MAKALAH KONSEP DASAR NEGARA YANG ISLAMI
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Keberadaan suatu institusi yang bernama
negara tidak dapat dielakkan, hal ini karena kodrat manusia sebagai makhluk
sosial membutuhkan perangkat yang menjadi ikatan kebersamaan dalam kontrak
sosial antar manusia. Perangkat institusi yang bernama negara diharapkan
menjadi wadah agar manusia bisa menjalankan kehidupannya dengan baik, jauh dari
sengketa atau konflik dan menjaga kedamaian sosial. Dengan alasan tersebut,
maka negara memiliki faktor penting dalam kehidupan manusia.
Dalam dunia, hanya ada tiga kutub
paradigma yaitu Paradigma Sosialisme Komunis, Paradigma Liberalisme Kapitalis,
dan Paradigma Islam. Ideologi itu sendiri diterjemahkan sebagai sistem pedoman
hidup yang menjadi cita-cita untuk dicapai oleh sebagian besar individu dalam
masyarakat yang bersifat khusus, disusun secara sadar oleh para tokoh pemikir
negara, dan kemudian menyebarluaskannya secara resmi sebagai Dasar Negara.
Di Negara Indonesia Pancasila sebagai dasar negara, Pancasila kembali diuji
ketahanannya dalam era reformasi sekarang. Merekahnya matahari bulan Juni 1945,
63 tahun yang lalu disambut dengan lahirnya sebuah konsepsi kenengaraan yang
sangat bersejarah bagi bangsa Indonesia, yaitu lahirnya Pancasila. Sebagai
falsafah negara, tentu Pancasila ada yang merumuskannya. Pancasila telah
ada dalam segala bentuk kehidupan rakyat Indonesia, terkecuali bagi mereka yang
tidak Pancasilais. Pancasila lahir 1 Juni 1945, ditetapkan pada 18 Agustus 1945
bersama-sama dengan UUD 1945.
1
B. Rumusan Masalah
A. Apa pengertian Konsep Dasar Negara
yang Islami?
B. Apa Tujuan dan Unsur-Unsur Negara?
C. Jelaskan Teori Terbentuknya
Negara dan Bentuk-Bentuk Negara?
D. Jelaskan Konsep Hubungan Agama dan Negara dalam Islam!
E. Jelaskan Hubungan Islam dan Negara di Indonesia!
F. Jelaskan Bentuk Negara Islam!
C. Tujuan
A. Untuk mengetahui pengartian
konsep dasar negara yang islami !
B.
Mengetahui tujuan dan unsur-unsua negara !
C.
Mengetahui teori terbentuknya negara !
D.
Untuk mengetahui hubungan agama dan negara islam !
E.
Mengetahui hubungan islam dan negara di indonesia !
F.
Mengetahui bentuk negara islam !
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Konsep Dasar Negara yang Islami
Dasar negara adalah fandemen yang kokoh
dan kuat serta bersumbar dari pandangan hidup atau falsafah (cerminan dari
peradaban, kebudayaan, keluhuran budi dan kepribadian yang tumbuh dalam sejarah
perkembangan Indonesia) yang diterima oleh seluruh lapisan masyarakat.
Secara literal istilah negara merupakan
terjemahan dari beberapa kata asing : state (Inggris), staat (Belanda dan Jerman) atau etat (Prancis). Sedangkan secara terminologi, negara diartikan
sebagai organisasi tertinggi di antara satu kelompok masyarakat yang mempunyai
cita-cita untuk bersatu, hidup di dalam suatu kawasan dan mempunyai pemerintah
yang berdaulat.
[1]Menurut Roger H. Soltau, negara merupakan perpaduan antara alat (agency) dan wewenang (authority) yang mengatur dan
mengendalikan persoalan-persoalan bersama, atas nama masyarakat. Max Weber
mendefinisikan negara dengan sebuah masyarakat yang mempunyai monopoli dalam
penggunaan kekerasan fisik secara sah dalam suatu wilayah.
