1

loading...

Wednesday, October 31, 2018

MAKALAH ALQUR'AN SEBAGAI SUMBER DAN DALIL DALAM PERUMUSAN HUKUM ISLAM

MAKALAH ALQUR'AN SEBAGAI SUMBER DAN DALIL DALAM PERUMUSAN HUKUM ISLAM

 
BAB II
PEMBAHASAN
A.  PENGERTIAN SUMBER DAN DALIL
Bila dilihat secara etimologis, maka ajakan terlihat bahwa kedua kata itu tidaklah sinonim, setidaknya bila dihubungkan kepada kata “syari’ah”. Kata sumber           , atau dengan jamaknya:           , dapat diartikan suatu wadah yang dari wadah itu dapat ditemukan atau ditimba norma hukum. Sedangkan “ dalil hukum” berarti sesuatu yang memberi petunjuk dan menuntun kita dalam menemukan hukum Allah.
Kata “ sumber” dalam artian ini hanya dapat digunakan untuk Al-Qur’an dan Sunnah, karena memang keduanya merupakan wadah yang dapat ditimbah hukum syara’ tetapi tidak mungkin kata ini digunakan untuk ijma’ dan qiyas karena keduanya bukanlah wadah yang dapat ditimbah norma hukum. Ijma’ dan qiyas itu, keduanya adalah cara dalam menemukan hukum. kata “dalil” dapat digunakan untuk Al-Qur’an dan Sunnah, juga dapat digunakan untuk ijma’ dan qiyas, karena memang semuanya menuntun kepada penemuan hukum Islam.
Kata “dalil” itu berasal dari bahasa Arab          , yang seacara etimologis berarti sesuatu yang dapat menjuluki. Kata “dalil” dan yang seakar dengannya, disebut sebanyak 8 kali dalam Al-Qur’an dengan arti tersebut. Umpamanya firman Allah Swt dalam surat al-Furqan (25): 45:


Kemudian kami jadikan matahari sebagai dalil ( petunjuk)

Dikalangan fuqaha, kata “dalil” itu diartikan “ sesuatu yang padanya terdapat penunjukkan pengajaran, baik yang dapat menyampaikan pengajaran, baik yang dapat menyampaikan kepada sesuatu yang meyakinkan atau kepada dugaan kuat yang tidak meyakinkan”. Dikalangan ulama ushul fiqh kata “dalil” diartikan “sesuatu yang menyampaikan kepada tuntutan khabari dengan pemikiran yang shahih. Dari rumusan ta’rif ushul fiqh itu, maka yang tidak menyampaikan kepada tuntutan atau menyampaikan kepadaa tuntutan yang bukan khabari, atau yang menyampaikan dengan pemikiran yang salah, bukan disebut “dalil” dalam artian ini. 
Al Syatbihi mengemukakan prinsip atau dalil syara’ sebagai berikut:
1.    Dalil syara’ tidak bertentangan dengan tuntutan akal
2.    Tujuan pembentukan dalil adalah menempatkan perbuatan manussia dalam perhitungannya
3.    Setiap dalil bersifat kulli (global). Seandainya ia bersifat juz i ( terinci) adalah tersebab oleh hal-hal yang daang kemudian, dan tidak menurut asal penetapannya.
4.    Dalil syara’ terbaagi kepada qath’i dan zhanni
5.    Dalil syara’ terdiri dari dalil naqli dan dalil ‘aqli

     Al- Amidi membagi dalil kepada dua kelompok, yaitu:
     Pertama, dalil yang shahih menurut dirinya dan wajib diamalkan, terdiri dari:
1.    Dalil yang disampaikan oleh Nabi dalam bentuk yang terbaca, yaitu Al-Qur’an, [1]
2.    Dalil yang disampaikan Nabi dalam bentuk yang tak terbaca yaitu Sunnah. Al-Qur’an dan Sunnah disebut dalil nash.
3.    Dalil yang tidak disampaikan ileh Nabi atau bukan nash, bentuknya terdiri dari:
a.       Terpelihara dari kesalahan, yaitu ijma’
b.      Tidak terpelihara dari kesalahan tetapi dapat dihubungkan kepada nassh, yaitu qiyas.
c.       Tidak terpelihara dari kesalahan dan tidak pula dihubungkan kepada nash, yaitu isidlal
     Nash dan Ijma’ adalah dalil pokok sedangkan qiyas dan istidlal adalah cabang yang mengikut kepada nash dan ijma’.
Kedua, sesuatu yang diperkirakan dalil shahih, sebenarnya bukan dalil, yaitu: syar’u man qablana, mazhab shahabi, istihsan dan maslahah mursalah.
Dari uraian diatas, dalil syara’ dapat dikelompokkan pada dua kelompok:
1.    Dalil-dalil syara’ yang disepakati yaitu Qur’an, Sunnah, ijma dan qiyas.
2.    Dalil-dalil syara’ yang tidak disepakati yaitu istihsan, maslahah mursalah, isrishab,’urf,  syar’u man qablana dan mazhab shahabi.
      Al-Qur’an, Sunnah, ijma’, dan qiyas disepakati oleh Ahlussunnah sebagai dalil secara prinsip, walaupun berbeda dalam kadar penggunaannya. Keempatnya mendapat landasan hukum yang kuat dalam Al-Qur’an dan Sunnah, yaitu:
a.    Landasan dalam Al-Qur’an dalam surat al-Nisa’(4): 59:



Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-(Nya), dan ulil amri diantara kamu, kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepaa Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (Sunah)

Perintah mentaati Allah berarti perintah menjalankan hukum yang terdapat dalam Al-Qur’an. Perintah mentaati Rasul berarti perintah mengamalkan apa yang disampaikan Rasul dalam Sunnahnya. Perintah mematuhi Ulil Amri berarti perintah mengamalkan hukum yang ditemukan berdasarkan ijma’. Perintah mengembalikan sesuatu yang dipersilahkan hukumnya kepada Allah dan Rasul berarti perintah mengamalkan hukum yang ditemukan melalui qiyas.

b.      Landasan dalam Sunnah adalah kisah pembicaraan Nabi dengan Muaz bin Jabal sewaktu ia diutus oleh Nabi untuk menjadi penguasa di Yaman. Nabi berkata, “Bagaimana Anda memutuskan seandainya kepada anda dihadapkan suatu perkara?” Saya memutuskan berdasarkan apa yang terhadap dalam Al-Qur’an”.


B. AL-QUR’AN SEBAGAI SUMBER DAN DALIL

1.  PENGERTIAN AL-QUR’AN
Secara etimologis al-Qur’an adalah bentuk mashdar dari kata qa-ra-a (        ), sewazan dengan kata fu’lan (          ), artinya: bacaan; berbicara tentang apa tertulis padanya; atau melihat dan menelaah. Dalam pengertian ini, kata          berarti           , yaitu isim maf’ul (objek) dari         .  Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat al-Qiyamah (75): 17-18:



Sesungguhnya atas tangguhan Kami-lah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila kami telah selesai membacanya maka ikutilah bacaannya itu.

Kata “Qur’an” digunakan dalam arti sebagai nama kitab suci yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Bila dilafazkan dengan mnggunakan alif;lam bererti untuk keseluruhan apa yang dimaksud dengan Qur’an, sebagaimana firman Allah dalam surat al-Isra (17):19:


Sesungguhnya atas tangguhan Kami menyampaikannya dan membacanya apabila Kami selesai membacanya maka ikutilan membacanya

Al-Qur’an disebut juga al-Kitab sebagaimana tersebut dalam surat al-Baqarah (2): 2:



Kitab (al-Qur’an)itu tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa.

Arti al-qur’an secara terminologis ditemukan dalam beberapa rumusan definisi sebagai berikut:
1.    Menurut Syaltut, al-Qur’an adalah lafaz arabi yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, dinukilkan kepada kita secara mutawatir.  
2.    Al- Syaukani mengartikan al-Qur’an dengan “Kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw, tertulis dalam mushhaf, dinukikan secara mutawatir.
3.    Definisi al-Qur’an yang dikemukakan Abu Zahrah ialah: ”Kitab yang diturunkan kepada Nabi Muhammad”.
4.    Menurut al-Syarkhisi, al-Qur’an adalah: “Kitab yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, ditulis dalam mushaf, diturunkan dengan huruf yang tujuh yang masyhur dan dinukilkan secara mutawatir.
5.    Al-Amidi memberikan ta’rif al-Qur’an: “Al-Kitab adalah al-Qur’an yang diturunkan yang diturunkan”.
6.    Ibn Subki mendefinisikan al-Qur’an: “lafaz yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, mengandung mu’jizat setiap suratnya, yang beribadah membacanya”.

Dengan membandingkan antara satu definisi dengan lainnya, dapat ditarik suatu rumusan mengenai definisi al-Qur’an, yaitu: ”Lafaz berbahasa Arab yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, yang dinukilkan secara mutawatir.
Definisi ini menagandung beberapa unsur yang menjelaskan hakikat al-Qur’an yaitu:   
1.    Al-Qur’an itu berbentuk lafaz. Ini mengandung arti bahwa apa yang disampaikan Allah melalui Jibril kepada Nabi Muhammad SAW dalam bentuk makna dan dilafazkan oleh Nabi denagn ibaratnya sendiri tidaklah disebut dengan al-Qur’an. Umpamanya hadits qudsi atau hadits qauli lainnya. Karenanya tidak ada ulama yang mengharuskan berwudhu jika hendak membacanya.
2.    Al-Qur;an itu adalah berbahasa Arab. Bahwa al-Qur’an yang dialihbahasakan kepada bahasa lain atau yang diibaratkan dengan bahasa lain bukanlah al-Qur’an. Karena shalat yang menggunakan terjemahan al-Qur’an, tidak sah.
3.    Al-Qur’an itu diturunkan kepaa Nabi Muhammad SAW, ini mengandung arti bahwa wahyu Allah yang disampaikan kepada Nabi- Nabi terdahulu tidaklah diesebut Al-Qur’an. Tetapi apa yang dihikayatkan dalam al-Qur’an tentang kehidupan dan syari’at yang berlaku pada umat terdahulu adalah al-Qur’an.
4.    Al-Qur’an itu dinukilkan secara mutawatir. Ini mengandung arti bahwa ayat-ayat yang tidak dinukilkan dalam bentuk mutawatir bukanlah al-Qur’an. Karenanya ayat-ayat syazzah atau yang tidak mutawatir penukilannya tidak dapat dijadikan hujjah dalam istinbath hukum.

