MAKALAH MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Salah
satu kebijakan strategis pendidikan nasional sesuai dengan amanat UU Nomor
Tahun 2003 tentang sistem pendidikan Nasional adalah manajemen berbasisi
sekolah (MBS). MBS Tersebut merupakan pendekatan manajemen yang harus
diterapkan oleh sekolah dasar sebagai bagian dari satuan pendidikan dasar
berdasarkan standar pelayanan minimal. Penerapan MBS di sekolah mendorong
sekolah harus secara aktif, mandiri, terbuka dan akuntabel melakukan berbagai
peningkatan mutu pendidikan sesuai dengan kebutuhan sekolah sendiri dengan
disertai pembuatan keputusan secara Partisifatif.
MBS
memberikan keluasaan bagi sekolah untuk menentukan arah dan kebijakan yang
relevan dengan situasi dan kondisi lingkungannya. MBS Juga memberikan peluang
yang sangat besar bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam pendidikan di
sekolah.
Penting
bagi guru, calon guru, maupun pemerhati pendidikan untuk benar-benar memahami
konsep MBS ini agar nantinya bisa menjalankan manajemen pendidikan di sekolah sesuai
dengan apa yang tertuang dalam konsep MBS. Untuk itu dalam makalah ini penulis
akan membahas materi mengenai MBS.
B.
Rumusan Masalah
a. Pengertian Manajemen berbasis sekolah.
b. Tujuan manajemen berbasis sekolah.
c. Prinsip-prinsip manajemen berbasis
sekolah.
d.
Strategi Pelaksanaan MBS
e. Proses Pelaksanaan Manajemen Berbasis
sekolah
f.
Faktor Pendukung Keberhasilan Manajemen Berbasis Sekolah.
g. Dampak Penerapan Manajemen Berbasis
Sekolah.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian MBS
Menurut
Nurkolis secara leksikal, manajemen berbasis sekolah bersal dari tiga kata ,
yaitu manajemen, berbasis dan sekolah. Berdasarkan makna leksikal
tersebut, MBS dapat diartikan sebagai
penggunaan sumber daya yang berasaskan pada sekolah itu sendiri dalam proses
pengajaran atau pembelajaran. Tidak menyimpang dari definisi tersebut bahwa
manajemen berbasis sekolah ialah suatu
otonomi yang diberikan kepada pendidikan dasar/menengah untuk meningkatkan
mutunya.
Kemudian
peraturan pemerintah Republik Indonesia Nomor 66 tahun 2010 tentang perubahan
atas peraturan pemerintah nomor 17 tahun 2010 tentang pengelolaan dan
penyelenggaraan pendidikan pasal 5BB ayat 2, menyebutkan bahwa manajemen
berbasis sekolah/madrasah menentukan secara mandiri untuk satuan pendidikan
yang dikelolahnya dalam bidang manajemen.
Pengertian
lain disampaikan oleh Syaiful Sagala bahwa model pembelajaran manajemen
berbasis sekolah ialah suatu ide dimana kekuasaan pengambilan keputusan yang
berkaitan dengan pendidikan diletakkan pada tempat yang paling dekat dengan
proses belajar mengajar , yaitu sekolah itu sendiri.
Manajemen
berbasis sekolah difahami sebagai proses manajemen yang berlandaskan atau
berporoskan “kebijakan” yang lahir dari dari pelaksanaan di tingkat satuan
sekolah dengan memperhatikan potensi lokal yang memungkinkan untuk dikembangkan
secara nasional. Jadi potensi lokal tidak hanya dikelolah untuk kepentingan
lokal dimana sekolah berada tetapi sejatinya bisa menjadi ikon penting
nasional. Inilah esensi sesungguhnya dari implementasi manajemen berbasis
sekolah. Jika masyarakat disatuan
sekolah saja, maka kondisi tersebut tidak akan membawa dampak signifikan bagi
penguatan benteng nasional menghadapi gerakan globalisasi. Keadaan itu
mengindikasikan kegagalan manajemen berbasis sekolah, meskipun pada willayah
mikro mungkin berhasil dan unggul.[1]
B.
