MAKALAH GRASI
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sejak
dahulu, grasi telah dikenal, dipraktekkan para kaisar atau raja pada
pemerintahan monarki absolut, zaman Yunani dan Romawi serta pada abad
pertengahan di Eropa dan Asia. Kaisar atau Raja diangggap sebagai sumber dari
segala kekuasaan termasuk di dalam kekuasaan bidang peradilan. Pemberian grasi
oleh kepala negara atau raja masih dipraktekkan di banyak negara.
Grasi
merupakan hak yang dimiliki kepala negara di bidang yudikatif. Grasi adalah hak
untuk memberikan pengurangan hukuman, pengampunan, atau bahkan pembebasan
hukuman sama sekali.
Grasi
diatur berdasarkan Pasal 14 ayat 1 Undang-Undang Dasar NKRI 1945 yang berbunyi
“Presiden memberi grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan
Mahkamah Agung”. Turunan dari Pasal 14 UUD tersebut adalah Undang-Undang Nomor
5 Tahun 2010 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 22 tahun 2002 tentang
Grasi. Dalam UU Nomor 22 Tahun 2002 juncto UU Nomor 5 Tahun 2010.
Pemberian
grasi pada zaman dahulu merupakan insiatif dari kaisar atau raja. saat ini
grasi merupakan inisiatif dari pihak terhukum sendiri yaitu dengan cara
mengajukan permohonan kepada Kepala Negara. Hal yang bisa dikatakan memiliki
persamaan antara era masa dahulu dan saat ini adalah sifat pemberiannya yang
dianggap hadiah atau anugerah.
Presiden
dalam mengeluarkan grasi dapat dikatakan mempunyai peran sentral, meski ada
pertimbangan hukum yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung. Adanya peran yang bisa
dikatakan berperan sentral tersebut, dalam beberapa kasus timbul kecenderungan
bahwa pemberian grasi membuat efek jera yang dihasilkan akan berkurang sehingga
dapat dikatakan pemberian grasi kurang efektif.
Salah
satu contoh, pemberian grasi terhadap
Antasari Azhar oleh Presiden Joko Widodo. Keputusan Presiden (Keppres) terkait
permohonan grasi tersebut telah ditandatangani Presiden dan dikirimkan ke
Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan pada 23 Januari 2017.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Grasi
Grasi
dapat dimaknai sebagai tindakan meniadakan hukuman yang telah diputuskan oleh
hakim. Dengan kata lain, grasi merupakan pengampunan berupa perubahan,
peringanan, pengurangan, atau penghapusan pelaksanaan pidana kepada terpidana
yang diberikan oleh Presiden. Merujuk kembali pada Pasal 14 ayat 1
Undang-Undang Dasar NKRI 1945 disebutkan “Presiden memberi grasi dan
rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung”. Sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 Undang-Undang tentang Grasi disebutkan, grasi diberikan
setelah mendapat pertimbangan dari Mahkamah Agung. Pemberian grasi oleh
Presiden dapat berupa: peringanan atau perubahan jenis pidana; pengurangan
jumlah pidana; atau penghapusan pelaksanaan pidana. Dengan pemaparan tersebut
untuk sementara dapat dikatakan pemberian grasi dapat dikabulkan atau ditolak
oleh presiden.
B. Ruang Lingkup Grasi dan
Prasyarat
Di
dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 disebutkan pula adanya ruang lingkup
grasi. Pemaparan hal tersebut dapat dilihat dari pasal-pasal dari undang-undang
tersebut. Ruang lingkup dimaksud disebutkan, terhadap putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap, terpidana dapat mengajukan permohonan grasi
kepada Presiden. Putusan pemidanaan yang dapat dimohonkan grasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) adalah pidana mati, penjara seumur hidup, penjara paling
rendah 2 (dua) tahun; Permohonan grasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya
dapat diajukan 1 (satu) kali, kecuali dalam hal:
a. terpidana yang pernah ditolak permohonan
grasinya dan telah lewat waktu 2 (dua) tahun sejak tanggal penolakan permohonan
grasi tersebut; atau
b.
terpidana yang pernah diberi grasi dari pidana mati menjadi pidana penjara
seumur hidup dan telah lewat waktu 2 (dua) tahun sejak tanggal keputusan
pemberian grasi diterima.
Prosedur
penerimaan permohonan grasi dan prasyaratnya terdapat dalam pemaparan
pasal-pasal dalam undang-undang dimaksud. Disebutkan bahwa terhadap putusan
pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, dapat diajukan permohonan
grasi kepada presiden secara tertulis oleh:
1.
Terpidana dan atau kuasa hukumnya.
2.
Keluarga terpidana dengan persetujuan terpidana.
3.