Dalam konsepsi Islam, menurut
kebanyakan ahli politik Islam modern, tidak ditemukan rumusan yang pasti (qathi’) tentang konsep negara. Dua
sumber Islam, Al-Qur’an dan Al-Sunnah, tidak secara tersurat mendefinisikan
model negara dalam Islam. Namun demikian, keduanya memuat prinsip-prinsip dasar
tata cara hidup bermasyarakat. Ketidakadaan konsep yang pasti tentang negara
telah melahirkan beragam pemikiran tentang konsep negara dalam tradisi
pemikiran politik Islam.
Selain itu, konsep islam tentang negara
juga berasal dari 3 (tiga) paradigma, yaitu:
1. Paradigma tentang teori khilafah yang dipraktikan sesudah Rasulullah
SAW, terutama biasanya merujuk pada
masa Khulafa al Rasyidin.
2. Paradigma yang bersumber
pada teori Imamah dalam paham Islam Syi’ah.
3. Paradigma yang bersumber
dari teori Imamah atau peme rintahan.
Teori tentang Khilafah menurut
Amien Rais, dipahami sebagai suatu misi kaum muslimin yang harus ditegakan di
muka bumi ini untuk memakmurkan sesuai dengan petunjuk dan peraturan Allah SWT,
maupun Rasul-Nya. Adapun cara pelaksanaannya al-Qur’an tidak menunjukkan secara
terperinci, tetapi dalam bentuk global saja. Sedangkan untuk teori Imamah,
Amien lebih lanjut mengatakan bahwa kata imamah (dalam pengertian
negara/state) dalam al-Qur’an tidak tertulis.
Imam Mawardi mengatakan: "Imamah
adalah suatu kedudukan yang diadakan untuk mengganti peranan kenabian dalam
urusan memelihara agama (Islam) dan mengendalikan dunia". Bagi Ibnu
Khaldun, institusi khilafah atau imamah adalah lembaga politik yang memerintah
rakyat sesuai dengan peraturan syariah agama untuk mewujudkan kemaslahatan dunia
dan akhirat. Karena kemaslahatan akhirnya adalah tujuan akhir, maka
kemaslahatan dunia seluruhnya harus berpedoman kepada syariah.
Definisi yang hakiki bagi Imamah, ialah
“Pemerintahan islam yang mempunyai Undang-Undang” atau “Pemerintahan yang
berUndang-Undang dasar”. Dari beberapa pendapat tentang negara tersebut, dapat
dipahami secara sederhana bahwa yang dimaksud dengan negara adalah suatu daerah
teritorial yang rakyatnya diperintah (governed) oleh sejumlah pejabat
yang berhak menuntut dari warganegaranya untuk taat pada peraturan
perundang-undangan melalui penguasaan monopolistis dari kekuasaan yang sah.
B. Tujuan dan Unsur – Unsur Negara
1. Tujuan Negara
Sebagai sebuah organisasi kekuasaan dari
kumpulan orang-orang yang mendiaminya, negara harus memiliki tujuan yang
disepakati bersama. Tujuan sebuah negara dapat bermacam-macam, antara lain :
a.
Bertujuan untuk memperluas kekuasaan.
b. Bertujuan menyelenggarakan ketertiban hukum.
c. Bertujuan untuk mencapai kesejahteraan umum.
Dalam Islam, seperti yang dikemukakan oleh
Ibnu Arabi, tujuan negara adalah agar manusia bisa menjalankan kehidupannya
dengan baik, jauh dari sengketa dan menjaga intervensi pihak-pihak asing.
Paradigma ini didasarkan pada konsep sosio-historis bahwa manusia diciptakan
oleh Allah dengan watak dan kecenderungan berkumpul dan bermasyarakat, yang
membawa konsekuensi antara individu-individu satu sama lain saling membutuhkan
bantuan. Sementara menurut Ibnu Khaldun, tujuan negara adalah untuk
mengusahakan kemaslahatan agama dan dunia yang bermuara pada kepentingan
akhirat.
