disekolah maupun madrasah
c)    Sarjana yang mampu melakukan pengamatan, penganalisaan dengan cermat terkait bidang kajian pendidikan Agama Islam
d)   Sarjana yang mampu  mengatur organisasi dan bisnis serta  mengatur resiko pada bidang Pendidikan (Islam)
e)    Menjadi pendidik agama Islam pada lembaga pendidikan formal maupun non formal yang memiliki kompetensi profesional, pedagogik, kepribadian, dan sosial yang memadai
f)    Menjadi peneliti yang mampu menerapkan teori-teori sosial, keagamaan, dan pendidikan untuk melakukan kajian, analisis, evaluasi, dan kreasi dalam bidang Pendidikan Agama Islam.

E.  Fase-Fase Lulusan PAI
1.    Karakteristik anak usia SD/MI adalah sebagai berikut:
a)    Senang bermain
Karakteristik ini menuntut guru SD untuk melaksanakan kegiatan pendidikan yang bermuatan permainan lebih-lebih untuk kelas rendah. Guru SD seyogyanya merancang model pembelajaran yang memungkinkan adanya unsur permainan di dalamnya.
b)   Senang bergerak
Orang dewasa dapat duduk berjamjam, sedangkan anak SD dapat duduk dengan tenang paling lama sekitar 30 menit. Menyuruh anak untuk duduk rapi untuk jangka waktu yang lama, dirasakan anak sebagai siksaan.
c)    Senang bekerja dalam kelompok
Anak usia SD dalam pergaulannya dengan kelompok sebaya, mereka belajar aspek-aspek yang penting dalam proses sosialisasi, seperti: belajar memenuhi aturan-aturan kelompok, belajar setia kawan, belajar tidak tergantung pada diterimanya dilingkungan, belajar menerimanya tanggung jawab, belajar bersaing dengan orang lain secara sehat (sportif), dan mempelajari olah raga.
d)   Senang merasakan/ melakukan sesuatu secara langsung.
Ditunjau dari teori perkembangan kognitif, anak SD memasuki tahap operasional konkret. Dari apa yang dipelajari di sekolah, ia belajar menghubungkan konsep-konsep baru dengan konsepkonsep lama. Berdasar pengalaman ini, siswa membentuk konsepkonsep tentang angka, ruang, waktu, fungsifungsi badan, moral, dan sebagainya.
Oleh karena itu, guru hendaknya mengembangkan pembelajaran yang mengandung unsur permainan, memungkinkan siswa berpindah atau bergerak dan bekerja atau belajar dalam kelompok, serta memberikan kesempatan kepada siswa untuk terlibat langsung dalam pembelajaran.
2.    Karakteristik Peserta Didik tingkat SMP/MTs
Pada masa sekolah menengah pertama peserta didiknya berkisar antara usia 12-15 tahun. Pada masa inilah seseorang dikatakan sedang memasuki usia remaja. Masa remaja merupakan sebuah periode dalam kehidupan manusia yang batasan usia maupun peranannya seringkali tidak terlalu jelas. Masa remaja ini sering dianggap sebagai masa peralihan, dimana saat-saat ketika anak tidak mau lagi diperlakukan sebagai anak-anak, tetapi dilihat dari pertumbuhan fisiknya ia belum dapat dikatakan orang dewasa.
Menurut Anna Freud masa remaja juga dikenal dengan masa strom and stress dimana terjadi pergolakan emosi yang diiringi pertumbuhan fisik yang pesat dan pertumbuhan psikis yang bervariasi. Pada masa ini remaja mudah terpengaruh oleh lingkungan dan sebagai akibatnya akan muncul kekecewaan dan penderitaan, meningkatnya konflik dan pertentangan, impian dan khayalan, pacaran dan percintaan, keterasingan dari kehidupan dewasa dan norma kebudayaan.
Masa remaja merupakan masa untuk mencari identitas/jati diri. Individu ingin mendapat pengakuan tentang apa yang dapat ia hasilkan bagi orang lain. Apabila individu berhasil dalam masa ini maka akan diperoleh suatu kondisi yang disebut identity reputation (memperoleh identitas). Apabila mengalami kegagalan, akan mengalami Identity Diffusion (kekaburan identitas).
Masa remaja termasuk masa yang sangat menentukan karena pada masa ini anak-anak mengalami banyak perubahan pada psikis dan fisiknya.
Fase-fase masa remaja (pubertas) menurut Monks yaitu antara umur 12 – 21 tahun, dengan pembagian 12-15 tahun termasuk masa remaja awal, 15-18 tahun termasuk masa remaja pertengahan, 18-21 tahun termasuk masa remaja akhir.

