1

loading...

Jumat, 01 November 2019

MAKALAH HAMBATAN DALAM BERPIDATO/BERBICARA


MAKALAH BAHASA INDONESIA "HAMBATAN DALAM BERPIDATO/BERBICARA"

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Berbicara merupakan suatu daya pemersatu yang ampuh yang cenderung mempersatukan kelompok - kelompok sosial. Berbicara dapat pula bertindak sebagai suatu daya pemecah belah, yang cenderung mempertajam perbedaan antara kelompok – kelompok sosial. Dengan kata lain, berbicara dapat mendatangkan damai, menumbuhkan cinta dan dapat pula menimbulkan perang, menumbuhkan benci, tergantung pada kondisi dan situasi.  
Keterampilan berbicara bukanlah suatu jenis keterampilan yang dapat diwariskan secara turun temurun walaupun pada dasarnya secara alamiah setiap manusia dapat berbicara. Namun keterampilan berbicara secara formal memerlukan latihan dan pengarahan yang intensif. Berbicara menunjang keterampilan membaca dan menulis. Menulis dan berbicara mempunyai kesamaan yaitu sebagai kegiatan produksi bahasa dan bersifat menyampaikan informasi.
Kemampuan dalam berbicara juga akan bermanfaat dalam kegiatan menyimak dan memahami bacaan. Akan tetapi, masalah yang terjadi di lapangan adalah tidak semua orang mempunyai kemampuan berbicara yang baik. Oleh sebab itu, pembinaan keterampilan berbicara harus dilakukan sedini mungkin. Apabila seseorang memiliki keterampilan berbicara yang baik, dia akan memperoleh keuntungan sosial maupun profesional
Komunikasi adalah suatu cara untuk menyampaikan informasi antara satu orang dengan orang yang lain. Sebagai makhluk sosial manusia pasti melakukan komunikasi agar dapat berinteraksi satu dengan lainnya, oleh karena itu komunikasi sangat erat hubungannya dengan manusia sebagai makhluk sosial.
          Retorika adalah sebuah teknik pembujuk-rayuan secara persuasi untuk menghasilkan bujukan dengan melalui karakter pembicara, emosional  atau argumen.
B.     Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas maka timbulllah beberapa pertanyaan:
1.      Apa saja prinsip-prinsip berpidato dan garis besar berpidato?
2.      Apa saja faktor-faktor penghambat dalam berbicara?
3.      Apa saja hal-hal yang dapat menanggulangi hambatan dalam berbicara?

C.    Tujuan
Tujuan umum dari makalah ini adalah untuk mengetahui prinsip-prinsip berpidato dan garis besar berpidato serta hambatan dalam berbicara dan menjawab pertanyaan dari rumusan masalah:
1.      Mengetahui Apa saja prinsip-prinsip berpidato dan garis besar berpidato!
2.      Mengetahui Apa saja faktor-faktor penghambat dalam berbicara!
3.      Mengetahui Apa saja hal-hal yang dapat menanggulangi hambatan dalam berbicara!



