1

loading...

Wednesday, November 7, 2018

Makalah Fiqih Pengertian Nafkah Hadhanah dan Radha’ah

Makalah Fiqih Pengertian Nafkah Hadhanah dan Radha’ah

Kata Pengantar

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan  karunia, taufik dan hidayahnya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah mata kuliah Fiqih dengan judul “ Pengertian Nafkah Hadhanah dan Radha’ah”.
            Salawat dan salam semoga selalu tercurah dan terlimpah keharibaan seorang Nabi yang membawa manusia dari  jaman kegelapan ke jaman terang menderang yaitu Nabi Muhammad SAW serta para sahabat, kerabat dan kita pengikut beliau ilayaumil kiyamah
            Makalah ini kami sajiakan guna untuk  bahan saat diskusi bagi mahasiswa berlangsung . Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini, terutama kepada dosen pembimbing fiqih  sehingga makalah ini dapat diselesaikan sebagaimana mestinya .
            Penulis sangat berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca meskipun penulis menyadari akan ketidak sempurnaan di dalam makalah ini.Untuk itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran dari pembaca sekalian,Sehingga kedepannya  penulis dapat menyempurnakan makalah ini sebagaimana mestinya.




                                                                                                           Bengkulu,September 2018



                                                                                                                    Kelompok 8

Daftar Isi
Kata Pengantar.................................................................................
Daftar Isi..........................................................................................
Bab I Pendahuluan...........................................................................
1.1Latar Belakang........................................................................
1.2 Rumusan Masalah..................................................................
1.3Tujuan Penelitian....................................................................
1.4Manfaat Penelitian...................................................................
Bab II Pembahasan...........................................................................
2.1     Pengertian Nafkah...................................................................
a.     Macam-macam Nafkah............................................................
b.    Syarat-syarat Wajib Nafkah.....................................................
c.     Gugurnya Nafkah...............................................................
2.2     Pengertian Hadhanah................................................................
a.     Fase Kehidupan Anak Secara Fiqih..........................................
b.    Fase Kehidupan Anak  Menurut Syariat...................................
c.     Hukum dan Dasar Hukum Hadhanah.......................................
d.    Macam- Macam Hadhanah........................................................
2.3     Pengertian Radha’ah..................................................................
a.     Yang  Mahram  Sebab Radhanah(Meyusui/Penyesuain)...........
b.    Dalil Radha’ah (Menyusui/Penyusuan).....................................
c.     Syarat Radha’ah(Meyusui/Penyusuan)......................................
d.    Rukun Radha’ah(Meyusui/Penyusuan)......................................