Tujuan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)
1. Tujuan Umum
MBS
bertujuan meningkatkan kemandirian sekolah melalui pemberian kewenangan yang
lebih besar dalam mengelolah sumber daya sekolah, dan mendorong kesuksesan
semua kelompok kepentingan yang terkait dengan sekolah dalam pengambilan
keputusan untuk peningkatan mutu sekolah.
2. Tujuan Khusus
a. Membina dan mengembangkan komponen
manajemen kurikulum dan pembelajaran melalui empat proses manajemen sekolah
yang lebih efektif.
b. Memmbina dan mengembangkan komponen
manajemen peserta didik melalui empat proses manajemen sekolah yang lebih
efektif.
c. Membina dan mengembangkan kompenen
pendidik dan tenaga kependidikan melalui empat proses manajemen yang lebih
efektif.
d. Membawa dan mengembangkan komponen
manajemen sarana dan prasarana melalui empat proses manajemen sekolah yang
lebih efektif.
e. Membina dan mengembangkan komponen
pembiayaan melalui empat proses manajemen sekolah yang lebih efektif.
f. Membina dan mengembangkan komponen
hubungan sekolah dan masyarakat melalui empat proses manajemen sekolah yang
lebih efektif.
g. Membina dan mengembangkan komponen
budaya sekolah.[2]
C.
Prinsip Manajemen Berbasis Sekolah
Undang-undang nomor 20
tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional pada pasal 48 ayat (1) dinyatakan
bahwa, “pengelolaan dana pendidikan
berdasarkan prinsip keadilan , efisiensi, transparansi, dan akuntabilitas
publik.” Sejalan dengan amanat tersebut, peraturan pemerintah nomor 19 tahun
2005 tentang standar nasional pendidikan pasal 49 ayat (1) menyatakan:
“pengelolaan satuan pendidikan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah
menerapkan manajemen berbasisi sekolah
yang ditunjukkan dengan kemandirian, kemitraan, partisipasi,
keterbukaan, dan akuntabilitas. Berdasarkan isi kenijakan tersebut, prinsip MBS
meliputi:
1. Kemandirian
Kemandirian
bearti kewenangan sekolah untuk mengelolah sumber daya dan mengatur kepentingan
warga sekolah menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi seluruh warga
sekolah sesuai peraturan perundangan. Kemandirian sekolah hendaknya didukung
oleh kemampuan sekolah dalam mengambil keputusan terbaik, berdemokrasi,
mobilasi sumber daya, berkomonikasi yang efektif, memecahkan masalah, adaptif
dan antisipatif terhadap inovasi pendidikan, bersinergi dan berkolaborasi, dan
memenuhi kebutuhan sekolah sendiri.
2. Keadilan
Keadilan
berarti sekolah tidak memihak terhadap salah satu sumber daya manusia yang
terlibat dalam pengelolaan sumber daya sekolah, dan dalam pembagian sumberdaya
untuk kepentingan peningkatan mutu sekolah.
Pembagian sumber daya untuk pengelolaan semua subtansi manajemen sekolah
dilakukan secara bijaksana untuk mempercepat dan keberlajutan upaya peningkatan
mutu sekolah. Dengan diperlakukan secara adil, semua pemangku kepentingan untuk
memberikan dukungan terhadap sekolah seoptimal mungkin.
3. Kemitraan
Kemitraan
yaitu jalainan kerja sama antara sekolah dengan masyrakat , baik individu,
kelompok/organisassi maupun dunia usaha dan dunia industri. Dalam prinsip
kemitraan antara sekolah dan masyarakat dalam posisi sejajar, yang melaksanakan
kerja sama saling menguntungkan untuk meningkatkan kualitas pendidikan
disekolah.
