MAKALAH TEORI KEDATANGAN ISLAM DI INDONESIA
Menurut
Sulasman dalam bukunya yang berjudul “Sejarah Islam di Asia dan Eropa” beliau
mengutip pendapatnya Ahmad Mansur Suryanegara dalam buku yang berjudul
“Menemukan Sejarah”, beliau berpendapat: “Ada 3 teori yang menjelaskan kedatangan
Islam ke Indonesia.”
Azyumardi
turut berpendapat: “Terkait kedatangan Islam di Nusantara, terdapat diskusi dan
perdebatan panjang di antara para ahli mengenai tiga masalah pokok; tempat asal
kedatangan Islam, para pembawanya, dan waktu kedatangannya. berbagai teori dan
pembahasan yang berusaha menjawab ketiga masalah pokok di atas jelas belum
tuntas, tidak karena kurangnya data yang dapat mendukung suatu teori yang ada.
(Karena) terdapat kecenderungan kuat, suatu teori tertentu menekankan hanya
aspek-aspek khusus dari ketiga masalah pokok di atas, sementara mengabaikan
aspek-aspek yang lainnya.”
1.
Teori
Gujarat
Sejumlah sarjana, kebanyakan asal
Belanda, memegang teori bahwa asal mula Islam Nusantara adalah Anak Benua
India, bukannya Persia atau Arabia. (Menurut Azyumardi Azra), Sarjana pertama
yang mengemukakan teori ini adalah Pijnapple, ahli dari Universitas Leiden. Dia
mengkaitkan asal mula Islam di Nusantara dengan wilayah Gujarat dan Malabar.
Menurut dia, adalah orang-orang Arab bermadzhab Syafi’i yang bermigrasi dan
menetap di wilayah India tersebut yang kemudian membawa Islam ke Nusantara.
Teori ini kemudian dikembangkan Snouck Hurgronje.
Snouck Hurgronje mengatakan bahwa
Islam masuk ke Indonesia dari wilayah-wilayah yang terdapat di anak Benua
India. Tempat-tempat, seperti Gujarat, Bengali, dan Malabar disebut-sebut
sebagai asal masuknya Islam ke Indonesia. Teori tersebut berdasarkan pengamatan
tidak terlihatnya peran dan nilai-nilai Arab yang ada dalam Islam pada
masa-masa awal, yaitu pada abad ke-12 atau 13 M. Snouck juga mengatakan,
teorinya didukung dengan adanya hubungan yang sudah terjalin lama antara
wilayah Indonesia dengan daratan India.
Moquette, seorang sarjana Belanda
lainnya, berkesimpulan bahwa tempat asal Islam di Nusantara adalah Gujarat. Ia
mendasarkan kesimpulan ini setelah mengamati bentuk batu nisan di Pasai,
kawasan utara Sumatra, khususnya yang bertanggal 17 Zulhijjah 831 H/27
September 1428. Batu nisan yang kelihatannya mirip dengan batu nisan lain yang
ditemukan di makam Maulana Malik Ibrahim (w. 822 H/1419 M) di Gresik, Jawa
Timur, ternyata sama bentuknya dengan batu nisan di Gujarat dihasilkan bukan
hanya untuk pasar local, tetapi juga untuk diimpor ke kawasan lain, termasuk
Sumatra dan Jawa. Selanjutnya dengan meng-impor batu nisan dari Gujarat,
orang-orang Nusantara juga mengambil Islam dari sana.