BAB II
PEMBAHASAN
A.    Prinsip-Prinsip Berpidato
1.      Pengertian pidato
Pidato adalah suatu ucapan dengan susunan yang baik untuk disampaikan kepada orang banyak. Pidato juga berarti kegiatan seseorang yang dilakukan dihadapan orang banyak dengan mengandalkan kemampuan Bahasa sebagai alatnya.
Berpidato pada dasarnya merupakan kegiatan mengungkapkan pikiran dalam bentuk kata-kata (lisan) yang ditunjukkan kepada orang banyak dalam sebuah dorum. Seperti pidato kenegaraan, pidato menyambut hari besar, pidato pembangkit semangat, pidato sambutan acara atau event dan lainnya.
Menurut Emha Abdurrahman dalam bukunya teknik dan pedoman dalam berpidato. Pidato adalah penyampaikan uraian secara lisan tentang sesuatu hal(masalah) dengan mengutamakan keterangan sejelas-jelasnya dihadapan massa atau orang yang banyak dalam suatu waktu tertentu.
Namun dalam abad modern ini saluran-saluran berpidato tidak terbatan kepada pidato secara langsung didepan massa. melainkan bisa menggunakan saluran –saluran lain seperti televise, radio atau pada kaset.
2.      Prinsip-prinsip berpidato
Berikut ini beberapa prinsip yang perlu diperhatikan agar pidato menarik dan sukses:
1.      Menguasai materi pidato, apapun metode yang digunakan
2.      Menggunakan Bahasa yang efektif dan komunikatif.
3.      Menggunakan bahasa indonesia baku, terlebih dalam forum resmi.
4.      Menggunakan pakaian rapi dan sopan sesuai budaya serta situasi.
5.      Menghindari pembicaraan bermuatan SARA.
6.      Tidak merendahkan martabat dan harga diri pendengar dan tidak terlalu mengurai.
7.      Percaya diri tetapi tidak memberi kesan sombong atau angkuh.
8.      Selalu ingat pada waktu dan pintar membaca situasi.
B.     Garis besar berpidato
Secara garis besar, sebuah naskah pidato memuat salam pembuka, pendahuluan, isi/inti pidato, kesimpulan, dan penutup
1.      Salam pembuka
a.       Pidato biasanya diawali dengan kata pembuka, misalnya:
b.      Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.
c.       Salam sejahtera untuk kita semua.
d.      Bapak, Ibu, dan hadirin sekalian yang terhormat.
2.      Pendahuluan, adalah pengantar ke arah pokok-pokok materi yang akan disampaikan.
Bagian pendahuluan biasanya berisi sebagai berikut.
a.       Puji syukur kepada Tuhan.
b.      Ucapan terima kasih kepada pihak tertentu.
c.       Maksud menyampaikan pidato.
Kemudian diikuti oleh sedikit penjelasan mengenai pokok masalah yang akan kita uraikan.
3.      Isi atau inti pidato berisi uraian yang perlu disampaikan.
Isi pidato merupakan uraian yang menjelaskan secara rinci semua materi dan persoalan yang dibahas dalam pidato. Sampaikanlah materi utama yang hendak dicarakan. Kemukakan contoh, ilustrasi, cerita-cerita yang berkenaan dengan materi utama. Hindari penyampaian materi yang bersifat menggurui.
4.      Kesimpulan
Kesimpulan ini sangat penting karena dengan menyimpulkan segala sesuatu yang telah dibicarakan dan ditambah dengan penjelasan dan anjuran, para hadirin dapat menghayati maksud dan tujuan semua yang dibicarakan. Hal ini karena apa yang terakhir dikatakan biasanya lebih mudah dan lebih lama diingat.
5.      Salam penutup
Tutuplah pidato dengan kesan yang baik. Ucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah mendukung terlaksananya pidato tersebut.
1.      Atas perhatiannya Bapak dan Ibu, saya ucapkan terima kasih
2.      Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.

