MAKALAH ALQUR'AN SEBAGAI SUMBER DAN DALIL DALAM PERUMUSAN HUKUM ISLAM
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN SUMBER DAN DALIL
Bila
dilihat secara etimologis, maka ajakan terlihat bahwa kedua kata itu tidaklah
sinonim, setidaknya bila dihubungkan kepada kata “syari’ah”. Kata sumber , atau dengan jamaknya: , dapat diartikan suatu wadah yang dari wadah itu
dapat ditemukan atau ditimba norma hukum. Sedangkan “ dalil hukum” berarti
sesuatu yang memberi petunjuk dan menuntun kita dalam menemukan hukum Allah.
Kata
“ sumber” dalam artian ini hanya dapat digunakan untuk Al-Qur’an dan Sunnah,
karena memang keduanya merupakan wadah yang dapat ditimbah hukum syara’ tetapi
tidak mungkin kata ini digunakan untuk ijma’ dan qiyas karena keduanya bukanlah
wadah yang dapat ditimbah norma hukum. Ijma’ dan qiyas itu, keduanya adalah cara
dalam menemukan hukum. kata “dalil” dapat digunakan untuk Al-Qur’an dan Sunnah,
juga dapat digunakan untuk ijma’ dan qiyas, karena memang semuanya menuntun
kepada penemuan hukum Islam.
Kata
“dalil” itu berasal dari bahasa Arab
, yang seacara etimologis
berarti sesuatu yang dapat menjuluki. Kata “dalil” dan yang seakar dengannya,
disebut sebanyak 8 kali dalam Al-Qur’an dengan
arti tersebut. Umpamanya firman Allah Swt dalam surat al-Furqan (25): 45:
Kemudian kami jadikan matahari sebagai dalil ( petunjuk)
Dikalangan fuqaha, kata “dalil” itu diartikan
“ sesuatu yang padanya terdapat penunjukkan pengajaran, baik yang dapat
menyampaikan pengajaran, baik yang dapat menyampaikan kepada sesuatu yang
meyakinkan atau kepada dugaan kuat yang tidak meyakinkan”. Dikalangan ulama
ushul fiqh kata “dalil” diartikan “sesuatu yang menyampaikan kepada tuntutan
khabari dengan pemikiran yang shahih. Dari rumusan ta’rif ushul fiqh itu, maka
yang tidak menyampaikan kepada tuntutan atau menyampaikan kepadaa tuntutan yang
bukan khabari, atau yang menyampaikan dengan pemikiran yang salah, bukan
disebut “dalil” dalam artian ini.
Al Syatbihi mengemukakan prinsip atau dalil
syara’ sebagai berikut:
1. Dalil syara’ tidak bertentangan dengan tuntutan akal
2. Tujuan pembentukan dalil adalah menempatkan perbuatan manussia dalam
perhitungannya
3.
Setiap dalil bersifat kulli (global).
Seandainya ia bersifat juz i ( terinci) adalah tersebab oleh hal-hal yang daang
kemudian, dan tidak menurut asal penetapannya.
4. Dalil syara’ terbaagi kepada qath’i dan zhanni
5. Dalil syara’ terdiri dari dalil naqli dan dalil ‘aqli
Al- Amidi
membagi dalil kepada dua kelompok, yaitu:
Pertama,
dalil yang shahih menurut dirinya dan wajib diamalkan, terdiri dari:
1. Dalil yang disampaikan oleh Nabi dalam bentuk yang terbaca, yaitu
Al-Qur’an, [1]
2.
Dalil yang disampaikan Nabi dalam bentuk yang
tak terbaca yaitu Sunnah. Al-Qur’an dan Sunnah disebut dalil nash.
3. Dalil yang tidak disampaikan ileh Nabi atau bukan nash, bentuknya terdiri
dari:
a. Terpelihara dari kesalahan, yaitu ijma’
b. Tidak terpelihara dari kesalahan tetapi dapat dihubungkan kepada nassh,
yaitu qiyas.
c. Tidak terpelihara dari kesalahan dan tidak pula dihubungkan kepada nash,
yaitu isidlal
Nash dan Ijma’
adalah dalil pokok sedangkan qiyas dan istidlal adalah cabang yang mengikut
kepada nash dan ijma’.
Kedua, sesuatu yang diperkirakan dalil shahih,
sebenarnya bukan dalil, yaitu: syar’u man qablana, mazhab shahabi, istihsan
dan maslahah mursalah.
Dari uraian diatas, dalil syara’ dapat dikelompokkan pada
dua kelompok:
1.
Dalil-dalil syara’ yang disepakati yaitu
Qur’an, Sunnah, ijma dan qiyas.
2.
Dalil-dalil syara’ yang tidak disepakati yaitu
istihsan, maslahah mursalah, isrishab,’urf, syar’u man qablana dan mazhab shahabi.