F.   Bekal Apa Saja Yang Harus Dimiliki  Oleh Lulusan PAI
 Menurut Prof Muhaimin bahwal lulusan PAI harus memiliki bekal ketika datang ke madrasah atau sekolah umum, bekal yang harus dimiliki tersebut yaitu:
Pertama, selalu siap dengan materi yang diajarkan. “Guru yang baik tak kalah  rajin belajarnya ketimbang peserta didik”.
Kedua, Keterampilan mengimplementasikan metode pembelajaran yang efektif dan menyenangkan. Bertolak dari prinsip ini, dikenal adanya joyful learning, pembelajaran menyenangkan, tetapi bukan berarti santai banget. Sejalan dengan konsep joyful learning, maka ruang kelas harus didesain senyaman mungkin. “Ruang kelas yang semerawut dan cat temboknya kusam akan mempengaruhi pikiran dan hati peserta didik.” Begitulah nasehatnya.
Ketiga, kesiapan mental berupa cinta kepada anak-anak. Seorang guru yang baik ketika masuk ruang kelas mesti dengan hati. Dengan energi dan getaran cinta kepada anak-anak. Karena itulah almarhum berkata: “Mengajar tanpa hati akan terasa hambar, anak anak pun tidak akan mendengarkan sepenuh hati”. 

G. Bagaimana Peserta Didik Mendapatkan Bekal
Pertama, adanya petunjuk/bimbingan guru. Jika kita sulit menyerap ilmu, tidak kuat dengan hafalan, kurang paham masalah penyelesaian masalah, maka jangan pernah lepas dari petunjuk atau bimbingan bapak dan ibu guru. Merekalah yang akan berperan sebagai pembimbing sekaligus orangtua yang akan mengarahkan anak didiknya dalam membantu mendapatkan ilmu. Maka dari itu, hormati mereka agar selalu ikhlas dalam membimbing anak didiknya.
Kedua, punya kecerdasan. Cerdas dalam arti punya kemampuan untuk bisa menangkap pelajaran yang diberikan oleh guru-guru di kelas. Tidak pernah merasa putus asa dan selalu mencintai apapun yang sedang diajarkan oleh guru dari sisi yang positif. Dengan bekal cerdas dan mencintai pelajaran, maka ilmu itu akan mudah diserap oleh otak.
Ketiga, punya semangat. Tidak cukup cerdas saja, melainkan semangat juga perlu dihadirkan sebagai satu di antara bekal yang harus dimiliki. Bagaimana ilmu akan cepat didapatkan bila semangat di dalam jiwa kita melempem, layu, dan loyo. Kesuksesan akan menjauh dari peserta didik yang tidak punya semangat dalam belajar. Ia akan miskin ilmu dan harta.
Keempat, punya kesabaran. Belajar dan mencari ilmu itu adalah tahapan proses atau suatu rangkaian yang dimulai dari bawah terus sampai ke puncak. Orang-orang yang sukses, ulama-ulama saleh zaman dahulu, mereka bisa meraih dan mendapatkan ilmu yang tinggi karena faktor sabar dan tekun dalam mencarinya.
Kelima, punya modal dan bekal belajar. Jika ingin sukses dalam mencari ilmu, tidak cukup hanya dengan cerdas, semangat, sabar, tetapi juga harus punya bekal. Misalnya dalam bentuk materi, buku, dan sebagainya. Jangan pernah beranggapan bahwa mencari ilmu itu mudah dan gampang bermodalkan duduk di bangku lalu mendengarkan guru. Tambahkan satu lagi dorongannya yaitu adanya bekal.
Keenam, membutuhkan waktu dan proses. Apakah Imam Al-Bukhari menyusun kitab Shahih-nya itu sehari dua hari atau satu dua tahun? Oh tidak. Beliau menyusun kitab hadis terkenal itu sampai bertahun-tahun lamanya. Artinya, untuk menggapai kesuksesan dalam mencari ilmu butuh waktu yang tidak sebentar, karena ilmu terkadang butuh dipelajari lebih dalam lagi dari sekadar dibaca. Tidak simsalabim langsung dapat dan sukses menjadi orang hebat.


BAB III
PENUTUP
A.  Kesimpulan
pendidikan Agama Islam adalah suatu proses bimbingan jasmani dan rohani yang berlandaskan ajaran Islam dan dilakukan dengan kesadaran untuk mengembangkan potensi anak menuju perkembangan yang maksimal, sehingga terbentuk kepribadian yang memiliki nilai-nilai Islam. Tujuan pendidikan agama Islam adalah berkisar kepada pembinaan pribadi muslim yang terpadu pada perkembangan dari segi spiritual, jasmani, emosi, intelektual dan social.
Bahwa lulusan PAI harus bertaqwa ke pada Allah SWT,  memiliki akhlak yang baik, mempunyai nilai sopan santu yang tinggi Menghargai  keanekaragaman  budaya,  pandangan,  agama,  dan kepercayaan, serta pendapat atau temuan orisinal orang lain, Menunjukkan sikap bertanggung jawab atas pekerjaan bidang keahliannya secara mandiri, Menjadi Guru Pendidikan Agama Islam di Sekolah dan Madrasah dan Umum, Menjadi Peneliti Pendidikan Agama Islam, Menjadi Pengelola sekolah  yang berlandaskan pada nilai-nilai Al- Islam dan Kemuhammadiyahan, Pendidik Agama Islam yang berkompeten.
B.   Saran
Alhamdulillah puji syukur kami ucapkan kepada Allah SWT, yang telah memberikan kami kesempatan untuk menyelesaikan makalah ini hingga kami dapat mengaplikasikan kemampuan kami di dalam makalah ini, tidak lupa kami ucapkan  terima kasih kepada bapak/ibu dosen yang telah membimbing dan mengawasi proses pembuatan makalah ini, serta teman-teman yang telah mendukung dalam penyelesaian makalah ini.
Selanjutnya kami mohon maaf apabila didalam makalah ini terdapat beberapa kesalahan dan beberapa kekurangan. Kami sebagai penulis meminta kritik dan saran agar dalam penulisan makalah berikutnya kami bisa lebih bagus dan lebih kreatif
Dimana saja peserta didik mendapatkan bekal ?
Di lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, masyarakat, lingkungan teman sebaya.
Bagaimana peserta didik mendapatkan bekal ?
Melalui pendidikan dari keluarga, sekolah dan lingkungan sekitar/masyarakat.