Dalam konteks negara Indonesia, tujuan
negara adalah untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa
dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian
abadi dan keadilan sosial. Selain itu, dalam penjelasan UUD 1945 ditetapkan
bahwa Negara Indonesia berdasarkan atas hukum (rechtstaat), ti dak
berdasarkan kekuasaan belaka (machtstaat).
Dapat dikatakan bahwa Indonesia merupakan suatu negara hukum yang bertujuan
untuk mewujudkan kesejahteraan umum, membentuk suatu masyarakat adil dan
makmur.
2. Unsur-Unsur Negara
Dalam rumusan Konvensi Montevideo tahun
1933 disebutkan bahwa suatu negara harus memiliki unsur penting, yaitu:
a . Rakyat (masyarakat / warga negara)
Rakyat dalam pengertian keberadaan suatu
negara adalah sekumpulan manusia yang dipersatukan oleh suatu rasa persamaan
dan bersama-sama mendiami suatu wilayah tertentu.
b. Wilayah
Wilayah adalah unsur negara yang harus
terpenuhi karena tidak mungkin ada negara tanpa ada batas-batas teritorial yang
jelas. Secara umum wilayah dalam sebuah negara biasanya mencakup daratan,
perairan (samudra, laut dan sungai) dan udara. Dalam konsep negara modern,
masing-masing batas wilayah tersebut diatur dalam perjanjian dan
perundang-undangan internasional.
c. Pemerintah
Pemerintah adalah alat kelengkapan negara
yang bertugas memimpin organisasi negara untuk mencapai tujuan bersama
didirikannya sebuah negara. Pemerintah, melalui aparat dan alat-alat negara,
yang menetapkan hukum, melaksanakan ketertiban dan keamanan, mengadakan
perdamaian dan lainnya dalam rangka mewujudkan kepentingan warga negaranya yang
beragam.
Secara umum pemerintahan terbagi dalam dua
bentuk, parlementer dan presidentil. Negara dengan sistem presidentil berbentuk
republik dengan presiden sebagai kepala negara sekaligus sebagai kepala
pemerintahan. Sementara Negara dengan sistem parlementer mempunyai presiden
sebagai kepala negara dan perdana menteri sebagai kepala pemerintahan.
d. Pengakuan Negara Lain
Ada dua macam pengakuan atas suatu negara,
yakni pengakuan de facto dan
pengakuan de jure. Pengakuan de facto, ialah pengakuan atas fakta
adanya negara. Pengakuan tersebut didasarkan adanya fakta bahwa suatu
masyarakat politik telah memenuhi 3 unsur utama negara (wilayah, rakyat, dan
pemerintah yang berdaulat). Sedangkan pengakuan de jure merupakan pengakuan akan sahnya suatu negara atas dasar
pertimbangan yuridis menurut hukum.
6
C. Teori Terbentuknya Negara dan Bentuk-Bentuk Negara
1. Teori Terbentuknya
Negara
Banyak dijumpai teori tentang terbentuknya
sebuah Negara
a. Teori kontrak sosial (Social Contract)
Teori kontrak sosial atau teori perjanjian
masyarakat beranggapan bahwa Negara dibentuk berdasarkan perjanjian-perjanjian
masyarakat dan tradisi sosial masyarakat. Teori ini meletakkan untuk tidak
berpotensi menjadi Negara tirani, karna berlangsungnya berdasar pada
kontrak-kontrak antara warga Negara dengan lembaga Negara.
b. Teori Ketuhanan (Teokrasi)
Teori ketuhanan di kenal juga dengan
istilah doktrin teokratis. Teori ini di temukan baik di timur maupun di belahan
dunia barat. Doktrin ketuhanan ini memperoleh bentuknya yang sempurna dalam
tulisan-tuliasan para sejarah Eropa pada abad pertengahan yang menggunakan
teori ini untuk membenarkan kekuasaan mutlak para raja.
