1

loading...

Sunday, October 21, 2018

MAKALAH QAWA’ID FIQHIYYAH


MAKALAH QAWA’ID FIQHIYYAH   (Kehujjahan Qawa’id Fiqhiyyah)



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Dalam Islam, jika Al-Qur’an, Hadits dan ijma’  tidak juga ditemukan dasar hukum dalam islam, maka para ulama mengembalikannya kepada sumber-sumber hukum yang lain seperti Qiyas, Istihsan, Istishab, Maslahah Mursalah dan Syar’u man Qablana. Untuk menetapkan sumber-sumber hukum Islam ini, selain para ulama berbeda pendapat, mereka (para ulama) juga berbeda pendapat dalam menetapkan Qawaid-Qawaidnya. Perbedaan dalam qawa’id-qawa’id ini juga menimbulkan mazhab-mazhab sesuai dengan keyakinan dan pendapat masing-masing para ulama, khususnya ulama pelopornya.
Sebagaimana diketahui bahwa ulama pelopor dari mazhab-mazhab tersebut adalah Imam Malik, Imam Hanafi, Imam Syafi’i, Imam Hambali dan imam-imam lainnya yang cukup banyak, hanya saja mazhab-mazhabnya tidak berkembang lagi pada masa sekarang ini. Para imam-imam ini mempunyai qawa’id-qawa’id tersendiri di dalam menetapkan ataupun mengistinbathkan hukum atas suatu persoalan yang timbul. Dalam makalah ini, penulis akan mencoba membahas dan menguraikan tentang sumber-sumber qawa’id fiqhiyah dari berbagai mazhab yang dinukil dari kitab-kitab yang ditulis oleh para tokoh-tokohnya yang cukup terkenal di lingkungan mazhab tersebut.
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana kehujjahan qawa’id fiqhiyyah menurut empat mazhab?
C.     Tujuan Penulisan  
1.      Untuk mengetahui kaidah-kaidah yang terdapat dalam kehujjahan qawa’id fiqhiyyah menurut empat mazhab.

BAB II
PEMBAHASAN
A.    Defenisi Qawaid Fiqhiyyah
Dalam pengertian ini ada dua kata yang perlu kami jelaskan terlebih dahulu, yaitu qawaid dan fiqhiyah. Kata qawaid merupakan bentuk jama' dari kata qaidah, dalam istilah bahasa Indonesia dikenal dengan kata 'kaidah' yang berarti aturan atau patokan, dalam tinjauan terminologi kaidah mempuyai beberapa arti. Dr. Ahmad asy-Syafi'I dalam bukunya ushul fiqih islami menyatakan bahwa kaidah adalah:

القضايا الكلية التى يندرج تحت كل واحدة منها حكم جزئيات كثيرة
"Hukum yang bersifat universal (kulli) yang diikuti oleh satuan-satuan hukum juz'I yang banyak" [1]
Sedangkan secara terminologi fiqh berarti :

1.      Menurut al-Jurjani al-Hanafi:
العلم بالاحكام الشريعة العملية من ادلتها التفصلية وهو علم مستنبط بالرأي والاجتهاد ويحتاج فيه الى النظر والتأمل
"ilmu yang menerangkan hukum hukum syara yang amaliyah ang diambil dari dalil-dalilnya yang tafsily dan diistinbatkan melalui ijtihad yang memerlukan analisa dan perenungan".

