MAKALAH QAWA’ID FIQHIYYAH (Kehujjahan Qawa’id Fiqhiyyah)
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Dalam Islam, jika Al-Qur’an, Hadits dan ijma’ tidak juga ditemukan dasar hukum dalam islam,
maka para ulama mengembalikannya kepada sumber-sumber hukum yang lain seperti
Qiyas, Istihsan, Istishab, Maslahah Mursalah dan Syar’u man Qablana. Untuk menetapkan sumber-sumber hukum Islam ini, selain para ulama
berbeda pendapat, mereka (para ulama) juga berbeda pendapat dalam menetapkan
Qawaid-Qawaidnya. Perbedaan dalam qawa’id-qawa’id ini juga menimbulkan
mazhab-mazhab sesuai dengan keyakinan dan pendapat masing-masing para ulama,
khususnya ulama pelopornya.
Sebagaimana diketahui bahwa ulama pelopor dari mazhab-mazhab tersebut
adalah Imam Malik, Imam Hanafi, Imam Syafi’i, Imam Hambali dan imam-imam
lainnya yang cukup banyak, hanya saja mazhab-mazhabnya tidak berkembang lagi
pada masa sekarang ini. Para imam-imam ini mempunyai qawa’id-qawa’id tersendiri
di dalam menetapkan ataupun mengistinbathkan hukum atas suatu persoalan yang
timbul. Dalam makalah ini, penulis akan mencoba membahas dan menguraikan
tentang sumber-sumber qawa’id fiqhiyah dari berbagai mazhab yang dinukil dari
kitab-kitab yang ditulis oleh para tokoh-tokohnya yang cukup terkenal di
lingkungan mazhab tersebut.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana
kehujjahan qawa’id fiqhiyyah menurut empat mazhab?
C.
Tujuan
Penulisan
1.
Untuk
mengetahui kaidah-kaidah yang terdapat dalam kehujjahan qawa’id fiqhiyyah
menurut empat mazhab.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Defenisi Qawaid Fiqhiyyah
Dalam pengertian ini ada dua kata yang
perlu kami jelaskan terlebih dahulu, yaitu qawaid dan fiqhiyah. Kata qawaid
merupakan bentuk jama' dari kata qaidah, dalam istilah bahasa Indonesia dikenal
dengan kata 'kaidah' yang berarti aturan atau patokan, dalam tinjauan
terminologi kaidah mempuyai beberapa arti. Dr. Ahmad asy-Syafi'I dalam bukunya
ushul fiqih islami menyatakan bahwa kaidah adalah:
القضايا الكلية التى
يندرج تحت كل واحدة منها حكم جزئيات كثيرة
"Hukum yang bersifat universal (kulli) yang diikuti oleh
satuan-satuan hukum juz'I yang banyak" [1]
Sedangkan secara terminologi fiqh berarti :
1. Menurut al-Jurjani al-Hanafi:
العلم بالاحكام الشريعة العملية من ادلتها التفصلية وهو علم مستنبط بالرأي
والاجتهاد ويحتاج فيه الى النظر والتأمل
"ilmu
yang menerangkan hukum hukum syara yang amaliyah ang diambil dari
dalil-dalilnya yang tafsily dan diistinbatkan melalui ijtihad yang memerlukan
analisa dan perenungan".
2. Menurut ibnu khaldun dalam
muqaddimah al-mubtada wal khabar:
الفقه معرفة احكام الله تعالى فى افعال المكلفين بالوجوب والحظر والندب
والكراهة والاباحة وهي متلقاة من الكتاب والسنة وما نصبه الشارع لمعرفتهامن الأدلة
فإذااستخرجت الأحكام قيل لها فقه.
"Ilmu
yang dengannya diketahui segala hukum Allah yang berhubungan dengan segala
perbuatan Mukallaf, (diistinbathkan) dari al-Qur'an dan as-Sunnah dan dari
dalil-dalil yang ditegaskan berdasarkan syara', bila dikeluarkan hukum-hukum
dengan jalan ijtihad dari dalil-dalil maka terjadilah apa yang dinamakan
fiqh".[2]
B. Perkembangan Qawaid Fiqhiyyah
Masa pertumbuhan dan pembentukan
berlangsung selama beberapa abad lebih dimulai dari zaman kerasulan abad ketiga
hijrah. Periode ini dari segi fase sejarah hukum Islam, dapat dibagi menjadi
tiga dekade: zaman Nabi Muhammad saw, yang berlangsung selama 22 tahun lebih,
dan zaman tabi’in serta tabi’ al-tabi’in yang berlangsung selama 250 tahun.
