1

loading...

Tuesday, October 23, 2018

MAKALAH TEORI SOSIAL BUDAYA ANTROPOLOGI DAN NILAI-NILAI AGAMA

MAKALAH TEORI SOSIAL BUDAYA ANTROPOLOGI DAN NILAI-NILAI AGAMA
 
PENDAHULUAN
A.     Latar Belakang
Dilihat dari segi Agama dan Budaya yang masing - masing memiliki keeratan satu sama lain, sering kali banyak di salah artikan oleh orang - orang yang belum memahami bagaimana menempatkan posisi Agama dan posisi Budaya pada suatu kehidupan.
Penulis masih sering menyaksikan adanya segelintir masyarakat yang mencampur adukkan nilai - nilai Agama dengan nilai-nilai Budaya yang padahal kedua hal tersebut tentu saja tidak dapat seratus persen disamakan, bahkan mungkin berlawanan. Demi terjaganya esistensi dan kesucian nilai - nilai agama sekaligus memberi pengertian, disini penulis hendak mengulas mengenai Apa itu Agama dan Apa itu Budaya, yang tersusun berbentuk makalah dengan judul “Antropologi dan Nilai-nilai Agama”. Penulis berharap apa yang ditulis, nanti dapat menjadi paduan pembaca dalam mengaplikasikan serta dapat membandingkan antara Agama dan Budaya.

B.     Rumusan Masalah
1.      Mengetahui dan memahami apa itu antropologi dan nilai-nilai agama ?
2.      Bagaimana bentuk Agama dan budaya dalam pergumpulan sosial?
3.      Apa itu Akulturasi dan kolaborasi antara nalar agama dan nalar mitos?
4.       Bagaimana Mitologi religius dan toleransi orang jawa?
5.      Bagaimana Pola relasional antara tradisi mitis,religi,dan agama jawa kuna?
C.    Tujuan masalah
Untuk mengetahui dan memahami yang ada dirumusan masalah






