1

loading...

Thursday, October 31, 2019

MAKALAH TEORI KEDATANGAN ISLAM DI INDONESIA


MAKALAH TEORI KEDATANGAN ISLAM DI INDONESIA

            Menurut Sulasman dalam bukunya yang berjudul “Sejarah Islam di Asia dan Eropa” beliau mengutip pendapatnya Ahmad Mansur Suryanegara dalam buku yang berjudul “Menemukan Sejarah”, beliau berpendapat: “Ada 3 teori yang menjelaskan kedatangan Islam ke Indonesia.”
            Azyumardi turut berpendapat: “Terkait kedatangan Islam di Nusantara, terdapat diskusi dan perdebatan panjang di antara para ahli mengenai tiga masalah pokok; tempat asal kedatangan Islam, para pembawanya, dan waktu kedatangannya. berbagai teori dan pembahasan yang berusaha menjawab ketiga masalah pokok di atas jelas belum tuntas, tidak karena kurangnya data yang dapat mendukung suatu teori yang ada. (Karena) terdapat kecenderungan kuat, suatu teori tertentu menekankan hanya aspek-aspek khusus dari ketiga masalah pokok di atas, sementara mengabaikan aspek-aspek yang lainnya.”

1.    Teori Gujarat
            Sejumlah sarjana, kebanyakan asal Belanda, memegang teori bahwa asal mula Islam Nusantara adalah Anak Benua India, bukannya Persia atau Arabia. (Menurut Azyumardi Azra), Sarjana pertama yang mengemukakan teori ini adalah Pijnapple, ahli dari Universitas Leiden. Dia mengkaitkan asal mula Islam di Nusantara dengan wilayah Gujarat dan Malabar. Menurut dia, adalah orang-orang Arab bermadzhab Syafi’i yang bermigrasi dan menetap di wilayah India tersebut yang kemudian membawa Islam ke Nusantara. Teori ini kemudian dikembangkan Snouck Hurgronje.
            Snouck Hurgronje mengatakan bahwa Islam masuk ke Indonesia dari wilayah-wilayah yang terdapat di anak Benua India. Tempat-tempat, seperti Gujarat, Bengali, dan Malabar disebut-sebut sebagai asal masuknya Islam ke Indonesia. Teori tersebut berdasarkan pengamatan tidak terlihatnya peran dan nilai-nilai Arab yang ada dalam Islam pada masa-masa awal, yaitu pada abad ke-12 atau 13 M. Snouck juga mengatakan, teorinya didukung dengan adanya hubungan yang sudah terjalin lama antara wilayah Indonesia dengan daratan India.
            Moquette, seorang sarjana Belanda lainnya, berkesimpulan bahwa tempat asal Islam di Nusantara adalah Gujarat. Ia mendasarkan kesimpulan ini setelah mengamati bentuk batu nisan di Pasai, kawasan utara Sumatra, khususnya yang bertanggal 17 Zulhijjah 831 H/27 September 1428. Batu nisan yang kelihatannya mirip dengan batu nisan lain yang ditemukan di makam Maulana Malik Ibrahim (w. 822 H/1419 M) di Gresik, Jawa Timur, ternyata sama bentuknya dengan batu nisan di Gujarat dihasilkan bukan hanya untuk pasar local, tetapi juga untuk diimpor ke kawasan lain, termasuk Sumatra dan Jawa. Selanjutnya dengan meng-impor batu nisan dari Gujarat, orang-orang Nusantara juga mengambil Islam dari sana.