4. Keterbukaan
Manajemen
dalam konteks MBS dilakukan secara terbuka atau transparan, sehingga seluruh
warga sekolah dan pemangku kepentingan dapat mengetahui mekanisme pengelolaan
sumberdaya sekolah. Keterbukaan dapat dilakukan dengan melalui penyebarluasan
inforamasi sekolah disekolah dan pemberian informasi kepada masyarakat tentang
pengelolaan sumberdaya sekolah, untuk memperoleh kepercayaan publik terhadap
sekolah. Tumbuhya kepercayaan publik merupakan langkah awal upaya sekolah dalam
meningkatkan peran serta masyarakat terhadap sekolah.
5. Partisipatif
Partisifatif
dimaksudkan sebagai keikutsertaan semua pemangku kepentingan yang terkait
dengan sekolah dalam mengelolah sekolah dan pembuatan keputusan. Bentuk
partisifatif dapat berupa sumbangan tenaga, dana, dan sarana prasarana, serta
bantuan teknis antara lain gagasan tentan pengembangan sekolah.
6. Efesiensi
Efesiensi
dapat diartikan sebagai penggunaan sumberdaya (dana, sarana prasarana dan
tenaga) sedikit mungkin dengan harapan memperoleh hasil seoptimal mungkin.
Efesiensi juga berarti hemat terhadap pemakaian sumber daya namun tetap dapat
menccapai sasaran peningkatan mutu
sekolah.
7. Akuntabilitas
Akuntabilitas
menekankan pada pertanggungjawaban penyelenggaraan pendidikan disekolah,
utamanya pencapaian sasaran peningkatan mutu sekolah. Sekolah dalam mengelolah
sumber daya berdasar pada peraturan perundangan dan dapat mempertanggung
jawabkan kepada pemerintah, seluruh warga sekolah dan pemangku kepentingan
lainnya. Pertanggung jawaban meliputi implementasi proses dan komponen
manajemen sekolah. Sejalan dengan adanya pemberian otonomi yang lebih besar
terhadap sekolah untuk mengambil keputusan, maka implementasi ketujuh prinsip
MBS disekolah pada dasarnya menyesuaikan dengan situasi dan kondisi sekolah.
Sekolah diperbolehkan menambah prinsip implementasi MBS yang sesuai dengan
karakteristik sekolah, guna mempercepat upaya peningkatan mutu sekolah baik
secara akademis mauun non akademis.
D. Strategi Pelaksanaan MBS
Dalam mengimplementasikan desentralisasi pendidikan
ini diperlukan strategi-strategi tertentu, diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Membuat Kurikulum yang Pro Kepada Siswa
Kurikulum
layaknya sebuah momok besar bagi siswa-siswi dinegeri ini, hal ini karena
mereka tidak merasakan kesesuaian dengan kurikulum yang ada saat ini. Walaupun
kurikum seringkali berubah (diganti) akan tetapi rasanya masih selalu kurang
sesuai. Sudah seharusnya pihak yang berwenang merubah kurikulum yang
disesuaikan dengan minat dan bakat para peserta didik.
2. Menciptakan Proses Belajar Mengajar yang Menyenangkan
Untuk
sebagian peserta didik, sekolah merupakan tempat yang tidak menyenangkan. Untuk
mengantisipasi hal tersebut diharapkan sekolah bisa menciptakan proses belajar
mengajar disekolah yang menyenangkan. Disinilah peran penting para pendidik
yang seharusnya bisa memahami karakteristik para peserta didiknya sehingga
suasana dikelas menjadi lebih nyaman.
3. Meningkatkan Mutu Para Pendidik.
Program
Manajemen Berbasis Sekolah akan berjalan baik dengan peran aktif dari para
pendidik yang bermutu. Para pendidik yang bermutu diharapkan bisa bisa memanage sumber
daya yang tersedia disekolahnya seoptimal mungkin. Upaya yang umumnya dilakukan
pemerintah (Depdikbud) untuk meningkatkan mutu para pendidik adalah dengan
mengadakan program pelatihan.