Text Box: 1
 


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Agama dan budaya dalam pergumpulan sosial
1.      Pengertian Antropologi
Secara etimologi istilah “antropologi” merupakan gabungan dari dua kosakata dalam bahasa Yunani, yaitu anthropos yang berarti manusia dan logos yang berarti ilmu. Sehingga secara terminologi antropologi diartikan sebagai sebuah ilmu yang mempelajari tentang manusia.
Antropologi sebagai sebuah ilmu yang mempelajari tentang manusia berusaha untuk mempelajari, menganalisa dan mendeskripsikan manusia secara holistik (menyeluruh).Istilah holistik disini meliputi proses evolusi manusia, keragaman manusia secara fisik, kebudayaan material masyarakat primitif, perilaku sosial masyarakat dan bahasa-bahasa manusia (etnolinguistik).
2.      Agama dalam Kajian Antropologi
Kata agama berasal dari bahasa Sansekerta dari kata a berarti tidak dan gama berarti kacau. Kedua kata itu jika dihubungkan berarti sesuatu yang tidak kacau. Jadi fungsi agama dalam pengertian ini memelihara integritas dari seorang atau sekelompok orang agar hubungannya dengan Tuhan, sesamanya, dan alam sekitarnya tidak kacau. Karena itu menurut Hinduisme, agama sebagai kata benda berfungsi memelihara integritas dari seseorang atau sekelompok orang agar hubungannya dengan realitas tertinggi, sesama manusia dan alam sekitarnya.
Agama itu timbul sebagai jawaban manusia atas penampakan realitas tertinggi secara misterius yang menakutkan tapi sekaligus mempesonakan  Dalam pertemuan itu manusia tidak berdiam diri, ia harus atau terdesak secara batiniah untuk merespons.Dalam kaitan ini ada juga yang mengartikan religare dalam arti melihat kembali kebelakang kepada hal-hal yang berkaitan dengan perbuatan tuhan yang harus diresponnya untuk menjadi pedoman dalam hidupnya.
Text Box: 2Dalam kajian antropologi terhadap agama, kehidupan beragama ditelusuri dari zaman prasejarah sampai zaman modern. Berbagai macam kehidupan agama dipelajari, diperbandingkan seobjektif mungkin dan ditinjau secara holistik, yaitu mempelajari fungsi dan kaitannya dengan aspek budaya lain.
Antropologi klasik memahami gejala kehidupan beragama sebagai kebudayaan suatu masyarakat. Agama dipahami sebagai human creation atau human made. Agama dilihat sebagai: pertama, ekspresi simbolis dari kehidupan manusia yang dengannya manusia menafsirkan dirinya dirinya dan universe di sekelilingnya. Kedua, yang memberikan motif bagi perbuatan manusia. Ketiga, sekumpulan tindakan yang berhubungan stau sama lain yang punya nilai-nilai yang melangsungkan kehidupan manusia.
Hal yang menarik dalam antropologi agama adalah mengenai acara dan upacara keagamaan masing-masing agama yang banyak macamnya dan berbeda-beda. Kebanyakan antropolog melakukan pendekatan budayanya terhadap waktu, tempat, alat perlengkapan, maksud dan tujuan, tata tertib dan tata cara pelaksanaan dan orang-orang yang bertindak sebagai pemimpin upacara keagamaan (orang suci)
Koentjaraningrat (dalam bukunya Bustanuddin Agus) membagi teori antropologi tentang agama ke dalam tiga macam, yaitu teori berorientasi kepada keyakinan keagamaan, berorientasi kepada sikap manusia dan berorientasi kepada upacara religi.
Petama, teori yang berorientasi kepada keyakinan keagamaan. Tokoh yang mempelopori teori ini adalah Andreu Lang. Lang berkesimpulan bahwa kepercayaan beragama berasal dari kepercayaan kepada dewa atau kekuatan gaib tertinggi, yang mana dalam agama besar dunia dewa tersebut dinamakan Tuhan. Tokoh-tokoh lain dari teori ini diantaranya R.R. Marett dan A.C. Kruyt.
Text Box: 3Kedua, teori yang berorientasi kepada sikap manusia. Teori ini dikemukakan oleh Rudolf Otto. Ia menekankan kepada sikap kagum terpesona oleh penganut agama terhadap zat yang ghaib (mysterium), maha dahsyat, maha baik, maha adil, maha bijaksana (tremendum) dan keramat (sacer). Oleh karena itu manusia tertarik untuk bersatu dengan zat tersebut.
Ketiga, teori yang berientasi kepada upacara religi. Teori ini dikemukakan oleh Roberston Smith. Ia mengemukakan bahwa disamping memiliki sistem kepercayaan dan doktrin, agama juga memiliki sistem upacara yang relatif tetap, yaitu upacara keagamaan. Upacara keagamaan berfungsi untuk menjaga solidaritas sosial yang mana manusia mempersembahkan sesaji kepada dewa, kemudian manusia juga ikut makan bagian tertentu dari sesaji tersebut yang bermakna supaya manusia dipandang dewa menjadi warga dewa yang disembah.
3.      Pengertian Budaya
Secara sederhana, kebudayaan merupakan hasil cipta serta akal budi manusia untuk memperbaiki, mempermudah, serta meningkatkan kualitas hidup dan kehidupannya. Atau, kebudayaan adalah keseluruhan kemampuan (pikiran, kata, dan tindakan) manusia yang digunakan untuk memahami serta berinteraksi dengan lingkungan dan sesuai sikonnya. Kebudayaan berkembang sesuai atau karena adanya adaptasi dengan lingkungan hidup dan kehidupan serta sikon manusia berada.
Kebudayaan dikenal karena adanya hasil-hasil atau unsur-unsurnya. Unsur-unsur kebudayaan terus menerus bertambah seiring dengan perkembangan hidup dan kehidupan. Manusia mengembangkan kebudayaan; kebudayaan berkembang karena manusia. Manusia disebut makhluk yang berbudaya, jika ia mampu hidup dalam atau sesuai budayanya. Sebagian makhluk berbudaya, bukan saja bermakna mempertahankan nilai-nilai budaya masa lalu atau warisan nenek moyangnya, melainkan termasuk mengembangkan hasil-hasil kebudayaan.
Text Box: 4Di samping kerangka besar kebudayaan, manusia pada komunitasnya, dalam interaksinya mempunyai norma, nilai, serta kebiasaan turun temurun yang disebut tradisi. Tradisi iasanya dipertahankan apa adanya; namun kadangkala mengalami sedikit modifikasi akibat pengaruh luar ke dalam komunitas yang menjalankan tradisi tersebut. Misalnya pengaruh agama-agama ke dalam komunitas budaya (dan tradisi) tertentu; banyak unsur-unsur kebudayaan (misalnya puisi-puisi, bahasa, nyanyian, tarian, seni lukis dan ukir) di isi formula keagamaan sehingga menghasilkan paduan antara agama dan kebudayaan.
Kebudayaan dan berbudaya, sesuai dengan pengertiannya, tidak pernah berubah; yang mengalami perubahan dan perkembangan adalah hasil-hasil atau unsur-unsur kebudayaan. Namun, ada kecenderungan dalam masyarakat yang memahami bahwa hasil-hasil dan unsur-unsur budaya dapat berdampak pada perubahan kebudayaan.
Perbedaan antara agama dan budaya tersebut menghasilkan hubungan antara iman-agama dan kebudayaan. Sehingga memunculkan hubungan (bukan hubungan yang saling mengisi dan membangun) antara agama dan  budaya. Akibatnya, ada beberapa sikap hubungan antara Agama dan Kebudayaan, yaitu:
1.      Sikap Radikal: Agama menentang Kebudayaan. Ini merupakan sikap radikal dan ekslusif, menekankan pertantangan antara Agama dan Kebudayaan. Menurut pandangan ini, semua sikon masyarakat berlawanan dengan keinginan dan kehendak Agama. Oleh sebab itu, manusia harus memilih Agama  atau Kebudayaan, karena seseorang tidak dapat mengabdi kepada dua tuan. Dengan demikian, semua praktek dalam unsur-unsur kebudayaan harus ditolak ketika menjadi umat beragama.
2.      Sikap Akomodasi: Agama Milik Kebudayaan. Sikap ini menunjukkan keselarasan antara Agama dan kebudayaan.
3.      Sikap Perpaduan: Agama di atas Kebudayaan. Sikap ini menunjukkan adanya suatu keterikatan antara Agama dan kebudayaan. Hidup dan kehidupan manusia harus terarah pada tujuan ilahi dan insani; manusia harus mempunyai dua tujuan sekaligus.
