1

loading...

Thursday, November 1, 2018

MAKALAH HADIS EKONOMI “GADAI”


MAKALAH HADIS EKONOMI  “GADAI”


KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan ke Hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat limpahan Rahmar dan karuni-NYA sehingga dapat menyusun makalah ini dengan dan tepat pada waktunya. Dalam makalah ini kami membahas mengenai Gadai  Atas dukungan yang diberikan dalam penyusunan makalah ini, maka kami mengucapkan terima kasih.
Kami menyadar bahwa dalam proses penulisan makalah ini masih jauh dari baik materi maupun cara penulisannya. Namun demikian, penulis berharap semoga makalah ini dapat bermafaat bagi seluruh pembaca.
Oleh karena itu, penulis mengharapakan kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan makalah kami kedepannya.


                                                                        Bengkulu,    Oktober  2018

                                                                                                Penulis











DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ........................................................................................... i  
KATA PENGANTAR ......................................................................................... ii
DAFTAR  ISI ....................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang ......................................................................................... 1
B.    Rumusan Masalah..................................................................................... 2
C.    Tujuan ...................................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN
A.    Pengertian  Gadai...................................................................................... 3
B.    Landasan Hukum Gadai............................................................................ 3
C.    Rukun dan Syarat Gadai........................................................................... 4
D.    Hak dan Kewajiban Pemberi dan Penerima gadai .................................. 7
E.     Pemanfaatan Barang Gadai ..................................................................... 7
F.     Sebab-sebab Gadai ................................................................................... 8
G.    Waktu dalam Perjanjian Gadai................................................................. 9
H.    Mengganti Barang yang digadaikan ........................................................ 10
I.       Berakhirnya Akad Gadai.......................................................................... 10
J.      Hukum Gadai ........................................................................................... 11
K.    Apa saja Perbedaan antara Rahin dan Murtahin ..................................... 11
BAB II PENUTUP
A.    Kesimpulan .............................................................................................. 13
B.    Saran......................................................................................................... 13
DAFTAR ISI




BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
            Kehadiran lembaga pegadaian di Indonsia bukanlah hal yang asing lagi. Bahkan lembaga ini menjadi sangat populer dikalangan masyarakat (khususnya Jakarta), ketika menjelang lebaran tiba. Sudah merupakan tradisi bagi pemudik di ibukota untuk menggadaikan barang berharga mereka menjelang bulan syawal.
            Dengan menitipkan emas, kendaraan bermotor atau barang berharga lainnya sebagai jaminan atas uang yang dipinjam, keinginan untuk bertemu sanak saudara dikampung dengan kerinduan yang sangat pun terobati. Bukan tanpa alasan karena disaat ongkos dan harga kebutuhan untuk oleh-oleh yang semakin menggila yang tidak lagi dapat diatasi oleh gaji maupun pendapatan selama di Jakarta, maka pegadaian merupakan alternatif yang dapat menjawab tersebut.
            Sekilas lembaga ini memang terlihat sangat membantu. Dan tentu saja dengan menyuarakan motto “ mengatasi masalah tanpa masalah”-nya, lembaga ini berhasil menafsir dan mencitrakan dirinya di mata masyarakat sangat baik. Akan tetapi, disadari atau tidak ternyata dalam prakteknya lembaga ini belum dapat terlepas dari persoalan.Dengan berkaca mata pada syariat islam, ketika perjanjian gadai ditunaikan terdapat unsur-unsur yang dilarang syariat. Hal ini dapat terlihat dari praktek gadai itu sendiri yang menentukan adanya bunga gadai, yang mana pembayarannya dilakukan setiap 15 hari sekali. Dan tentu saja pembayarannya haruslah tepat waktu karena jika terjadi keterlambatan pembayaran, maka bunga gadai akan bertambah menjadi dua kali lipat dari kewajibannya.Bukan hanya riba, ketidak jelasan (gharar), dan qimar juga ikut serta menghiasi aktifitas lembaga ini. Yang secara jelas terdapat kencenderungan merugikan salah satu pihak.[1]
            Memang hal ini tidaklah terlalu diperhatikan oleh masyarakat. Tetapi, ketika mereka terjebak dengan bunga yang membengkak serta ketidak sanggupan uintuk membayar,maka di sinilah masalah letak permasalahan itu muncul.Oleh karena itu, berangkat dari uraian yang telah dikemukakan di atas,maka saya selaku penulis membuat esai ini dengan maksud untuk menganalisa dan memberikan sebuah solusi dengan pendekatan fiqh islam sebagai jawaban atas ketidak syari’an atas praktek pegadaian saat ini.

