1

loading...
Tampilkan postingan dengan label MAKALAH TAFSIR DAN HADIST. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label MAKALAH TAFSIR DAN HADIST. Tampilkan semua postingan

Kamis, 16 Mei 2019

MAKALAH MEMAHAMI AJARAN ISLAM TENTANG SUBYEK PENDIDIKAN ANAK DIDIK


 MAKALAH TAFSIR DAN HADIST

(Memahami Ajaran Islam Tentang Subyek Pendidikan Anak Didik)

BAB I

                                                              PENDAHULUAN

A.Latar Belakang
Pendidik merupakan unsur yang sangat esensi dalam memberi bimbingan dan bantuan kepada peserta didik dalam perkembangan jasmani dan rohani agar mencapai kedewasaan, dan mampu melaksanakan tugasnya sebagai makhluk Allah SWT yaitu kholifah di muka bumi.
Al-Quran sebagai pedoman hidup manusia di dalamnya terkandung ayat-ayat yang dapat kita gunakan sebagai pedoman hidup manusia. diantaranya merupakan ayat-ayat  yang menggali tentang subjek pendidikan. Untuk itu dalam makalah ini penulis mencoba memaparkan sedikit tentang ayat-ayat  Al-Qur’an yang berhubungan dengan subjek pendidikan dengan  harapan dapat lebih memahami bagaimana subjek pendidikan menurut Al-Quran.

 B.Rumusan Masalah
1.Menjelaskan ayat-ayat al-quran dan hadits nabi tentang subyek pendidikan ?
2.Merumuskan karakteristik subyek pendidikan ?     

C.Tujuan Pembahasan
1.untuk mengetahui ayat-ayat al-quran dan hadits nabi tentang subyek pendidikan
2.untuk mengetahui karakteristik sunyek pendidikan

