MAKALAH ANTROPOLOGI HUKUM TABOT
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR
BELAKANG MASALAH
Budaya
adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah
kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari
banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat,
bahasa, perkakas,pakaian, bangunan, dan karya seni. Bahasa, sebagaimana juga
budaya, merupakan bagian tak terpisahkan dari diri manusia sehingga banyak
orang cenderung menganggapnya diwariskan secara genetis. Ketika seseorang
berusaha berkomunikasi dengan orang-orang yang berbada budaya dan menyesuaikan
perbedaan-perbedaannya, membuktikan bahwa budaya itu dipelajari. Budaya adalah
suatu pola hidup menyeluruh. budaya bersifat kompleks, abstrak, dan luas.
Banyak aspek budaya turut menentukan perilaku komunikatif. Unsur-unsur
sosio-budaya ini tersebar dan meliputi banyak kegiatan sosial manusia. Dalam
perkembangan zaman yang begitu pesat dewasa ini maka budaya kita kian
terpinggirkan oleh masuknya berbagai budaya asing yang begitu deras yang
mengancam bertahannya budaya yang kita miliki, maka perlu adanya suatu tindakan
nyata yang merupakan bentuk upaya mempertahankan atau bahkan mempromosikan
budaya kita untuk dijadikan sebagai ikon tersendiri bagi uatu daerah tertentu,
misalnya ponorogo yang terkenal dengan reog ponorogo, bali yang terkenal dengan
tari pendetnya, jogja yang terkenal dengan kota pendidikannya, Jakarta sebagai
kota metropolitannya,dan kota kota lain yang bisa dijadikan sebagai media
promosi dan berkembangnya suatu daerah. Oleh sebab itu peran pemerintah sangat
di perlukan dalam mempromosikan budaya Indonesia sehingga dapat menjadi daya
tarik wisatawan asing untuk berkunjung ke Indonesia.
B. TUJUAN PENULISAN
Adapun
tujuan penulisan Makalah in adalah sebagai berikut :
1. Ingin
mengetahui sejarah Upacara Tabuik
2. Makna dan
Fungsi yang terkandung dalam Upacara Tabuik
3. Di gunakan
untuk apa Upacara Tabuik tersebut.
BAB II
PEMBAHASAN
A. SEJARAH
TABUIK
Dalam
sejarah Pariaman, Tabuik pertama kali diperkenalkan serdadu Tamil yang menjadi
bagian pasukan Inggris pimpinan Thomas Stamfort Raffles. Saat itu Inggris
menguasai Bengkulu tahun 1826. Pasukan Tamil yang kebayakan Muslim setiap tahun
menggelar pesta Tabuik dimana di Bengkulu bernama "Tabot". Kegiatan
ini kemudian diikuti pula oleh masyarakat yang ada di Bengkulu dan meluas
hingga ke Panian, Padang, Pariaman, Maninjau, Pidi, Banda Aceh, Meulauboh dan
Singkil. Dalam perkembangan berikutnya, ritual itu satu-persatu hilang dari
daerah-daerah tersebut dan akhirnya hanya tinggal di dua tempat yaitu Bengkulu
dengan sebutan Tabot dan Pariaman dengan sebutan Tabuik. Setelah perjanjian
London 17 Maret 1829, Inggris harus meninggalkan Bengkulu dan menerima daerah
jajahan Belanda di Singapura. Sebaliknya Belanda berhak atas daerah-daerah
jajahan Inggris di Indonesia termasuk Bengkulu dan wilayah Sumatera lainnya.
Serdadu Inggris harus meninggalkan Bengkulu, namun pasukan Tamil yang mayoritas
Muslim memilih bertahan dan melarikan diri ke Pariaman, Sumatera Barat yang
saat itu terkenal sebagai daerah pelabuhan yang ramai di pesisir barat pulau
Sumatera. Karena pasukan Tamil mayoritas Muslim, mereka diterima masyarakat
Pariaman yang memeluk Islam. Terjadilah pembauran sosial-budaya. Salah satu
pembauran budaya ditunjukkan oleh Pesta Tabuik. Bahkan Tabuik akhirnya menjadi
tradisi yang tidak terpisahkan dari kehidupan warga Pariaman. Di Pariaman,
kemudian tabuik diselenggarakan oleh Anak Nagari dalam bentuk Tabuik Adat.
Namun, seiring dengan banyaknya wisatawan yang datang untuk menyaksikannya,
tahun 1974 pengelolaan tabuik diambil alih oleh pemerintah daerah setempa t dan
dijadikan Tabuik Wisata.