Kesimpulan-kesimpulan Moquette ini
ditentang keras oleh Fatimi yang berargumen bahwa keliru mengaitkan seluruh
batu nisan di Pasai, termasuk batu nisan Malik Al Shalih dengan butu nisan di
Gujarat. Menurut penelitiannya, bentuk dan gaya batu nisan Malik Al Shalih
berbeda sepenuhnya dengan batu nisan yang terdapat di Gujarat dan batu-batu
nisan lainnya yang ditemukan di Nusantara. Fatimi berpendapat, bentuk dan gaya
batu nisan ini justru mirip dengan batu nisan yang terdapat di Bengal. Karena
itu, seluruh batu nisan itu pastilah di datangkan dari daerah itu. Ini menjadi
alasan utamanya untuk menyimpulkan, bahwa asal Islam yang datang ke Nusantara
adalah wilayah Bengal. Dalam kaitannya dengan “teori batu nisan” ini, Fatimi
mengkritik para ahli yang kelihatannya mengabaikan batu nisan Siti Fatimah
(bertahun 475 H/1082 M) yang ditemukan di Leran, Jawa Timur.
Dan ternyata teori Fatimi yang
dikemukakan dengan begitu semangat gagal meruntuhkan teori Moquette, karena
sejumlah sarjana lain telah mengambil alih kesimpulannya, dan yang paling
terkenal di antara mereka adalah: Kern, Winstedt, Bousquet, Vlekke, Gonda,
Schrike, dan Hall. Sebagian mereka memberikan argument tambahan untuk mendukung
kesimpulan Moqquette. Winstedt, misalnya, mengemukakan tentang penemuan batu
nisan yang mirip bentuk dan gayanya di Bruas, pusat sebuah kerajaan kuno Melayu
di Perak, Semenanjung Malaya. Ia berhujjah, karena seluruh batu nisan di Bruas,
Pasai, dan Gresik didatangkan dari Gujarat, maka Islam juga pastilah diimpor
dari sana.
Teori yang berhujah menggunakan
teori batu nisan dibantah oleh Marrison. Marrison mematahkan teori ini dengan
menunjuk kepada kenyataan bahwa pada masa islamisasi Samudra Pasai, yang raja
pertamanya wafat pada 698 H/1297 M, Gujarat masih merupakan Kerajaan Hindu.
Barulah setahun kemudian (699 H/1298 M), Cambay, Gujarat ditaklukkan kekuasaan
Muslim. Jika Gujarat adalah pusat Islam, yang dari tempat itu para penyebar Islam
datang ke Nusantara, maka Islam pastilah telah mapan dan berkembang di Gujarat
sebelum kematian Malik Al Shalih, tegasnya sebelum 698 H/1297 M.
Marrison mengemukakan teorinya bahwa
Islam di Nusantara bukan berasal dari Gujarat, melainkan dibawa para penyebar
Muslim dari pantai Coromandel pada akhir abad ke-13.
Menurut Azyumardi Azra, Marrison
mendukung pendapat yang dikemukakan oleh Arnold. Bahwa dia (Arnold)
berpendapat, bahwa Islam dibawa ke Nusantara antara lain juga dari Coromandel
dan Malabar. Ia menyokong teori ini dengan menunjukkan kepada persamaan madzhab
fikih di antara ke dua wilayah tersebut. Mayoritas Muslim di Nusantara adalah
pengikut madzhab Syafi’i, yang cukup dominan di wilayah Coromendel dan Malabar,
seperti yang disaksikan oleh para ‘Ibnu Bathuthah ketika ia mengunjungi kawasan
ini.
Arnold berpendapat, Coromandel dan
Malabar bukan satu-satunya tempat asal Islam dibawa, tetapi juga di Arabia.
Dalam pandangannya, para pedagang Arab juga menyebarkan Islam ketika mereka
dominan dalam perdagangan Barat-Timur sejak abad-abad awal Hijriah atau abad
ke-7 dan 8 Masehi. Pemakalah bisa menyimpulkan bahwa Arnold mendukung teori
Arabia.
2.
Teori
Persia
Teori kedua adalah teori Persia.
Tanah Persia disebut-sebut sebagai tempat awal Islam datang di Indonesia.
Sandaran teori ini, yaitu adanya kesamaan budaya yang dimiliki oleh beberapa
kelompok masyarakat Islam dengan penduduk Persia. Contohnya, peringatan 10
Muharram yang dijadikan sebagai hari peringatan wafatnya Hasan dan Husain.
