MAKALAH KAJIAN KONFLIK SOSIAL FENOMENA KONFLIK DI INDONESIA
BAB I
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Organisasi
merupakan kesatuan individu yang memiliki tujuan yang sama. Namun layaknya ilmu
Sosiologi yang selalu berubah, setiap individu pun dapat berubah seiring
berubahnya pola pemikiran setiap individu. Seringkali dalam individu
dihadangkan pada perbedaan-perbedaan yang pada ujungnya menimbulkan konflik.
Orde baru,
seringkali menerjemahkan konflik dalam istilah yang negative sebagai bentuk
trauma orde baru akibat ketidakstabilan politik pada masa orde lama, dominasi
ilmu sosial fungsionalisme structural di jagad keilmuan sosial Indonesia pada
periode tersebut serta kepentingan pembangunan yang mensyarakat stabilitas
politik berlebihan. Itulah yang kemudian menyebabkan segala potensi modal
sosial, aspirasi, dan konflik yang terpendam muncul secara radikal dalam bentuk
kekerasan selama transisi demokrasi sejak 1998 sebagai efek dari pengharaman
konflik serta pengabaian eksistensi dinamika sosial.
B. Rumusan Masalah
1.
Apa saja Perkembangan Konflik di Indonesia ?
2.
Apa saja Isu-Isu Konflik (Sosial dan Politik) ?
3.
Apa saja Penagruh /Dampak konflik bagio masyarakat Sosial ?
C. Tujuan
1.
Untuk Mengetahui Perkembangan Konflik di Indonesia.
2.
Untuk Mengetahui Isu-Isu Konflik (Sosial dan Politik).
3.
Untuk Mengetahui Pengaruh /Dampak konflik bagi masyarakat Sosial.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Perkembangan
Konflik di Indonesia
Secara luas konflik dapat disebabkan
oleh masalah-masalah ketidaksetaraan dan ketidakadilan yang muncul sebagai
masalah-masalah soaial budaya politik dan ekonomi. Konflik politik dirumuskan
sebagai perbedaan pendapat, persaingan, dan pertentangan diantara sejumlah
individu, kelompok ataupun organisasi dalam upaya mendapatkan atau
mempertahankan sumber-sumber dari keputusan yang dibuat dan dilaksanankan oleh
pemerintah. Pemerintah disini meliputi lembaga legislatif, eksekutif dan
yudikatif.
Pada masa perang kemerdekaan konflik
politik yang pertama terjadi diakibatkan oleh keputusan yang dibuat oleh PPKI
tentang pembuatan sebuah partai tunggal bagi semua rakyat indonesia yaitu PNI
(Partai Nasional Indonesia). Namun tidak terlaksana karena kurang dukungan yang
akhirnya memalui Maklumat Presiden tanggal 4 November 1945 diberikan kesempatan
membentuk partai-partai politik dalam rangka sistem multi partai.[1]
Selain konflik pada elit politik
terjadi juga konflik-konflik di bawah yang muncul sebagai kelompok-kelompok
radikal dalam menghadapi Belanda. Muncul juga kelompok-kelompok islam yang
kecewa terhadap pemimpin sekuler yang dianggap gagal memperbaiki keadaan.
Masuknya kembali tokoh Komunis yang sudah cukup lama bermukim di Uni
Sovyetseperti Muso dan Suripno semakin memperburuk konflik, sebagai contoh
pemberontakan PKI 1948 di Madiun yang merupakan salah satu konflik fisik yang
paling buruk.
Berlanjut pada konflik politik masa
Demokrasi Parlementer yang merupakan keberlanjutan dari pola konflik pada masa
perang kemerdekaan. Idiologi yang bertentangan yang dianut oleh partai-partai
politik merupakan faktor penyebab terjadinya konflik. Konflik utama terjadi
antara PKI dan Masyumi yang merupakan partai islam.
`Dampak dari konflik ini
mengakibatkan sering bergantinya kabinet, selama lima setengah tahun (september
1950 sampai Maret 1956) ada 5 kabinet yang terbentuk. Hal ini menyebabkan
kabinet tidak mempunyai cukup waktu untuk memikirkan pembangunan nasional.