B.      Rumusan Masalah
1.       Apa yang dimaksud dengan Gadai ?
2.       Apa yang dimaksud dengan Landasan Hukum Gadai  ?
3.       Apa Saja Rukun dan Syarat Gadai?
4.       Apa Hak dan Kewajiban Pemberi dan Penerima gadai ?
5.       Apa saja Pemanfaatan Barang Gadai ?
6.       Apa Saja Sebab-sebab Gadai ?
7.       Kapan saja Waktu dalam Perjanjian Gadai?
8.       Kapan Mengganti Barang yang digadaikan ?
9.       Kapan Berakhirnya Akad Gadai?
10.    Apa aja hukum Gadai ?
11.     Apa saja Perbedaan antara Rahin dan Murtahin ?
C.      Tujuan
1.        Untuk  mengetahui Apa yang dimaksud dengan Gadai
2.        Untuk  mengetahui Gadai dalam Landasan Hukum Gadai 
3.       Untuk  mengetahui Rukun dan Syarat Gadai
4.       Untuk  mengetahui Hak dan Kewajiban Pemberi dan Penerima gadai
5.       Untuk  mengetahui Pemanfaatan Barang Gadai
6.       Untuk  mengetahui Sebab-sebab Gadai
7.       Untuk  mengetahui Waktu dalam Perjanjian Gadai
8.       Untuk  mengetahui Mengganti Barang yang digadaikan
9.       Untuk  mengetahui Berakhirnya Akad Gadai
10.    Untuk mengetahui hukum Gadai.
11.    Untuk mengetahui Perbedaan antara Rahin dan Murtahin.


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Gadai (Ar-Rahn)
Secara etimologi, gadai (ar-rahn) berarti tetap dan lestari. Gadai dikatakan jugaal-hasbu , artinya penahanan, misalnya ungkapan ni’matun rahinah (karunia tetap dan lestari, yang dalam hukum positif disebut dengan barang jaminan agunan dan tangguhan.Menurut Syafe’i Rahmat dalam bukunya, gadai artinya penahanan terhadap suatu barang dengan hak sehingga dapat dijadikan sebagai pembayaran dari barang tersebut.
Ada beberapa pengertian gadai yang dikemukakan secara terminologis oleh ulama fiqh:
1.           Ulama Malikiyah : Harga yang digadai pemiliknya sebagai jaminan utang yang bersifat mengikat.
2.           Ulama Hanafiyah : Menjadikan suatu barang sebagai jaminan terhadap hak piutang itu baik seluruhnya maupun sebagiannya.
3.           Ulama Syafi’iyah : Menjadikan materi (barang) sebagai jaminan utang yang dapat dijadikan pembayar utang apabila yang berutang tidak bisa membayar utangnya itu.[2]