Selain itu juga beberapa sarapan bahasa yang diyakini berasal dari wilayah
Iran, misalnya kata jabar dari zabar, jer dari zeer, dan sebagainya. Teori ini
meyakini bahwa Islam masuk ke wilayah Indonesia pada abad ke-13 M. Adapun
wilayah pertama yang disinggahi adalah kawasan Samudra Pasai.
Teori
Persia mengatakan bahwa proses kedatangan Islam ke Indonesia berasal dari
daerah Persia atau Parsi (kini Iran). Pencetus dari teori ini adalah Hoesein
Djajadiningrat, sejarawan asal Banten. Dalam memberikan argumentasinya, Hoesein
lebih menitikberatkan analisisnya pada kesamaan budaya dan tradisi yang
berkembang antara masyarakat Parsi dan Indonesia.
Tradisi tersebut antara lain:
tradisi merayakan 10 Muharram atau Asyuro sebagai hari suci kaum Syiah atas
kematian Husein bin Ali, cucu Nabi Muhammad, seperti yang berkembang dalam
tradisi tabut di Pariaman di Sumatera Barat. Istilah “tabut” (keranda) diambil
dari bahasa Arab yang ditranslasi melalui bahasa Parsi. Tradisi lain adalah
ajaran mistik yang banyak kesamaan, misalnya antara ajaran Syekh Siti Jenar
dari Jawa Tengah dengan ajaran sufi Al-Hallaj dari Persia. Bukan kebetulan,
keduanya mati dihukum oleh penguasa setempat karena ajaran-ajarannya dinilai
bertentangan dengan ketauhidan Islam (murtad) dan membahayakan stabilitas politik
dan sosial.
Alasan lain yang dikemukakan Hoesein
yang sejalan dengan teori Moquetta, yaitu ada kesamaan seni kaligrafi pahat
pada batu-batu nisan yang dipakai di kuburan Islam awal di Indonesia. Kesamaan
lain adalah bahwa umat Islam Indonesia menganut mahzab Syafei, sama seperti
kebanyak muslim di Iran.
3.
Teori
Arabia
Teori
ketiga, yaitu teori Arabia atau teori Mekah. Teori ini merupakan kritik
terhadap kedua teori yang telah dipaparkan di atas. Teori ini menyebutkan bahwa
Islam masuk ke Indonesia langsung dari Mekah dan Madinah. Waktu kedatangannya
pun jauh lebih awal dari teori pertama
dan kedua (abad ke-12 dan 13), yaitu pada abad ke-7 M. ini berarti, Islam sudah
masuk ke Indonesia pada awal abad Hijriah. Ketika itu, pemerintahan Islam masih
berada di tangan Khulafaur Rasyidin. Dalam sumber literatur Cina, disebutkan
bahwa menjelang per empat pertama abad ke-7 M, banyak terdapat perkampungan
Arab-muslim di pesisir pantai Sumatra. Di perkampungan ini dikabarkan bahwa
orang-orang Arab tinggal dan menikah dengan penduduk lokal, kemudian membentuk
komunitas Muslim.
Kitab sejarah Cina yang berjudul
“Chiu T’hang Shu” menyebutkan, perkampungan ini pernah mendapat kunjungan
diplomatic dari orang-orang Ta Shih (orang Arab) pada tahun 651 Masehi atau 31
Hijriah. Empat tahun kemudian, dinasti yang sama kedatangan duta (utusan) yang
dikirim oleh Tan mi mo ni’. Tan mi mo ni’
adalah sebutan untuk Amirul Mu’minin atau pemimpin kaum muslim. Utusan
Tan mi mo ni’, catatan tersebut menyebutkan bahwa mereka telah mendirikan
Daulah Islamiyyah dan sudah tiga kali berganti kepemimpinan.