BAB II
PEMBAHASAN

    A.    Menjelaskan dan Menganalisis Ayat –Ayat Al-Qur’an dan Hadits Nabi Tentang Subyek Pendidikan

Subjek pendidikan adalah orang yang berkenaan langsung dengan proses pendidikan dalam hal ini pendidik dan peserta didik. Peserta didik yaitu pihak yang merupakan sabjek terpenting dalam pendidikan.Hal ini disebabkan atau tindakan pendidik itu diadakan atau dilakukan hanyalah untuk membawa anak didik kepada tujuan pendidikan Islam yang dicita-citakan.
Dalam catatan lain menyebutkan subjek pendidikan adalah orang ataupun kelompok yang bertanggung jawab dalam memberikan pendidikan, sehingga materi yang diajarkan atau yang disampaikan dapat dipahami oleh objek pendidikan. Subjek pendidikan yang dipahami kebanyakan para ahli pendidikan adalah orang tua, guru-guru di institusi formal (disekolah) maupun non formal dan lingkungan masyarakat, sedangkan pendidikan pertama (tarbiyatul awwal) yang kita pahami selama ini adalah rumah tangga (orang tua).
Untuk mendapatkan keterangan yang jelas tentang subjek pendidikan kita harus melihatnya dari definisi yang ada. dengan demikian subjek pendidikan islam yaitu semua manusia yang berproses dalam dunia pendidikan baik formal, informal maupun nonformal yang sama-sama mempunyai tujuan demi pengembangan kepribadiannya. Sehingga menjadi insan yang mempunyai kesadaran penuh kepada sang pencipta.
Tafsir yang menjelaskan tentang subyek pendidikan
1.      Tafsir Ar-Rahman ayat 1-6 (Tuhan) yang maha pemurah.
1.      Dia menciptakan manusia.
2.      Mengajarnya pandai berbicara.
3.      Matahari dan bulan (beredar) menurut perhitungan.
4.      Dan tumbuh-tumbuhan dan pohon-pohonan kedua-duanya tunduk kepada nya.
Ar-Rahman ayat 1-4 ini menjelaskan tentang bagaimana Allah dalam sifatnya yang maha kasih sayang telah mengajarkan Al-Quran kepada Nabi Muhammad saw. untuk kemudian dijadikan landasan utama bagi kaum muslimin dalam mengarungi kehidupan di dunia.
2.      Tafsir An-Nahl ayat 43-44
Pada surat An-Nahl ayat 43, Allah menjelaskan bahwa semua rasul Allah itu adalah manusia yang diberi wahyu bukan malaikat. Tugas utama rasul adalah tabligh (menyampaikan) wahyu dari Allah swt. tak peduli apakah tabligh itu diterima oleh kaumnya atau tidak, tugas rasul hanyalah tabligh. Isi dari tabligh adalah menyampaikan berita gembira (basyiiran) dan berita menakutkan (nadziran). Tentu saja dalam proses penyampaian ini ada proses pembelajaran, yaitu suatu proses yang merubah tingkah laku suatu kaum, dari musyrik menjadi tauhid, dari kufur menjadi iman walaupun tidak semuanya berubah. Dengan demikian maka rasul adalah subjek belajar kedua setelah Allah swt.
Masih dalam ayat 43, Allah menegaskan kepada orang-orang kafir jika kalian tidak percaya bahwa rasul adalah manusia, maka tanyakanlah kepada orang-orang yang memiliki pengetahuan (ahladzdzikri)  tentang hal tersebut. Melalui ayat ini kita bisa mengetahui bahwa ketika kita tidak menguasai suatu bidang ilmu, maka hendaknya kita bertanya kepada orang yang ahli dalam bidang ilmu tersebut, dengan demikian maka kita akan mendapatkan jawaban yang meyakinkan karena dijawab oleh Ahlinya.
Jika kita tarik ke dalam teori pendidikan, maka proses pembelajaran yang disampaikan oleh Allah ini adalah proses pembelajaran inquiry yaitu suatu proses pembelajaran dimana anak didik menemukan masalah dan secara aktif siswa tersebut mencari jawabannya. Dalam ayat ini musyrikin Quraisy merasa tidak yakin akan kerasulan Nabi Muhammad, karena Nabi Muhammad adalah seorang manusia, maka Allah memerintahkan kepada musyrikin Quraisy tersebut untuk mencari jawabannya sendiri kepada orang-orang Ahli Kitab, tentang rasul mereka sebelum Nabi Muhammad, apakah berbentuk manusia atau malaikat. Dengan demikian maka subjek pendidikan pada lanjutan ayat 43 ini adalah musyrikin Quraisy atau dalam konteks pendidikan adalah peserta didik. Adapun ahludzdzikri  hanyalah sebagai fasilitator atau sumber belajar saja.
Pada ayat 44, Allah menegaskan bahwa kedatangan para rasul terdahulu itu disertai dengan mukjizat dan kitab-kitab sebagai bukti bahwa mereka adalah orang pilihan yang diutus oleh Allah swt. dalam konteks pendidikan peristiwa yang terjadi dilingkungan sekitar kita merupakan sumber belajar yang tak ternilai harganya. Jika umat terdahulu dengan melihat langsung terhadap mukjizat para rasul maka mereka semakin yakin akan kerasulannya serta semakin kuat keimanannya kepada Allah, maka untuk umat akhir zaman, dengan memperhatikan alam semesta yang terus berkembang dan mengalami perubahan maka manusia bisa memetik pelajaran dari peristiwa alam tersebut yang jika sumbernya dirunut terus menerus maka pada akhirnya akan kembali kepada sang pencipta Allah swt. Jika pengetahuan ini telah ditemukan maka  kemudian didokumentasikan dalam bentuk buku yang bisa dibaca kapan saja oleh generasi selanjutnya. Awal dari ayat ini menegaskan secara tidak langsung bahwa sumber belajar itu adalah bayyinat (mukjizat, peristiwa alam) dan zubur (kitab-kitab, buku).
Pada lanjutan ayat 44, ayat ini menegaskan bahwa Allah swt.menurunkan  Al-Quran kepada Nabi Muhammad sebagai media penjelasan kepada manusia tentang apa yang telah diturunkan kepada mereka. Lanjutan ayat ini sesuai dengan awal ayat, bahwa buku adalah salah satu sumber belajar, hanya saja buku/kitab yang diturunkan kepada Nabi Muhammad adalah Al-Quran. Lanjutan ayat ini juga menjelaskan bahwa Nabi Muhammad sebagai rasul merupakan salah satu subjek pendidikan bagi kaumnya, sebagaimana disebutkan di atas bahwa tugas rasul adalah tabligh.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa diantara subjek pendidikan yang terkandung dalam surat Ar-Rahman ayat 5-6 dan An-Nahl ayat 43-44 adalah :
1.      Allah swt. sebagai peletak dasar pendidikan bagi manusia, melalui penciptaan kehendak, panca indera dan akal.
2.      Para Rasul, mereka merupakan subjek belajar kedua setelah Allah swt. Setelah Allah memberikan bekal yang cukup bagi manusia untuk belajar, maka kemudian Allah mengutus para rasul untuk menyampaikan ajarannya.
3.      Subjek pendidikan ketiga adalah umat manusia itu sendiri, dalam arti atas petunjuk dari Allah dan Rasulnya maka hendaknya manusia bisa menemukan sendiri pengetahuan yang dibutuhkannya.