KETRAMPILAN KHUSUS (KK)
1.      Terampil menyusun dan mengembangkan  perangkat pembelajaran PAI secara baik dan tepat sesuai kerangka dan prosedur;
2.      Terampil mengembangkan kurikulum operasional dan mengembangkan materi ajar yang kontekstual dalam pembelajaran PAI;
3.      Terampil menerapkan pendekatan dan metode pembelajaran PAI yang mendidik, efektif, menyenangkan, dan bermutu;
4.      Terampil mendesain alat, media, bahan ajar dan sumber pembelajaran yang relevan, bermakna dan mendidik;
5.      Terampil menyusun  instrumen, melaksanakan dan mengolah hasil penilaian secara manual maupun berbasis sistem aplikasi;
6.      Terampil melaksanakanperbaikan pembelajaran secara berkesinambungan melalui tindakan reflektif dan lesson studies.
PENGETAHUAN (P)
1.      Menguasai  teori-teori umum pengajaran/ paedagogik.
2.      Menguasai  metode khusus pembelajaran Agama  Islam.
3.      Menguasai  media pembelajaran agama Islam berbasis IT.
4.      Menguasai ilmu-ilmu keislaman (dirosat islamiyah).
5.      Menguasai metodologi penelitian kuantitatif, kualitatif, dan penelitian pendidikan (Islam).

Lulusan PAI diharapkan memiliki kompetensi serta profesionalisme di bidangnya. Dari gelar sarjana pendidikan (S.Pd.) yang didapat dari program studi ini, lulusan sarjana Pendidikan Agama Islam berpeluang menjadi pendidik khususnya dalam bidang agama Islam. Selain memiliki prospek karier menjadi pendidik, sarjana PAI juga diharapkan bisa mengembangkan ilmu yang telah didapatkan dengan menjadi peneliti yang kritis terhadap fenomena-fenomena Islam masa kini. Entrepreneur di bidang Pendidikan Agama Islam juga merupakan salah satu pilihan untuk lulusan S1 Pendidikan Agama Islam agar bisa mendakwahkan Islam ke lingkungan yang lebih luas lagi.
Adi berharap pata lulusan Prodi PAI dapat bersaing dimanapun. Sebab, mahasiswanya telah dibekali bukan hanya oleh ilmu akademik, namun juga dibekali dengan kemampuan kewirausahaan. Namun demikian, Adi berharap lulusan Prodi FAI akan melanjutkan ke jenjang S2. "Karena persaingan kerja sangat ketat dan lapangan kerja hanya sedikit," ucap Adi Saputra. Adi menambahkan, para lulusan PAI agar dapat mengamalkan ilmunya untuk diterapkan di masyarakat. "Bisa juga 

MAKALAH TAFSIR DAN HADIST " RASMUL QUR'AN"


MAKALAH

TAFSIR DAN HADIST
“Rasmul Qur’an”


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Al-Quran diturunkan secara bertahap. Setiap kali ada ayat turun, Rasulullah SAW segera menyampaikannya kepada umat, dan memerintahkan untuk menulisnya. Diantara sahabat, ada yang langsung menghafal ayat al-Qur'an setiap kali turun. Ada pula yang hanya menulisnya, dan Rasulullah menuntun penulisan itu sesuai dengan urutan surat dan ayat.
Ketika Rasulullah SAW wafat, Al-Qur'an tidak terkumpul dalam satu buku (mushaf), melainkan tersimpan dalam dada para sahabat, terukir diatas lembar-lembar para penulis wahyu. Pada saat itu para penghafal al-Qur'an sangat banyak, dan ada yang hafal secara keseluruhan.
Ketika Abu Bakar khalifah pertama memberantas kaum murtadin dan pendukung nabi palsu; Musailamah, banyak dari penghafal al-Qur'an gugur sebagai Syahid, hingga Abu Bakar khawatir hal ini akan mengakibatkan lenyapnya al-Qur'an dari muka bumi.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa Pengertian Rasm Al-Quran?
2.      Bagaimana Pola, Hukum Dan Kedudukan Rasm Al-Qur’an?
3.      Bagaimana Perkembangan Rasm Al Qur’an?
4.      Bagaimana Perbedaan Ulama Tentang Kedudukan Rasm Utsmani?
5.      Bagaimana Pendapat Ulama Tentang Status Tawqifi Pada Rasm Utsmani?
6.      Bagaimana Kekeliruan Penulisan?
7.      Bagaimana Hubungan Rasm Al Qur’an Dengan Pemahaman Al Qur’an?

