MAKALAH TEORI SOSIAL BUDAYA ANTROPOLOGI DAN NILAI-NILAI AGAMA
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dilihat
dari segi Agama dan Budaya yang masing - masing memiliki keeratan satu sama
lain, sering kali banyak di salah artikan oleh orang - orang yang belum
memahami bagaimana menempatkan posisi Agama dan posisi Budaya pada suatu
kehidupan.
Penulis masih sering menyaksikan adanya
segelintir masyarakat yang mencampur adukkan nilai - nilai Agama dengan
nilai-nilai Budaya yang padahal kedua hal tersebut tentu saja tidak dapat
seratus persen disamakan, bahkan mungkin berlawanan. Demi terjaganya esistensi
dan kesucian nilai - nilai agama sekaligus memberi pengertian, disini penulis
hendak mengulas mengenai Apa itu Agama dan Apa itu Budaya, yang tersusun
berbentuk makalah dengan judul “Antropologi
dan Nilai-nilai Agama”. Penulis berharap apa yang ditulis, nanti dapat
menjadi paduan pembaca dalam mengaplikasikan serta dapat membandingkan antara
Agama dan Budaya.
B. Rumusan
Masalah
1.
Mengetahui
dan memahami apa itu antropologi dan nilai-nilai agama ?
2.
Bagaimana
bentuk Agama dan budaya dalam pergumpulan sosial?
3.
Apa
itu Akulturasi dan kolaborasi antara nalar agama dan nalar mitos?
4.
Bagaimana Mitologi religius dan toleransi
orang jawa?
5.
Bagaimana
Pola relasional antara tradisi mitis,religi,dan agama jawa kuna?
C. Tujuan
masalah
Untuk
mengetahui dan memahami yang ada dirumusan masalah
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Agama
dan budaya dalam pergumpulan sosial
1.
Pengertian
Antropologi
Secara
etimologi istilah “antropologi” merupakan gabungan dari dua kosakata dalam
bahasa Yunani, yaitu anthropos yang berarti manusia dan logos yang berarti
ilmu. Sehingga secara terminologi antropologi diartikan sebagai sebuah ilmu
yang mempelajari tentang manusia.
Antropologi
sebagai sebuah ilmu yang mempelajari tentang manusia berusaha untuk
mempelajari, menganalisa dan mendeskripsikan manusia secara holistik
(menyeluruh).Istilah holistik disini meliputi proses evolusi manusia, keragaman
manusia secara fisik, kebudayaan material masyarakat primitif, perilaku sosial
masyarakat dan bahasa-bahasa manusia (etnolinguistik).
2.
Agama
dalam Kajian Antropologi
Kata agama berasal dari bahasa
Sansekerta dari kata a berarti tidak dan gama berarti kacau. Kedua kata itu
jika dihubungkan berarti sesuatu yang tidak kacau. Jadi fungsi agama dalam
pengertian ini memelihara integritas dari seorang atau sekelompok orang agar
hubungannya dengan Tuhan, sesamanya, dan alam sekitarnya tidak kacau. Karena
itu menurut Hinduisme, agama sebagai kata benda berfungsi memelihara integritas
dari seseorang atau sekelompok orang agar hubungannya dengan realitas
tertinggi, sesama manusia dan alam sekitarnya.
Agama itu timbul sebagai jawaban manusia
atas penampakan realitas tertinggi secara misterius yang menakutkan tapi
sekaligus mempesonakan Dalam pertemuan
itu manusia tidak berdiam diri, ia harus atau terdesak secara batiniah untuk
merespons.Dalam kaitan ini ada juga yang mengartikan religare dalam arti
melihat kembali kebelakang kepada hal-hal yang berkaitan dengan perbuatan tuhan
yang harus diresponnya untuk menjadi pedoman dalam hidupnya.
Dalam
kajian antropologi terhadap agama, kehidupan beragama ditelusuri dari zaman
prasejarah sampai zaman modern. Berbagai macam kehidupan agama dipelajari,
diperbandingkan seobjektif mungkin dan ditinjau secara holistik, yaitu
mempelajari fungsi dan kaitannya dengan aspek budaya lain.
Antropologi klasik memahami gejala
kehidupan beragama sebagai kebudayaan suatu masyarakat. Agama dipahami sebagai
human creation atau human made. Agama dilihat sebagai: pertama, ekspresi
simbolis dari kehidupan manusia yang dengannya manusia menafsirkan dirinya
dirinya dan universe di sekelilingnya. Kedua, yang memberikan motif bagi
perbuatan manusia. Ketiga, sekumpulan tindakan yang berhubungan stau sama lain
yang punya nilai-nilai yang melangsungkan kehidupan manusia.
Hal yang menarik dalam antropologi agama
adalah mengenai acara dan upacara keagamaan masing-masing agama yang banyak
macamnya dan berbeda-beda. Kebanyakan antropolog melakukan pendekatan budayanya
terhadap waktu, tempat, alat perlengkapan, maksud dan tujuan, tata tertib dan
tata cara pelaksanaan dan orang-orang yang bertindak sebagai pemimpin upacara
keagamaan (orang suci)
Koentjaraningrat (dalam bukunya
Bustanuddin Agus) membagi teori antropologi tentang agama ke dalam tiga macam,
yaitu teori berorientasi kepada keyakinan keagamaan, berorientasi kepada sikap
manusia dan berorientasi kepada upacara religi.
Petama, teori yang berorientasi kepada
keyakinan keagamaan. Tokoh yang mempelopori teori ini adalah Andreu Lang. Lang
berkesimpulan bahwa kepercayaan beragama berasal dari kepercayaan kepada dewa
atau kekuatan gaib tertinggi, yang mana dalam agama besar dunia dewa tersebut
dinamakan Tuhan. Tokoh-tokoh lain dari teori ini diantaranya R.R. Marett dan
A.C. Kruyt.
Kedua,
teori yang berorientasi kepada sikap manusia. Teori ini dikemukakan oleh Rudolf
Otto. Ia menekankan kepada sikap kagum terpesona oleh penganut agama terhadap
zat yang ghaib (mysterium), maha dahsyat, maha baik, maha adil, maha bijaksana
(tremendum) dan keramat (sacer). Oleh karena itu manusia tertarik untuk bersatu
dengan zat tersebut.
Ketiga, teori yang berientasi kepada
upacara religi. Teori ini dikemukakan oleh Roberston Smith. Ia mengemukakan
bahwa disamping memiliki sistem kepercayaan dan doktrin, agama juga memiliki
sistem upacara yang relatif tetap, yaitu upacara keagamaan. Upacara keagamaan
berfungsi untuk menjaga solidaritas sosial yang mana manusia mempersembahkan
sesaji kepada dewa, kemudian manusia juga ikut makan bagian tertentu dari
sesaji tersebut yang bermakna supaya manusia dipandang dewa menjadi warga dewa
yang disembah.
3.
Pengertian
Budaya
Secara sederhana, kebudayaan merupakan hasil
cipta serta akal budi manusia untuk memperbaiki, mempermudah, serta
meningkatkan kualitas hidup dan kehidupannya. Atau, kebudayaan adalah
keseluruhan kemampuan (pikiran, kata, dan tindakan) manusia yang digunakan
untuk memahami serta berinteraksi dengan lingkungan dan sesuai sikonnya.
Kebudayaan berkembang sesuai atau karena adanya adaptasi dengan lingkungan
hidup dan kehidupan serta sikon manusia berada.