Bab I
Pendahuluan

1.1Latar Belakang

Pernikahan adalah kejadian, kejadian dimana perjanjian antara dua manusia terjadi. Perjanjian suci menurut Islam sangatlah berat. Karena memerlukan tanggung jawab, komitmen, dan kasih sayang. Pernikahan adalah hal normal yang dibutuhkan manusia. Dalam islam, hukum pernikahan adalah sunnah. Tapi dapat menjadi wajib, makruh, atau bahkan haram, dan Pernikahan, sebagaimana kesepakatan mayoritas (jumhur) ulama, adalah salah satu penyebab kewajiban pemberian nafkah.
Para Imam mazhab juga sepakat atas wajibnya seseorang menafkahi orang- orang yang wajib dinafkahi, seperti istri, ayah, dan anak yang masih kecil. Kesepakatan ini berasal dari ketetapan teks (nash) dalam al-Qur’an:
Artinya : “Dan kewajiban ayah adalah memberi makanan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf”. (QS. Al- Baqarah: 233)
Pada makalah kali ini penulis akan mencoba membahas menggenai persoalan yang sering kali banyak di perbincangkan di kalanggan ulama-ulama (jumhur) ataupun oleh kalanggan masyarakat pada hari ini. Persoalan yang di maksud yaitu mengganai “nafkah dan kedudukan harta dalam pernikahan”.
Dengan adanya makalah yang penulis buat ini, semoga dapat menambah penggetahuan bagi kita semua dan semoga dapat di ambil pelajaran dan dapat memberikan hikmah bagi kita semua. Kritik dan saran tetap kami minta untuk menyempurnakan makalah ini.
Manusia dalam kehidupan ini mengalami proses pertumbuhan. Permulaan dari air yang dibandingkan dengan yang lain tidak ada artinya, kemudian menjadi emberio, segumpal darah, janin sehingga akhirnya kita terlahir di dunia ini dalam keadaan selamat. Setelah proses tersebut, perjalanan manusia baru akan dimulai dan melanjutkan proses tersebut sampai akhirnya kita bisa beradaptasi dengan sesama manusia yang lain.
Melihat perkembangan sekarang banyak manusia yang melantarkan anak di tengah jalan, Disebabkan karena faktor ekonomi. Sehingga dia tidak mendapat kasih sayang kepada kedua orang tuanya serta mereka bingung akan kemana mereka untuk masa kedepannya bahkan yang lebih parah lagi adalah kepada siapa yang akan mengasuh mereka. Oleh karena itu, dibutuhkan sebuah lembaga yang dapat mengayomi mereka agar mendapatkan kehidupan yang layak seperti manusia biasanya.
Sehingga dalam hal tersebut penting bagi kita untuk mengetahui seputar hadhanah serta hal-hal yang berkaitan dengan perkara tersebut.
Ajaran “penyusuan anak” (ar-radhâ’ah) secara eksplisit dan tegas dikemukakan di dalam Kitab Suci al-Qur’ân dan kemudian mendapatkan penjelasan dari hadits Nabi SAW. Namun sebagaimana umumnya ayat dalam al-Qur’ân, ajaran itu masih membuka ruang interpretasi [tafsir] yang luas. Hampir semua kitab fiqh dari pelbagai madzhab membahas topik ar-radhâ’ah dalam pasal tersendiri di bawah pembahasan bab “nikâh”. Namun, pembahasan mereka umumnya berkisar pada dua hal pokok. Pertama, pembahasan tentang teknis penyusuan yang menyebabkan menjadi mahram (haram dinikahi). Kedua, pembahasan mengenai hubungan upah penyusuan di antara pihak-pihak terkait.
1.2Rumusan Masalah
Apa pengertian Nafkah?
Apa pengertian Hadhanah ?
Apa pengertian Radha’ah?
1.3Tujuan Penelitian
·       Mengetahui pengertian nafkah
·       Hal yang termasuk nafkah
·       Mengetahui pengertian hadhanah
·       Hal yang termasuk hadhanah
·       Mengetahui pengertian radha’ah
·       Hal yang termasuk radhanah
Bab II
Pembahasan

2.1 Pengertian Nafkah

Secara etimologi, nafkah berasal dari bahasa Arab yakni dari suku kata anfaqa – yunfiqu- infaqan.Dalam kamus Arab-Indonesia, secara etimologi kata nafkah diartikan dengan “ pembelanjaan dalam tata bahasa Indonesia kata nafkah secara resmi sudah dipakai dengan arti pengeluaran. Berdasarakn pengertian ini maka seorang perempuan yang sudah dinikahi secara sah oleh seorang laki-laki berhak untuk mendapatkan nafkah dari suaminya itu. Hal itu karena memang nafkah adalah kewajiban suami terhadap istri yang wajib ditunaikan dan jika dialnggar  akan mendapatkan balasan dosa dari Allah SWT.
Dalam kitab-kitab fiqh pembahasan nafkah selalu dikaitkan dengan pembahasan nikah, karena nafkah merupakan konsekuensi terjadinya suatu aqad antara seorang pria dengan seorang wanita. (tanggung jawab seorang suami dalam rumah tangga/keluarga), sebagaimana yang diungkapkan oleh al- Syarkawi : “Ukuran makanan tertentu yang diberikan (menjadi tanggungan) oleh suami terhadap isterinya, pembantunya, orang tua, anak budak dan binatang ternak sesuai dengan kebutuhannya” .
Defenisi yang dikemukakan oleh al-Syarkawi di atas belum mencakup semua bentuk nafkah yang dijelaskan dalam ayat dan sunnah Rasul. Wahbah al-Zuhaili menjelaskan pengertian nafkah sebagai berikut :
“Nafkah Yaitu mencukupi kebutuhan orang yang menjadi tanggungannya berupa makanan, pakaian dan tempat tinggal”. Mencermati beberapa definisi serta batasan tersebut di atas dapat dipahami, bahwa nafkah itu adalah pengeluaran yang biasanya dipergunakan oleh seseorang untuk orang yang menjadi tanggungannya dalam memenuhi kebutuhan hidup, baik berupa pangan, sandang ataupun papan dan lainnya dengan sesuatu yang baik.