B.     Landasan Hukum Gadai (Ar-Rahn)
Gadai didasari oleh beberapa landasan hukum, diantaranya Al-Qur’an, As-Sunnah, dan Qiyas.
Firman Allah SWT. dalam surah Al-Baqarah ayat 283.[3]
وان كنتم على سفر ولم تجدوا كاتبا فرهن مقبوضة .. فان امن بعضكم بعضا فليؤد الدي اؤتمن اما نته وليتق الله ربه زز
dan jika kamu dalam perjalanan sedang kamu tidak mendapatkan seseorang penulis, maka hendaklah ada barang jaminan yang dipegang. Tetapi, jika sebagian kamu memercayai sebagian yang lain, hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (utangnya) dan hendaklah dia bertaqwa kepada Allah Tuhannya.........”(Q.S. Al-Baqarah ayat 283)
    Rasulullah SAW bersabda:
عن ابى هريرة قال : قال رسولالله ص.م : الضهر يركب بنفقة اذا كان مرهونا ولبن الدر يشرب بنفقته اذا يشرب بنفقته و اذا كان مرهونا وعل الذي يشرب النفقهز ( رواه البخارى )
Dari Abi Hurairah, ia berkata bersabda Rasulullah SAW., Binatang tunggangan boleh ditunggangi lantaran memberi nafkahnya apabila ia tergadai dan susunya diminum lantaran memberi apabila ia tergadai dan wajib orang yang menunggang dan memnum memberi nafkah.. ( H.R. Bukhari )”
Dasar lain, yaitu ijma ulama atas hukum mubah. Mereka berbeda pendapat tentang apakah gadai hanya diperbolehkan dalam keadaan berpergian ataukah dapat dilakukan dimana dan kapan saja. Mazhab Adzhairi mujahid dan Ad-Dahk hanya membolehkan gadai pada waktu berpergian. Hal ini didasarkan pada Firman Allah SWT., dalam qur’an surat Al-Baqarah ayat 283. Adapun jumhur ulama membolehkan gadai pada waktu berpergian dan berada ditempat domisilinya berdasarkan praktik nabi yang melakukan gadai pada waktu nabi berada di Madinah, sedangkan ayat yang mengaitkan gadai dengan berpergian itu tidak dimaksudkan sebagai syarat syahnya gadai, tetapi hanya menunjukan bahwa gadai itu pada umumnya dilakukan pada waktu sedang berpergian.