B. TABUIK DI
PARIAMAN
Kota
Pariaman berada di Kabupaten Padang Pariaman, Sumatera Barat, tepatnya di
pesisir pantai Laut Hindia, sebelah utara kota Padang. Pariaman adalah sebuah
nama yang berarti “daerah yang aman”, memiliki luas wilayah 73,36 kilometer
persegi. Di daerah ini ada suatu pesta adat yang disebut dengan tabuik,
menyuguhkan atraksi budaya bernuansa Islami yang telah melegenda. Festival
Tabuik adalah perayaan memperingati Hari Asyura (10 Muharam) yaitu mengenang
kisah kepahlawanan dan kematian cucu Nabi Muhammad Saw yaitu Saidina Hassan bin
Ali yang wafat diracun serta Saidina Husein bin Ali yang gugur dalam peperangan
dengan pasukan Ubaidillah bin Zaid di padang Karbala, Iraq tanggal 10 Muharam
61 Hijrah (681 Masehi). Dalam pertempuran yang tidak seimbang itu, tubuh Imam
Husain yang sudah wafat dirusak dengan tidak wajar. Kepala Imam Husein
dipenggal oleh tentara Muawiyah. Kematian Imam Husein diratapi oleh kaum Muslim
terutama Muslim Syiah di Timur Tengah dengan cara menyakiti tubuh mereka
sendiri. Tradisi mengenang kematian cucu Rasulullah tersebut menyebar ke
sejumlah negara dengan cara yang berbeda-beda. Di Indonesia, selain di
Pariaman, ritual mengenang peristiwa tersebut juga diadakan di Bengkulu. Dalam
perayaan memperingati wafatnya Husein bin Ali, tabuik melambangkan janji Muawiyah
untuk menyerahkan tongkat kekhalifahan kepada umat Islam setelah Imam Husain
meninggal. Namun, janji itu ternyata dilanggar dan malah mengangkat Jazid yaitu
anaknya sebagai putera mahkota. Sebagian Muslim percaya jenazah Husain diusung
ke langit menggunakan Bouraq dengan peti jenazah yang disebut Tabot. Kendaraan
Bouraq yang disimbolkan dengan wujud kuda gemuk berkepala wanita cantik menjadi
bagian utama bangunan Tabuik. Awalnya Tabuik sebagai simbol ritual bagi
pengikut Syi’ah untuk mengumpulkan potongan-potongan tubuh Imam Husein dan
selama ritual itu para peserta berteriak “Hayya Husein, hayya Husein” atau yang
berarti “Hidup Husein, hidup Husein”. Akan tetapi, di Pariaman teriakan
tersebut telah berganti dimana para pengusung dan peserta Tabuik akan berteriak
“Hoyak Hussein, hoyak Hussein” sambil menggoyang-goyangkan menara Tabuik yang
berbentuk menara dan bersayap serta sebuah kepala manusia. Festival Tabuik
masuk kalender acara wisata Sumatra Barat dan kalender acara wisata nasional.
Puluhan ribu orang dari pelosok Sumatra Barat dan perantau datang ke Pariaman
hanya ingin melihat Festival Tabuik selama 14 hari. Upacara tabuik dapat
dihadiri hingga sekitar 6.000 orang per hari dan 90.000 orang saat puncak
acara. Acara Tabuik di Pariaman dan Ta’ziyeh di Iran memiliki kesamaan ritual
yaitu untuk memperingati kematian Imam Hussein. Dalam perayaan ini masyarakat
menyaksikan dua buah tabuik atau keranda setinggi 13 hingga 15 meter yang
masing-masing diangkat oleh 20 lelaki. Mereka menggoyang-goyang, memutar-mutar,
dan mengarak tabuik dari pusat kota menuju pantai. Lalu, pemain gendang tasa
menepuk irama, mengiringi setiap liukan tabuik, dentamnya membangkitkan
semangat. Di antara irama gendang terselip teriakan keras “Hoyak Hussein”. Kata
tabuik yang berasal dari bahasa Arab dapat mempunyai beberapa pengertian.
Pertama, tabuik diartikan sebagai ‘keranda’ atau ‘peti mati’. Pengertian yang
lain mengatakan bahwa tabuik artinya adalah peti pusaka peninggalan Nabi Musa
yang digunakan untuk menyimpan naskah perjanjian Bani Israel dengan Allah.
Tabut pada mulanya sebuah peti kayu yang dilapisi dengan emas sebagai tempat
penyimpanan manuskrip Taurat yang ditulis di atas lempengan batu. Akan tetapi,
Tabuik kali ini tidak lagi sebuah kotak peti kayu yang dilapisi oleh emas.