a.      Macam-macam Nafkah
Menurut jenisnya nafkah dibagi menjadi dua yaitu Pertama, nafkah lahir yang bersifat materi seperti sandang,pangan, papan dan biaya hidup lainnya termasuk biaya pendidikan anak. Kedua nafkah batin yang bersifat non-materi seperti hubungan intim, kasih sayang,perhatian dan lain-lain
Menurut objeknya, Nafkah ada dua macam yaitu:
·         Nafkah untuk diri sendiri. Agama Islam mengajarkan agar nafkah untuk diri sendiri didahulukan daripada nafkah untuk orang lain. Diri sendiri tidak dibenarkan menderita, karena mengutamakan orang lain.
·         Nafkah untuk orang lain karena hubungan perkawinan dan hubungan kekerabatan. Setelah akad nikah, maka suami wajib memberi nafkah kepada istrinya paling tidak kebutuhan pokok sehari-hari seperti sandang, pangan dan papan.


b.      Syarat-syarat Wajib Nafkah
Perkawinan yang telah memenuhi rukun dan syarat menyebabkan timbulnya hak dan kewajiban. Artinya istri berhak mendapatkan nafkah sesuai dengan ketentuan ayat dan hadis sebagaimana telah penulis kemukakan sebelumnya. Para ulama sepakat bahwa setelah terjadinya akad nikah istri berhak mendapatkan nafkah. Hanya saja ulama berbeda pendapat ketika membahas apakah hak nafkah itu diperoleh ketika terjadi akad atau ketika istri telah pindah ke tempat kediaman suami.
Sedangkan Syafi’i dalam qaul jadid, Malikiyah dan Hanabilah mengungkapkan bahwa istri belum mendapatkan hak nafkahnya melainkan setelah tamkin, seperti istri telah menyerahkan diri kepada suaminya. Sementara itu sebagian ulama muta’akhirin menyatakan bahwa istri baru berhak mendapatkan hak nafkah ketika istri telah pindah ke rumah suaminya.
Menurut jumhur ulama suami wajib memberikan nafkah istrinya apabila: Istri menyerahkan diri kepada suaminya sekalipun belum melakukan senggama; Istri tersebut orang yang telah dewasa dalam arti telah layak melakukan hubungan senggama, perkawinan suami istri itu telah memenuhi syarat dan rukun dalam perkawinan; Tidak hilang hak suami untuk menahan istri disebabkan kesibukan istri yang dibolehkan agama.
Maliki membedakan syarat wajib nafkah istri setelah dan belum disenggamai. Syarat nafkah sebelum disenggamai adalah : Mempunyai kemungkinan untuk disenggamai. Apabila suami mengajak istrinya melakukan hubungan suami isteri namun istri menolak, makA
a.       istri tidak layak untuk menerima nafkah.
b.      Istri layak untuk disenggamai. Apabila istri belum layak disenggamai seperti masih kecil maka ia berhak menerima nafkah.
c.       Suami itu seorang laki-laki yang telah baligh. Jika suami belum baligh sehinggga belum mampu melakukan hubungan suami istri secara sempurna maka ia tidak wajib membayar nafkah.
d.      Salah seorang suami atau istri tidak dalam keadaan sakratul maut ketika akan diajak bersenggama.
Selanjutnya syarat wajib nafkah bagi istri yang telah disenggamai adalah pertama : Suami itu mampu. Apabila suami tidak mampu maka selama ia tidak mampu maka ia tidak wajib membayar nafkah istrinya. Kedua : Istri tidak menghilangkan hak suami untuk menahan istri dengan alasan kesibukan istri yang dibolehkan agama.


