1

loading...

Thursday, November 1, 2018

MAKALAH KAJIAN KONFLIK SOSIAL FENOMENA KONFLIK DI INDONESIA


 MAKALAH  KAJIAN KONFLIK SOSIAL  FENOMENA KONFLIK DI INDONESIA
BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
            Organisasi merupakan kesatuan individu yang memiliki tujuan yang sama. Namun layaknya ilmu Sosiologi yang selalu berubah, setiap individu pun dapat berubah seiring berubahnya pola pemikiran setiap individu. Seringkali dalam individu dihadangkan pada perbedaan-perbedaan yang pada ujungnya menimbulkan konflik.
            Orde baru, seringkali menerjemahkan konflik dalam istilah yang negative sebagai bentuk trauma orde baru akibat ketidakstabilan politik pada masa orde lama, dominasi ilmu sosial fungsionalisme structural di jagad keilmuan sosial Indonesia pada periode tersebut serta kepentingan pembangunan yang mensyarakat stabilitas politik berlebihan. Itulah yang kemudian menyebabkan segala potensi modal sosial, aspirasi, dan konflik yang terpendam muncul secara radikal dalam bentuk kekerasan selama transisi demokrasi sejak 1998 sebagai efek dari pengharaman konflik serta pengabaian eksistensi dinamika sosial.
B.    Rumusan Masalah
1.   Apa saja Perkembangan Konflik di Indonesia ?
2.   Apa saja Isu-Isu Konflik (Sosial dan Politik) ?
3.   Apa saja Penagruh /Dampak konflik bagio masyarakat Sosial ?
C.    Tujuan
1.   Untuk Mengetahui Perkembangan Konflik di Indonesia.
2.   Untuk Mengetahui Isu-Isu Konflik (Sosial dan Politik).
3.   Untuk Mengetahui Pengaruh /Dampak konflik bagi masyarakat Sosial.