2.       Menurut ibnu khaldun dalam muqaddimah al-mubtada wal khabar:
الفقه معرفة احكام الله تعالى فى افعال المكلفين بالوجوب والحظر والندب والكراهة والاباحة وهي متلقاة من الكتاب والسنة وما نصبه الشارع لمعرفتهامن الأدلة فإذااستخرجت الأحكام قيل لها فقه.
"Ilmu yang dengannya diketahui segala hukum Allah yang berhubungan dengan segala perbuatan Mukallaf, (diistinbathkan) dari al-Qur'an dan as-Sunnah dan dari dalil-dalil yang ditegaskan berdasarkan syara', bila dikeluarkan hukum-hukum dengan jalan ijtihad dari dalil-dalil maka terjadilah apa yang dinamakan fiqh".[2]
B.     Perkembangan Qawaid Fiqhiyyah
Masa pertumbuhan dan pembentukan berlangsung selama beberapa abad lebih dimulai dari zaman kerasulan abad ketiga hijrah. Periode ini dari segi fase sejarah hukum Islam, dapat dibagi menjadi tiga dekade: zaman Nabi Muhammad saw, yang berlangsung selama 22 tahun lebih, dan zaman tabi’in serta tabi’ al-tabi’in yang berlangsung selama 250 tahun. Masa kerasulan dan masa tasyri’ (pembentukan hukum Islam) merupakan embrio kelahiran qawa’id fiqhiyyah. Nabi Muhammad saw menyampaikan hadis-hadis yang jawami’ ‘ammah (singkat dan padat). Hadis-hadis tersebut dapat menampung masalah-masalah fikih yang sangat banyak jumlahnya.  Berdasarkan hal  itu, maka hadis Nabi Muhammad saw disamping sebagai sumber hukum, juga sebagai qawa’id fiqhiyyah. Demikian juga ucapan-ucapan sahabat (atsar) juga dikategorikan sebagai jawami’ al-kalim  dan qawa’id fiqhiyyah oleh banyak ulama.
Fuqaha  Hanafiah menjadi orang pertama yang mengkaji qawa’id fiqhiyyah dalam sejarah. Hal ini karena luasnya furu’ yang mereka kembangkan. Di samping itu, dalam membentuk ushul mazhab, fuqaha Hanafiah mendasarkan pemikirannya kepada hukum furu’ para imam mazhabnya. Contohnya adalah Muhammad bin al-Hasan al-Syaibani (w. 189 H) dalam kitabnya al-Ushul menyebutkan satu permasalahan, lalu darinya ia membuat banyak hukum furu’ yang sulit dihapal dan diidentifikasi. Kondisi seperti inilah yang mendorong fuqaha Hanafiah untuk membuat kaidah dan dhabit.
Dari kalangan madzhab Maliki Muhammad bin Abdullah bi Rasyid al-bakri al-Qafshi (685 H) menulis “al-Mudzhb fi Qawaid al-Madzhab” dan masih banyak lagi. Karya-karya ini menunjukan bahwa qawaid fiqhiyah mengalami perkembangan yang pesat pada abad ke-7 H. Qawaid fiqhiyah pada abad ini nampak tertutup namun sedikit demi sedikit mulai meluas.
Pada abad VIII H, ilmu qawa’id fiqhiyyah berada pada puncak keemasan yang ditandai dengan banyak bermunculannya kitab-kitab qawa’id fiqhiyyah. Dalam hal ini, ulama Syafi’iyyah termasuk yang paling kreatif. Di antara karya-karya besar yang muncul dalam abad ini adalah:
a.       al-Asybah wa al-Nazhair karya Ibnu Wakil al-Syafi’i (w. 716 H).
b.      Kitab al-Qawa’id karya al-Maqqari al-Maliki (w. 758 H).
c.       Kitab al-Majmu’ al-Muzhab fi Dhabt Qawa’id al-Mazhab karya al-‘Alai al-Syafi’i (w. 761 H).
d.      Kitab  al-Asybah wa al-Nazhair karya al-Subki al-Syafi’i (w. 711 H).
e.       Kitab al-Asybah wa al-Nazhair karya al-Isnawi (w. 772 H).
f.       Kitab al-Mantsur fi al-Qawa’id karya al-Zarkasi al-Syafi’i (w. 794 H).
g.      Kitab Qawa’id fi al-Fiqh karya Ibnu Rajab al-Hambali (w. 795 H) dan
h.      Kitab al-Qawa’id fi al-Furu’ karya al-Ghazzi (w. 799 H).

C.    Kaidah Fiqih dalam Empat Mazhab
Para fuqaha empat madzhab (Hanafi, Maliki, Syafii, Hambali) sepakat bahwa kaidah fiqih dapat dijadikan sebagai hujjah (dalil) sumber hukum Islam dan dapat diaplikasikan terhasap masalah-masalah kontemporer. Husin Al-Munawar MA mengatakan di Jakarta beberapa waktu lalu.
Permasalahan yang muncul di antara empat madzhab, kata Said Agil, adalah menjadikan al-qawaid al-fiqhiyyah sebagai dalil atau sumber hukum Islam yang mandiri tanpa didukung oleh ayat-ayat al-Qur'an dan sunnah. Namun ketika al-qawaaid al-fiqhiyyah tanpa didukung dengan kedua sumber utama tersebut, maka para ulama tidak sepakat menjadikannya sebagai sumber hukum Islam. Dalam konteks pertama, maka sejarah mana peranannya dalam fatwa dan penetapan hukum dalam peradilan (qadha).
1.      Mazhab Hanafi
Dalam madzhab Hanafi tidak terdapat konsensus di antara mereka mengenai kebolehannya berfatwa atau berhujjah dengan menggunakan qaidah aghlabiyyah (universal). Ibn Nuj'aim al-Hanafi sebagaimana dikutip al-Hamawi al-Hanafi mengatakan: "Tidak boleh berfatwa dengan mengunakan kaidah fiqh dan dawabit karena sifatnya aghlabiyah (universal)."
Tetapi bila diperhatikan, ternyata tidak semua qaidah itu aghlabiyyah, ada kaidah yang sifatnya kulliyyah sebagaimana diindikasikan oleh Muhazzib al-Furuq al-Qarafi menukil dari Al-Amin. Oleh karena itu, Ibnu Nuj'aim secara implisit menyatakan bahwa kaidah yang fiatnya kulliyyah boleh dijadikan hujjah (sumber) hukum Islam. Begitu pula penyusun kitab Majalah al-Ahkam al-'adliyyah yang mayoritas bermazhab Hanafi sependapat dengan Ibn Nuj'aim tersebut berkata: "Para yuris muslim sebagai menemukan dalil yang kongkret tidak boleh menetapkan hukum dengan hnaya berpegang kepada salah satu kondisi kaidah itu."