            Kesimpulan-kesimpulan Moquette ini ditentang keras oleh Fatimi yang berargumen bahwa keliru mengaitkan seluruh batu nisan di Pasai, termasuk batu nisan Malik Al Shalih dengan butu nisan di Gujarat. Menurut penelitiannya, bentuk dan gaya batu nisan Malik Al Shalih berbeda sepenuhnya dengan batu nisan yang terdapat di Gujarat dan batu-batu nisan lainnya yang ditemukan di Nusantara. Fatimi berpendapat, bentuk dan gaya batu nisan ini justru mirip dengan batu nisan yang terdapat di Bengal. Karena itu, seluruh batu nisan itu pastilah di datangkan dari daerah itu. Ini menjadi alasan utamanya untuk menyimpulkan, bahwa asal Islam yang datang ke Nusantara adalah wilayah Bengal. Dalam kaitannya dengan “teori batu nisan” ini, Fatimi mengkritik para ahli yang kelihatannya mengabaikan batu nisan Siti Fatimah (bertahun 475 H/1082 M) yang ditemukan di Leran, Jawa Timur.
            Dan ternyata teori Fatimi yang dikemukakan dengan begitu semangat gagal meruntuhkan teori Moquette, karena sejumlah sarjana lain telah mengambil alih kesimpulannya, dan yang paling terkenal di antara mereka adalah: Kern, Winstedt, Bousquet, Vlekke, Gonda, Schrike, dan Hall. Sebagian mereka memberikan argument tambahan untuk mendukung kesimpulan Moqquette. Winstedt, misalnya, mengemukakan tentang penemuan batu nisan yang mirip bentuk dan gayanya di Bruas, pusat sebuah kerajaan kuno Melayu di Perak, Semenanjung Malaya. Ia berhujjah, karena seluruh batu nisan di Bruas, Pasai, dan Gresik didatangkan dari Gujarat, maka Islam juga pastilah diimpor dari sana.
            Teori yang berhujah menggunakan teori batu nisan dibantah oleh Marrison. Marrison mematahkan teori ini dengan menunjuk kepada kenyataan bahwa pada masa islamisasi Samudra Pasai, yang raja pertamanya wafat pada 698 H/1297 M, Gujarat masih merupakan Kerajaan Hindu. Barulah setahun kemudian (699 H/1298 M), Cambay, Gujarat ditaklukkan kekuasaan Muslim. Jika Gujarat adalah pusat Islam, yang dari tempat itu para penyebar Islam datang ke Nusantara, maka Islam pastilah telah mapan dan berkembang di Gujarat sebelum kematian Malik Al Shalih, tegasnya sebelum 698 H/1297 M.
            Marrison mengemukakan teorinya bahwa Islam di Nusantara bukan berasal dari Gujarat, melainkan dibawa para penyebar Muslim dari pantai Coromandel pada akhir abad ke-13.
            Menurut Azyumardi Azra, Marrison mendukung pendapat yang dikemukakan oleh Arnold. Bahwa dia (Arnold) berpendapat, bahwa Islam dibawa ke Nusantara antara lain juga dari Coromandel dan Malabar. Ia menyokong teori ini dengan menunjukkan kepada persamaan madzhab fikih di antara ke dua wilayah tersebut. Mayoritas Muslim di Nusantara adalah pengikut madzhab Syafi’i, yang cukup dominan di wilayah Coromendel dan Malabar, seperti yang disaksikan oleh para ‘Ibnu Bathuthah ketika ia mengunjungi kawasan ini.
            Arnold berpendapat, Coromandel dan Malabar bukan satu-satunya tempat asal Islam dibawa, tetapi juga di Arabia. Dalam pandangannya, para pedagang Arab juga menyebarkan Islam ketika mereka dominan dalam perdagangan Barat-Timur sejak abad-abad awal Hijriah atau abad ke-7 dan 8 Masehi. Pemakalah bisa menyimpulkan bahwa Arnold mendukung teori Arabia.