Doktrin ini memiliki pandangan bahwa hak
pemerintah yang di miliki para raja berasal dari tuhan. Mereka mendapat mandat
dari tuhan untuk bertahta sebagai pengusa. Praktik kekuasaan model ini di
tentang oleh kalangan monar chomach (penentang raja). Menurut mereka, raja
tiran dapat di turunkan dari mahkotanya, bahkan dapat di bunuh. Mereka
beranggapan bahwa sumber kekuasaan adalah rakyat.
c. Teori Kekuasaan
Secara sederhana teori ini dapat di
artikan bahwa negara terbentuk karena adanya dominasi Negara kuat mealui
penjajahan. Menurut teori ini, kekuatan menjadi pembenaran (rasion d’ektre)
dari terbentuknya sebuah negara, melalui proses penaklukan dan penduduk oleh
suatu kelompok (etnis) atas kelompok tertentu di mulailah proses pembentukan
suatu Negara.
7
2. Bentuk-Bentuk Negara
Negara memiliki bentuk yang berbeda-beda.
Secara umum dalam konsep dan teori modern negara terbagi ke dalam dua bentuk,
yaitu Negara Kesatuan (Unitarianisme)
dan Negara Serikat (Federasi).
a. Negara Kesatuan
Negara Kesatuan adalah bentuk suatu negara
yang merdeka dan berdaulat, dengan satu pemerintah pusat yang berkuasa dan
mengatur seluruh daerah. Namun dalam pelaksanaannya, negara kesatuan ini
terbagi ke dalam 2 macam sistem pemerintahan: Sentral dan Otonomi.
1) Negara Kesatuan dengan
sistem sentralsisasi adalah sistem pemerintahan yang langsung dipimpin oleh
Pemerintah Pusat, sementara pemerintah daerah di bawahnya melaksanakan
kebijakan pemerintah pusat.
2) Negara Kesatuan dengan
sistem desentralisasi adalah kepala daerah diberikan kesempatan dan kewenangan
untuk mengurus urusan pemerintah di wilayahnya sendiri. Sistem ini dikenal
dengan istilah otonomi daerah atau swatantra.
b.
Negara Serikat (Federasi)
Negara Serikat atau federasi merupakan
bentuk negara gabungan yang terdiri dari beberapa negara bagian dari sebuah
Negara Serikat.
Di samping dua bentuk ini, dari sisi
pelaksana dan mekanisme pemilihannya, bentuk negara dapat digolongkan ke dalam
tiga kelompok : Monarki Oligarki, dan Demokrasi.
1) Monarki adalah model pemerintahan yang dikepalai oleh raja atau ratu. Monarki
memiliki dua jenis : Monarki Absolut dan Monarki Konstitusional. Monarki absolut adalah model
pemerintahan dengan kekuasaan tertinggi di tangan satu orang raja atau ratu.
Contoh: Arab Saudi. Sedangkan Monarki
Konstitusional adalah bentuk pemerintahan yang kekuasaan kepala negaranya
(raja atau ratu) dibatasi oleh ketentuan-ketentuan konstitusi negara. Contoh:
Inggris, Jepang, Thailand, Yordania, dan lain-lain.
2) Oligarki adalah pemerintahan yang dijalankan oleh beberapa orang yang berkuasa dari
golongan atau kelompok tertentu.
3) Demokrasi adalah bentuk pemerintahan yang bersandar pada kedaulatan rakyat atau
mendasarkan kekuasaannya pada pilihan dan kehendak rakyat melalui mekanisme
pemilihan umum (pemilu) yang berlangsung jujur, bebas, aman, dan adil.
Kelemahan pemerintahan model demokrasi
antara lain :
· Para pemerintah yang mengatasnamakan wakil rakyat akan terus berusaha
kedudukannya dengan berbagai macam dalih, seperti dalih konsensus nasional dan
secara bersamaan memojokkan kaum oposisi yang berusaha menjatuhkannya dengan
dalih disloyalitas pada Negara.
