1

loading...

Wednesday, October 24, 2018

MAKALAH GRASI

MAKALAH GRASI




                                                    BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sejak dahulu, grasi telah dikenal, dipraktekkan para kaisar atau raja pada pemerintahan monarki absolut, zaman Yunani dan Romawi serta pada abad pertengahan di Eropa dan Asia. Kaisar atau Raja diangggap sebagai sumber dari segala kekuasaan termasuk di dalam kekuasaan bidang peradilan. Pemberian grasi oleh kepala negara atau raja masih dipraktekkan di banyak negara.
Grasi merupakan hak yang dimiliki kepala negara di bidang yudikatif. Grasi adalah hak untuk memberikan pengurangan hukuman, pengampunan, atau bahkan pembebasan hukuman sama sekali.
Grasi diatur berdasarkan Pasal 14 ayat 1 Undang-Undang Dasar NKRI 1945 yang berbunyi “Presiden memberi grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung”. Turunan dari Pasal 14 UUD tersebut adalah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2010 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 22 tahun 2002 tentang Grasi. Dalam UU Nomor 22 Tahun 2002 juncto UU Nomor 5 Tahun 2010.
Pemberian grasi pada zaman dahulu merupakan insiatif dari kaisar atau raja. saat ini grasi merupakan inisiatif dari pihak terhukum sendiri yaitu dengan cara mengajukan permohonan kepada Kepala Negara. Hal yang bisa dikatakan memiliki persamaan antara era masa dahulu dan saat ini adalah sifat pemberiannya yang dianggap hadiah atau anugerah.
Presiden dalam mengeluarkan grasi dapat dikatakan mempunyai peran sentral, meski ada pertimbangan hukum yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung. Adanya peran yang bisa dikatakan berperan sentral tersebut, dalam beberapa kasus timbul kecenderungan bahwa pemberian grasi membuat efek jera yang dihasilkan akan berkurang sehingga dapat dikatakan pemberian grasi kurang efektif.
Salah satu contoh, pemberian  grasi terhadap Antasari Azhar oleh Presiden Joko Widodo. Keputusan Presiden (Keppres) terkait permohonan grasi tersebut telah ditandatangani Presiden dan dikirimkan ke Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan pada 23 Januari 2017.




BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Grasi
Grasi dapat dimaknai sebagai tindakan meniadakan hukuman yang telah diputuskan oleh hakim. Dengan kata lain, grasi merupakan pengampunan berupa perubahan, peringanan, pengurangan, atau penghapusan pelaksanaan pidana kepada terpidana yang diberikan oleh Presiden. Merujuk kembali pada Pasal 14 ayat 1 Undang-Undang Dasar NKRI 1945 disebutkan “Presiden memberi grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung”. Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 Undang-Undang tentang Grasi disebutkan, grasi diberikan setelah mendapat pertimbangan dari Mahkamah Agung. Pemberian grasi oleh Presiden dapat berupa: peringanan atau perubahan jenis pidana; pengurangan jumlah pidana; atau penghapusan pelaksanaan pidana. Dengan pemaparan tersebut untuk sementara dapat dikatakan pemberian grasi dapat dikabulkan atau ditolak oleh presiden.

B. Ruang Lingkup Grasi dan Prasyarat
Di dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 disebutkan pula adanya ruang lingkup grasi. Pemaparan hal tersebut dapat dilihat dari pasal-pasal dari undang-undang tersebut. Ruang lingkup dimaksud disebutkan, terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, terpidana dapat mengajukan permohonan grasi kepada Presiden. Putusan pemidanaan yang dapat dimohonkan grasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pidana mati, penjara seumur hidup, penjara paling rendah 2 (dua) tahun; Permohonan grasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat diajukan 1 (satu) kali, kecuali dalam hal:
a.  terpidana yang pernah ditolak permohonan grasinya dan telah lewat waktu 2 (dua) tahun sejak tanggal penolakan permohonan grasi tersebut; atau
b. terpidana yang pernah diberi grasi dari pidana mati menjadi pidana penjara seumur hidup dan telah lewat waktu 2 (dua) tahun sejak tanggal keputusan pemberian grasi diterima.
Prosedur penerimaan permohonan grasi dan prasyaratnya terdapat dalam pemaparan pasal-pasal dalam undang-undang dimaksud. Disebutkan bahwa terhadap putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, dapat diajukan permohonan grasi kepada presiden secara tertulis oleh:
1. Terpidana dan atau kuasa hukumnya.
2. Keluarga terpidana dengan persetujuan terpidana.
3. Keluarga terpidana tanpa persetujuan terpidana, dalam hal pidana yang dijatuhkan adalah pidana mati.
Di dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 2002 disebutkan bahwa pula putusan pemidanaan yang dapat dimohonkan grasi adalah: Pidana mati, pidana seumur hidup dan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun; Permohonan grasi tidak dibatasi oleh tenggang waktu. Permohonan grasi diajukan kepada presiden melalui ketua pengadilan yang memutus perkara pada tingkat pertama dan atau terakhir untuk diteruskan kepada Mahkamah Agung.