Namun, yang diarak oleh warga Pariaman adalah sebuah replika menara tinggi yang
terbuat dari bambu, kayu, rotan, dan berbagai macam hiasan. Puncak menara
adalah sebuah hiasan yang berbentuk payung besar, dan bukan hanya di puncak, di
beberapa sisi menara hiasan berbentuk payung-payung kecil juga terpasang
berjuntai. Tidak seperti menara lazimnya, bagian sisi-sisi bawah Tabuik
terkembang dua buah sayap. Di antara sisi-sisi sayap itu, terpasang pula
ornamen ekor dan sebuah kepala manusia sepertinya wajah wanita lengkap dengan
kerudung. Bambu-bambu besar menjadi pondasi sekaligus tempat pegangan untuk
mengusung Tabuik yang terlihat kokoh dan sangat berat. Butuh banyak pria untuk
mengangkatnya dan butuh banyak kucuran keringat untuk mengoyaknya. Tradisi Tabuik
telah terpelihara sejak 1829 oleh warga Pariaman. Perayaan Tabuik
diselenggarakan setiap 1 hingga 10 Muharam. Ada beberapa versi mengenai
asal-usul perayaan tabuik di Pariaman. Versi pertama mengatakan bahwa tabuik
dibawa oleh orang-orang Arab (Muslim Syiah) yang datang ke Pulau Sumatera untuk
berdagang. Sedangkan, versi lain berdasarkan catatan Snouck Hurgronje
mengatakan bahwa tradisi Tabuik masuk ke Indonesia melalui dua gelombang.
Gelombang pertama sekitar abad 14 M, tatkala Hikayat Muhammad diterjemahkan ke
dalam Bahasa Melayu. Melalui buku itulah ritual tabuik dipelajari Anak Nagari.
Sedangkan, gelombang kedua tabuik dibawa oleh tentara Cipei/Sepoy dari India
penganut Islam Syiah yang dipimpin oleh Imam Kadar Ali. Pasukan itu berasal
dari India yang oleh Inggris dijadikan serdadu ketika menguasai Bengkulu dari
tangan Belanda sesuai Traktat London, 1824. Dalam sejarah Pariaman, Tabuik
pertama kali diperkenalkan serdadu Tamil yang menjadi bagian pasukan Inggris
pimpinan Thomas Stamfort Raffles. Saat itu Inggris menguasai Bengkulu tahun
1826. Pasukan Tamil yang kebayakan Muslim setiap tahun menggelar pesta Tabuik
dimana di Bengkulu bernama "Tabot". Kegiatan ini kemudian diikuti
pula oleh masyarakat yang ada di Bengkulu dan meluas hingga ke Panian, Padang, Pariaman,
Maninjau, Pidi, Banda Aceh, Meulauboh dan Singkil. Dalam perkembangan
berikutnya, ritual itu satu-persatu hilang dari daerah-daerah tersebut dan
akhirnya hanya tinggal di dua tempat yaitu Bengkulu dengan sebutan Tabot dan
Pariaman dengan sebutan Tabuik. Setelah perjanjian London 17 Maret 1829,
Inggris harus meninggalkan Bengkulu dan menerima daerah jajahan Belanda di
Singapura. Sebaliknya Belanda berhak atas daerah-daerah jajahan Inggris di
Indonesia termasuk Bengkulu dan wilayah Sumatera lainnya. Serdadu Inggris harus
meninggalkan Bengkulu, namun pasukan Tamil yang mayoritas Muslim memilih
bertahan dan melarikan diri ke Pariaman, Sumatera Barat yang saat itu terkenal
sebagai daerah pelabuhan yang ramai di pesisir barat pulau Sumatera. Karena pasukan
Tamil mayoritas Muslim, mereka diterima masyarakat Pariaman yang memeluk Islam.
Terjadilah pembauran sosial-budaya. Salah satu pembauran budaya ditunjukkan
oleh Pesta Tabuik. Bahkan Tabuik akhirnya menjadi tradisi yang tidak
terpisahkan dari kehidupan warga Pariaman. Di Pariaman, kemudian tabuik
diselenggarakan oleh Anak Nagari dalam bentuk Tabuik Adat. Namun, seiring
dengan banyaknya wisatawan yang datang untuk menyaksikannya, tahun 1974
pengelolaan tabuik diambil alih oleh pemerintah daerah setempat dan dijadikan
Tabuik Wisata.