4.      Text Box: 5Sikap Pambaharuan: Agama Memperbaharui Kebudayaan. Sikap ini menunjukkan bahwa Agama harus memperbaharui masyarakat dan segala sesuatu yang bertalian di dalamnya. Hal itu bukan bermakna memperbaiki dan membuat pengertian kebudayaan yang baru; melainkan memperbaharui hasil kebudayaan. Oleh sebab itu, jika umat beragama mau mempraktekkan unsur-unsur budaya, maka perlu memperbaikinya agar tidak bertantangan ajaran-ajaran Agama. Karena perkembangan dan kemajuan masyarakat, maka setiap saat muncul hasil-hasil kebudayaan yang baru. Oleh sebab itu, upaya pembaharuan kebudayaan harus terus menerus. Dalam arti, jika masyarakat lokal mendapat pengaruh hasil kebudayaan dari luar komunitasnya, maka mereka wajib melakukan pembaharuan agar dapat diterima, cocok, dan tepat ketika mengfungsikan atau menggunakannya.Karena adanya aneka ragam bentuk hubungan Agama dan Kebudayaan tersebut, maka solusi terbaik adalah perlu pertimbangan – pengambilan keputusan etis-teologis (sesuai ajaran agama). Dan untuk mencapai hal tersebut tidak mudah.
B.     Akulturasi dan kolaborasi antara nalar agama dan nalar mitos
Realita diperoleh hanya dengan melalui pengulangan. Realitas yang tidak memiliki model untuk diulang-ulang atau ditiru berarti tidak memiliki makna dan berarti pula tidak disebut sebagai realitas. Dengan demikian mitos bisa dipahami sebagai akumulasi konsepsi manusia dari renungan-renungan imajinatif-filosofis mengenai kehidupan, kematian, takdir, manusia, dewa, asal mula kejadian, surga, neraka, dan pencipta, yang memanifestasi menjadi model atau paradigma. Inilah yang disebut dengan istilah model of reality (konsepsi yang digali dari realitas).
Pada saat yang sama ketika model itu telah diulang-ulang, maka mitos itu menjadi model for reality (konsep yang dijadikan sebagai pedoman dan arahan bagi realitas, utamanya kehidupan manusia). Nalar tersebut memberikan inspirasi baru tentang pola interaksi antara mitos dan realitas. Keduanya adalah dua entitas yang saling berkaitan. Realitas ada karena eksistensi mitos, sebaliknya mitos ada karena realitas. Meski sedemikian sinerginya posisi keduanya, namun di mata sebagian masyarakat tertentu ia masih sering dikontraskan.
Karakteristik mitos :
1.      Mitos berkaitan dengan aktifitas supernatural
2.      Mitos berkaitan dengan absolusitas kebenaran
Text Box: 63.      Mitos berkaitan dengan model of reality
4.      Pengetahuan mitos melekat pada diri seseorang
5.      Jalan alternatif bagi kehidupan
Fungsi utama mitos bagi kebudayaan primitif adalah
a.       mengungkapkan, mengangkat, dan merumuskan kepercayaan
b.      melindungi dan memperkuat moralitas
c.       menjamin efensiensi ritus
d.      memberikan peraturan-peraturan praktis untuk menuntun manusia.
e.       Memberikan pijakan untuk menjelaskan dunia dan seluruh pengalaman eksistensi kemanusiaan yang lainnya.
Karena sedemikian pentingnya, maka semua masyarakat baik dari kalangan primitif maupun yang modern, memiliki mitos dalam mentalitasnya. Mitos pada saatnya betul-betul berperan sebagai peran agama, mengingat masih sederhananya konsepsi agama ketika itu dikalangan komunitas primitif. Mitos pada saatnya mengandaikan suatu ontologi dan hanya berbicara mengenai kenyataan.
Termasuk juga mitos yang merupakan upaya-upaya konkretisasi dari hal-hal yang bersifat abstrak, dari impian menuju kenyataan. Dilihat dari fungsinya, mitos berperan layaknya fungsi agama, tetapi tidak menggantikan agama itu sendiri. Karena mitos adalah impian-impian kebajikan universal yang berperan sebagai sumber nilai yang bisa dijadikan pedoman bagi kehidupan mereka. Sementara konsepsi-konsepsi agama yang tertuang dalam teks suci juga selalu memuat impian-impian ideal yang indah. Misalnya tentang gambaran indahnya surga. Perbedaan keduanya hanya terletak pada subjek yang melakukan konstruksi atas impian idel itu.
Subjek konstruksi mitos adalah manusia sedangkan subjek konstruksi agama adalah dua kekuatan kompromistik antara tuhan sebagai representasi wahyu dan manusia sebagai representasi hasil penafsiran.
Text Box: 7Dalam kondisi seperti ini, manusia tidak akan mampu hidup tanpa agama, demikian juga tanpa mitos, meskipun dalam tatanan empirik sebagian diantara mereka yang hidup dalam garis linier keteraturan berpotensi untuk melupakannya. Oleh karena itu keyakinan terhadap agama maupun mitos akan muncul jika dalam kehidupan manusia selalu dihadapkan pada berbagai peristiwa kehidupan yang mencemaskan.
Mitos tidaklah sama dengan mitologi. Keduanya memiliki implikasi dan dampak pemahaman yang berbeda, perbedaan itu terletak pada tingkatannya. Karena ketika mitos telah runtuh dan merosot nilai aktualisasinya maka makna mitos itu telah berubah menjadi mitologi yang tidak memiliki nilai, sekalipun ia tetap tertanam kuat dalam kesadaran populisme suatu bangsa atau kelompok. Disanalah mitos memiliki makna positif dengan mengisi tekad dalam cita-cita mendorong ke arah kemenangan dan realisasi diri diatas bumi ini. Sementara itu mitologi hanya akan melemahkan tekad dan menyerupkan sikap santai, puas dan menyerah. Mitos yang telah usang dan renta akan melahirkan mitologi. Dalam kaitannya dengan konteks modern ini penggambaran keilmuan bagi realitas telah menggantikan posisi mitos, sementara idiologi negatif telah menggantikan posisi mitologi.
Dengan begitu bisa dipahami bahwa karakteristik mitos yang berkembang di masyarakat jawa, tentu tidak jauh dari keyakinan dan kepercayaan kejawen itu,demikian juga mitos yang berkembang di daerah-daerah lain, semua tidak akan lepas dari karakter dasar kondisi lokalitasnya.
C.    Mitologi religius dan toleransi orang jawa
Mitologi dan Toleransi Orang Jawa”. Ia adalah seorang ilmuan politik otodidak yang tertarik dengan seni, drama dan musik Jawa. Kurang lebih tiga tahun lamanya ia melakukan penelitian di Indonesia, dan telah mencapai pemahaman yang luar biasa mengenai berbagai hal di atas  dalam peradaban Jawa. Ia ingin menekankan bahwa studi ini bersifat penggalian dan bahwa kesimpulan-kesimpulan yang ia capai hanyalah bersifat tentatif.
Text Box: 8Dalam dasawarsa terdahulu para pengamat seringkali menyebut istilah “sinkretisme Jawa” dan relativisme Jawa”. Namun istilah tersebut, sejak pecahnya revolusi nasional Indonesia telah berubah dan lebih popular dengan sebutan “toleransi orang Jawa” sebagai watak mereka yang paling utama. Terlepas orang Jawa sendiri secara tradisional menganggap toleransi sebagai salah satu wataknya yang menonjol atau tidak, namun yang jelas akhir-akhir ini tampaknya mereka juga merasa bangga karena reputasi mereka akan keterbukaannya dan sikap lapangdadanya.
Meluasnya istilah toleransi dalam masyarakat Jawa itu telah diakui oleh beberapa kalangan dan merupakan kesatuan pendapat di kalangan orang-orang asing yang menekuni pada hal ini, termasuk orang Jawa sendiri yang terpelajar. Hal ini disebabkan oleh  faktor psikologis, politis dan historis. Bahkan  lebih naïf lagi bahwa kesatuan pendapat ini lebih cenderung menutupi gagasan “toleransi Jawa”.
Menurut Anderson bahwa pengertian “relativisme Jawa” seharusnya tidak dipahami sebagai toleransi terhadap perbedaan-perbedaan umum dengan mengabaikan masalah ras, warna dan kepercayaan. Dalam kenyataannya, relativisme Jawa tidak berlaku bagi kelompok-kelompok dan etnis lainnya yang ada di Indonesia. Dengan kata lain terhadap siapa orang Jawa merasa sedikit lebih unggul? Selain itu, sikap toleransi Jawa juga tidak berlaku bagi orang-orang Cina dan Eropa.
Kedua komunitas ini mempunyai prestise ambigu yang diwarisi dari penjajahan dulu. Atas dasar pengalaman ini pula orang jawa menyarankan agar anak mereka tidak kawin dengan orang Cina dengan alasan abu mereka lebih tua. Dengan pengertian lain anak-anak mereka akan menjadi lebih Cina dari pada Jawa. Meskipun orang-orang Cina dalam beberapa hal lebih bisa diterima oleh orang Jawa di banding dengan Sunda. Hal ini secara historis orang-orang Cina di Jawa Tengah dan Jawa Timur  sudah berinteraksi sejak dahulu kala. Sementara itu orang-orang Cina setempat telah menyatu dengan kebudayaan Jawa.
Pandangan di atas terkesan sangat inklusif, toleran dan relatif. Namun dalam faktanya, meskipun orang-orang Jawa secara kuantitatif mayoritas adalah bergama Islam, tetapi ikatan spiritual yang nyata dari  sebagian besar orang Jawa terhadap agama ini lebih sedikit dari jumlah nominalnya (h.4).