4. Dukungan Tenaga Kependidikan di Sekolah.
Stakeholder
didalam sekolah lainnya yang memiliki peran penting dalam desentralisasi
pendidikan adalah tenaga kependidikan di Sekolah. Tenaga kependidikan yang
dimaksud adalah anggota masyarakat (selain tenaga pendidik) yang mengabdikan
dirinya untuk pendidikan disekolah. Dukungan tenaga kependidkan disekolah
sangat penting guna menciptakan kemandirian disekolah.
5. Keaktifan Peserta Didik.
Keaktifan
peserta didik disekolah sangat diperlukan guna menciptakan School-Based
Management yang baik. Meskipun peserta didik bukan pengambil kebijakan
disekolah, tapi peserta didik bisa memberikan saran dan masukan agar tercipta
kemandirian disekolah sehingga sekolah bisa mengalokasikan sumber daya yang
tersedia secara optimal.
6. Peran Aktif Orang Tua Peserta Didik.
Orang tua
siswa memiliki peran penting didalam penyelenggaraan program Manajemen Berbasis
Sekolah ini. Orang tua peserta didik juga diharapkan turut mengawasi perilaku
anak-anaknya dan tidak sepenuhnya membebankan kepada pihak sekolah. Orang tua
peserta didik juga diharapkan aktif dalam memberikan pandangan-pandangannya
guna memajukan sekolah.
7. Sarana Prasarana Pendukung yang Memadai.
Untuk
memajukan mutu pendidikan disekolah, sarana dan prasarana pendukung sangatlah
diperlukan. peserta didik akan menjadi lebih mudah dalam menyerap berbagai
pelajaran disekolah dengan bantuan sarana prasarana yang ada. Apalagi saat ini
merupakan era ICT, dimana para peserta didik akan semakin mudah memahami
pelajaran-pelajaran dengan bantuan multimedia.
8. Pengawasan Masyarakat Sekitar.
Pengawasan
dari masyarakat sekitar merupakan bentuk dukungan untuk menciptakan sekolah
yang baik. Jika sekolah tersebut berprestasi, ada baiknya masyarakat memberikan
apresiasi. Bagitu pula sebaliknya, apabila sekolah tersebut memiliki citra
negatif, ada baiknya masyarakat mengkritik kebijakan didalam sekolah tersebut
atau mengadukannya ke Depdikbud.
9. Dukungan Finansial
Faktor
penting lainnya dalam menciptakan Manajemen Berbasis Sekolah yang baik adalah
dukungan finansial. Semakin kuat dukungan finansialnya, maka kemungkinan
terciptanya kemandirian sekolah akan semakin besar. Kita bisa mencontoh dari
(sebagian) sekolah-sekolah swasta dinegeri ini yang memiliki reputasi manajemen
baik dengan dukungan finansial yang kuat.
10. Peran Pemerintah.
Peran pemerintah sangat vital didalam memajukan
pendidikan nasional, dalam hal ini adalah dengan program School-Based Management.
Pemerintah diharapkan bisa membuat kebijakan-kebijakan yang pro kepada
pendidikan nasional seperti membuat kurikulum yang pro kepada siswa,
mengimplemetasikan kebijakan 20% APBN untuk pendidikan, dan lain-lainnya.Itulah
pembahasan mengenai sepuluh strategi untuk menciptakan Manajemen Berbasis Sekolah yang baik. Kita semua Warga
Negara Indonesia tentu
berharap agar kebijakan program desentralisasi pendidikan ini bisa berjalan
dengan baik dan benar, sehingga tujuan mulia untuk meningkatkan mutu pendidikan
nasional bisa segera tercapai.
E.