C.    Hambatan Dalam Berbicara
Berbicara adalah kemampuan mengucapkan bunyi-bunyi artikulasi atau kata-kata untuk mengekspresikan, menyatukan serta menyampaikan pikiran, gagasan dan perasaan.
Tidak semua orang memilki kemahiran dalam berbicara di depan umum. Namun kemampuan ini dapan dimiliki oleh semua orang melalui proses belajar dan latihan secara kesenambungan dan sistematis. Terkadang dalam proses belajar mengajar belum bias mendapatkan hasil yang memuaskan. Hal ini disebkan oleh beberapa hal yang merupakan hambatan dalam kegiatan berbicara.
Menurut Rusmiati (dalam Isah Cahyani dan Hodijah, 2007:63), hal-hal yang dapat menghambat kegiatan berbicara adalah sebagai berikut:
·Hambatan Internal
Hambatan internal adalah hambatan yang berasal dari diri pembaca. Yang termasuk hambatan internal adalah sebagai berikut:
1.      Ketidaksempurnaan alat ucap
Kesalahan yang diakibatkan kurang sempurnanya alat ucap akan memengaruhi keefektifan dalam berbicara, pendengarakan salah menafsirkan maksud pembicara.
2.      Penguasaan komponen kebahasaan
Penguasaan komponen-komponen kebahasaan sebagai berikut:
a.       Lafal dan intonasi
Seorang pembicara harus melafalkan bunyi-bunyi bahasa secara tepat dan benar, misalnya pembicara mengatakan labotium sedangkan yang benar adalah laboratorium, hal itu dapat menghambat kegiatan berbicara.
Kemudian pembicara harus menggunakan intonasi yang tepat, misalnya pada kalimat “Pergi dari sini!”itu intonasinya harus tinggi karena menyatakan marah sedangkan pembicara menggunakan intonasi yang rendah, jelas sekali itu intonasi yang salah.
b.      Pilihan kata
Pilihan kata hendaknya tepat, jelas,dan bervariasi, pembicara yang memilih kata-kata asing dibandingkan dengan bahasa Indonesia, hal itu akan menghambat kelancaran komunikasi. Soalnya tidak semua orang mengerti bahasa Inggris dan pembicara juga belum tentu mahir dalam berbahasa Inggris, jadi ketika dipaksakan akan menghambat kelancaran berbicara.
c.       Struktur bahasa
Seorang pembicara jika tidak tahu bagian-bagian dari sesuatu berhubungan satu dengan lain atau bagaimana sesuatu tersebut disatukan maka akan menghambat kegiatan berbicara.

d.      Gaya bahasa
Seorang pembicara jika tidak memiliki ciri khas tersendiri dalam menyampaikan sesuatu untuk menarik perhatian para pendengar, maka hal itu akan menghambat kelancaran dalam kegiatan berbicara.
e.       Pengguanaan komponen isi
Pengguanaan komponen isi meliputi hal-hal berikut ini:
1.      Hubungan isi dengan topik
Seorang pembicara jika tidak paham mengenai topik  pembicaraan maka pembicara akan mengalami hambatan ketika memberikan penjelasan isi dari topik tersebut.
2.      Struktur isi
Seorang pembicara jika tidak mengerti isi dari apa yang di bicarakannya maka pembicara akan mengalami hambatan untuk menyampaikan urutan-urutan yang berstruktur.
3.      Kualitas isi
Tentunya isi yang disampaikan oleh pembicara harus bermutu, tidak harus banyak asal sesuai dengan tema.
4.      Kelelahan dan kesehatan fisik maupun mental
Keadaan fisik akan memengaruhi keefektifan berbicara, jika pembicara sedang sakit misalnya flu maka suaranya akan menjadi bengau. Hal itu dapat menghambat kegiatan berbicara , mental pun sangat berpengaruh jika pembicara mudah merasa takut dan grogi maka akan menghambat kegiatan berbicara.

·         Hambatan eksternal
Hambatan eksternal adalah hambatan yang berasal dari luar pembicara. Hambatan eksternal meliput:
1.      Suara atau bunyi
Ketika pembicara misalnya menyampaikan informasi, ketika pidato ada komentar  dari para pendengar yang negatif. Hal tu akan memengaruhi mental pembicara.
2.      Kondisi ruangan
Kegaduhan, keributan-keributan kecil yang terjadi di ruangan bisa membuat konsentrasi pembiacara menjadi buyar.
3.      Media
Misalnya pembicara ketika menjelaskan tentang suatu informasi mengenai bentuk segitiga, maka harus menyiapkan media yang mendukung sehingga pendengar bisa lebih paham mengenai bentuk segitiga. Jika tidak ada media yang mendukung maka pembicara akan mengalami hambatan ketika menjelaskan informasi tersebut.
4.      Pengetahuan pendengar
Pembicara yang baik adalah pembicara yang mampu mengetahui sejauh mana pengetahuan yang dimiliki para pendengarnya, sehingga apa yang disampaikan pembicara bisa dipahami oleh pendengar.