BAB II
PEMBAHASAN
A.      Perkembangan Konflik di Indonesia
            Secara luas konflik dapat disebabkan oleh masalah-masalah ketidaksetaraan dan ketidakadilan yang muncul sebagai masalah-masalah soaial budaya politik dan ekonomi. Konflik politik dirumuskan sebagai perbedaan pendapat, persaingan, dan pertentangan diantara sejumlah individu, kelompok ataupun organisasi dalam upaya mendapatkan atau mempertahankan sumber-sumber dari keputusan yang dibuat dan dilaksanankan oleh pemerintah. Pemerintah disini meliputi lembaga legislatif, eksekutif dan yudikatif.
            Pada masa perang kemerdekaan konflik politik yang pertama terjadi diakibatkan oleh keputusan yang dibuat oleh PPKI tentang pembuatan sebuah partai tunggal bagi semua rakyat indonesia yaitu PNI (Partai Nasional Indonesia). Namun tidak terlaksana karena kurang dukungan yang akhirnya memalui Maklumat Presiden tanggal 4 November 1945 diberikan kesempatan membentuk partai-partai politik dalam rangka sistem multi partai.[1]
            Selain konflik pada elit politik terjadi juga konflik-konflik di bawah yang muncul sebagai kelompok-kelompok radikal dalam menghadapi Belanda. Muncul juga kelompok-kelompok islam yang kecewa terhadap pemimpin sekuler yang dianggap gagal memperbaiki keadaan. Masuknya kembali tokoh Komunis yang sudah cukup lama bermukim di Uni Sovyetseperti Muso dan Suripno semakin memperburuk konflik, sebagai contoh pemberontakan PKI 1948 di Madiun yang merupakan salah satu konflik fisik yang paling buruk.
            Berlanjut pada konflik politik masa Demokrasi Parlementer yang merupakan keberlanjutan dari pola konflik pada masa perang kemerdekaan. Idiologi yang bertentangan yang dianut oleh partai-partai politik merupakan faktor penyebab terjadinya konflik. Konflik utama terjadi antara PKI dan Masyumi yang merupakan partai islam.
            `Dampak dari konflik ini mengakibatkan sering bergantinya kabinet, selama lima setengah tahun (september 1950 sampai Maret 1956) ada 5 kabinet yang terbentuk. Hal ini menyebabkan kabinet tidak mempunyai cukup waktu untuk memikirkan pembangunan nasional. Konflik ini juga menyebabkan pergolakan di daerah-daerah seperti konflik fisik PRRI-Permesta dimana untuk penumpasannnya dibutuhkan operasi militer yang melibatkan tiga angkatan.
            Masa Demokrasi Terpimpin ditandai oleh adanya usaha-usaha Presiden Soekarno untuk mempertahankan keseimbangan antara dua kekuatan politik utama, PKI dan ABRI. Oleh karena itu, persoalan utama yang dihadapi oleh Demokrasi Terpimpin adalah bagaimana Presiden Soekarno bisa mempertahankan keseimbangan antara keduanya sehingga tidak ada satupun kekuatan yang merasa lebih kuat untuk menumpas kekuatan lainnya. Soekarno memerlukan dukungan PKI yang muncul sebagai partai politik terbesar melalui manuver-manuver yang sistematis di daerah pedesaan di Jawa.
            ABRI berangsur-angsur tampil sebagai kekuatan politik baru dalam kancah politik Indonesia. Melalui dua fungsi ABRI yang didukung oleh Presiden Soekarno, ABRI memperoleh sarana untuk memperkuat kedudukannya melawan PKI. Secara historis, ABRI adalah lawan PKI karena dalam sejarah terbukti bahwa PKI melalui Pemberontakan Madiun 1948 ingin mengganti RI dengan negara lain. Oleh karena itu, G 30 S adalah penyelesaian konflik secara koersif yang dilakukan oleh PKI karena merasa dirinya sudah cukup kuat untuk melakukan pukulan terhadap ABRI dan Anti Komunis yang lainnya. Ternyata dugaan PKI salah karena ABRI dan Kelompok Anti Komunis tidak kalah dengan sekali pukul. Mereka yang diserang segera membalas sehingga terjadi peristiwa berdarah yang hebat.
            Menjelang Pemilu 1971 mulai terlihat bahwa Pemerintah Orde Baru menganut sifat yang sama dengan Soekarno dalam menghadapi konflik politik yakni kekhawatiran yang berlebih terhadap konflik. Elit politik Orde Baru selalu khawatir karena akan mengganggu kestabilan politik, integrasi nasional dan pembangunan nasional. Ketiga hal tersebut digunakan untuk alasan membatasi kebebasan di segala bidang. Dampak dari sikap tersebut adalah pembatasan terhadap kebebasan partai politik. Pada tahun 1973 diadakan penyederhanaan kepartaian yang menghasilkan tiga partai politik yakni: PPP, PDI, dan Golkar.
            Kejadian yang mirip pada masa Demokrasi Terpimpin terulang kembali. Kekhawatiran yang berlebih terhadap konflik politik menghasilkan tindakan-tindakan represif terhadap konflik yang menghilangkan kebebasan yang menimbulkan ketakutan di dalam masyarakat. Berkurangnya konflik karena kekerasan yang dihasilkan tindakan represif mengakibatkan terbentuknya kekuatan absolut dan otoriter. Bila masa Soekarno menghasilkan pembrontakan G 30 S dan kemelaratan rakyat, masa Soeharto menghasilkan kebangktutan negara karena korupsi yang luar biasa hebatnya diikuti oleh krisis politik dan krisis ekonomi yang menimbulkan penderitaan rakyat. Dibandingkan dengan masa Soekarno, masa Soeharto menghasilkan kekacauan yang lebih parah karena malapetaka yang dihasilkan oleh pemerintah yang otoriter itu tidak hanya krisis politik dan krisis ekonomi tapi juga krisis moral yang memerlukan waktu yag panjang untuk mengatasinya.
            Pada masa reformasi partai politik disamping sebagai wujud dari demokratisasi namun merupakan organisasi yang memiliki peran dan fungsi memobilisasi rakyat atas nama kepentingan-kepentingan politik sekaligus memberi legitimasi pada proses-proses politik, di antaranya adalah tentang “suksesi” kepemimpinan nasional. Pola konflik dan pola hubungan dalam partai politik ini bisa tercermati dalam pemilu 1999, yaitu realita penolakan terhadap Habibie juga Megawati Soekarnoputri dari satu kelompok terhadap kelompok yang lainnya.[2]