Proses Pelaksanaan Manajemen Berbasis sekolah
1. Perencanaan
Perencanaan
adalah proses menetapkan tujuan, kegiatan, sumber daya, waktu, tempat dan
prosedur penyelenggaraan komponen manajemen berbasis sekolah. Syarat-syarat
perencanaan dalam manajemen sekolah meliputi: didasarkan tujuan yang yang
jelas, sederhana, realisis, fleksibel, menyeluruh, efektif dan efisien.
2. Pengoorganisasian
Pengorganisasian
adalah proses kegiatan memilih, membentuk hubungan kerja, menyusun deskripsi
tugas dan wawenang orang-orang yang
terlibat dalam kegiatan komponen manajemen sekolah tertentu sehingga terbentuk
kesatuan susunan dan struktur organisasi yang jelas dalam upaya pencapaian
tujuan peningkatan mutu sekolah.
3. Pelaksanaan
Pelaksanaan
bearti implementasi dari rencana yang telah disusun. Dalam pelaksanaan juga
dilakukan pemotivasian, pengarahan, supervisi, dan pemantauan. Pemotivasian
dimaksudkan sebagai pemberi dorongan kepada pendidik dan tenaga kependidikan
disekolah agar selalu meningkatkan mutu kegiatan yang menjadi tugas dan
tanggungjawabnya. Pengarahan yaitu pemberian bantuan perbaikan dan pengembangan
kegiatan implementasi komponen manajemen sekolah agar lebih efektif dan efisien dalam mencapai
tujuan peningkatan mutu sekolah.[3] Supervisi meliputi
supervisi manajerial dan akademi, yang dilakukakan secara teratur dan
berkesinambungan oleh kepala sekolah, atasan dan pemangku kepentingan lainnya.
Pemantauan dilakukan oleh kepala sekolah, atasan, dan pemangku kepentingan
lainnya.
4. Pengawasan
Pengawasan
diartikan sebagai proses kegiatan untuk membandingkan antara standar yang telah
ditetapkan dengan pelaksanaan kegiatan. Pengawasan berguna untuk mengukur
keberhasilan dan penyimpangan, memberikan laporan dan menerapkan sistem umpan
balik bagi keseluruhan kegiatan komponen manajemen sekolah. Pengawasan meliputi
kegiatan evaluasi, pelaporan, dan tindak
lanjut hasil pengawasan. Kegiatan pengawasan juga didasarkan atas kegiatan
pemotivasian , pengarahan, supervisi, dan pemantuan.
F. Faktor Pendukung Keberhasilan Manajemen Berbasis
Sekolah
1.
Kepemimpinan dan Manajemen Sekolah yang Baik
MBS akan berhasil
jika ditopang oleh kemampuan profesional kepala sekolah dalam memimpin dan
mengelola sekolah secara efektif dan efisien, serta mampu menciptakan iklim
organisasi yang kondusif untuk proses belajar mengajar.
2.
Kondisi Sosial, Ekonomi, dan Apresiasi Masyarakat Terhadap Pendidikan
Faktor
eksternal yang akan turut menentukan keberhasilan MBS adalah kondisi tingkat
pendidikan orangbtua siswa dan masyarakat, kemampuan dalam membiayai
pendidikan, serta tingkat apresiasi dalam mendorong anak untuk terus belajar.
3.
Dukungan Pemerintah
Faktor ini
sangat membantu efektifitas implementasi MBS terutama bagi sekolah yang
kemampuan orang tua/masyarakatnya relatif belum siap memberikan kontribusi
terhadap penyelenggaraan pendidikan. Alokasi dana pemerintah dan pemberian
kewenangan dalam pengelolaan sekolah menjadi penentu keberhasilan.
4.
Profesionalisme
Faktor ini
sangat strategis dalam upaya menentukan mutu dan kinerja sekolah. Tanpa
profesionalisme kepala sekolah, guru, dan pengawas, akan sulit dicapai program
MBS yang bermutu tinggi serta prestasi siswa. Personalia sekolah meliputi guru,
dan pegawai lainnya. Personalia sekolah dapat dibedakan atas tenaga
kependidikan dan non kependidikan.[4]
G. Dampak
Penerapan Manajemen Berbasis Sekolah
Penerapan MBS secara spesifik diintifikasi
oleh Gunawan, 2010 (dalam Laili, 2011) :
1.