Jika ditarik ke dalam dunia pendidikan maka rasul adalah sebagai guru yang memiliki tanggung jawab untuk mendidik umatnya (peserta didik). Pada saat yang sama peserta didik juga sebagai subjek pendidikan yang secara aktif menggali berbagai pengetahuan di bawah bimbingan guru. Ini sangat sesuai dengan teori pendidikan modern yang menjadikan siswa sebagai subjek pendidikan bukan sebagai objek pendidikan.
Peserta didik adalah setiap manusia yang berusaha mengembangkan potensi diri melalui proses pembelajaran pada jalur pendidikan baik pendidikan formal maupun pendidikan nonformal, pada jenjang pendidikan dan jenis pendidikan tertentu. peserta didik juga dikenal dengan istilah lain seperti Siswa, Mahasiswa, Warga Belajar, Pelajar, Murid serta Santri.
Pendidikan merupakan bantuan bimbingan yang diberikan pendidik terhadap peserta didik menuju kedewasaannya. Sejauh dan sebesar apapun bantuan itu diberikan sangat berpengaruh oleh pandangan pendidik terhadap kemungkinan peserta didik untuk di didik. Sesuai dengan fitrahnya manusia adalah makhluk berbudaya, yang mana manusia dilahirkan dalam keadaan yang tidak mengetahui apa-apa dan ia mempunyai kesiapan untuk menjadi baik atau buruk.
Terlepas dari perbedaan istilah di atas, yang jelasnya peserta didik dalam perspektif pendidikan Islam sebagai objek sekaligus subjek dalam proses pendidikan. ia adalah orang yang belajar untuk menemukan ilmu. karena dalam islam diyakini ilmu hanya berasal dari Allah, maka seorang peserta didik mesti berupaya untuk mendekatkan dirinya kepada Allah dengan senantiasa mensucikan dirinya dan taat kepada perintah-Nya. namun untuk memperoleh ilmu yang berasal dari Allah tersebut, seorang peserta didik mesti belajar pada orang yang telah diberi ilmu, yaitu guru atau pendidik. karena peserta didik memiliki hubungan dengan ilmu dalam rangka upaya untuk memiliki ilmu, maka seorang peserta didik mesti berakhlak kepada gurunya. Akhlak tersebut tentunya tetap mengacu kepada nilai-nilai yang terkandung di dalam al-Qur’an dan hadis.
Salah satu hadist Nabi SAW:
Artinya :”Carilah ilmu walupun ke negri cina.”
Hadis di atas diriwayatkan oleh: Ibnu Adi (2:207), Abu Nu’aim (Akhbar Ashbahan, 2:106), Al-Khotiib (Tarikh, 9:364 dan Ar-Rihlah), Al-Baihaqi (Al-Madkhol, 241, 324), Ibnu Abdil Barr (Jami Bayanil Ilmi, 1:7-8) dari jalan Hasan bin Athiyah (ia berkata): Abu ‘Atikah Tharif bin Sulaiman menceritakan kepada kami dari Anas secara marfu (sampai kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam). mereka semuanya menambahkan:
Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap muslim.”
Kecacatan hadis ini terletak pada Abu ‘Atikah. Dia telah disepakati akan kelemahannya. Al-Bukhari berkata, “Munkarul hadis.” An-Nasa’i berkata, “Tidak terpercaya.” Abu Hatim berkatanya, “Hadisnya hancur.”
Al-Marwazi bercerita, “Hadis ini pernah disebutkan di sisi Imam Ahmad, maka beliau mengingkarinya dengan keras. Ibnul Jauzi mencantumkan hadis ini dalam Al-Maudhu’at (1:215) dan berkata: ‘Ibnu Hibban berkata, ‘Hadis batil, tidak ada asalnya’.’ dan disetujui As-Sakhowi’.” (Al-Maqoshid al-Hasanah)
kesimpulannya, hadis ini adalah hadis batil dan tidak ada jalan lain yang menguatkannya.
    B.     Karakteristik Subyek Pendidikan
                  Ayat-ayat al-Quran yang memiliki kosa kata yang mengandung makna pendidik.Untuk menjelaskan karakteristik pendidik tersebut menurut Al-Qur’an dapat diketahui
dengan menelusuri istilah-istilah digunakan dalam Al-Qur’an yang maknanya merujuk kepada
 pengertian pendidik. beberapa istilah tersebut ada yang disebutkan secara langsung oleh Al-
Qur’an dan ada pula secara tidak langsung berupa kata bentukan (derivat ) dari isyarat yangditunjukkan ayat, misalnya melalui kata kerja (fi’l ).Untuk memudahkan analisis, pertama-tama akan dihimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan kependidikan.
Ada lima kategorisasi karakteristik pendidik yang dimaksud sebagaimana berikut:
1.  Karakteristik keimanan (    umaniyah) karakteristik keimanan merupakan fondasi bagi setiap muslim, apalagi bagi seorang pendidik. yang termasuk bagian dari karakter keimanan, di antaranya takwa (Q.s. Al-Baqarah/2: 197; ).  Semua istilah pendidik yang telah dipaparkan di atas dipastikan memiliki sifat keimanan. Sikap takwa dan keikhlasan tersebut tercermin dari sikap konsisten dengan apa yang dikatakan dengan yang diucapkan. Seorang pendidik harus memiliki jiwa ketuhanan (rabbani), selalu mendekatkan diri (taqarrub) dan mengingatTuhannya (dzikr al-lâh).
 2. Karakteristik moral/akhlak (khuluqiyah) beberapa karakter yang termasuk di dalam karakteristik moral/akhlak misalnya perilaku jujur (shidq), penyayang (rahmah), bersahabat (rifq), santun (hilm) tapi tidak lemah, kuat tapi tidak kasar (Q.s. Ali Imran/3: 159), rendah hati
(tawadhu’ ), tidak sombong, sabar, menahan.
3. Karakteristik fisik (jismiyah) Seorang pendidik sudah seharusnya menjadi teladan (uswah, qudwah) yang baik, tidak hanya bagi anak didiknya, tapi juga dalam pergaulan bermasyarakat. Oleh karena itu, seorang pendidik secara fisik haruslah bergaya hidup sehat, bersih, rapi, dan enak dipandang. 
tidak menunjukkan kepada anak didiknya perilaku yang syubhat dan perbuatan yang sia-sia. Dia seharusnya menjadi motivator untuk melakukan perbaikan dan perubahan.
4. Karakteristik akal dan spiritual (al-‘aqliyah wa al -nafsiyah) yang termasuk dalam kategori karakteristik ini, di antaranya adalah cerdas (dzaki), yangmumpuni keilmuannya, seperti dapat dilihat pada sosok al-rasikhuna fi al-ilm, ulu al bab, ullal-nuha dan ulama. Tepat dalam mengambil keputusan, tidak peragu, suka bermusyarah atau bertukar pikiran selalu belajar dan berusaha meningkatkan dan menambah pengetahuan mutakhir, tidak gagap teknologi.
5. Karakteristik profesional (al-mihnah) Seorang pendidik yang baik seharusnya memiliki kompetensi akademik (keilmuan)yang diwujudkan dalam bentuk penguasaan materi (al-rasikhuna fi al)‘ilm), dan mempunyaikompetensi pedagogik dengan menerapkan metode pengajaran yang tepat kepada anakdidiknya sesuai dengan situasi dan kondisi. pendidik dalam hal ini diibaratkan sebagaida’ bukan seperti hakim yang siap menjatuhkan vonis hukuman.