Disamping 4 unsur pokok tersebut, ada beberapa unsur sebagai penjelasan tambahan yang ditemukan dalam sebagian dari beberapa definisi al-Qur’an diatas yaitu:
a.       Kata-kata “mengandung mu’jizat setiap suratnya “, memberi penjelasan bahwa setiap ayat al-Qur’an mengandung daya mu’jizat. Oleh karena itu hadits qudsi atau tafsira al-Qur’an dalam bahasa Arab, bukanlah al-Qur’an karena tidak mengandung daya mu’jizat.
b.      Kata-kata “beribadah membacanya”, memberi penjelasan bahwa dengan membaca al-Qur’an berarti melakukan suatu perbuatan ibadah yang berhak mendapat pahala. Karenanya membaca hadits qudsi yang tidak mengandung daya ibadah seperti al-Qur’an, tidak dapat disebut al-Qur’an.
c.       Kata-kata “tertulis dalam dalam mushaf” (dalam definisi Syaukani dan Sarkhisi), mengandung arti bahwa apa-apa yang tidak tertulis dalam mushaf walaupun wahyu itu diturunkan kepada Nabi, umpanya ayat-ayat yang telah dinasakhkan, tidak lagi disebut al-Qur’an.


2.    OTENTISITAS AL-QUR’AN
   Umat islam sepakat bahwa kumpulan wahyu Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Yang disebut al-Qur’an dan yang termuat dalam mushaf, adalah otentik (semuanya adalah betul-betul dari Allah SWT), dan semua wahyu yang diterima Nabi Muhammad SAW dari Allah melalui malaikat Jibril telah termuat dalam al-Qur’an. Keontentikan al-Qur’an ini dapat dibuktikan dari kehati-hatian para sahabat Nabi memelihatranya sebelum ia dibukukan dan dikumpulkan. Begitu pula kehati-hatian para sahabat dalam membukukan dan memelihara penggandaannya.
Sebelum dibukukan, ayat-ayat al-Qur’an berada dalam rekaman teliti para sahabat, baik melalui hapalan yang kuat dan setia atau melaui tulisan ditempat yang terpisah. Ia disampaikan dan disebarluaskan secar periwayatan oleh orang banyak yang tidak mungkin bersekongkol untuk berdusta. Bentuk periwayatan seperti itu dinamai periwayatan secara mutawatir yang menghasilkan sesuatu kebenaran yang tidak meragukan. Oleh karena itu al-Qur’an itu bersifat otentik. Begitu pula pada waktu pembukuan al-Qur’an di masa Abu Bakar. Pembukuannnya dilakukan secara teliti dengan mencocokkkan tulisan yang ada dengan hapalan para penghapal, sehingga kuat dugaan bahwa semua wahyu telah direkan dalam mushaf. Mushaf Imam yang dijadikan standar itu dijadikan rujukan bagi perbanyakan dan pentashihan berikutnya, sehingga berkembang dalam bentuk aslinya sampai waktu ini. Inilah yang dimaksud Allah SWT dan firmannya pada surat al-Hijr (15): 9:



Sesungguhnya kamilah yang menurunkan al-Qur’an dan sesungguhnya kami benar-benar memliharanya.

Dengan demikian dapat dipastikan bahwa seluruh ayat al-Qur’an dari segi lafaz dan wurudnya adalah qathi (meyakinkan) serta tidak ada keraguan didalamnya.