            Penolakan terhadap Habibie sebagai representasi penolakan terhadap Orde Baru, yang memiliki kaitan kuat dengan Soeharto. Sementara terhadap Megawati, penolakan dilakukan oleh partai-partai Islam beserta Golkar yang memanfaatkan isue “haram” presiden wanita. Gerakan asal bukan Habibie atau Megawati yang akhirnya melahirkan bangunan aliansi partai-partai Islam (PAN,PPP,PBB, dan Partai Keadilan) yang dikenal kala itu sebagai kelompok Poros Tengah.
            Berawal dari tarikan kepentingan kekuasaan suksesi nasional yang dilakukan para elite, yang selanjutnya membangun perspektif tersendiri dalam konflik-konflik konstitusi di Indonesia. Seperti dalam kejatuhan Abdurrahman Wahid memperkuat perlunya tindakan amandemen atas UUD 1945, karena konstitusi tersebut membuka perseteruan interpretasi dan dianggap menjadi sumber kekacauan ketatanegaraan di Indonesia. Terlebih pada perdebatan sistem politik Indonesia , apakah presidensil atau parlementer.Pada masa Gus Dur, sistem presidensil versi UUD 1945 terbukti rentan, dan bisa terdeviasi pada sistem parlementer.
            Maka dari sistem yang mendua, MPR periode 1999-2004 melakukan perubahan terhadap UUD. Tidaklah menjadi aneh jika dimasa Megawati (pasca Gus Dur) dalam pidato kenegaraannya 16 Agustus 2001 mengusung komisi konstitusi yang berkembang di Sidang Tahunan MPR 2001 dan memunculkan perbedaan tajam antara sikap konservatisme di majelis karena kegagalannya membentuk komisi dan tidak mampu melakukan perubahan-perubahan atas pasal-pasal krusial. Padahal tanpa komisi konstitusi independen akan menjadi kesulitan untuk dapat menghasilkan dasar-dasar berbangsa dan bernegara yang lebih demokratis serta mencerminkan kepentingan rakyat.
            Pada masa SBY sekarang ini yang lebih cenderung pada politik pencitraan dimana segala sesuatu selalu dibesar-besarkan demi kepentingan kekuasaaan. Terbukti SBY dengan politik pencitraan itu SBY mampu menjadi presiden selala dua periode. Setelah memenangkan Pilpres 2009, SBY menghadapi persoalan pelik menghadapi ancaman konflik internal koalisi partai pendukung pemerintahannya.Hal itu karena dengan dukungan 23 partai pada Pemilu 2009dimana setiap partai mengusung ideologi dan pendapatnya sendiri. Akibatnya SBY akan memakan waktu lama bila memutuskan suatu kebijakan hal ini yang kemudian dipersepsikan masyarakat sebagai presiden yang ragu-ragu.
            Memahami konflik politik yang terjadi di Indonesia dilihat dari sudut pandang penyelesaian konflik dapat dibagi menjadi dua yaitu sejak masa perang kemerdekaan sampai orde baru dan setelah orde baru sampai saat ini. Sejak perang kemerdekaan hingga Orde Baru penyelesaian konflik dilakukan dengan cara kekerasan. Penyelesaian konflik seperti ini menurut Marx ada dua sebab , pertama karena tidak ada tawar-menawar kelas borjuis dengan proletar. Kedua, kelas borjuis, sebagaimana manusia pada umumnya tidak akan mau mengurangikenikmatanyang mereka peroleh selama ini. Sementara setelah Orde Baru terjadi keterbukaan pimikiran bahwa pnyelesaian konflik dengan cara kekerasan mulai ditinggalkan. Penyelesaian konflik politk ini yang seharusnya dipilih dalam perkembangan politik Indonesia ke depan.
B.      Isu-Isu Konflik (Sosial dan Politik)
            Menurut Moore ada beberapa bentuk dan proses pengelolaan konflik antara lain:
a)     Avoidance:pihak-pihak berkonflik saling menghindari dan mengharap konflik bisa terselesaikan dengan sendirinya
b)     Informal Problem Solving:pihak-pihak berkonflik setuju dengan pemecahan masalah yang diperoleh secara informal
c)     Negoitation:ika konflik masih terus berlanjut maka para pihak berkonflik perlu melakukan negoisasi
d)     Medition:munculnya pihak ketiga yang diterima oleh kedua pihak karena dipandang bisa membantu para pihak berkonflik dalam penyelesaian konflik secara damai
e)     Arbiration:suatu proses tanpa paksaan dari para pihak berkonflik untuk mencari pihak ketiga yang dipandang netral atau imparsial
f)      Judicial approach:terjadinya intervensi yang dilakukan oleh lembaga-lembaga berwenang dalam memberi kepastian hukum
g)     Legislative approach:intervensi melalui musyawarah politik dari lembaga perwakilan rakyat
h)     Extra legal apporoach:penanganan yang dilakukan oleh pihak yang memiliki kekuatan legal dan mungkin tidak dimiliki oleh lawan politik.[3]
          Studi tentang konflik telah mengalami perkembangan pesat ketika muncul teori kelas yang dikembangkan oleh Karl Marx. Meskipun teori kelas tidak secara langsung membahas konflik sosial,  namun teori tersebut menjadi sumber dasar filosofis dan teoritis bagi  teori konflik Menurut teori kelas, masyarakat terbagi ke dalam kelas- kelas sosial berdasarkan nilai ekonomi dan sistem penguasaan alat-alat  reproduksi.
           Di dalam relasi kelas-kelas sosial terdapat unsur dominasi oleh salah satu kelas terhadap kelas yang lain.Teori kelas  menjelaskan pentingnya kesadaran kelas dari kelompok yang  terdominasi dan mengambil langkah dan strategi untuk mengubah  nasib mereka. Kesadaran kelas harus ditransformasikan dalam sebuah  gerakan sosial untuk merebut kekuasaan dalam rangka membangun  masyarakat yang ideal yakni masyarakat tanpa kelas Dahrendorf sendiri mengembangkan teori konflik dengan menguji teori kelas. Konflik merupakan sebuah fenomena sosial yang selalu hadir di tubuh masyarakat. Selama manusia hidup konflik akan selalu  muncul, tidak terhindarkan dan sering bersifat kreatif.[4]