·
Suara mayoritas, yang kerap kali menentukan keputusan akhir dalam sistem
demokrasi, seringkali menjurus kepada kesalahan-kesalahan yang fatal karena
pemeritah kerap “mendoktrin” rakyat dengan hal-hal yang berakibat buruk dalam
berjalannya sistem suatu negara.
D. Konsep Relasi Agama dan Negara dalam Islam
Dalam Islam, hubungan agama dengan negara
menjadi perdebatan yang cukup panjang di antara para pakar Islam hingga kini.
Bahkan, menurut Azra, perdabatan itu telah berlangsung sejak hampir satu abad,
dan berlangsungn hingga dewasa ini. Ketegangan perdebatan tentang hubungan
agama dan negara ini diilhami oleh hubungan yang agak canggung antara Islam
sebagai agama (din) dan negara (dawlah). Berbagai eksperimen
dilakukan dalam menyelaraskan antara din dengan konsep dan kultur politik
masyarakat muslim, dan eksperimen tersebut dalam banyak hal sangat beragam.
(Azra, 1996:1).
Dalam lintasan historis Islam, hubungan
agama dengan negara dan sistem politik menunjukan fakta yang sangat beragam.
Banyak para ulama tradisional yang beragumentasi bahwa islam merupakan sistem
kepercayaan di mana agama memiliki hubungan erat dengan politik. Islam
memberikan pandangan dunia dan makna hidup bagi manusia termasuk bidang
politik.
Dari sudut pandang ini maka pada dasarnya
dalam islam tidak ada pemisahan antara agama dan politik. Argumentasi
ini sering dikaitkan dengan posisi Nabi Muhammad SAW ketika berada di Madinah
yang membangun sistem pemerintahan dalam sebuah negara kota (city-state).
Di Madinah Rasulullah berperan sebagai kepala pemerintahan sekaligus sebagai
kepala agama.
Manurut Mohammad Husein Haikal,
prinsip-prinsip dasar kehidupan kemasyarakatan yang diberikan oleh al-Qur’an
dan al-Sunnah tidak ada yang langsung berkaitan dengan ketatanegaraan.
Dalam lintasan sejarah dan opini para
teoritisi politik Islam ditemukan beberapa pendapat yang berkenaan dengan
konsep hubungan agama dan negara, antara lain dapat dirangkum ke dalam 3 (tiga)
paradigma, yakni:
1. Paradigma Integralistik
Merupakan paham dan konsep hubungan agama
dan negara yang menganggap bahwa agama dan negara meupakan suatu kesatuan yang
tidak dapat dipisahkan. Keduanya merupakan dua lembaga yang menyatu (integrated).
Ini juga memberikan pengertian bahwa negara merupakan suatu lembaga politik dan
sekaligus lembaga agama. Konsep ini menegaskan kembali bahwa Islam tidak
mengenal pemisahan antara agama dan politik atau negara. Konsep seperti ini
sama dengan teokrasi.
2. Paradigma Simbiotik
Menurut konsep ini, hubungan agama dan
negara dipahami saling membutuhkan dan bersifat timbal balik. Dalam konteks
ini, agama membutuhkan negara sebagai instrumen dalam melestarikan dan
mengembangkan agama. Begitu juga sebaliknya, negara juga memerlukan agama,
karena agama juga membantu negara dalam pembinaan moral, etika, dan
spiritualitas.
3. Paradigma Sekularistik
E. Hubungan Islam dan
Negara di Indonesia
Masalah hubungan Islam dan negara di
Indonesia merupakan persoalan yang menarik untuk dibahas, karena tidak saja
Indonesia merupakan negara yang mayoritas warga negaranya beragama Islam,
tetapi karena kompleksnya persoalan yang muncul. Mengkaji hubungan agama dan
negara di Indonesia, secara umum dapat digolongkan ke dalam 2 (dua) bagian,
yakni hubungan yang bersifat antagonistik dan hubungan yang bersifat akomodatif.