Memberikan
peluang kepada tenaga pendidik dan kependidikan yang kompeten untuk ikut
terlibat dalam pengambilan keputusan dalam peningkatan pembelajaran.
2.
Memberi
peluang kepada seluruh pihak dalam sekolah untuk ikut andil dalam pengambilan
keputusan yang penting.
3.
Memunculkan
kreativitas dalam merencanakan program pembelajaran.
4.
Memberdayakan
kembali sumber daya pendidikan yang ada dalam mendukung tujuan yang
dikembangkan sekolah.
5.
Membuat
rencana anggaran yang realistik sesuai kebutuhan karena harus bersifat terbuka
dan memenuhi tanggung jawab penggunaan biaya sekolah.
6.
Meningkatkan
motivasi tenaga pendidik dan tenaga kependidikan dalam mengembangkan keahlian
manajemen dan kepemimpinanya.
MBS
menyebabkan kepala dinas, pejabat atau staf pusat serta jajarannya berperan
sebagai fasilitator pengambilan keputusan di sekolah. Pemerintah pusat hanya
berperan dalam menetapkan standar pendidikan nasional yang mencakup standar
fasilitas, standar kompetensi, standar tenaga pendidik dan tenaga kependidikan
dan sebagainya.
Dalam
menerapkan standar yang ditetapkan oleh pemerintah, hal ini disesuaikan dengan
keadaan di daerahnya. Standar tersebut diterapkan dengan mempertimbangkan ciri
khas dan potensi dari wilayah tersebut sehingga pemerintah tidak mengekang
kreativitas dan inovasi dari setiap sekolah.
Dalam
kebanyakan model MBS, setiap sekolah akan mendapatkan anggaran pendidikan
sejumlah tertentu yang masuk akal sesuai kebutuhan yang diperlukan. Kebutuhan
ini berupa pelaksanaan supervisi pendidikan di daerahnya misalnya biaya
transportasi, administrasi. Alokasi anggaran yang diberikan ke setiap sekolah
dipertimbangkan berdasarkan jumlah dan jenis murid di setiap sekolah.
Hambatan
Dalam Penerapan MBS :
1. Kurang berminat untuk ikut terlibat
dalam pengelolaan MBS
Beberapa
orang tidak menginginkan tugas tambahan diluar tugas pekerjaan yang telah
mereka lakukan. Karena sebagian orang beranggapan dengan adanya penerapan MBS
maka hanya akan menambah beban. Pihak sekolah menjadi lebih banyak menggunakan
watunya untuk mengatur perencanaan dan anggaran. Akibatnya pihak sekolah kurang
memiliki waktu untuk memikirkan aspek-aspek lain dari pekerjaan mereka. Serta
tidak semua guru mau untuk ikut andil dalam proses penyusunan anggaran.
2. Tidak efisien
Pengambilan
keputusan dalam sistem kerja MBS dilakukan secara partisipatif sehingga
menimbulkan frustasi dan kebanyakan memakan waktu yang lebih lamban jika
dibandingkan dengan cara yang sentralis.
3. Memerlukan pelatihan khusus
Pihak
pihak sekolah yang ikut andil dalam MBS sebagian ternyata belum berpengalaman
dalam menerapkan model MBS ini. Kebanyakan pihak yang ikut andil ternyata tidak
memiliki keahlian dan kemampuan terkait hakikat MBS yang sebenarnya serta
bagaimana pengelolaannya.
4. Kebingungan terhadap peran dan tanggung
jawab baru dalam MBS
Pihak
sekolah yang selama ini belum menggunakan model MBS, akan terkejut an
kebingungan dengan sistem dalam MBS. Hal ini dapat menimbulkan keraguan dalam
memikul tangung jawab pengambilan keputusan. Sehingga, penerapan MBS dapat
mengubah peran serta tanggung jawab pihak-pihak yang berkepentingan.
