MAKALAH
TAFSIR DAN HADIST
“Rasmul Qur’an”
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Al-Quran
diturunkan secara bertahap. Setiap kali ada ayat turun, Rasulullah SAW segera
menyampaikannya kepada umat, dan memerintahkan untuk menulisnya. Diantara
sahabat, ada yang langsung menghafal ayat al-Qur'an setiap kali turun. Ada pula
yang hanya menulisnya, dan Rasulullah menuntun penulisan itu sesuai dengan
urutan surat dan ayat.
Ketika
Rasulullah SAW wafat, Al-Qur'an tidak terkumpul dalam satu buku (mushaf),
melainkan tersimpan dalam dada para sahabat, terukir diatas lembar-lembar para
penulis wahyu. Pada saat itu para penghafal al-Qur'an sangat banyak, dan ada
yang hafal secara keseluruhan.
Ketika Abu Bakar khalifah pertama memberantas kaum
murtadin dan pendukung nabi palsu; Musailamah, banyak dari penghafal al-Qur'an
gugur sebagai Syahid, hingga Abu Bakar khawatir hal ini akan mengakibatkan
lenyapnya al-Qur'an dari muka bumi.
B. Rumusan Masalah
1.
Apa
Pengertian Rasm Al-Quran?
2.
Bagaimana
Pola, Hukum Dan Kedudukan Rasm Al-Qur’an?
3.
Bagaimana
Perkembangan Rasm Al Qur’an?
4.
Bagaimana
Perbedaan Ulama Tentang Kedudukan
Rasm Utsmani?
5.
Bagaimana
Pendapat Ulama Tentang Status
Tawqifi Pada Rasm Utsmani?
6.
Bagaimana
Kekeliruan Penulisan?
7.
Bagaimana
Hubungan Rasm Al Qur’an Dengan Pemahaman Al Qur’an?
C. Tujuan
1.
Untuk
mengetahui Pengertian Rasm Al-Quran
2.
Untuk
mengetahui Pola, Hukum Dan Kedudukan Rasm Al-Qur’an
3.
Untuk
mengetahui Perkembangan Rasm Al Qur’an
4.
Untuk
mengetahui Perbedaan Ulama Tentang
Kedudukan Rasm Utsmani
5.
Untuk
mengetahui Pendapat Ulama Tentang
Status Tawqifi Pada Rasm Utsmani
6.
Untuk
mengetahui Kekeliruan Penulisan
7.
Untuk
mengetahui Hubungan Rasm Al Qur’an Dengan Pemahaman Al Qur’an
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Rasm Al-Quran
Yang
dimaksud dengan Rasm Al-Qur’an atau Rasm Utsmani atau Rasm Utsman adalah tata
cara menuliskan Al-Qur’an yang ditetapkan pada masa khlalifah bin Affan. Istilah rasm dalam Islam Al-Qur’an diartikan sebagai pola
penulisan al-Qur’an yang digunakan Ustman bin Affan dan sahabat-sahabatnya
ketika menulis dan membukukan Al-Qur’an. Istilah Rasm
Ustman lahir bersamaan dengan lahirnya Mus bin zubair, Said bin Al-Ash, dan
Abdurrahman bin Al-harits. Mushaf Utsman ditulis dengan kaidah tertentu. Para
ulama meringkas kaidah itu menjadi enam istilah, yaitu :[1]
1.
Al-Hadz (membuang,
menghilangkan, atau meniadakan huruf). Contoh, menghilangkan huruf alif pada
ya’nida’, dari ha tanbih, pada lafaz jalalah.
2.
Al-Jiyadah (penambahan),
seperti menambahkan huruf alif setelah wawu atau yang mampunyai hukum jama’ dan
menambah huruf setelah hamzah marsumah (hamzah yang terletak diatas
tulisan wawu.
3.
Al-Hazmah, salah satu
kaidahnya berbunyui bahwa apabila hamzah berharakat sukun, ditulis dengan huruf
berharakat yang sebelumnya, contoh I’dzan dan
U’tumin.
4.
Badal (pergantian), seperti
alif ditulis dengan wawu sebagai penghormatan.
5.
Washal dan fashl
(penyambungan dan pemisahan), seperti kata kul yang diringi kata ma ditulis
dengan disambung.
6.