C. MENGENAL
UPACARA TABUIK
Pesta Tabuik
ini, dulu dikenal sebagai ritual tolak bala, yang diselenggarakan setiap
tanggal 1-10 Muharram. Tabuik dilukiskan sebagai "Bouraq", binatang
berbentuk kuda bersayap, berbadan tegap, berkepala manusia seperti wanita
cantik, yang dipercaya telah membawa arwah Hasan dan Husein ke surga. Dengan
dua peti jenazah yang berumbul-umbul seperti payung mahkota, tabuik tersebut
memiliki tinggi antara 10-15 meter. Puncak Pesta Tabuik adalah bertemunya
Tabuik Pasa dan Tabuik Subarang. Kedua tabuik itu dihoyak dengan ditingkahi
alat musik tambur dan gendang tasa. Petang hari kedua tabuik ini digotong
menuju Pantai Gondoriah, dan menjelang matahari terbenam, kedua tabuik dibuang
ke laut. Dikisahkan, setelah tabuik dibuang ke laut, saat itulah kendaraan
bouraq membawa segala arak-arakan terbang ke surga. Selama sepuluh hari (1-10
Muharam), digelar pula berbagai penampilan seni budaya anak Nagari Pariaman,
yakni Rabab Pariaman, Gandang Tassa, Randai, Lomba Baju Kuruang, Puisi dan Tari
Minang. Selain itu digelar bazar dan pameran aneka produk usaha kecil dan
menengah serta komoditi ekspor dari Pariaman. Ratusan ribu pengunjung
berdatangan selama pesta "Tabuik", baik wisatawan Nusantara maupun
mancanegara. Pembukaan Pesta Tabuik ditandai Pawai Taaruf oleh ribuan pelajar
dan masyarakat yang mengintari kota. Setelah Pawai Taaruf, pesta pun dimulai.
Selama pesta yang lamanya 10 hari ada pertunjukan-pertunjukan lain, seperti
Pawai tasawuf, pengajian yang melibatkan ibu-ibu dan murid-murid Tempat
Pengajian Al Quran (TPA) dan madrasah se-Pariaman, grup drum band, tari-tarian,
musik gambus, dan bahkan atraksi debus khas Pariaman. Menyertai acara pembukaan
pada hari pertama juga digelar Festival Anak Nagari (permainan tradisional
Pariaman), festival Tabuik Lenong dan diakhir pawai Muharam mengelilingi Kota
Pariaman. Malam harinya digelar hiburan musik gambus di Lapangan Merdeka yang
dihadiri ribuan penonton. Hari kedua, pembuatan Tabuik dimulai dengan pembuatan
kerangka dasar Tabuik dari bahan kayu, bambu, dan rotan. Malam harinya, digelar
kesenian tradisional "Randai". Hari ketiga pengerjaan kerangka dasar
Tabuik dilanjutkan, sedangkan di lapangan digelar kesenian organ tunggal
menampilkan penyanyi-penyanyi lokal. Tanggal 4 Muharram selain melanjutkan
pembuatan kerangka dasar Tabuik juga mulai dipersiapkan pembuatan kerangka
Bouraq dan malam harinya warga Pariaman dihibur dengan film layar tancap di
lapangan Merdeka. Tabuik merupakan keranda bertingkat tiga yang terbuat dari
kayu, rotan dan bambu dengan tinggi mencapai 15 meter dan berat sekitar 500
kilogram. Bagian bawah dan atas Tabuik nantinya akan disatukan dengan cara
bagian atas diusung secara beramai-ramai untuk disatukan dengan bagian bawah.
Setelah itu, berturut-turut dipasang sayap, ekor, bunga-bunga salapan dan terakhir
kepala. Untuk menambah semangat para pengusung Tabuik akan diiringi dengan
musik gendang tasa. Gendang tasa adalah sebutan bagi kelompok pemain gendang
yang berjumlah tujuh orang. Mereka bertugas mengiringi acara penyatuan tabuik
(tabuik naik pangkat). Gendang ini ada dua jenis. Jenis pertama disebut tasa
didiang. Jenis ini dibuat dari tanah liat yang diolah sedemikian rupa, kemudian
dikeringkan. Tasa didiang ini harus dipanaskan sebelum dimainkan. Jenis gendang
kedua adalah yang terbuat dari plastik atau fiber dan dapat langsung dimainkan.
