MAKALAH GHANIMAH, ANFAL, FAI DAN KHUMUS
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Pendahuluan
Pada
zaman Rasulullah sistem keuangan publik islam telah dilaksanakan. Keuangan
publik islam pada zaman Rasulullah telah mengalami peningkatan yang signifikan
terutama pada saat Rasulullah hijrah dari kota Mekkah ke kota Madinah.
Kebijakan-kebijakan yang Rasulullah lakukan mengenai keuangan publik itu
sendiri hasilnya tidak hanya diperuntukkan kepada pihak-pihak yang terlibat
(misalnya pemerintah) tetapi lebih dikhususkan bagi pihak-pihak yang kekurangan
seperti kaum fakir-miskin.
Sumber
pendapatan keuangan publik pada masa Rasulullah didapat dari hasil rampasan
perang, pajak dan lain-lain. misalnya seperti jizyah, ushr, ghanimah/anfal/
khums, kharaj dan sebagainya. Pada makalah ini selanjutnya akan dijelaskan
secara terperinci tentang keuangan publik yang terjadi pada masa Rasulullah.
B.
Rumusan
Masalah
1. Apa
yg dimaksud dengan ghanimah, anfal, fai dan khumus?
2. Apa
yang dimasud deangan tanah, bangunan dan sarana umum milik negara?
3. Bagaimana
yang dimaksud deangan Harta Ilegal dari koruptor?
4. Apa
itu yang dimaksud dengan Harta tanpa Ahli Waris?
C.
Tujuan
1. Untuk
mengetahui apa itu Ghanimah, Anfal, Fai dan Khumus
2. Untuk
mengetahui tanah, bangunan dan sarana umum milik negara
3. Untuk
mengetahui harta ilegal dari Koruptor
4. Untuk
mengatahui harta tanpa Ahli Waris
BAB
II
PEMBAHASAN
A. ANFAL ( ﺍﻷﻧﻔﺎﻝ)
Anfal
( ﺍﻷﻧﻔﺎﻝ ) secara bahasa adalah bentuk jama’ dari kata nafal ( ﺍﻟﻨﻔﻞ ) yang
berarti ghanimah (harta rampasan perang). Sebagaimana Allah SWT berfirman,
ﻳَﺴْﺄَﻟُﻮﻧَﻚَ
ﻋَﻦِ ﺍﻟْﺄَﻧﻔَﺎﻝِ ﻗُﻞِ ﺍﻟْﺄَﻧﻔَﺎﻝُ ﻟِﻠَّﻪِ ﻭَﺍﻟﺮَّﺳُﻮﻝِ (
ﺍﻷﻧﻔﺎﻝ : 1 )
Artinya:
“Mereka menanyakan kepadamu tentang (pembagian) harta rampasan perang,
Katakanlah: “Harta rampasan perang kepunyaan Allah dan Rasul”. (QS. Al-Anfal:
1)
Ayat diatas menerangkan tentang hukum pembagian
harta rampasan perang, karena harta rampasan perang pada masa-masa sebelumnya
diharamkan. Adapun arti anfal ( ﺍﻷﻧﻔﺎﻝ ) jika berasal dari nafl ( ﺍﻟﻨﻔﻞ )
dengan mensukunkan huruf fa’ adalah tambahan ( ﺍﻟﺰﻳﺎﺩﺓ ). Dinamakan ghanimah
dengan anfal, karena kaum muslimin telah diutamakan dari umat yang lain dengan
dihalalkannya ghanimah bagi mereka, dan juga karena ghanimah merupakan tambahan
bagi orang yang berjihad selain pahala yang dijanjikan.[1]
Sedangkan
defenisi anfal ( ﺍﻷﻧﻔﺎﻝ ) menurut istilah ada lima definisi yaitu:[2]
1.
Ghanimah ( ﺍﻟﻐﻨﻴﻤﺔ ). Ini adalah pendapat Ibnu Abbas (dalam salah satu
riwayat), Mujahid (dalam salah satu riwayat), Adh-Dhahhak, Qatadah, Ikrimah dan
‘Atha’(dalam salah satu riwayat).
2.
Fai ( ﺍﻟﻔﻲﺀ ). Ini adalah salah satu pendapat Ibnu Abbas dan Atha’.
3.
Khumus ( ﺍﻟﺨﻤﺲ ). Ini merupakan salah satu pendapat dari Mujahid.
Namun secara umum defenisi anfal ( ﺍﻷﻧﻔﺎﻝ ) adalah
harta-harta musuh yang diperoleh oleh kaum muslimin baik melalui peperangan
maupun tidak. Ibnu Al-‘Araby mengatakan bahwa para ulama telah menyebutkan nama
untuk harta rampasan perang dengan tiga nama yaitu anfal, ghanimah dan fai.
Ada juga yang mendefenisikan anfal dengan harta yang
diserahkan oleh orang kafir supaya umat Islam tidak memerangi mereka, seperti
juga dengan harta yang diambil tanpa ada ancaman, seperti jizyah, kharaj,
‘ushr, harta orang murtad dan harta orang kafir yang mati atau orang yang tidak
punya ahli waris.