Konflik ini juga menyebabkan pergolakan di daerah-daerah seperti konflik fisik
PRRI-Permesta dimana untuk penumpasannnya dibutuhkan operasi militer yang
melibatkan tiga angkatan.
Masa Demokrasi Terpimpin ditandai
oleh adanya usaha-usaha Presiden Soekarno untuk mempertahankan keseimbangan
antara dua kekuatan politik utama, PKI dan ABRI. Oleh karena itu, persoalan
utama yang dihadapi oleh Demokrasi Terpimpin adalah bagaimana Presiden Soekarno
bisa mempertahankan keseimbangan antara keduanya sehingga tidak ada satupun
kekuatan yang merasa lebih kuat untuk menumpas kekuatan lainnya. Soekarno
memerlukan dukungan PKI yang muncul sebagai partai politik terbesar melalui
manuver-manuver yang sistematis di daerah pedesaan di Jawa.
ABRI berangsur-angsur tampil sebagai
kekuatan politik baru dalam kancah politik Indonesia. Melalui dua fungsi ABRI
yang didukung oleh Presiden Soekarno, ABRI memperoleh sarana untuk memperkuat
kedudukannya melawan PKI. Secara historis, ABRI adalah lawan PKI karena dalam
sejarah terbukti bahwa PKI melalui Pemberontakan Madiun 1948 ingin mengganti RI
dengan negara lain. Oleh karena itu, G 30 S adalah penyelesaian konflik secara
koersif yang dilakukan oleh PKI karena merasa dirinya sudah cukup kuat untuk
melakukan pukulan terhadap ABRI dan Anti Komunis yang lainnya. Ternyata dugaan
PKI salah karena ABRI dan Kelompok Anti Komunis tidak kalah dengan sekali
pukul. Mereka yang diserang segera membalas sehingga terjadi peristiwa berdarah
yang hebat.
Menjelang Pemilu 1971 mulai terlihat
bahwa Pemerintah Orde Baru menganut sifat yang sama dengan Soekarno dalam
menghadapi konflik politik yakni kekhawatiran yang berlebih terhadap konflik.
Elit politik Orde Baru selalu khawatir karena akan mengganggu kestabilan
politik, integrasi nasional dan pembangunan nasional. Ketiga hal tersebut
digunakan untuk alasan membatasi kebebasan di segala bidang. Dampak dari sikap
tersebut adalah pembatasan terhadap kebebasan partai politik. Pada tahun 1973
diadakan penyederhanaan kepartaian yang menghasilkan tiga partai politik yakni:
PPP, PDI, dan Golkar.
Kejadian yang mirip pada masa
Demokrasi Terpimpin terulang kembali. Kekhawatiran yang berlebih terhadap
konflik politik menghasilkan tindakan-tindakan represif terhadap konflik yang
menghilangkan kebebasan yang menimbulkan ketakutan di dalam masyarakat.
Berkurangnya konflik karena kekerasan yang dihasilkan tindakan represif
mengakibatkan terbentuknya kekuatan absolut dan otoriter. Bila masa Soekarno
menghasilkan pembrontakan G 30 S dan kemelaratan rakyat, masa Soeharto
menghasilkan kebangktutan negara karena korupsi yang luar biasa hebatnya
diikuti oleh krisis politik dan krisis ekonomi yang menimbulkan penderitaan
rakyat. Dibandingkan dengan masa Soekarno, masa Soeharto menghasilkan kekacauan
yang lebih parah karena malapetaka yang dihasilkan oleh pemerintah yang
otoriter itu tidak hanya krisis politik dan krisis ekonomi tapi juga krisis
moral yang memerlukan waktu yag panjang untuk mengatasinya.
Pada masa reformasi partai politik
disamping sebagai wujud dari demokratisasi namun merupakan organisasi yang
memiliki peran dan fungsi memobilisasi rakyat atas nama kepentingan-kepentingan
politik sekaligus memberi legitimasi pada proses-proses politik, di antaranya
adalah tentang “suksesi” kepemimpinan nasional. Pola konflik dan pola hubungan
dalam partai politik ini bisa tercermati dalam pemilu 1999, yaitu realita
penolakan terhadap Habibie juga Megawati Soekarnoputri dari satu kelompok
terhadap kelompok yang lainnya.[2]
Penolakan terhadap Habibie sebagai
representasi penolakan terhadap Orde Baru, yang memiliki kaitan kuat dengan Soeharto.