C.    Tujuan
1.      Untuk mengetahui Pengertian Rasm Al-Quran
2.      Untuk mengetahui Pola, Hukum Dan Kedudukan Rasm Al-Qur’an
3.      Untuk mengetahui Perkembangan Rasm Al Qur’an
4.      Untuk mengetahui Perbedaan Ulama Tentang Kedudukan Rasm Utsmani
5.      Untuk mengetahui Pendapat Ulama Tentang Status Tawqifi Pada Rasm Utsmani
6.      Untuk mengetahui Kekeliruan Penulisan
7.      Untuk mengetahui Hubungan Rasm Al Qur’an Dengan Pemahaman Al Qur’an




BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Rasm Al-Quran
Yang dimaksud dengan Rasm Al-Qur’an atau Rasm Utsmani atau Rasm Utsman adalah tata cara menuliskan Al-Qur’an yang ditetapkan pada masa khlalifah bin Affan. Istilah rasm dalam Islam Al-Qur’an diartikan sebagai pola penulisan al-Qur’an yang digunakan Ustman bin Affan dan sahabat-sahabatnya ketika menulis dan membukukan Al-Qur’an. Istilah Rasm Ustman lahir bersamaan dengan lahirnya Mus bin zubair, Said bin Al-Ash, dan Abdurrahman bin Al-harits. Mushaf Utsman ditulis dengan kaidah tertentu. Para ulama meringkas kaidah itu menjadi enam istilah, yaitu :[1]
1.      Al-Hadz (membuang, menghilangkan, atau meniadakan huruf). Contoh, menghilangkan huruf alif pada ya’nida’, dari ha tanbih, pada lafaz jalalah.
2.      Al-Jiyadah (penambahan), seperti menambahkan huruf alif setelah wawu atau yang mampunyai hukum jama’ dan menambah  huruf setelah hamzah marsumah (hamzah yang terletak diatas tulisan wawu.
3.      Al-Hazmah, salah satu kaidahnya berbunyui bahwa apabila hamzah berharakat sukun, ditulis dengan huruf berharakat yang sebelumnya, contoh I’dzan   dan U’tumin.
4.      Badal (pergantian), seperti alif ditulis dengan wawu sebagai penghormatan.
5.      Washal dan fashl (penyambungan dan pemisahan), seperti kata kul yang diringi kata ma ditulis dengan disambung.
6.      Kata yang dapat dibaca dua bunyi. Penulisan kata yang dapat dibaca dua bunyi disesuaikan dengan salah satu bunyi. Didalam mushaf  Utsmani, penulisan kata semacam itu ditulis dengan menghilangkan alif (yakni dibaca dua alif), boleh juga dengan hanya menurut buyi harakat (yakni dibaca satu alif).
B.     Pola, Hukum Dan Kedudukan Rasm Al-Qur’an
Kedudukan rams Ustman dipersilahkan para ulama, apakah pola penulisan tersebut merupakan petunjuk Nabi (tawqifi) atau hanya ijtihad para sahabat. Jumbur ulama berpendapat bahwa pola rams Utsmani bersifat dengan alasan bahwa para penulis wahyu adalah sahabat-sahabat yang ditunjuk dan dipercayai Nabi saw. Pola penulisan tersebut bukan merupakan ijtihad para sahabat Nabi, dan para sahabat tidak mungkin melakukan kesepakatan (ijma) dalam hal-hal yang bertentangan dengan kehendak dan restu Nabi.
Sekelompok ulama berpendapat lain, bahwa pola penulisan didalam rams Ustmani tidak bersifat taufiqi, tetapi hanya ijtihad para sahabat. Tidak pernah ditemukan riyawat Nabi mengenai ketentuan pola penulisan wahyu. Bahkan sebuah riwayat Nabi mengenai ketentuan pola penulisan wahyu. Bahkan sebuah riwayat dikutip oleh Rajab Farjani : “Sesungguhnya Rasulullah saw, memerintahkan menulis Al-Qur’an, tetapi tidak memberikan petunjuk teknis penulisannya, dan tidak pula melarang menulisnya dengan pola-pola tertentu.[2]
Beberapa orang memperhatikan sikap yang berlebihan dengan menyatakan pendapat, bahwa Rasm Qur’ani itu adalah tauqifi, yang metode penulisannya diletakkan sendiri oleh Rasulullah Saw. Mereka mengaitkan Rasm Qur’ani itu kepada beliau, padahal beliau adalah seorang Nabi yang tak kenal baca tulis. Mereka mengatakan bahwa Nabi pernah berkata kepada Muawiyah, salah seorang petugas pencatat wahyu : “Ambillah tinta, tulislah huruf” dengan qalam (pena), rentangkan huruf “baa”, bedakan huruf “siin”, jangan merapatkan lubang huruf “miim”, tulis lafadz “Allah” yang baik, panjangkan lafadz “Ar-Rahman”, dan tulislah lafadz “Ar-Rahim” yang indah kemudian letakkan qalam-mu pada telinga kiri, ia akan selalu mengingat Engkau. Ibnu Mubarak termasuk orang yang paling bersemangat mempertahankan pendapat seperti itu. Dalam bukunya yang berjudul Al-Ibrizt ia mencatat apa yang dikatakan oleh gurunya; Abdul Aziz Ad-Dabbagh, yang mengatakan sebagai berikut :