Text Box: 9Kekuatan dalam memilih partai-partai Islam di Jawa misalnya, mayoritas adalah orang-orang Sunda di Jawa Barat dan Madura di Madura dan ujung Timur pulau Jawa. Di antara orang-orang Jawa, Islam paling kuat adalah berada di daerah pesisir pantai Utara. Hal itu karena secara historis banyak dipengaruhi oleh kebudayaan-kebudayaan asing—Cina, Arab dan Eropa-, sementara itu secara politis dan sosial Islam jauh dari pusat kebudayaan Jawa yang terletak di Jawa Tengah bagian Selatan.
D.    Pola relasional antara tradisi mitis,religi,dan agama jawa kuna
Mengamati secara cermat asal-usul kepercayaan Jawa tidaklah sesederhana yang kita bayangkan. Kepercayaan Jawa yang banyak bersentuhan dengan mistik itu,dalam realitasnya banyak menyimpan misteri yang sangat kompleks. Kompleksitas kepercayaan komunitas kejawen tidak jarang menampakkan berbagai sekte dan tradisi kehidupan dalam masyarakat Jawa. Sekte-sekte dan tradisi kehidupan itu sebagai bentuk manifestasi dari religiusitas  masing-masing wilayah kejawen.
       Lebih menarik lagi, hampir setiap wilayah kejawen memiliki pedoman khusus khas Jawa, memiliki kosmogoni (asal-usul) kepercayaan dan mitos yang berbeda-beda serta unik.
Tidak sedikit para ilmuwan antropologi yang berbeda perspektif dalam melihat kosmogoni kepercayaan kejawen ini. Sebagian ilmuwan mengatakan bahwa kosmogoni kepercayaan Jawa diwarnai oleh kebudayaan Cina.Pandangan ini didasarkan pada suatu pemikiran bahwa berita mengenai Cina di kepulauan Indonesia dapat dianggap sebagai sumber ke tujuh dalam sejarah politik Jawa pada abad ke-15 dan 16. Dalam catatan Narendra Agung dikatakan bahwa Cina ternyata sangat penting bagi pembentukan corak kepercayaan Islam di masyarakat Jawa. Demikian juga dalam catatan sejarah dari pusat-pusat perdagangan Cina di Jawa, menunjukkan bahwa telah ada orang Cina Muslim yang tinggal di Jawa.
Pengaruh imigran Melayu Cina ini, bagi masyarakat Jawa tidaklah kecil, melainkan kultur Cina baik yang sudah bersentuhan dengan kebudayaan Islam sebagaimana yang terjadi pada masa kekuasaan Khubilai Khan, maupun yang belum berinteraksi dengan Islam, betapapun telah banyak mempengaruhi karakter asli kebudayaan Jawa..
Text Box: 10Dengan demikian, baik Cina maupun Campa sekalipun memiliki corak kepercayaan maupun kebudayaan yang khas pada wilayahnya masing-masing, namun proses interelasi dan inkulturisasi dengan  Islam, sedikit banyak telah merubah iklim dan wajah kepercayaan dari dua bangsa tersebut menjadi kepercayaan yang saling melengkapi dan berasimilasi. Lebih-lebih ketika kedua bangsa tersebut mengungsi ke Jawa,  maka kepercayaan Bangsa Campa utamanya telah berubah menjadi Hindu-Jawa dan Islam-Jawa.  Sentuhan kepercayaan dan kebudayaan yang telah banyak mewarnai corak kepercayaan maupun kebudayaan bernuansa Islam di satu sisi dan Hindu di sisi yang lain telah melengkapi karakter asli kepercayaan Jawa di kalangan masyarakat Jawa.
Secara antropologis orang Jawa memang telah lama ada. Hal ini terbukti telah ditemukan fosil-fosil di sekitar Bengawan Solo, Jawa Tengah. Fosil yang tertua disebut Pithecantropus Erectus dan fosil yang termuda disebut Homosoloensis. Karena fosil ini ditemukan di Jawa Tengah dapat diduga bahwa propinsi ini yang menjadi nenek moyang orang Jawa. Orang Jawa selalu menyatakan bahwa mereka adalah keturunan leluhur Jawa. Leluhur Jawa adalah orang yang mendirikan tanah Jawa.
      Hanya saja, siapa yang menjadi pemula dari leluhur orang Jawa tersebut  di antara para ahli masih berbeda pandangan. Pertama: pandangan yang beraggapan bahwa leluhur orang Jawa  berasal dari Timur Tengah yang mengembara dengan cara berdagang sampai ke Jawa. Kedua: leluhur Jawa berasal dari dewa, yaitu Dewi Laksmi dan Dewa Wisnu, atas dasar itulah mayoritas komunitas kejawen memiliki karakteristik untuk mempertahankan nilai dan status sosialnya sebagai keturunan Dewa.Ketiga: berasal dari seorang pengembara yang gemar keliling dunia seperti halnya Marcopolo. Ketiga asal-usul tersebut sama-sama logis dan menduduki peranan penting dalam kehidupan orang Jawa. Hal ini menggambarkan bahwa tradisi kepercayaan nenek moyang Jawa pun terjadi sinkretis antara Hindu Jawa dan Islam Jawa.Hindu Jawa berasal dari tradisi India dan Campa sementara Islam Jawa berasal dari Timur Tengah dan sebagian tradisi Campa dan Tradisi Cina.
Text Box: 11      Sementara itu, ilmuwan lain mengatakan bahwa asal mula kepercayaan Jawa asli yang bersifat transendental lebih cenderung kepada paham animisme dan dinamisme.Pandangan senada diungkapkan juga oleh Masroer. Menurutnya sebelum Hinduisme dan Budhisme masuk ke Jawa, agaknya orang-orang Jawa telah menganut agama asli yang bercorak animistik dan dinamistik.
RM Sutjipto Wirjosuparto juga mempunyai pandangan yang sama, ia mengatakan sungguhpun kebudayaan Jawa asli menjalin hubungan dengan kebudayaan-kebudayaan lain yang lebih tinggi, misalnya kebudayaan Hindu, Islam dan Barat yang menyebabkan termodifikasinya kebudayaan Jawa asli, ternyata pola kebudayaan asli Jawa tetap saja sama dengan sebelumnya, lantaran unsur-unsur kebudayaan lain tersebut terserap dalam pola kebudayaan dan kepercayaan kejawen. Dengan demikian bisa dikatakan bahwa elastisitas kebudayaan kejawenlah yang mampu mempertahankan karakter dan ciri asli kejawennya.
Bermula dari kepercayaan animisme dan dinamisme Jawa--dengan varian-varian mitologinya yang ada pada masing-masing wilayah—yang dipertemukan dengan budaya luar yang lebih tinggi, misalnya Hindu, Budha, dan Islam telah memunculkan model kepercayaan baru berupa Islam Kejawen, Hindu Kejawen dan Budha kejawen  sesuai  dengan di wilayah mana mereka berada.
Perbedaan pandangan asal-usul kejawen tersebut selain dilatarbelakangi oleh cara pandang historis, juga karena dipengaruhi oleh perbedaan konstruksi mitologis yang ada pada masing-masing wilayah. Perbedaan mitologis yang ada pada masing-masing wilayah itu akan terlihat dengan jelas  dalam mitos dua tokoh misteri, yaitu Sri dan Sadono. Menurut kepercayaan mitis Jawa, Sri dan Sadono adalah asal-usul Kejawen. Sri sebenarnya dimitoskan sebagai penjelmaan dewi Laksmi, isteri Wisnu. Sedangkan Sadono adalah penjelmaan dari Wisnu itu sendiri. Dalam kaitannya dengan mitologi ini sesungguhnya Sri dan Sadono adalah lambang Dewi Laksmi dan Dewa Wisnu sebagai suami istri yang menjadi cikal bakal kejawen.
Text Box: 12             Paham kejawen sejak mempercayai mitos Dewi Sri dan Dewa Sadono dianggap mencerminkan kebodohan, baru ketika Ajisaka datang ke tanah Jawa, masyarakat Jawa merasa memiliki ilmu. Atas dasar itu Ajisakalah yang dianggap penyangga keilmuan Jawa. Oleh karena itu dalam kisahnya, Ajisaka akan mengalahkan Dewata Cengkar, lambang masyarakat tempo dulu yang masih membawa tradisi bar-bar, yaitu masyarakat yang belum berperadaban. Dewata adalah simbol kebaikan, sedangkan Cengkar adalah simbol keburukan. Dewata Cengkar berarti gambaran baik dan buruk yang ada pada diri manusia. Hadirnya Ajisaka di Jawa bermaksud menyingkirkan berbagai keburukan dan kegersangan pada diri manusia, selanjutnya menghadirkan dan memenuhi sifat-sifat kebaikan yang menandainya sebagai makhluk yang berperadaban dan berkebudayaan.
             Dari kisah mitis tersebut menggambarkan bahwa Ajisaka berasal dari pulau Majeti, adalah gambaran badan  wadag (kasar) manusia.  Gambaran alam semesta yang mudah rusak, di tempat inilah akan selalu dihuni oleh abdi Dora dan Sembada, yaitu nafsu yang jelek dan baik. Keduanya senantiasa berkecamuk dan tidak ada yang menang dan kalah. Sekilas dari kisah sugestif ini Ajisaka memang bukan asli kejawen, hanya saja ia mengajarkan kejawen menurut versinya. Artinya ajaran kejawen yang telah dikolaborasi dengan ajaran yang ada pada dirinya, namun bagi kejawen hal tersebut tidak menjadi masalah.
E.     Interelasi dinamis antara mistik islam,dan mistik kejawean