C.    Rukun dan Syarat Gadai
Ulama fiqh berbeda pendapat dalam menetapkan rukun dan syarat gadai. Menurut jumhur ulama, rukun gadai ada empat, yakni:[4]
1.     Shighat (Lafadz Ijab Kabul)
2.     Rahin dan Murtahin (Orang yang berakad)
3.     Marhun ( harta yang dijadikan agunan )
4.     Marhun bih ( hutang )[5]
Sedangkan ulama hanafiyah berpendapat bahwa rukun gadai hanya ijab dan qabul. Akan tetapi, akad dalam gadai tidak akan sempurna sebelum adanya penyerahan barang.
Syarat-syarat gadai menurut ulama fiqh sesuai dengan rukun, meliputi:
1)     Persyaratan aqid
            Menurut ulama syafi’iyah ahliyah adalah orang yang telah syah untuk jual-beli, yakni berakal dan mumayyiz, tetapi tidak disyaratkan harus baligh. Sedangkan menurut ulama hanafiyah, ahliyah dalam rahn seperti pengertian ahliyah dalam jual-beli.
            Rahn tidak boleh dilakukan oleh orang yang mabuk, gila, bodoh, atau anak kecil yang belum baligh. Begitu juga seorang wali tidak boleh menggadaikan barang orang yang dikuasainya, kecuali jika dalam keadaan madarat yang meyakini bahwa pemegangnya yang dapat dipercaya.
2)     Syarat shighat
                  Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa sighat dalam rahn tidak        boleh memakai syarat atau dikaitkan dengan sesuatu. Hal ini karena, sebab        rahn jual-beli, jika memakai syarat tertentu, syarat tesebut batal dan rahn             tetap sah.
Adapun menurut ulama selain Hanafiyah, syarat dalam rahn ada yang sahih dan ada yang rusak.
a)       Menurut ulama syafi’iyah, berpendapat bahwa syarat dalam rahn ada tiga, yakni:
1.     Syarat sahih, seperti mensyaratkan agar murtahin cepat membayar sehingga jaminan tidak disita.
2.     Mensyaratkan sesuatu yang tidak bermanfaat, seperti mensyaratkan agar hewan yang dijadikan jaminannya diberi makanan tertentu. Syarat seperti itu batal, tetapi akadnya sah.
3.     Syarat yang merusak akad, seperti yang mensyaratkan sesuatu yang akan merugikan murtahin.
b)       Menurut ulama Malikiyah berpendapat bahwa syarat rahn terbagi dua, yaitu rahn sahih dan rahn fasid. Rahn fasid adalah rahn yang didalamnya mengandung persyaratan yang tidak sesuai dengan kebutuhan atau dipalingkan pada sesuatu yang haram, seperti mensyaratkan barang harus berada dibawah tanggung jawab Rahin.
c)       Menurut ulama Hanabilah, ia berpendapat seperti pendapat ulama Malikiyah, yakni rahn terbagi dua, sahih dan fasid. Rahn sasih adalah yahn yang mengandung unsur kemaslahatan dan sesuai dengan kebutuhan.
3.      Syarat Marhun Bih (Utang)
Marhun bih adalah hak yang diberikan ketika rahn. Ulama hanafiyah memberikan beberapa syarat, diantaranya:
a.       Marhun bih hendaklah barang yang wajib diserahkan.
b.      Marhun bih memungkinkan dapat dibayarkan.
c.       Hak atas marhun bih harus jelas.
Ulama hanabilah dan syafi’iyah memberikan tiga syarat bagi marhun bih, diantaranya:
a)     Berupa utang yang tetap dan dapat dimanfaatkan.
b)     Utang haruis lazim pada waktu akad.
c)     Utang harus jelas dan diketahui oleh rahin dan murtahin.
4.      Syarat Marhum (Borg)
Marhun adalah  barang yang dijadikan jaminan oleh rahin. Para ulama fiqh sepakat mensyaratkan marhun sebagaimana persyaratan barang dalam jual-beli, sehingga barang tersebut dapat dijual untuk memenuhi hak murtahin.
Ulama hanafiyah mensyaratkan marhun, diantaranya:
a.       Dapat diperjualbelikan
b.      Bermanfaat
c.       Jelas
d.      Milik rahin
e.       Bisa diserahkan
f.       Tidak bersatu dengan harta lain
g.      Dipegang (dikuasai) oleh rahin
h.      Harta yang tetap atau dapat dipindahkan
5.Syarat Kesempurnaan Gadai (Memegang Barang)
D. Hak dan Kewajiban Pemberi Dan Penerima Gadai
            Dalam perjanjian gadai antara pemberi dan penerima gadai terdapat hak dan kewajiban antara keduanya. Pertama, hak dan kewajiban pemberi gahadai atau orang yang menggadaikan barang, yaitu : a) Pemberi agadai berkewajiban menyerahan barang gadai kepada penerima gadai yang telah memberikan utang kepadanya dan ia mempunyai ha kuasa atas barang yang digadaikan. b) Jika sudah tiba waktunya, maka pemberi gadai wajib melunasi utangnya kepada penerima gadai bisa mengambil atau melelang barang gadai. Jika utang dilunasi maka pemberi gadai berhak mengambil kembali barang yang digadaikan. Kedua, hak dan kewajiban penerima gadai yaitu : a) Penerima gadai berkewajiban memelihara barang barang gadai dengan cara wajar sesuai dengan keadaan barang dan penerima gadai mempunyai hak untuk melunasi. b) Penerima gadai berkewajiban mengembalikan barang gadai kepada jika utangnya telah dilunasi.[6]