Banyak kasus konflik di Indonesia contoh sederhana analisis pemetaan konflik diantaranya kasus konflik yang terjadi di Aceh hal ini bermula sejak Orde baru melakukan kekuasaan dari Orde lama.Dalam Era Orde Baru mengeksploitasi sumber daya alam guna menopang pembangunan nasional,seperti eksploitasi sumber daya alam Aceh dalam bentuk gas dan minyak bumi.Eksploitasi sumber daya alam Aceh hanya didistribusikan kembali ke Aceh hanya sampai 20% dari pemasukan eksploitasi alam.Jumlah ini pun masih mungkin terkorupsi oleh pemerintah local Aceh waktu itu.Fakta ini yang menyebabkan masyarakat Aceh berada di bawah garis kemiskinan,berpendidikan rendah dan hancurnya identitas local.Pada kondisi inilah GAM(Gerakan Aceh Merdeka)mulai memberontak karena anggota GAM mengklaim bahwa Aceh tidak merupakan wilyah Indonesia karena Aceh tidak pernah di jajah oleh Belanda.Wilayah Indonesia hanyalah bekas wilayah Belanda semasa penjajahan.
     Pemerintah Indonesia tidak lagi menganggap GAM sebagai pengganggu ancaman keamanan nasional melainkan sebagai kelompok politik yang berhak untuk berbicara dengan Pemerintah.Pemicu konflik ini selama massa transisi demokrasi adalah operssi militer kedua tahun 1999.Pada tahun 2002 melalui tekanan USA,EU,Jepang dan World Bank mereka dipaksa menandatangani Cessation of Hoslities Agreement mewajibkan mereka menghentikan semua tindakan kekerasan guna memberi ruang bagi bantuan kemanusiaan tetapi hasilnya tidak berguna karena kedua belah pihak masih berselisih.
Barulah ketika proses negoisasi damai di Helsinki masih alot dan pertempuran di lapangan masih panas ,bencana Tsunami menghancurkan Aceh pada tanggal 26 Desember 2004 membunuh ratusan ribu orang,merusak bangunan dan jaringan logistik,jaringan organisasi dan personel di Aceh.Akibat bencana Tsunami memberi dampak terhadap kedua belah pihak baik militer ,politis,sosial,ekonomi sebagai pemicu deskalasi konflik. Kedua belah pihak mengalami fase stale mate yang ditandai melemahnya daya perang.Pada agustus 2005 pihak Pemerintah Indonesia dan GAM bersepakat menandatangani Perjanjian Damai Helsinki
C.      Pengaruh /Dampak Konflik bagi masyarakat sosial
Sejatinya dampak konflik yang terjadi diantara seseorang dengan orang lain ataupun dengan suatu kelompok dengan kelompok lain memberikan dua dampak yakni bisa dampak positif ataupun bisa dampak negatif .[5]
Dampak positif dari konflik yaitu:
1.     Mendorong untuk kembali mengkoreksi diri : Dengan adanya konflik yang terjadi, mungkin akan membuat kesempatan bagi salah satu ataupun kedua belah pihak untuk saling merenungi kembali, berpikir ulang tentang kenapa bisa terjadi perselisihan ataupun konflik diantara mereka.
2.     Meningkatkan Prestasi : Dengan adanya konflik, bisa saja membuat orang yang termajinalkan oleh konflik menjadi merasa mempunyai kekuatan extra sendiri untuk membuktikan bahwa ia mampu dan sukses dan tidak pantas untuk “dihina”.
3.      Mengembangkan alternative yang baik : Bisa saja dengan adanya konflik yang terjadi diantara orang per orang, membuat seseorang berpikir dia harus mulai mencari alternatif yang lebih baik dengan misalnya bekerja sama dengan orang lain mungkin.
Dampak negatif dari konflik yakni :
1.     Menghambat kerjasama : Sejatinya konflik langsung atau tidak langsung akan berdampak buruk terhadap kerjasama yang sedang dijalin oleh kedua belah pihak ataupun kerjasama yang akan direncanakan diadakan antara kedua belah pihak.
2.     Apriori : Selalu berapriori terhadap “lawan”. Terkadang kita tidak meneliti benar tidaknya permasalahan, jika melihat sumber dari persoalan adalah dari lawan konflik kita.
3.      Saling menjatuhkan : Ini salah satu akibat paling nyata dari konflik yang terjadi diantara esame orang di dalam suatu organisasi, akan selalu muncul tindakaan ataupun upaya untuk saling menjatuhkan satu sama lain dan membuat kesan lawan masing-masing rendah dan penuh dengan masalah.
BAB III
PENUTUP
A.  Kesimpulan
     Konflik adalah proses pertentangan yang diekspresikan di antara dua pihak atau lebih yang saling tergantung mengenai objek (penyabab) konflik, menggunakan pola perilaku dan interaksi konflik yang menghasilkan keluaran konflik (solusi).
     Konflik mempunyai dua bentuk yaitu senjata-senjata pertempuran diantaranya ialah senjata dalam bentuk kekerasan fisik,kekayaan, media dan organisasi. Bentuk kedua dari konflik yaitu strategi politik untuk digunakan dalam berpolitik yang meliputiKonsentrasi atau penyebaran-penyebaran senjata politik, Perjuangan terbuka atau perjuangan diam-diam, Pergolakan didalam rezim dan perjuangan untuk mengontrol rezim dan lain sebagainya.
     Sedangkan penyebab adanya konflik itu ssendiri karena kemajemukan horisontal struktur masyarakat yang majemuk secara cultural serta majemuk secara social dalam perbedaan pekerjaan dan profesi. Adapun penyebab yang lain disebakan oleh kemajemukan vertikal yang memiliki arti kemajemukan yang di timbulkan oleh adanya unsur-unsur sosiopolitik yang didasarkan atas perbedaan etnis, kultur, agama dan sebagainnya.
     Resolusi Konflik adalah proses untuk mencapai keluaran konflik dengan menggunkan metode resolusi konflik. Metode resolusi konflik bisa dibagi dua yakni Pengaturan sendiri oleh pihak yang terlibat dalam konflik. (self regulation) dan Melalui intervensi pihak ketiga (third party intervention). Untuk mengatasi konflik politik ini dibutuhkan suatu integrasi politik seperti persatuan tanpa melihat sebuah perbedaan yang meliputi, bangsa, wilayah, nilai serta elite.