Al-Qur’an, Sunnah, ijma’, dan qiyas disepakati
oleh Ahlussunnah sebagai dalil secara prinsip, walaupun berbeda dalam kadar
penggunaannya. Keempatnya mendapat landasan hukum yang kuat dalam Al-Qur’an dan
Sunnah, yaitu:
a.
Landasan dalam Al-Qur’an dalam surat al-Nisa’(4):
59:
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah
Rasul-(Nya), dan ulil amri diantara kamu, kemudian jika kamu berlainan pendapat
tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepaa Allah (Al-Qur’an) dan Rasul
(Sunah)
Perintah mentaati Allah berarti perintah menjalankan
hukum yang terdapat dalam Al-Qur’an. Perintah mentaati Rasul berarti perintah
mengamalkan apa yang disampaikan Rasul dalam Sunnahnya. Perintah mematuhi Ulil
Amri berarti perintah mengamalkan hukum yang ditemukan berdasarkan ijma’.
Perintah mengembalikan sesuatu yang dipersilahkan hukumnya kepada Allah dan
Rasul berarti perintah mengamalkan hukum yang ditemukan melalui qiyas.
b.
Landasan dalam Sunnah adalah kisah pembicaraan
Nabi dengan Muaz bin Jabal sewaktu ia diutus oleh Nabi untuk menjadi penguasa
di Yaman. Nabi berkata, “Bagaimana Anda memutuskan seandainya kepada anda
dihadapkan suatu perkara?” Saya memutuskan berdasarkan apa yang terhadap dalam
Al-Qur’an”.
B. AL-QUR’AN SEBAGAI SUMBER DAN DALIL
1. PENGERTIAN AL-QUR’AN
Secara etimologis al-Qur’an adalah bentuk mashdar dari
kata qa-ra-a ( ), sewazan
dengan kata fu’lan ( ),
artinya: bacaan; berbicara tentang apa tertulis padanya; atau melihat dan
menelaah. Dalam pengertian ini, kata berarti , yaitu isim maf’ul (objek)
dari . Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam
surat al-Qiyamah (75): 17-18:
Sesungguhnya atas tangguhan Kami-lah mengumpulkannya (di dadamu) dan
(membuatmu pandai) membacanya. Apabila kami telah selesai membacanya maka
ikutilah bacaannya itu.
Kata “Qur’an” digunakan dalam arti sebagai nama kitab
suci yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Bila dilafazkan dengan
mnggunakan alif;lam bererti untuk keseluruhan apa yang dimaksud dengan Qur’an,
sebagaimana firman Allah dalam surat al-Isra (17):19:
Sesungguhnya atas tangguhan Kami menyampaikannya dan membacanya apabila
Kami selesai membacanya maka ikutilan membacanya
Al-Qur’an disebut juga al-Kitab sebagaimana tersebut
dalam surat al-Baqarah (2): 2:
Kitab (al-Qur’an)itu tidak ada keraguan padanya; petunjuk
bagi mereka yang bertaqwa.
Arti al-qur’an secara terminologis ditemukan dalam
beberapa rumusan definisi sebagai berikut:
1. Menurut Syaltut, al-Qur’an adalah lafaz arabi yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad SAW, dinukilkan kepada kita secara mutawatir”.
2. Al- Syaukani mengartikan al-Qur’an dengan “Kalam Allah yang diturunkan
kepada Nabi Muhammad Saw, tertulis dalam mushhaf, dinukikan secara mutawatir.
3. Definisi al-Qur’an yang dikemukakan Abu Zahrah ialah: ”Kitab yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad”.
4. Menurut al-Syarkhisi, al-Qur’an adalah: “Kitab yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad SAW, ditulis dalam mushaf, diturunkan dengan huruf yang tujuh yang
masyhur dan dinukilkan secara mutawatir.
5. Al-Amidi memberikan ta’rif al-Qur’an: “Al-Kitab adalah al-Qur’an yang
diturunkan yang diturunkan”.
6. Ibn Subki mendefinisikan al-Qur’an: “lafaz yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad SAW, mengandung mu’jizat setiap suratnya, yang beribadah membacanya”.
Dengan membandingkan antara satu definisi dengan lainnya,
dapat ditarik suatu rumusan mengenai definisi al-Qur’an, yaitu: ”Lafaz
berbahasa Arab yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, yang dinukilkan secara
mutawatir.
Definisi ini menagandung beberapa unsur yang menjelaskan
hakikat al-Qur’an yaitu:
1. Al-Qur’an itu berbentuk lafaz. Ini mengandung arti bahwa apa yang
disampaikan Allah melalui Jibril kepada Nabi Muhammad SAW dalam bentuk makna
dan dilafazkan oleh Nabi denagn ibaratnya sendiri tidaklah disebut dengan
al-Qur’an. Umpamanya hadits qudsi atau hadits qauli lainnya.
Karenanya tidak ada ulama yang mengharuskan berwudhu jika hendak membacanya.
2. Al-Qur;an itu adalah berbahasa Arab. Bahwa al-Qur’an yang dialihbahasakan
kepada bahasa lain atau yang diibaratkan dengan bahasa lain bukanlah al-Qur’an.