BAB III
PENUTUP

    A.    Kesimpulan
Manusia itu pada dasarnya sudah  dianugerahi oleh Allah Swt dua buah kemampuan. Pertama, kemampuan untuk mengajarkan sesuatu kepada orang lain, walaupun pengajaran yang dilakukan manusia itu sifatnya terbatas. Kedua, kemampuan untuk menyerap pengajaran dari orang lain. Jika dihubungkan ke dalam hal Pendidikan, maka kedua kemampuan inilah yang akan menjadi kunci bagi sesuatu agar bisa disebut dengan pelaku pendidikan atau yang biasa disebut dengan Subyek pendidikan
Sejatinya yang diperintahkan untuk berfikir serius atau mendetail mengenai isi dan kandungan Al Qur’an bukan hanya Nabi Muhammad seorang, tetapi seluruh manusia. Sebab Al Qur’an itu merupakan hidayah dari Allah yang fungsi utamanya adalah sebagai petunjuk bagi manusia dalam mengelola hidupnya di dunia secara baik, dan merupakan rahmat untuk seluruh alam semesta.
   B.     Saran
Kami dari penyusun makalah ini menyadari sepenuhnya bahwa dalam penyusunan isi makalah masih banyak terdapat kekurangan dan kekeliruan baik dari segi kata bahasa dan kalimat, untuk itu kritik dan dan saran yang sifatnya membangun sangat kami harapkan demi perbaikan penyusunan makalah selanjutnya.

DAFTAR PUSTAKA

An-Nahlawi, Abdurrahman. (1989). Usul al-Tarbiyah al-Islamiyah wa Asalibiha fi al-Baiti wa al- Madrasah wa al-Mujtama’.Beirut: Dar al-Fikr.
Muhammad Fuad Abd al-Baqi. (1994). al-Mu’jam al Mufahras li Alfazh al-qur an al-Karim, (Beirut: Dar al-Fikr).
Muhammad Fuad Abd al-Baqi, (1994). al-Mu’jam al -Mufahras li Alfâzh al-qur ân al-Karim.                    

Sabtu, 11 Mei 2019

MAKALAH TAFSIR DAN HADIST " RASMUL QUR'AN"


MAKALAH

TAFSIR DAN HADIST
“Rasmul Qur’an”


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Al-Quran diturunkan secara bertahap. Setiap kali ada ayat turun, Rasulullah SAW segera menyampaikannya kepada umat, dan memerintahkan untuk menulisnya. Diantara sahabat, ada yang langsung menghafal ayat al-Qur'an setiap kali turun. Ada pula yang hanya menulisnya, dan Rasulullah menuntun penulisan itu sesuai dengan urutan surat dan ayat.
Ketika Rasulullah SAW wafat, Al-Qur'an tidak terkumpul dalam satu buku (mushaf), melainkan tersimpan dalam dada para sahabat, terukir diatas lembar-lembar para penulis wahyu. Pada saat itu para penghafal al-Qur'an sangat banyak, dan ada yang hafal secara keseluruhan.
Ketika Abu Bakar khalifah pertama memberantas kaum murtadin dan pendukung nabi palsu; Musailamah, banyak dari penghafal al-Qur'an gugur sebagai Syahid, hingga Abu Bakar khawatir hal ini akan mengakibatkan lenyapnya al-Qur'an dari muka bumi.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa Pengertian Rasm Al-Quran?
2.      Bagaimana Pola, Hukum Dan Kedudukan Rasm Al-Qur’an?
3.      Bagaimana Perkembangan Rasm Al Qur’an?
4.      Bagaimana Perbedaan Ulama Tentang Kedudukan Rasm Utsmani?
5.      Bagaimana Pendapat Ulama Tentang Status Tawqifi Pada Rasm Utsmani?
6.      Bagaimana Kekeliruan Penulisan?
7.      Bagaimana Hubungan Rasm Al Qur’an Dengan Pemahaman Al Qur’an?

C.    Tujuan
1.      Untuk mengetahui Pengertian Rasm Al-Quran
2.      Untuk mengetahui Pola, Hukum Dan Kedudukan Rasm Al-Qur’an
3.      Untuk mengetahui Perkembangan Rasm Al Qur’an
4.      Untuk mengetahui Perbedaan Ulama Tentang Kedudukan Rasm Utsmani
5.      Untuk mengetahui Pendapat Ulama Tentang Status Tawqifi Pada Rasm Utsmani
6.      Untuk mengetahui Kekeliruan Penulisan
7.      Untuk mengetahui Hubungan Rasm Al Qur’an Dengan Pemahaman Al Qur’an




BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Rasm Al-Quran
Yang dimaksud dengan Rasm Al-Qur’an atau Rasm Utsmani atau Rasm Utsman adalah tata cara menuliskan Al-Qur’an yang ditetapkan pada masa khlalifah bin Affan. Istilah rasm dalam Islam Al-Qur’an diartikan sebagai pola penulisan al-Qur’an yang digunakan Ustman bin Affan dan sahabat-sahabatnya ketika menulis dan membukukan Al-Qur’an. Istilah Rasm Ustman lahir bersamaan dengan lahirnya Mus bin zubair, Said bin Al-Ash, dan Abdurrahman bin Al-harits. Mushaf Utsman ditulis dengan kaidah tertentu. Para ulama meringkas kaidah itu menjadi enam istilah, yaitu :[1]
1.      Al-Hadz (membuang, menghilangkan, atau meniadakan huruf). Contoh, menghilangkan huruf alif pada ya’nida’, dari ha tanbih, pada lafaz jalalah.
2.      Al-Jiyadah (penambahan), seperti menambahkan huruf alif setelah wawu atau yang mampunyai hukum jama’ dan menambah  huruf setelah hamzah marsumah (hamzah yang terletak diatas tulisan wawu.
3.      Al-Hazmah, salah satu kaidahnya berbunyui bahwa apabila hamzah berharakat sukun, ditulis dengan huruf berharakat yang sebelumnya, contoh I’dzan   dan U’tumin.
4.      Badal (pergantian), seperti alif ditulis dengan wawu sebagai penghormatan.
5.      Washal dan fashl (penyambungan dan pemisahan), seperti kata kul yang diringi kata ma ditulis dengan disambung.
6.      Kata yang dapat dibaca dua bunyi. Penulisan kata yang dapat dibaca dua bunyi disesuaikan dengan salah satu bunyi. Didalam mushaf  Utsmani, penulisan kata semacam itu ditulis dengan menghilangkan alif (yakni dibaca dua alif), boleh juga dengan hanya menurut buyi harakat (yakni dibaca satu alif).
B.     Pola, Hukum Dan Kedudukan Rasm Al-Qur’an
Kedudukan rams Ustman dipersilahkan para ulama, apakah pola penulisan tersebut merupakan petunjuk Nabi (tawqifi) atau hanya ijtihad para sahabat. Jumbur ulama berpendapat bahwa pola rams Utsmani bersifat dengan alasan bahwa para penulis wahyu adalah sahabat-sahabat yang ditunjuk dan dipercayai Nabi saw. Pola penulisan tersebut bukan merupakan ijtihad para sahabat Nabi, dan para sahabat tidak mungkin melakukan kesepakatan (ijma) dalam hal-hal yang bertentangan dengan kehendak dan restu Nabi.
Sekelompok ulama berpendapat lain, bahwa pola penulisan didalam rams Ustmani tidak bersifat taufiqi, tetapi hanya ijtihad para sahabat. Tidak pernah ditemukan riyawat Nabi mengenai ketentuan pola penulisan wahyu. Bahkan sebuah riwayat Nabi mengenai ketentuan pola penulisan wahyu. Bahkan sebuah riwayat dikutip oleh Rajab Farjani : “Sesungguhnya Rasulullah saw, memerintahkan menulis Al-Qur’an, tetapi tidak memberikan petunjuk teknis penulisannya, dan tidak pula melarang menulisnya dengan pola-pola tertentu.[2]
Beberapa orang memperhatikan sikap yang berlebihan dengan menyatakan pendapat, bahwa Rasm Qur’ani itu adalah tauqifi, yang metode penulisannya diletakkan sendiri oleh Rasulullah Saw. Mereka mengaitkan Rasm Qur’ani itu kepada beliau, padahal beliau adalah seorang Nabi yang tak kenal baca tulis. Mereka mengatakan bahwa Nabi pernah berkata kepada Muawiyah, salah seorang petugas pencatat wahyu : “Ambillah tinta, tulislah huruf” dengan qalam (pena), rentangkan huruf “baa”, bedakan huruf “siin”, jangan merapatkan lubang huruf “miim”, tulis lafadz “Allah” yang baik, panjangkan lafadz “Ar-Rahman”, dan tulislah lafadz “Ar-Rahim” yang indah kemudian letakkan qalam-mu pada telinga kiri, ia akan selalu mengingat Engkau. Ibnu Mubarak termasuk orang yang paling bersemangat mempertahankan pendapat seperti itu. Dalam bukunya yang berjudul Al-Ibrizt ia mencatat apa yang dikatakan oleh gurunya; Abdul Aziz Ad-Dabbagh, yang mengatakan sebagai berikut :
“Tidak seujung rambut pun dari huruf Qur’ani yang ditulis oleh seorang sahabat Nabi atau lainnya. Rasm Qur’ani adalah tauqif dari Nabi (yakni atas dasar petunjuk dan tuntunan langsung dari Rasulullah SAW). Beliaulah yang menyuruh mereka (para sahabat) menulis rasm qur’ani itu dalam bentuk yang kita kenal, termasuk tambahan huruf alif dan pengurangannya, untuk kepentingan rahasia yang tidak dapat dijangkau akal fikiran, yaitu rahasia yang dikhususkan Allah bagi kitab-kitab suci lainnya”.[3]
Lagi pula, seandainya itu petunjuk Nabi, rasm itu akan disebut rasm Nabawi, bukannya rasm ‘Utsmani. Belum lagi ummi Nabi diartikan sebagai buta huruf, yang berarti tidak mungkin petunjuk teknis datang dari Nabi. Tidak pernah ditemukan suatu riwayat, baik dari Nabi maupun sahabat bahwa pola penulisan Al Qur’an itu berasal dari Nabi.
Dengan demikian, kewajiban mengikuti pola penulisan Al Qur’an versi Mushaf ‘Utsmani diperselisihkan para ulama. Ada yang mengatakan wajib, dengan alasan bahwa pola tersebut merupakan petunjuk Nabi (tauqifi). Pola itu harus dipertahankan walaupun beberapa di antaranya menyalahi kaidah penulisan yang telah dibakukan. Bahkan Imam Ahmad ibn Hanbal dan Imam Malik berpendapat haram hukumnya menulis Al Qur’an menyalahi rasm ‘Utsmani. Bagaimanpun, pola tersebut sudah merupakan kesepakatan ulama mayoritas (jumhur ulama).
Ulama yang tidak mengakui rasm ‘Utsmani sebagai rasm tauqifi, berpendapat bahwa tidak ada masalah jika Al Qur’an ditulis dengan pola penulisan standar (rasm imla’i). Soal pola penulisan diserahkan kepada pembaca. Kalau pembaca lebih mudah dengan rasm imla’i, ia dapat menulisnya dengan pola tersebut, karena pola penulisan itu hanya simbol pembacaan, dan tidak mempengaruhi makna Al Qur’an.
C.    Perkembangan Rasm Al Qur’an
Pada mulanya mushaf para sahabat berbeda antara satu dengan lainnya. Mereka mencatat wahyu Al Qur’an tanpa pola penulisan standar. Karena umumnya dimaksudkan hanya untuk kebutuhan pribadi, tidak direncanakan akan diwariskan kepada generasi sesudahnya. Di antara mereka ada yang menyelipkan catatan-catatan tambahan  dari penjelasan Nabi, ada lagi yang menambahkan simbol-simbol tertentu dan tulisannya yang hanya diketahui oleh penulisnya.
Seperti diketahui, pada masa permulaan Islam mushaf Al Qur’an belum mempunyai tanda-tanda baca dan baris. Mushaf Utsmani tidak seperti yang dikenal sekarang, dilengkapi tanda-tanda baca. Belum ada tanda titik, sehingga sulit membedakan antara huruf ya’ (ي)  dan ba’ (ب). Demikian pula antara sin (س)dan syin (ش), antara tha’ (ط) dan zha’ (ظ), dan seterusnya.
Kesulitan mulai muncul ketika Islam mulai meluas ke wilayah-wilayah non Arab, seperti Persia di sebelah timur, Afrika disebelah Selatan, dan beberapa wilayah non Arab disebelah barat. Masalah ini mulai disadari para pemimpin Islam. Ketika Ziyad ibn Samiyyah menjabat gubernur Bashrah pada masa Mua’wiyah ibn Abi Sofyan (661-680 M) – riwayat lain menyebutkan pada masa pemerintahan Ali ibn Abi Thalib – ia memerintahkan Abu Al-Aswad Al-Duwali membuatkan tanda-tanda baca, terutama untuk menghindari kesalahan dalam membaca Al Qur’an bagi generasi yang tidak hafal Al Qur’an.
Al-Duwali memenuhi permintaan itu setelah mendengarkan suatu kasus salah pembacaan yang fatal, yaitu : 
Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya berlepas diri dari orang-orang musyrik”.
Pada suatu ketika seorang membaca ayat tersebut dengan :
“Sesungguhnya Allah berlepas diri dari orang-orang musyrik dan Rasul-Nya”.
Selanjutnya rasm mengalami perkembangan. Khalifah Abdul ibn Marwan (685-705), memerintahkan Al-Hajjaj ibn Yusuf Al-Saqafi untuk menciptakan tanda-tanda huruf Al-Qur’an (nuqth al-Qur’an). Mendelegasikan tugas itu kepada Nashr ibn Ashim dan Yahya ibu Ma’mur, keduanya adalah murid al-Duwali. Kedua orang inilah yang membubuhi titik pada sejumlah huruf tertentu yang mempunyai kemiripan antara satu dengan yang lainnya, misalnya penambahan titik diatas huruf dal maka menjadi huruf dzal. Dari pola penulisan tersebut akhirnya berkembanglah berbagai pola penulisan dalam berbagai bentuk seperti pola kufi, maghribi, naqsh, dll.[4]

