Makalah Fiqih Pengertian Nafkah Hadhanah dan Radha’ah
Kata Pengantar
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan karunia, taufik dan hidayahnya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah mata kuliah Fiqih dengan judul “ Pengertian Nafkah Hadhanah dan Radha’ah”.
Salawat dan salam semoga selalu tercurah dan terlimpah keharibaan seorang Nabi
yang membawa manusia dari jaman kegelapan ke jaman terang menderang yaitu
Nabi Muhammad SAW serta para sahabat, kerabat dan kita pengikut beliau
ilayaumil kiyamah
Makalah ini kami sajiakan guna untuk bahan saat diskusi bagi mahasiswa
berlangsung . Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang
telah membantu dalam penyusunan makalah ini, terutama kepada dosen pembimbing
fiqih sehingga makalah ini dapat diselesaikan sebagaimana
mestinya .
Penulis sangat berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca
meskipun penulis menyadari akan ketidak sempurnaan di dalam makalah ini.Untuk
itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran dari pembaca sekalian,Sehingga
kedepannya penulis dapat menyempurnakan makalah ini sebagaimana mestinya.
Bengkulu,September
2018
Kelompok 8
Daftar Isi
Kata Pengantar.................................................................................
Daftar Isi..........................................................................................
Bab I Pendahuluan...........................................................................
1.1Latar
Belakang........................................................................
1.2
Rumusan Masalah..................................................................
1.3Tujuan
Penelitian....................................................................
1.4Manfaat
Penelitian...................................................................
Bab II Pembahasan...........................................................................
2.1 Pengertian
Nafkah...................................................................
a.
Macam-macam
Nafkah............................................................
b. Syarat-syarat
Wajib Nafkah.....................................................
c. Gugurnya
Nafkah...............................................................
2.2 Pengertian Hadhanah................................................................
a.
Fase Kehidupan
Anak Secara Fiqih..........................................
b.
Fase Kehidupan Anak Menurut
Syariat...................................
c.
Hukum dan Dasar
Hukum Hadhanah.......................................
d.
Macam- Macam Hadhanah........................................................
2.3 Pengertian Radha’ah..................................................................
a. Yang
Mahram Sebab
Radhanah(Meyusui/Penyesuain)...........
b. Dalil Radha’ah (Menyusui/Penyusuan).....................................
c. Syarat
Radha’ah(Meyusui/Penyusuan)......................................
d. Rukun
Radha’ah(Meyusui/Penyusuan)......................................
Bab I
Pendahuluan
1.1Latar Belakang
Pernikahan adalah kejadian, kejadian dimana perjanjian
antara dua manusia terjadi. Perjanjian suci menurut Islam sangatlah berat.
Karena memerlukan tanggung jawab, komitmen, dan kasih sayang. Pernikahan adalah
hal normal yang dibutuhkan manusia. Dalam islam, hukum pernikahan adalah
sunnah. Tapi dapat menjadi wajib, makruh, atau bahkan haram, dan Pernikahan,
sebagaimana kesepakatan mayoritas (jumhur) ulama, adalah salah satu
penyebab kewajiban pemberian nafkah.
Para Imam mazhab juga sepakat atas wajibnya seseorang
menafkahi orang- orang yang wajib dinafkahi, seperti istri, ayah, dan anak yang
masih kecil. Kesepakatan ini berasal dari ketetapan teks (nash) dalam
al-Qur’an:
Artinya : “Dan kewajiban
ayah adalah memberi makanan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang
ma’ruf”. (QS. Al- Baqarah: 233)
Pada makalah kali ini
penulis akan mencoba membahas menggenai persoalan yang sering kali banyak di
perbincangkan di kalanggan ulama-ulama (jumhur) ataupun oleh kalanggan
masyarakat pada hari ini. Persoalan yang di maksud yaitu mengganai “nafkah dan
kedudukan harta dalam pernikahan”.
Dengan adanya makalah yang
penulis buat ini, semoga dapat menambah penggetahuan bagi kita semua dan semoga
dapat di ambil pelajaran dan dapat memberikan hikmah bagi kita semua. Kritik
dan saran tetap kami minta untuk menyempurnakan makalah ini.