Karena shalat yang menggunakan terjemahan al-Qur’an, tidak sah.
3. Al-Qur’an itu diturunkan kepaa Nabi Muhammad SAW, ini mengandung arti bahwa
wahyu Allah yang disampaikan kepada Nabi- Nabi terdahulu tidaklah diesebut
Al-Qur’an. Tetapi apa yang dihikayatkan dalam al-Qur’an tentang kehidupan dan
syari’at yang berlaku pada umat terdahulu adalah al-Qur’an.
4. Al-Qur’an itu dinukilkan secara mutawatir. Ini mengandung arti bahwa
ayat-ayat yang tidak dinukilkan dalam bentuk mutawatir bukanlah
al-Qur’an. Karenanya ayat-ayat syazzah atau yang tidak mutawatir penukilannya
tidak dapat dijadikan hujjah dalam istinbath hukum.
Disamping 4 unsur pokok tersebut, ada beberapa unsur
sebagai penjelasan tambahan yang ditemukan dalam sebagian dari beberapa
definisi al-Qur’an diatas yaitu:
a. Kata-kata “mengandung mu’jizat setiap suratnya “, memberi penjelasan bahwa
setiap ayat al-Qur’an mengandung daya mu’jizat. Oleh karena itu hadits qudsi
atau tafsira al-Qur’an dalam bahasa Arab, bukanlah al-Qur’an karena tidak
mengandung daya mu’jizat.
b. Kata-kata “beribadah membacanya”, memberi penjelasan bahwa dengan membaca
al-Qur’an berarti melakukan suatu perbuatan ibadah yang berhak mendapat pahala.
Karenanya membaca hadits qudsi yang tidak mengandung daya ibadah seperti
al-Qur’an, tidak dapat disebut al-Qur’an.
c. Kata-kata “tertulis dalam dalam mushaf” (dalam definisi Syaukani dan
Sarkhisi), mengandung arti bahwa apa-apa yang tidak tertulis dalam mushaf
walaupun wahyu itu diturunkan kepada Nabi, umpanya ayat-ayat yang telah
dinasakhkan, tidak lagi disebut al-Qur’an.
2.
OTENTISITAS AL-QUR’AN
Umat
islam sepakat bahwa kumpulan wahyu Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad
SAW. Yang disebut al-Qur’an dan yang termuat dalam mushaf, adalah otentik
(semuanya adalah betul-betul dari Allah SWT), dan semua wahyu yang diterima
Nabi Muhammad SAW dari Allah melalui malaikat Jibril telah termuat dalam
al-Qur’an. Keontentikan al-Qur’an ini dapat dibuktikan dari kehati-hatian para
sahabat Nabi memelihatranya sebelum ia dibukukan dan dikumpulkan. Begitu pula
kehati-hatian para sahabat dalam membukukan dan memelihara penggandaannya.
Sebelum dibukukan, ayat-ayat al-Qur’an berada
dalam rekaman teliti para sahabat, baik melalui hapalan yang kuat dan setia
atau melaui tulisan ditempat yang terpisah. Ia disampaikan dan disebarluaskan
secar periwayatan oleh orang banyak yang tidak mungkin bersekongkol untuk
berdusta. Bentuk periwayatan seperti itu dinamai periwayatan secara mutawatir
yang menghasilkan sesuatu kebenaran yang tidak meragukan. Oleh karena itu
al-Qur’an itu bersifat otentik. Begitu pula pada waktu pembukuan al-Qur’an di
masa Abu Bakar. Pembukuannnya dilakukan secara teliti dengan mencocokkkan
tulisan yang ada dengan hapalan para penghapal, sehingga kuat dugaan bahwa
semua wahyu telah direkan dalam mushaf. Mushaf Imam yang dijadikan standar itu
dijadikan rujukan bagi perbanyakan dan pentashihan berikutnya, sehingga
berkembang dalam bentuk aslinya sampai waktu ini. Inilah yang dimaksud Allah
SWT dan firmannya pada surat al-Hijr (15): 9:
Sesungguhnya kamilah yang menurunkan al-Qur’an dan
sesungguhnya kami benar-benar memliharanya.
Dengan demikian dapat dipastikan bahwa seluruh
ayat al-Qur’an dari segi lafaz dan wurudnya adalah qathi (meyakinkan) serta
tidak ada keraguan didalamnya.
a.
Bacaan (Qira’at) al-Qur’an
Dari segi pembacaan (qira’at), al-Qur’an
terdapat perbedaan. Dari hasil penelitian para ahli, tujuh diantara qira’at
yang berkembang itu disepakati kemutawatir-annya. Itulah yang disebut
“qira’at yang tujuh “ atau qira’at sab’ah yaitu;
1.
Qira’at Ibnu Katsir, qari Mekkah
2.
Qira’at Ibnu ‘Amir, qari-syam
3.
Qira’at Nafi’, qari Madinah
4.
Qira’at Abu ‘Amru, qari Bashrah
5.