Sementara terhadap Megawati, penolakan dilakukan oleh partai-partai Islam
beserta Golkar yang memanfaatkan isue “haram” presiden wanita. Gerakan asal
bukan Habibie atau Megawati yang akhirnya melahirkan bangunan aliansi
partai-partai Islam (PAN,PPP,PBB, dan Partai Keadilan) yang dikenal kala itu
sebagai kelompok Poros Tengah.
Berawal dari tarikan kepentingan
kekuasaan suksesi nasional yang dilakukan para elite, yang selanjutnya
membangun perspektif tersendiri dalam konflik-konflik konstitusi di Indonesia.
Seperti dalam kejatuhan Abdurrahman Wahid memperkuat perlunya tindakan
amandemen atas UUD 1945, karena konstitusi tersebut membuka perseteruan
interpretasi dan dianggap menjadi sumber kekacauan ketatanegaraan di Indonesia.
Terlebih pada perdebatan sistem politik Indonesia , apakah presidensil atau
parlementer.Pada masa Gus Dur, sistem presidensil versi UUD 1945 terbukti
rentan, dan bisa terdeviasi pada sistem parlementer.
Maka dari sistem yang mendua, MPR
periode 1999-2004 melakukan perubahan terhadap UUD. Tidaklah menjadi aneh jika
dimasa Megawati (pasca Gus Dur) dalam pidato kenegaraannya 16 Agustus 2001
mengusung komisi konstitusi yang berkembang di Sidang Tahunan MPR 2001 dan
memunculkan perbedaan tajam antara sikap konservatisme di majelis karena
kegagalannya membentuk komisi dan tidak mampu melakukan perubahan-perubahan
atas pasal-pasal krusial. Padahal tanpa komisi konstitusi independen
akan menjadi kesulitan untuk dapat menghasilkan dasar-dasar berbangsa dan
bernegara yang lebih demokratis serta mencerminkan kepentingan rakyat.
Pada masa SBY sekarang ini yang
lebih cenderung pada politik pencitraan dimana segala sesuatu selalu
dibesar-besarkan demi kepentingan kekuasaaan. Terbukti SBY dengan politik
pencitraan itu SBY mampu menjadi presiden selala dua periode. Setelah
memenangkan Pilpres 2009, SBY menghadapi persoalan pelik menghadapi ancaman
konflik internal koalisi partai pendukung pemerintahannya.Hal itu karena dengan
dukungan 23 partai pada Pemilu 2009dimana setiap partai mengusung ideologi dan
pendapatnya sendiri. Akibatnya SBY akan memakan waktu lama bila memutuskan
suatu kebijakan hal ini yang kemudian dipersepsikan masyarakat sebagai presiden
yang ragu-ragu.
Memahami konflik politik yang
terjadi di Indonesia dilihat dari sudut pandang penyelesaian konflik dapat
dibagi menjadi dua yaitu sejak masa perang kemerdekaan sampai orde baru dan
setelah orde baru sampai saat ini. Sejak perang kemerdekaan hingga Orde Baru
penyelesaian konflik dilakukan dengan cara kekerasan. Penyelesaian konflik
seperti ini menurut Marx ada dua sebab , pertama karena tidak ada tawar-menawar
kelas borjuis dengan proletar. Kedua, kelas borjuis, sebagaimana manusia pada
umumnya tidak akan mau mengurangikenikmatanyang mereka peroleh selama ini.
Sementara setelah Orde Baru terjadi keterbukaan pimikiran bahwa pnyelesaian
konflik dengan cara kekerasan mulai ditinggalkan. Penyelesaian konflik politk
ini yang seharusnya dipilih dalam perkembangan politik Indonesia ke depan.
B.