D.    Perbedaan Ulama Tentang Kedudukan Rasm Utsmani
Mushaf-mushaf yang dikirim Utsman ke seluruh penjuru negeri yang disebut sebagai rasm utsmani, adalah mushaf yang wajib diikuti berdasar kesepakatan para ulama, meskipun kita tidak begitu mengerti apa hikmah dibalik perbedaan metode penulisan Rasm Utsmani dengan kaidah-kaidah penulisan dalam bahasa Arab. Hukum wajib ini bukan tanpa alasan. Menurut sebagian ulama rasm utsmani telah disepaki oleh 12000 sahabat. Kesepakatan ini menjadikan sebuah kewajiban bagi kita untuk ittiba'. Rasulullah SAW memerintahkan kita berpegang teguh terhadap sunnah beliau dan sunnah-sunnah khulafa'ur rasyidin. 
Imam Al-Baihaqi dalam kitab haditsnya "Syu'bul Iman", mengatakan bahwa hendaknya kita membaca dan menulis Al-Qur'an sesuai dengan apa yang telah ditulis para sahabat. Karena mereka lebih banyak ilmunya, lebih benar hati dan lisannya, dan lebih besar amanahnya. 
Syeikh Abduraahman bin Al-Qadli al-Magrabi mengatakan bahwa hukum menulis al-Qur'an tidak sesuai dengan rasm utsmani adalah haram. Alasan yang dijadikan dalil memperbolehkan penulisan Al-Qur'an yang tidak sesuai dengan rasm utsmani berupa ketidak mengertian kalangan awam atas rasm utsmani dan akan mengakibatkan mereka keliru dalam membaca al-Qur'an dan alasan-alasan yang lain, adalah alasan yang tidak dapat diterima karena ini bertentangan dengan apa yang telah disepakati oleh sebagian besar sahabat dan para ulama sesudahnya. 
Jika ditanya, mengapa kita tidak memakai mushaf Abu Bakar saja, padahal mushaf tersebut ada sebelum mushaf utsman? Jawabannya adalah bahwa mushaf Abu Bakar mengumpulkan ketujuh wajah qira'ah di mana di dalam penulisannya mengakibatkan adanya perbedaan antar satu qira'ah dengan qari'ah yang lain, untuk menghindari kerancuan. Lagi pula mushaf Abu Bakar telah sirna karena ikut tercuci saat Hafshah binti Umar ummul mukminin meninggal. Sedangkan mushaf utsman dinukil dari mushaf Abu Bakar yang hanya menuliskan satu qiraah yakni qiraah dengan dialek bahasa bangsa Quraisy.[5]