Dalam makalah ini, yang akan dibahas adalah
ghanimah, fai dan khumus. Karena tiga hal ini berhubungan lansung dengan
masalah pendapatan Negara. Adapun ghanimah dan fai adalah sumber pendapatan
Negara untuk menjaga kemaslahatan kaum muslimin, sedangkan khumus adalah cara
pembagian ghanimah dan fai. Tanfil dan salab hanya berhubungan dengan
pendapatan atau pembagian untuk seseorang saja.[3]
B. GHANIMAH ( ﺍﻟﻐﻨﻴﻤﺔ
)
1.
Pengertian Ghanimah
Ada beberapa lafazh yang digunakan
untuk menyebutkan istilah ghanimah yaitu maghnam ( ﺍﻟﻤﻐﻨﻢ ), ghanim ( ﺍﻟﻐﻨﻴﻢ ),
dan ghunmu ( ﺍﻟﻐﻨﻢ ). Bentuk jama’ dari ghanimah adalah ghanaim ( ﻏﻨﺎﺋﻢ ),
sedangkan maghnam bentuk jama’nya adalah maghanim ( ﻣﻐﺎﻧﻢ ). Adapun maknanya
secara bahasa adalah al-fauzu/ ﺍﻟﻔﻮﺯ (kemenangan). Ghanimah juga bermakna fai,
keuntungan ( ﺍﻟﺮﺑﺢ ) dan kelebihan ( ﺍﻟﻔﻀﻞ )
.
Adapun defenisi ghanimah secara
istilah adalah harta musuh yang diambil dengan cara paksaan dan melalui
peperangan. Ulama Hanafiyah menjelaskan bahwa pengambilan dengan cara paksaan
tidak terjadi kecuali dengan kekuatan, baik secara hakiki atau dengan dalalah ,
artinya izin dari Imam. Sedangkan ulama Syafi’iyah mendefenisikan ghanimah
yaitu harta yang diambil oleh kaum muslimin dari orang kafir dengan menunggang
kuda dan unta. Ar-Rafi’i mengatakan bahwa dalam kitab At-Tahzib disebutkan
bahwa sama saja apakah harta itu diambil dengan cara paksa atau karena mereka
kalah dan meninggalkan hartanya.[4]
2.
Landasan Hukum
Ghanimah adalah salah satu dari keutamaan yang
diberikan oleh Allah kepada Rasulullah atas umat-umat yang lain. Nabi SAW
bersabda,
ﺃُﻋْﻄِﻴﺖُ ﺧَﻤْﺴًﺎ ﻟَﻢْ ﻳُﻌْﻄَﻬُﻦَّ ﺃَﺣَﺪٌ ﻗَﺒْﻠِﻰ ﻧُﺼِﺮْﺕُ
ﺑِﺎﻟﺮُّﻋْﺐِ ﻣَﺴِﻴﺮَﺓَ ﺷَﻬْﺮٍ ، ﻭَﺟُﻌِﻠَﺖْ ﻟِﻰَ ﺍﻷَﺭْﺽُ ﻣَﺴْﺠِﺪًﺍ ﻭَﻃَﻬُﻮﺭًﺍ ، ﻓَﺄَﻳُّﻤَﺎ ﺭَﺟُﻞٍ ﻣِﻦْ
ﺃُﻣَّﺘِﻰ ﺃَﺩْﺭَﻛَﺘْﻪُ ﺍﻟﺼَّﻼَﺓُ ﻓَﻠْﻴُﺼَﻞِّ ، ﻭَﺃُﺣِﻠَّﺖْ ﻟِﻰَ ﺍﻟْﻤَﻐَﺎﻧِﻢُ ﻭَﻟَﻢْ ﺗَﺤِﻞَّ ﻷَﺣَﺪٍ ﻗَﺒْﻠِﻰ ، ﻭَﺃُﻋْﻄِﻴﺖُ ﺍﻟﺸَّﻔَﺎﻋَﺔَ
، ﻭَﻛَﺎﻥَ ﺍﻟﻨَّﺒِﻰُّ ﻳُﺒْﻌَﺚُ ﺇِﻟَﻰ ﻗَﻮْﻣِﻪِ ﺧَﺎﺻَّﺔً ، ﻭَﺑُﻌِﺜْﺖُ ﺇِﻟَﻰ ﺍﻟﻨَّﺎﺱِ
ﻋَﺎﻣَّﺔً ( ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﺒﺨﺎﺭﻱ )
Artinya: “Aku telah diberikan lima hal yang tidak
diberikan kepada seorang pun sebelumku, aku dimenangkan dengan perasaan takut
(dalam diri musuh) sejauh satu bulan perjalanan, bumi dijadikan bagiku masjid
dan suci maka siapapun yang mendapati waktu sholat maka hendaklah ia sholat,
ghanimah dihalalkan bagiku dan tidak dihalalkan bagi seorangpun sebelumku, aku
diberikan syafaat, Nabi hanya diutus pada kaumnya saja, sedangkan aku diutus
untuk seluruh manusia”. (HR. Bukhari)
Pada awalnya, pembagian ghanimah ditetapkan oleh
Rasulullah SAW. Kemudian turunlah firman Allah SWT yang menjelaskan tentang
ketentuan dalam pembagian ghanimah tersebut,
ﻭَﺍﻋْﻠَﻤُﻮﺍ ﺃَﻧَّﻤَﺎ
ﻏَﻨِﻤْﺘُﻢ ﻣِّﻦ ﺷَﻲْﺀٍ ﻓَﺄَﻥَّ ﻟِﻠَّﻪِ ﺧُﻤُﺴَﻪُ ﻭَﻟِﻠﺮَّﺳُﻮﻝِ ﻭَﻟِﺬِﻱ ﺍﻟْﻘُﺮْﺑَﻰٰ
ﻭَﺍﻟْﻴَﺘَﺎﻣَﻰٰ ﻭَﺍﻟْﻤَﺴَﺎﻛِﻴﻦِ ﻭَﺍﺑْﻦِ ﺍﻟﺴَّﺒِﻴﻞِ (
ﺍﻷﻧﻔﺎﻝ : 41 )
Artinya: “Ketahuilah, sesungguhnya apa saja yang
dapat kamu peroleh sebagai rampasan perang, maka sesungguhnya seperlima untuk
Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan
ibnussabil”. (QS. Al-Anfal: 41). Dalam ayat ini telah ditetapkan bahwa yang
dibagikan kepada pasukan hanyalah 4/5 dari harta ghanimah, adapun sisanya (1/5)
untuk selain mereka sebagaimana dalam ayat di atas. Ghanimah pertama yang
dikenakan ketentuan menarik seperlima oleh Rasulullah SAW setelah perang Badr
adalah ghanimah perang Bani Qainuqa’.[5]
3.