Setelah penyatuan tabuik selesai, kedua tabuik yang merupakan personifikasi
dari dua pasukan yang akan berperang dipajang berhadap-hadapan. Menjelang sore
penyatuan tabuik (tabuik naik pangkat), dikerumuni ratusan ribu orang, kedua
tabuik itu diarak keliling Kota Pariaman. Masing-masing tabuik dibawa oleh
delapan orang pria. Menjelang senja, kedua tabuik dipertemukan kembali di
Pantai Gondoriah. Pertemuan kedua tabuik di Pantai Gondariah ini merupakan
acara puncak dari upacara tabuik, karena tidak lama setelah itu keduanya akan
diadukan (sebagaimana layaknya perang di Karbala). Menjelang matahari terbenam
kedua tabuik dibuang ke laut yaitu Pantai Gondoriah. Prosesi pembuangan tabuik
ke laut merupakan suatu bentuk kesepakatan masyarakat untuk membuang segenap
sengketa dan perselisihan antar mereka. Selain itu, pembuangan tabuik juga
melambangkan terbangnya buraq yang membawa jasad Husein ke Surga. Pantai
Gondoriah merupakan tempat yang popular di kota Pariaman dan saat prosesi
pembuangan itu dijubeli oleh ribuan manusia.
D PEMBUATAN
TABUIK
Tabuik
dibuat oleh dua kelompok masyarakat Pariaman, yakni kelompok Pasar dan kelompok
Subarang. Kedua tempat tersebut dipisahkan oleh aliran sungai yang membelah
Kota Pariaman. Kelompok Tabuik Pasar terdiri dari gabungan 12 desa yang ada di
kota Pariaman, sementara kelompok Tabuik Subarang terdari dari gabungan 14 desa
lainnya. Dahulu, selama berlangsungnya pesta tabuik selalu diikuti dengan
perkelahian antara warga dari daerah Pasar dan Subarang. Bahkan, ada beberapa
pasangan suami-isteri yang berpisah dan masing-masing kembali ke daerah asalnya
di Subarang dan Pasar. Setelah upacara tabuik berakhir, suami-istri tersebut
kembali berkumpul dalam satu rumah. Walaupun korban terluka parah dalam
perkelahian, namun ketika acara berakhir mereka bersatu kembali, sehingga
suasana kembali tenang dan damai seperti semula. Tabuik dibuat secara
bersama-sama dan melibatkan ahli budaya dan sejarah, serta tokoh masyarakat.
Masyarakat berkelompok dan saling bahu-membahu untuk membuat Tabuik dan
mengaraknya. Pembuatan tabuik ini memakan biaya puluhan juta rupiah. Tabuik
dibuat oleh kedua tempat ini terdiri dari dua bagian yaitu bagian atas dan
bawah yang tingginya dapat mencapai 15 meter. Bagian atas mewakili keranda
berbentuk menara yang dihiasi dengan bunga dan kain beludru berwarna-warni.
Sedangkan, bagian bawah berbentuk tubuh kuda, bersayap, berekor dan berkepala
manusia berambut panjang. Kuda itu dibuat dari rotan dan bambu dengan dilapisi
kain beludru halus warna hitam dan pada empat kakinya terdapat gambar
kalajengking menghadap ke atas. Kuda tersebut adalah simbol Bouraq, kendaraan
yang memiliki kemampuan terbang secepat kilat dan digunakan saat Isra' Miraj
Nabi Muhammad Saw. Buraq dipercaya membawa Imam Hussein ke langit. Bagian
tengah Tabuik berbentuk gapura petak yang ukurannya makin ke atas makin besar.
Pada gapura itu ditempelkan motif ukiran khas Minangkabau. Di bagian bawah dan
atas gapura ditancapkan bungo salapan atau delapan bunga berbentuk payung
dengan dasar kertas warna bermotif ukiran atau batik. Puncak Tabuik dihiasi
payung besar yang dibalut kain beludru dan kertas hias yang juga bermotif
ukiran. Di atas payung ditancapkan patung burung merpati putih. Kaki Tabuik
terdiri dari empat kayu balok bersilang dengan panjang sekitar 20 meter.
Balok-balok itu digunakan untuk menggotong dan menghoyak Tabuik yang dilakukan
sekitar 100 orang dewasa.