Kata yang dapat dibaca dua
bunyi. Penulisan kata yang dapat dibaca dua bunyi disesuaikan dengan salah satu
bunyi. Didalam mushaf Utsmani, penulisan kata semacam itu ditulis dengan
menghilangkan alif (yakni dibaca dua alif), boleh juga dengan hanya menurut
buyi harakat (yakni dibaca satu alif).
B. Pola, Hukum Dan Kedudukan Rasm Al-Qur’an
Kedudukan
rams Ustman dipersilahkan para ulama, apakah pola penulisan tersebut merupakan
petunjuk Nabi (tawqifi) atau hanya ijtihad para sahabat. Jumbur ulama
berpendapat bahwa pola rams Utsmani bersifat dengan alasan bahwa para penulis
wahyu adalah sahabat-sahabat yang ditunjuk dan dipercayai Nabi saw. Pola
penulisan tersebut bukan merupakan ijtihad para sahabat Nabi, dan para sahabat
tidak mungkin melakukan kesepakatan (ijma) dalam hal-hal yang bertentangan
dengan kehendak dan restu Nabi.
Sekelompok
ulama berpendapat lain, bahwa pola penulisan didalam rams Ustmani tidak
bersifat taufiqi, tetapi hanya ijtihad para sahabat. Tidak pernah ditemukan
riyawat Nabi mengenai ketentuan pola penulisan wahyu. Bahkan sebuah riwayat
Nabi mengenai ketentuan pola penulisan wahyu. Bahkan sebuah riwayat dikutip
oleh Rajab Farjani : “Sesungguhnya Rasulullah saw, memerintahkan menulis
Al-Qur’an, tetapi tidak memberikan petunjuk teknis penulisannya, dan tidak pula
melarang menulisnya dengan pola-pola tertentu.[2]
Beberapa
orang memperhatikan sikap yang berlebihan dengan menyatakan pendapat, bahwa
Rasm Qur’ani itu adalah tauqifi, yang metode penulisannya diletakkan sendiri
oleh Rasulullah Saw. Mereka mengaitkan Rasm Qur’ani itu kepada beliau, padahal
beliau adalah seorang Nabi yang tak kenal baca tulis. Mereka mengatakan bahwa
Nabi pernah berkata kepada Muawiyah, salah seorang petugas pencatat wahyu :
“Ambillah tinta, tulislah huruf” dengan qalam (pena), rentangkan huruf “baa”,
bedakan huruf “siin”, jangan merapatkan lubang huruf “miim”, tulis lafadz
“Allah” yang baik, panjangkan lafadz “Ar-Rahman”, dan tulislah lafadz
“Ar-Rahim” yang indah kemudian letakkan qalam-mu pada telinga kiri, ia akan
selalu mengingat Engkau. Ibnu Mubarak termasuk orang yang paling bersemangat
mempertahankan pendapat seperti itu. Dalam bukunya yang berjudul Al-Ibrizt ia
mencatat apa yang dikatakan oleh gurunya; Abdul Aziz Ad-Dabbagh, yang
mengatakan sebagai berikut :
“Tidak
seujung rambut pun dari huruf Qur’ani yang ditulis oleh seorang sahabat
Nabi atau lainnya. Rasm Qur’ani adalah tauqif dari Nabi (yakni atas dasar
petunjuk dan tuntunan langsung dari Rasulullah SAW). Beliaulah yang menyuruh
mereka (para sahabat) menulis rasm qur’ani itu dalam bentuk yang kita kenal,
termasuk tambahan huruf alif dan pengurangannya, untuk kepentingan rahasia yang
tidak dapat dijangkau akal fikiran, yaitu rahasia yang dikhususkan Allah bagi
kitab-kitab suci lainnya”.[3]
Lagi
pula, seandainya itu petunjuk Nabi, rasm itu akan disebut rasm Nabawi, bukannya
rasm ‘Utsmani. Belum lagi ummi Nabi diartikan sebagai buta huruf, yang berarti
tidak mungkin petunjuk teknis datang dari Nabi. Tidak pernah ditemukan suatu
riwayat, baik dari Nabi maupun sahabat bahwa pola penulisan Al Qur’an itu
berasal dari Nabi.
Dengan
demikian, kewajiban mengikuti pola penulisan Al Qur’an versi Mushaf ‘Utsmani
diperselisihkan para ulama. Ada yang mengatakan wajib, dengan alasan bahwa pola
tersebut merupakan petunjuk Nabi (tauqifi). Pola itu harus dipertahankan
walaupun beberapa di antaranya menyalahi kaidah penulisan yang telah dibakukan.