Qira’at Ashim, qari Kufah
6.
Qira’at Hamzah, qari Kufah
7.
Qira’at Al-Kisai, qari kufah
Selain itu, ada 3 qira’at lagi, yaitu: qira’at
Ibn Ja’Far, Ya’kub dan Khalafah, tetapi tidak disepakati tentang ke-mutawatirannya.
Adapun qira’at yang selain yang sepuluh itu disepajati oleh ulama tentang
ketidak-Mutawatirannya. Qira’aat yang tidak mutawatir ini disebut qira’at
Syadzdzah ( ),
atau ganjil, lain yang umum berlaku. Keganjilan qira’at Syadzdzah diantaranya
disebabkan adanya tambahan kata sebagai penjelasan terhadap kata yang terletak
disampingnya. Umpanya dalam qira’at yang berlaku secara umum, al-Maidah (5):89
berbunyi:
Barangsiapa tidak sanggup melakukan yang demikian, maka
kaffaratnya puasa selama tiga hari
Sedangkan dalam qira’at syadzdzah yang berasal dari Ibn
Mas’ud ayat itu berbunyi:
Barangsiapa tidak sanggup melakukan yang demmikian, maka
kaffaratnya puasa tiga hari berturut-turut
Dalam qira’at Ibn Mas’ud ayat itu berbunyi:
Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri
potonglah tangan kanannya.
b.
Kedudukan qira’at Syadzdzah
Dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat
dikalangan ulama.
a.
Imam Al-Syafi’i berpendapat tidak boleh
berdalil dengan qira’at syadzdzah. Karena itu menurut kelompok ini
kewajiban puasa untuk khaffarah sumpah yang tiga hari itu tidak mesti
berturut-turut dan boleh saja harinya berpisah.
b.
Imam Abu Hanifah menerima qira’at syadzdzah
(yang tidak mutawatir) sebagai sumber dalam penetapan hukum. Perbedaan
pendapat ulama tentang qira’at syadzdzah itu juga terjadi dalam hal
boleh atau tidaknya dibaca alam waktu shalat. Perbedaan ini muncul karena yang
disuruh dibaca dalam shalat adalah ayat al-Qur’an sesuai dengan Allah dalam
surat al- Muazammil (73):20:
...Maka bacalah apa yang mudah (bagimu) dari
al-Qur’an
c. Basmalah dalam Al-Qur’an
Suatu hal yang pasti, basmalah adalah bagian
dari al-Qur’an karena terdapat dalam surat al-Naml. Dalam hal ini, sumber
khabarnya bersifat mutawatir dan tidak terdapat perbedaan pendapat.
Namun para ulama berbeda pendapat mengenai “ basmalah “ yang terdapat diluar
surat al –Naml, yaitu pada tiap pembukaan surat dalam al-Qur’an, selain surat Al-Taubah.
1.
Imam Syafi’i berpendapat bahwa basmalah itu
merupakan suatu ayat dari surat al-Qur’an yang diawali dengan basmalah
2.
Imam Malik berpendapat bahwa basmalah diawal
setiap surat buakan merupakan ayat dalam surat al-Qur’an. Juga bukan salah satu
ayat dalam surat al-Fatihah atau surat lainnya. Alasannya bahwa umat Islam di
Madinah tidak membaca basmalah pada awal setiap surat dalam shalat yang mereka
lakukan.
3.
Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa tertulisnya
basmalah dalam alQur’an menunjukkan bahwa ia bagian dari al-Qur’an tetapi tidak
menunjukkan bahwa ia bagian dari surat al-Qur’an yang didahului oleh basmalah
itu. Disebutkannya basmalah dalam al-Qur’an adalah untuk pemisah antara satu
surat dengan surat lainnya. Sebuah hadis Nabi dari Ibnu Abbas yang dikeluarkan
oleh Abu Daud dengan sanad yang shahih mengisyaratkan bahwa Nabi tidak
mengetahui tanda pemisah antara satu surat dengan surat lain sampai turunnya
basmalah.
Oleh karena yang disuruh dibaca dalam shalat
adalah al-Qur’an seperti tersebut dalam ayat diatas, sedangkan kedudukan
basmalah sebagai bagian dari al-Qur’an diperselisihkan, maka terdapat pula
perbedaan dalam hal membacanya dalam shalat.
a.
Ulama yang menyatakan bahwa basmalah merupakan
bagian dari surat al-Qur’an membolehkan menbaca basmalah dalam shalat
b.
Ulama yang mengatakan bahwa basmalah bukan
bagian dari al-Qur’an tidak membolehkan membacanya dalam shalat, baik secara jahar
(keras) maupun secara sir (perlahan)
c.
Ulama yang mengatakan bahwa basmalah adalah
al-Qur’an tetapi tidak termasuk bagian dari surat membolehkan membaca basmalah
dalam shalat tetapi hanya dengan sir, tidak boleh di-jahar-kan.