Hubungan antagonistik merupakan sifat hubungan yang mencirikan adanya
ketegangan antara negara dengan Islam sebagai sebuah agama. Sedangkan paham akomodatif,
lebih dipahami sebagai sifat hubungan dimana negara dan agama satu sama lain
saling mengisi bahkan ada kecenderungan memiliki kesamaan untuk mengurangi
konflik.
1.
Hubungan Agama dan Negara yang Bersifat
Antagonistik
Eksistensi Islam politik (political
Islam) pada masa kemerdekaan dan sampai pada pasca revolusi pernah dianggap
sebagai pesaing kekuasaan yang dapat mengusik basis kebangsaan negara. Persepsi
tersebut, membawa implikasi terhadap keinginan negara untuk berusaha
menghalangi dan melakukan domestikasi terhadap gerak ideologis politik Islam.
Sebagai hasil kebijakan semacam ini, bukan saja para pemimpin dan aktivis
politik Islam gagal untuk menjadikan Islam sebagai ideologi atau agama negara
(pada 1945 dan dekade 1950-an), tetapi mereka juga sering disebut sebagai
kelompok yang secara politik “minoritas” atau “outsider”. Lebih
dari itu, bahkan politik Islam sering dicurigai sebagai anti ideologi negara
Pancasila.
Kendatipun ada upaya – upaya untuk
mencarikan jalan keluar dari ketegangan ini pada awal tahun 1970-an,
kecenderungan legalistik, formalistik dan simbolistik itu masih berkembang pada
sebagian aktivis Islam pada dua dasawarsa pertama pemerintahan Orde Baru.
Antara lain karena alasan – alasan seperti
ini, negara memberlakukan kebijakan the politics of containment agar
macana politik Islam yang formalistik, legalistik dan simbolistik itu tidak
berkembang lebih lanjut.
Realitas empirik inilah yang kemudian
menjelaskan bahwa hubungan agama dengan negara pada masa ini dikenal dengan antagonistik,
di mana negara betul-betul mencurigai Islam sebagai kekuatan yang potensial
dalam menandingi eksistensi negara. Di sisi lain, umat Islam sendiri pada masa
itu memiliki ghirah yang tinggi untuk mewujudkan Islam sebagai sumber
ideologi dalam menjalankan pemerintahan.
2.
Hubungan Agama dan Negara yang Bersifat
Akomodatif
Gejala menurunnya ketergantungan hubungan
antara Islam dan negara mulai terlihat pada pertengahan tahun 1980-an. Hal ini
ditandai dengan semakin besarnya peluang umat Islam dalam mengembangkan wacana
politiknya serta munculnya kebijakan-kebijakan yang dianggap positif bagi umat
Islam. Kebijakan – kebijakan tersebut berspektrumluas, ada yang bersifat
struktural, legislatif, infrastruktural dan kultural.
Kecenderungan akomodasi negara terhadap
Islam juga – menurut Affan Gaffar – ditengarai dengan adanya kebijakan
pemerintah dalam bidang pendidikan dan keagamaan serta kondisi dan
kecenderungan politik umat Islam sendiri. Pemerintah menyadari bahwa umat Islam
merupakan kekuatan politik yang potensial, yang oleh karenanya negara lebih
memilih akomodasi terhadap islam, karena jika negara menempatkan Islam sebagai
out sider negara, maka konflik akan sulit dihindari yang pada akhirnya akan
membawa imbas terhadap proses pemeliharaan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
F. Bentuk Negara Islam
Suatu negara disebut sebagai Negara Islam jika memberlakukan hukum Islam.
Dengan kata lain, pelaksanaan hukum Islam merupakan prasyarat formal dan utama
bagi eksistensinya Negara Islam.
Sejarah telah mencatat bahwa abad ke-15 hingga 20 merupakan fase ketika
Eropa berdiaspora dan menyebar ke dunia Timur dalam rangka imperialisasi dan
kolonialisasi. Secara tidak langsung, ekspansi Eropa ini telah memberikan andil
terhadap kebangkitan Islam, yaitu membidani lahirnya sederetan tokoh-tokoh
pembaharu Islam. Fokus pergerakan mereka tidak hanya menumpaskan penjajahan,
tetapi juga mendirikan kerangka atau konsep dasar tentang negara yang dilandasi
oleh agama.