E. Pemanfaatan Barang Gadai
            Pada dasarnya barang jaminan dari hutang atau rahn sama sekali tidak boleh dimanfaatkan oleh pemberi hutang. Sebab manfaat tersebut akan dihukumi sebagai riba. Mengapa riba? Karena hutang tidak boleh berkembang dan diberi penambahan meski nilainya adalah pemanfaatan. Ibnu Qudamah menjelaskan:  ” Jika pemilik barang gadai  mengijinkan bagi pemegang gadai (pemberi pinjaman) untuk memanfaatkan barang gadai tersebut  tanpa ada imbalan, sedang ar rahin berhutang kepada  al murtahin, maka hal ini tidak boleh, karena hutang yang memberikan manfaat bagi yang memberikan utang, sehingga masuk dalam katagori riba . “( Al Mughni : 4/431 )[7]
            Lebih dari itu, barang gadai pada dasarnya adalah masih menjadi milik penggadai (orang yang berhutang) dan belum menjadi hak penerima gadai. Sehingga mayoritas ulama mengembalikan hak pakai barang tersebut kepada pemilik aslinya asalkan pemakaian tersebut tidak mengurangi nilai jual barang. Hal ini didasarkan pada sabda Nabi:
لاَ يَغْلَقُ الرَّهْنُ لَهُ غُنْمُهُ وَعَلَيْهِ غُرْمُهُ
“Janganlah (yang diberi gadai) menahan/mengambil barang gadaian (dari orang yang menggadaikan) karena ia (yang menggadaikan) berhak atasnya dan menanggung biaya pemeliharaannya.” (HR. Bihaqiy, Daruqutniy dan Ibnu Hibban).
            Atau jika barang tersebut diserahkan kepada pemberi hutang, maka dia tidak boleh memanfaatkan. Adapun biaya perawatannya sepenuhnya ditanggung oleh pemilik barang (peminjam hutang). Namun, jika pemegang gadai membayar atau memberikan imbalan atas pemanfaatan barang gadai tersebut sebesar nilai manfaat yang diambilnya, madzhab Hanbali membolehkan. Mereka menilainya sebagi sewa. Hal ini didasarkan pada sabda Nabi:
            “(Hewan) boleh dikendarai jika digadaikan dengan pembayaran tertentu, susu hewan juga boleh diminum bila digadaikan dengan pembayaran tertentu, dan terhadap orang yang mengendarai dan meminum susunya, ia wajib membayar”. (HR Bukhari, no : 2329).
            Namun mayoritas ulama tetap tidak memperbolehkan.(Ibnu Rusydi, Bidayatul Mujtahid,Juz : 2, hlm : 276).
            Jadi kesimpulannya, pemanfaatan sawah dan membagi hasilnya menjadi dua atau bahkan sepenuhnya diambil pemberi hutang adalah dilarang. Karena berarti hutang itu berkembang dari jumlah yang dipinjam oleh peminjam misalnya sebesar 1 juta menjadi 1 juta + hasil panen selama masa peminjaman. Sebaiknya yang diserahkan cukup sertifikat saja agar tidak terjadi kerancuan. Toh nilai sawah tersebut tidak berkurang meskipun ditanami. Semua harus dikembalikan pada prinsip hutang sebagai akad tabarru’at, akad yang motifnya murni untuk membantu bukan mendapat keuntungan.


F. Sebab-Sebab Gadai
            Melakukan akad gadai tidak boleh secara sembarangan tetapi harus didasarkan pada sebab-sebab yang diperbolehkan Syara’. Karena itu, didasarkan tidak boleh menggadaikan barang melalui akad jual beli (bay), bagi hasil (mudharabah), dan sebagainya. Gadai dilakukan karena sebab-sebab berikut :
·     Pertama, utang, maka tidak sah melakukan gadai selain karena alasan utang, seperti ghasab, jual beli, dan sebagainya. Bila seseorang menjual tanah ghasab, maka tidak sah mengadaikan rumah atas tanah ghasab, karena ini  bukan utang, Kegunaan gadai antara lain, bahwa penerima gadai dapat mengadai sebagian dari barang gadainya sebanding dengan piutangnya.
·     Kedua, utang-utang tetap tetap, maka tidak sah mengadaikan rumahnya seratus juta rupiah dengan uang yang akan diutang, atau jam atas beberapa barang yang akan dibeli.
·     Ketiga, utangnya pasti, baik konyan atau tetanggung. Karena itu sah menyerahkan gadai atas harga barang yang dibelinya selama dalam masa Khiyar, lalu rumah itu diterima oleh pembeli tetapi penjual belum menerima harganya, maka penjual boleh minta gadai atas harganya, karena walaupun harganya tidak kontan namun pasti.
·     Keempat, utanhnya diketahui dengan jelas, bai zat, kadar, maupun sifatnya.Maka tidak sah mengadaikan sesuatu atas utang yang tidak jelas.