Masa kerasulan dan masa tasyri’ (pembentukan hukum Islam) merupakan embrio
kelahiran qawa’id fiqhiyyah. Nabi Muhammad saw menyampaikan hadis-hadis yang
jawami’ ‘ammah (singkat dan padat). Hadis-hadis tersebut dapat menampung masalah-masalah
fikih yang sangat banyak jumlahnya.
Berdasarkan hal itu, maka hadis
Nabi Muhammad saw disamping sebagai sumber hukum, juga sebagai qawa’id
fiqhiyyah. Demikian juga ucapan-ucapan sahabat (atsar) juga dikategorikan
sebagai jawami’ al-kalim dan qawa’id
fiqhiyyah oleh banyak ulama.
Fuqaha
Hanafiah menjadi orang pertama yang mengkaji qawa’id fiqhiyyah dalam
sejarah. Hal ini karena luasnya furu’ yang mereka kembangkan. Di samping itu,
dalam membentuk ushul mazhab, fuqaha Hanafiah mendasarkan pemikirannya kepada
hukum furu’ para imam mazhabnya. Contohnya adalah Muhammad bin al-Hasan
al-Syaibani (w. 189 H) dalam kitabnya al-Ushul menyebutkan satu permasalahan,
lalu darinya ia membuat banyak hukum furu’ yang sulit dihapal dan
diidentifikasi. Kondisi seperti inilah yang mendorong fuqaha Hanafiah untuk
membuat kaidah dan dhabit.
Dari kalangan madzhab Maliki Muhammad bin
Abdullah bi Rasyid al-bakri al-Qafshi (685 H) menulis “al-Mudzhb fi Qawaid
al-Madzhab” dan masih banyak lagi. Karya-karya ini menunjukan bahwa qawaid
fiqhiyah mengalami perkembangan yang pesat pada abad ke-7 H. Qawaid fiqhiyah
pada abad ini nampak tertutup namun sedikit demi sedikit mulai meluas.
Pada abad VIII H, ilmu qawa’id fiqhiyyah
berada pada puncak keemasan yang ditandai dengan banyak bermunculannya
kitab-kitab qawa’id fiqhiyyah. Dalam hal ini, ulama Syafi’iyyah termasuk yang
paling kreatif. Di antara karya-karya besar yang muncul dalam abad ini adalah:
a. al-Asybah wa al-Nazhair karya Ibnu Wakil al-Syafi’i (w. 716 H).
b. Kitab al-Qawa’id karya al-Maqqari al-Maliki (w. 758 H).
c. Kitab al-Majmu’ al-Muzhab fi Dhabt Qawa’id al-Mazhab karya al-‘Alai
al-Syafi’i (w. 761 H).
d. Kitab al-Asybah wa al-Nazhair
karya al-Subki al-Syafi’i (w. 711 H).
e. Kitab al-Asybah wa al-Nazhair karya al-Isnawi (w. 772 H).
f. Kitab al-Mantsur fi al-Qawa’id karya al-Zarkasi al-Syafi’i (w. 794 H).
g. Kitab Qawa’id fi al-Fiqh karya Ibnu Rajab al-Hambali (w. 795 H) dan
h. Kitab al-Qawa’id fi al-Furu’ karya al-Ghazzi (w. 799 H).
C. Kaidah Fiqih dalam Empat Mazhab
Para fuqaha empat madzhab (Hanafi, Maliki,
Syafii, Hambali) sepakat bahwa kaidah fiqih dapat dijadikan sebagai hujjah (dalil)
sumber hukum Islam dan dapat diaplikasikan terhasap masalah-masalah
kontemporer. Husin Al-Munawar MA mengatakan di Jakarta beberapa waktu lalu.
Permasalahan yang muncul di antara empat
madzhab, kata Said Agil, adalah menjadikan al-qawaid al-fiqhiyyah sebagai dalil
atau sumber hukum Islam yang mandiri tanpa didukung oleh ayat-ayat al-Qur'an
dan sunnah. Namun ketika al-qawaaid al-fiqhiyyah tanpa didukung dengan kedua
sumber utama tersebut, maka para ulama tidak sepakat menjadikannya sebagai
sumber hukum Islam. Dalam konteks pertama, maka sejarah mana peranannya dalam
fatwa dan penetapan hukum dalam peradilan (qadha).
1. Mazhab Hanafi
Dalam madzhab Hanafi tidak terdapat konsensus di antara mereka mengenai
kebolehannya berfatwa atau berhujjah dengan menggunakan qaidah aghlabiyyah
(universal). Ibn Nuj'aim al-Hanafi sebagaimana dikutip al-Hamawi al-Hanafi
mengatakan: "Tidak boleh berfatwa dengan mengunakan kaidah fiqh dan
dawabit karena sifatnya aghlabiyah (universal)."