“Tidak seujung rambut pun dari huruf Qur’ani yang ditulis oleh seorang sahabat Nabi atau lainnya. Rasm Qur’ani adalah tauqif dari Nabi (yakni atas dasar petunjuk dan tuntunan langsung dari Rasulullah SAW). Beliaulah yang menyuruh mereka (para sahabat) menulis rasm qur’ani itu dalam bentuk yang kita kenal, termasuk tambahan huruf alif dan pengurangannya, untuk kepentingan rahasia yang tidak dapat dijangkau akal fikiran, yaitu rahasia yang dikhususkan Allah bagi kitab-kitab suci lainnya”.[3]
Lagi pula, seandainya itu petunjuk Nabi, rasm itu akan disebut rasm Nabawi, bukannya rasm ‘Utsmani. Belum lagi ummi Nabi diartikan sebagai buta huruf, yang berarti tidak mungkin petunjuk teknis datang dari Nabi. Tidak pernah ditemukan suatu riwayat, baik dari Nabi maupun sahabat bahwa pola penulisan Al Qur’an itu berasal dari Nabi.
Dengan demikian, kewajiban mengikuti pola penulisan Al Qur’an versi Mushaf ‘Utsmani diperselisihkan para ulama. Ada yang mengatakan wajib, dengan alasan bahwa pola tersebut merupakan petunjuk Nabi (tauqifi). Pola itu harus dipertahankan walaupun beberapa di antaranya menyalahi kaidah penulisan yang telah dibakukan. Bahkan Imam Ahmad ibn Hanbal dan Imam Malik berpendapat haram hukumnya menulis Al Qur’an menyalahi rasm ‘Utsmani. Bagaimanpun, pola tersebut sudah merupakan kesepakatan ulama mayoritas (jumhur ulama).
Ulama yang tidak mengakui rasm ‘Utsmani sebagai rasm tauqifi, berpendapat bahwa tidak ada masalah jika Al Qur’an ditulis dengan pola penulisan standar (rasm imla’i). Soal pola penulisan diserahkan kepada pembaca. Kalau pembaca lebih mudah dengan rasm imla’i, ia dapat menulisnya dengan pola tersebut, karena pola penulisan itu hanya simbol pembacaan, dan tidak mempengaruhi makna Al Qur’an.
C.    Perkembangan Rasm Al Qur’an
Pada mulanya mushaf para sahabat berbeda antara satu dengan lainnya. Mereka mencatat wahyu Al Qur’an tanpa pola penulisan standar. Karena umumnya dimaksudkan hanya untuk kebutuhan pribadi, tidak direncanakan akan diwariskan kepada generasi sesudahnya. Di antara mereka ada yang menyelipkan catatan-catatan tambahan  dari penjelasan Nabi, ada lagi yang menambahkan simbol-simbol tertentu dan tulisannya yang hanya diketahui oleh penulisnya.
Seperti diketahui, pada masa permulaan Islam mushaf Al Qur’an belum mempunyai tanda-tanda baca dan baris. Mushaf Utsmani tidak seperti yang dikenal sekarang, dilengkapi tanda-tanda baca. Belum ada tanda titik, sehingga sulit membedakan antara huruf ya’ (ي)  dan ba’ (ب). Demikian pula antara sin (س)dan syin (ش), antara tha’ (ط) dan zha’ (ظ), dan seterusnya.
Kesulitan mulai muncul ketika Islam mulai meluas ke wilayah-wilayah non Arab, seperti Persia di sebelah timur, Afrika disebelah Selatan, dan beberapa wilayah non Arab disebelah barat. Masalah ini mulai disadari para pemimpin Islam. Ketika Ziyad ibn Samiyyah menjabat gubernur Bashrah pada masa Mua’wiyah ibn Abi Sofyan (661-680 M) – riwayat lain menyebutkan pada masa pemerintahan Ali ibn Abi Thalib – ia memerintahkan Abu Al-Aswad Al-Duwali membuatkan tanda-tanda baca, terutama untuk menghindari kesalahan dalam membaca Al Qur’an bagi generasi yang tidak hafal Al Qur’an.
Al-Duwali memenuhi permintaan itu setelah mendengarkan suatu kasus salah pembacaan yang fatal, yaitu : 
Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya berlepas diri dari orang-orang musyrik”.
Pada suatu ketika seorang membaca ayat tersebut dengan :
“Sesungguhnya Allah berlepas diri dari orang-orang musyrik dan Rasul-Nya”.
Selanjutnya rasm mengalami perkembangan. Khalifah Abdul ibn Marwan (685-705), memerintahkan Al-Hajjaj ibn Yusuf Al-Saqafi untuk menciptakan tanda-tanda huruf Al-Qur’an (nuqth al-Qur’an). Mendelegasikan tugas itu kepada Nashr ibn Ashim dan Yahya ibu Ma’mur, keduanya adalah murid al-Duwali. Kedua orang inilah yang membubuhi titik pada sejumlah huruf tertentu yang mempunyai kemiripan antara satu dengan yang lainnya, misalnya penambahan titik diatas huruf dal maka menjadi huruf dzal. Dari pola penulisan tersebut akhirnya berkembanglah berbagai pola penulisan dalam berbagai bentuk seperti pola kufi, maghribi, naqsh, dll.[4]