Manusia dalam kehidupan ini mengalami proses
pertumbuhan. Permulaan dari air yang dibandingkan dengan yang lain tidak ada
artinya, kemudian menjadi emberio, segumpal darah, janin sehingga akhirnya kita
terlahir di dunia ini dalam keadaan selamat. Setelah proses tersebut,
perjalanan manusia baru akan dimulai dan melanjutkan proses tersebut sampai
akhirnya kita bisa beradaptasi dengan sesama manusia yang lain.
Melihat perkembangan sekarang banyak manusia yang
melantarkan anak di tengah jalan, Disebabkan karena faktor ekonomi. Sehingga
dia tidak mendapat kasih sayang kepada kedua orang tuanya serta mereka bingung
akan kemana mereka untuk masa kedepannya bahkan yang lebih parah lagi adalah kepada
siapa yang akan mengasuh mereka. Oleh karena itu, dibutuhkan sebuah lembaga
yang dapat mengayomi mereka agar mendapatkan kehidupan yang layak seperti
manusia biasanya.
Sehingga dalam hal tersebut penting bagi kita untuk
mengetahui seputar hadhanah serta hal-hal yang berkaitan dengan perkara
tersebut.
Ajaran
“penyusuan anak” (ar-radhâ’ah) secara eksplisit dan tegas dikemukakan di dalam
Kitab Suci al-Qur’ân dan kemudian mendapatkan penjelasan dari hadits Nabi SAW.
Namun sebagaimana umumnya ayat dalam al-Qur’ân, ajaran itu masih membuka ruang
interpretasi [tafsir] yang luas. Hampir semua kitab fiqh dari pelbagai madzhab
membahas topik ar-radhâ’ah dalam pasal tersendiri di bawah pembahasan bab
“nikâh”. Namun, pembahasan mereka umumnya berkisar pada dua hal pokok. Pertama,
pembahasan tentang teknis penyusuan yang menyebabkan menjadi mahram (haram
dinikahi). Kedua, pembahasan mengenai hubungan upah penyusuan di antara
pihak-pihak terkait.
1.2Rumusan Masalah
Apa
pengertian Nafkah?
Apa
pengertian Hadhanah ?
Apa
pengertian Radha’ah?
1.3Tujuan Penelitian
·
Mengetahui
pengertian nafkah
·
Hal yang
termasuk nafkah
·
Mengetahui
pengertian hadhanah
·
Hal yang
termasuk hadhanah
·
Mengetahui
pengertian radha’ah
·
Hal yang
termasuk radhanah
Bab II
Pembahasan
2.1
Pengertian Nafkah
Secara
etimologi, nafkah berasal dari bahasa Arab yakni dari suku kata anfaqa –
yunfiqu- infaqan.Dalam kamus Arab-Indonesia, secara etimologi kata nafkah
diartikan dengan “ pembelanjaan dalam tata bahasa Indonesia kata nafkah secara
resmi sudah dipakai dengan arti pengeluaran. Berdasarakn pengertian ini maka
seorang perempuan yang sudah dinikahi secara sah oleh seorang laki-laki berhak
untuk mendapatkan nafkah dari suaminya itu. Hal itu karena memang nafkah adalah
kewajiban suami terhadap istri yang wajib ditunaikan dan jika dialnggar akan mendapatkan balasan dosa dari Allah SWT.
Dalam
kitab-kitab fiqh pembahasan nafkah selalu dikaitkan dengan pembahasan nikah,
karena nafkah merupakan konsekuensi terjadinya suatu aqad antara seorang pria
dengan seorang wanita. (tanggung jawab seorang suami dalam rumah
tangga/keluarga), sebagaimana yang diungkapkan oleh al- Syarkawi : “Ukuran
makanan tertentu yang diberikan (menjadi tanggungan) oleh suami terhadap
isterinya, pembantunya, orang tua, anak budak dan binatang ternak sesuai dengan
kebutuhannya” .