Tetapi bila diperhatikan, ternyata tidak semua qaidah itu aghlabiyyah,
ada kaidah yang sifatnya kulliyyah sebagaimana diindikasikan oleh Muhazzib
al-Furuq al-Qarafi menukil dari Al-Amin. Oleh karena itu, Ibnu Nuj'aim secara
implisit menyatakan bahwa kaidah yang fiatnya kulliyyah boleh dijadikan hujjah
(sumber) hukum Islam. Begitu pula penyusun kitab Majalah al-Ahkam al-'adliyyah
yang mayoritas bermazhab Hanafi sependapat dengan Ibn Nuj'aim tersebut berkata:
"Para yuris muslim sebagai menemukan dalil yang kongkret tidak boleh
menetapkan hukum dengan hnaya berpegang kepada salah satu kondisi kaidah
itu."
2. Mazhab Maliki
Mazhab Maliki menempatkan kadiah-kaidah fiqh sejajar dengan Ushul Fiqh,
kaidah itu termasuk bagaimana Syari'at yang dapat memperjelas metodologi
berfatwa. Dengan demikian kaidah fiqh dapat dijadikan sebagai sumber hukum
Islam. Setiap putusan hukum yang bertentangan dengan dalil serta kaidah yang disepakati
oleh para ulama, maka putusannya batal. "Contohnya kasus Suraijiyyah yang
bertentangan dengan kaidah yang disepakati".
3. Mazhab Syafi’i
Menurut Madzhab Syafi'i, qaidah fiqhiyyah dapat dijadikan hujjah dan
sangat sifnifikan eksistensinya dalam fiqh. Imam Al-Suyuti Al-Syafii
menjelaskan bahwa ilmu al-Ashbah wa al Nadzair adalah ilmu yang agung dapat
menyingkap hakikat, dasar-dasar dan rahasia fiqh, dapat mempertajam analisis
fiqh serta memberikan kemampuan untuk mengindentifikasi berbagai persoalan yang
tak terhingga banyaknya sepanjang masa depan cara al-ilhaq dan al-takhrij.
Dengan demikian kaidah dapat dijadikan sebagai hujjah atau sumber hukum.
Al-Zarkasyi lebih jauh mengemukakan bahwa kaidah fiqh dapat menjadi semacam
instrumen seorang pakar hukum dalam mengindentifikasi ushul al-madzhab dan
dalam mengyingkap dasar-dasar fiqh.
4. Mazhab Hambali
Madzhab
Hambali menetapkan kaidah fiqh pada posisinya yang istimewa. Hal ini dapat
dijadikan dari pendapat beberapa tokoh madzhab Hambali yang sekaligus dapat
dijadikan parameter dalam mengkaji ke-hujjah-an kaidah fiqh dalam istinbath
hukum seperti Ibnu Taimiyyah dalam kitabnya al-qawaid al-nuraiyyah. Ib Qayyim
dalam kitabnya I'lam al-Muwaqqi'in, Ibnu Rajab dalam kitabnya qawaid fi al-fiqh
al-Islami dan Ibn An-Najjar dalam kitabnya al-Kaukab al-Munir. Mereka semua
menjadikan kaidah fiqh sebagai hujjah atau dalil dalam istinbah sebuah hukum
terutama dalam kasus-kasus yang itdak dijelaskan oleh nash. Akan tetapi ada
indikasi yang menunjukkan bahwa mereka mendahulukan hadits lemah dari para
kaidah.
D. Kaidah-kaidah yang dapat diambil dari
Kaidah Pokok
1. Kaidah yang berkenaan dengan niat
Suatu
perbuatan dipandang baik atau dipandang buruk berdasarkan niatnya si pelaku,
maka tentulah tidak dipahalai sesuatu perbuatan, terkecuali apabila diniatkan
kebajikan. Mengenai sahnya amal, maka sudah terang bahwasanya niat itu sarat
sahnya perbuatan seperti shalat dan puasa walaupun mengenai wudhu
diperselisihkan.
Ulama
Syafi’i dan Maliki memandang fardhu, Ulama Hambali memandang Syarat sah, dan
Ulama Hanafi memandang sunat muakkad.
2. Kaidah yang Berkenaan dengan Keyakinan
a. Dalam menentukan keyakinan mengenai Halal dan Haram para mazhab
berpendapat bahwa:
b. Imam Syafii berpendapat: “Allah itu Maha Bijaksana, jadi mustahil Allah
menciptakan, lalu mengharamkan atas hamba-Nya”.
c. Hanafi berkata: “memang Allah Maha Bijaksana, tetapi bagaimanapun segala
sesuatu itu adalah milik Allah Ta’ala sendiri. Jadi, kita tidak boleh
menggunakannya sebelum ada izin dari Allah.