Keluarga terpidana tanpa persetujuan terpidana, dalam hal pidana yang
dijatuhkan adalah pidana mati.
Di
dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 2002 disebutkan bahwa pula putusan
pemidanaan yang dapat dimohonkan grasi adalah: Pidana mati, pidana seumur hidup
dan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun; Permohonan grasi tidak
dibatasi oleh tenggang waktu. Permohonan grasi diajukan kepada presiden melalui
ketua pengadilan yang memutus perkara pada tingkat pertama dan atau terakhir
untuk diteruskan kepada Mahkamah Agung.
C. Dasar hukum pemberian grasi dan
pertimbangan Mahkamah Agung.
Sebelum
penerapan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002, pemberian grasi didasarkan pada
Undang-undang Nomor 3 Tahun 1950 tentang Permohonan Grasi. Akan tetapi,
penerapan terbaru dapat dilihat pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2010 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi.
Aturan
umum mengenai grasi sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 1 UU Nomor 22 Tahun
2002 yaitu, grasi adalah pengampunan berupa perubahan, peringanan, pengurangan,
atau penghapusan pelaksanaan pidana kepada terpidana yang diberikan oleh
Presiden. Jika melihat pengertian grasi, maka dapat diketahui bahwa bentuk
pemberian grasi dari Presiden dapat berupa:
a. peringanan atau perubahan jenis pidana;
b. pengurangan jumlah pidana; atau
c. penghapusan pelaksanaan pidana.
Terpidana
hanya dapat mengajukan permohonan grasi 1 (satu) kali terhadap putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap yang berupa: 1). pidana
mati, 2). pidana seumur hidup, atau 3). pidana penjara paling rendah 2 tahun.
Jangka waktu untuk mengajukan permohonan grasi adalah 1 (satu) tahun sejak memperoleh
kekuatan hukum tetap.
Di
dalam dasar pengajuan grasi terdapat istilah “putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap” diartikan sebagai: 1.) putusan pengadilan
tingkat pertama yang tidak diajukan banding atau kasasi dalam waktu yang
ditentukan oleh Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana; 2). putusan
pengadilan tingkat banding yang tidak diajukan kasasi dalam waktu yang
ditentukan oleh Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana; atau 3). putusan
kasasi.
Salinan
permohonan grasi, yang diajukan kepada Presiden, disampaikan juga kepada
pengadilan yang memutus pada tingkat pertama untuk diteruskan kepada Mahkamah
Agung. Presiden memberikan keputusan berupa pemberian atau penolakan grasi
melalui Keputusan Presiden terhadap permohonan grasi, setelah memperhatikan
pertimbangan Mahkamah Agung.
Dengan
pemaparan tersebut, dapatlah dikatakan bahwa grasi diajukan kepada presiden dan
kemudian presiden meminta pertimbangan Mahkamah Agung. Dari hal-hal tersebut,
presiden dapat mengabulkan atau menolak permohonan grasi. Tentu saja,
pertimbangan hukum yang dikeluarkan Mahkamah Agung adalah pertimbangan yang
bersifat yuridis. Setelah itu, keputusan yang dikeluarkan presiden menjadi hak
penuh yang dimiliki presiden.
Presiden
pun untuk memastikan pemberian grasi tersebut tepat maka meminta pertimbangan
hukum dari Mahkamah Agung. Pertimbangan hukum yang dibuat Mahkamah Agung adalah
pertimbangan yuridis. Wewenang Mahkamah Agung memberikan pertimbangan dalam
permohonan grasi sebenarnya amanat konstitusi. Pasal 14 ayat (1) UUD 1945
merumuskan “Presiden memberi grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan
pertimbangan Mahkamah Agung”. Dalam penjelasan rumusan Pasal 14 UUD 1945
sebelum amandemen, wewenang itu dijalankan presiden selaku kepala negara.
Sehingga pemberian grasi dianggap sebagai hak prerogatif presiden yang tak bisa
diganggu gugat.
Rumusan
senada terdapat pada Pasal 35 UU Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.
Disebutkan ‘Mahkamah Agung memberikan nasihat hukum kepada presiden selaku
kepala negara dalam rangka pemberian atau penolakan grasi. Rumusan ini kemudian
disesuaikan dengan amandemen UUD 1945, sehingga dalam perubahan UU Mahkamah
Agung 2004, rumusan Pasal 35 menjadi “Mahkamah Agung memberikan pertimbangan
hukum kepada presiden dalam permohonan grasi dan rehabilitasi”.
Henry
P. Panggabean (2001) dalam bukunya Fungsi Mahkamah Agung dalam Praktik
Sehari-Hari menyebutkan bahwa pemberian nasihat hukum atau pertimbangan hukum
(Advieserende functie) sebagai fungsi penasihat bagi Mahkamah Agung.