Bahkan Imam Ahmad ibn Hanbal dan Imam Malik berpendapat haram hukumnya menulis
Al Qur’an menyalahi rasm ‘Utsmani. Bagaimanpun, pola tersebut sudah merupakan
kesepakatan ulama mayoritas (jumhur ulama).
Ulama
yang tidak mengakui rasm ‘Utsmani sebagai rasm tauqifi, berpendapat bahwa tidak
ada masalah jika Al Qur’an ditulis dengan pola penulisan standar (rasm imla’i).
Soal pola penulisan diserahkan kepada pembaca. Kalau pembaca lebih mudah dengan
rasm imla’i, ia dapat menulisnya dengan pola tersebut, karena pola penulisan
itu hanya simbol pembacaan, dan tidak mempengaruhi makna Al Qur’an.
C. Perkembangan Rasm Al Qur’an
Pada
mulanya mushaf para sahabat berbeda antara satu dengan lainnya. Mereka mencatat
wahyu Al Qur’an tanpa pola penulisan standar. Karena umumnya dimaksudkan hanya
untuk kebutuhan pribadi, tidak direncanakan akan diwariskan kepada generasi
sesudahnya. Di antara mereka ada yang menyelipkan catatan-catatan
tambahan dari penjelasan Nabi, ada lagi yang menambahkan simbol-simbol
tertentu dan tulisannya yang hanya diketahui oleh penulisnya.
Seperti
diketahui, pada masa permulaan Islam mushaf Al Qur’an belum mempunyai
tanda-tanda baca dan baris. Mushaf Utsmani tidak seperti yang dikenal sekarang,
dilengkapi tanda-tanda baca. Belum ada tanda titik, sehingga sulit membedakan
antara huruf ya’ (ي) dan ba’ (ب). Demikian pula antara sin (س)dan syin (ش), antara tha’ (ط) dan zha’ (ظ), dan seterusnya.
Kesulitan
mulai muncul ketika Islam mulai meluas ke wilayah-wilayah non Arab, seperti
Persia di sebelah timur, Afrika disebelah Selatan, dan beberapa wilayah non
Arab disebelah barat. Masalah ini mulai disadari para pemimpin Islam. Ketika
Ziyad ibn Samiyyah menjabat gubernur Bashrah pada masa Mua’wiyah ibn Abi Sofyan
(661-680 M) – riwayat lain menyebutkan pada masa pemerintahan Ali ibn Abi
Thalib – ia memerintahkan Abu Al-Aswad Al-Duwali membuatkan tanda-tanda baca,
terutama untuk menghindari kesalahan dalam membaca Al Qur’an bagi generasi yang
tidak hafal Al Qur’an.
Al-Duwali
memenuhi permintaan itu setelah mendengarkan suatu kasus salah pembacaan yang fatal,
yaitu :
“Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya berlepas
diri dari orang-orang musyrik”.
Pada
suatu ketika seorang membaca ayat tersebut dengan :
“Sesungguhnya Allah berlepas diri dari
orang-orang musyrik dan Rasul-Nya”.
Selanjutnya
rasm mengalami perkembangan. Khalifah Abdul ibn Marwan (685-705),
memerintahkan Al-Hajjaj ibn Yusuf Al-Saqafi untuk menciptakan tanda-tanda huruf
Al-Qur’an (nuqth al-Qur’an). Mendelegasikan tugas itu kepada Nashr ibn Ashim
dan Yahya ibu Ma’mur, keduanya adalah murid al-Duwali. Kedua orang inilah yang
membubuhi titik pada sejumlah huruf tertentu yang mempunyai kemiripan antara
satu dengan yang lainnya, misalnya penambahan titik diatas huruf dal maka
menjadi huruf dzal. Dari pola penulisan tersebut akhirnya berkembanglah
berbagai pola penulisan dalam berbagai bentuk seperti pola kufi, maghribi,
naqsh, dll.[4]
D. Perbedaan Ulama Tentang Kedudukan Rasm Utsmani
Mushaf-mushaf
yang dikirim Utsman ke seluruh penjuru negeri yang disebut sebagai rasm
utsmani, adalah mushaf yang wajib diikuti berdasar kesepakatan para ulama,
meskipun kita tidak begitu mengerti apa hikmah dibalik perbedaan metode
penulisan Rasm Utsmani dengan kaidah-kaidah penulisan dalam bahasa Arab. Hukum
wajib ini bukan tanpa alasan. Menurut sebagian ulama rasm utsmani telah disepaki
oleh 12000 sahabat. Kesepakatan ini menjadikan sebuah kewajiban bagi kita untuk
ittiba'. Rasulullah SAW memerintahkan kita berpegang teguh terhadap sunnah
beliau dan sunnah-sunnah khulafa'ur rasyidin.