2.    Teori Persia
            Teori kedua adalah teori Persia. Tanah Persia disebut-sebut sebagai tempat awal Islam datang di Indonesia. Sandaran teori ini, yaitu adanya kesamaan budaya yang dimiliki oleh beberapa kelompok masyarakat Islam dengan penduduk Persia. Contohnya, peringatan 10 Muharram yang dijadikan sebagai hari peringatan wafatnya Hasan dan Husain. Selain itu juga beberapa sarapan bahasa yang diyakini berasal dari wilayah Iran, misalnya kata jabar dari zabar, jer dari zeer, dan sebagainya. Teori ini meyakini bahwa Islam masuk ke wilayah Indonesia pada abad ke-13 M. Adapun wilayah pertama yang disinggahi adalah kawasan Samudra Pasai.
       Teori Persia mengatakan bahwa proses kedatangan Islam ke Indonesia berasal dari daerah Persia atau Parsi (kini Iran). Pencetus dari teori ini adalah Hoesein Djajadiningrat, sejarawan asal Banten. Dalam memberikan argumentasinya, Hoesein lebih menitikberatkan analisisnya pada kesamaan budaya dan tradisi yang berkembang antara masyarakat Parsi dan Indonesia.
            Tradisi tersebut antara lain: tradisi merayakan 10 Muharram atau Asyuro sebagai hari suci kaum Syiah atas kematian Husein bin Ali, cucu Nabi Muhammad, seperti yang berkembang dalam tradisi tabut di Pariaman di Sumatera Barat. Istilah “tabut” (keranda) diambil dari bahasa Arab yang ditranslasi melalui bahasa Parsi. Tradisi lain adalah ajaran mistik yang banyak kesamaan, misalnya antara ajaran Syekh Siti Jenar dari Jawa Tengah dengan ajaran sufi Al-Hallaj dari Persia. Bukan kebetulan, keduanya mati dihukum oleh penguasa setempat karena ajaran-ajarannya dinilai bertentangan dengan ketauhidan Islam (murtad) dan membahayakan stabilitas politik dan sosial.
            Alasan lain yang dikemukakan Hoesein yang sejalan dengan teori Moquetta, yaitu ada kesamaan seni kaligrafi pahat pada batu-batu nisan yang dipakai di kuburan Islam awal di Indonesia. Kesamaan lain adalah bahwa umat Islam Indonesia menganut mahzab Syafei, sama seperti kebanyak muslim di Iran.