2.      Mazhab Maliki
Mazhab Maliki menempatkan kadiah-kaidah fiqh sejajar dengan Ushul Fiqh, kaidah itu termasuk bagaimana Syari'at yang dapat memperjelas metodologi berfatwa. Dengan demikian kaidah fiqh dapat dijadikan sebagai sumber hukum Islam. Setiap putusan hukum yang bertentangan dengan dalil serta kaidah yang disepakati oleh para ulama, maka putusannya batal. "Contohnya kasus Suraijiyyah yang bertentangan dengan kaidah yang disepakati".

3.      Mazhab Syafi’i
Menurut Madzhab Syafi'i, qaidah fiqhiyyah dapat dijadikan hujjah dan sangat sifnifikan eksistensinya dalam fiqh. Imam Al-Suyuti Al-Syafii menjelaskan bahwa ilmu al-Ashbah wa al Nadzair adalah ilmu yang agung dapat menyingkap hakikat, dasar-dasar dan rahasia fiqh, dapat mempertajam analisis fiqh serta memberikan kemampuan untuk mengindentifikasi berbagai persoalan yang tak terhingga banyaknya sepanjang masa depan cara al-ilhaq dan al-takhrij. Dengan demikian kaidah dapat dijadikan sebagai hujjah atau sumber hukum. Al-Zarkasyi lebih jauh mengemukakan bahwa kaidah fiqh dapat menjadi semacam instrumen seorang pakar hukum dalam mengindentifikasi ushul al-madzhab dan dalam mengyingkap dasar-dasar fiqh.

4.      Mazhab Hambali
Madzhab Hambali menetapkan kaidah fiqh pada posisinya yang istimewa. Hal ini dapat dijadikan dari pendapat beberapa tokoh madzhab Hambali yang sekaligus dapat dijadikan parameter dalam mengkaji ke-hujjah-an kaidah fiqh dalam istinbath hukum seperti Ibnu Taimiyyah dalam kitabnya al-qawaid al-nuraiyyah. Ib Qayyim dalam kitabnya I'lam al-Muwaqqi'in, Ibnu Rajab dalam kitabnya qawaid fi al-fiqh al-Islami dan Ibn An-Najjar dalam kitabnya al-Kaukab al-Munir. Mereka semua menjadikan kaidah fiqh sebagai hujjah atau dalil dalam istinbah sebuah hukum terutama dalam kasus-kasus yang itdak dijelaskan oleh nash. Akan tetapi ada indikasi yang menunjukkan bahwa mereka mendahulukan hadits lemah dari para kaidah.