E. SUSUNAN
UPACARA TABUIK
Dari
sepuluh hari itu, di setiap harinya terdapat acara yang sangat sakral. Dimulai
dari pembuatan ‘tabuik’ yang berbentuk seperti keranda dan bouraq hingga proses
pelepasan ‘tabuik’ ke pantai. Dalam perayaan ‘tabuik’ terbagi menjadi dua
perayaan yaitu ‘tabuik’ pasa (balai) dan ‘tabuik’ subarang. Pasa (balai) ialah
daerah utama di Pariaman, yang dimana menjadi pusat kota. Subarang merupakan
daerah Pariaman yang berada di samping Pasa (balai). Kedua bagian kota ini
terpisah oleh sungai yang membelah Pariaman. Berikut pembagian urutan acara
perayaan ‘tabuik’ menurut ayahanda saya, Ir. Soldi, yang sudah berpuluh – puluh
tahun mengikuti tradisi ‘tabuik’ ini:
1. Upacara
‘Mambue Daraga’ ‘Daraga’ adalah sebuah rumah yang dibuat khusus untuk
mempersiapkan ‘tabuik’. Rumah ini terbuat dari bahan – bahan yang tradisional
seperti bambu dan tambang. Biasanya ‘daraga’ dibuat tiga hari sebelum memasuki
bulan muharam. Masyarakat Pariaman membuat dua ‘daraga’, yaitu ‘daraga’ pasa
(balai) dan ‘daraga’ subarang. ‘Daraga’ akan terlihat seperti benteng yang
berbentuk segi empat. Ukuran ‘daraga’ lima kali lima meter. ‘Daraga’ akan
dikelilingi oleh kain putih.
2. Upacara
‘Maambiak Tanah’ Prosesi ini biasanya dilaksanakan oleh seorang laki – laki
yang berasal dari keluarga pengurus ‘tabuik’. Sang pengambil tanah ini memakai
kain putih. Kain putih ini berarti kejujuran dari ke`pemimpinan Husein. Prosesi
ini dilakukan pada sore hari tanggal 1 Muharam. Dalam prosesi ini terbagi
kedalam dua kelompok, yaitu kelompok ‘tabuik’ Pasa (balai) dan kelompok
‘tabuik’ Subarang. Prosesi ini akan diiringi aloh arak – arakan yang ditemani
dengan dentuman gandang tasa. Prosesi ini dilakukan dengan mengambil segumpal
tanah dari dasar sungai. Pengambilan tanahnya harus di anak sungai yang berbeda
dan berlawan arah antara kelompok Pasa (balai) dan kelompok Subarang.
Pangambilan tanah ini bukanlah hanya mengambil tanah saja. Tetapi ini merupakan
simbol dari pengambilan jasad Hasan – Husein yang mati syahid. Tanah yang telah
diambil tersebut lalu dibungkus dengan kain putih yang bersih. Hal tersebut
seolah – seolah seperti mengafani jasad dari Hasan – Husein. Selanjutnya tanah
tersebut diletakkan dalam sebuah periuk yang indah. Periuk yang telah berisikan
tanah tadi dibungkus kembali dengan kain putih yang bersih. Setelah itu
disimpan di ‘daraga’.
3. Upacara
‘Manabang Batang Pisang’ Prosesi ini dilakukan pada tanggal 5 Muharam. Pada
tengah malam orang – orang kampung akan pergi ke hutan beramai- ramai. Mereka
akan mencari pohon pisang, yang kemudian ditebas. Dalam prosesi ini batang
pohon pisang harus terpotong dalam satu tebasan. Yang menebas batang pisang
haruslah laki – laki yang menggunakan semacam baju silat. Untuk menebasnya,
biasanya penebas menggunakan pedang yang sudah diasah agar tajam setajam –
tajamnya. Kemudian batang pisang tersebut dibawa ke ‘deraga’. Sesampainya di
‘deraga’ ditanamkan dekat dengan pusara.. Prosesi ini melambangkan apa yang
dilakukan oleh musuh – musuh Allah terhadap Hasan – Husein. \Upacara ‘Maatam
Panja’ Prosesi ini dilakukan pada tanggal 7 Muharam oleh penghuni ‘daraga’.
‘Maatam panja’ ini dilakukan setelah shalat Dzuhur. Prosesi ini dilakukan
dengan cara mengitari ‘daraga’ sambil membawa peralatan untuk ‘tabuik’ seperti
panja (jari), pedang, dan sorban. Mereka mengelilingi ‘daraga’ sambil menangis
terisak – isak. Prosesi ini merupakan tanda kesedihan mereka yang mendalam atas
syahidnya Hasan – Husein.
4. Upacara
‘Maarak Panja’ Prosesi ini dilakukan pada tanggal 7 Muharam, hari yang sama
dengan upacara ‘maatam panja’. Panja merupakan sebuah kubah yang terbuat dari
kertas kaca dan bingkai bambu. Kertas ini di gambari dengan tangan dengan jari
– jari yang putus. Di dalam panja diberikan lilin. Panja akan diarak keliling
kampung. Kelompok ini akan memperlihatkan kepada seluruh masyarakat bagaimana
kesedihan mereka. Dan ini meruapakan perlambangan bahwa jari – jari Hasan –
Husein telah dipotong oleh musuh. Mereka akan menceritakan bagaiman kezaliman
sang penguasa, Yazid bin Muawiyah, terhadap Hasan – Husein. Mereka keliling
kampung dengan diiringi oleh gandang tasa dan ‘tabuik lenong’. ‘Tabuik lenong’
adalah sebuah miniatur ‘tabuik’ yang diletakkan diatas kepala seorang pria.