Defenisi
yang dikemukakan oleh al-Syarkawi di atas belum mencakup semua bentuk nafkah
yang dijelaskan dalam ayat dan sunnah Rasul. Wahbah al-Zuhaili menjelaskan
pengertian nafkah sebagai berikut :
“Nafkah
Yaitu mencukupi kebutuhan orang yang menjadi tanggungannya berupa makanan,
pakaian dan tempat tinggal”. Mencermati beberapa definisi serta batasan
tersebut di atas dapat dipahami, bahwa nafkah itu adalah pengeluaran yang
biasanya dipergunakan oleh seseorang untuk orang yang menjadi tanggungannya
dalam memenuhi kebutuhan hidup, baik berupa pangan, sandang ataupun papan dan
lainnya dengan sesuatu yang baik.
a. Macam-macam Nafkah
Menurut jenisnya nafkah dibagi
menjadi dua yaitu Pertama, nafkah lahir yang bersifat materi seperti sandang,pangan,
papan dan biaya hidup lainnya termasuk biaya pendidikan anak. Kedua nafkah
batin yang bersifat non-materi seperti hubungan intim, kasih sayang,perhatian
dan lain-lain
Menurut objeknya, Nafkah ada dua macam yaitu:
·
Nafkah untuk diri sendiri. Agama
Islam mengajarkan agar nafkah untuk diri sendiri didahulukan daripada nafkah
untuk orang lain. Diri sendiri tidak dibenarkan menderita, karena mengutamakan
orang lain.
·
Nafkah untuk orang lain karena
hubungan perkawinan dan hubungan kekerabatan. Setelah akad nikah, maka suami
wajib memberi nafkah kepada istrinya paling tidak kebutuhan pokok sehari-hari
seperti sandang, pangan dan papan.
b. Syarat-syarat Wajib Nafkah
Perkawinan yang telah memenuhi rukun
dan syarat menyebabkan timbulnya hak dan kewajiban. Artinya istri berhak
mendapatkan nafkah sesuai dengan ketentuan ayat dan hadis sebagaimana telah
penulis kemukakan sebelumnya. Para ulama sepakat bahwa setelah terjadinya akad
nikah istri berhak mendapatkan nafkah. Hanya saja ulama berbeda pendapat ketika
membahas apakah hak nafkah itu diperoleh ketika terjadi akad atau ketika istri
telah pindah ke tempat kediaman suami.
Sedangkan Syafi’i dalam qaul jadid,
Malikiyah dan Hanabilah mengungkapkan bahwa istri belum mendapatkan hak
nafkahnya melainkan setelah tamkin, seperti istri telah menyerahkan diri kepada
suaminya. Sementara itu sebagian ulama muta’akhirin menyatakan bahwa istri baru
berhak mendapatkan hak nafkah ketika istri telah pindah ke rumah suaminya.
Menurut jumhur ulama suami wajib
memberikan nafkah istrinya apabila: Istri menyerahkan diri kepada suaminya
sekalipun belum melakukan senggama; Istri tersebut orang yang telah dewasa
dalam arti telah layak melakukan hubungan senggama, perkawinan suami istri itu
telah memenuhi syarat dan rukun dalam perkawinan; Tidak hilang hak suami untuk
menahan istri disebabkan kesibukan istri yang dibolehkan agama.
Maliki membedakan syarat wajib
nafkah istri setelah dan belum disenggamai. Syarat nafkah sebelum disenggamai
adalah : Mempunyai kemungkinan untuk disenggamai. Apabila suami mengajak
istrinya melakukan hubungan suami isteri namun istri menolak, makA
a. istri tidak
layak untuk menerima nafkah.
b. Istri layak
untuk disenggamai. Apabila istri belum layak disenggamai seperti masih kecil
maka ia berhak menerima nafkah.
c. Suami itu
seorang laki-laki yang telah baligh. Jika suami belum baligh sehinggga belum
mampu melakukan hubungan suami istri secara sempurna maka ia tidak wajib
membayar nafkah.
d. Salah
seorang suami atau istri tidak dalam keadaan sakratul maut ketika akan diajak
bersenggama.