Kebudayaan dikenal karena adanya
hasil-hasil atau unsur-unsurnya. Unsur-unsur kebudayaan terus menerus bertambah
seiring dengan perkembangan hidup dan kehidupan. Manusia mengembangkan
kebudayaan; kebudayaan berkembang karena manusia. Manusia disebut makhluk yang
berbudaya, jika ia mampu hidup dalam atau sesuai budayanya. Sebagian makhluk
berbudaya, bukan saja bermakna mempertahankan nilai-nilai budaya masa lalu atau
warisan nenek moyangnya, melainkan termasuk mengembangkan hasil-hasil
kebudayaan.
Di
samping kerangka besar kebudayaan, manusia pada komunitasnya, dalam
interaksinya mempunyai norma, nilai, serta kebiasaan turun temurun yang disebut
tradisi. Tradisi iasanya dipertahankan apa adanya; namun kadangkala mengalami
sedikit modifikasi akibat pengaruh luar ke dalam komunitas yang menjalankan
tradisi tersebut. Misalnya pengaruh agama-agama ke dalam komunitas budaya (dan
tradisi) tertentu; banyak unsur-unsur kebudayaan (misalnya puisi-puisi, bahasa,
nyanyian, tarian, seni lukis dan ukir) di isi formula keagamaan sehingga
menghasilkan paduan antara agama dan kebudayaan.
Kebudayaan dan berbudaya, sesuai dengan
pengertiannya, tidak pernah berubah; yang mengalami perubahan dan perkembangan
adalah hasil-hasil atau unsur-unsur kebudayaan. Namun, ada kecenderungan dalam
masyarakat yang memahami bahwa hasil-hasil dan unsur-unsur budaya dapat berdampak
pada perubahan kebudayaan.
Perbedaan antara agama dan budaya
tersebut menghasilkan hubungan antara iman-agama dan kebudayaan. Sehingga
memunculkan hubungan (bukan hubungan yang saling mengisi dan membangun) antara
agama dan budaya. Akibatnya, ada beberapa
sikap hubungan antara Agama dan Kebudayaan, yaitu:
1.
Sikap
Radikal: Agama menentang Kebudayaan. Ini merupakan sikap radikal dan ekslusif,
menekankan pertantangan antara Agama dan Kebudayaan. Menurut pandangan ini,
semua sikon masyarakat berlawanan dengan keinginan dan kehendak Agama. Oleh
sebab itu, manusia harus memilih Agama
atau Kebudayaan, karena seseorang tidak dapat mengabdi kepada dua tuan.
Dengan demikian, semua praktek dalam unsur-unsur kebudayaan harus ditolak
ketika menjadi umat beragama.
2.
Sikap
Akomodasi: Agama Milik Kebudayaan. Sikap ini menunjukkan keselarasan antara
Agama dan kebudayaan.
3.
Sikap
Perpaduan: Agama di atas Kebudayaan. Sikap ini menunjukkan adanya suatu
keterikatan antara Agama dan kebudayaan. Hidup dan kehidupan manusia harus
terarah pada tujuan ilahi dan insani; manusia harus mempunyai dua tujuan
sekaligus.
4.
Sikap
Pambaharuan: Agama Memperbaharui Kebudayaan. Sikap ini menunjukkan bahwa Agama
harus memperbaharui masyarakat dan segala sesuatu yang bertalian di dalamnya.
Hal itu bukan bermakna memperbaiki dan membuat pengertian kebudayaan yang baru;
melainkan memperbaharui hasil kebudayaan. Oleh sebab itu, jika umat beragama
mau mempraktekkan unsur-unsur budaya, maka perlu memperbaikinya agar tidak
bertantangan ajaran-ajaran Agama. Karena perkembangan dan kemajuan masyarakat,
maka setiap saat muncul hasil-hasil kebudayaan yang baru. Oleh sebab itu, upaya
pembaharuan kebudayaan harus terus menerus. Dalam arti, jika masyarakat lokal
mendapat pengaruh hasil kebudayaan dari luar komunitasnya, maka mereka wajib
melakukan pembaharuan agar dapat diterima, cocok, dan tepat ketika
mengfungsikan atau menggunakannya.Karena adanya aneka ragam bentuk hubungan
Agama dan Kebudayaan tersebut, maka solusi terbaik adalah perlu pertimbangan –
pengambilan keputusan etis-teologis (sesuai ajaran agama). Dan untuk mencapai
hal tersebut tidak mudah.
B.
Akulturasi dan kolaborasi antara nalar agama dan
nalar mitos
Realita diperoleh hanya dengan melalui
pengulangan. Realitas yang tidak memiliki model untuk diulang-ulang atau ditiru
berarti tidak memiliki makna dan berarti pula tidak disebut sebagai realitas.
Dengan demikian mitos bisa dipahami sebagai akumulasi konsepsi manusia dari
renungan-renungan imajinatif-filosofis mengenai kehidupan, kematian, takdir,
manusia, dewa, asal mula kejadian, surga, neraka, dan pencipta, yang
memanifestasi menjadi model atau paradigma. Inilah yang disebut dengan istilah
model of reality (konsepsi yang digali dari realitas).
Pada saat yang sama ketika model itu
telah diulang-ulang, maka mitos itu menjadi model for reality (konsep yang
dijadikan sebagai pedoman dan arahan bagi realitas, utamanya kehidupan
manusia). Nalar tersebut memberikan inspirasi baru tentang pola interaksi
antara mitos dan realitas. Keduanya adalah dua entitas yang saling berkaitan.
Realitas ada karena eksistensi mitos, sebaliknya mitos ada karena realitas.
Meski sedemikian sinerginya posisi keduanya, namun di mata sebagian masyarakat
tertentu ia masih sering dikontraskan.
Karakteristik
mitos :
1. Mitos berkaitan dengan aktifitas
supernatural
2. Mitos berkaitan dengan absolusitas
kebenaran
3. Mitos berkaitan dengan model of reality
4. Pengetahuan mitos melekat pada diri seseorang
5. Jalan alternatif bagi kehidupan
Fungsi
utama mitos bagi kebudayaan primitif adalah
a.
mengungkapkan,
mengangkat, dan merumuskan kepercayaan
b.
melindungi
dan memperkuat moralitas
c.
menjamin
efensiensi ritus
d.
memberikan
peraturan-peraturan praktis untuk menuntun manusia.
e.
Memberikan
pijakan untuk menjelaskan dunia dan seluruh pengalaman eksistensi kemanusiaan
yang lainnya.
Karena sedemikian pentingnya, maka semua
masyarakat baik dari kalangan primitif maupun yang modern, memiliki mitos dalam
mentalitasnya. Mitos pada saatnya betul-betul berperan sebagai peran agama,
mengingat masih sederhananya konsepsi agama ketika itu dikalangan komunitas
primitif. Mitos pada saatnya mengandaikan suatu ontologi dan hanya berbicara
mengenai kenyataan.
Termasuk juga mitos yang merupakan
upaya-upaya konkretisasi dari hal-hal yang bersifat abstrak, dari impian menuju
kenyataan. Dilihat dari fungsinya, mitos berperan layaknya fungsi agama, tetapi
tidak menggantikan agama itu sendiri. Karena mitos adalah impian-impian
kebajikan universal yang berperan sebagai sumber nilai yang bisa dijadikan
pedoman bagi kehidupan mereka. Sementara konsepsi-konsepsi agama yang tertuang
dalam teks suci juga selalu memuat impian-impian ideal yang indah. Misalnya
tentang gambaran indahnya surga. Perbedaan keduanya hanya terletak pada subjek
yang melakukan konstruksi atas impian idel itu.
Subjek konstruksi mitos adalah manusia
sedangkan subjek konstruksi agama adalah dua kekuatan kompromistik antara tuhan
sebagai representasi wahyu dan manusia sebagai representasi hasil penafsiran.