5. Upacara
‘Maarak Sorban’ Prosesi ini dilakukan pada keesokan harinya, yaitu tanggal 8
Muharam. Prosesi ini tidak jauh beda dengan prosesi yang sebelumnya, ‘maarak
panja’. Rombongan akan keliling kampung. Memperlihatkan bagaimana kejamnya
perlakuan penguasa saat itu, Yazid bin Muawiyah, kepada cucu nabinya sendiri,
Hasan – Husein. Diiringi dengan tabuhan gandang tasa dan diikuti oleh pria yang
mengenakan ‘tabuik lenong’. Prosesi ini melambangkan bahwa kepala dari Hasan –
Husein telah dipenggal bak hewan.
6. Upacara
‘Tabuik Naik Pangke’ Prosesi ini berada di hari utama yaitu tanggal 10 Muharam.
‘Tabuik naik pangke’ dilaksanakan pada pagi hari. Pada pagi hari ‘tabuik’ dari
kedua wilayah, Pasa (balai) dan Subarang, akan dikeluarkan dari rumahnya. Kedua
‘tabuik’ itu akan diarak hingga bertemu. Setelah bertemu tabuik pun akan
dipasangkan menjadi satu kesatuan ‘tabuik’ yang utuh.
7. Upacara
‘Hoyak Tabuik’ Prosesi ini merupakan yang paling meriah. ‘Tabuik’ diarak oleh
rombongan ke Pantai Gandoriah untuk dihanyutkan. Sudah menjadi kepercayaan sisa
– sisa dari ‘tabuik’ dapat menjadi jimat agar larisnya dagangan. Oleh sebab
itu, ‘tabuik’ langsung diserbu oleh warga.
F. TANGGAL
PELAKSANAAN TABUIK
Beberapa
hari sebelum pesta Tabuik dimulai, terlebih dahulu masing - masing rumah
mendirikan sebuah tempat yang dilingkari dengan bahan alami (pimpiang) empat
persegi dan di dalamnya diberi tanda sebagai kiasan bercorak makam yang
dinamakan Daraga. Fungsi daraga adalah sebagai pusat dan tempat alat ritual,
merupakan tempat pelaksanaan maatam. Aktivitas mengambil tanah dilakukan pada
petang hari tanggal 1 Muharam. Pengambilan tanah tersebut dilakukan dengan
suatu arak - arakan yang dimeriahkan bebunyian gandang tasa. Mengambil tanah
dilaksanakan oleh dua kelompok Tabuik yaitu kelompok Tabuik Pasa dan kelompok
Tabuik Subarang. Masing-masing kelompok mengambil tanah pada tempat (anak
sungai) yang berbeda dan berlawanan arah. Tabuik Pasa berada di desa Pauah,
sedangkan Tabuik Subarang berada di desa Alai Galombang yang berjarak lebih
kurang 600 meter dari rumah Tabuik. Pengambilan tanah dilakukan oleh seorang
laki-laki berjubah putih, melambangkan kejujuran Hosen. Tanah itu dibawa ke
daraga sebagai simbol kuburan Hosen. Pada tanggal 5 Muharram dilaksanakan
penebangan batang pisang. Ini sebuah cerminan dari ketajaman pedang yang
digunakan dalam perang menuntut balas atas, kematian Hosen. Penebangan batang
pisang dilakukan oleh seorang laki-laki dengan berpakaian silat. Batang pisang
tersebut harus putus sekali pancung. Tanggal 7 Muharam dilakukan prosesi
maatam. Kegiatan ini dilakukan selesai sholat Dzuhur oleh pihak keluarga
penghuni rumah Tabuik. Secara beriringan mereka berjalan mengelilingi daraga
sambil membawa peralatan Tabuik seperti jari-jari, sorban, pedang sambil
menangis. Sebagai pertanda kesedihan yang dalam atas kematian Hosein. Pada
tanggal yang sama ada tradisi maarak panja merupakan kegiatan tiruan membawa
jari tangan Hosein yang tercincang untuk diinformasikan kepada masyarakat bukti
kekejaman seorang raja yang zalim. Peristiwa itu dimeriahkan dengan hoyak
Tabuik lenong, sebuah Tabuik berukuran kecil yang diletakkan diatas kepala
seorang laki-laki sambil diiringi oleh gandang tasa. Peristiwa maarak saroban
dilakukan tanggal 8 muharram, bertujuan mengabarkan kepada anggota masyarakat
ihwal penutup kepala Hosein yang terbunuh dalam perang karbala. Hampir serupa
dengan peristiwa maarak panja, kegiatan ini juga diiringi dengan membawa
miniatur Tabuik lenong dan gemuruh gandang tasa sambil bersorak sorai. Pada
dinihari tanggal 10 muharram menjelang fajar, dua bahagian Tabuik yang telah
siap dibangun di pondok pembuatan Tabuik mulai disatukan menjadi Tabuik utuh.