Macam-Macam Ghanimah
Tidak semua harta yang diambil dari orang kafir
adalah ghanimah. Ada beberapa macam harta yang masuk dalam kategori ghanimah,
yaitu:
a.
Harta yang dapat
dipindahkan ( ﺍﻷﻣﻮﺍﻝ ﺍﻟﻤﻨﻘﻮﻟﺔ ), seperti uang, makanan dan hewan.
Setiap harta yang dapat dipindahkan terhitung
sebagai ghanimah jika diambil dari musuh di dar al-harb dengan kekuatan
militer.
b. Tanah
Tanah yang didapatkan melalui peperangan terbagi
kepada tiga macam yaitu:
ü Tanah
yang diperoleh dengan paksaan
Para
ulama berbeda pendapat tentang dibagi atau tidaknya tanah ini. Abu Hanifah
berpendapat bahwa Imam boleh memilih antara membagikannya atau tetap diolah
oleh sipemiliknya dengan membayar kharaj. Imam Malik berpendapat tanah tersebut
tidak dibagi, namun menjadi harat waqaf untuk kaum muslimin. Adapun Asy-Syafi’i
mengatakan tetap dibagi sebagaimana harta yang dapat dipindahkan. Sedangkan
Ahmad setuju dengan pendapat Abu Hanifah dan Malik.
ü Tanah
yang ditinggalkan oleh pemiliknya karena takut
Tanah
yang seperti ini akan menjadi waqaf, karena bukan ghanimah dan hukumnya adalah
hokum fai.
ü Tanah
yang diperoleh dengan cara damai antara Imam atau wakilnya dengan musuh.
Tanah
ini boleh menjadi milik kaum muslimin dan pemilik tanah sebagai pengolah tanah
tersebut dan harus membayar kharaj. Dan boleh juga tanah ini tetap dimiliki
oleh pemilik tanah dengan membayar kharaj. Kharaj tersebut statusnya adalah
sebagai jizyah, maka ketika pemilik tanah itu masuk Islam maka kewajiban
membayar kharaj menjadi gugur.
c. Tebusan tawanan
Tebusan tawanan termasuk ghanimah, karena Nabi SAW
telah membagikan tebusan tawanan perang Badr. Setiap harta yang diperoleh
dengan kekuatan militer sama dengan harta yang diperoleh dengan senjata. Adapun
hadiah yang diberikan oleh musuh di dar al-harb kepada seorang tentara muslim
adalah termasuk ghanimah, karena hal tersebut terjadi disebabkan perasaan
takut. Namun jika hadiah diberikan di dar al-Islam, maka hadiah itu adalah
menjadi milik si penerima hadiah.
d. Salab
Para ulama telah sepakat bahwa salab termasuk harta
yang dikhumus, namun mereka berbeda pendapat tentang salab bagi pembunuhnya.
Mayoritas ulama mengatakan tidak dikhumus, mereka berdalil dengan hadits
ﻣَﻦْ ﻗَﺘَﻞَ ﻗَﺘِﻴﻼً ﻟَﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﺑَﻴِّﻨَﺔٌ ﻓَﻠَﻪُ ﺳَﻠَﺒُﻪُ
Artinya: “Barang siapa yang membunuh musuhnya, serta
memiliki bukti maka salabnya adalah miliknya” (HR. Bukhari)
e. Nafl.