G. Waktu Dalam Perjanjian Gadai
            Menurut huum islam, jika telah jatuh tempo membayar utang, pemilik barang gadai (rahin) wajib melunasinya dan penggadai (murtahin) wajib menyerahkan barangnya dengan segera. Jika penggadai tidak mampu melunasi utangnya, maka barang gadai itu dijual untuk menutupi utangnya. Jika dia tida rela menjual barang gadai, maka hakim dapat memaksanya untuk melunasi utangnya atau menjual barang gadai. Kelebihan hasil penjualan barang gadai diserahkan kepada pemiliknya asalnya, jika masih ada sisa utang , maka hai itu masih tetap menjadi tanggungan yang berutang.
            Menurut Ahmad Azhar Basyir, apabila pada waktu yang telah ditentuan karena kesulitan yang dialami , rahin belum  juga membayar utangnya padahal murtahin benar-benar memerlukan kembali piutangnya,maka ia dapat memindahkan barang gadai kepada murtahin lain dengan seizin rahin. Hal ini dimaksudkan agar keperluan murtahin dapat terpenuhi dan dalam waktu yang sama rahin. Dapat kelonggaran tenggang waktu. Menurut mayoritas fuqaha, bila batas waktu pembayaran telah tiba, kedua belah pihak  membuat syarat penjualan barang gadai tersebut dan penerima gadai berhak melakukannya. Dengan demikian, yang menentukan batas pembayaran adalah kedua belah pihak, tergantung pada kesepakatan rahin dan murtahin sehingga tercipta suatu akad perjanjian. [8]

H. Mengganti Barang Yang Digadaikan
            Jika barang yang digadaikan rusak di tangan murtahin (Penerima gadai) bukan karena teledor atau menyia-nyiakannya atau jika barang itu harganya lebih mahal dari utangnya atau harganya sama dengan hutangnya, maka habislah utangnya dan murtahin tidak perlu menambah sisa harga barang itu. Jika barang itu lebih murah dari utangnya, maka besar utang yang seharga dengan barang itu habis, kemudian sisa utangnya harus dibayarkan oleh rahin (penggadai) kepada murtahin (penerima gadai). Kalau barang itu rusak atau hilang di tangan orang jujur, maka ditanggung sendiri oleh yang mengadaikan. Kalau hilang ketika berada pada penerima gadai , maka dia sendiri yang menanggung. Apabila barang gadai rusak dengan sendirinya, bukan karena perbuatan penerima gadai , maka hal ini tida bisa melepaskan utang, Artinya utang yang telah dipinjamkan kepada orang yang mengadaikan harus dibayar juga. Seperti kambing yang digadaikan mati karena sakit, bukan karena orang yang memeliharanya (penerima gadai). Kematian kambing ini tidak menghilangkan utang orang yang mengadaikan harus membayar utang.

I. Berakhirnya Akad Gadai
            Barang gadai adalah amanat yang ada di tangan pemegang gadai, ia tidak berkewajiban meminta ganti kecuali jika melewati batas waktu. Akad rahn dianggap berakhir antara lain apabila :
a.      Barang gadai diserahan kepada pemiliknya (rahn) dengan iktiarnya sendiri, maka akad rahn menjadi batal
b.     Rahin melunasi semua utangnya
c.      Waktu pelunasan yang disepakati telah jatuh tempo
d.     Barang jaminan di jual dengan perintah hakim atas permintaan rahin
e.      Pembebasan utang dengan cara apa pun meskipun dengan pemindahan oleh murtahin
f.      Pembatalan oleh murtahin, meskipun tidak ada persetujuan dari pihak rahin
g.     Rusaknya barang gadai tanpa sebab, dan
h.     Memanfaatkan barang rahin dengan penyewaan, hibah atau sedekah baik dari pihak rahin maupun murtahin.