C. FUNGSI DAN TUJUAN TURUNNYA AL-QUR’AN
Al-
Qur’an diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad untuk disampaikan kepada umat
manusia bagi kemaslahatan dan kepentingan mereka, khususnya umat Mukminin yang
percaya akan kebenarannya. Kemaslahatan dapat berbentuk mendatangkan manfaat atau
keberuntungan, maupun dalam bentuk melepaskan manusia dari kemadaratan atau
kecelakaan yang akan menimpanya.
Bila ditelusuri ayat-ayat yang menjelakan fungsi turunnya al-Qur’an
kepada umat manusia, terlihat dalam beberapa bentuk ungkapan yang diantaranya
adalah:
1.
Sebagai hudan ( ) atau petunjuk bagi kehidupan umat.
Fungsi hudan ini banyak sekali terdapat dalam al-Qur’an, lebih dari 79
ayat, umpamanya pada surat al-Baqarah (2):2:
kitab (al-Qur’an) ini tidak ada keraguan
padanya; petunjuk bagi metreka yang bertaqwa
2.
Sebagai raahmat ( ) atau keberuntungan yang diberikan
Allah dalam enuk kasih sayangnya. Al-Qur’a sebagai rahmat untuk umat ini, tidak
kurang dari 15 kali disebutkan dalam al-Qur’an, umpamanya pada surat luqman (31):2-3:
Inilah ayat-ayat al-Qur’an yang mengandung rahmat bagi
orang-orang yang berbuat kebaikan.
3.
Sebagai furqan ( ) yaitu pembeda antara yang baik
dengan yang buruk, yang halal dengan yang haram, yang salah dengan yang benar,
yang indah dan yang jelek, yang dapat dilakukan dan yang terlarang untuk
dilakukan. Fungsi al-Qur’an sebagai alat pemmisah ini terdapat dalam 7 ayat
al-Qur’an. Umpamanya pada surat al-Baqarah (2) : 185:
Bulan Ramadhan, bulan yang didalamnya diturunkan
(permulaan) al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan mengenai
petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil)
4.
Sebagai mau’izhah ( ) atau pengajaran yang akan mengajar
dan membimbing umat dalam kehidupannya untuk mendapatkan kebahagiaan dunia dan
akhirat. Fungsi mau’izah ini terdapat setidaknya dalam 5 ayat al-Qur’an.
Umpamanya pada surat al-A’raf (7):145:
Dan telah kami tuliskan untuk Masa luh-luh (Taurat)
segala sesuatu sebagai pelajaran dan penjelasan bagi segal sesuatu.
5.
Sebagai busyra ( ) yaitu berita gembira bagi orang yang
telah berbuat baik kepada Allah dan sesama manusia. Fungsi busyra itu terdapat
dalam sekitar 8 ayat al-Qur’an, seperti pada surat al-Naml (27):1-2:
Tha-Syin. (Surat) ini adalah ayat-ayat al-Qur’an, dan
ayat-ayat Kitab yang menjelaskan, untuk menjadi petunjuk dan berita gembira
untuk orang-orang yang beriman.
6.
Sebagai “tibyan”( ) yang berarti penjelasan atau yang
menjelaskan terhadap segala sesutu yang disampaikan Allah. Contoh fungsinya
sebagai tibyan adalah dalam surat al-Nahl (16):89:
Dan kami turunkan kepadamu al-Kitab (al-Qur’an)untuk
menjelaskan segala sesuatu.
7.
Sebagai mushaddiq ( ) atau pembenar terhadap kitab yang
datang sebelumnya, daalam hal ini adalah: Taurat, Zabur dan Injil. Ini berarti
bahwa al-Qur’an memberikan pengakuan terhadap kebenaran Taurat, Zabur, dan
Injil sebagai berasal dari Allah (sebelum adanya perubahan terhadap isi kitab suci itu). Al-Qur’an
sebagai mushaddiq terdapat disekitar 10 ayat, umpamanya pada surat
ALI-Imran (3):3:
Dia menurunkan al-Kitab (al-Qur’an) kepadamu dengan
sebenarnya; membenarkan kitab yang diturunkan sebelumnya...
8.
Sebagai Nur ( ) atau cahaya yang akan menerangi
kehidupan manusia dalam menempuh jalan menuju keselamatan. Umpamanya pada surat
al-Maidah (5):46:
Di dalamnya (ada) petunjuk dan cahaya (yang menerangi),
dan memebenarkan kitab yang sebelumnya.
9.
Sebagai tafsil ( ) yaitu memberikan penjelasan secara
rinci sehingga dapat dialksanakan sesuai dengan yang dikendaki Allah. Umpamanya
dalam surat Yusuf (12 ):111:
Al-Qur’an itu bukan cerita yang dibuat-buat, akan tetapi
membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu
10.
Sebagai Syifaaau al-shudur ( ) atau obat bagi rohani yang sakit. Al-Qur’an
untuk pengobat rohani yang sakit ini adalah dengan peunjuk yang terdapat
didalamnya; terdapat dalam 3 ayat al-Qur’an umpamanya dalam surat al-Isra (17)
: 82:
Dan kami turunkan dari AL-Qur’’an suatu yang menjadi penawar dan rahmat
bagi orang-orang yang beriman.