a.    Bacaan (Qira’at) al-Qur’an
Dari segi pembacaan (qira’at), al-Qur’an terdapat perbedaan. Dari hasil penelitian para ahli, tujuh diantara qira’at yang berkembang itu disepakati kemutawatir-annya. Itulah yang disebut “qira’at yang tujuh “ atau qira’at sab’ah yaitu;
1.    Qira’at Ibnu Katsir, qari Mekkah
2.    Qira’at Ibnu ‘Amir, qari-syam
3.    Qira’at Nafi’, qari Madinah
4.    Qira’at Abu ‘Amru, qari Bashrah
5.    Qira’at Ashim, qari Kufah
6.    Qira’at Hamzah, qari Kufah
7.    Qira’at Al-Kisai, qari kufah
Selain itu, ada 3 qira’at lagi, yaitu: qira’at Ibn Ja’Far, Ya’kub dan Khalafah, tetapi tidak disepakati tentang ke-mutawatirannya. Adapun qira’at yang selain yang sepuluh itu disepajati oleh ulama tentang ketidak-Mutawatirannya. Qira’aat yang tidak mutawatir ini disebut qira’at Syadzdzah (                    ), atau ganjil, lain yang umum berlaku. Keganjilan qira’at Syadzdzah diantaranya disebabkan adanya tambahan kata sebagai penjelasan terhadap kata yang terletak disampingnya. Umpanya dalam qira’at yang berlaku secara umum, al-Maidah (5):89 berbunyi:


Barangsiapa tidak sanggup melakukan yang demikian, maka kaffaratnya puasa selama tiga hari

Sedangkan dalam qira’at syadzdzah yang berasal dari Ibn Mas’ud ayat itu berbunyi:


Barangsiapa tidak sanggup melakukan yang demmikian, maka kaffaratnya puasa tiga hari berturut-turut

Dalam qira’at Ibn Mas’ud ayat itu berbunyi:


Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri potonglah tangan kanannya.

b.    Kedudukan qira’at Syadzdzah
Dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat dikalangan ulama.
a.    Imam Al-Syafi’i berpendapat tidak boleh berdalil dengan qira’at syadzdzah. Karena itu menurut kelompok ini kewajiban puasa untuk khaffarah sumpah yang tiga hari itu tidak mesti berturut-turut dan boleh saja harinya berpisah.
b.    Imam Abu Hanifah menerima qira’at syadzdzah (yang tidak mutawatir) sebagai sumber dalam penetapan hukum. Perbedaan pendapat ulama tentang qira’at syadzdzah itu juga terjadi dalam hal boleh atau tidaknya dibaca alam waktu shalat. Perbedaan ini muncul karena yang disuruh dibaca dalam shalat adalah ayat al-Qur’an sesuai dengan Allah dalam surat al- Muazammil (73):20:


...Maka bacalah apa yang mudah (bagimu) dari al-Qur’an

c.    Basmalah dalam Al-Qur’an
Suatu hal yang pasti, basmalah adalah bagian dari al-Qur’an karena terdapat dalam surat al-Naml. Dalam hal ini, sumber khabarnya bersifat mutawatir dan tidak terdapat perbedaan pendapat. Namun para ulama berbeda pendapat mengenai “ basmalah “ yang terdapat diluar surat al –Naml, yaitu pada tiap pembukaan surat dalam al-Qur’an, selain surat Al-Taubah.
1.    Imam Syafi’i berpendapat bahwa basmalah itu merupakan suatu ayat dari surat al-Qur’an yang diawali dengan basmalah
2.    Imam Malik berpendapat bahwa basmalah diawal setiap surat buakan merupakan ayat dalam surat al-Qur’an. Juga bukan salah satu ayat dalam surat al-Fatihah atau surat lainnya. Alasannya bahwa umat Islam di Madinah tidak membaca basmalah pada awal setiap surat dalam shalat yang mereka lakukan.
3.    Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa tertulisnya basmalah dalam alQur’an menunjukkan bahwa ia bagian dari al-Qur’an tetapi tidak menunjukkan bahwa ia bagian dari surat al-Qur’an yang didahului oleh basmalah itu. Disebutkannya basmalah dalam al-Qur’an adalah untuk pemisah antara satu surat dengan surat lainnya. Sebuah hadis Nabi dari Ibnu Abbas yang dikeluarkan oleh Abu Daud dengan sanad yang shahih mengisyaratkan bahwa Nabi tidak mengetahui tanda pemisah antara satu surat dengan surat lain sampai turunnya basmalah.
Oleh karena yang disuruh dibaca dalam shalat adalah al-Qur’an seperti tersebut dalam ayat diatas, sedangkan kedudukan basmalah sebagai bagian dari al-Qur’an diperselisihkan, maka terdapat pula perbedaan dalam hal membacanya dalam shalat.
a.    Ulama yang menyatakan bahwa basmalah merupakan bagian dari surat al-Qur’an membolehkan menbaca basmalah dalam shalat
b.    Ulama yang mengatakan bahwa basmalah bukan bagian dari al-Qur’an tidak membolehkan membacanya dalam shalat, baik secara jahar (keras) maupun secara sir (perlahan)
c.    Ulama yang mengatakan bahwa basmalah adalah al-Qur’an tetapi tidak termasuk bagian dari surat membolehkan membaca basmalah dalam shalat tetapi hanya dengan sir, tidak boleh di-jahar-kan.