Imam
Al-Baihaqi dalam kitab haditsnya "Syu'bul Iman", mengatakan bahwa
hendaknya kita membaca dan menulis Al-Qur'an sesuai dengan apa yang telah
ditulis para sahabat. Karena mereka lebih banyak ilmunya, lebih benar hati dan
lisannya, dan lebih besar amanahnya.
Syeikh Abduraahman bin Al-Qadli al-Magrabi mengatakan
bahwa hukum menulis al-Qur'an tidak sesuai dengan rasm utsmani adalah haram.
Alasan yang dijadikan dalil memperbolehkan penulisan Al-Qur'an yang tidak
sesuai dengan rasm utsmani berupa ketidak mengertian kalangan awam atas rasm
utsmani dan akan mengakibatkan mereka keliru dalam membaca al-Qur'an dan
alasan-alasan yang lain, adalah alasan yang tidak dapat diterima karena ini
bertentangan dengan apa yang telah disepakati oleh sebagian besar sahabat dan
para ulama sesudahnya.
Jika
ditanya, mengapa kita tidak memakai mushaf Abu Bakar saja, padahal mushaf
tersebut ada sebelum mushaf utsman? Jawabannya adalah bahwa mushaf Abu Bakar
mengumpulkan ketujuh wajah qira'ah di mana di dalam penulisannya mengakibatkan
adanya perbedaan antar satu qira'ah dengan qari'ah yang lain, untuk menghindari
kerancuan. Lagi pula mushaf Abu Bakar telah sirna karena ikut tercuci saat
Hafshah binti Umar ummul mukminin meninggal. Sedangkan mushaf utsman dinukil
dari mushaf Abu Bakar yang hanya menuliskan satu qiraah yakni qiraah dengan
dialek bahasa bangsa Quraisy.[5]
E. Pendapat Ulama Tentang Status Tawqifi Pada Rasm
Utsmani
Para
ulama berbeda pendapat tentang hal ini. Sebagian mereka berpendapat bahwa rasm
utsmani adalah tauqifi, dan diajarkan oleh rasulullah SAW. Hal ini berdasarkan
riwayat bahwa Rasulullah membacakan ayat al-Quran di hadapan Zaid bin Tsabit
untuk ditulis (imla'), seperti penulisan واخشوني dengan menggunakan ya'
pada surat Al-Baqarah dan tanpa ya' dalam surat Al-Maidah. Contoh-contoh lain
banyak di dalam al-Quran, yang semuanya disaksikan sekelompok besar sahabat.
Semua dasar itu membuktikan rasm al-Qur'an adalah tawqifi bukan hasil hasil
ijtihad para sahabat. Alasan lain adalah sudah ditulisnya al-Qur'an sejak zaman
Rasulullah SAW, meski tidak terkumpul dalam satu tempat dan urutan surat yang
belum ditertibkan.[6]
Pendapat
yang mengatakan rasm utsmani bukan tauqifi melainkan hasil ijtihad sahabat
memberikan alasan sebagai berikut:
- Rasulullah adalah seorang ummi, tidak bisa membaca dan
menulis, meskipun ini merupakan mukjizat bagi beliau.
- Zaid bin Tsabit tidak akan berbeda pendapat dengan
sahabat yang lain pada kalimah التابوتapakah ditulis dengan ta' atau
ha' (tak ta'nits), hingga akhirnya sampai ke telinga Utsman dan beliau
memerintahkan menulisnya dengan ta'.
- Jika rasm utsmani tawqifi, maka tidak akan terjadi
perbedaan diantara mushaf-mushaf yang beliau kirim ke berbagai daerah.