Sejauh referensi yang berhasil diadaptasi, secara ontologis mistik kejawen itu adalah manifestasi agama Jawa, sementara agama Jawa itu sendiri adalah akumulasi praktik religi masyarakat Jawa.  Sedangkan secara epistemologis, mistik kejawen dianggap sebagai agama sinkretis, yaitu agama yang bercampur, baik secara teologis maupun tata aturan ritualnya dengan agama-agama formal yang lain, seperti agama Hindu, Budha maupun Islam. Sementara kelompok lain berbeda cara pandangnya, memahami bahwa mistik kejawen adalah murni dari ajaran kejawen yang telah muncul jauh sebelum agama-agama itu mengalami proses akulturasi dengan budaya dan agama Jawa.
Text Box: 13Untuk melihat lebih jauh tentang ada atau tidaknya keterlibatan ajaran lain terhadap mistik kejawen itu bisa dilihat dari bukti beberapa karya sastra Jawa yang telah dijadikan sebagai model for reality, sistem nilai atau pedoman bagi tindakan mereka. Disadari atau tidak, beberapa karya sastra yang dihasilkan oleh para pujangga Jawa, antara lain sastra Arjuna Wiwaha karangan Empu Kanwa, Serat Cebolek karya Yasadipura, Serat Sasanasunu karya Yasadipura, Serat Wulangreh karya Pakubuwono IV, Serat Centhini karya Pakubuwono V, Serat Wedhatama karya Mangkunegara IV dan karya-karya lain seperti Suluk dan beberapa sha’ir yang berhasil digubah oleh Wali Sanga yang melukiskan perjalanan mistik kejawen itu,  merupakan proses akulturatif dan sinkretis dengan agama-agama lain.
Berbagai karya besar para pujangga dan elite agama tersebut acapkali dijadikan sebagai pedoman  dalam menjalankan mistik kejawen itu. Oleh karena laku mistik mereka banyak berkiblat kepada hasil karya tersebut, maka tidak sedikit karya para leluhur dan agamawan itu yang telah disakralkan. Sebagai sebuah agama Jawa, tentu saja ajaran mistik kejawen tersebut juga memiliki pola aturan horisontal dan vertikal, sebagaimana layaknya ajaran agama formal lainnya. Hubungan horisontal itu dikenal dengan istilah memayu hayuning bawana sedang hubungan vertikal dikenal dengan istilah manunggaling kawula lan gusti. Dalam istilah mistik kejawen, hubungan keduanya disebut dengan panembah, artinya orang Jawa akan berbakti kepada Tuhan, melalui ritual mistik kejawen.
Dengan demikian, hakikat agama Jawa adalah pemujaan pada leluhur melalui sikap mistik. Sekalipun secara kasat mata mereka melakukan pemujaan pada arwah para leluhur, namun esensinya adalah tetap terpusat kepada Tuhan.  Bagi mereka, Tuhan adalah dipersonifikasikan sebagai sumber pemberi anugerah, berkah, sementara arwah para nenek moyang atau leluhur hanyalah perantara (wasilah). Titik sentral agama Jawa termanifestasi pada upacara selamatan yang berkolaborasi secara berkelindan dengan budaya lokal Jawa. Bagi mereka, selamatan dianggap sebagai visualisasi mistik kejawen. Ia juga dianggap sebagai bentuk representasi harapan yang penuh keikhlasan lahir dan batin. Oleh karena itu secara singkat bisa dikatakan bahwa agama Jawa adalah perwujudan keluhuran budi manusia kepada Tuhannya.
Text Box: 14Berbeda dengan mistik kejawen, Mistik Islam atau yang disebut dengan sufi dalam banyak hal belum bisa terlepas dari ikatan-ikatan pemahaman legal-formal Islam, yaitu sebagai representasi shari’ahnya. Dengan kata lain hakikat, dalam pandangan Islam tidak bisa terpisah dari shari’atnya. Secara sederhana bisa dikatakan bahwa isi itu tidak pernah bisa lepas dari wadahnya. Karena itu untuk mencapai makrifah dalam Islam selalu harus melalui tahapan-tahapan, mulai dari shari’ah, tarikah, hakikat dan makrifah. Dalam perspektif Islam, hakikat tidak boleh bertentangan dengan shari’ah.
Antara mistik kejawen dan sufi memang sangat dekat dan sulit dibedakan secara esoterik. Tasawuf sering disejajarkan dengan mistisisme, bahkan kadang perjumpaan kedua komunitas tersebut dinamakan mistik Islam Kejawen. Tasawuf adalah bentuk mistik Islam yang berupaya agar hati manusia menjadi benar dan lurus dalam menuju Tuhan. Tasawuf berasal dari bahasa Yunani Sophos, yang memiliki arti hikmah atau keutamaan. Ia adalah ajaran mistik yang diusahakan oleh sekelompok umat Islam dan mengacu kepada ajaran Islam. Ajaran mistik dalam Islam disebut hakikat atau kasunyatan. Tasawuf merupakan bentuk peningkatan moral untuk membersihkan batin. Tujuan tasawuf adalah mencapai ketentraman rohani. Melalui tasawuf budi pekerti manusia akan lebih halus. Tasawuf sejenis ini adalah tasawuf sunni, laku mistik yang mengarah pada pembentukan kepribadian.
Dengan demikian antara tasawuf (sufisme Islam) dan mistik kejawen terdapat titik perjumpaan yang jelas, yaitu kedua-duanya telah menjadikan media laku spiritual itu untuk mencapai kedekatan diri kepada Tuhan. Kesamaan yang lain adalah, jika tasawuf mengandalkan pemusatan batin melalui bentuk meditasi, maka mistik kejawen pun juga memiliki kayakinan ajaran bahwa pengetahuan tentang hakikat Tuhan bisa diperoleh melalui meditasi atau kesadaran spiritual yang bebas dari campur tangan akal dan pancaindra. Dalam kaitannya dengan ini, baik tasawuf maupun mistik kejawen sama-sama ingin menggapai tingkatan makrifat yang tertinggi. Jalan untuk mencapai ini adalah melalui tarekat.
Text Box: 15Oleh karena itu, perjumpaan secara esoterik antara tasawuf dan mistik kejawen tidaklah mudah untuk ditolak.  Pemanfaatan secara bersama-sama antara buku primbon dan kitab mujarobat adalah bukti yang sulit dipisahkan. Baik tasawuf maupun mistik kejawen, kedua-duanya selalu menjalankan beberapa hal yang senada, antara lain 1) neptuning dino dan pasaran yang dihubung-hubungkan dengan rezki manusia, 2) perhitungan menyembuhkan orang yang sakit, 3) mantra dan do’a tolak bala’ dan seterusnya.
F.     Memahami Perilaku Psikologis Mistik Kejawen
Ungkapan simbolik tentang wong Jawa kuwi nggone rasa  atau wong Jawa kuwi nggone semu  adalah ungkapan simbolik-filosofis yang cukup popular di kalangan masyarakat Jawa. Popularitas ungkapan simbolik itu tidak saja termanifestasi dalam perilaku kehidupan sehari-hari mereka yang bisa diamati secara empirik, lebih dari itu ia menjadi bagian yang tidak bisa dipisahkan dari perilaku psikologis batin masyarakat Jawa. Oleh karena itu mental tentang rasa sejati (menyatunya rasa yang merasakan dan rasa yang dirasakan) merupakan karakter psikologis yang senantiasa menyatu ke dalam semua dimensi kepribadian masyarakat Jawa. Dengan demikian yang menandai seseorang itu disebut sebagai representasi orang jawa adalah keberadaan rasa sejatinya itu.
Singkatnya, bagi mereka yang tidak tahu rasa, yaitu berperilaku seenaknya sendiri, menuruti kehendaknya sendiri, maka orang tersebut menurut penilaian orang Jawa dikatakan sebagai orang yang telah mati rasane. Dalam istilah Jawa yang lebih popular, bagi mereka yang belum mengetahui ngelmu rasa  dianggap sebagai masyarakat yang belum Jawa, atau belum menep rasane.   Oleh karena itu rasa adalah salah satu mental psikologis mistik kejawen yang selalu ada dalam setiap proses mistiknya.
Text Box: 16Dalam serat Centhini XI : 669 dijelaskan bahwa ngelmu rasa itu memuat tiga kerelaan batin, yaitu : 1) rela terhadap taqdir suci, 2) rela terhadap dhikir dalam hening, dan 3) rela terhadap anāsir atau asal-usul kehidupan. Dari ketiga hal ajaran ini menjelaskan bahwa tingkatan ngelmu rasa yang tertinggi adalah ngelmu rasa tauhid. Ngelmu inilah yang dalam masyarakat Jawa disebut sebagai ngelmu tuwa. Penerapan dari ngelmu tuwa ini dilakukan dengan mengatur masuk keluarnya nafas : 1) napas, melalui mulut dengan mengucapkan laila ha illallah, yang disebut sebagai wirid shari’ah, 2) anpas, melalui telinga, yaitu dengan membaca illallah illallah, 3) tanapas, melalui mata, yaitu dengan mengucap Allah Allah, 4) nupus, melalui hidung, yaitu dengan membaca hu hu hu, wirid ini termasuk wirid makrifah.