     
C.  FUNGSI DAN TUJUAN TURUNNYA AL-QUR’AN
         Al- Qur’an diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad untuk disampaikan kepada umat manusia bagi kemaslahatan dan kepentingan mereka, khususnya umat Mukminin yang percaya akan kebenarannya. Kemaslahatan  dapat berbentuk mendatangkan manfaat atau keberuntungan, maupun dalam bentuk melepaskan manusia dari kemadaratan atau kecelakaan yang akan menimpanya.
         Bila ditelusuri ayat-ayat yang menjelakan fungsi turunnya al-Qur’an kepada umat manusia, terlihat dalam beberapa bentuk ungkapan yang diantaranya adalah:
1.    Sebagai hudan (        ) atau petunjuk bagi kehidupan umat. Fungsi hudan ini banyak sekali terdapat dalam al-Qur’an, lebih dari 79 ayat, umpamanya pada surat al-Baqarah (2):2:


kitab (al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi metreka yang bertaqwa

2.    Sebagai raahmat (        ) atau keberuntungan yang diberikan Allah dalam enuk kasih sayangnya. Al-Qur’a sebagai rahmat untuk umat ini, tidak kurang dari 15 kali disebutkan dalam al-Qur’an, umpamanya pada surat luqman (31):2-3:


Inilah ayat-ayat al-Qur’an yang mengandung rahmat bagi orang-orang yang berbuat kebaikan.

3.    Sebagai furqan (           ) yaitu pembeda antara yang baik dengan yang buruk, yang halal dengan yang haram, yang salah dengan yang benar, yang indah dan yang jelek, yang dapat dilakukan dan yang terlarang untuk dilakukan. Fungsi al-Qur’an sebagai alat pemmisah ini terdapat dalam 7 ayat al-Qur’an. Umpamanya pada surat al-Baqarah (2) : 185:



Bulan Ramadhan, bulan yang didalamnya diturunkan (permulaan) al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil)

4.    Sebagai mau’izhah (        ) atau pengajaran yang akan mengajar dan membimbing umat dalam kehidupannya untuk mendapatkan kebahagiaan dunia dan akhirat. Fungsi mau’izah ini terdapat setidaknya dalam 5 ayat al-Qur’an. Umpamanya pada surat al-A’raf (7):145:


Dan telah kami tuliskan untuk Masa luh-luh (Taurat) segala sesuatu sebagai pelajaran dan penjelasan bagi segal sesuatu.

5.    Sebagai busyra (      ) yaitu berita gembira bagi orang yang telah berbuat baik kepada Allah dan sesama manusia. Fungsi busyra itu terdapat dalam sekitar 8 ayat al-Qur’an, seperti pada surat al-Naml (27):1-2:


Tha-Syin. (Surat) ini adalah ayat-ayat al-Qur’an, dan ayat-ayat Kitab yang menjelaskan, untuk menjadi petunjuk dan berita gembira untuk orang-orang yang beriman.

6.    Sebagai “tibyan”(       ) yang berarti penjelasan atau yang menjelaskan terhadap segala sesutu yang disampaikan Allah. Contoh fungsinya sebagai tibyan adalah dalam surat al-Nahl (16):89:


Dan kami turunkan kepadamu al-Kitab (al-Qur’an)untuk menjelaskan segala sesuatu.

7.    Sebagai mushaddiq (          ) atau pembenar terhadap kitab yang datang sebelumnya, daalam hal ini adalah: Taurat, Zabur dan Injil. Ini berarti bahwa al-Qur’an memberikan pengakuan terhadap kebenaran Taurat, Zabur, dan Injil sebagai berasal dari Allah (sebelum adanya perubahan  terhadap isi kitab suci itu). Al-Qur’an sebagai mushaddiq terdapat disekitar 10 ayat, umpamanya pada surat ALI-Imran (3):3:



Dia menurunkan al-Kitab (al-Qur’an) kepadamu dengan sebenarnya; membenarkan kitab yang diturunkan sebelumnya...

8.    Sebagai Nur (           ) atau cahaya yang akan menerangi kehidupan manusia dalam menempuh jalan menuju keselamatan. Umpamanya pada surat al-Maidah (5):46:


Di dalamnya (ada) petunjuk dan cahaya (yang menerangi), dan memebenarkan kitab yang sebelumnya.

9.    Sebagai tafsil (      ) yaitu memberikan penjelasan secara rinci sehingga dapat dialksanakan sesuai dengan yang dikendaki Allah. Umpamanya dalam surat Yusuf  (12 ):111:


Al-Qur’an itu bukan cerita yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu

10.    Sebagai Syifaaau al-shudur (                  ) atau obat bagi rohani yang sakit. Al-Qur’an untuk pengobat rohani yang sakit ini adalah dengan peunjuk yang terdapat didalamnya; terdapat dalam 3 ayat al-Qur’an umpamanya dalam surat al-Isra (17) : 82:


Dan kami turunkan dari AL-Qur’’an suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman.