Isu-Isu
Konflik (Sosial dan Politik)
Menurut Moore ada
beberapa bentuk dan proses pengelolaan konflik antara lain:
a)
Avoidance:pihak-pihak
berkonflik saling menghindari dan mengharap konflik bisa terselesaikan dengan
sendirinya
b)
Informal
Problem Solving:pihak-pihak berkonflik setuju dengan pemecahan masalah yang
diperoleh secara informal
c)
Negoitation:ika
konflik masih terus berlanjut maka para pihak berkonflik perlu melakukan
negoisasi
d)
Medition:munculnya
pihak ketiga yang diterima oleh kedua pihak karena dipandang bisa membantu para
pihak berkonflik dalam penyelesaian konflik secara damai
e)
Arbiration:suatu
proses tanpa paksaan dari para pihak berkonflik untuk mencari pihak ketiga yang
dipandang netral atau imparsial
f)
Judicial
approach:terjadinya intervensi yang dilakukan oleh lembaga-lembaga berwenang dalam
memberi kepastian hukum
g)
Legislative
approach:intervensi melalui musyawarah politik dari lembaga perwakilan rakyat
h)
Extra
legal apporoach:penanganan yang dilakukan oleh pihak yang memiliki kekuatan
legal dan mungkin tidak dimiliki oleh lawan politik.[3]
Studi
tentang konflik telah mengalami perkembangan pesat ketika muncul teori kelas
yang dikembangkan oleh Karl Marx. Meskipun teori kelas tidak secara langsung
membahas konflik sosial, namun teori
tersebut menjadi sumber dasar filosofis dan teoritis bagi teori konflik Menurut teori kelas, masyarakat
terbagi ke dalam kelas- kelas sosial berdasarkan nilai ekonomi dan sistem
penguasaan alat-alat reproduksi.
Di dalam relasi kelas-kelas sosial terdapat
unsur dominasi oleh salah satu kelas terhadap kelas yang lain.Teori kelas menjelaskan pentingnya kesadaran kelas dari
kelompok yang terdominasi dan mengambil
langkah dan strategi untuk mengubah nasib
mereka. Kesadaran kelas harus ditransformasikan dalam sebuah gerakan sosial untuk merebut kekuasaan dalam
rangka membangun masyarakat yang ideal
yakni masyarakat tanpa kelas Dahrendorf sendiri mengembangkan teori konflik
dengan menguji teori kelas. Konflik merupakan sebuah fenomena sosial yang
selalu hadir di tubuh masyarakat. Selama manusia hidup konflik akan selalu muncul, tidak terhindarkan dan sering bersifat
kreatif.[4]
Banyak
kasus konflik di Indonesia contoh sederhana analisis pemetaan konflik
diantaranya kasus konflik yang terjadi di Aceh hal ini bermula sejak Orde baru
melakukan kekuasaan dari Orde lama.Dalam
Era Orde Baru mengeksploitasi sumber daya alam guna menopang pembangunan
nasional,seperti eksploitasi sumber daya alam Aceh dalam bentuk gas dan minyak
bumi.Eksploitasi sumber daya alam Aceh hanya didistribusikan kembali ke Aceh
hanya sampai 20% dari pemasukan eksploitasi alam.Jumlah ini pun masih mungkin
terkorupsi oleh pemerintah local Aceh waktu itu.Fakta
ini yang menyebabkan masyarakat Aceh berada di bawah garis
kemiskinan,berpendidikan rendah dan hancurnya identitas local.Pada kondisi inilah GAM(Gerakan Aceh
Merdeka)mulai memberontak karena anggota GAM mengklaim bahwa Aceh tidak
merupakan wilyah Indonesia karena Aceh tidak pernah di jajah oleh Belanda.Wilayah
Indonesia hanyalah bekas wilayah Belanda semasa penjajahan.
Pemerintah
Indonesia tidak lagi menganggap GAM sebagai pengganggu ancaman keamanan
nasional melainkan sebagai kelompok politik yang berhak untuk berbicara dengan
Pemerintah.Pemicu konflik ini selama massa transisi demokrasi adalah operssi
militer kedua tahun 1999.Pada tahun 2002 melalui tekanan USA,EU,Jepang dan
World Bank mereka dipaksa menandatangani Cessation of Hoslities Agreement
mewajibkan mereka menghentikan semua tindakan kekerasan guna memberi ruang bagi
bantuan kemanusiaan tetapi hasilnya tidak berguna karena kedua belah pihak
masih berselisih.