C.    Dasar hukum pemberian grasi dan pertimbangan Mahkamah Agung.
Sebelum penerapan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002, pemberian grasi didasarkan pada Undang-undang Nomor 3 Tahun 1950 tentang Permohonan Grasi. Akan tetapi, penerapan terbaru dapat dilihat pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi.
Aturan umum mengenai grasi sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 1 UU Nomor 22 Tahun 2002 yaitu, grasi adalah pengampunan berupa perubahan, peringanan, pengurangan, atau penghapusan pelaksanaan pidana kepada terpidana yang diberikan oleh Presiden. Jika melihat pengertian grasi, maka dapat diketahui bahwa bentuk pemberian grasi dari Presiden dapat berupa:
a.      peringanan atau perubahan jenis pidana;
b.      pengurangan jumlah pidana; atau
c.      penghapusan pelaksanaan pidana.
Terpidana hanya dapat mengajukan permohonan grasi 1 (satu) kali terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap yang berupa: 1). pidana mati, 2). pidana seumur hidup, atau 3). pidana penjara paling rendah 2 tahun. Jangka waktu untuk mengajukan permohonan grasi adalah 1 (satu) tahun sejak memperoleh kekuatan hukum tetap.
Di dalam dasar pengajuan grasi terdapat istilah “putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap” diartikan sebagai: 1.) putusan pengadilan tingkat pertama yang tidak diajukan banding atau kasasi dalam waktu yang ditentukan oleh Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana; 2). putusan pengadilan tingkat banding yang tidak diajukan kasasi dalam waktu yang ditentukan oleh Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana; atau 3). putusan kasasi.
Salinan permohonan grasi, yang diajukan kepada Presiden, disampaikan juga kepada pengadilan yang memutus pada tingkat pertama untuk diteruskan kepada Mahkamah Agung. Presiden memberikan keputusan berupa pemberian atau penolakan grasi melalui Keputusan Presiden terhadap permohonan grasi, setelah memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung.
Dengan pemaparan tersebut, dapatlah dikatakan bahwa grasi diajukan kepada presiden dan kemudian presiden meminta pertimbangan Mahkamah Agung. Dari hal-hal tersebut, presiden dapat mengabulkan atau menolak permohonan grasi. Tentu saja, pertimbangan hukum yang dikeluarkan Mahkamah Agung adalah pertimbangan yang bersifat yuridis. Setelah itu, keputusan yang dikeluarkan presiden menjadi hak penuh yang dimiliki presiden.
Presiden pun untuk memastikan pemberian grasi tersebut tepat maka meminta pertimbangan hukum dari Mahkamah Agung. Pertimbangan hukum yang dibuat Mahkamah Agung adalah pertimbangan yuridis. Wewenang Mahkamah Agung memberikan pertimbangan dalam permohonan grasi sebenarnya amanat konstitusi. Pasal 14 ayat (1) UUD 1945 merumuskan “Presiden memberi grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung”. Dalam penjelasan rumusan Pasal 14 UUD 1945 sebelum amandemen, wewenang itu dijalankan presiden selaku kepala negara. Sehingga pemberian grasi dianggap sebagai hak prerogatif presiden yang tak bisa diganggu gugat.
Rumusan senada terdapat pada Pasal 35 UU Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. Disebutkan ‘Mahkamah Agung memberikan nasihat hukum kepada presiden selaku kepala negara dalam rangka pemberian atau penolakan grasi. Rumusan ini kemudian disesuaikan dengan amandemen UUD 1945, sehingga dalam perubahan UU Mahkamah Agung 2004, rumusan Pasal 35 menjadi “Mahkamah Agung memberikan pertimbangan hukum kepada presiden dalam permohonan grasi dan rehabilitasi”.
Henry P. Panggabean (2001) dalam bukunya Fungsi Mahkamah Agung dalam Praktik Sehari-Hari menyebutkan bahwa pemberian nasihat hukum atau pertimbangan hukum (Advieserende functie) sebagai fungsi penasihat bagi Mahkamah Agung. Advieserende functie ini juga dapat berupa pemberian nasihat hukum kepada lembaga-lembaga negara tertentu. Menurut Henry, proses penanganan grasi di Mahkamah Agung menganut dua prinsip yaitu pemberian grasi yang berorientasi pada keadilan, dan perlunya mempertimbangkan perubahan situasi. Dalam praktik sehari-hari, permohonan grasi sangat sulit dikabulkan karena Mahkamah Agung terikat pada kedua prinsip tersebut.[1]
Jimly Asshiddiqie (2009) dalam bukunya Komentar atas Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan pertimbangan Mahkamah Agung dimaksudkan agar presiden mendapatkan masukan dari lembaga yang tepat sesuai fungsinya. Sebagai lembaga peradilan tertinggi, Mahkamah Agung ‘adalah lembaga negara paling tepat memberikan pertimbangan kepada presiden mengenai hal itu’ (grasi). Pertimbangan itu juga dimaksudkan agar terjalin saling mengawasi antar lembaga negara.
D. Contoh pemberian grasi oleh presiden
Pakar hukum tata negara Irman Putra Sidin menilai pemberian grasi terhadap Antasari Azhar oleh Presiden Joko Widodo dinilai sesuai ketentuan.
Ia menjelaskan pada prinsipnya Presiden memiliki wewenang memberikan grasi. Wewenang tersebut bersumber dari UUD 1945 Pasal 14 ayat (1) dengan ketentuan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung (MA).
Kemudian, selaku pemohon grasi, Antasari pada dasarnya juga telah memenuhi ketentuan UU No.5 Tahun 2010 tentang perubahan UU No.22 tahun 2002 tentang grasi.
Pertimbangan itu penting mengingat seluruh fakta sidang serta apa yang telah terungkap selama persidangan hingga putusan perkara pemohon grasi pasti diketahui oleh MA.
Pasalnya, MA merupakan lembaga yang menaungi pembina peradilan umum di bawahnya yang memproses perkara hukum pemohon grasi Antasari.
Konsekuensi dari dikabulkannya grasi tersebut tentu yang paling sementara adalah adanya pengurangan hukuman terhadap lama masa hukuman yang harus dijalani.
Grasi, tambah dia, pada dasarnya merupakan bentuk perwujudan kebijaksanaan negara melalui Presiden terhadap warga negara yang melakukan perbuatan pidana, yang tentu diberikan atas pertimbangan pertimbangan hukum, moral dan etika.[2]