11.
Sebagai hakim yaiut sumber
kebijaksanaan sebagimana tersebut dalam surat luqman (31):2:
Inilah ayat-ayat al-Qur’an yang mengandung hikmah
Dengan menganalisa semua fungsi al-Qur’an yang
secara harfiah terdapat dalam al-Qur’an jelaslah bahwa al-Qur’an itu diturunkan
Allah dalam bentuk multi fungsi. Memang terdapat pula dalam ayat-ayat lain yang
mengisyaratkan fungsi dari al-Qur’an selain yang disebutkan di atas. Kesemuanya
dapat dirangkum dalam dua hal pokok, yaitu:
Pertama, sebagai “rahmat” yang
dikaruniakan Allah kepada umat manusia. Bila mereka menerima dan mengamalkan
keseluruhan isi al-Qur’an, maka akan mendapatkan kehidupan yang bahagia dan
kesenangan hidup diakhirat.
Kedua, sebagai “hudan” atau petunjuk.
Kata petunjuk ini mengandung arti luas. Ia dapat berarti petunjuk bagi manusia
untuk mengenal Rasul dan membuktikan kebenaran serta sekaligus menjadi tanda
atau identitas kerasulanan. Juga menjadi petunjuk akan kebenaran Rasul, karena dalam
al-Qur’an terdapat daya mu’jizat yang menunjukkan bahwa pembawa al-Qur’an itu
adalah betul-betul seorang Rasul.
Al-Qur’an merupakan sumber petunjuk bagi
kehidupan manusia. Petunjuk al-Qur’an itu dapat di klasifikasikan ke dalam dua
bentuk.
Pertama, petunjuk langsung. Maksudnya dalam al-Qur’an
terdapat aturan, ketentuan, dan petunjuk dalam bentuk tuntutan, larangan atau
membiarkan. Al-Qur’an menjelaskan bahwa bila manusia mengikuti petunjuk dan
batas-batas yang telah ditentukan Allah, maka selamatlah kehidupannya di dunia
maupun dia akhirat.
Kedua, petunjuk yang tidak langsung. Maksudnya,
dalam al-Qur’an terdapat pokok-pokok dasar ilmu pengetahuan yang melingkupi
segenap bidang. Pokok dasar ilmu pengetahuan dalam al-Qur’an itu memerlukan
pengembangan melalui nalar manusia sehingga menjadi satu ilmu yang sistematis.
Penjelasan al-Qur’an tentang ilmu pengetahuan ada yang berbentuk keterangan
tentang hakikat kejadian alam dan sekitarnya. Umpamanya firman Allah dalam
surat Ali Imran (3): 190:
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih
bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal.
Al-Qur’an diturunkan Allah secara
berangsur-angsur dalam waktu yang cukup panjang, hampir sama dengan masa
Risalah Nabi Muhammad, yaitu selama 22ntahun 2 BULAN, dan 22 hari. Maksud
diturunkannya al-Qur’an secara berangsur-angsur, diantaranya adalah sebagai
jawabaan terhadap sangkaan orang musyrik, sebagaimana disebutkan dalam surat
al-Furqan (25): 32:
Berkatalah orang-orang yang kafiir “mengapa al-Qur’an itu
tidak diturunkan kepadanya sekali turun saja.?”Demikianlah, supaya Kami perkuat
hatimu denagnnya dan kami membacakannya kelompok demi kelompok.
Ada dua
maksud turunnya al-Qur’an secara berangsur, yaitu:
1.
Untuk tatsbit
al-fu’ad, atau kemantapan hati, yaitu ketenangan dan kepuasan rohani dalam menerima dan menjalankan al-Qur’an, baik
bagi Nabi pribadi maupun bagi umatnya.
Adapun kemantapan
hati bagi Nabi ialah bahwa turunnya al-Qur’an itu merupakan
Hubungan langsung antar para Nabi dengan Tuhan. Selama
peristiwa turunnya al-Qur’an itu berlangsung komunikasi langsung. Hal ini
berati bahwa sampai akhir hayatnya Nabi selalu dalam komunikasi dengan Tuhan
sehingga hatinya menjadi mantap.
Contoh dalam hal ini adalah penetapan hukum
haramnya meminum khamar. Mula-mula turun ayat yang isinya baru sekedar
menyatakan bahwa meminum khamar itu berdosa. Ini disebutkan dalam surat
al-Baqarah (2): 219:
Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi.
Katakanlah,”pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfa’at bagi
manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya.”
Dengan turunnya ayat itu, kebiasaan meminum khamar mulai ditinggalkan
sebagian umat, tetapi belum sempurna dan tidak menyeluruh. Bahkan ada juga yang
meminumnya di saat mendekati waktu shalat, sehingga ia melaksanakan shalat
dalam keadaan mabuk. Sesudah itu turun ayat yang melarang seseorang shalat
sesudah minum khamr dan masih mabuk. Ketentuan itu tertera dalam surat al-Nisa
(4): 43:
Janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk,
sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan.