Para fuqaha’ berbeda pendapat apakah nafl termasuk
ghanimah, maka ada yang berpendapat bahwa nafl asalnya adalah ghanimah, 4/5
ghanimah, 1/5 ghanimah atau 5/5 ghanimah.
f. Harta para bughat (pemberontak)
Ulama sepakat bahwa harta para pemberontak tidak
termasuk ghanimah, tidak dibagi dan tidak boleh merusaknya. Akan tetapi
dikembalikan kepada mereka setelah bertobat.
g. Harta muslim yang diperoleh kembali setelah
dirampas oleh musuh
Jumhur fuqaha’ berpendapat bahwa
harta tersebut termasuk ghanimah. Namun demikian, para ulama berbeda pendapat
jika ditemukan barang/benda yang diketahui pemiliknya apakah diberikan sebelum
atau sesudah pembagian atau dibayar nilainya saja. Fuqaha’ sepakat jika sebelum
dibagikan pemilik benda tersebut telah diketahui, maka benda itu dikembalikan
kepadanya. Namun jika pemiliknya diketahui setelah pembagian, Hanafiyah dan
salah satu riwayat dari Imam Ahmad menyebutkan bahwa yang diberikan adalah
nilai atau harganya yang dibayar oleh orang yang mendapatkannya (orang yang
mendapat bagian dari benda tersebut). Sedangkan Malikiyah berpendapat bahwa
benda tersebut baik pemilik muslim atau dzimmy tidak boleh dibagi, jika telah
terjadi pembagian maka pembagian tersebut tidak sah dan pemiliknya mengambil
benda/barang itu. Ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa harta/benda tersebut
dikembalikan kepada pemiliknya, sedangkan orang yang mendapatkan bagian berupa
benda tersebut diberikan ganti dari bagian 5/5 (khumus yang telah dibagi lima),
karena tidak mungkin untuk membatalkan pembagian yang telah terlaksanakan.[6]
4.
Pembagian Ghanimah
a. Waktu dan tempat pembagian
Rampasan perang dibagikan apabila peperangan telah
selesai dengan sempurna. Karena dengan selesainya perang itu baru dapat
diketahui jumlah ghanimah yang akan dibagi dan juga supaya para tentara tidak
terpengaruh pemikirannya. Untuk tempat pembagian ghanimah, ulama Malikiyah,
Syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat bahwa ghanimah tersebut dibagi di dar
al-harb. Adapun Malikiyah mensyaratkan jika kondisi aman dan yang mendapatkan
ghanimah tersebut adalah tentara. Sedangkan Abu Hanifah berpendapat bahwa
ghanimah boleh dibagikan hanyalah ketika berada di dar al-Islam.
Namun demikian, Al-Mawardi mengatakan bahwa
pembagian ghanimah boleh dilakukan segera di dar al-harb dan boleh ditunda
hingga sampai di dar al-Islam. Keputusan ini disesuaikan dengan situasi dan
kondisi paling baik dalam pandangan komandan pasukan .
b. Orang-orang yang berhak mendapatkan bagian
Orang yang berhak mendapatkan ghanimah adalah
orang-orang yang memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
– Benar-benar ikut dalam peperangan.
Jika seseorang sakit sebelum peperang usai, dan
sakitnya tidak menghalangi dia untuk melanjutkan peperangan maka tetap berhak
menerima ghanimah. Namun, jika sakit tersebut menghalangi untuk ikut berperang
maka ia tidak dapat bagian, kecuali jika dia mampu memberikan sumbangan pikiran
atau ide untuk memenangkan peperangan.
– Masuk ke dar al-harb dengan niat berperang.
Jika ada niat lain selain
berperang, maka orang tersebut tetap mendapat bagian dari ghanimah. Karena
dengan kehadirannya pasukan Islam terlihat lebih banyak sehingga musuh akan
semakin takut. Bagi orang yang hadir dalam peperangan setelah perang usai dan
harta telah terkumpul, maka dia tidak mendapatkan bagian.
– Laki-laki.
– Muslim.
– Merdeka.
– Berakal dan baligh.
c. Cara pembagian
Abdul Qadim Zallum menjelaskan
bahwa cara pembagian harta ghanimah diserahkan kepada Imam, sesuai dengan
kebutuhan dan kemaslahatan umat Islam. Beliau beralasan dengan pembagian harta
ghanimah pada perang Badr dan perang Hunain, QS. Al-Anfal: 1, dan
perbuatan-perbuatan Rasul SAW lainnya yang berkaitan dengan pembagian
ghanimah .[7]
5.
Hal-hal yang berhubungan dengan ghanimah
a. Pemeliharaan ghanimah
Seorang panglima perang wajib menjaga ghanimah,
meskipun harus mengeluarkan biaya. Jika penjagaan itu dilakukan oleh tentara,
maka ia boleh mengambil upah tanpa menggugurkan bagian ghanimahnya.
b. Mencuri atau mengkorupsi ( ﻏﻠﻮﻝ ) harta ghanimah
Harta yang diambil setelah dikumpulkan adalah
tindakan pencurian, dan jika diambil sebelum dikumpulkan adalah tindakan
korupsi (ghulul/khianat). Ghulul adalah dosa besar sebagaimana firman Allah
SWT,
ﻭَﻣَﻦ ﻳَﻐْﻠُﻞْ ﻳَﺄْﺕِ ﺑِﻤَﺎ ﻏَﻞَّ ﻳَﻮْﻡَ ﺍﻟْﻘِﻴَﺎﻣَﺔِ
Artinya: “Barangsiapa yang berkhianat dalam urusan
rampasan perang itu, maka pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang
dikhianatkannya itu”. (QS. Ali Imran: 161)
b.