Selanjutnya syarat wajib nafkah bagi
istri yang telah disenggamai adalah pertama : Suami itu mampu. Apabila suami
tidak mampu maka selama ia tidak mampu maka ia tidak wajib membayar nafkah
istrinya. Kedua : Istri tidak menghilangkan hak suami untuk menahan istri
dengan alasan kesibukan istri yang dibolehkan agama.
c. Gugurnya Hak Nafkah
Konsekuensi akad perkawinan yang sah
suami berkewajiban memberi nafkah kepada isterinya. Hak mendapatkan nafkah
isteri hanya didapat apabila syarat-syarat untuk mendapatkan hak seperti
diuraikan diatas telah terpenuhi, serta isteri terhindar dari hal-hal yang
menyebabkan gugurnya hak nafkah tersebut.Berkaitan dengan gugurnya hak nafkah
berikut ini akan dijelaskan beberapa hal yang menyebabkan gugurnya hak nafkah
isteri. Adapun penyebab gugur hak nafkah tersebut adalah sebagai berikut :
a. Nusyuz
Kata nusyuz merupakan bentuk jamak (
plural ) dari nusyz yang secara etimologi berarti dataran tanah yang lebih
tinggi atau tanah bukit, sesuai dengan pengertian ini, maka wanita yang nusyuz
menurut pengertian bahasa berarti wanita yang merasa lebih tinggi dari
suaminya, sehingga tidak mau terikat dengan kewajiban patuh terhadap suami.
Dari pengertian ini pula selanjutnya dipahami pengertian nusyuz secara umum
yaitu sikap angkuh, tidak patuh seseorang dengan tidak bersedia menunjukkan
loyalitas kepada pihak yang wajib dipatuhinya Kata nusyuz secara resmi telah
dipakai dalam tata bahasa Indonesia yang secara terminologi berarti : perbuatan
tidak taat dan membangkang seorang istri terhadap suaminya (tanpa alasan) yang
dibenarkan hukum (Islam).
b. Wafat salah seorang suami istri
Nafkah isteri gugur sejak terjadi
kematian suami, kalau suami meninggal sebelum memberikan nafkah maka istri
tidak dapat mengambil nafkah dari harta suaminya. Dan jika istri yang meninggal
dunia terlebih dahulu, maka ahli warisnya tidak dapat mengambil nafkah dari
harta suaminya.
c. Murtad
Apabila seorang istri murtad maka
gugur hak nafkahnya karena dengan keluarnya istri dari Islam mengakibatkan
terhalangnya suami melakukan senggama dengan istri tersebut. Jika suami yang
murtad, maka hak nafkah istri tidak gugur karena halangan hukum untuk melakukan
persenggamaan timbul dari pihak suami padahal kalau ia mau menghilangkan
halangan hukum tersebut dengan masuk kembali ke dalam Islam, dia bisa
melakukannya.
d. Talak
Berkaitan dengan talak, para ulama
sepakat bahwa hak nafkah bagi isteri hanyalah selama isteri masih dalam masa
iddah. Adapun setelah habis masa iddah tidak satu pun dalil yang mengungkapkan
bahwa suami masih tetap berkewajiban memberi nafkah bekas istrinya. Hal ini
bisa dipahami kenapa setelah habisnya masa iddah isteri tidak berhak lagi untuk
menerima nafkah dari suami.
2.2
Pengertian Hadhanah
Kata hadhanah adalah
bentuk mashdar dari kata hadhnu ash-shabiy,
atau mengasuh atau memelihara anak. Mengasuh
(hadhn) dalam pengertian ini tidak dimaksudkan dengan menggendongnya
dibagian samping dan dada atau lengan.
a.
Fase
Kehidupan Anak Secara Fiqih
1.
Masa ketika anak masih belum dilahirkan, yakni masih berupa janin dalam
rahim ibunya.
2.
Masa ini dimulai sejak sang bayi lahir dan berakhir pada masa Tamyiz,
yaitu ketika ia menginjak usia 7 th.
3.
Dimulai sejak usia tamyiz, yakni sejak usia 7th sampai dewasa (baligh).
4.
Dimulai dengan masa kedewasaan.
b. Fase Kehidupan AnakMenurut Syariat
Bayi → semenjak lahir hingga usia 2 tahun :
pada
masa ini orang tua perlu mengembangkan kasih sayang dua arah.
Anak-anak (thufulah)
→ usia 2 tahun sampai 7 tahun:
masa
untuk memberikan dasar-dasar tauhid pada anak (yang mendorongnya untuk bergerak
melakukan sesuatu yang baik menurut Allah).