5. Kesulitan koordinasi
Sistem
kerja MBS yang partisipatif mengharuskan adanya koordinasi yang efisien dan
efektif. Maka dibutuhkan koordinasi antar pihak yang berkepentingan untuk
bekerja sama dalam mencapai tujuan masing-masing. Dua hal yang penting adalah
pelatihan atau trainee tentang apa itu MBS serta penjelasan peran dan tanggung
jawab serta hasil yang dibutuhkan semua pihak yang berkepentingan.
6. Kepala sekolah kurang memahami penerapan
MBS
Hal
ini disebabkan karena kepala sekolah sudah terbiasa dengan pola manajemen lama
yang terasa sentralistis. Selain itu, tenaga pendidik kurang memahami bagaimana
menyelaraskan antara MBS dengan proses pembelajaran di sekolah. Terdapat juga
kepala sekolah yang hanya sebatas membentuk komite sekolah tetapi dalam
pengelolaannya masih dimonopoli oleh kepala sekolah.
Solusi
Pemecahan Dalam Rangka Pencapaian Implementasi MBS :
1. Meningkatkan mutu SDM dan profesionalitas kepala
sekolah, guru, dan pengawas dengan cara melibatkan stakeholder dalam
berbagai pelatihan di sekolah.
2.
Mengadakan
penyuluhan tentang kondisi tingkat pendidikan orangtua siswa dan masyarakat,
kemampuan dalam membiayai pendidikan, serta tingkat apresiasi dalam mendorong
anak untuk terus belajar.
3.
Dukungan
pemerintah. Faktor ini sangat membantu efektifitas implementasi MBS terutama
bagi sekolah yang kemampuan orangtua/ masyarakatnya relative belum siap
memberikan kontribusi terhadap penyelenggaraan pendidikan. alokasi dana
pemerintah dan pemberian kewenangan dalam pengelolaan sekolah.
4.
Mendorong
siswa untuk lebih meningkatkan cara belajarnya agar menjadi cara belajar yang
efektif dan efisien.
5.
Mempersiapkan
instrumen pengukuran pencapaian kinerja baik terhadap proses maupun hasil
dengan indikator yang transparan sehingga semua pihak memahami betul ukuran
keberhasilan yang disepakati.
6.
Melaksanakan
pertemuan mengembangakan rencana kegiatan, evaluasi kegiatan, dan
evaluasi hasil.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Manajemen
berbasis sekolah (MBS) yaitu model pengelolaan yang memberikan otonomi atau
kemandirian kepala sekolah dan mendorong pengembilan keputusan partisipatif
yang melibatkan secara langsung semua warga sekolah sesuai dengan standar
pelayanan mutu yang ditetapkan oleh pemerintah pusat, provinsi, kabupaten dan
kota. MBS bertujuan meningkatkan kemandirian sekolah melalui pemberian
kewenangan yang lebih besar dalam mengelolah sumber daya sekolah, dan mendorong
kesuksesan semua kelompok kepentingan yang terkait dengan sekolah dalam
pengambilan keputusan untuk peningkatan mutu sekolah. prinsip MBS meliputi:
Kemandirian, keadilan, kemitraan, keterbukaan, efesiensi dan partisifatif.
Proses Pelaksanaan MBS meliputi perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan
pengawasan.
B.
Saran
Penulis
menyadari dalam penulisan makalah ini terdapat masih banyak terdapat kesalahan
dan kekeliruan, untuk itu kritik dan saran sangat penulis harapkan agar dalam
pembuatan makalah selanjutnya dapat tersusun menjadi lebih baik.
[2] Kementrian Pendidikan Dan
Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar Direktorat Pembinaan Sekolah
Dasar, Panduan Nasional MBS SD, 2003, hlm (13-14).
No comments:
Post a Comment