Hak orang yang
tidak ikut dalam peperangan namun mempunyai sumbangsih yang besar untuk
kemaslahatan para tentara.
Misalnya adalah utusan, mata-mata atau intelijen,
penunjuk jalan, maka mereka ini berhak mendapatkan bagian ghanimah walaupun
mereka tidak ikut dalam kancah peperangan. Begitu juga jika panglima membagi
pasukan kepada dua kelompok, maka walaupun hanya satu kelompok yang mendapatkan
ghanimah namun kelompok lain juga mempunyai hak .[8]
C.
FAI ( ﺍﻟﻔﻲﺀ )
1. Pengertian Fai
Fai secara bahasa bermakna naungan ( ﺍﻟﻈﻞ), kumpulan
( ﺍﻟﺠﻤﻊ), kembali ( ﺍﻟﺮﺟﻮﻉ ), ghanimah, kharaj, dan sesuatu yang diberikan oleh
Allah kepada pemeluk agama-Nya yang berasal dari harta-harta orang yang berbeda
agama tanpa peperangan [36] . Adapun fai secara istilah adalah harta-harta yang
didapatkan dari musuh dengan cara damai tanpa peperangan, atau setelah berakhir
peperangan seperti jizyah, kharaj dan lain sebagainya .
Harta fai dengan harta ghanimah ada kesamaan dari
dua segi dan ada perbedaan dari dua segi pula. Segi persamaanya adalah:
Pertama, kedua harta itu didapatkan dari kalangan
orang kafir, Kedua, penerima bagian seperlima adalah sama. Adapun segi
perbedaannya adalah: Pertama, harta fai diberikan dengan suka rela, sementara
ghanimah dengan paksaan, Kedua, penggunaan empat perlima bagian dari harta fai
berbeda penggunaannya dengan empat perlima bagian dari ghanimah.
2. Landasan Hukum
Fai disyariatkan melalui firman Allah dan juga
atsar, Adapun firman Allah adalah:
ﻭَﻣَﺎ ﺃَﻓَﺎﺀَ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻋَﻠَﻰٰ ﺭَﺳُﻮﻟِﻪِ ﻣِﻨْﻬُﻢْ ﻓَﻤَﺎ
ﺃَﻭْﺟَﻔْﺘُﻢْ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻣِﻦْ ﺧَﻴْﻞٍ ﻭَﻟَﺎ ﺭِﻛَﺎﺏٍ ﻭَﻟَٰﻜِﻦَّ ﺍﻟﻠَّﻪَ ﻳُﺴَﻠِّﻂُ ﺭُﺳُﻠَﻪُ
ﻋَﻠَﻰٰ ﻣَﻦ ﻳَﺸَﺎﺀُ ۚ ﻭَﺍﻟﻠَّﻪُ
ﻋَﻠَﻰٰ ﻛُﻞِّ ﺷَﻲْﺀٍ ﻗَﺪِﻳﺮٌ . ﻣَّﺎ ﺃَﻓَﺎﺀَ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻋَﻠَﻰٰ ﺭَﺳُﻮﻟِﻪِ ﻣِﻦْ ﺃَﻫْﻞِ
ﺍﻟْﻘُﺮَﻯٰ ﻓَﻠِﻠَّﻪِ ﻭَﻟِﻠﺮَّﺳُﻮﻝِ ﻭَﻟِﺬِﻱ ﺍﻟْﻘُﺮْﺑَﻰٰ ﻭَﺍﻟْﻴَﺘَﺎﻣَﻰٰ ﻭَﺍﻟْﻤَﺴَﺎﻛِﻴﻦِ
ﻭَﺍﺑْﻦِ ﺍﻟﺴَّﺒِﻴﻞِ ﻛَﻲْ ﻟَﺎ ﻳَﻜُﻮﻥَ ﺩُﻭﻟَﺔً ﺑَﻴْﻦَ ﺍﻟْﺄَﻏْﻨِﻴَﺎﺀِ ﻣِﻨﻜُﻢ ( ﺍﻟﺤﺸﺮ : 7-6 )
Artinya: “Dan apa saja harta rampasan (fai-i) yang
diberikan Allah kepada Rasul-Nya (dari harta benda) mereka, maka untuk
mendapatkan itu kamu tidak mengerahkan seekor kudapun dan (tidak pula) seekor
untapun, tetapi Allah yang memberikan kekuasaan kepada Rasul-Nya terhadap apa
saja yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. Apa saja
harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya (dari harta benda)
yang berasal dari penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah, untuk Rasul, kaum
kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam
perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di
antara kamu”. (QS. Al-Hasyr: 6-7)
3. Sumber-Sumber Fai
Harta fai bersumber dari beberapa jalan yaitu:
a. Tanah dan harta yang tidak bergerak lainnya
seperti rumah.
b. Harta yang bisa dipindahkan.
c. Kharaj
d. Jizyah
e. Ushur ahl adz-dzimmah
f. Harta yang diperoleh oleh kaum muslimin dari
musuh untuk berdamai.
g. Harta orang murtad jika terbunuh atau mati
h. Harta kafir dzimmy jika mati dan tidak punya ahli
waris.
i.
Tanah-tanah
ghanimah artinya tanah-tanah pertanian bagi yang berpendapat bahwa tanah
tersebut tidak dibagi.