Selain rasa sejati, dalam proses perilaku psikologis mistik kejawen juga mengalami apa yang dinamakan dengan rasa sadar kosmis. Tanpa terasa, ketika seseorang sedang melakukan laku mistik kejawen, saat itu pula masyarakat Jawa telah melakukan pelacakan terhadap “aku”. Gambaran tentang aku adalah gambaran tentang diri kita yang tidak pernah jelas, pada saat orang tak sadarkan diri. Sebaliknya, ketika seseorang sadar dengan melalui eneng ada, ening, maka pada saat yang sama para mistikus kejawen akan mengatakan bahwa dirinya ada, diadakan ataukah memang telah ada. Dirinya telah ada di mana-mana atau dirinya tak ada di mana-mana, semuanya tergantung pada sejauh mana tingkat penjiwaan masing-masing.
keadaan seperti inilah, para pelaku mistik kejawen benar-benar sedang menyatu batinnya, dan memiliki kesadaran secara kontinyu terhadap kosmis. Penyatuan batin merupakan kesenyawaan yang luar biasa. Dari kesadaran batin inilah yang bisa menciptakan ketenangan jiwa. Begitulah batin manusia yang telah menerima anugerah, bagaikan adanya piranti untuk menembus kabut hitam. Akhirnya batin manusia telah menjadi sinar, ada jalan sinar yang terang. Penerimaan sinar yang terang benderang akan membuat batin tak lagi kacau balau.  Dengan demikian titik terang kejiwaan para pelaku mistik semakin tajam dan jadi weruh (paham) terhadap kasunyatan agung.
Text Box: 17Dari sha’ir-sha’ir mistik tersebut orang Jawa dibawa untuk menyelami diri, memahami siapa dirinya. Karena itu ketika para mistikus Jawa hendak melakukan laku semedi, pertama kali yang harus dilakukan adalah melepaskan diri dari segala aku dan rasa egonya. Proses ini akan dirasa berat bagi para mistikus, sebab ketika keberadaan “rasa” mereka, masih memandang bahwa dirinya itu adalah “ingsun” (saya) dan “kumengsun” (sombong) berarti manusia masih belum mampu mengendapkan rasa diri/ akunya. Kalau dalam praktiknya, dalam melakukan ritual tersebut seseorang masih terhiasi oleh rasa dirinya/ akunya, baik rasa njero (dalam) maupun rasa njobo (luar), maka ia akan sulit menemukan “titik” tersebut. Dengan kata lain “titik” adalah kesadaran kosmis, sedangkan “titik temu” adalah kemanunggalan (menyatu).
Selain kesadaran “rasa sejati” dan “rasa kosmis” dalam pengembaraan mistik kejawen dijumpai pula pengalaman psikis yang lain, yaitu berupa kesadaran “sasmita ghaib dan suksma”. Permasalahan ghaib adalah ihwal tentang hubungan antara kekuatan materiil dan spirituil yang susah dijangkau oleh kebanyakan manusia. Ia adalah ilmu “sir” atau rahasia yang hanya bisa dicapai melalui ilmu laku, antara lain dengan ilmu laku mistik kejawen itu.
Bagi komunitas laku mistik yang telah mencapai tingkatan tertinggi, kaitannya dalam membangun interaksi dengan yang maha ghaib, mereka tidak lagi merasakan adanya hambatan-hambatan, halangan-halangan, baik fisik maupun psikis untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Dalam keadaan seperti ini, tempat yang ramai, gaduh, bising, riuh dan sejenisnya sama sekali bukan menjadi hambatan untuk berlangsungnya proses interaksi batiniyah dengan pencipta. Pada tingkatan inilah disebut sebagai tingkatan batin yang telah mampu menembus sekat-sekat misteri ghaib yang bagi masyarakat awam sulit dipahaminya. Dengan kata lain pada tingkatan inilah mereka telah memiliki kemampuan untuk menangkap sasmita ghaib, isharat-isharat ghaib.
G.    Memahami Tradisi Islam dan Islam Kejawen 
Simuh, membagi pendekatan terhadap Islam Jawa kepada dua bagian. Pertama, Islam dan Jawa dipahami sebagai dua kekuatan yang saling berhadapan. Kedua, Islam dan Jawa dipahami secara sinkretis, yang menyatakan bahwa Islam dan Jawa berkembang secara bersama-sama, saling mengisi dan saling memaknai.  Antara ajaran dan tradisi lokal saling menyapa. Model yang kedua inilah menurut pandangan Woodward sebagai masa depan agama, karena dianggap sebagai agama yang kreatif dan dinamis.
Text Box: 18Menurut Mulder, kepercayaan Jawa sebelum banyak bersentuhan dengan agama-agama besar telah memiliki pandangan hidup yang disebut dengan kejawen atau jawanisme. Pandangan Jawa ini bersifat sinkretis dan toleran. Bermula dari sikap ini “ kejawen” merupakan dasar yang baik untuk menerima masukan-masukan baru dari agama-agama besar. Bahkan dalam bukunya yang lain Mulder mengatakan bahwa untuk masuk menjadi salah satu agama resmi seseorang tidak harus mencegah praktik mistik dalam batinnya. Mentalitas kejawen condong kepada sinkretisme dan sanggup menampung berbagai argumentasi agama formal.
Perlu dimaklumi bersama bahwa yang dimaksud dengan kejawen di sini terdiri dari dua jenis lingkungan, yaitu lingkungan budaya istana yang relatif telah menyerap unsur-unsur Hinduisme dan lingkungan budaya wong cilik (pedesaan) yang masih hidup dalam bayang-bayang animisme-dinamisme.  Dalam praktiknya, perjalanan sejarah Islamisasi di Jawa menghadapi kesulitan, utamanya di kalangan budaya istana. Kesulitan itu dikarenakan raja Majapahit ketika itu menolak Islamisasi di kalangan istana. Jika raja menolak maka Islam kesulitan untuk masuk di kalangan istana.
Atas dasar kenyataan ini para penyebar Islam lebih menekankan Islamisasi di pedesaan, khususnya di kalangan pesisir Pulau Jawa. Di sanalah Islam berkembang, dan tidak lama kemudian perkembangan Islam yang ada di lingkungan pedesaan itu menjadi pesaing intelektual kalangan istana. Inilah kemudian terjadi proses inkulturisasi dan akulturisasi budaya Jawa dan budaya Islam yang memanifestasi menjadi Islam Jawa.
Pada gilirannya Islam Jawa ini mampu menampung dua model institusi keagamaan, yaitu antara agama resmi dan yang tidak resmi. Meski secara formal masing-masing institusi keagamaan tersebut terkesan memiliki konstruksi keyakinan yang berbeda. Institusi keagamaan formal, memiliki keyakinan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Sedangkan institusi non formal terdapat beberapa aliran, sebagian aliran memiliki keyakinan terhadap nenek moyang, sebagian yang lain percaya terhadap sangkan paraning dumadi yang artinya menuju ke asal dan tujuan kejadian. Pendapat yang mayoritas disepakati oleh aliran-aliran kebatinan adalah konsep kedua, yaitu konsep yang searti dengan menuju ke Tuhan.
Text Box: 19Dalam hal ini adalah mistik esoteris yang menurut Martin Lings (Mistikus Inggris) diakui sebagai salah satu bagian dari tradisi mistik Islam. Konsep manunggaling kawulo gusti, sebagai tradisi mistik Jawa yang telah berkembang di kalangan kraton lebih identik dengan tradisi esoterisme ini. Jika dikaji lebih detil konsep manunggaling kawulo lan gusti itu terdapat relasi yang dekat dengan mistik esoteris Ibn ‘Arabi tentang ajaran wahdatu al-wujūd. 
Kebanyakan antropolog, baik Barat maupun Indonesia mengatakan bahwa “Islam  Jawa”  identik dengan “Islam Sinkretis”. Dalam hal ini berbeda dengan Woodward, ia tidak mau menyebut Islam Jawa ini  identik dengan Islam sinkretis. Karena dalam pandangannya, doktrin Islam telah menggantikan Hinduisme dan Budhisme sebagai aksioma kebudayaan Jawa.  Perbedaan pandangan Woodward dengan mayoritas antropolog Barat ini antara lain dilatarbelakangi oleh sikap skeptisismenya dalam menilai antropologi Barat  yang telah gagal memahami Islam Jawa. Tidak hanya itu kalangan Islam puritan pun juga mengatakan persoalan yang hampir senada, yaitu bahwa Islam Jawa telah dianggap banyak mengalami praktik-praktik penyimpangan, sehingga Islam Jawa tidak lagi dinilai sebagai agama yang murni.
Padahal menurut Andrew Beatty bahwa perpindahan dari situasi Islam tradisionalis menuju ke mistisisme Jawa bagaikan kita memasuki dunia yang berbeda dengan bahasanya sendiri dan pola pemikirannya sendiri. Meski demikian, walaupun kadang ada mistifikasi dan cenderung paradoks, dunia ini akan lebih jelas diartikulasikan dan direalisasikan dalam kehidupan sehari-hari, dibanding dengan keseharian Islam praktis.  Masih menurutnya bahwa orang-orang Jawa secara sederhana dapat didefinisikan sebagai orang yang cenderung menekankan bagian Jawa dari warisan kultural mereka dan menganggap afiliasi muslim mereka sebagai hal sekunder.  Jika Islam menjanjikan surga melalui kerelaan ritual dan pengabdian terhadap Qur’an, maka kejawen mengambil dunia sehari-hari sebagai teks kuncinya dan sosok manusia sebagai kitab sucinya.