c.   Gugurnya Hak Nafkah
Konsekuensi akad perkawinan yang sah suami berkewajiban memberi nafkah kepada isterinya. Hak mendapatkan nafkah isteri hanya didapat apabila syarat-syarat untuk mendapatkan hak seperti diuraikan diatas telah terpenuhi, serta isteri terhindar dari hal-hal yang menyebabkan gugurnya hak nafkah tersebut.Berkaitan dengan gugurnya hak nafkah berikut ini akan dijelaskan beberapa hal yang menyebabkan gugurnya hak nafkah isteri. Adapun penyebab gugur hak nafkah tersebut adalah sebagai berikut :
a.       Nusyuz
Kata nusyuz merupakan bentuk jamak ( plural ) dari nusyz yang secara etimologi berarti dataran tanah yang lebih tinggi atau tanah bukit, sesuai dengan pengertian ini, maka wanita yang nusyuz menurut pengertian bahasa berarti wanita yang merasa lebih tinggi dari suaminya, sehingga tidak mau terikat dengan kewajiban patuh terhadap suami. Dari pengertian ini pula selanjutnya dipahami pengertian nusyuz secara umum yaitu sikap angkuh, tidak patuh seseorang dengan tidak bersedia menunjukkan loyalitas kepada pihak yang wajib dipatuhinya Kata nusyuz secara resmi telah dipakai dalam tata bahasa Indonesia yang secara terminologi berarti : perbuatan tidak taat dan membangkang seorang istri terhadap suaminya (tanpa alasan) yang dibenarkan hukum (Islam).

b.      Wafat salah seorang suami istri
Nafkah isteri gugur sejak terjadi kematian suami, kalau suami meninggal sebelum memberikan nafkah maka istri tidak dapat mengambil nafkah dari harta suaminya. Dan jika istri yang meninggal dunia terlebih dahulu, maka ahli warisnya tidak dapat mengambil nafkah dari harta suaminya.

c.       Murtad
Apabila seorang istri murtad maka gugur hak nafkahnya karena dengan keluarnya istri dari Islam mengakibatkan terhalangnya suami melakukan senggama dengan istri tersebut. Jika suami yang murtad, maka hak nafkah istri tidak gugur karena halangan hukum untuk melakukan persenggamaan timbul dari pihak suami padahal kalau ia mau menghilangkan halangan hukum tersebut dengan masuk kembali ke dalam Islam, dia bisa melakukannya.

d.      Talak                            
Berkaitan dengan talak, para ulama sepakat bahwa hak nafkah bagi isteri hanyalah selama isteri masih dalam masa iddah. Adapun setelah habis masa iddah tidak satu pun dalil yang mengungkapkan bahwa suami masih tetap berkewajiban memberi nafkah bekas istrinya. Hal ini bisa dipahami kenapa setelah habisnya masa iddah isteri tidak berhak lagi untuk menerima nafkah dari suami.


2.2     Pengertian Hadhanah
Kata hadhanah adalah bentuk mashdar dari kata hadhnu ash-shabiy, atau mengasuh atau memelihara anak. Mengasuh (hadhn) dalam pengertian ini tidak dimaksudkan dengan menggendongnya dibagian samping dan dada atau lengan.



a.              Fase Kehidupan Anak Secara Fiqih
1.     Masa ketika anak masih belum dilahirkan, yakni masih berupa janin dalam rahim ibunya.
2.     Masa ini dimulai sejak sang bayi lahir dan berakhir pada masa Tamyiz, yaitu ketika ia menginjak usia 7 th.
3.     Dimulai sejak usia tamyiz, yakni sejak usia 7th sampai dewasa (baligh).
4.     Dimulai dengan masa kedewasaan.

b.  Fase Kehidupan AnakMenurut Syariat

Bayi
→ semenjak lahir hingga usia 2 tahun :
pada masa ini orang tua perlu mengembangkan kasih sayang dua arah.