4. Cara Pembagian Fai
Dalam pembagian harta fai para fuqaha’ berbeda
pendapat. Ulama Hanafiyah dan Malikiyah serta Asy-Syafi’i dalam qaul al-qadim
dan juga Ahmad dalam salah satu riwayat berpendapat bahwa harta fai itu tidak
dikhumus, bahkan semuanya diserahkan kepada Rasulullah SAW dan orang yang telah
disebut dalam firman Allah QS. Al-Hasyr: 7-10. Karena dalam ayat tersebut Allah
SWT tidak menyebutkan jumlah seperti seperlima. Ibn Al-Mundzir berkata, “Kami
tidak menghafal (pendapat) dari seorang pun sebelum Asy-Syafi’i tentang adanya
khumus pada harta fai sebagaimana pada ghanimah” . Imam Abu Hanifah juga
berpendapat bahwa tidak khumus dalam fai. [9]
D.
KHUMUS ( ﺍﻟﺨﻤﺲ ) [48]
1. Pengertian Khumus
Khumus ( ﺍﻟﺨﻤﺲ ) secara bahasa bermakna satu bagian
dari yang lima atau seperlima, jika dilafazkan ﺧﻤَّﺲ – ﻳﺨﻤِّﺲ – ﺗﺨﻤﻴﺲ maknanya
adalah mengambil seperlima [49] . Defenisi istilah adalah sama dengan definisi
bahasa.
2. Landasan Hukum
Para ulama sepakat bahwa wajib dilaksanakan khumus
pada ghanimah, dengan dalil firman Allah SWT dalam QS. Al-Anfal: 41, namun
mereka berbeda pendapat pada fai.[10]
E.
Harta Milik Umum
Harta milik umum
adalah harta yang telah ditetapkan kepemilikannya oleh Allah SWT untuk seluruh
kaum muslimin. Allah SWT membolehkan setiap individu untuk mengambil
manfaatnya, tetapi tidak untuk memilikinya.
Harta milik umum
dikelompokkan menjadi tiga, yaitu (1) Sarana umum yang diperlukan oleh seluruh
kaum muslimin dalam kehidupan sehari-hari; (2) Harta-harta yang keadaan asalnya
terlarang bagi individu tertentu memilikinya; (3) Barang tambang yang jumlahnya
tidak terbatas. Harta ini merupakan salah satu sumber pendapatan Baitul Mal.
Khalifahlah yang membagi-bagikan harta tersebut demi kemaslahatan Islam dan
kaum muslimin.
Harta milik umum
jenis pertama didasarkan pada sabda Rasulullah saw, sebagaimana dituturkan oleh
Abu Khurasyi dari sebagian sahabat, “Kaum muslimin berserikat dalam tiga hal,
yaitu: air, padang rumput, dan api.”
Kepemilikan umum
jenis kedua didasarkan pada sabda Rasulullah saw, “Mina tempat (munakhun)
orang-orang yang lebih dulu sampai.” Mina adalah tempat yang terkenal di luar
Makkah, yaitu tempat singgahnya jamaah haji setelah menyelesaikan wukuf di
Arafah. Mina, dengan demikian, merupakan milik seluruh kaum muslimin, dan bukan
milik seseorang. Hal yang sama berlaku untuk jalan umum, saluran-saluran air,
pipa-pipa penyalur air, tiang-tiang listrik, rel kereta, yang berada di jalan
umum. Semuanya merupakan milik umum sesuai dengan status jalan itu sendiri
sehingga tidak boleh menjadi milik pribadi. Rasul saw bersabda: “Tidak ada
penguasaan (atas harta milik umum) kecuali bagi Allah dan Rasul-Nya.”
Kepemilikan umum
jenis ketiga adalah barang tambang yang jumlah tidak terbatas. Dalil yang
dijadikan dasar untuk barang tambang yang jumlahnya banyak dan tidak terbatas
sebagai bagian dari kepemilikan umum adalah hadits yang dituturkan oleh Abidh
bin Humal al-Mazani:
Sesungguhnya dia
telah bermaksud meminta tambang garam kepada Rasulullah. Lalu beliau
memberikannya. Ketika dia telah pergi, dikatakan kepada Rasulullah saw: “Wahai
Rasulullah, tahukah anda apa yang telah anda berikan? Anda telah memberikan
kepada sumber air yang besar!” Rasul bersabda ”Suruh dia mengembalikannya!”
Karena barang
tambang yang jumlahnya tidak terbatas merupakan milik umum seluruh rakyat,
negara tidak boleh memberikan izin kepada perorangan atau perusahaan swasta
untuk memilikinya. Akan tetapi negara wajib melakukan upaya mengeluarkan barang
tersebut atas nama kaum muslimin, kemudian hasilnya digunakan untuk memelihara
urusan-urusan mereka.
Barang-barang
tambang seperti minyak bumi besarta turunannya seperti bensin, gas, dan
lain-lain, termasuk juga listrik, hutan, air, padang rumput, api, jalan umum,
sungai, dan laut semuanya telah ditetapkan syara’ sebagai kepemilikan umum.
Negara mengatur produksi dan distribusi aset-aset tersebut untuk rakyat.