J. Hukum Gadai
Hukum gadai (rahn) secara umum terbagi dua, yaitu sahih dan ghair sahih (fasid). gadai (rahn) sahih adalah gadai (rahn) yang memenuhi persyaratan sebagaimana dijelaskan diatas, sedangkan gadai (rahn) fasid adalah gadai (rahn) yang tidak memenuhi persyaratan tersebut.[9]
Ulama hanafiyah berpendapat bahwa gadai (rahn) ghair shahih terbagi menjadi dua, yaitu:
a.       Batal, tidak memenuhi persyaratan pada asal akad, seperti aqid tidak ahli.
b.      Fasid, tidak terpenuhinya persyaratan pada saat aqad, seperti borg berkaitan dengan barang lain.
K . Perbedaan antara Rahin dan Murtahin
Pembahasan ini berkaitan erat dengan kekuasaan hakim dalam memutuskan, apakah yang dibenarkan rahin atau murtahin?
1.       Perbedaan dalam jumlah uang
Apabila terjadi pertentangan antara rahin dan murtahin tentang jumlah utang, menurut jumhur ulama, pendapat yang diterima adalah ucapah rahin dengan sumpahnya, sebab rahin sebagai tergugat.
 Perbedaan penyebab kerusakan pada borg
Jika murtahin dan rahin berbeda pendapat tentang penyebab kerusakan borg, pendapat yang diterima adalah ucapan murtahin sebab ia yang telah menjaganya.
2.   Perbedaan dalam pemegangan (penyerahan) borg
Jika murtahin dan rahin berbeda pendapat tentang pemegangan borg, pendapat yang diterima adalah ucapan rahin dengan sumpahnya sebab ia merupakan penentu kelaziman rahn.
3.   Perbedaan tentang waktu Borg rusak
Jika keduanya berbeda pendapat tentang waktu kerusakan yang terjadi pada borg ucapan yang diterima oleh murtahin.
4.   Perbedaan jenis borg
Menurut ulama Hanafiyah, jika murtahin dan rahin berbeda pendapat jenis borg, ucapan yang diterima adalah ucapa murtahin










BAB III
PENUTUP
A.  Kesimpulan
       Rahn adalah “Menjadikan suatu benda sebagai jaminan hutang yang dapat dijadikan pembayar ketika berhalangan dalam membayar hutang”, Rahn termasuk akad yang bersifat ‘ainiyah, yaitu dikatakan sempurna apabila sudah menyerahkan benda yang dijadikan akad, seperti hibah, pinjam meminajam, titipan dan qirad.Dalam dasar hukum gadai, ada dalil-dalil yang melandasi di perbolehkannya gadai yang bersal dari Al-Qur’an dan hadis. Rukun gadai yaitu akad dan ijab Kabul, akid, barang yang di jadikan jaminan (borg).
       Perbedaan rahn syariah dan konvensional yaitu gadai syariah dilakukan secara suka rela tanpa mecari keuntungan, seadangakn gadai konvensional dilakukan dengan prinsip tolong- menolong tetapi juga menarik keuntungan. Dan persamaan rahn dengan gadai yaitu adanya agunan (barang jaminan) sebagai jaminan utang.
B. Saran
            Menyadari bahwa penulisan makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Penulis harap kedepannya tulisan makalah ini akan lebih baik lagi serta fokus dan detail dalam menjelaskan isi dalam makalah ini dengan sumber - sumber yang lebih banyak dan lengkap yang tentunya dapat dipertanggung jawabkan.
            Untuk itulah penulis harap kritik atau saran terhadap penulisan makalah ini. Sehingga makalah ini akan lebih baik lagi kedepannya. Sebelum kritik dan saran itu diterima oleh penulis, penulis haturkan terimakasih sebanyak-banyaknya karena telah membaca makalah ini dan mendiskusikannya lalu dapat memberikan kritik maupun saran.
  