Advieserende functie ini juga dapat berupa pemberian nasihat hukum kepada
lembaga-lembaga negara tertentu. Menurut Henry, proses penanganan grasi di
Mahkamah Agung menganut dua prinsip yaitu pemberian grasi yang berorientasi
pada keadilan, dan perlunya mempertimbangkan perubahan situasi. Dalam praktik
sehari-hari, permohonan grasi sangat sulit dikabulkan karena Mahkamah Agung
terikat pada kedua prinsip tersebut.[1]
Jimly
Asshiddiqie (2009) dalam bukunya Komentar atas Undang-Undang Dasar 1945
menyatakan pertimbangan Mahkamah Agung dimaksudkan agar presiden mendapatkan
masukan dari lembaga yang tepat sesuai fungsinya. Sebagai lembaga peradilan
tertinggi, Mahkamah Agung ‘adalah lembaga negara paling tepat memberikan pertimbangan
kepada presiden mengenai hal itu’ (grasi). Pertimbangan itu juga dimaksudkan
agar terjalin saling mengawasi antar lembaga negara.
D. Contoh pemberian grasi
oleh presiden
Pakar
hukum tata negara Irman Putra Sidin menilai pemberian grasi terhadap Antasari
Azhar oleh Presiden Joko Widodo dinilai sesuai ketentuan.
Ia
menjelaskan pada prinsipnya Presiden memiliki wewenang memberikan grasi.
Wewenang tersebut bersumber dari UUD 1945 Pasal 14 ayat (1) dengan ketentuan
memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung (MA).
Kemudian,
selaku pemohon grasi, Antasari pada dasarnya juga telah memenuhi ketentuan UU
No.5 Tahun 2010 tentang perubahan UU No.22 tahun 2002 tentang grasi.
Pertimbangan
itu penting mengingat seluruh fakta sidang serta apa yang telah terungkap
selama persidangan hingga putusan perkara pemohon grasi pasti diketahui oleh
MA.
Pasalnya,
MA merupakan lembaga yang menaungi pembina peradilan umum di bawahnya yang
memproses perkara hukum pemohon grasi Antasari.
Konsekuensi
dari dikabulkannya grasi tersebut tentu yang paling sementara adalah adanya
pengurangan hukuman terhadap lama masa hukuman yang harus dijalani.
Grasi,
tambah dia, pada dasarnya merupakan bentuk perwujudan kebijaksanaan negara
melalui Presiden terhadap warga negara yang melakukan perbuatan pidana, yang
tentu diberikan atas pertimbangan pertimbangan hukum, moral dan etika.[2]
E. Pengertian Rehabilitasi
Rehabilitasi adalah suatu
tindakan Presiden dalam rangka mengembalikan hak seseorang yang telah hilang
karena suatu keputusan hakim yang ternyata dalam waktu berikutnya terbukti
bahwa kesalahan yang telah dilakukan seorang tersangka tidak seberapa
dibandingkan dengan perkiraan semula atau bahkan ia ternyata tidak bersalah
sama sekali.[3]
BAB
III
PENUTUP
- Kesimpulan
Dari
pemaparan tersebut di atas, dapatlah ditarik dua kesimpulan berdasarkan dua
pokok permasalahan yang telah diuraikan dalam rumusan masalah dalam penulisan
ini.
1. Aturan umum mengenai grasi sebagaimana
diatur dalam amandemen keempat UUD 1945 dan UU Nomor 22 Tahun 2002 tentang
Grasi. Pemberian grasi dengan meminta pertimbangan Mahkamah Agung yang
berfungsi sebagai advieserende functie. Dalam prakteknya advieserende functie
dimaksudkan agar terjalin saling mengawasi antar lembaga negara sehingga proses
pemberian grasi sangat selektif.
2. Tidak ditemukan adanya aturan secara
spesifik dalam UU Nomor 22 Tahun 2002 maupun perubahannya tentang pencabutan
grasi. Namun, di dalam teori hukum administrasi negara berlaku asas Contrarius
Actus, yaitu pencabutan suatu keputusan harus dilakukan dengan keputusan
setingkat. Asas ini berlaku apabila di kemudian hari ternyata ada kekeliruan
atau kehilafan maka keputusan ini akan ditinjau kembali.
[1] Henry P. Panggabean. Fungsi Mahkamah
Agung dalam Praktik Sehari-Hari. Pustaka Sinar Harapan. 2001.
[2] http://www.tribunnews.com/nasional/2017/01/26/pakar-hukum-ini-nilai-pemberian-grasi-terhadap-antasari-oleh-presiden-joko-widodo-sesuai-ketentuan
No comments:
Post a Comment