H.    Islamisasi Budaya dan Agama di Jawa
Text Box: 20Sejak perempatan akhir abad ke-7 M, Islam sesungguhnya telah masuk di Pulau Jawa.  Bersamaan dengan itu, di Jawa telah berkuasa ratu Simha di Kalingga. Informasi itu digali dari sumber-sumber referensi Cina asal Dinasti Tang. Namun demikian kehadiran Islam ketika itu tidak memperoleh respon positif dari masyarakat Jawa, lebih-lebih di kalangan kraton. Beberapa alasan mengenai mengapa Islam ketika itu tidak memperoleh respon positif, ditengarai karena sistem dakwah Islam diwujudkan dalam bentuk kekerasan fisik, ditandai dengan dipotongnya kaki putra mahkota oleh penyebar Islam berbangsa Arab bernama Tazhi.
Dalam mengkaji tentang budaya yang menjadi syari’at, penulis mengambil contoh dengan menganalisis mengenai kebudayaan orang Islam di Jawa. Orang Islam di Jawa memiliki beragam tradisi yang turun-temurun dari nenek moyangnya yang mana tradisi-tradisi tersebut tetap dijalankan sampai saat ini dan dibenarkan dalam syari’at Islam, sebagai contoh adalah tradisi selamatan.
Selamatan adalah tradisi makan bersama makanan yang telah diberi doa sebelum dibagi-bagikan. Asal mula kata selamatan yakni  kata selamat, sehingga hampir semua selamatan ditujukan untuk memperoleh keselamatan hidup dengan tidak ada gangguan-gangguan apapun, upacara ini biasanya dipimpin oleh seorang modin. Diantara berbagai macam golongan selamatan, adat kebiasaan yang sangat diperhatikan dan dilakukan oleh hampir seluruh masyarakat Jawa adalah selamatan berhubungan dengan kematian seseorang dan saat-saat sesudahnya yang mungkin disebabkan karena orang Jawa sangat menghormati arwah orang yang meninggal dunia, terutama keluarganya. Selamatan (sedekah) tersebut bertujuan untuk menolong roh nenek moyang tersebut di alam akhirat, diantanya adalah sedekah surtanah atau geblak, sedekah nelung dina, sedekah mitung dina, sedekah nyatus, sedekah mendak sepisan dan mendak pindo dan sedekah nyewu.[13]
Text Box: 21Budaya orang Islam di Jawa seperti selamatan tersebut dan masih banyak  yang lainnya, seperti sapara, ruwahan dan nyadran patut untuk kita lestarikan. Mengingat betapa bermanfaatnya kegiatan-kegiatan tersebut, seperti mewujudkan rasa syukur kepada Allah SWT dengan bersedekah, menjaga solidaritas sosial dengan berkumpulnya sanak saudara dan tetangga, dan lain sebagainya. Membahas keterkaitan antara budaya-budaya Jawa dengan Islam, tentunya terdapat perbedaan pandangan. Akan tetapi yang menjadi pedoman adalah bahwa dalam syari’at Islam, jika budaya itu berlangsung dan melanggar sisi tauhid (kemusyrikan), maka budaya tersebut haram dilakukan, namun jika budaya itu digunakan hanya sebatas praktek-praktek muamalah saja, maka itu diperbolehkan
I.       Sufisme dalam pergumpulan budaya dan peradapan dari sufisme  klasik hingga sufisme kontemaporer
Tasawuf sebagai salah satu tipe mistisisme, dalam bahasa inggris disebut sufisme. Kata tasawuf mulai diperbincangkan sebagai salah satu istilah sekitar akhir abad dua hijriyah yang dikaitkan dengan salah satu jenis pakaian kasar yang disebut shuff atau wool kasar. Menghubungkan sufi atau tasawuf dengan shuff cukup relevan, dikarenakan diantara keduanya ada hubungan korelasi yakni antara jenis pakaian yang sederhana dengan kebersahajaan hidup para sufi. Cara hidup yang demikian oleh sekelompok orang islam itulah kemudian disebut sufi dan ajarannya disebut tasawuf. Berbagai istilah tasawuf disampaikan oleh para ahli baik dari orang-orang islam itu sendiri maupun dari para ahli bahasa. Namun dari semuanya dapat disimpulkan jika tasawuf bermakna moral dan semangat islam, karena seluruh ajaran islam dari berbagai aspeknya adalah prinsip moral.
Fase arketisme pada perkembangan tasawuf bertahan hingga abad kedua hijriyah selanjutnya pada abad ketiga terlihat adanya peralihan dari arketisme ke fase sufisme.
Berikutnya yaitu fase ketiga yang ditandai dengan meneganggnya hubungan antara kaum orthodoks dengan kelompok sufi. Pada fase keempat yaitu ditandai dengan timbulnya dua aliran tasawuf yaitu tasawuf sunni dan tasawuf filsafati.
Secara umum tujuan tasawuf menurut kaum sufi yaitu agar berada sedekat mungkin dengan Allah. Tujuan tasawuf berdasarkan karakteristik yaitu
1)      Tasawuf yang bertujuan untuk pembinaan aspek moral.
2)      Tasawuf bertujuan untuk ma’rifatulloh melalui penyingkapan langsung atau  metode al-kasyf al -hijab.
3)      Text Box: 22Tasawuf bertujuan untuk membahas bagaimana sistem pengenalan dan pendekatan diri kepada Allah secara mistis filosofis, terutama hubungan manusia dengan Tuhan dan apa arti dekat dengan Tuhan.
Tradisi sufisme dikalangan masyarakat dunia islam telah populer sejak akhir abad II Hijriyah.seklipun secara formal istilah ini belum oleh masyarakat muslim ketika itu,namun substansi sufisme ini pada hakikatnya indentik dengan model keberagaman yang dulu akrab dengan sebutan zaid dan abid  yaitu tradisi asketisme yang biasa terlihat di serambi  masjid madinah.
      Proses evolusi sufisme dari priodesasi berikutnya bukanla tanpa makna. perubahan dari waktu kewaktu dengn seperangkat latar sosi-kulturnya, telah mengidentifikasikan bahwa sufiesme dalam perspektif historis memiliki catatan sejarah yang penting. Nilai nilai penting dalam sejarah itu antara lain terliaht peran-peran keritis mereka,baik terhadap biokrat yang telah menyimpang jauh dari nilai-nilai islam maupun budaya sekuler yang menghegemoni epistoemologi islam.sufiesme dengan ragam tampilan coraknya,msing-masing  memiliki kontribusi sosiologis yang tidak kecil dalam konteks sejarah.selain itugerakan sufisme dengan pola perubahanya yang sangat dinamis juga mengambaarkan bahwa sufisme dalam konteks sejarah tampil dengan tradisi dinamis dan inovatifnya,tidak mengenal lelah dalam membawa misi spritualnya,sufiesme adalah paham yang tidak bisa dipisahkan dengan model keagmaan kapanpun dan bagaimana pun.
Text Box: 23Oleh karena itu setiap perubahan  sikon,sufisme akan membawakandirinya sesuai dengan sikon yang ada.demikian pula dari sikon modernisasi misalnya,ke post modernisme,sufeisme akan tampil dengan  tradisi spritual ala post-modernismenya.hal ini terbukti bahwa ketika seseorang mencapai titik kegagalan spritual di era modernism karena sikap absolusitas  ditengah homogenitas,maka manusia segera  melakukan pelarian menuju ke post modernisme yang dinilai mampu memberikan ruang lebar bagi kebebasan nalar keagamanya.namun kebebasan pun tidak mampu menjawab probloma masyarakat pasca moderen. secara khusus,sufisme merupakan salah satu warisan ilmupengetahuan Islamyang penting untuk di pelihara, perhatikan, oleh umat Islam dan menganggapnya sebagai bagian dari nilai histori untuk di ketahui.
Perkembangan dalam tarekat sufisme mengalami kemajuan seiring denganpergantian waktu. Untuk itu, berbeda dengan pandangan sebagian orang yang
menganggap bahwa para sufi dan tarekatnya tidak akan mengalami perkembangan seiring dengan terjadinya modernisasi dan industrilisasi.Ironisnya, dalam dunia Islam, ada sebagian golongan yang mengklaim bahwa sufi adalah kelompok Islam yang merupakan faktor utama penyebab kemunduran umat Islam, Sufisme yang pernah dituduh sebagai biang keladi (pokok masalah) kemunduran umat Islam, bertentangan dengan etos modernism, oleh para sarjana muslim seperti Fazlur Rahman menganggapnya sebagai afiltrasi budaya luar yang menggerogoti Islam. Akan tetapi, berbeda dengan sekarang, tidak seperti yang selalu dipikirkan oleh umat muslim pada
umumnya, karena kini para sufi menjadi semacam trend, bagi sebahagian kalangan orang-orang Islam di perkotaan. Mereka anggap sebagai suatu wadah untuk bermanifestasi ke jalan menuju Ilahi, karena dianggap sebagai sumber ketenangan batin yang ideal.