Pada pertengahan abad ke-7 M,
berdiri beberapa perkampungan Muslim di wilayah Kanfu atau yang sekarang
dikenal sebagai Kanton. Beberapa catatan menyebutkan bahwa duta-duta Muslim
juga mengunjungi kawasan Zabaj, Sribuza, atau yang lebih dikenal dengan
Kerajaan Sriwijaya. Kenyataan ini bisa diterima, mengingat zaman itu adalah
masa-masa keemasan Kerajaan Sriwijaya. Tidak ada satu ekspedisi pun yang akan
menuju ke Cina dari kawasan Timur Tengah dan Gujarat, kecuali melewati selat
Malaka dan biasanya akan singgah terlebih dahulu ke Kerajaan Sriwijaya.
Menurut
Hikayat raja-raja Pasai (ditulis setelah 1350), seorang syaikh Ismail datang
dengan kapal dari Makkah via Malabar ke Pasai – di sini ia membuat Merah Silau,
penguasa setempat, masuk Islam. Merah Silau kemudian mengambil gelar Malik Al
Shalih yang, seperti dicatat terdahulu, wafat pada 698 H/1297 M. seabad
kemudian, sekitar 817 H/1414 M, menurut sejarah Melayu (ditulis setelah 1500),
penguasa Malaka juga di Islamkan oleh Sayid Abdul Aziz, seorang Arab dari
Jeddah. Begitu masuk Islam, penguasa itu, Parameswara, mengambil nama dan gelar
Sultan Muhammad Syah.
Hikayat
lain, diriwayatkan bahwa seorang Syaikh Abdullah Al Yamani datang dari Makkah
(atau Baghdad) ke Nusantara dan meng-Islamkan penguasa setempat (Phra Ong
Mahawangsa), para menterinya dan penduduk Keddah. Penguasa ini setelah masuk
Islam menggunakan gelar dan nama Sultan Muzhaffar Syah. Sementara itu, sebuah
historiografi dari Aceh memberikan informasi bahwa nenek moyang para sultan
Aceh adalah seorang Arab bernama Syaikh Jamal Al Alam, yang dikirim Sultan
Utsmani untuk meng-Islamkan penduduk Aceh. Sebuah riwayat Aceh lainnya
menyatakan, bahwa Islam diperkenalkan ke kawasan Aceh oleh seorang Arab bernama
Syaikh Abdullah Arif sekitar tahun 506 H/1111 M.
Literatur kuno tulisan Buzurg bin
Shahriyar Ar Ramhurmuzi yang berjudul Aja’ib Al Hind, memberikan gambaran bahwa
ada perkampungan Muslim yang dibangun di wilayah Kerajaan Sriwijaya. Hubungan
Sriwijaya dengan Islam Timur Tengah terus berlanjut, hingga masa Umar bin Abdul
Aziz. Ibnu Abdur Rabbih dalam Al ‘Iqd Al Farid, yang dikutip Azumardi Azra
dalam buku yang berjudul Jaringan Ulama’ Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara
Abad XVII & XVIII, menyebutkan adanya korespondensi yang berlangsung antara
Raja Sriwijaya saat itu, yakni Sri Indravarman dengan Khalifah Umar bin Abdul
Aziz yang terkenal adil.
DAFTAR
PUSTAKA
Abdullah, Taufik (ed.).1991.Sejarah Umat Islam Indonesia. Jakarta:
Majelis
Ulama
Indonesia.
Badri, Yatim. 2000. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada
Poesponegoro, 1993. Marwati
Djoened dan Nugroho Notosusanto. Sejarah
Nasional
Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Soekmono, R.1973.Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia. Yogyakarta:
Kanisius.
Sudarmanto.Y.B..1996.Jejak-Jejak Pahlawan dari Sultan Agung
Hingga Syekh
Yusuf.
Jakarta: Grasindo.
Sulasman, 2013. Sejarah Islam di Asa & Eropa,
Bandung: Pustaka Setia
Suryanegara, Ahmad Mansur. 1996. Meneruskan Sejarah – Wacana Pergerakan
Islam di Indonesia.
Bandung: Mizan.
No comments:
Post a Comment