3. Kaidah al-Dharor
4. Kaidah al-Musaqqoh
5. Kaidah al’Urf[3]
E. Kitab-kitab Kaidah Fiqhiyyah
1. Kitab-Kitab Qaidah Fiqh Mazhab Hanafi
a. Ushul al-Karkhi, Abu Hasan al-Karkhi (260-340 H) memuat 37 kaidah fikih.
b. Ta’sis al-Nazhar, Abu Zaid al-Dabusi (w. 430 H) memuat 86 kaidah fikih.
c. Al-Asybah wa al-Nazhair, Ibnu Nuzaim (w. 970 H) memuat 25 kaidah fikih.
d. Majami’ al-Haqaiq, Abi said al-Khadimi memuat 154 kaidah fikih.
e. Majalah al-Ahkam al-Adliyah, Ahmad Udat Basya memuat 99 fikih.
2. Kitab-Kitab Qaidah Fiqh Mazhab Maliki
a. Ushul al-Futiya fi al-Fiqh ’ala Mazhab al-Imam Malik, Ibnu Haris
al-Husyni (w. 361 H)
b. Al-Furuq, al-qurafi (w. 684 H) memuat 548 kaidah fikih.
c. Al-Qawa’id, al-Maqari (w. 758 H) memuat 758 kaidah fikih.
d. Idhah al-Masalik ila Qawa’id al-Imam Malik, al-Winsyarisi (w. 914 H)
memuat 118 kaidah fikih.
3. Kitab-Kitab Qaidah Fiqh Mazhab al-Syafi’i
a. Qawa’id al-Ahkam fi Mashalih al-Anam, Izzuddin bin Abd al-Salam (577-660
H).
b. Al-Asybah wa al-Nazhair, Ibnu al-Wakil (w. 716 H).
c. Al-Majmu al-Mudzhab fi Qawa’id al-Mazhab, Abu Sa’id al-Ala’i (w. 761 H).
d. Al-Asybah wa al Nazhair, Taj al-Din Ibnu al-Subki (w. 771 H).
e. Al-Mansur fi Tartib al-Qawa’id al-Fiqhiyah atau al-Qawa’id fi al Furu,
al-Zarkasyi (w. 794 H).
f. Al-Asybah wa al-Nazhair, Imam al-Suyuthi (w. 911 H) memuat 20 kaidah.
g. Al-Istighna fi al-Farqi wa al-Istitsna, Badrudin al-Bakri.
4. Kitab-Kitab Qaidah Fiqh Mazhab Hanbali
a. Al-Qawa’id al-Nuraniyah al-Fiqhiyah, Ibnu Taimiyah (661-728 H).
b. Al-Qawa’id al-Fiqhiyah, Ibnu Qadhi al-Jabal (w. 771 H).
c. Taqrir al-Qawaid wa Tahrir al-Fawaid, Ibnu Rajab al-Rahman memuat 160
kaidah.
d. Al-Qawa’id al-Kulliyah wa al-Dhawabith al-Fiqhiyah, Ibnu Abd al-Hadi (w.
909 H).
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Qawa’id fiqhiyyah sebenarnya merupakan
hasil analisis induktif (istiqra’) dengan memerhatikan faktor-faktor
kesamaan (al-asybah) dari berbagai macam topik fikih yang kemudian
disimpulkan menjadi kaidah umum. Pada intinya qawa’id fiqhiyyah merupakan jalan
untuk mendapatkan kemaslahatan dan menolak kemudharatan. Posisi qawa’id
fiqhiyyah dalam fatwa dan qadha dapat dijadikan sebagai dalil pelengkap dari
dua dalil yaitu Alquran dan Sunnah atau bahkan sebagai dalil yang mandiri (mustaqil)
tanpa dua dalil utama itu, walau para ulama ikhtilaf dalam hal ini.
Walaupun terjadi
kontroversi di kalangan ulama tentang boleh tidaknya berdalil kepada qawa’id
fiqhiyyah, tapi tidak dapat dipungkiri bahwa qawa’id fiqhiyyah berperan besar
dalam membantu fuqaha, mufti dan qadhi
dalam menyelesaikan persoalan hukum di masyarakat.
DAFTAR
PUSTAKA
Asy-Syafii, Ahmad Muhammad. 1983. Ushul Fiqh Al-Islami.
Iskandariyah Muassasah Tsaqofah Al-Jamiiyah.
Hasbi as-siddiqy, 1975. Pengantar Hukum Islam. Jakarta: Bulan
Bintang.
Musbikin, Imam. 2001. Qawaid Al-Fiqhiyyah. Jakarta: PT
RajaGrafindo Pers.
No comments:
Post a Comment