Text Box: 24
 


 BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Antropologi merupakan suatu ilmu yang kajiannya terfokus kepada manusia dan kebudayaannya. secara umum dapat dikatakan antropologi merupakan ilmu yang mempelajari manusia dari segi keragaman fisiknya, masyarakatnya, dan kebudayaannya.
Agama yang dipelajari oleh antropologi adalah agama sebagai fenomena budaya, tidak agama yang diajarkan oleh Tuhan. Maka yang menjadi perhatian adalah beragamanya manusia dan masyarakat. Sebagai ilmu sosial, antropologi tidak membahas salah benarnya agama dan segenap perangkatnya, seperti kepercayaan, ritual dan kepercayaan kepada yang sakral.
Dari uraian tentang “Agama dan Budaya” yang telah dipaparkan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa Agama adalah mutlak ciptaan Tuhan  yang hakiki oleh karena itu agama dijamin akan kefitrahannya, kemurniannya, kebenarannya, kekekalannya, dan konstanta atau tidak dapat dirubah oleh manusia sampai kapanpun. Sedangkan kebudayaan adalah hasil cipta, karya, rasa, karsa dan akal buah budi manusia untuk mencapai kesempurnaan hidupnya, dimana kebudayaan itu sendiri akan mengalami perubahan sejalan dengan perkembangan jaman. Oleh karena itu, saya menekankan bahwa antara agama dan budaya meski memiliki hubungan namun tidak dapat dicampur adukan. Demikian makalah ini disususun, semoga dapat menjadi satu dari budaya sarana dalam menerangkan antara agama dan budaya.








Text Box: 25
 


DAFTAR PUSTAKA
Abimanyu, Petir. 2014. Mistik Kejawen. Yogyakarta: Palapa.
Agus, Bustanuddin. 2006. Agama dalam Kehidupan Manusia: Pengantar Antropologi Agama. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Jalaluddin Rakhmat. 2003. Psikologi Agama : Sebuah Pengantar, Bandung: Penerbit Mizan,
Abdullah,M.Yatimin. Studi Islam Kontemporer, (Pekan baru ; sinar grafika offset, 2004 Anwar, Rosihon. Ahlak Tasawuf. Bandung: CV. Pustaka Setia, 2010.
Ghony,Djunaidi.1996.”Mitos dan Praktik Mistik di Makam KH.Hasan Syaifurrizal Desa Karangbong Pajarakan Probolinggo”,dalam jurnal Pendidikan Islam,volume I,No.2,IAIN sunan  Ampel Malang Tarbiyah press
M. murtadho.2002.islam jawa:keluar dari kemelut santri vs abangan.yogyakarta lappera pustaka utama
Rivay Siregar.2002. Tasawuf:dari Sufisme Klasik Ke Neo Sufisme.Jakarta: raja Grafindo persada
Roibin,H. Desember 2009. Relasi Agama dan Budaya masyarakat kontemporer ,UIN Malang press:






                

No comments:

Post a Comment