B.  Saran
            Menyadari bahwa penulisan makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Penulis harap kedepannya tulisan makalah ini akan lebih baik lagi serta fokus dan detail dalam menjelaskan isi dalam makalah ini dengan sumber - sumber yang lebih banyak dan lengkap yang tentunya dapat dipertanggung jawabkan.
            Untuk itulah penulis harap kritik atau saran terhadap penulisan makalah ini. Sehingga makalah ini akan lebih baik lagi kedepannya. Sebelum kritik dan saran itu diterima oleh penulis, penulis haturkan terimakasih sebanyak-banyaknya karena telah membaca makalah ini dan mendiskusikannya lalu dapat memberikan kritik maupun saran.
















DAFTAR PUSTAKA
Ritzer , George dan Douglas J. Goodman. Teori Sosiologi Modern. 2012. Jakarta : Kencana
Setiadi, Elly M. dan Usman Kolip. Pengantar Sosiologi Politik. 2013. Jakarta : Kencana
Susan, Novri. Sosiologi Konflik & Isu-Isu Konflik Kontemporer. 2009. Jakarta : Kencana
Wirawan. Konflik dan Manajemen Konflik : Teori, Aplikasi, dan Penelitian. 2010. Jakarta : Salemba Humanik
Zainal Said, Jurnal Al- Ulum  Vol. 12, Nomor 2  Desember 2012. Konflik Sosial Keagamaan Islam Non-Mainstream Dalam Masyarakat Majemuk Di Indonesia. Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Pare-Pare.








KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan atas kehadirat allah yang maha esa atas limpahan rahmat dan karunia-nya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Kajian Konflik Sosial Fenomena Konflik Di Indonesia  “ ini dengan lancar. Penulisan makalah ini bertujuan untuk memenuhi salah satu tugas yang diberikan oleh dosen pengampu Prio Utomo, M.Pd
Makalah ini ditulis dari hasil penyusunan data-data sekunder yang penulis peroleh dari buku panduan yang berkaitan dengan Konflik Sosial, serta informasi dari media massa yang berhubungan dengan Konflik Sosial masyarakat, tak lupa penyusun ucapkan terimakasih kepada pengajar mata kuliah belajar dan pembelajaran atas bimbingan dan arahan dalam penulisan makalah ini. Juga kepada rekan-rekan mahasiswa yang telah membantu sehingga dapat diselesaikannya makalah ini.
Penulis berharap, dengan membaca makalah ini dapat memberi manfaat bagi kita semua, dalam hal ini menambah wawasan dan pengetahuan kita mengenai teori belajar Konflik Sosial Memang makalah ini masih jauh dari kata sempurna, maka penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca demi perbaikan menuju arah yang baik.


Bengkulu,  Oktober 2018


Penyusun











ii
 
 
DAFTAR ISI

Kata Pengantar.................................................................................................. ii
Daftar Isi........................................................................................................... iii
BAB I Pendahuluan
A.    Latar Belakang........................................................................................ 1
B.    Rumusan Masalah................................................................................... 1
C.    Tujuan Penulisan.................................................................................... 1
BAB II Pembahasan
A.  Perkembangan Konflik di Indonesia ..................................................... 2
B.  Isu-Isu Konflik (Sosial dan Politik) ....................................................... 7
C.  Pengaruh /Dampak konflik bagi masyarakat Sosial.............................. 9
BAB III Penutup
A.    Kesimpulan........................................................................................... 11
B.    Saran..................................................................................................... 12
Daftar Pustaka















iii
 
 


[1] Ritzer , George dan Douglas J. Goodman. Teori Sosiologi Modern. 2012. Jakarta : Kencana
[2] Wirawan. Konflik dan Manajemen Konflik : Teori, Aplikasi, dan Penelitian. 2010. Jakarta : Salemba Humanika.
[3] Susan, Novri. Sosiologi Konflik & Isu-Isu Konflik Kontemporer. 2009. Jakarta : Kencana
[4] Zainal Said, Jurnal Al- Ulum  Vol. 12, Nomor 2  Desember 2012. Konflik Sosial Keagamaan Islam Non-Mainstream Dalam Masyarakat Majemuk Di Indonesia. Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Pare-Pare hal.9
[5] Ritzer , George dan Douglas J. Goodman. Teori Sosiologi Modern. 2012. Jakarta : Kencana

No comments:

Post a Comment