E.     Pendapat Ulama Tentang Status Tawqifi Pada Rasm Utsmani
Para ulama berbeda pendapat tentang hal ini. Sebagian mereka berpendapat bahwa rasm utsmani adalah tauqifi, dan diajarkan oleh rasulullah SAW. Hal ini berdasarkan riwayat bahwa Rasulullah membacakan ayat al-Quran di hadapan Zaid bin Tsabit untuk ditulis (imla'), seperti penulisan واخشوني dengan menggunakan ya' pada surat Al-Baqarah dan tanpa ya' dalam surat Al-Maidah. Contoh-contoh lain banyak di dalam al-Quran, yang semuanya disaksikan sekelompok besar sahabat. Semua dasar itu membuktikan rasm al-Qur'an adalah tawqifi bukan hasil hasil ijtihad para sahabat. Alasan lain adalah sudah ditulisnya al-Qur'an sejak zaman Rasulullah SAW, meski tidak terkumpul dalam satu tempat dan urutan surat yang belum ditertibkan.[6]
Pendapat yang mengatakan rasm utsmani bukan tauqifi melainkan hasil ijtihad sahabat memberikan alasan sebagai berikut:
  1. Rasulullah adalah seorang ummi, tidak bisa membaca dan menulis, meskipun ini merupakan mukjizat bagi beliau.
  2. Zaid bin Tsabit tidak akan berbeda pendapat dengan sahabat yang lain pada kalimah التابوتapakah ditulis dengan ta' atau ha' (tak ta'nits), hingga akhirnya sampai ke telinga Utsman dan beliau memerintahkan menulisnya dengan ta'.
  3. Jika rasm utsmani tawqifi, maka tidak akan terjadi perbedaan diantara mushaf-mushaf yang beliau kirim ke berbagai daerah.
  4. Jika tawqifi, maka Imam Malik tidak akan memperbolehkan penulisan al-Qur'an untuk bahan pelajaran anak-anak yang tidak sesuai dengan rasm utsmani
Meskipun para ulama ini mengatakan demikian, bukan berarti mereka meremehkan para sahabat penulis al-Qura'n, menganggap mereka telah berbuat teledor atau menganggap mereka bodoh dan tidak paham akan kaidah-kaidah penulisan bahasa Arab, seperti yang didengungkan para orientalis atau kaum Syiah yang menganggap para sahabat penulis al-Qur'an telah berkhianat dengan melakukan tahrif dan taghyir pada al-Qur'an serta membuang banyak ayat al-Qur'an diantaranya adalah ayat yang menjelaskan keberhakan 'Ali bin Abi Thalib atas kursi khalifah sesudah Rasulullah SAW.[7]

F.     Kekeliruan Penulisan
Mengenai mushaf Utsamani, walaupun sejak awal telah dilakukan evaluasi ulang, ketika dilakukan tauhid al-Mashahif, ternyata tidak luput dari kekeliruan dan inkosistensi. Hal demikian terjadi karena pada masa dilakukannya tauhid al-Mashahif, kaum muslimin belum begitu  mengenal dengan baik seni khath dan cara penulisan (usluh al-Kitabah). Bahkan mereka beluim mengenal tulisan, kecuali beberapa orang saja. Adanya kekeliruan (lahn) ini, diakui oleh Ustman sendiri. Ibnu Abi Daud meriwayatkan bahwa setelah mereka menyelesaikan naskh Al-Mahsahif, mereka membawa sebuah mushaf kepada Utsman, kemudian beliau melihatnya dan mengatakan : “Sungguh kalian telah melakukan hal yang baik. Didalamnya aku melihat ada kekeliruan  (lahn) yang lanjutnya Utsman mengatakan : “Seandainya yang mengimlakan dan Hudzail dan yang menulis dari tsaqif, tentu ini tidak akan terjadi diatasnya.
Waktu akan diluruskan oleh (kemampuan) bahasa “mereka sepanjang sejarah tidak dilakukan. Disini terdapat hikmah. Karena bila dilakukan, justru oleh tangan-tangan ahli kebatilan yang mengatasnamakan istilah atas kekeliruan, atau dijadikan mainan para pengekor hawa nafsu. Oleh karena itu pula, seperti diatas, Ali bin Abi Thalib A.S mengatakan. “Sejak ini Al-Qur’an tidak dapat diotak-ataik dan diubah-ubah.[8]

G.    Hubungan Rasm Al Qur’an Dengan Pemahaman Al Qur’an
Meskipun mushaf Utsmani tetap dianggap sebagai satu-satunya mushaf yang dijadikan pegangan bagi umat Islam diseluruh dunia dalam pembacaan Al-Qur’an, namun demikian masih terdapat juga perbedaan dalam pembacaan. Hal ini disebabkan penulisan Al-Qur’an itu sendiri pada waktu itu belum mengenal adanya tanda-tanda titik pada huruf-huruf yang hampir sama dan belum ada baris harakat. Bagi mereka (para sahabat dan tabi’in) memang tidak mempengaruhi pembacaan Al-Qur’an, karena mereka telah fasih dalam pembacaan bahasa Arab. Namun bagi mereka orang Islam non Arab akan meresa sulit untuk membedakan bacaan-bacaan yang hampir sama tanpa menggunakan titik perbedaan dan baris barakat. 
Dengan demikian hubungan rasmul Qur’an dengan pemahaman Al-Qur’an sangat erat. Karena semakin lengkap petunjuk yang dapat ditangkap semakin sedikit pula kesulitan untuk mengungkap pengertian-pengertian yang terkandung didalam Al-Qur’an.[9]
Untuk mengatasi permasalahan tersebut Abu Aswad Ad-Duali berusaha menghilangkan kesulitan-kesulitan yang sering dialami oleh orang-orang Islam non Arab dalam membaca Al-Qur’an dengan memberikan tanda-tanda yang diperlukan untuk menolong mereka membaca ayat-ayat al-Qur’an dan memahami kandungan ayat-ayat al-Qur’an tersebut .

BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Yang dimaksud dengan Rasm Al-Qur’an atau Rasm Utsmani atau Rasm Utsman adalah tata cara menuliskan Al-Qur’an yang ditetapkan pada masa khlalifah bin Affan. Istilah rasm dalam Islam Al-Qur’an diartikan sebagai pola penulisan al-Qur’an yang digunakan Ustman bin Affan dan sahabat-sahabatnya ketika menulis dan membukukan Al-Qur’an.
Kedudukan rasm Ustman dipersilahkan para ulama, apakah pola penulisan tersebut merupakan petunjuk Nabi (tawqifi) atau hanya ijtihad para sahabat. Jumbur ulama berpendapat bahwa pola rams Utsmani bersifat dengan alasan bahwa para penulis wahyu adalah sahabat-sahabat yang ditunjuk dan dipercayai Nabi saw. Pola penulisan tersebut bukan merupakan ijtihad para sahabat Nabi, dan para sahabat tidak mungkin melakukan kesepakatan (ijma) dalam hal-hal yang bertentangan dengan kehendak dan restu Nabi
Pada mulanya mushaf para sahabat berbeda antara satu dengan lainnya. Mereka mencatat wahyu Al Qur’an tanpa pola penulisan standar. Karena umumnya dimaksudkan hanya untuk kebutuhan pribadi, tidak direncanakan akan diwariskan kepada generasi sesudahnya. Di antara mereka ada yang menyelipkan catatan-catatan tambahan  dari penjelasan Nabi, ada lagi yang menambahkan simbol-simbol tertentu dan tulisannya yang hanya diketahui oleh penulisnya.
Imam Al-Baihaqi dalam kitab haditsnya "Syu'bul Iman", mengatakan bahwa hendaknya kita membaca dan menulis Al-Qur'an sesuai dengan apa yang telah ditulis para sahabat. Karena mereka lebih banyak ilmunya, lebih benar hati dan lisannya, dan lebih besar amanahnya. 
Syeikh Abduraahman bin Al-Qadli al-Magrabi mengatakan bahwa hukum menulis al-Qur'an tidak sesuai dengan rasm utsmani adalah haram. Alasan yang dijadikan dalil memperbolehkan penulisan Al-Qur'an yang tidak sesuai dengan rasm utsmani berupa ketidak mengertian kalangan awam atas rasm utsmani dan akan mengakibatkan mereka keliru dalam membaca al-Qur'an dan alasan-alasan yang lain, adalah alasan yang tidak dapat diterima karena ini bertentangan dengan apa yang telah disepakati oleh sebagian besar sahabat dan para ulama sesudahnya. 

DAFTAR PUSTAKA

Dr. M. Qhuraish Shihab, Membumikan Al-Quran: fungsi dan peran wahyu dalam kehidupan masyarakat, Penerbit Mizan, Bandung 1994.

Prof. Dr. H. Rachmat Syafe’i, M.A.  Pengantar Ilmu Tafsir, Penerbit Pustaka Setia, Bandung februari 2006.

Drs. Abu Anwar, M.Ag, Ulumul Qur’an Sebuah Pengantar, Penerbit Amzah, Oktober 2005.

Anwar R, Ulum Al-qur’an. Pustaka Setia. Bandung. 2007.

El-Masni A.R,. Pengantar Studi Ilmu Al-qur’an. Pustaka Al-Kautsar. Jakarta Timur. 2006.



[1] Dr. M. Qhuraish Shihab, Membumikan Al-Quran: fungsi dan peran wahyu dalam kehidupan masyarakat, (Penerbit Mizan, Bandung 1994) h. 87
[2] Prof. Dr. H. Rachmat Syafe’i, M.A.  Pengantar Ilmu Tafsir, Penerbit Pustaka Setia, (Bandung Februari 2006) h. 44
[3] Dr. M. Qhuraish Shihab, Membumikan Al-Quran: fungsi dan peran wahyu dalam kehidupan masyarakat, (Penerbit Mizan, Bandung 1994) h. 12
[4] Drs. Abu Anwar, M.Ag, Ulumul Qur’an Sebuah Pengantar, (Penerbit Amzah, Oktober 2005) h. 112
[5] Dr. M. Qhuraish Shihab, Membumikan Al-Quran: fungsi dan peran wahyu dalam kehidupan masyarakat, (Penerbit Mizan, Bandung 1994) h. 88
[6] Anwar R, Ulum Al-qur’an. (Pustaka Setia. Bandung. 2007) h. 165
[7] Drs. Abu Anwar, M.Ag, Ulumul Qur’an Sebuah Pengantar, (Penerbit Amzah, Oktober 2005) h. 43
[8] El-Masni A.R,. Pengantar Studi Ilmu Al-qur’an. (Pustaka Al-Kautsar. Jakarta Timur. 2006) h. 65
[9] Prof. Dr. H. Rachmat Syafe’i, M.A.  Pengantar Ilmu Tafsir, (Penerbit Pustaka Setia, Bandung februari 2006) h. 44