3.    Teori Arabia
            Teori ketiga, yaitu teori Arabia atau teori Mekah. Teori ini merupakan kritik terhadap kedua teori yang telah dipaparkan di atas. Teori ini menyebutkan bahwa Islam masuk ke Indonesia langsung dari Mekah dan Madinah. Waktu kedatangannya pun jauh lebih awal dari teori  pertama dan kedua (abad ke-12 dan 13), yaitu pada abad ke-7 M. ini berarti, Islam sudah masuk ke Indonesia pada awal abad Hijriah. Ketika itu, pemerintahan Islam masih berada di tangan Khulafaur Rasyidin. Dalam sumber literatur Cina, disebutkan bahwa menjelang per empat pertama abad ke-7 M, banyak terdapat perkampungan Arab-muslim di pesisir pantai Sumatra. Di perkampungan ini dikabarkan bahwa orang-orang Arab tinggal dan menikah dengan penduduk lokal, kemudian membentuk komunitas Muslim.
            Kitab sejarah Cina yang berjudul “Chiu T’hang Shu” menyebutkan, perkampungan ini pernah mendapat kunjungan diplomatic dari orang-orang Ta Shih (orang Arab) pada tahun 651 Masehi atau 31 Hijriah. Empat tahun kemudian, dinasti yang sama kedatangan duta (utusan) yang dikirim oleh Tan mi mo ni’. Tan mi mo ni’  adalah sebutan untuk Amirul Mu’minin atau pemimpin kaum muslim. Utusan Tan mi mo ni’, catatan tersebut menyebutkan bahwa mereka telah mendirikan Daulah Islamiyyah dan sudah tiga kali berganti kepemimpinan.
            Pada pertengahan abad ke-7 M, berdiri beberapa perkampungan Muslim di wilayah Kanfu atau yang sekarang dikenal sebagai Kanton. Beberapa catatan menyebutkan bahwa duta-duta Muslim juga mengunjungi kawasan Zabaj, Sribuza, atau yang lebih dikenal dengan Kerajaan Sriwijaya. Kenyataan ini bisa diterima, mengingat zaman itu adalah masa-masa keemasan Kerajaan Sriwijaya. Tidak ada satu ekspedisi pun yang akan menuju ke Cina dari kawasan Timur Tengah dan Gujarat, kecuali melewati selat Malaka dan biasanya akan singgah terlebih dahulu ke Kerajaan Sriwijaya.
            Menurut Hikayat raja-raja Pasai (ditulis setelah 1350), seorang syaikh Ismail datang dengan kapal dari Makkah via Malabar ke Pasai – di sini ia membuat Merah Silau, penguasa setempat, masuk Islam. Merah Silau kemudian mengambil gelar Malik Al Shalih yang, seperti dicatat terdahulu, wafat pada 698 H/1297 M. seabad kemudian, sekitar 817 H/1414 M, menurut sejarah Melayu (ditulis setelah 1500), penguasa Malaka juga di Islamkan oleh Sayid Abdul Aziz, seorang Arab dari Jeddah. Begitu masuk Islam, penguasa itu, Parameswara, mengambil nama dan gelar Sultan Muhammad Syah.
            Hikayat lain, diriwayatkan bahwa seorang Syaikh Abdullah Al Yamani datang dari Makkah (atau Baghdad) ke Nusantara dan meng-Islamkan penguasa setempat (Phra Ong Mahawangsa), para menterinya dan penduduk Keddah. Penguasa ini setelah masuk Islam menggunakan gelar dan nama Sultan Muzhaffar Syah. Sementara itu, sebuah historiografi dari Aceh memberikan informasi bahwa nenek moyang para sultan Aceh adalah seorang Arab bernama Syaikh Jamal Al Alam, yang dikirim Sultan Utsmani untuk meng-Islamkan penduduk Aceh. Sebuah riwayat Aceh lainnya menyatakan, bahwa Islam diperkenalkan ke kawasan Aceh oleh seorang Arab bernama Syaikh Abdullah Arif sekitar tahun 506 H/1111 M.
            Literatur kuno tulisan Buzurg bin Shahriyar Ar Ramhurmuzi yang berjudul Aja’ib Al Hind, memberikan gambaran bahwa ada perkampungan Muslim yang dibangun di wilayah Kerajaan Sriwijaya. Hubungan Sriwijaya dengan Islam Timur Tengah terus berlanjut, hingga masa Umar bin Abdul Aziz. Ibnu Abdur Rabbih dalam Al ‘Iqd Al Farid, yang dikutip Azumardi Azra dalam buku yang berjudul Jaringan Ulama’ Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII, menyebutkan adanya korespondensi yang berlangsung antara Raja Sriwijaya saat itu, yakni Sri Indravarman dengan Khalifah Umar bin Abdul Aziz yang terkenal adil.
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Taufik (ed.).1991.Sejarah Umat Islam Indonesia. Jakarta: Majelis
            Ulama Indonesia.
Badri, Yatim. 2000. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada
Poesponegoro, 1993.  Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto. Sejarah
            Nasional Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Soekmono, R.1973.Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia. Yogyakarta:
            Kanisius.
Sudarmanto.Y.B..1996.Jejak-Jejak Pahlawan dari Sultan Agung Hingga Syekh
            Yusuf. Jakarta: Grasindo.
Sulasman, 2013. Sejarah Islam di Asa & Eropa, Bandung: Pustaka Setia
Suryanegara, Ahmad Mansur. 1996. Meneruskan Sejarah – Wacana Pergerakan
            Islam di Indonesia. Bandung: Mizan.


No comments:

Post a Comment