Rasulullah saw bersabda:
"Dahulu bani Israil dipimpin dan dipelihara urusannya oleh para nabi.
Setiap kali seorang nabi meninggal, digantikan oleh nabi yang lain.
Sesungguhnya tidak akan ada nabi sesudahku. (Tetapi) nanti akan ada para
Khulafaa dan jumlahnya akan banyak sekali". (HR Bukhari dan Muslim).
Menurut pengertian bahasa Arab, khulafaa
berarti pengganti. Berdasarkan penegasan Rasulullah bahwa tidak ada nabi lagi
sesudah beliau, maka pengganti di sini berfungsi menggantikan kedudukan beliau
sebagai Ketua Negara. Hal ini diperkuat oleh keputusan Abu Bakar yang
menyandang gelaran Khalifatur-Rasulillah (pengganti Rasulullah sebagai Ketua
Negara). Mahmud Abdul Majid al-Khalidi menjelaskan pengertian Khalifah sebagai
berikut: "Khalifah adalah kepemimpinan umum bagi kaum muslimin secara
keseluruhan di dunia untuk mendirikan/melaksanakan undang-undang Islam dan
mengembangkan dakwah Islam ke seluruh pelusuk dunia".
Dalam masalah yang sama, Ibnu Khaldun
menyatakan: "Hakikat Khalifah adalah Shahibus-Syari’ (iaitu seseorang yang
bertugas memelihara dan melaksanakan syariat) dalam memelihara urusan agama dan
mengelola dunia". Tentang bentuk negara Khilafah ini, Rasulullah saw telah
menegaskannya dalam Hadis riwayat al-Bazzar: "...kemudian akan muncul
(kembali) Khilafah yang mengikuti jejak kenabian..."
Berdasarkan penjelasan
di atas, Islam mengenal bentuk negara Khilafah Islamiyyah, baik secara normatif
mahupun praktikal sebagaimana yang tercatat dalam lembaran sejarah sejak masa
Nabi sampai runtuhnya Khilafah Islamiyyah yang berpusat di Turki pada tahun
1924.
Dengan demikian, tampaknya khilafah yang di maksudkan adalah bentuk
kepemimpinan dari suatu pemerintahan islam sebagai suatu kekuatan sosiorelegi politik umat dalam mencapai dua kepantingan
hidupnya, yaitu kehidupan dunia dan akhirat.
Jika telah diakui bahwa lembaga imamah itu
adalah wajib menurut ijmak (konsesus umum), maka harus pula ditambahkan di
sini, bahwa keperluan lembaga itu adalah satu fardl al-kifayah, dan mengenai
itu terserah kepada ikhtiar dari pemuka-pemuka Islam yang kompeten (Ar. Ahl
al-‘aqd wa al-hill). Adalah kewajiban mereka untuk beerbuat agar imamah itu
berdiri, dan setiap orang wajib taat kepada Imam sesuai dengan perintah
Al-Qur’an: “Taatlah pada Allah dan taatlah pada Rasul dan pada mereka yang dikuasakan
di antara kamu!” (Al-Qur’an IV:59).
Lembaga Imamah itu mempunyai empat syarat, yaitu:
a. Ilmu pengetahuan (Ar. Al-‘ilm), Imam hanya dapat melaksanakan hukum-hukum
Allah itu jika ia mengetahui tentangnya.
b. Keadilan (Ar. Al-‘adalah), hal ini perlu karena Imamah adalah satu lembaga
keagamaan yang mengawasi segala lembaga – lembaga lainnya yang pula memerlukan
keadilan.
c. Kesanggupan (Ar. Al-kifayah), berarti bahwa Imam bersedia melaksanakan
hukuman-hukuman yang ditetapkan oleh
undang – undang dan sedia pergi berperang.
d. Kebebasan pancaindera
dari sesuatu cacat yang dapat memberi bekas pada pengeluaran pendapat dan
pekerjaan (Ar. As-salamah). [2][12]
Ibnu Khaldun mengutarakan peran penting
agama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Menurutnya,
apabila kekuatan agama berdampingan
dengan solidaritas kelompok (‘ashabiyah), secara dialektis akan memberikan
kontribusi besar dalam mewujudkan integritas kekuasaan politik.