2.
Alasan pentahapan turunnya al-Qur’an itu
adalah dengan tujuan untuk adanya tartil. Secara harfiah, tartil berarti
“ membaca dengan baik dan mudah”. Prinsip tartil adalah bahwa al-Qur’an itu
turun kepada suatu kaum yang pada umumnya adalah ummi atau tidak mampu
membaca dan menulis. Allah menghendaki ayat-ayat al-Qur’an dapat dihapal oleh umat
dengan baik secara menyeluruh sehingga otentisitas al-Qur’an dapat terjamin.
Untuk memudahkan umat dalam menghapal al-Qur’an, Allah menurunkan al-Qur’an
sedikit demi sedikit, secara bertahap. Setiap kali ayat al-Qur’an turun dalam
jumlah tertentu, maka umat mudah untuk menhapal dan membacanya.
Tahap turunnya al-Qur’an itu dibagi ke dalam dua tahap
atau periode , yaitu:
a. Periode sebelum Nabi hijrah ke Madinah. Ayat-ayat yang turun dalam tahap
ini disebut Makiyah.
b. Periode sesudah Nabi hijrah ke Madinah. Ayat- ayat yang diturunkan dalam
periode ini disebut Madaniyah.
Ayat al-Qur’an yng diturunkan dalam tahap ini lebih
diarahkan pada pembentukkan masyarajkat Islam, disamping pemantapan ‘aqidah.
Pada periode ini lebih banyak turun ayat-ayat hukum, terutama yang menyangkut muamalah
dalam arti luas.
D.
PENJELASAN AL-QUR’AN TERHADAP HUKUM
Ayat-ayat al- Qur’an dari segi kejelasan
artinya ada dua macam. Keduanya dijelaskan Allah dalam surat al-Qur’an surat
Ali Imran (3): 7, yaitu: secara muhkam dan mutasyabih.
Dia-lah yang menurunkan Al-Kitab (al-Qur’an) kepada kamu.
Diantaranya (isi)nya dan ayat-ayat yang muhkamat, itulah pokok-pokok isi
al-Qur’an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyabihat.
1.
Ayat muhkam adalah ayat yang jelas
maknanya, tersingkap secara terang, sehingga menghindarkan keraguan dalam
mengartikannya dan menghilangkan adanya beberapa kemungkinan pemahaman.
2.
Ayat mutasyabih adalah kebalikan dari
yang muhkam, yaitu ayat yang tidak pasti arti dan maknanya, sehingga dapat
dipahami dengan beberapa kemungkinan. Adanya pemahaman itu dapat disebabkan
oleh dua hal:
a.
Lafaz itu dapat digunakan untuk dua maksud
dengan pemahaman yang sama. Umpamanya kata quru dalam firman Allah pada
surat al-Baqarah (2): 228 yang berarti suci atau haid.
b.
Lafaz yang menggunakan nama atau kiasan yang
menurut lahirnya mendatangkan keraguan. Keraguan ini disebabkan penggunaaan
sifat yang ada pada manusia untuk Allah SWT, padahal Allah SWT tidak sam
adengan makhluk-Nya. Umpamanya penggunaan kata “wajah” atau “muka” untuk Allah
(al-Rahman [55]: 27)
Dari segi penjelasannya terhadap hukum, ada
beberapa cara yang digunakan al-Qur’an, yaitu:
1.
Secara Juz’i (terperinci). Maksudnya,
al-Qur’an menjelaskan secara terperinci. Allah dalam al-Qur’an memberikan
penjelaan secara lengkap, sehingga dapat dilaksanakan menurut apa adanya,
meskipun tidak dijelaskan Nabi dengan Sunnahnya. Umpamanya ayat-ayat tentang
kewarisan yang terdapat dalam surat al-Nisa (4): 11 dan 12. Tentang sanksi
terhadap kejahatan zina dalam surat al-Nur (24):4.
2.
Secara Kulli (global). Maksudnya,
penjelasan al-Qur’an terhadap hukum berlaku secara garis besar, sehingga masih
memerlukan penjelasan dalam pelaksanaannya. Yang paling berwenang memberikan
penjelasan terhadap maksud ayat yang berbentuk garis besar itu adalah Nabi
Muhammasd dengan sunnahnya. Penjelasan dari Nabi sendiri diantaranya ada yang
berbentuk pasti sehingga tidak memberikan kemungkinan adanya pemahaman lain.
3.
Secara Isyarah. Al-Qur’an memberikan
penjelasan terhadap apa yang secara lahir disebutkan di dalamnya dalam bentuk
penjelasan secara isyarat. Disamping itu, juga memberikan pengertian secara isyarat
kepada maksud lain. Dengan demikian satu ayat al-Qur’an dapat memberikan
beberapa maksud. Umpamanya firman Allah dalam surat al-Baqarah (2): 233:
Dan kewajiban ayat memberi makan dan pakaian kepada para
ibu dengan cara yang ma’ruf.