Dalam
kondisi seperti ini, manusia tidak akan mampu hidup tanpa agama, demikian juga
tanpa mitos, meskipun dalam tatanan empirik sebagian diantara mereka yang hidup
dalam garis linier keteraturan berpotensi untuk melupakannya. Oleh karena itu
keyakinan terhadap agama maupun mitos akan muncul jika dalam kehidupan manusia
selalu dihadapkan pada berbagai peristiwa kehidupan yang mencemaskan.
Mitos tidaklah sama dengan mitologi.
Keduanya memiliki implikasi dan dampak pemahaman yang berbeda, perbedaan itu
terletak pada tingkatannya. Karena ketika mitos telah runtuh dan merosot nilai
aktualisasinya maka makna mitos itu telah berubah menjadi mitologi yang tidak
memiliki nilai, sekalipun ia tetap tertanam kuat dalam kesadaran populisme
suatu bangsa atau kelompok. Disanalah mitos memiliki makna positif dengan
mengisi tekad dalam cita-cita mendorong ke arah kemenangan dan realisasi diri
diatas bumi ini. Sementara itu mitologi hanya akan melemahkan tekad dan
menyerupkan sikap santai, puas dan menyerah. Mitos yang telah usang dan renta
akan melahirkan mitologi. Dalam kaitannya dengan konteks modern ini
penggambaran keilmuan bagi realitas telah menggantikan posisi mitos, sementara
idiologi negatif telah menggantikan posisi mitologi.
Dengan begitu bisa dipahami bahwa
karakteristik mitos yang berkembang di masyarakat jawa, tentu tidak jauh dari
keyakinan dan kepercayaan kejawen itu,demikian juga mitos yang berkembang di
daerah-daerah lain, semua tidak akan lepas dari karakter dasar kondisi
lokalitasnya.
C. Mitologi
religius dan toleransi orang jawa
Mitologi
dan Toleransi Orang Jawa”. Ia adalah seorang ilmuan politik otodidak yang
tertarik dengan seni, drama dan musik Jawa. Kurang lebih tiga tahun lamanya ia
melakukan penelitian di Indonesia, dan telah mencapai pemahaman yang luar biasa
mengenai berbagai hal di atas dalam
peradaban Jawa. Ia ingin menekankan bahwa studi ini bersifat penggalian dan
bahwa kesimpulan-kesimpulan yang ia capai hanyalah bersifat tentatif.
Dalam
dasawarsa terdahulu para pengamat seringkali menyebut istilah “sinkretisme
Jawa” dan relativisme Jawa”. Namun istilah tersebut, sejak pecahnya revolusi
nasional Indonesia telah berubah dan lebih popular dengan sebutan “toleransi
orang Jawa” sebagai watak mereka yang paling utama. Terlepas orang Jawa sendiri
secara tradisional menganggap toleransi sebagai salah satu wataknya yang
menonjol atau tidak, namun yang jelas akhir-akhir ini tampaknya mereka juga
merasa bangga karena reputasi mereka akan keterbukaannya dan sikap
lapangdadanya.
Meluasnya
istilah toleransi dalam masyarakat Jawa itu telah diakui oleh beberapa kalangan
dan merupakan kesatuan pendapat di kalangan orang-orang asing yang menekuni
pada hal ini, termasuk orang Jawa sendiri yang terpelajar. Hal ini disebabkan
oleh faktor psikologis, politis dan
historis. Bahkan lebih naïf lagi bahwa
kesatuan pendapat ini lebih cenderung menutupi gagasan “toleransi Jawa”.
Menurut
Anderson bahwa pengertian “relativisme Jawa” seharusnya tidak dipahami sebagai
toleransi terhadap perbedaan-perbedaan umum dengan mengabaikan masalah ras,
warna dan kepercayaan. Dalam kenyataannya, relativisme Jawa tidak berlaku bagi
kelompok-kelompok dan etnis lainnya yang ada di Indonesia. Dengan kata lain
terhadap siapa orang Jawa merasa sedikit lebih unggul? Selain itu, sikap
toleransi Jawa juga tidak berlaku bagi orang-orang Cina dan Eropa.
Kedua
komunitas ini mempunyai prestise ambigu yang diwarisi dari penjajahan dulu.
Atas dasar pengalaman ini pula orang jawa menyarankan agar anak mereka tidak
kawin dengan orang Cina dengan alasan abu mereka lebih tua. Dengan pengertian
lain anak-anak mereka akan menjadi lebih Cina dari pada Jawa. Meskipun
orang-orang Cina dalam beberapa hal lebih bisa diterima oleh orang Jawa di
banding dengan Sunda. Hal ini secara historis orang-orang Cina di Jawa Tengah
dan Jawa Timur sudah berinteraksi sejak
dahulu kala. Sementara itu orang-orang Cina setempat telah menyatu dengan
kebudayaan Jawa.
Pandangan
di atas terkesan sangat inklusif, toleran dan relatif. Namun dalam faktanya,
meskipun orang-orang Jawa secara kuantitatif mayoritas adalah bergama Islam,
tetapi ikatan spiritual yang nyata dari
sebagian besar orang Jawa terhadap agama ini lebih sedikit dari jumlah
nominalnya (h.4).
Kekuatan
dalam memilih partai-partai Islam di Jawa misalnya, mayoritas adalah orang-orang
Sunda di Jawa Barat dan Madura di Madura dan ujung Timur pulau Jawa. Di antara
orang-orang Jawa, Islam paling kuat adalah berada di daerah pesisir pantai
Utara. Hal itu karena secara historis banyak dipengaruhi oleh
kebudayaan-kebudayaan asing—Cina, Arab dan Eropa-, sementara itu secara politis
dan sosial Islam jauh dari pusat kebudayaan Jawa yang terletak di Jawa Tengah
bagian Selatan.
D. Pola
relasional antara tradisi mitis,religi,dan agama jawa kuna
Mengamati secara cermat asal-usul
kepercayaan Jawa tidaklah sesederhana yang kita bayangkan. Kepercayaan Jawa
yang banyak bersentuhan dengan mistik itu,dalam realitasnya banyak menyimpan
misteri yang sangat kompleks. Kompleksitas kepercayaan komunitas kejawen tidak
jarang menampakkan berbagai sekte dan tradisi kehidupan dalam masyarakat Jawa.
Sekte-sekte dan tradisi kehidupan itu sebagai bentuk manifestasi dari
religiusitas masing-masing wilayah
kejawen.
Lebih menarik lagi, hampir setiap
wilayah kejawen memiliki pedoman khusus khas Jawa, memiliki kosmogoni
(asal-usul) kepercayaan dan mitos yang berbeda-beda serta unik.
Tidak sedikit para ilmuwan antropologi
yang berbeda perspektif dalam melihat kosmogoni kepercayaan kejawen ini.
Sebagian ilmuwan mengatakan bahwa kosmogoni kepercayaan Jawa diwarnai oleh
kebudayaan Cina.Pandangan ini didasarkan pada suatu pemikiran bahwa berita
mengenai Cina di kepulauan Indonesia dapat dianggap sebagai sumber ke tujuh
dalam sejarah politik Jawa pada abad ke-15 dan 16. Dalam catatan Narendra Agung
dikatakan bahwa Cina ternyata sangat penting bagi pembentukan corak kepercayaan
Islam di masyarakat Jawa. Demikian juga dalam catatan sejarah dari pusat-pusat
perdagangan Cina di Jawa, menunjukkan bahwa telah ada orang Cina Muslim yang
tinggal di Jawa.
Pengaruh imigran Melayu Cina ini, bagi
masyarakat Jawa tidaklah kecil, melainkan kultur Cina baik yang sudah
bersentuhan dengan kebudayaan Islam sebagaimana yang terjadi pada masa
kekuasaan Khubilai Khan, maupun yang belum berinteraksi dengan Islam, betapapun
telah banyak mempengaruhi karakter asli kebudayaan Jawa..