E. Pengertian Rehabilitasi
Rehabilitasi adalah suatu tindakan Presiden dalam rangka mengembalikan hak seseorang yang telah hilang karena suatu keputusan hakim yang ternyata dalam waktu berikutnya terbukti bahwa kesalahan yang telah dilakukan seorang tersangka tidak seberapa dibandingkan dengan perkiraan semula atau bahkan ia ternyata tidak bersalah sama sekali.[3]













BAB III
PENUTUP

  1. Kesimpulan
Dari pemaparan tersebut di atas, dapatlah ditarik dua kesimpulan berdasarkan dua pokok permasalahan yang telah diuraikan dalam rumusan masalah dalam penulisan ini.
1.     Aturan umum mengenai grasi sebagaimana diatur dalam amandemen keempat UUD 1945 dan UU Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi. Pemberian grasi dengan meminta pertimbangan Mahkamah Agung yang berfungsi sebagai advieserende functie. Dalam prakteknya advieserende functie dimaksudkan agar terjalin saling mengawasi antar lembaga negara sehingga proses pemberian grasi sangat selektif.
2.     Tidak ditemukan adanya aturan secara spesifik dalam UU Nomor 22 Tahun 2002 maupun perubahannya tentang pencabutan grasi. Namun, di dalam teori hukum administrasi negara berlaku asas Contrarius Actus, yaitu pencabutan suatu keputusan harus dilakukan dengan keputusan setingkat. Asas ini berlaku apabila di kemudian hari ternyata ada kekeliruan atau kehilafan maka keputusan ini akan ditinjau kembali.









[1] Henry P. Panggabean. Fungsi Mahkamah Agung dalam Praktik Sehari-Hari. Pustaka Sinar Harapan. 2001.
[2] http://www.tribunnews.com/nasional/2017/01/26/pakar-hukum-ini-nilai-pemberian-grasi-terhadap-antasari-oleh-presiden-joko-widodo-sesuai-ketentuan
[3] Jan Remmelink. Hukum Pidana. (Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama). 2003. Hlm 593

No comments:

Post a Comment