11.    Sebagai hakim yaiut sumber kebijaksanaan sebagimana tersebut dalam surat luqman (31):2:


Inilah ayat-ayat al-Qur’an yang mengandung hikmah

Dengan menganalisa semua fungsi al-Qur’an yang secara harfiah terdapat dalam al-Qur’an jelaslah bahwa al-Qur’an itu diturunkan Allah dalam bentuk multi fungsi. Memang terdapat pula dalam ayat-ayat lain yang mengisyaratkan fungsi dari al-Qur’an selain yang disebutkan di atas. Kesemuanya dapat dirangkum dalam dua hal pokok, yaitu:
Pertama, sebagai rahmat yang dikaruniakan Allah kepada umat manusia. Bila mereka menerima dan mengamalkan keseluruhan isi al-Qur’an, maka akan mendapatkan kehidupan yang bahagia dan kesenangan hidup diakhirat.
Kedua, sebagai hudan atau petunjuk. Kata petunjuk ini mengandung arti luas. Ia dapat berarti petunjuk bagi manusia untuk mengenal Rasul dan membuktikan kebenaran serta sekaligus menjadi tanda atau identitas kerasulanan. Juga menjadi petunjuk akan kebenaran Rasul, karena dalam al-Qur’an terdapat daya mu’jizat yang menunjukkan bahwa pembawa al-Qur’an itu adalah betul-betul seorang Rasul.
Al-Qur’an merupakan sumber petunjuk bagi kehidupan manusia. Petunjuk al-Qur’an itu dapat di klasifikasikan ke dalam dua bentuk.
Pertama, petunjuk langsung. Maksudnya dalam al-Qur’an terdapat aturan, ketentuan, dan petunjuk dalam bentuk tuntutan, larangan atau membiarkan. Al-Qur’an menjelaskan bahwa bila manusia mengikuti petunjuk dan batas-batas yang telah ditentukan Allah, maka selamatlah kehidupannya di dunia maupun dia akhirat.
Kedua, petunjuk yang tidak langsung. Maksudnya, dalam al-Qur’an terdapat pokok-pokok dasar ilmu pengetahuan yang melingkupi segenap bidang. Pokok dasar ilmu pengetahuan dalam al-Qur’an itu memerlukan pengembangan melalui nalar manusia sehingga menjadi satu ilmu yang sistematis. Penjelasan al-Qur’an tentang ilmu pengetahuan ada yang berbentuk keterangan tentang hakikat kejadian alam dan sekitarnya. Umpamanya firman Allah dalam surat Ali Imran (3): 190:




Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal.

Al-Qur’an diturunkan Allah secara berangsur-angsur dalam waktu yang cukup panjang, hampir sama dengan masa Risalah Nabi Muhammad, yaitu selama 22ntahun 2 BULAN, dan 22 hari. Maksud diturunkannya al-Qur’an secara berangsur-angsur, diantaranya adalah sebagai jawabaan terhadap sangkaan orang musyrik, sebagaimana disebutkan dalam surat al-Furqan (25): 32:




Berkatalah orang-orang yang kafiir “mengapa al-Qur’an itu tidak diturunkan kepadanya sekali turun saja.?”Demikianlah, supaya Kami perkuat hatimu denagnnya dan kami membacakannya kelompok demi kelompok.

 Ada dua maksud turunnya al-Qur’an secara berangsur, yaitu:
1.     Untuk tatsbit al-fu’ad, atau kemantapan hati, yaitu ketenangan dan kepuasan rohani dalam      menerima dan menjalankan al-Qur’an, baik bagi Nabi pribadi maupun bagi umatnya.
 Adapun kemantapan hati bagi Nabi ialah bahwa turunnya al-Qur’an itu merupakan
Hubungan langsung antar para Nabi dengan Tuhan. Selama peristiwa turunnya al-Qur’an itu berlangsung komunikasi langsung. Hal ini berati bahwa sampai akhir hayatnya Nabi selalu dalam komunikasi dengan Tuhan sehingga hatinya menjadi mantap.
Contoh dalam hal ini adalah penetapan hukum haramnya meminum khamar. Mula-mula turun ayat yang isinya baru sekedar menyatakan bahwa meminum khamar itu berdosa. Ini disebutkan dalam surat al-Baqarah (2): 219:



Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah,”pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfa’at bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya.”

   Dengan turunnya ayat itu, kebiasaan meminum khamar mulai ditinggalkan sebagian umat, tetapi belum sempurna dan tidak menyeluruh. Bahkan ada juga yang meminumnya di saat mendekati waktu shalat, sehingga ia melaksanakan shalat dalam keadaan mabuk. Sesudah itu turun ayat yang melarang seseorang shalat sesudah minum khamr dan masih mabuk. Ketentuan itu tertera dalam surat al-Nisa (4): 43:


Janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan.