Anak-anak (thufulah) → usia 2 tahun sampai 7 tahun:
masa untuk memberikan dasar-dasar tauhid pada anak (yang mendorongnya untuk bergerak melakukan sesuatu yang baik menurut Allah).

Tamyiz → usia 7 tahun sampai 10 tahun:
masa awal anak dalam membedakan baik dan buruk melalui penalarannya, pada masa ini anak perlu mendapatkan pendidikan pokok syariat.

Amrad → usia 10 tahun sampai 15 tahun :
pada masa ini anak memerlukan pengembangan potensinya, pada masa ini anak juga mencapai ‘aqil baligh (akalnya sampai).

Taklif → usia 15 tahun sampai 18 tahun:
pada usia ini anak hatus tertanam rasa tanggung jawab, baik pada diri sendiri, orang tua ataupun lingkungan.
c.       Hukum dan Dasar Hukum Hadhanah
Para ulama menetapkan bahwa pemeliharaan anak itu hukumnya adalah wajib, sebagaimana wajib memeliharanya selama berada dalam ikatan perkawinan. Adapun dasar hukumnya mengikuti umum perintah Allah SWT untuk membiayai anak dan istri dalam firman Allah pada surat al – Baqarah ayat 233 :
“Adalah kewajiban ayah untuk member nafkah dan pakaian untuk anak dan istrinya”
Kewajiban membiayai anak yang masih kecil bukan hanya berlaku selama ayah dan ibu masih terikatan dalam tali perkawinan saja, namun juga berlanjut setelah terjadinya perceraian.
d.      Macam- Macam Hadhanah
a)   Hadhanah Pada Masa Perkawinan
b)  Hadhanah Pada Masa Perceraian

2.3 Pengertian Radha’ah
Radha'ah adalah penyusuan/menyusui bayi yang dilakukan oleh perempuan selain ibu kandung. Hal ini terjadi karena banyak faktor. Seperti ibu asli bayi tidak keluar ASI atau tidak mau menyusui atau ibu asli bayi meninggal dunia atau memiliki penyakit yang menular sehingga dikawatirkan menular ke anaknya apabila memaksa menyusui bayinya, dan lain sebagainya.
a.      Yang  Mahram  Sebab Radha’ah(Meyusui/Penyesuain)
1. Perempuan yang menyusui (murdhi'ah)                                   8. Anak-anak dari ibu susuan
2. Suami ibu susuan                                                               10. Anak-anak dari bapak susuan
3. Ibu bapak dari murdhi'ah/ibu susuan
4. Ibu bapak dari suami ibu susuan
5. Adik beradik dari ibu susuan
6. Adik beradik dari bapak susuan
7. Anak-anak dari ibu dan bapak susuan

a. Dalil Radha’ah (Menyusui/Penyusuan)
Dalil-dalil yang berakaitan dengan radha'ah adalah sebagai berikut:
Dalil Quran

1. QS Al-Baqarah 2:233
Artinya: Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut.
2. QS An-Nisâ’ 4:23
Artinya: Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan.

b.      Syarat Radha’ah(Meyusui/Penyusuan)
1.        Adanya air susu manusia
2.       Air susu itumasuk kedalam perut (bayi)
3.       Bayi tersebut belum berusia dua tahun

c.       Rukun Radha’ah(Meyusui/Penyusuan)
1.       Anak yang menyusu
2.       Perempuan yang menyusui
3.       Kadar air susu minimal yaitu 3 isapan



No comments:

Post a Comment