- Jika tawqifi, maka Imam Malik tidak akan memperbolehkan
penulisan al-Qur'an untuk bahan pelajaran anak-anak yang tidak sesuai
dengan rasm utsmani
Meskipun para ulama ini
mengatakan demikian, bukan berarti mereka meremehkan para sahabat penulis
al-Qura'n, menganggap mereka telah berbuat teledor atau menganggap mereka bodoh
dan tidak paham akan kaidah-kaidah penulisan bahasa Arab, seperti yang
didengungkan para orientalis atau kaum Syiah yang menganggap para sahabat
penulis al-Qur'an telah berkhianat dengan melakukan tahrif dan taghyir pada
al-Qur'an serta membuang banyak ayat al-Qur'an diantaranya adalah ayat yang
menjelaskan keberhakan 'Ali bin Abi Thalib atas kursi khalifah sesudah
Rasulullah SAW.[7]
F. Kekeliruan Penulisan
Mengenai
mushaf Utsamani, walaupun sejak awal telah dilakukan evaluasi ulang, ketika
dilakukan tauhid al-Mashahif, ternyata tidak luput dari kekeliruan dan
inkosistensi. Hal demikian terjadi karena pada masa dilakukannya tauhid
al-Mashahif, kaum muslimin belum begitu mengenal dengan baik seni khath
dan cara penulisan (usluh al-Kitabah). Bahkan mereka beluim mengenal tulisan,
kecuali beberapa orang saja. Adanya kekeliruan (lahn) ini, diakui oleh Ustman
sendiri. Ibnu Abi Daud meriwayatkan bahwa setelah mereka menyelesaikan naskh
Al-Mahsahif, mereka membawa sebuah mushaf kepada Utsman, kemudian beliau
melihatnya dan mengatakan : “Sungguh kalian telah melakukan hal yang baik. Didalamnya
aku melihat ada kekeliruan (lahn) yang lanjutnya Utsman mengatakan :
“Seandainya yang mengimlakan dan Hudzail dan yang menulis dari tsaqif, tentu
ini tidak akan terjadi diatasnya.
Waktu
akan diluruskan oleh (kemampuan) bahasa “mereka sepanjang sejarah tidak
dilakukan. Disini terdapat hikmah. Karena bila dilakukan, justru oleh
tangan-tangan ahli kebatilan yang mengatasnamakan istilah atas kekeliruan, atau
dijadikan mainan para pengekor hawa nafsu. Oleh karena itu pula, seperti
diatas, Ali bin Abi Thalib A.S mengatakan. “Sejak ini Al-Qur’an tidak dapat
diotak-ataik dan diubah-ubah.[8]
G. Hubungan Rasm Al Qur’an Dengan Pemahaman Al Qur’an
Meskipun
mushaf Utsmani tetap dianggap sebagai satu-satunya mushaf yang dijadikan
pegangan bagi umat Islam diseluruh dunia dalam pembacaan Al-Qur’an, namun
demikian masih terdapat juga perbedaan dalam pembacaan. Hal ini disebabkan
penulisan Al-Qur’an itu sendiri pada waktu itu belum mengenal adanya
tanda-tanda titik pada huruf-huruf yang hampir sama dan belum ada baris harakat.
Bagi mereka (para sahabat dan tabi’in) memang tidak mempengaruhi pembacaan
Al-Qur’an, karena mereka telah fasih dalam pembacaan bahasa Arab. Namun bagi
mereka orang Islam non Arab akan meresa sulit untuk membedakan bacaan-bacaan
yang hampir sama tanpa menggunakan titik perbedaan dan baris barakat.
Dengan
demikian hubungan rasmul Qur’an dengan pemahaman Al-Qur’an sangat erat. Karena
semakin lengkap petunjuk yang dapat ditangkap semakin sedikit pula kesulitan
untuk mengungkap pengertian-pengertian yang terkandung didalam Al-Qur’an.[9]
Untuk
mengatasi permasalahan tersebut Abu Aswad Ad-Duali berusaha menghilangkan
kesulitan-kesulitan yang sering dialami oleh orang-orang Islam non Arab dalam
membaca Al-Qur’an dengan memberikan tanda-tanda yang diperlukan untuk menolong
mereka membaca ayat-ayat al-Qur’an dan memahami kandungan ayat-ayat al-Qur’an
tersebut .