2.    Alasan pentahapan turunnya al-Qur’an itu adalah dengan tujuan untuk adanya tartil. Secara harfiah, tartil berarti “ membaca dengan baik dan mudah”. Prinsip tartil adalah bahwa al-Qur’an itu turun kepada suatu kaum yang pada umumnya adalah ummi atau tidak mampu membaca dan menulis. Allah menghendaki ayat-ayat al-Qur’an dapat dihapal oleh umat dengan baik secara menyeluruh sehingga otentisitas al-Qur’an dapat terjamin. Untuk memudahkan umat dalam menghapal al-Qur’an, Allah menurunkan al-Qur’an sedikit demi sedikit, secara bertahap. Setiap kali ayat al-Qur’an turun dalam jumlah tertentu, maka umat mudah untuk menhapal dan membacanya.
Tahap turunnya al-Qur’an itu dibagi ke dalam dua tahap atau periode , yaitu:
a.    Periode sebelum Nabi hijrah ke Madinah. Ayat-ayat yang turun dalam tahap ini disebut Makiyah.
b.    Periode sesudah Nabi hijrah ke Madinah. Ayat- ayat yang diturunkan dalam periode ini disebut Madaniyah.
Ayat al-Qur’an yng diturunkan dalam tahap ini lebih diarahkan pada pembentukkan masyarajkat Islam, disamping pemantapan ‘aqidah. Pada periode ini lebih banyak turun ayat-ayat hukum, terutama yang menyangkut muamalah dalam arti luas.

D.  PENJELASAN AL-QUR’AN TERHADAP HUKUM
Ayat-ayat al- Qur’an dari segi kejelasan artinya ada dua macam. Keduanya dijelaskan Allah dalam surat al-Qur’an surat Ali Imran (3): 7, yaitu: secara muhkam dan mutasyabih.




Dia-lah yang menurunkan Al-Kitab (al-Qur’an) kepada kamu. Diantaranya (isi)nya dan ayat-ayat yang muhkamat, itulah pokok-pokok isi al-Qur’an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyabihat.

1.    Ayat muhkam adalah ayat yang jelas maknanya, tersingkap secara terang, sehingga menghindarkan keraguan dalam mengartikannya dan menghilangkan adanya beberapa kemungkinan pemahaman.
2.    Ayat mutasyabih adalah kebalikan dari yang muhkam, yaitu ayat yang tidak pasti arti dan maknanya, sehingga dapat dipahami dengan beberapa kemungkinan. Adanya pemahaman itu dapat disebabkan oleh dua hal:
a.    Lafaz itu dapat digunakan untuk dua maksud dengan pemahaman yang sama. Umpamanya kata quru dalam firman Allah pada surat al-Baqarah (2): 228 yang berarti suci atau  haid.
b.    Lafaz yang menggunakan nama atau kiasan yang menurut lahirnya mendatangkan keraguan. Keraguan ini disebabkan penggunaaan sifat yang ada pada manusia untuk Allah SWT, padahal Allah SWT tidak sam adengan makhluk-Nya. Umpamanya penggunaan kata “wajah” atau “muka” untuk Allah (al-Rahman [55]: 27)

Dari segi penjelasannya terhadap hukum, ada beberapa cara yang digunakan al-Qur’an, yaitu:
1.    Secara Juz’i (terperinci). Maksudnya, al-Qur’an menjelaskan secara terperinci. Allah dalam al-Qur’an memberikan penjelaan secara lengkap, sehingga dapat dilaksanakan menurut apa adanya, meskipun tidak dijelaskan Nabi dengan Sunnahnya. Umpamanya ayat-ayat tentang kewarisan yang terdapat dalam surat al-Nisa (4): 11 dan 12. Tentang sanksi terhadap kejahatan zina dalam surat al-Nur (24):4.
2.    Secara Kulli (global). Maksudnya, penjelasan al-Qur’an terhadap hukum berlaku secara garis besar, sehingga masih memerlukan penjelasan dalam pelaksanaannya. Yang paling berwenang memberikan penjelasan terhadap maksud ayat yang berbentuk garis besar itu adalah Nabi Muhammasd dengan sunnahnya. Penjelasan dari Nabi sendiri diantaranya ada yang berbentuk pasti sehingga tidak memberikan kemungkinan adanya pemahaman lain.
3.    Secara Isyarah. Al-Qur’an memberikan penjelasan terhadap apa yang secara lahir disebutkan di dalamnya dalam bentuk penjelasan secara isyarat. Disamping itu, juga memberikan pengertian secara isyarat kepada maksud lain. Dengan demikian satu ayat al-Qur’an dapat memberikan beberapa maksud. Umpamanya firman Allah dalam surat al-Baqarah (2): 233:


Dan kewajiban ayat memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang     ma’ruf.