Pengelolaan kepemilikan umum oleh negara dapat dilakukan dengan dua cara, yakni
:
Pertama; Pemanfaatan Secara Langsung oleh Masyarakat Umum.
Air, padang
rumput, api, jalan umum, laut, samudra, sungai besar, adalah benda-benda yang
bisa dimanfaatkan secara langsung oleh setiap individu. Siapa saja dapat
mengambil air dari sumur, mengalirkan air sungai untuk pengairan pertanian,
juga menggembalakan hewan ternaknya di padang rumput milik umum.
Bagi setiap
individu juga diperbolehkan menggunakan berbagai peralatan yang dimilikinya
untuk memanfaatkan sungai yang besar, untuk menyirami tanaman dan pepohonan.
Karena sungai yang besar cukup luas untuk dimanfaatkan seluruh masyarakat
dengan menggunakan peralatan khusus selama tidak membuat kemudharatan bagi
individu lainnya. Sebagaimana setiap individu diperbolehkan memanfaatkan
jalan-jalan umum secara individu, dengan tunggangan, kendaraan. Juga
diperbolehkan mengarungi lautan dan sungai serta danau-danau umum dengan
perahu, kapal, dan sebagainya, sepanjang hal tersebut tidak membuat pihak lain
yaitu seluruh kaum muslim dirugikan, tidak mempersempit keluasan jalan umum,
laut, sungai, dan danau.[11]
Kedua; Pemanfaatan Di Bawah Pengelolaan Negara
Kekayaan milik
umum yang tidak dapat dengan mudah dimanfaatkan secara langsung oleh setiap
individu masyarakat—karena membutuhkan keahlian, teknologi tinggi, serta biaya
yang besar—seperti minyak bumi, gas alam, dan barang tambang lainnya, maka
negaralah yang berhak untuk mengelola dan mengeksplorasi bahan tersebut. Dimana
hasilnya nanti akan dimasukkan ke dalam kas baitul mal. Khalifah adalah pihak
yang berwenang dalam pendistribusian hasil tambang dan pendapatannya sesuai
dengan ijtihadnya demi kemashlahatan umat.
Dalam mengelola
kepemilikan tersebut, negara tidak boleh menjualnya kepada rakyat—untuk konsumsi
rumah tangga—dengan mendasarkan pada asas mencari keuntungan semata. Namun
diperbolehkan menjualnya dengan mendapatkan keuntungan yang wajar darinya jika
dijual untuk keperluan produksi komersial. Sedangkan jika kepemilikan umum tersebut
dijual kepada pihak luar negeri, maka diperbolehkan pemerintah mencari
keuntungan.
Kedua, dibagikan
kepada kaum muslimin atau seluruh rakyat. Dalam hal ini khalifah boleh membagikan
air minum, listrik, gas, minyak tanah, dan barang lain untuk keperluan rumah
tangga atau pasar-pasar secara gratis atau menjualnya dengan semurah-murahnya,
atau dengan harga wajar yang tidak memberatkan. Juga untuk menutupi tanggungan
Baitul Mal yang wajib dipenuhi lainnya, seperti anggaran belanja untuk jihad fi
sabilillah.[12]
5.
Harta milik negara berupa
tanah, bangunan, sarana umum dan pendapatannya
Setiap tanah, atau
bangunan yang berkaitan dengan hak umum kaum muslimin, namun tidak termasuk
dalam pemilikan umum, maka menjadi milik negara. Setiap bentuk pemilikan negara
yang juga dapat dimiliki individu, seperti tanah, bangunan dan harta-harta
bergerak, namun berkaitan dengan hak umum kaum muslimin. Maka pengaturan,
pengelolaan, dan pembelanjaannya diwakilkan kepada khalifah, karena dialah
memiliki wewenang terhadap apa yang berkaitan dengan hak umum kaum muslimin.
Inilah pengertian pemilikan negara.
Berbeda dengan
pemilikan umum yang tidak dibolehkan bagi khalifah menjadikan sebagai pemilikan
individu, maka dalam pemilikan negara khalifah dapat menjadikan individu untuk
memilikinya, mengambil manfaatnya, menghidupkan (tanah) dan memilikinya, sesuai
dengan pandangannya demi kemaslahatan dan kebaikan kaum muslimin.
Adapun bentuk-bentuk pemilikan negara, adalah:
Pertama : padang
pasir, gunung, pantai, tanah mati yang tidak dimiliki individu.
Kedua : al
bathaih, yaitu saluran air (sungai) yang luas berpasir dan berkerikil sehingga
tidak bisa ditanami.
Ketiga : as
shawafi, adalah setiap tanah dari negeri taklukan, yang ditetapkan khalifah
sebagai milik Baitul Mal, karena tidak ada pemiliknya, atau milik negara atau
milik para penguasa negara yang ditaklukkan, atau milik pasukan musuh yang
terbunuh.
Keempat : bangunan
dan gedung, yaitu setiap istana, atau bangunan atau gedung yang ada di negeri
taklukan, yang pada asalnya dikhususkan oleh negara taklukan untuk fasilitas
pemerintahan, sarana layanan umum, sekolah/perguruan tinggi, rumah sakit dan
apotik, industri dsb. Maka bangunan-bangunan tersebut menjadi ghanimah dan fa’i
kaum muslimin, yang menjadi hak Baitul Mal, dan statusnya adalah milik negara.