Peristiwa ini diberi nama Tabuik naik pangkat, selanjutnya seiring matahari
terbit, Tabuik diarak ke jalan, dihoyak sepanjang hari tanggal 10 muharram
setiap tahunnya. Tanggal 10 Muharam dari jam 09.00 WIB, Tabuik Pasa dan Tabuik
Subarang disuguhkan pada pengunjung pesta Tabuik sebagai hakekat peristiwa
perang karbala dalam sejarah Islam. Acara hoyak Tabuik akan berlangsung hingga
sore hari. Secara perlahan Tabuik diusung menuju pinggir pantai seiring
turunnya matahari. Tepat pukul 18.00 WIB, senja hari, tatkala sunset
memancarkan sinar merah tembaga, akhirnya masing-masing Tabuik dilemparkan ke
laut oleh kelompok anak nagari Pasa dan Subarang di tengah kerumunan pengunjung
dari seluruh nusantara, bahkan dari mancanegara, yang hanyut oleh rasa haru.
Maka selesailah prosesi pesta Tabuik yang tahun ini bakal digelar oleh Pemkab
Padang Pariaman( minangkabauonline
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Nilai
budaya yang terkandung dalam upacara tabuik dari dahulu sampai sekarang masih
berlaku dalam masyarakat, sekalipun masyarakat sudah mengalami perubahan akibat
kemajuan tekhnologi. Nilai-nilai luhur tersebut masih menjadi peoman bagi
mereka dalam melakukan aktiitas sehari-hari. Adapun nilai-nilai yang terpenting
dalam rangkaian upacara tabuik seperi berikut : Pertama nilai kearifan, disini
terlihat bahwa masyarakat pendukungnya masih mempertahankan nilai itu. Dimana
setiap memulai dan mengakhiri suatu pekerjaan tetap diikuti dengan pembacaan
doa atau mantra. Kedua, nilai sosial yaitu suatu aturan, norma yang berlaku
dalam masyarakat. Dalam kehidupan sehari-hari manusia sering membutuhkan orang
lain, sekecil apapun pekerjaan yang akan dilakukan tetap melibatkan orang lain.
Ketiga, nilai seni, berkaitan dengan kreatifitas masyarakat pendukungnya. Nilai
seni yang tercermin dalam upacara tabuik adalah seni musik dan seni lukis.
Selain berfungsi sebagai nilai budaya, upacara tabuik juga mempunyai fungsi
sosial dan fungsi spiritual yang sangat penting bagi masyarakatnya. Fungsi
sosial upacara tabuik adalah sebagai norma-norma sosial, sarana komunikasi,
sarana pengendali sosial dan interaksi, untuk mewujudkan keseimbangan hubungan
antara sesame anggota masyarakat. Sedangkan fungsi spiritual yaitu sebagai
ungkapan rasa syukur kepada Allah SWT untuk memhon ketenangan, ketentraman dan
kebahagiaan hidup lahir dan bathin. Fungsi-fungsi ini tidak mengalami
kemunduruan, tetapi semakin berkembang. Perkembangan tersebut terlihat dengan
dijadikannya upacara tabuik sebagai salah satu objek wisata budaya. Sebagai
salah satu objek wisata budaya, upacara tabuik banyak diminati oleh para wisatawan
asing maupun domestic.
DAFTAR
PUSTAKA
Udin Kuriak.
" Minang Forum MinangKabau Sejarah Minangkabau Info Sejarah Tabuik Piaman”
ON. 10-25-2010 01:48 PM .
Ricky.Sikumbang.
" Home / Casciscus / The Lounge [ Wisata ] Tabuik Pariaman yang Mendunia”
ON. 07-08-2011, 11:04 PM. .
Indonesia.Trave."
Beranda » Pariaman: Tempat Berlangsungnya Perayaan Festival Tabuik » Tabuik di
Pariaman “ ON. 07-08-2010, 09:04 PM.
No comments:
Post a Comment