Ayat tersebut, mengandung arti adanya kewajiban suami untuk memberi belanja dan pakaian bagi isterinya. Tetapi di balaik pengertian itu, mujtahid menaangkap isyarat adanya kemungkinan maksud lain yang terkandung dalam ayat tersebut, yaitu bahwa “nasab seorang anak dihubungkan kepada ayahnya”.
Ayat al-Qur’an dalam bentuk yang muhkam dengan penjelasan yang lengkap, penunjukkannya terhadap hukum adalah pasti (qath’i dilalah). Hukum yang ditunjuk secara pasti ini berlaku secar universal dan tidak akan mengalami perubahan walaupun waktu dan tempatnya sudah berubah.
Ayat al-Qur’an yang disampaikan secara mutasyabih, dalam bentuk penjelasan yang bersifat garis besar dan ayat-ayat yang mengandung isyarat, penunjukkannya terhadap hukum besifat zhanni (tidak meyakinkan); karenanya dapat dipahami dengan beberapa kemungkinan pemahaman. Ayat al-Qur’an yang penjelasan yang bersifat zhanni ini umumnya berlaku dalam bidang mu’amalah dalam arti luas yang mengatur hubungan manusia dengan sesamanya dalam kehidupan masyarakat. Karena kehidupan masyarakat itu senantiasa berkembang, maka penerapan hukumnay pun akan mengalami perubahan. Dalam bidang inilah berlaku ungkapan “perubahan hukum itu berdasarkan perubahan itu berdasarkan perubahan waktu dan tempat.”


E.       AL-QUR’AN SEBAGAI SUMBER HUKUM
Atas dasar bahwa hukum syara’ itu adalah kehendak Allah tentang tingkah laku manusia mukallaf, maka dapat dikatakan bahwa pembuat hukum( law giver) adalah Allah SWT. Ketentuan-Nya itu terdapat dalam kumpulan wahyu-Nya yang disebut al-Qur’an. Dengan demikian ditetapkan bahwa al-Qur’an itu sumber utama bagi hukum Islam, sekaligus juga sebagai dalil utama fiqh. Al-Qur’an itu membimbing dan memberikan petunjuk untuk menemukan hukum-hukum yang terkandung dalam sebagian ayat-ayatnya.
Karena kedudukan al-Qur’an itu sebagai sumber utama dan pertama bagi penetapan hukum, maka apabila seseorang ingin menemukan hukum untuk suatu kejadian, tindakan pertama yang harus ia lakukan adalah mencari jawab penyelesaiannya dari al-Qur’an. Selain itu, sesuai dengan kedudukan alQur’an sebagai sumber atau pokok hukum Islam, bearti al-Qur’an itu menjadi sumberdari segala sumber hukum. Kaerena itu, jika akan menggunakan sumber hukum alin di luar al-Qur’an, maka harus sesuai dengan petunjuk al-Qur’an dan tidak boleh melakukan sesuatu yang bertentangan dengan al-Qur’an. Hal ini berarti bahwa sumber-sumber hukum selain al-Qur’an tidak boleh menyalahiapa-apa yang telah ditetapkan Al-Qur’an.
Kekuatan hujjah al-Qur’an sebagai sumber dan dalil hukum fiqh terkandung dalam ayat al-Qur’an yang menyuruh umat manusia mematuhi Allah. Hal ini disebutkan lebih dari 30 kali dalam al-Qur’an. Perintah mematuhi Allah itu berarti perintah mengikuti apa-apa yang difirmankan-Nya dalam al-Qur’an. 
BAB III
PENUTUP
A.    KESIMPULAN
AL-Qur’an mempunyai pengertian sebagai lafaz berbahasa Arab yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, yang dinukilkan secara mutawatir. Al-Qur’an berfungsi sebagai petunjuk bagi manusia untuk mengenal Rasul dan membuktikan kebenaran serta sekaligus menjadi tanda atau identitas kerasulan. Karena dalam al-Qur’an terdapat daya mu’jizat yang menunjukkan bahwa pembawa al-Qur’an benar-benar seorang Rasul.
Kedudukan al-Qur’an sebagai sumber utama atau pokok hukum Islam, karena al-Qur’an itu menjadi sumber dari segala sumber hukum. Hal ini berarti bahwa sumber-sumber hukum Islam selain al-Qur’an tidak boleh menyalahi apa-apa yang telah ditetapkan dalam al-Qur’an

B.      SARAN
Kami sadar dalam penyusunan makalah ini banyak terdapat kekurangan baik dalam hal penulisan maupun dalam hal penyusunan. Untuk itu kami terima saran dan kritik yang membangun demi perbaikan penyusunan makalah ini. Demikian makalah ini kami susun
semoga bermanfaat bagi kami khususnya dan bagi pembaca pada umumnya.


























[1] Amir Syarifudin. Ushul Fiqh jilid (1) Jakarta: PT  logos wacana ilmu.1997

No comments:

Post a Comment