Dengan
demikian, baik Cina maupun Campa sekalipun memiliki corak kepercayaan maupun
kebudayaan yang khas pada wilayahnya masing-masing, namun proses interelasi dan
inkulturisasi dengan Islam, sedikit
banyak telah merubah iklim dan wajah kepercayaan dari dua bangsa tersebut
menjadi kepercayaan yang saling melengkapi dan berasimilasi. Lebih-lebih ketika
kedua bangsa tersebut mengungsi ke Jawa,
maka kepercayaan Bangsa Campa utamanya telah berubah menjadi Hindu-Jawa
dan Islam-Jawa. Sentuhan kepercayaan dan
kebudayaan yang telah banyak mewarnai corak kepercayaan maupun kebudayaan
bernuansa Islam di satu sisi dan Hindu di sisi yang lain telah melengkapi
karakter asli kepercayaan Jawa di kalangan masyarakat Jawa.
Secara antropologis orang Jawa memang
telah lama ada. Hal ini terbukti telah ditemukan fosil-fosil di sekitar
Bengawan Solo, Jawa Tengah. Fosil yang tertua disebut Pithecantropus Erectus
dan fosil yang termuda disebut Homosoloensis. Karena fosil ini ditemukan di
Jawa Tengah dapat diduga bahwa propinsi ini yang menjadi nenek moyang orang
Jawa. Orang Jawa selalu menyatakan bahwa mereka adalah keturunan leluhur Jawa.
Leluhur Jawa adalah orang yang mendirikan tanah Jawa.
Hanya
saja, siapa yang menjadi pemula dari leluhur orang Jawa tersebut di antara para ahli masih berbeda pandangan.
Pertama: pandangan yang beraggapan bahwa leluhur orang Jawa berasal dari Timur Tengah yang mengembara
dengan cara berdagang sampai ke Jawa. Kedua: leluhur Jawa berasal dari dewa,
yaitu Dewi Laksmi dan Dewa Wisnu, atas dasar itulah mayoritas komunitas kejawen
memiliki karakteristik untuk mempertahankan nilai dan status sosialnya sebagai
keturunan Dewa.Ketiga: berasal dari seorang pengembara yang gemar keliling
dunia seperti halnya Marcopolo. Ketiga asal-usul tersebut sama-sama logis dan
menduduki peranan penting dalam kehidupan orang Jawa. Hal ini menggambarkan
bahwa tradisi kepercayaan nenek moyang Jawa pun terjadi sinkretis antara Hindu
Jawa dan Islam Jawa.Hindu Jawa berasal dari tradisi India dan Campa sementara
Islam Jawa berasal dari Timur Tengah dan sebagian tradisi Campa dan Tradisi
Cina.
Sementara
itu, ilmuwan lain mengatakan bahwa asal mula kepercayaan Jawa asli yang
bersifat transendental lebih cenderung kepada paham animisme dan dinamisme.Pandangan
senada diungkapkan juga oleh Masroer. Menurutnya sebelum Hinduisme dan Budhisme
masuk ke Jawa, agaknya orang-orang Jawa telah menganut agama asli yang bercorak
animistik dan dinamistik.
RM Sutjipto Wirjosuparto juga mempunyai
pandangan yang sama, ia mengatakan sungguhpun kebudayaan Jawa asli menjalin
hubungan dengan kebudayaan-kebudayaan lain yang lebih tinggi, misalnya kebudayaan
Hindu, Islam dan Barat yang menyebabkan termodifikasinya kebudayaan Jawa asli,
ternyata pola kebudayaan asli Jawa tetap saja sama dengan sebelumnya, lantaran
unsur-unsur kebudayaan lain tersebut terserap dalam pola kebudayaan dan
kepercayaan kejawen. Dengan demikian bisa dikatakan bahwa elastisitas
kebudayaan kejawenlah yang mampu mempertahankan karakter dan ciri asli
kejawennya.
Bermula dari kepercayaan animisme dan
dinamisme Jawa--dengan varian-varian mitologinya yang ada pada masing-masing
wilayah—yang dipertemukan dengan budaya luar yang lebih tinggi, misalnya Hindu,
Budha, dan Islam telah memunculkan model kepercayaan baru berupa Islam Kejawen,
Hindu Kejawen dan Budha kejawen sesuai dengan di wilayah mana mereka berada.
Perbedaan pandangan asal-usul kejawen
tersebut selain dilatarbelakangi oleh cara pandang historis, juga karena
dipengaruhi oleh perbedaan konstruksi mitologis yang ada pada masing-masing
wilayah. Perbedaan mitologis yang ada pada masing-masing wilayah itu akan
terlihat dengan jelas dalam mitos dua
tokoh misteri, yaitu Sri dan Sadono. Menurut kepercayaan mitis Jawa, Sri dan
Sadono adalah asal-usul Kejawen. Sri sebenarnya dimitoskan sebagai penjelmaan
dewi Laksmi, isteri Wisnu. Sedangkan Sadono adalah penjelmaan dari Wisnu itu
sendiri. Dalam kaitannya dengan mitologi ini sesungguhnya Sri dan Sadono adalah
lambang Dewi Laksmi dan Dewa Wisnu sebagai suami istri yang menjadi cikal bakal
kejawen.
Paham kejawen sejak mempercayai
mitos Dewi Sri dan Dewa Sadono dianggap mencerminkan kebodohan, baru ketika
Ajisaka datang ke tanah Jawa, masyarakat Jawa merasa memiliki ilmu. Atas dasar
itu Ajisakalah yang dianggap penyangga keilmuan Jawa. Oleh karena itu dalam
kisahnya, Ajisaka akan mengalahkan Dewata Cengkar, lambang masyarakat tempo
dulu yang masih membawa tradisi bar-bar, yaitu masyarakat yang belum
berperadaban. Dewata adalah simbol kebaikan, sedangkan Cengkar adalah simbol
keburukan. Dewata Cengkar berarti gambaran baik dan buruk yang ada pada diri
manusia. Hadirnya Ajisaka di Jawa bermaksud menyingkirkan berbagai keburukan
dan kegersangan pada diri manusia, selanjutnya menghadirkan dan memenuhi
sifat-sifat kebaikan yang menandainya sebagai makhluk yang berperadaban dan
berkebudayaan.
Dari kisah mitis tersebut
menggambarkan bahwa Ajisaka berasal dari pulau Majeti, adalah gambaran
badan wadag (kasar) manusia. Gambaran alam semesta yang mudah rusak, di
tempat inilah akan selalu dihuni oleh abdi Dora dan Sembada, yaitu nafsu yang
jelek dan baik. Keduanya senantiasa berkecamuk dan tidak ada yang menang dan
kalah. Sekilas dari kisah sugestif ini Ajisaka memang bukan asli kejawen, hanya
saja ia mengajarkan kejawen menurut versinya. Artinya ajaran kejawen yang telah
dikolaborasi dengan ajaran yang ada pada dirinya, namun bagi kejawen hal tersebut
tidak menjadi masalah.
E. Interelasi
dinamis antara mistik islam,dan mistik kejawean
Sejauh referensi yang berhasil
diadaptasi, secara ontologis mistik kejawen itu adalah manifestasi agama Jawa,
sementara agama Jawa itu sendiri adalah akumulasi praktik religi masyarakat
Jawa. Sedangkan secara epistemologis,
mistik kejawen dianggap sebagai agama sinkretis, yaitu agama yang bercampur,
baik secara teologis maupun tata aturan ritualnya dengan agama-agama formal
yang lain, seperti agama Hindu, Budha maupun Islam. Sementara kelompok lain
berbeda cara pandangnya, memahami bahwa mistik kejawen adalah murni dari ajaran
kejawen yang telah muncul jauh sebelum agama-agama itu mengalami proses
akulturasi dengan budaya dan agama Jawa.