Tamyiz → usia 7 tahun sampai 10 tahun:
masa
awal anak dalam membedakan baik dan buruk melalui penalarannya, pada masa ini
anak perlu mendapatkan pendidikan pokok syariat.
Amrad → usia 10 tahun sampai 15 tahun :
pada
masa ini anak memerlukan pengembangan potensinya, pada masa ini anak juga
mencapai ‘aqil baligh (akalnya sampai).
Taklif → usia 15 tahun sampai 18 tahun:
pada
usia ini anak hatus tertanam rasa tanggung jawab, baik pada diri sendiri, orang
tua ataupun lingkungan.
c.
Hukum
dan Dasar Hukum Hadhanah
Para
ulama menetapkan bahwa pemeliharaan anak itu hukumnya adalah wajib, sebagaimana
wajib memeliharanya selama berada dalam ikatan perkawinan. Adapun dasar
hukumnya mengikuti umum perintah Allah SWT untuk membiayai anak dan istri dalam
firman Allah pada surat al – Baqarah ayat 233 :
“Adalah
kewajiban ayah untuk member nafkah dan pakaian untuk anak dan istrinya”
Kewajiban membiayai anak yang masih kecil bukan hanya berlaku selama ayah dan ibu masih terikatan dalam tali perkawinan saja, namun juga berlanjut setelah terjadinya perceraian.
Kewajiban membiayai anak yang masih kecil bukan hanya berlaku selama ayah dan ibu masih terikatan dalam tali perkawinan saja, namun juga berlanjut setelah terjadinya perceraian.
d.
Macam-
Macam Hadhanah
a) Hadhanah
Pada Masa Perkawinan
b) Hadhanah Pada Masa Perceraian
2.3
Pengertian Radha’ah
Radha'ah adalah
penyusuan/menyusui bayi yang dilakukan oleh perempuan selain ibu kandung. Hal
ini terjadi karena banyak faktor. Seperti ibu asli bayi tidak keluar ASI atau
tidak mau menyusui atau ibu asli bayi meninggal dunia atau memiliki penyakit
yang menular sehingga dikawatirkan menular ke anaknya apabila memaksa menyusui
bayinya, dan lain sebagainya.
a. Yang
Mahram Sebab
Radha’ah(Meyusui/Penyesuain)
1. Perempuan yang
menyusui (murdhi'ah) 8. Anak-anak dari ibu susuan
2. Suami ibu susuan 10. Anak-anak dari bapak susuan
3. Ibu bapak dari murdhi'ah/ibu susuan
4. Ibu bapak dari suami ibu susuan
5. Adik beradik dari ibu susuan
6. Adik beradik dari bapak susuan
7. Anak-anak dari ibu dan bapak susuan
a. Dalil Radha’ah (Menyusui/Penyusuan)
Dalil-dalil yang berakaitan dengan radha'ah adalah sebagai berikut:
2. Suami ibu susuan 10. Anak-anak dari bapak susuan
3. Ibu bapak dari murdhi'ah/ibu susuan
4. Ibu bapak dari suami ibu susuan
5. Adik beradik dari ibu susuan
6. Adik beradik dari bapak susuan
7. Anak-anak dari ibu dan bapak susuan
a. Dalil Radha’ah (Menyusui/Penyusuan)
Dalil-dalil yang berakaitan dengan radha'ah adalah sebagai berikut:
Dalil Quran
1. QS Al-Baqarah 2:233
1. QS Al-Baqarah 2:233
Artinya: Dan jika kamu
ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu
memberikan pembayaran menurut yang patut.
2. QS An-Nisâ’ 4:23
Artinya:
Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan;
saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan;
saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari
saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu
yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan.
b. Syarat Radha’ah(Meyusui/Penyusuan)
1. Adanya air susu manusia
3. Bayi
tersebut belum berusia dua tahun
c. Rukun Radha’ah(Meyusui/Penyusuan)
1. Anak
yang menyusu
2. Perempuan
yang menyusui
3. Kadar
air susu minimal yaitu 3 isapan
No comments:
Post a Comment