Ayat tersebut, mengandung arti adanya
kewajiban suami untuk memberi belanja dan pakaian bagi isterinya. Tetapi di
balaik pengertian itu, mujtahid menaangkap isyarat adanya kemungkinan maksud
lain yang terkandung dalam ayat tersebut, yaitu bahwa “nasab seorang anak
dihubungkan kepada ayahnya”.
Ayat al-Qur’an dalam bentuk yang muhkam dengan
penjelasan yang lengkap, penunjukkannya terhadap hukum adalah pasti (qath’i
dilalah). Hukum yang ditunjuk secara pasti ini berlaku secar universal dan
tidak akan mengalami perubahan walaupun waktu dan tempatnya sudah berubah.
Ayat al-Qur’an yang disampaikan secara mutasyabih,
dalam bentuk penjelasan yang bersifat garis besar dan ayat-ayat yang mengandung
isyarat, penunjukkannya terhadap hukum besifat zhanni (tidak
meyakinkan); karenanya dapat dipahami dengan beberapa kemungkinan pemahaman.
Ayat al-Qur’an yang penjelasan yang bersifat zhanni ini umumnya berlaku dalam
bidang mu’amalah dalam arti luas yang mengatur hubungan manusia dengan
sesamanya dalam kehidupan masyarakat. Karena kehidupan masyarakat itu
senantiasa berkembang, maka penerapan hukumnay pun akan mengalami perubahan.
Dalam bidang inilah berlaku ungkapan “perubahan hukum itu berdasarkan perubahan
itu berdasarkan perubahan waktu dan tempat.”
E.
AL-QUR’AN SEBAGAI SUMBER HUKUM
Atas dasar bahwa hukum syara’ itu adalah
kehendak Allah tentang tingkah laku manusia mukallaf, maka dapat dikatakan
bahwa pembuat hukum( law giver) adalah Allah SWT. Ketentuan-Nya itu terdapat
dalam kumpulan wahyu-Nya yang disebut al-Qur’an. Dengan demikian ditetapkan
bahwa al-Qur’an itu sumber utama bagi hukum Islam, sekaligus juga sebagai dalil
utama fiqh. Al-Qur’an itu membimbing dan memberikan petunjuk untuk menemukan
hukum-hukum yang terkandung dalam sebagian ayat-ayatnya.
Karena kedudukan al-Qur’an itu sebagai sumber
utama dan pertama bagi penetapan hukum, maka apabila seseorang ingin menemukan
hukum untuk suatu kejadian, tindakan pertama yang harus ia lakukan adalah
mencari jawab penyelesaiannya dari al-Qur’an. Selain itu, sesuai dengan
kedudukan alQur’an sebagai sumber atau pokok hukum Islam, bearti al-Qur’an itu
menjadi sumberdari segala sumber hukum. Kaerena itu, jika akan menggunakan
sumber hukum alin di luar al-Qur’an, maka harus sesuai dengan petunjuk
al-Qur’an dan tidak boleh melakukan sesuatu yang bertentangan dengan al-Qur’an.
Hal ini berarti bahwa sumber-sumber hukum selain al-Qur’an tidak boleh
menyalahiapa-apa yang telah ditetapkan Al-Qur’an.
Kekuatan hujjah al-Qur’an sebagai sumber dan
dalil hukum fiqh terkandung dalam ayat al-Qur’an yang menyuruh umat manusia
mematuhi Allah. Hal ini disebutkan lebih dari 30 kali dalam al-Qur’an. Perintah
mematuhi Allah itu berarti perintah mengikuti apa-apa yang difirmankan-Nya
dalam al-Qur’an.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
AL-Qur’an mempunyai pengertian sebagai lafaz
berbahasa Arab yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, yang dinukilkan secara
mutawatir. Al-Qur’an berfungsi sebagai petunjuk bagi manusia untuk mengenal
Rasul dan membuktikan kebenaran serta sekaligus menjadi tanda atau identitas
kerasulan. Karena dalam al-Qur’an terdapat daya mu’jizat yang menunjukkan bahwa
pembawa al-Qur’an benar-benar seorang Rasul.
Kedudukan al-Qur’an sebagai sumber utama atau
pokok hukum Islam, karena al-Qur’an itu menjadi sumber dari segala sumber
hukum. Hal ini berarti bahwa sumber-sumber hukum Islam selain al-Qur’an tidak
boleh menyalahi apa-apa yang telah ditetapkan dalam al-Qur’an
B. SARAN
Kami sadar dalam penyusunan makalah ini banyak terdapat kekurangan baik
dalam hal penulisan maupun dalam hal penyusunan. Untuk itu kami terima saran
dan kritik yang membangun demi perbaikan penyusunan makalah ini. Demikian
makalah ini kami susun
semoga bermanfaat bagi kami khususnya dan bagi pembaca pada umumnya.
No comments:
Post a Comment