Barulah
ketika proses negoisasi damai di Helsinki masih alot dan pertempuran di
lapangan masih panas ,bencana Tsunami menghancurkan Aceh pada tanggal 26
Desember 2004 membunuh ratusan ribu orang,merusak bangunan dan jaringan
logistik,jaringan organisasi dan personel di Aceh.Akibat bencana Tsunami
memberi dampak terhadap kedua belah pihak baik militer ,politis,sosial,ekonomi
sebagai pemicu deskalasi konflik. Kedua belah pihak mengalami fase stale mate
yang ditandai melemahnya daya perang.Pada
agustus 2005 pihak Pemerintah Indonesia dan GAM bersepakat menandatangani
Perjanjian Damai Helsinki
C.
Pengaruh
/Dampak Konflik bagi masyarakat sosial
Sejatinya dampak konflik yang terjadi
diantara seseorang dengan orang lain ataupun dengan suatu kelompok dengan
kelompok lain memberikan dua dampak yakni bisa dampak positif ataupun bisa
dampak negatif .[5]
Dampak positif dari konflik yaitu:
1. Mendorong untuk kembali mengkoreksi diri : Dengan
adanya konflik yang terjadi, mungkin akan membuat kesempatan bagi salah satu
ataupun kedua belah pihak untuk saling merenungi kembali, berpikir ulang
tentang kenapa bisa terjadi perselisihan ataupun konflik diantara mereka.
2. Meningkatkan Prestasi : Dengan adanya konflik, bisa
saja membuat orang yang termajinalkan oleh konflik menjadi merasa mempunyai
kekuatan extra sendiri untuk membuktikan bahwa ia mampu dan sukses dan tidak
pantas untuk “dihina”.
3. Mengembangkan
alternative yang baik : Bisa saja dengan adanya konflik yang terjadi diantara
orang per orang, membuat seseorang berpikir dia harus mulai mencari alternatif
yang lebih baik dengan misalnya bekerja sama dengan orang lain mungkin.
Dampak negatif dari konflik yakni :
1. Menghambat kerjasama : Sejatinya konflik langsung atau
tidak langsung akan berdampak buruk terhadap kerjasama yang sedang dijalin oleh
kedua belah pihak ataupun kerjasama yang akan direncanakan diadakan antara
kedua belah pihak.
2. Apriori : Selalu berapriori terhadap “lawan”.
Terkadang kita tidak meneliti benar tidaknya permasalahan, jika melihat sumber
dari persoalan adalah dari lawan konflik kita.
3. Saling
menjatuhkan : Ini salah satu akibat paling nyata dari konflik yang terjadi
diantara esame orang di dalam suatu organisasi, akan selalu muncul tindakaan
ataupun upaya untuk saling menjatuhkan satu sama lain dan membuat kesan lawan
masing-masing rendah dan penuh dengan masalah.
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Konflik
adalah proses pertentangan yang diekspresikan di antara dua pihak atau lebih
yang saling tergantung mengenai objek (penyabab) konflik, menggunakan pola
perilaku dan interaksi konflik yang menghasilkan keluaran konflik (solusi).
Konflik
mempunyai dua bentuk yaitu senjata-senjata pertempuran diantaranya ialah
senjata dalam bentuk kekerasan fisik,kekayaan, media dan
organisasi. Bentuk kedua dari konflik yaitu strategi politik untuk
digunakan dalam berpolitik yang meliputiKonsentrasi atau penyebaran-penyebaran
senjata politik, Perjuangan terbuka atau perjuangan diam-diam, Pergolakan
didalam rezim dan perjuangan untuk mengontrol rezim dan lain sebagainya.
Sedangkan
penyebab adanya konflik itu ssendiri karena kemajemukan
horisontal struktur masyarakat yang majemuk secara cultural serta majemuk
secara social dalam perbedaan pekerjaan dan profesi. Adapun penyebab yang lain
disebakan oleh kemajemukan vertikal yang memiliki arti kemajemukan
yang di timbulkan oleh adanya unsur-unsur sosiopolitik yang didasarkan atas
perbedaan etnis, kultur, agama dan sebagainnya.
Resolusi
Konflik adalah proses untuk mencapai keluaran konflik dengan menggunkan metode
resolusi konflik. Metode resolusi konflik bisa dibagi dua yakni Pengaturan
sendiri oleh pihak yang terlibat dalam konflik. (self regulation) dan Melalui
intervensi pihak ketiga (third party intervention). Untuk mengatasi
konflik politik ini dibutuhkan suatu integrasi politik seperti persatuan tanpa
melihat sebuah perbedaan yang meliputi, bangsa, wilayah, nilai serta
elite.