D.    Hal-hal yang Dapat Menanggulangi Hambatan Berbicara
Hal hal yang dapat menanggulangi hambatan berbicara adalah sebagai berikut:
1.      Pembicara harus menggunakan kelafalan yang jelas, misalnya seharusnya pembicara mengucapkan kuda, akan tetapi pembicara yang kurang jelas pelafalannya mengucapkan duda. Hal itu sangat jauh. Jadi seharusnya pembicara harus jelas dalam pelafalan.
2.      Pembicara harus menggunakan intonasi yang tepat ketika memberikan informasi mengenai perjuangan para pahlawan untuk kemerdekaan Indonesia, maka intonasi yang digunakan harus bersemangat.
3.      Banyak berlatih dan terus berusaha, misalnya ketika akan berpidato di muka umum, sebaiknya pembicara berlatih terlebih dahulu dan meminta pendapat kepada orang yang mendengar pada saat latihan.
4.      Harus menguatkan percaya diri, berfikiran positif dan tidak takut salah.
5.      Ketika akan berbicara di muka umum, pembicara harus menguasai isi dari bahan bacaan.
6.      Harus menggunakan ekspresi yang sesuai dan gerak tubuh yang tepat.


MAKALAH TEORI KEDATANGAN ISLAM DI INDONESIA


MAKALAH TEORI KEDATANGAN ISLAM DI INDONESIA

            Menurut Sulasman dalam bukunya yang berjudul “Sejarah Islam di Asia dan Eropa” beliau mengutip pendapatnya Ahmad Mansur Suryanegara dalam buku yang berjudul “Menemukan Sejarah”, beliau berpendapat: “Ada 3 teori yang menjelaskan kedatangan Islam ke Indonesia.”
            Azyumardi turut berpendapat: “Terkait kedatangan Islam di Nusantara, terdapat diskusi dan perdebatan panjang di antara para ahli mengenai tiga masalah pokok; tempat asal kedatangan Islam, para pembawanya, dan waktu kedatangannya. berbagai teori dan pembahasan yang berusaha menjawab ketiga masalah pokok di atas jelas belum tuntas, tidak karena kurangnya data yang dapat mendukung suatu teori yang ada. (Karena) terdapat kecenderungan kuat, suatu teori tertentu menekankan hanya aspek-aspek khusus dari ketiga masalah pokok di atas, sementara mengabaikan aspek-aspek yang lainnya.”