Untuk
melihat lebih jauh tentang ada atau tidaknya keterlibatan ajaran lain terhadap
mistik kejawen itu bisa dilihat dari bukti beberapa karya sastra Jawa yang
telah dijadikan sebagai model for reality, sistem nilai atau pedoman bagi
tindakan mereka. Disadari atau tidak, beberapa karya sastra yang dihasilkan
oleh para pujangga Jawa, antara lain sastra Arjuna Wiwaha karangan Empu Kanwa,
Serat Cebolek karya Yasadipura, Serat Sasanasunu karya Yasadipura, Serat
Wulangreh karya Pakubuwono IV, Serat Centhini karya Pakubuwono V, Serat
Wedhatama karya Mangkunegara IV dan karya-karya lain seperti Suluk dan beberapa
sha’ir yang berhasil digubah oleh Wali Sanga yang melukiskan perjalanan mistik
kejawen itu, merupakan proses
akulturatif dan sinkretis dengan agama-agama lain.
Berbagai karya besar para pujangga dan
elite agama tersebut acapkali dijadikan sebagai pedoman dalam menjalankan mistik kejawen itu. Oleh
karena laku mistik mereka banyak berkiblat kepada hasil karya tersebut, maka
tidak sedikit karya para leluhur dan agamawan itu yang telah disakralkan.
Sebagai sebuah agama Jawa, tentu saja ajaran mistik kejawen tersebut juga
memiliki pola aturan horisontal dan vertikal, sebagaimana layaknya ajaran agama
formal lainnya. Hubungan horisontal itu dikenal dengan istilah memayu hayuning
bawana sedang hubungan vertikal dikenal dengan istilah manunggaling kawula lan
gusti. Dalam istilah mistik kejawen, hubungan keduanya disebut dengan panembah,
artinya orang Jawa akan berbakti kepada Tuhan, melalui ritual mistik kejawen.
Dengan demikian, hakikat agama Jawa
adalah pemujaan pada leluhur melalui sikap mistik. Sekalipun secara kasat mata
mereka melakukan pemujaan pada arwah para leluhur, namun esensinya adalah tetap
terpusat kepada Tuhan. Bagi mereka,
Tuhan adalah dipersonifikasikan sebagai sumber pemberi anugerah, berkah,
sementara arwah para nenek moyang atau leluhur hanyalah perantara (wasilah).
Titik sentral agama Jawa termanifestasi pada upacara selamatan yang
berkolaborasi secara berkelindan dengan budaya lokal Jawa. Bagi mereka,
selamatan dianggap sebagai visualisasi mistik kejawen. Ia juga dianggap sebagai
bentuk representasi harapan yang penuh keikhlasan lahir dan batin. Oleh karena
itu secara singkat bisa dikatakan bahwa agama Jawa adalah perwujudan keluhuran
budi manusia kepada Tuhannya.
Berbeda
dengan mistik kejawen, Mistik Islam atau yang disebut dengan sufi dalam banyak
hal belum bisa terlepas dari ikatan-ikatan pemahaman legal-formal Islam, yaitu
sebagai representasi shari’ahnya. Dengan kata lain hakikat, dalam pandangan
Islam tidak bisa terpisah dari shari’atnya. Secara sederhana bisa dikatakan
bahwa isi itu tidak pernah bisa lepas dari wadahnya. Karena itu untuk mencapai
makrifah dalam Islam selalu harus melalui tahapan-tahapan, mulai dari shari’ah,
tarikah, hakikat dan makrifah. Dalam perspektif Islam, hakikat tidak boleh
bertentangan dengan shari’ah.
Antara mistik kejawen dan sufi memang
sangat dekat dan sulit dibedakan secara esoterik. Tasawuf sering disejajarkan
dengan mistisisme, bahkan kadang perjumpaan kedua komunitas tersebut dinamakan
mistik Islam Kejawen. Tasawuf adalah bentuk mistik Islam yang berupaya agar
hati manusia menjadi benar dan lurus dalam menuju Tuhan. Tasawuf berasal dari
bahasa Yunani Sophos, yang memiliki arti hikmah atau keutamaan. Ia adalah
ajaran mistik yang diusahakan oleh sekelompok umat Islam dan mengacu kepada
ajaran Islam. Ajaran mistik dalam Islam disebut hakikat atau kasunyatan.
Tasawuf merupakan bentuk peningkatan moral untuk membersihkan batin. Tujuan
tasawuf adalah mencapai ketentraman rohani. Melalui tasawuf budi pekerti
manusia akan lebih halus. Tasawuf sejenis ini adalah tasawuf sunni, laku mistik
yang mengarah pada pembentukan kepribadian.
Dengan demikian antara tasawuf (sufisme
Islam) dan mistik kejawen terdapat titik perjumpaan yang jelas, yaitu
kedua-duanya telah menjadikan media laku spiritual itu untuk mencapai kedekatan
diri kepada Tuhan. Kesamaan yang lain adalah, jika tasawuf mengandalkan
pemusatan batin melalui bentuk meditasi, maka mistik kejawen pun juga memiliki
kayakinan ajaran bahwa pengetahuan tentang hakikat Tuhan bisa diperoleh melalui
meditasi atau kesadaran spiritual yang bebas dari campur tangan akal dan
pancaindra. Dalam kaitannya dengan ini, baik tasawuf maupun mistik kejawen
sama-sama ingin menggapai tingkatan makrifat yang tertinggi. Jalan untuk
mencapai ini adalah melalui tarekat.
Oleh
karena itu, perjumpaan secara esoterik antara tasawuf dan mistik kejawen
tidaklah mudah untuk ditolak.
Pemanfaatan secara bersama-sama antara buku primbon dan kitab mujarobat
adalah bukti yang sulit dipisahkan. Baik tasawuf maupun mistik kejawen, kedua-duanya
selalu menjalankan beberapa hal yang senada, antara lain 1) neptuning dino dan
pasaran yang dihubung-hubungkan dengan rezki manusia, 2) perhitungan
menyembuhkan orang yang sakit, 3) mantra dan do’a tolak bala’ dan seterusnya.
F. Memahami
Perilaku Psikologis Mistik Kejawen
Ungkapan simbolik tentang wong Jawa kuwi
nggone rasa atau wong Jawa kuwi nggone
semu adalah ungkapan simbolik-filosofis
yang cukup popular di kalangan masyarakat Jawa. Popularitas ungkapan simbolik
itu tidak saja termanifestasi dalam perilaku kehidupan sehari-hari mereka yang
bisa diamati secara empirik, lebih dari itu ia menjadi bagian yang tidak bisa
dipisahkan dari perilaku psikologis batin masyarakat Jawa. Oleh karena itu
mental tentang rasa sejati (menyatunya rasa yang merasakan dan rasa yang
dirasakan) merupakan karakter psikologis yang senantiasa menyatu ke dalam semua
dimensi kepribadian masyarakat Jawa. Dengan demikian yang menandai seseorang
itu disebut sebagai representasi orang jawa adalah keberadaan rasa sejatinya
itu.
Singkatnya, bagi mereka yang tidak tahu
rasa, yaitu berperilaku seenaknya sendiri, menuruti kehendaknya sendiri, maka
orang tersebut menurut penilaian orang Jawa dikatakan sebagai orang yang telah
mati rasane. Dalam istilah Jawa yang lebih popular, bagi mereka yang belum
mengetahui ngelmu rasa dianggap sebagai
masyarakat yang belum Jawa, atau belum menep rasane. Oleh karena itu rasa adalah salah satu
mental psikologis mistik kejawen yang selalu ada dalam setiap proses mistiknya.