D.    Perbedaan Ulama Tentang Kedudukan Rasm Utsmani
Mushaf-mushaf yang dikirim Utsman ke seluruh penjuru negeri yang disebut sebagai rasm utsmani, adalah mushaf yang wajib diikuti berdasar kesepakatan para ulama, meskipun kita tidak begitu mengerti apa hikmah dibalik perbedaan metode penulisan Rasm Utsmani dengan kaidah-kaidah penulisan dalam bahasa Arab. Hukum wajib ini bukan tanpa alasan. Menurut sebagian ulama rasm utsmani telah disepaki oleh 12000 sahabat. Kesepakatan ini menjadikan sebuah kewajiban bagi kita untuk ittiba'. Rasulullah SAW memerintahkan kita berpegang teguh terhadap sunnah beliau dan sunnah-sunnah khulafa'ur rasyidin. 
Imam Al-Baihaqi dalam kitab haditsnya "Syu'bul Iman", mengatakan bahwa hendaknya kita membaca dan menulis Al-Qur'an sesuai dengan apa yang telah ditulis para sahabat. Karena mereka lebih banyak ilmunya, lebih benar hati dan lisannya, dan lebih besar amanahnya. 
Syeikh Abduraahman bin Al-Qadli al-Magrabi mengatakan bahwa hukum menulis al-Qur'an tidak sesuai dengan rasm utsmani adalah haram. Alasan yang dijadikan dalil memperbolehkan penulisan Al-Qur'an yang tidak sesuai dengan rasm utsmani berupa ketidak mengertian kalangan awam atas rasm utsmani dan akan mengakibatkan mereka keliru dalam membaca al-Qur'an dan alasan-alasan yang lain, adalah alasan yang tidak dapat diterima karena ini bertentangan dengan apa yang telah disepakati oleh sebagian besar sahabat dan para ulama sesudahnya. 
Jika ditanya, mengapa kita tidak memakai mushaf Abu Bakar saja, padahal mushaf tersebut ada sebelum mushaf utsman? Jawabannya adalah bahwa mushaf Abu Bakar mengumpulkan ketujuh wajah qira'ah di mana di dalam penulisannya mengakibatkan adanya perbedaan antar satu qira'ah dengan qari'ah yang lain, untuk menghindari kerancuan. Lagi pula mushaf Abu Bakar telah sirna karena ikut tercuci saat Hafshah binti Umar ummul mukminin meninggal. Sedangkan mushaf utsman dinukil dari mushaf Abu Bakar yang hanya menuliskan satu qiraah yakni qiraah dengan dialek bahasa bangsa Quraisy.[5]