1.    Teori Gujarat
            Sejumlah sarjana, kebanyakan asal Belanda, memegang teori bahwa asal mula Islam Nusantara adalah Anak Benua India, bukannya Persia atau Arabia. (Menurut Azyumardi Azra), Sarjana pertama yang mengemukakan teori ini adalah Pijnapple, ahli dari Universitas Leiden. Dia mengkaitkan asal mula Islam di Nusantara dengan wilayah Gujarat dan Malabar. Menurut dia, adalah orang-orang Arab bermadzhab Syafi’i yang bermigrasi dan menetap di wilayah India tersebut yang kemudian membawa Islam ke Nusantara. Teori ini kemudian dikembangkan Snouck Hurgronje.
            Snouck Hurgronje mengatakan bahwa Islam masuk ke Indonesia dari wilayah-wilayah yang terdapat di anak Benua India. Tempat-tempat, seperti Gujarat, Bengali, dan Malabar disebut-sebut sebagai asal masuknya Islam ke Indonesia. Teori tersebut berdasarkan pengamatan tidak terlihatnya peran dan nilai-nilai Arab yang ada dalam Islam pada masa-masa awal, yaitu pada abad ke-12 atau 13 M. Snouck juga mengatakan, teorinya didukung dengan adanya hubungan yang sudah terjalin lama antara wilayah Indonesia dengan daratan India.
            Moquette, seorang sarjana Belanda lainnya, berkesimpulan bahwa tempat asal Islam di Nusantara adalah Gujarat. Ia mendasarkan kesimpulan ini setelah mengamati bentuk batu nisan di Pasai, kawasan utara Sumatra, khususnya yang bertanggal 17 Zulhijjah 831 H/27 September 1428. Batu nisan yang kelihatannya mirip dengan batu nisan lain yang ditemukan di makam Maulana Malik Ibrahim (w. 822 H/1419 M) di Gresik, Jawa Timur, ternyata sama bentuknya dengan batu nisan di Gujarat dihasilkan bukan hanya untuk pasar local, tetapi juga untuk diimpor ke kawasan lain, termasuk Sumatra dan Jawa. Selanjutnya dengan meng-impor batu nisan dari Gujarat, orang-orang Nusantara juga mengambil Islam dari sana.
            Kesimpulan-kesimpulan Moquette ini ditentang keras oleh Fatimi yang berargumen bahwa keliru mengaitkan seluruh batu nisan di Pasai, termasuk batu nisan Malik Al Shalih dengan butu nisan di Gujarat. Menurut penelitiannya, bentuk dan gaya batu nisan Malik Al Shalih berbeda sepenuhnya dengan batu nisan yang terdapat di Gujarat dan batu-batu nisan lainnya yang ditemukan di Nusantara. Fatimi berpendapat, bentuk dan gaya batu nisan ini justru mirip dengan batu nisan yang terdapat di Bengal. Karena itu, seluruh batu nisan itu pastilah di datangkan dari daerah itu. Ini menjadi alasan utamanya untuk menyimpulkan, bahwa asal Islam yang datang ke Nusantara adalah wilayah Bengal. Dalam kaitannya dengan “teori batu nisan” ini, Fatimi mengkritik para ahli yang kelihatannya mengabaikan batu nisan Siti Fatimah (bertahun 475 H/1082 M) yang ditemukan di Leran, Jawa Timur.
            Dan ternyata teori Fatimi yang dikemukakan dengan begitu semangat gagal meruntuhkan teori Moquette, karena sejumlah sarjana lain telah mengambil alih kesimpulannya, dan yang paling terkenal di antara mereka adalah: Kern, Winstedt, Bousquet, Vlekke, Gonda, Schrike, dan Hall. Sebagian mereka memberikan argument tambahan untuk mendukung kesimpulan Moqquette. Winstedt, misalnya, mengemukakan tentang penemuan batu nisan yang mirip bentuk dan gayanya di Bruas, pusat sebuah kerajaan kuno Melayu di Perak, Semenanjung Malaya. Ia berhujjah, karena seluruh batu nisan di Bruas, Pasai, dan Gresik didatangkan dari Gujarat, maka Islam juga pastilah diimpor dari sana.
            Teori yang berhujah menggunakan teori batu nisan dibantah oleh Marrison. Marrison mematahkan teori ini dengan menunjuk kepada kenyataan bahwa pada masa islamisasi Samudra Pasai, yang raja pertamanya wafat pada 698 H/1297 M, Gujarat masih merupakan Kerajaan Hindu. Barulah setahun kemudian (699 H/1298 M), Cambay, Gujarat ditaklukkan kekuasaan Muslim. Jika Gujarat adalah pusat Islam, yang dari tempat itu para penyebar Islam datang ke Nusantara, maka Islam pastilah telah mapan dan berkembang di Gujarat sebelum kematian Malik Al Shalih, tegasnya sebelum 698 H/1297 M.
            Marrison mengemukakan teorinya bahwa Islam di Nusantara bukan berasal dari Gujarat, melainkan dibawa para penyebar Muslim dari pantai Coromandel pada akhir abad ke-13.
            Menurut Azyumardi Azra, Marrison mendukung pendapat yang dikemukakan oleh Arnold. Bahwa dia (Arnold) berpendapat, bahwa Islam dibawa ke Nusantara antara lain juga dari Coromandel dan Malabar. Ia menyokong teori ini dengan menunjukkan kepada persamaan madzhab fikih di antara ke dua wilayah tersebut. Mayoritas Muslim di Nusantara adalah pengikut madzhab Syafi’i, yang cukup dominan di wilayah Coromendel dan Malabar, seperti yang disaksikan oleh para ‘Ibnu Bathuthah ketika ia mengunjungi kawasan ini.
            Arnold berpendapat, Coromandel dan Malabar bukan satu-satunya tempat asal Islam dibawa, tetapi juga di Arabia. Dalam pandangannya, para pedagang Arab juga menyebarkan Islam ketika mereka dominan dalam perdagangan Barat-Timur sejak abad-abad awal Hijriah atau abad ke-7 dan 8 Masehi. Pemakalah bisa menyimpulkan bahwa Arnold mendukung teori Arabia.