Dalam
serat Centhini XI : 669 dijelaskan bahwa ngelmu rasa itu memuat tiga kerelaan
batin, yaitu : 1) rela terhadap taqdir suci, 2) rela terhadap dhikir dalam
hening, dan 3) rela terhadap anāsir atau asal-usul kehidupan. Dari ketiga hal
ajaran ini menjelaskan bahwa tingkatan ngelmu rasa yang tertinggi adalah ngelmu
rasa tauhid. Ngelmu inilah yang dalam masyarakat Jawa disebut sebagai ngelmu
tuwa. Penerapan dari ngelmu tuwa ini dilakukan dengan mengatur masuk keluarnya
nafas : 1) napas, melalui mulut dengan mengucapkan laila ha illallah, yang
disebut sebagai wirid shari’ah, 2) anpas, melalui telinga, yaitu dengan membaca
illallah illallah, 3) tanapas, melalui mata, yaitu dengan mengucap Allah Allah,
4) nupus, melalui hidung, yaitu dengan membaca hu hu hu, wirid ini termasuk wirid
makrifah.
Selain rasa sejati, dalam proses
perilaku psikologis mistik kejawen juga mengalami apa yang dinamakan dengan
rasa sadar kosmis. Tanpa terasa, ketika seseorang sedang melakukan laku mistik
kejawen, saat itu pula masyarakat Jawa telah melakukan pelacakan terhadap
“aku”. Gambaran tentang aku adalah gambaran tentang diri kita yang tidak pernah
jelas, pada saat orang tak sadarkan diri. Sebaliknya, ketika seseorang sadar
dengan melalui eneng ada, ening, maka pada saat yang sama para mistikus kejawen
akan mengatakan bahwa dirinya ada, diadakan ataukah memang telah ada. Dirinya
telah ada di mana-mana atau dirinya tak ada di mana-mana, semuanya tergantung
pada sejauh mana tingkat penjiwaan masing-masing.
keadaan seperti inilah, para pelaku
mistik kejawen benar-benar sedang menyatu batinnya, dan memiliki kesadaran
secara kontinyu terhadap kosmis. Penyatuan batin merupakan kesenyawaan yang
luar biasa. Dari kesadaran batin inilah yang bisa menciptakan ketenangan jiwa.
Begitulah batin manusia yang telah menerima anugerah, bagaikan adanya piranti
untuk menembus kabut hitam. Akhirnya batin manusia telah menjadi sinar, ada
jalan sinar yang terang. Penerimaan sinar yang terang benderang akan membuat
batin tak lagi kacau balau. Dengan
demikian titik terang kejiwaan para pelaku mistik semakin tajam dan jadi weruh
(paham) terhadap kasunyatan agung.
Dari
sha’ir-sha’ir mistik tersebut orang Jawa dibawa untuk menyelami diri, memahami
siapa dirinya. Karena itu ketika para mistikus Jawa hendak melakukan laku
semedi, pertama kali yang harus dilakukan adalah melepaskan diri dari segala
aku dan rasa egonya. Proses ini akan dirasa berat bagi para mistikus, sebab
ketika keberadaan “rasa” mereka, masih memandang bahwa dirinya itu adalah
“ingsun” (saya) dan “kumengsun” (sombong) berarti manusia masih belum mampu
mengendapkan rasa diri/ akunya. Kalau dalam praktiknya, dalam melakukan ritual
tersebut seseorang masih terhiasi oleh rasa dirinya/ akunya, baik rasa njero
(dalam) maupun rasa njobo (luar), maka ia akan sulit menemukan “titik”
tersebut. Dengan kata lain “titik” adalah kesadaran kosmis, sedangkan “titik
temu” adalah kemanunggalan (menyatu).
Selain kesadaran “rasa sejati” dan “rasa
kosmis” dalam pengembaraan mistik kejawen dijumpai pula pengalaman psikis yang
lain, yaitu berupa kesadaran “sasmita ghaib dan suksma”. Permasalahan ghaib
adalah ihwal tentang hubungan antara kekuatan materiil dan spirituil yang susah
dijangkau oleh kebanyakan manusia. Ia adalah ilmu “sir” atau rahasia yang hanya
bisa dicapai melalui ilmu laku, antara lain dengan ilmu laku mistik kejawen
itu.
Bagi komunitas laku mistik yang telah
mencapai tingkatan tertinggi, kaitannya dalam membangun interaksi dengan yang
maha ghaib, mereka tidak lagi merasakan adanya hambatan-hambatan, halangan-halangan,
baik fisik maupun psikis untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Dalam keadaan
seperti ini, tempat yang ramai, gaduh, bising, riuh dan sejenisnya sama sekali
bukan menjadi hambatan untuk berlangsungnya proses interaksi batiniyah dengan
pencipta. Pada tingkatan inilah disebut sebagai tingkatan batin yang telah
mampu menembus sekat-sekat misteri ghaib yang bagi masyarakat awam sulit
dipahaminya. Dengan kata lain pada tingkatan inilah mereka telah memiliki
kemampuan untuk menangkap sasmita ghaib, isharat-isharat ghaib.
G. Memahami
Tradisi Islam dan Islam Kejawen
Simuh, membagi pendekatan terhadap Islam
Jawa kepada dua bagian. Pertama, Islam dan Jawa dipahami sebagai dua kekuatan
yang saling berhadapan. Kedua, Islam dan Jawa dipahami secara sinkretis, yang
menyatakan bahwa Islam dan Jawa berkembang secara bersama-sama, saling mengisi
dan saling memaknai. Antara ajaran dan
tradisi lokal saling menyapa. Model yang kedua inilah menurut pandangan
Woodward sebagai masa depan agama, karena dianggap sebagai agama yang kreatif
dan dinamis.
Menurut
Mulder, kepercayaan Jawa sebelum banyak bersentuhan dengan agama-agama besar
telah memiliki pandangan hidup yang disebut dengan kejawen atau jawanisme.
Pandangan Jawa ini bersifat sinkretis dan toleran. Bermula dari sikap ini “
kejawen” merupakan dasar yang baik untuk menerima masukan-masukan baru dari
agama-agama besar. Bahkan dalam bukunya yang lain Mulder mengatakan bahwa untuk
masuk menjadi salah satu agama resmi seseorang tidak harus mencegah praktik
mistik dalam batinnya. Mentalitas kejawen condong kepada sinkretisme dan
sanggup menampung berbagai argumentasi agama formal.
Perlu dimaklumi bersama bahwa yang
dimaksud dengan kejawen di sini terdiri dari dua jenis lingkungan, yaitu
lingkungan budaya istana yang relatif telah menyerap unsur-unsur Hinduisme dan
lingkungan budaya wong cilik (pedesaan) yang masih hidup dalam bayang-bayang
animisme-dinamisme. Dalam praktiknya,
perjalanan sejarah Islamisasi di Jawa menghadapi kesulitan, utamanya di kalangan
budaya istana. Kesulitan itu dikarenakan raja Majapahit ketika itu menolak
Islamisasi di kalangan istana. Jika raja menolak maka Islam kesulitan untuk
masuk di kalangan istana.
Atas dasar kenyataan ini para penyebar
Islam lebih menekankan Islamisasi di pedesaan, khususnya di kalangan pesisir
Pulau Jawa. Di sanalah Islam berkembang, dan tidak lama kemudian perkembangan
Islam yang ada di lingkungan pedesaan itu menjadi pesaing intelektual kalangan
istana. Inilah kemudian terjadi proses inkulturisasi dan akulturisasi budaya
Jawa dan budaya Islam yang memanifestasi menjadi Islam Jawa.