B. Saran
Menyadari
bahwa penulisan makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Penulis harap
kedepannya tulisan makalah ini akan lebih baik lagi serta fokus dan detail
dalam menjelaskan isi dalam makalah ini dengan sumber - sumber yang lebih
banyak dan lengkap yang tentunya dapat dipertanggung jawabkan.
Untuk
itulah penulis harap kritik atau saran terhadap penulisan makalah ini. Sehingga
makalah ini akan lebih baik lagi kedepannya. Sebelum kritik dan saran itu
diterima oleh penulis, penulis haturkan terimakasih sebanyak-banyaknya karena
telah membaca makalah ini dan mendiskusikannya lalu dapat memberikan kritik
maupun saran.
DAFTAR PUSTAKA
Ritzer , George dan Douglas J. Goodman. Teori Sosiologi
Modern. 2012. Jakarta : Kencana
Setiadi, Elly M. dan Usman Kolip. Pengantar Sosiologi
Politik. 2013. Jakarta : Kencana
Susan, Novri. Sosiologi Konflik & Isu-Isu Konflik
Kontemporer. 2009. Jakarta : Kencana
Wirawan. Konflik dan Manajemen Konflik : Teori, Aplikasi, dan
Penelitian. 2010. Jakarta : Salemba Humanik
Zainal Said, Jurnal Al- Ulum Vol.
12, Nomor 2 Desember 2012. Konflik
Sosial Keagamaan Islam Non-Mainstream Dalam Masyarakat Majemuk Di Indonesia.
Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Pare-Pare.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis
panjatkan atas kehadirat allah yang maha esa atas limpahan rahmat dan
karunia-nya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang
berjudul “Kajian Konflik Sosial
Fenomena Konflik Di Indonesia “
ini dengan lancar. Penulisan makalah ini bertujuan untuk memenuhi salah satu
tugas yang diberikan oleh dosen pengampu Prio Utomo, M.Pd
Makalah ini ditulis
dari hasil penyusunan data-data sekunder yang penulis peroleh dari buku panduan
yang berkaitan dengan Konflik Sosial,
serta informasi dari media massa yang berhubungan dengan Konflik Sosial masyarakat, tak lupa
penyusun ucapkan terimakasih kepada pengajar mata kuliah belajar dan
pembelajaran atas bimbingan dan arahan dalam penulisan makalah ini. Juga kepada
rekan-rekan mahasiswa yang telah membantu sehingga dapat diselesaikannya
makalah ini.
Penulis berharap,
dengan membaca makalah ini dapat memberi manfaat bagi kita semua, dalam hal ini
menambah wawasan dan pengetahuan kita mengenai teori belajar Konflik Sosial Memang makalah ini
masih jauh dari kata sempurna, maka penulis mengharapkan kritik dan saran dari
pembaca demi perbaikan menuju arah yang baik.
Bengkulu,
Oktober 2018
Penyusun
|
DAFTAR
ISI
Kata
Pengantar.................................................................................................. ii
Daftar
Isi........................................................................................................... iii
BAB
I Pendahuluan
A. Latar
Belakang........................................................................................ 1
B. Rumusan
Masalah................................................................................... 1
C. Tujuan
Penulisan.................................................................................... 1
BAB
II Pembahasan
A.
Perkembangan Konflik di Indonesia ..................................................... 2
B.
Isu-Isu Konflik (Sosial dan Politik) ....................................................... 7
C.
Pengaruh /Dampak konflik bagi masyarakat Sosial.............................. 9
BAB
III Penutup
A. Kesimpulan........................................................................................... 11
B. Saran..................................................................................................... 12
Daftar Pustaka
|
[2] Wirawan. Konflik
dan Manajemen Konflik : Teori, Aplikasi, dan Penelitian. 2010. Jakarta :
Salemba Humanika.
[4]
Zainal Said, Jurnal Al-
Ulum Vol. 12, Nomor 2 Desember 2012. Konflik Sosial Keagamaan Islam
Non-Mainstream Dalam Masyarakat Majemuk Di Indonesia. Sekolah Tinggi Agama Islam
Negeri (STAIN) Pare-Pare hal.9
No comments:
Post a Comment