2.    Teori Persia
            Teori kedua adalah teori Persia. Tanah Persia disebut-sebut sebagai tempat awal Islam datang di Indonesia. Sandaran teori ini, yaitu adanya kesamaan budaya yang dimiliki oleh beberapa kelompok masyarakat Islam dengan penduduk Persia. Contohnya, peringatan 10 Muharram yang dijadikan sebagai hari peringatan wafatnya Hasan dan Husain. Selain itu juga beberapa sarapan bahasa yang diyakini berasal dari wilayah Iran, misalnya kata jabar dari zabar, jer dari zeer, dan sebagainya. Teori ini meyakini bahwa Islam masuk ke wilayah Indonesia pada abad ke-13 M. Adapun wilayah pertama yang disinggahi adalah kawasan Samudra Pasai.
       Teori Persia mengatakan bahwa proses kedatangan Islam ke Indonesia berasal dari daerah Persia atau Parsi (kini Iran). Pencetus dari teori ini adalah Hoesein Djajadiningrat, sejarawan asal Banten. Dalam memberikan argumentasinya, Hoesein lebih menitikberatkan analisisnya pada kesamaan budaya dan tradisi yang berkembang antara masyarakat Parsi dan Indonesia.
            Tradisi tersebut antara lain: tradisi merayakan 10 Muharram atau Asyuro sebagai hari suci kaum Syiah atas kematian Husein bin Ali, cucu Nabi Muhammad, seperti yang berkembang dalam tradisi tabut di Pariaman di Sumatera Barat. Istilah “tabut” (keranda) diambil dari bahasa Arab yang ditranslasi melalui bahasa Parsi. Tradisi lain adalah ajaran mistik yang banyak kesamaan, misalnya antara ajaran Syekh Siti Jenar dari Jawa Tengah dengan ajaran sufi Al-Hallaj dari Persia. Bukan kebetulan, keduanya mati dihukum oleh penguasa setempat karena ajaran-ajarannya dinilai bertentangan dengan ketauhidan Islam (murtad) dan membahayakan stabilitas politik dan sosial.
            Alasan lain yang dikemukakan Hoesein yang sejalan dengan teori Moquetta, yaitu ada kesamaan seni kaligrafi pahat pada batu-batu nisan yang dipakai di kuburan Islam awal di Indonesia. Kesamaan lain adalah bahwa umat Islam Indonesia menganut mahzab Syafei, sama seperti kebanyak muslim di Iran.