D.    Kaidah-kaidah yang dapat diambil dari Kaidah Pokok
1.      Kaidah yang berkenaan dengan niat
Suatu perbuatan dipandang baik atau dipandang buruk berdasarkan niatnya si pelaku, maka tentulah tidak dipahalai sesuatu perbuatan, terkecuali apabila diniatkan kebajikan. Mengenai sahnya amal, maka sudah terang bahwasanya niat itu sarat sahnya perbuatan seperti shalat dan puasa walaupun mengenai wudhu diperselisihkan.
Ulama Syafi’i dan Maliki memandang fardhu, Ulama Hambali memandang Syarat sah, dan Ulama Hanafi memandang sunat muakkad.
2.      Kaidah yang Berkenaan dengan Keyakinan
a.       Dalam menentukan keyakinan mengenai Halal dan Haram para mazhab berpendapat bahwa:
b.      Imam Syafii berpendapat: “Allah itu Maha Bijaksana, jadi mustahil Allah menciptakan, lalu mengharamkan atas hamba-Nya”.
c.       Hanafi berkata: “memang Allah Maha Bijaksana, tetapi bagaimanapun segala sesuatu itu adalah milik Allah Ta’ala sendiri. Jadi, kita tidak boleh menggunakannya sebelum ada izin dari Allah.
3.      Kaidah al-Dharor
4.      Kaidah al-Musaqqoh
5.      Kaidah al’Urf[3]
E.     Kitab-kitab Kaidah Fiqhiyyah
1.      Kitab-Kitab Qaidah Fiqh Mazhab Hanafi
a.       Ushul al-Karkhi, Abu Hasan al-Karkhi (260-340 H) memuat 37 kaidah fikih.
b.      Ta’sis al-Nazhar, Abu Zaid al-Dabusi (w. 430 H) memuat 86 kaidah fikih.
c.       Al-Asybah wa al-Nazhair, Ibnu Nuzaim (w. 970 H) memuat 25 kaidah fikih.
d.      Majami’ al-Haqaiq, Abi said al-Khadimi memuat 154 kaidah fikih.
e.       Majalah al-Ahkam al-Adliyah, Ahmad Udat Basya memuat 99 fikih.
2.      Kitab-Kitab Qaidah Fiqh Mazhab Maliki
a.       Ushul al-Futiya fi al-Fiqh ’ala Mazhab al-Imam Malik, Ibnu Haris al-Husyni (w. 361 H)
b.      Al-Furuq, al-qurafi (w. 684 H) memuat 548 kaidah fikih.
c.       Al-Qawa’id, al-Maqari (w. 758 H) memuat 758 kaidah fikih.
d.      Idhah al-Masalik ila Qawa’id al-Imam Malik, al-Winsyarisi (w. 914 H) memuat 118 kaidah fikih.
3.      Kitab-Kitab Qaidah Fiqh Mazhab al-Syafi’i
a.       Qawa’id al-Ahkam fi Mashalih al-Anam, Izzuddin bin Abd al-Salam (577-660 H).
b.      Al-Asybah wa al-Nazhair, Ibnu al-Wakil (w. 716 H).
c.       Al-Majmu al-Mudzhab fi Qawa’id al-Mazhab, Abu Sa’id al-Ala’i (w. 761 H).
d.      Al-Asybah wa al Nazhair, Taj al-Din Ibnu al-Subki (w. 771 H).
e.       Al-Mansur fi Tartib al-Qawa’id al-Fiqhiyah atau al-Qawa’id fi al Furu, al-Zarkasyi (w. 794 H).
f.       Al-Asybah wa al-Nazhair, Imam al-Suyuthi (w. 911 H) memuat 20 kaidah.
g.      Al-Istighna fi al-Farqi wa al-Istitsna, Badrudin al-Bakri.
4.      Kitab-Kitab Qaidah Fiqh Mazhab Hanbali
a.       Al-Qawa’id al-Nuraniyah al-Fiqhiyah, Ibnu Taimiyah (661-728 H).
b.      Al-Qawa’id al-Fiqhiyah, Ibnu Qadhi al-Jabal (w. 771 H).
c.       Taqrir al-Qawaid wa Tahrir al-Fawaid, Ibnu Rajab al-Rahman memuat 160 kaidah.
d.      Al-Qawa’id al-Kulliyah wa al-Dhawabith al-Fiqhiyah, Ibnu Abd al-Hadi (w. 909 H).




BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Qawa’id fiqhiyyah sebenarnya merupakan hasil analisis induktif (istiqra’) dengan memerhatikan faktor-faktor kesamaan (al-asybah) dari berbagai macam topik fikih yang kemudian disimpulkan menjadi kaidah umum. Pada intinya qawa’id fiqhiyyah merupakan jalan untuk mendapatkan kemaslahatan dan menolak kemudharatan. Posisi qawa’id fiqhiyyah dalam fatwa dan qadha dapat dijadikan sebagai dalil pelengkap dari dua dalil yaitu Alquran dan Sunnah atau bahkan sebagai dalil yang mandiri (mustaqil) tanpa dua dalil utama itu, walau para ulama ikhtilaf dalam hal ini.
            Walaupun terjadi kontroversi di kalangan ulama tentang boleh tidaknya berdalil kepada qawa’id fiqhiyyah, tapi tidak dapat dipungkiri bahwa qawa’id fiqhiyyah berperan besar dalam membantu fuqaha, mufti dan qadhi  dalam menyelesaikan persoalan hukum di masyarakat.



DAFTAR PUSTAKA

Asy-Syafii, Ahmad Muhammad. 1983. Ushul Fiqh Al-Islami. Iskandariyah Muassasah Tsaqofah Al-Jamiiyah.
Hasbi as-siddiqy, 1975. Pengantar Hukum Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
Musbikin, Imam. 2001. Qawaid Al-Fiqhiyyah. Jakarta: PT RajaGrafindo Pers.



[1] Ahmad Muhammad Asy-Syafi’i, Ushul Fiqh Al-Islami, hal 4
[2] Hasbi as- Siddiqy, Pengantar Hukum Islam, hal 25.
[3] Imam Musbikin, Qawaid Al- Fiqhiyyah, hal 44.

No comments:

Post a Comment