DAFTAR PUSTAKA

Mahmud ‘Abd.al-rahman ‘Abd. Al-mun’in. 2008 M.Mu’jam al-musthalahat wa al-alfazh al-Fiqhiyyah.Kairo :Dar Al-Fadhilah
Prof.Dr.Idri M.Ag. Ekonomi dalam Perpektif Hadis Nabi. Kencana  PT. Fajar Interpratama Mandiri. Cet. Ke -2.2016.
Ascarya, Akad dan Produk Bank Syariah, Rajawali Pers, Jakarta, 2013.
Enang Hidayat, Transaksi Ekonomi Syariah, Remaja Rosdakarya, Bandung, 2016.
Zainuddin Ali, Hukum Gadai Syariah, Sinar Grafika, Jakarta, 2008.
 Purbasari, Indah.  Jurnal.  Hukum Ekonomi Islam Analisis Penerapan akada gadai dan pengadaan biaya administrasi gadai di pengadaian syariah. Vol.1 No.1 Mei . 2017
Adistya Isini1 Herman Karamoy. Jurnal EMBA .Evaluasi penerapan akuntansi gadai syariah (rahn) pada pt. Pegadaian (persero) cabang manado. Vol.5 No.2 Juni 2017, Hal. 235 - 244   . Hal. 237
Nasution. Rachmad Saleh. Jurnal Ekonomi dan Bisnis Islam.  Al-Tijary Sistem Operasional Pegadaian Syariah Berdasarkan Surah Al-Baqarah 283 pada PT. Pegadaian (Persero) Cabang Syariah Gunung Sari Balikpapan, Vol. 1, No. 2, Hal.102 . 2016
Supriyadi Ahmad. EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam. Struktur Hukum Pegadaian Syariah Dalam Perspektif Hukum Islam Dan Hukum Positif. Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010.











 
 


[1] Mahmud ‘Abd.al-rahman ‘Abd. Al-mun’in. 2008 M.Mu’jam al-musthalahat wa al-alfazh al-Fiqhiyyah.Kairo :Dar Al-Fadhilah

[2] Enang Hidayat, Transaksi Ekonomi Syariah, Remaja Rosdakarya, Bandung, 2016, hlm. 189-191.
[3]. Purbasari, Indah.  Jurnal.  Hukum Ekonomi Islam Analisis Penerapan akada gadai dan pengadaan biaya administrasi gadai di pengadaian syariah. Vol.1 No.1 Mei . 2017 hal. 147

[4] Ascarya, Akad dan Produk Bank Syariah, Rajawali Pers, Jakarta, 2013, hlm. 109.
[5] Adistya Isini1 Herman Karamoy. Jurnal EMBA .Evaluasi penerapan akuntansi gadai syariah (rahn) pada pt. Pegadaian (persero) cabang manado. Vol.5 No.2 Juni 2017,. Hal. 237
[6] Nasution. Rachmad Saleh. Jurnal Ekonomi dan Bisnis Islam.  Al-Tijary Sistem Operasional Pegadaian Syariah Berdasarkan Surah Al-Baqarah 283 pada PT. Pegadaian (Persero) Cabang Syariah Gunung Sari Balikpapan, Vol. 1, No. 2, Hal.102 . 2016
[7] Prof.Dr.Idri M.Ag. Ekonomi dalam Perpektif Hadis Nabi. Kencana  PT. Fajar Interpratama Mandiri. Cet. Ke -2.2016.hal.262
[8] Supriyadi Ahmad. EMPIRIK: Jurnal Penelitian Islam. Struktur Hukum Pegadaian Syariah Dalam Perspektif Hukum Islam Dan Hukum Positif. Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2010.hal. 13

[9] Zainuddin Ali, Hukum Gadai Syariah, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hlm. 97.

No comments:

Post a Comment