3.    Teori Arabia
            Teori ketiga, yaitu teori Arabia atau teori Mekah. Teori ini merupakan kritik terhadap kedua teori yang telah dipaparkan di atas. Teori ini menyebutkan bahwa Islam masuk ke Indonesia langsung dari Mekah dan Madinah. Waktu kedatangannya pun jauh lebih awal dari teori  pertama dan kedua (abad ke-12 dan 13), yaitu pada abad ke-7 M. ini berarti, Islam sudah masuk ke Indonesia pada awal abad Hijriah. Ketika itu, pemerintahan Islam masih berada di tangan Khulafaur Rasyidin. Dalam sumber literatur Cina, disebutkan bahwa menjelang per empat pertama abad ke-7 M, banyak terdapat perkampungan Arab-muslim di pesisir pantai Sumatra. Di perkampungan ini dikabarkan bahwa orang-orang Arab tinggal dan menikah dengan penduduk lokal, kemudian membentuk komunitas Muslim.
            Kitab sejarah Cina yang berjudul “Chiu T’hang Shu” menyebutkan, perkampungan ini pernah mendapat kunjungan diplomatic dari orang-orang Ta Shih (orang Arab) pada tahun 651 Masehi atau 31 Hijriah. Empat tahun kemudian, dinasti yang sama kedatangan duta (utusan) yang dikirim oleh Tan mi mo ni’. Tan mi mo ni’  adalah sebutan untuk Amirul Mu’minin atau pemimpin kaum muslim. Utusan Tan mi mo ni’, catatan tersebut menyebutkan bahwa mereka telah mendirikan Daulah Islamiyyah dan sudah tiga kali berganti kepemimpinan.
            Pada pertengahan abad ke-7 M, berdiri beberapa perkampungan Muslim di wilayah Kanfu atau yang sekarang dikenal sebagai Kanton. Beberapa catatan menyebutkan bahwa duta-duta Muslim juga mengunjungi kawasan Zabaj, Sribuza, atau yang lebih dikenal dengan Kerajaan Sriwijaya. Kenyataan ini bisa diterima, mengingat zaman itu adalah masa-masa keemasan Kerajaan Sriwijaya. Tidak ada satu ekspedisi pun yang akan menuju ke Cina dari kawasan Timur Tengah dan Gujarat, kecuali melewati selat Malaka dan biasanya akan singgah terlebih dahulu ke Kerajaan Sriwijaya.
            Menurut Hikayat raja-raja Pasai (ditulis setelah 1350), seorang syaikh Ismail datang dengan kapal dari Makkah via Malabar ke Pasai – di sini ia membuat Merah Silau, penguasa setempat, masuk Islam. Merah Silau kemudian mengambil gelar Malik Al Shalih yang, seperti dicatat terdahulu, wafat pada 698 H/1297 M. seabad kemudian, sekitar 817 H/1414 M, menurut sejarah Melayu (ditulis setelah 1500), penguasa Malaka juga di Islamkan oleh Sayid Abdul Aziz, seorang Arab dari Jeddah. Begitu masuk Islam, penguasa itu, Parameswara, mengambil nama dan gelar Sultan Muhammad Syah.
            Hikayat lain, diriwayatkan bahwa seorang Syaikh Abdullah Al Yamani datang dari Makkah (atau Baghdad) ke Nusantara dan meng-Islamkan penguasa setempat (Phra Ong Mahawangsa), para menterinya dan penduduk Keddah. Penguasa ini setelah masuk Islam menggunakan gelar dan nama Sultan Muzhaffar Syah. Sementara itu, sebuah historiografi dari Aceh memberikan informasi bahwa nenek moyang para sultan Aceh adalah seorang Arab bernama Syaikh Jamal Al Alam, yang dikirim Sultan Utsmani untuk meng-Islamkan penduduk Aceh. Sebuah riwayat Aceh lainnya menyatakan, bahwa Islam diperkenalkan ke kawasan Aceh oleh seorang Arab bernama Syaikh Abdullah Arif sekitar tahun 506 H/1111 M.
            Literatur kuno tulisan Buzurg bin Shahriyar Ar Ramhurmuzi yang berjudul Aja’ib Al Hind, memberikan gambaran bahwa ada perkampungan Muslim yang dibangun di wilayah Kerajaan Sriwijaya. Hubungan Sriwijaya dengan Islam Timur Tengah terus berlanjut, hingga masa Umar bin Abdul Aziz. Ibnu Abdur Rabbih dalam Al ‘Iqd Al Farid, yang dikutip Azumardi Azra dalam buku yang berjudul Jaringan Ulama’ Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII, menyebutkan adanya korespondensi yang berlangsung antara Raja Sriwijaya saat itu, yakni Sri Indravarman dengan Khalifah Umar bin Abdul Aziz yang terkenal adil.
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Taufik (ed.).1991.Sejarah Umat Islam Indonesia. Jakarta: Majelis
            Ulama Indonesia.
Badri, Yatim. 2000. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada
Poesponegoro, 1993.  Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto. Sejarah
            Nasional Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Soekmono, R.1973.Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia. Yogyakarta:
            Kanisius.
Sudarmanto.Y.B..1996.Jejak-Jejak Pahlawan dari Sultan Agung Hingga Syekh
            Yusuf. Jakarta: Grasindo.
Sulasman, 2013. Sejarah Islam di Asa & Eropa, Bandung: Pustaka Setia
Suryanegara, Ahmad Mansur. 1996. Meneruskan Sejarah – Wacana Pergerakan
            Islam di Indonesia. Bandung: Mizan.