Pada gilirannya Islam Jawa ini mampu
menampung dua model institusi keagamaan, yaitu antara agama resmi dan yang
tidak resmi. Meski secara formal masing-masing institusi keagamaan tersebut
terkesan memiliki konstruksi keyakinan yang berbeda. Institusi keagamaan
formal, memiliki keyakinan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Sedangkan institusi non
formal terdapat beberapa aliran, sebagian aliran memiliki keyakinan terhadap
nenek moyang, sebagian yang lain percaya terhadap sangkan paraning dumadi yang
artinya menuju ke asal dan tujuan kejadian. Pendapat yang mayoritas disepakati
oleh aliran-aliran kebatinan adalah konsep kedua, yaitu konsep yang searti
dengan menuju ke Tuhan.
Dalam
hal ini adalah mistik esoteris yang menurut Martin Lings (Mistikus Inggris)
diakui sebagai salah satu bagian dari tradisi mistik Islam. Konsep manunggaling
kawulo gusti, sebagai tradisi mistik Jawa yang telah berkembang di kalangan
kraton lebih identik dengan tradisi esoterisme ini. Jika dikaji lebih detil
konsep manunggaling kawulo lan gusti itu terdapat relasi yang dekat dengan
mistik esoteris Ibn ‘Arabi tentang ajaran wahdatu al-wujūd.
Kebanyakan antropolog, baik Barat maupun
Indonesia mengatakan bahwa “Islam
Jawa” identik dengan “Islam
Sinkretis”. Dalam hal ini berbeda dengan Woodward, ia tidak mau menyebut Islam
Jawa ini identik dengan Islam sinkretis.
Karena dalam pandangannya, doktrin Islam telah menggantikan Hinduisme dan
Budhisme sebagai aksioma kebudayaan Jawa.
Perbedaan pandangan Woodward dengan mayoritas antropolog Barat ini
antara lain dilatarbelakangi oleh sikap skeptisismenya dalam menilai
antropologi Barat yang telah gagal
memahami Islam Jawa. Tidak hanya itu kalangan Islam puritan pun juga mengatakan
persoalan yang hampir senada, yaitu bahwa Islam Jawa telah dianggap banyak
mengalami praktik-praktik penyimpangan, sehingga Islam Jawa tidak lagi dinilai
sebagai agama yang murni.
Padahal menurut Andrew Beatty bahwa
perpindahan dari situasi Islam tradisionalis menuju ke mistisisme Jawa bagaikan
kita memasuki dunia yang berbeda dengan bahasanya sendiri dan pola pemikirannya
sendiri. Meski demikian, walaupun kadang ada mistifikasi dan cenderung
paradoks, dunia ini akan lebih jelas diartikulasikan dan direalisasikan dalam
kehidupan sehari-hari, dibanding dengan keseharian Islam praktis. Masih menurutnya bahwa orang-orang Jawa
secara sederhana dapat didefinisikan sebagai orang yang cenderung menekankan
bagian Jawa dari warisan kultural mereka dan menganggap afiliasi muslim mereka
sebagai hal sekunder. Jika Islam menjanjikan
surga melalui kerelaan ritual dan pengabdian terhadap Qur’an, maka kejawen
mengambil dunia sehari-hari sebagai teks kuncinya dan sosok manusia sebagai
kitab sucinya.
H. Islamisasi
Budaya dan Agama di Jawa
Sejak
perempatan akhir abad ke-7 M, Islam sesungguhnya telah masuk di Pulau Jawa. Bersamaan dengan itu, di Jawa telah berkuasa
ratu Simha di Kalingga. Informasi itu digali dari sumber-sumber referensi Cina
asal Dinasti Tang. Namun demikian kehadiran Islam ketika itu tidak memperoleh
respon positif dari masyarakat Jawa, lebih-lebih di kalangan kraton. Beberapa
alasan mengenai mengapa Islam ketika itu tidak memperoleh respon positif,
ditengarai karena sistem dakwah Islam diwujudkan dalam bentuk kekerasan fisik,
ditandai dengan dipotongnya kaki putra mahkota oleh penyebar Islam berbangsa
Arab bernama Tazhi.
Dalam mengkaji tentang budaya yang
menjadi syari’at, penulis mengambil contoh dengan menganalisis mengenai
kebudayaan orang Islam di Jawa. Orang Islam di Jawa memiliki beragam tradisi
yang turun-temurun dari nenek moyangnya yang mana tradisi-tradisi tersebut
tetap dijalankan sampai saat ini dan dibenarkan dalam syari’at Islam, sebagai
contoh adalah tradisi selamatan.
Selamatan adalah tradisi makan bersama makanan
yang telah diberi doa sebelum dibagi-bagikan. Asal mula kata selamatan
yakni kata selamat, sehingga hampir
semua selamatan ditujukan untuk memperoleh keselamatan hidup dengan tidak ada
gangguan-gangguan apapun, upacara ini biasanya dipimpin oleh seorang modin.
Diantara berbagai macam golongan selamatan, adat kebiasaan yang sangat
diperhatikan dan dilakukan oleh hampir seluruh masyarakat Jawa adalah selamatan
berhubungan dengan kematian seseorang dan saat-saat sesudahnya yang mungkin
disebabkan karena orang Jawa sangat menghormati arwah orang yang meninggal
dunia, terutama keluarganya. Selamatan (sedekah) tersebut bertujuan untuk
menolong roh nenek moyang tersebut di alam akhirat, diantanya adalah sedekah
surtanah atau geblak, sedekah nelung dina, sedekah mitung dina, sedekah nyatus,
sedekah mendak sepisan dan mendak pindo dan sedekah nyewu.[13]
Budaya
orang Islam di Jawa seperti selamatan tersebut dan masih banyak yang lainnya, seperti sapara, ruwahan dan
nyadran patut untuk kita lestarikan. Mengingat betapa bermanfaatnya
kegiatan-kegiatan tersebut, seperti mewujudkan rasa syukur kepada Allah SWT
dengan bersedekah, menjaga solidaritas sosial dengan berkumpulnya sanak saudara
dan tetangga, dan lain sebagainya. Membahas keterkaitan antara budaya-budaya
Jawa dengan Islam, tentunya terdapat perbedaan pandangan. Akan tetapi yang
menjadi pedoman adalah bahwa dalam syari’at Islam, jika budaya itu berlangsung
dan melanggar sisi tauhid (kemusyrikan), maka budaya tersebut haram dilakukan,
namun jika budaya itu digunakan hanya sebatas praktek-praktek muamalah saja,
maka itu diperbolehkan
I.
Sufisme dalam pergumpulan budaya dan peradapan dari
sufisme klasik hingga sufisme
kontemaporer
Tasawuf sebagai salah
satu tipe mistisisme, dalam bahasa inggris disebut sufisme. Kata tasawuf mulai
diperbincangkan sebagai salah satu istilah sekitar akhir abad dua hijriyah yang
dikaitkan dengan salah satu jenis pakaian kasar yang disebut shuff atau wool
kasar. Menghubungkan sufi atau tasawuf dengan shuff cukup relevan, dikarenakan
diantara keduanya ada hubungan korelasi yakni antara jenis pakaian yang
sederhana dengan kebersahajaan hidup para sufi. Cara hidup yang demikian oleh
sekelompok orang islam itulah kemudian disebut sufi dan ajarannya disebut
tasawuf. Berbagai istilah
tasawuf disampaikan oleh para ahli baik dari orang-orang islam itu sendiri
maupun dari para ahli bahasa. Namun dari semuanya dapat disimpulkan jika
tasawuf bermakna moral dan semangat islam, karena seluruh ajaran islam dari
berbagai aspeknya adalah prinsip moral.