E.     Pendapat Ulama Tentang Status Tawqifi Pada Rasm Utsmani
Para ulama berbeda pendapat tentang hal ini. Sebagian mereka berpendapat bahwa rasm utsmani adalah tauqifi, dan diajarkan oleh rasulullah SAW. Hal ini berdasarkan riwayat bahwa Rasulullah membacakan ayat al-Quran di hadapan Zaid bin Tsabit untuk ditulis (imla'), seperti penulisan واخشوني dengan menggunakan ya' pada surat Al-Baqarah dan tanpa ya' dalam surat Al-Maidah. Contoh-contoh lain banyak di dalam al-Quran, yang semuanya disaksikan sekelompok besar sahabat. Semua dasar itu membuktikan rasm al-Qur'an adalah tawqifi bukan hasil hasil ijtihad para sahabat. Alasan lain adalah sudah ditulisnya al-Qur'an sejak zaman Rasulullah SAW, meski tidak terkumpul dalam satu tempat dan urutan surat yang belum ditertibkan.[6]
Pendapat yang mengatakan rasm utsmani bukan tauqifi melainkan hasil ijtihad sahabat memberikan alasan sebagai berikut:
  1. Rasulullah adalah seorang ummi, tidak bisa membaca dan menulis, meskipun ini merupakan mukjizat bagi beliau.
  2. Zaid bin Tsabit tidak akan berbeda pendapat dengan sahabat yang lain pada kalimah التابوتapakah ditulis dengan ta' atau ha' (tak ta'nits), hingga akhirnya sampai ke telinga Utsman dan beliau memerintahkan menulisnya dengan ta'.
  3. Jika rasm utsmani tawqifi, maka tidak akan terjadi perbedaan diantara mushaf-mushaf yang beliau kirim ke berbagai daerah.
  4. Jika tawqifi, maka Imam Malik tidak akan memperbolehkan penulisan al-Qur'an untuk bahan pelajaran anak-anak yang tidak sesuai dengan rasm utsmani
Meskipun para ulama ini mengatakan demikian, bukan berarti mereka meremehkan para sahabat penulis al-Qura'n, menganggap mereka telah berbuat teledor atau menganggap mereka bodoh dan tidak paham akan kaidah-kaidah penulisan bahasa Arab, seperti yang didengungkan para orientalis atau kaum Syiah yang menganggap para sahabat penulis al-Qur'an telah berkhianat dengan melakukan tahrif dan taghyir pada al-Qur'an serta membuang banyak ayat al-Qur'an diantaranya adalah ayat yang menjelaskan keberhakan 'Ali bin Abi Thalib atas kursi khalifah sesudah Rasulullah SAW.[7]

F.     Kekeliruan Penulisan
Mengenai mushaf Utsamani, walaupun sejak awal telah dilakukan evaluasi ulang, ketika dilakukan tauhid al-Mashahif, ternyata tidak luput dari kekeliruan dan inkosistensi. Hal demikian terjadi karena pada masa dilakukannya tauhid al-Mashahif, kaum muslimin belum begitu  mengenal dengan baik seni khath dan cara penulisan (usluh al-Kitabah). Bahkan mereka beluim mengenal tulisan, kecuali beberapa orang saja. Adanya kekeliruan (lahn) ini, diakui oleh Ustman sendiri. Ibnu Abi Daud meriwayatkan bahwa setelah mereka menyelesaikan naskh Al-Mahsahif, mereka membawa sebuah mushaf kepada Utsman, kemudian beliau melihatnya dan mengatakan : “Sungguh kalian telah melakukan hal yang baik. Didalamnya aku melihat ada kekeliruan  (lahn) yang lanjutnya Utsman mengatakan : “Seandainya yang mengimlakan dan Hudzail dan yang menulis dari tsaqif, tentu ini tidak akan terjadi diatasnya.
Waktu akan diluruskan oleh (kemampuan) bahasa “mereka sepanjang sejarah tidak dilakukan. Disini terdapat hikmah. Karena bila dilakukan, justru oleh tangan-tangan ahli kebatilan yang mengatasnamakan istilah atas kekeliruan, atau dijadikan mainan para pengekor hawa nafsu. Oleh karena itu pula, seperti diatas, Ali bin Abi Thalib A.S mengatakan. “Sejak ini Al-Qur’an tidak dapat diotak-ataik dan diubah-ubah.[8]

G.    Hubungan Rasm Al Qur’an Dengan Pemahaman Al Qur’an
Meskipun mushaf Utsmani tetap dianggap sebagai satu-satunya mushaf yang dijadikan pegangan bagi umat Islam diseluruh dunia dalam pembacaan Al-Qur’an, namun demikian masih terdapat juga perbedaan dalam pembacaan. Hal ini disebabkan penulisan Al-Qur’an itu sendiri pada waktu itu belum mengenal adanya tanda-tanda titik pada huruf-huruf yang hampir sama dan belum ada baris harakat. Bagi mereka (para sahabat dan tabi’in) memang tidak mempengaruhi pembacaan Al-Qur’an, karena mereka telah fasih dalam pembacaan bahasa Arab. Namun bagi mereka orang Islam non Arab akan meresa sulit untuk membedakan bacaan-bacaan yang hampir sama tanpa menggunakan titik perbedaan dan baris barakat. 
Dengan demikian hubungan rasmul Qur’an dengan pemahaman Al-Qur’an sangat erat. Karena semakin lengkap petunjuk yang dapat ditangkap semakin sedikit pula kesulitan untuk mengungkap pengertian-pengertian yang terkandung didalam Al-Qur’an.[9]
Untuk mengatasi permasalahan tersebut Abu Aswad Ad-Duali berusaha menghilangkan kesulitan-kesulitan yang sering dialami oleh orang-orang Islam non Arab dalam membaca Al-Qur’an dengan memberikan tanda-tanda yang diperlukan untuk menolong mereka membaca ayat-ayat al-Qur’an dan memahami kandungan ayat-ayat al-Qur’an tersebut .

BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Yang dimaksud dengan Rasm Al-Qur’an atau Rasm Utsmani atau Rasm Utsman adalah tata cara menuliskan Al-Qur’an yang ditetapkan pada masa khlalifah bin Affan. Istilah rasm dalam Islam Al-Qur’an diartikan sebagai pola penulisan al-Qur’an yang digunakan Ustman bin Affan dan sahabat-sahabatnya ketika menulis dan membukukan Al-Qur’an.
Kedudukan rasm Ustman dipersilahkan para ulama, apakah pola penulisan tersebut merupakan petunjuk Nabi (tawqifi) atau hanya ijtihad para sahabat. Jumbur ulama berpendapat bahwa pola rams Utsmani bersifat dengan alasan bahwa para penulis wahyu adalah sahabat-sahabat yang ditunjuk dan dipercayai Nabi saw. Pola penulisan tersebut bukan merupakan ijtihad para sahabat Nabi, dan para sahabat tidak mungkin melakukan kesepakatan (ijma) dalam hal-hal yang bertentangan dengan kehendak dan restu Nabi
Pada mulanya mushaf para sahabat berbeda antara satu dengan lainnya. Mereka mencatat wahyu Al Qur’an tanpa pola penulisan standar. Karena umumnya dimaksudkan hanya untuk kebutuhan pribadi, tidak direncanakan akan diwariskan kepada generasi sesudahnya. Di antara mereka ada yang menyelipkan catatan-catatan tambahan  dari penjelasan Nabi, ada lagi yang menambahkan simbol-simbol tertentu dan tulisannya yang hanya diketahui oleh penulisnya.
Imam Al-Baihaqi dalam kitab haditsnya "Syu'bul Iman", mengatakan bahwa hendaknya kita membaca dan menulis Al-Qur'an sesuai dengan apa yang telah ditulis para sahabat. Karena mereka lebih banyak ilmunya, lebih benar hati dan lisannya, dan lebih besar amanahnya. 
Syeikh Abduraahman bin Al-Qadli al-Magrabi mengatakan bahwa hukum menulis al-Qur'an tidak sesuai dengan rasm utsmani adalah haram. Alasan yang dijadikan dalil memperbolehkan penulisan Al-Qur'an yang tidak sesuai dengan rasm utsmani berupa ketidak mengertian kalangan awam atas rasm utsmani dan akan mengakibatkan mereka keliru dalam membaca al-Qur'an dan alasan-alasan yang lain, adalah alasan yang tidak dapat diterima karena ini bertentangan dengan apa yang telah disepakati oleh sebagian besar sahabat dan para ulama sesudahnya. 

DAFTAR PUSTAKA

Dr. M. Qhuraish Shihab, Membumikan Al-Quran: fungsi dan peran wahyu dalam kehidupan masyarakat, Penerbit Mizan, Bandung 1994.

Prof. Dr. H. Rachmat Syafe’i, M.A.  Pengantar Ilmu Tafsir, Penerbit Pustaka Setia, Bandung februari 2006.

Drs. Abu Anwar, M.Ag, Ulumul Qur’an Sebuah Pengantar, Penerbit Amzah, Oktober 2005.

Anwar R, Ulum Al-qur’an. Pustaka Setia. Bandung. 2007.

El-Masni A.R,. Pengantar Studi Ilmu Al-qur’an. Pustaka Al-Kautsar. Jakarta Timur. 2006.



[1] Dr. M. Qhuraish Shihab, Membumikan Al-Quran: fungsi dan peran wahyu dalam kehidupan masyarakat, (Penerbit Mizan, Bandung 1994) h. 87
[2] Prof. Dr. H. Rachmat Syafe’i, M.A.  Pengantar Ilmu Tafsir, Penerbit Pustaka Setia, (Bandung Februari 2006) h. 44
[3] Dr. M. Qhuraish Shihab, Membumikan Al-Quran: fungsi dan peran wahyu dalam kehidupan masyarakat, (Penerbit Mizan, Bandung 1994) h. 12
[4] Drs. Abu Anwar, M.Ag, Ulumul Qur’an Sebuah Pengantar, (Penerbit Amzah, Oktober 2005) h. 112
[5] Dr. M. Qhuraish Shihab, Membumikan Al-Quran: fungsi dan peran wahyu dalam kehidupan masyarakat, (Penerbit Mizan, Bandung 1994) h. 88
[6] Anwar R, Ulum Al-qur’an. (Pustaka Setia. Bandung. 2007) h. 165
[7] Drs. Abu Anwar, M.Ag, Ulumul Qur’an Sebuah Pengantar, (Penerbit Amzah, Oktober 2005) h. 43
[8] El-Masni A.R,. Pengantar Studi Ilmu Al-qur’an. (Pustaka Al-Kautsar. Jakarta Timur. 2006) h. 65
[9] Prof. Dr. H. Rachmat Syafe’i, M.A.  Pengantar Ilmu Tafsir, (Penerbit Pustaka Setia, Bandung februari 2006) h. 44