Juga termasuk pemilikan negara adalah setiap bangunan, atau gedung yang
dibangun oleh negara atau yang dibeli dengan dana Baitul Mal, yang dikhususkan
untuk fasilitas pemerintahan, kemaslahatan dan direktoratnya, sekolah/perguruan
tinggi, rumah sakit, ataupun sarana layanan umum (pos telekomunikasi, bank,
transportasi umum, industri)[13]
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Ghanimah adalah rampasan perang
yang diperoleh melalui peperangan sedangkan fai adalah harta yang diperoleh
dari musuh tanpa melalui paksaan atau peperangan. Pada mulanya rampasan perang
ini tidak halalkan, namun Allah memberikan keutamaan kepada Rasulullah SAW dan
umatnya yaitu dengan menghalalkan rampasan perang tersebut. Ketika dihalalkan
itu, untuk pembagian diserahkan kepada Rasulullah SAW. Kemudian Allah SWT
memberikan panduan dalam tata kelola pembagiannya. Khusus untuk ghanimah semua
ulama sepakat bahwa khumus diwajibkan. Sedangkan untuk fai mereka berbeda
pendapat.
Dengan demikian, apabila Rasulullah
telah tiada maka para khalifah selanjutnya bisa untuk meneruskannya sebagaimana
yang telah dicontohkan oleh Khalifah Ar-Rasyidin, sehingga terwujud
kemaslahatan kaum muslimin.
B. Saran
Dengan adanya materi ini pemakalah berharap agar
para mahasiswa/i menjadi paham akan Materi tentang Sumber Peneriamaan
Pendapatan Negara. Dan Semoga bermanfaat bagi pembaca. kritik atau saran sangat
diperlukan bagi pemakalah, untuk perbaikan pemakalah dalam materi-materi
selanjutnya.
DAFTAR
PUSTAKA
Ibnu Manzhur, Lisan Al-‘Arab,
Nazih
Hammad, Mu’jam Al-Mushthalahat Al-Iqtishodiyah fi Lughah Al-Fuqaha’, (Riyadh:
Ad-Dar Al-‘Alamiyah li Al-Kitab Al-Islamy, 1995), Cet. III, hlm. 86.
Abdul
Qadim Zallum, Sistem Keuangan di Negara Khilafah terj. Ahmad. S, dkk, (Bogor:
Thariqul Izzah, 2002), Cet. I, hlm. 27-30.
Muhammad
Saddam, Ekonomi Islam Sistem Ekonomi Menurut Islam, ter. Hary Kurniawan,
(Jakarta: Taramedia, 2002), hlm. 51.
Saddam, Muhammad, Ekonomi Islam
Sistem Ekonomi Menurut Islam, ter. Hary Kurniawan, (Jakarta: Taramedia, 2002)
Jurnal Ilmiah Ekonomi Islam, ISSN:
2477-6157 ; E-ISSN 2579-6534
Jurnal Ekonomi Islam, ISSN:
2252-5661 ;E-ISSN: 2443-0056
[1] Ibnu Manzhur,
Lisan Al-‘Arab,
[2] Nazih
Hammad, Mu’jam Al-Mushthalahat Al-Iqtishodiyah fi Lughah Al-Fuqaha’, (Riyadh:
Ad-Dar Al-‘Alamiyah li Al-Kitab Al-Islamy, 1995), Cet. III, hlm. 86.
[3] Wizarah Al-Auqaf
wa As-Syu’un Al-Islamiyah, Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah, (Kuwait: Dzat As-Salasil, 1986),
Cet. II, Juz. VII, hlm. 18
[5] Manzhur, op.cit,
Juz. VII, hlm. 406.
[6] Abdul Qadim
Zallum, Sistem Keuangan di Negara Khilafah terj. Ahmad. S, dkk, (Bogor:
Thariqul Izzah, 2002), Cet. I, hlm. 27-30.
[7] Muhammad Saddam,
Ekonomi Islam Sistem Ekonomi Menurut Islam, ter. Hary Kurniawan, (Jakarta:
Taramedia, 2002), hlm. 51.
[8] Muhammad Saddam,
Ekonomi Islam Sistem Ekonomi Menurut Islam, ter. Hary Kurniawan, (Jakarta:
Taramedia, 2002), hlm. 51.
[9] Abdul Qadim
Zallum, Sistem Keuangan di Negara Khilafah terj. Ahmad. S, dkk, (Bogor:
Thariqul Izzah, 2002), Cet. I, hlm. 27-30.
[10]
Saddam, Muhammad, Ekonomi Islam Sistem Ekonomi Menurut Islam, ter. Hary
Kurniawan, (Jakarta: Taramedia, 2002)
[11] Wizarah Al-Auqaf
wa As-Syu’un Al-Islamiyah, Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah, (Kuwait: Dzat As-Salasil,
1990), Cet. II, Juz. XX, hlm. 10-21.
[12] An Nabhani, An Nidzam al Iqthishadi fi al- Islam.
[13] Wizarah Al-Auqaf
wa As-Syu’un Al-Islamiyah, Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah, (Kuwait: Dzat As-Salasil,
1990), Cet. II, Juz. XX, hlm. 10-21.
No comments:
Post a Comment