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Yang dimaksud dengan Rasm Al-Qur’an atau Rasm
Utsmani atau Rasm Utsman adalah tata cara menuliskan Al-Qur’an yang ditetapkan
pada masa khlalifah bin Affan. Istilah rasm dalam Islam Al-Qur’an diartikan
sebagai pola penulisan al-Qur’an yang digunakan Ustman bin Affan dan
sahabat-sahabatnya ketika menulis dan membukukan Al-Qur’an.
Kedudukan rasm Ustman dipersilahkan para
ulama, apakah pola penulisan tersebut merupakan petunjuk Nabi (tawqifi) atau
hanya ijtihad para sahabat. Jumbur ulama berpendapat bahwa pola rams Utsmani
bersifat dengan alasan bahwa para penulis wahyu adalah sahabat-sahabat yang
ditunjuk dan dipercayai Nabi saw. Pola penulisan tersebut bukan merupakan
ijtihad para sahabat Nabi, dan para sahabat tidak mungkin melakukan kesepakatan
(ijma) dalam hal-hal yang bertentangan dengan kehendak dan restu Nabi
Pada mulanya mushaf para sahabat berbeda
antara satu dengan lainnya. Mereka mencatat wahyu Al Qur’an tanpa pola
penulisan standar. Karena umumnya dimaksudkan hanya untuk kebutuhan pribadi,
tidak direncanakan akan diwariskan kepada generasi sesudahnya. Di antara mereka
ada yang menyelipkan catatan-catatan tambahan dari penjelasan Nabi, ada
lagi yang menambahkan simbol-simbol tertentu dan tulisannya yang hanya
diketahui oleh penulisnya.
Imam Al-Baihaqi dalam kitab
haditsnya "Syu'bul Iman", mengatakan bahwa hendaknya kita membaca dan
menulis Al-Qur'an sesuai dengan apa yang telah ditulis para sahabat. Karena
mereka lebih banyak ilmunya, lebih benar hati dan lisannya, dan lebih besar
amanahnya.
Syeikh Abduraahman bin
Al-Qadli al-Magrabi mengatakan bahwa hukum menulis al-Qur'an tidak sesuai
dengan rasm utsmani adalah haram. Alasan yang dijadikan dalil memperbolehkan
penulisan Al-Qur'an yang tidak sesuai dengan rasm utsmani berupa ketidak
mengertian kalangan awam atas rasm utsmani dan akan mengakibatkan mereka keliru
dalam membaca al-Qur'an dan alasan-alasan yang lain, adalah alasan yang tidak
dapat diterima karena ini bertentangan dengan apa yang telah disepakati oleh
sebagian besar sahabat dan para ulama sesudahnya.
DAFTAR PUSTAKA
Dr. M. Qhuraish Shihab, Membumikan Al-Quran: fungsi dan
peran wahyu dalam kehidupan masyarakat, Penerbit Mizan, Bandung 1994.
Prof. Dr. H. Rachmat Syafe’i, M.A. Pengantar Ilmu
Tafsir, Penerbit Pustaka Setia, Bandung februari 2006.
Drs. Abu Anwar, M.Ag, Ulumul Qur’an Sebuah Pengantar,
Penerbit Amzah, Oktober 2005.
Anwar R, Ulum Al-qur’an.
Pustaka Setia. Bandung. 2007.
El-Masni A.R,. Pengantar
Studi Ilmu Al-qur’an. Pustaka Al-Kautsar. Jakarta Timur. 2006.
[1]
Dr. M. Qhuraish Shihab, Membumikan Al-Quran: fungsi dan
peran wahyu dalam kehidupan masyarakat, (Penerbit Mizan, Bandung
1994) h. 87
[2]
Prof. Dr. H. Rachmat Syafe’i, M.A. Pengantar Ilmu
Tafsir, Penerbit Pustaka Setia, (Bandung Februari 2006)
h. 44
[3]
Dr. M. Qhuraish Shihab, Membumikan Al-Quran: fungsi dan
peran wahyu dalam kehidupan masyarakat, (Penerbit Mizan, Bandung
1994) h. 12
[5]
Dr. M. Qhuraish Shihab, Membumikan Al-Quran: fungsi dan
peran wahyu dalam kehidupan masyarakat, (Penerbit Mizan, Bandung
1994) h. 88
[9]
Prof. Dr. H. Rachmat Syafe’i, M.A. Pengantar Ilmu
Tafsir, (Penerbit Pustaka Setia,
Bandung februari 2006) h. 44
No comments:
Post a Comment