Fase arketisme pada
perkembangan tasawuf bertahan hingga abad kedua hijriyah selanjutnya pada abad
ketiga terlihat adanya peralihan dari arketisme ke fase sufisme.
Berikutnya
yaitu fase ketiga yang ditandai dengan meneganggnya hubungan antara kaum
orthodoks dengan kelompok sufi. Pada fase keempat yaitu ditandai dengan
timbulnya dua aliran tasawuf yaitu tasawuf sunni dan tasawuf filsafati.
Secara umum tujuan
tasawuf menurut kaum sufi yaitu agar berada sedekat mungkin dengan Allah.
Tujuan tasawuf berdasarkan karakteristik yaitu
1)
Tasawuf
yang bertujuan untuk pembinaan aspek moral.
2)
Tasawuf
bertujuan untuk ma’rifatulloh melalui penyingkapan langsung atau metode al-kasyf al -hijab.
3)
Tasawuf
bertujuan untuk membahas bagaimana sistem pengenalan dan pendekatan diri kepada
Allah secara mistis filosofis, terutama hubungan manusia dengan Tuhan dan apa
arti dekat dengan Tuhan.
Tradisi sufisme
dikalangan masyarakat dunia islam telah populer sejak akhir abad II
Hijriyah.seklipun secara formal istilah ini belum oleh masyarakat muslim ketika
itu,namun substansi sufisme ini pada hakikatnya indentik dengan model
keberagaman yang dulu akrab dengan sebutan zaid
dan abid yaitu tradisi asketisme
yang biasa terlihat di serambi masjid
madinah.
Proses evolusi sufisme dari priodesasi berikutnya bukanla tanpa
makna. perubahan dari waktu kewaktu dengn seperangkat latar sosi-kulturnya,
telah mengidentifikasikan bahwa sufiesme dalam perspektif historis memiliki
catatan sejarah yang penting. Nilai nilai penting dalam sejarah itu antara lain
terliaht peran-peran keritis mereka,baik terhadap biokrat yang telah menyimpang
jauh dari nilai-nilai islam maupun budaya sekuler yang menghegemoni
epistoemologi islam.sufiesme dengan ragam tampilan coraknya,msing-masing memiliki kontribusi sosiologis yang tidak
kecil dalam konteks sejarah.selain itugerakan sufisme dengan pola perubahanya
yang sangat dinamis juga mengambaarkan bahwa sufisme dalam konteks sejarah
tampil dengan tradisi dinamis dan inovatifnya,tidak mengenal lelah dalam
membawa misi spritualnya,sufiesme adalah paham yang tidak bisa dipisahkan
dengan model keagmaan kapanpun dan bagaimana pun.
Oleh
karena itu setiap perubahan
sikon,sufisme akan membawakandirinya sesuai dengan sikon yang
ada.demikian pula dari sikon modernisasi misalnya,ke post modernisme,sufeisme
akan tampil dengan tradisi spritual ala
post-modernismenya.hal ini terbukti bahwa ketika seseorang mencapai titik
kegagalan spritual di era modernism karena sikap absolusitas ditengah homogenitas,maka manusia segera melakukan pelarian menuju ke post modernisme
yang dinilai mampu memberikan ruang lebar bagi kebebasan nalar keagamanya.namun
kebebasan pun tidak mampu menjawab probloma masyarakat pasca moderen. secara
khusus,sufisme merupakan salah satu warisan ilmupengetahuan Islamyang penting
untuk di pelihara, perhatikan, oleh umat Islam dan menganggapnya sebagai bagian
dari nilai histori untuk di ketahui.
Perkembangan
dalam tarekat sufisme mengalami kemajuan seiring denganpergantian waktu. Untuk
itu, berbeda dengan pandangan sebagian orang yang
menganggap bahwa para
sufi dan tarekatnya tidak akan mengalami perkembangan seiring dengan terjadinya
modernisasi dan industrilisasi.Ironisnya, dalam dunia Islam, ada sebagian
golongan yang mengklaim bahwa sufi adalah kelompok Islam yang merupakan faktor
utama penyebab kemunduran umat Islam, Sufisme yang pernah dituduh sebagai biang
keladi (pokok masalah) kemunduran umat Islam, bertentangan dengan etos modernism,
oleh para sarjana muslim seperti Fazlur Rahman menganggapnya sebagai afiltrasi
budaya luar yang menggerogoti Islam. Akan tetapi, berbeda dengan sekarang,
tidak seperti yang selalu dipikirkan oleh umat muslim pada
umumnya, karena kini
para sufi menjadi semacam trend, bagi sebahagian kalangan orang-orang Islam di
perkotaan. Mereka anggap sebagai suatu wadah untuk bermanifestasi ke jalan
menuju Ilahi, karena dianggap sebagai sumber ketenangan batin yang ideal.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Antropologi
merupakan suatu ilmu yang kajiannya terfokus kepada manusia dan kebudayaannya.
secara umum dapat dikatakan antropologi merupakan ilmu yang mempelajari manusia
dari segi keragaman fisiknya, masyarakatnya, dan kebudayaannya.
Agama
yang dipelajari oleh antropologi adalah agama sebagai fenomena budaya, tidak
agama yang diajarkan oleh Tuhan. Maka yang menjadi perhatian adalah beragamanya
manusia dan masyarakat. Sebagai ilmu sosial, antropologi tidak membahas salah
benarnya agama dan segenap perangkatnya, seperti kepercayaan, ritual dan
kepercayaan kepada yang sakral.
Dari
uraian tentang “Agama dan Budaya” yang telah dipaparkan diatas, maka dapat
disimpulkan bahwa Agama adalah mutlak ciptaan Tuhan yang hakiki oleh karena itu agama dijamin
akan kefitrahannya, kemurniannya, kebenarannya, kekekalannya, dan konstanta
atau tidak dapat dirubah oleh manusia sampai kapanpun. Sedangkan kebudayaan
adalah hasil cipta, karya, rasa, karsa dan akal buah budi manusia untuk
mencapai kesempurnaan hidupnya, dimana kebudayaan itu sendiri akan mengalami
perubahan sejalan dengan perkembangan jaman. Oleh karena itu, saya menekankan
bahwa antara agama dan budaya meski memiliki hubungan namun tidak dapat
dicampur adukan. Demikian makalah ini disususun, semoga dapat menjadi satu dari
budaya sarana dalam menerangkan antara agama dan budaya.
DAFTAR PUSTAKA
Abimanyu, Petir. 2014. Mistik Kejawen. Yogyakarta: Palapa.
Agus, Bustanuddin. 2006. Agama dalam Kehidupan Manusia: Pengantar
Antropologi Agama. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Jalaluddin Rakhmat. 2003. Psikologi Agama : Sebuah Pengantar,
Bandung: Penerbit Mizan,
Abdullah,M.Yatimin. Studi Islam Kontemporer, (Pekan baru ;
sinar grafika offset, 2004 Anwar, Rosihon. Ahlak Tasawuf. Bandung: CV. Pustaka
Setia, 2010.
Ghony,Djunaidi.1996.”Mitos
dan Praktik Mistik di Makam KH.Hasan Syaifurrizal Desa Karangbong Pajarakan
Probolinggo”,dalam jurnal Pendidikan Islam,volume I,No.2,IAIN sunan Ampel Malang Tarbiyah press
M. murtadho.2002.islam jawa:keluar dari kemelut santri vs
abangan.yogyakarta lappera pustaka utama
Rivay Siregar.2002. Tasawuf:dari Sufisme Klasik Ke Neo Sufisme.Jakarta:
raja Grafindo persada
Roibin,H.
Desember 2009. Relasi Agama dan Budaya
masyarakat kontemporer ,UIN Malang press:
No comments:
Post a Comment