Sebaliknya, apabila agama dan ‘ashabiyah
dipertentangkan akan mempercepat munculnya disentegrasi suatu negara. Dari
berbagai peranan tersebut, setidaknya ada empat peran agama yang besar andilnya
dalam kehidupan bernegara sepanjang sejarah.
- Agama merupakan pedoman dan petunjuk agar
senantiasa berada dalam bimbingan moral, hukum, dan etika.
- Agama sebagai pemersatu.
- Agama sebagai pendorong keberhasilan.
- Agama sebagai legitimasi sistem politik.
Adapun yang dapat diambil dari pemikiran –
pemikiran Ibnu Khaldun adalah dalam mempraktikkan keempat peran agama dalam
bernegara tersebut diperlukan keseimbangan. Kenyataan sejarah membuktikan
adanya pasang surutnya politik Islam juga karena keempat faktor tersebut tidak
diposisikan pada rel sebenarnya. Termasuk fanatisme doktrin agama yang
berakibat pada agama hanya sekadar legitimasi politik belaka.
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Dari pembahasan konsep dasar negara yang
islami dalam makalah ini dapat disimpulkan sebagai berikut: Dalam konsepsi
Islam, menurut kebanyakan ahli politik Islam modern, tidak ditemukan rumusan
yang pasti (qathi’) tentang konsep
negara. Dua sumber Islam, Al-Qur’an dan Al-Sunnah, tidak secara tersurat
mendefinisikan model negara dalam Islam. Meskipun demikian, Islam mengajarkan
banyak nilai dan etika bagaimana seharusnya negara itu dibangun dan dibesarkan.
Hubungan agama dan negara di Indonesia
lebih menganut pada asas keseimbangan yang dinamis, jalan tengah antara
sekularisme dan teokrasi. Keseimbangan dinamis adalah tidak ada pemisahan agama
dan politik, namun masing-masing dapat saling mengisi dengan segala peranannya.
Agama tetap memiliki daya kritis terhadap negara dan negara punya
kewajiban-kewajiban terhadap agama. Dengan kata lain, pola hubungan agama dan
negara di Indonesia menganut apa yang sering disebut oleh banyak kalangan
sebagai hubungan mutualisme-simbiotik.
B.
SARAN
Demikian makalah yang kami sampaikan
tentang “Konsep Dasar Negara yang Islami”. Kami menyarankan kepada pembaca
untuk selalu menerapkan pemerintahan yang berkonsep dasar islami. Semoga dapat
menjadi bahan diskusi bersama untuk memperoleh kefahaman dalam mata kulia
Pendidikan Kewarganegaraan. Kami sadar bahwa penyajian makalah ini jauh dari
kesempurnaan. Semoga makalah ini juga dapat bermanfaat bagi kita semua.
DAFTAR PUSTAKA
Azra, Azyumardi. 2000. Demokrasi, Hak
Asasi Manusia dan Masyarakat Madani. Jakarta: Prenada Media.
Hidayah, Komarudin & Azyumardi Azra.
2006. Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani. Jakarta: ICCE
UIN Syarif Hidayatullah.
Kikidengok. Pengertian Dasar Negara Indonesia.
http: //www.wordpress.com/ 2009//
Raliby, Osman. Ibnu Khaldun tentang
Masyarakat Negara. 1962.
Jakarta: Bulan Bintang.
Syafiie, Inu Kencana & Andi Azikin.
2007. Perbandingan Pemerintahan. Bandung: Refika Aditama.
Syafiuddin. 2007. Negara Islam menurut Konsep Ibnu Khaldun. Yogyakarta:
Gama Media.
No comments:
Post a Comment