MAKALAH MANAJEMEN EKONOMI "PERLINDUNGAN HUKUM KONSUMEN"
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Perlindungan
konsumen merupakan bagian tak terpisahkan dari kegiatan bisnis yang sehat.
Dalam kegiatan bisnis yang sehat terdapat keseimbangan perlindungan hukum antar
konsumen dengan produsen. Tidak adanya perlindungan yang seimbang menyebabkan
konsumen berada pada posisi yang lemah. Terlebih jika produk yang dihasilkan
oleh produsen merupakan jenis produk yang
terbatas, prodisen dapat menyalahgunakan posisinya yang monopolistis tersebut.
Hal ini tentu saja akan merugikan konsumen.
Kerugian-kerugian
yang dialami oleh konsumen tersebut dapat timbul sebagai akibat dari adanya
hubungan hukum perjanjian antara produsen dengan konsumen, maupun akibat dari
adanya perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh produsen. Perjanjian-perjanjian
yang dilakukan antara para pihak tidak selamanya dapat berjalan mulus dalam
arti masing-masing pihak puas, karena terkadang para pihak penerima tidak
menerima barang atau jasa sesuai dengan harapannya. Apabila pembeli, dalam hal
ini konsumen tidak menerima barang atau jasa sesuai dengan yang diperjanjikan,
maka produsen dapat dikatakan telah melakukan wanprestasi, sehingga konsumen
mengalami kerugian.
Wanprestasi
salah satu pihak dalam perjanjian merupakan kelalaian untuk memenuhi syarat
yang tercantum dalam perjanjian. Hal ini biasanya lebih banyak dialami oleh
pihak yang lemah/memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap pihak lainnya.
Karena persyaratan tersebut berat sebelah/lebih memberatkan kepada pihak yang
lemah. Hal ini disebabkan karena persyaratan persyaratan tersebut telah
dituangkan kedalam suatu perjanjian baku. Perjanjian yang demikian sudah lazim
dipergunakan dan memegang peranan penting dalam hukum bisnis yang pada umumnya
dilandasi oleh nilai-nilai yang berorientasi pada efesiensinya.[1]
Disamping
wanprestasi, kerugian dapat pula terjadi diluar hubungan perjanjian, yaitu jika
terjadi perbuatan melanggar hukum, yang dapat berupa adanya cacat pada barang
atau jasa yang mengakibatkan kerugian konsumen, baik itu karena rusak atau musnahnya
barang itu sendiri, maupun kerusakan atau musnahnya barang akibat cacat pada
barang itu. Selain disebabkan karena wanprestasi atau perbuatan melanggar
hukum, kerugian yang dialami konsumen selama ini juga banyak disebabkan karena
konsumen kurang kritis terhadap barang-barang yang ditawarkan, sehingga
kerugian yang dialami konsumen tidak hanya kerugian finansial, akan tetapi juga
dapat merugikan kesehatan atau keselamatan hidup konsumen sendiri. Kemungkinan
kerugian konsumen tersebut akan semakin bertambah lagi jika barang-barang/jasa
yang beredar dalam masyarakat tidak menggunakan merek secara teratur, terutam
jika terjadi pemalsuan-pemalsuan merek tertentu yang memungkinkan suatu merek
dipergunakan pada beberapa barang sejenis, namun dengan kualitas berbeda,
sehingga diantara barang-barang tersebut ada yang mungkin akan merugikan
konsumen yang kurang kritis.
Perlindungan
atas kepentingan konsumen tersebut diperlukan karena pada umumnya konsumen
selalu berada pada pihak yang dirugikan. Perlindungan hukum terhadap konsumen
itu sendiri dilaksanakan berdasarkan asas-asas perlindungan konsumen
sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 2 Undang-Undang nomor 8 Tahun 1999
Tentang Perlindungan Konsumen, yang dirumuskan sebagai berikut “Perlindungan
konsumen berasaskan manfaat, kepastian, keadilan, keseimbangan, keamanan, dan
keselamatan konsumen, serta kepastian hukum”. Asas-asas tersebut ditempatkan
sebagai dasar baik dalam merumuskan peraturan perundang-undangan maupun dalam berbagai kegiatan yang
berhubungan dengan perlindungan terhadap konsumen.
Menurut
Setiawan:
“Perlindungan
konsumen mempunyai 2 (dua) aspek yang bermuara pada praktik perdagangan yang
tidak jujur (unfair trade practices) dan masalah keterikatan pada
syarat-syarat umum dalam suatu perjanjian”.[2]
Pengawasan
terhadap pelaksanaan kewajiban pelaku usaha tersebut harus ditingkatkan, dengan
demikian hak-hak konsumen akan mudah terpenuhi, karena kewajiban pelaku usaha
merupakan hak bagi konsumen. Namun pada kenyataannya, hak-hak konsumen sering
diabaikan oleh pelaku usaha, dengan kata lain, pelaku usaha belum melakukan
kewajibannya kepada konsumen dengan baik.
Selalu
ada kemungkinan terjadinya perilaku menyimpang dari produsen pelaku usaha atas
barang-barang produknya yang diedarkan kepada konsumen. Oleh karena itu,
konsumen harus mendapat penggantian atas kerugian karena mengkonsumsi produk
yang diedarkan.
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan
latar belakang tersebut, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
a ) Bagimanakah
aturan hukum tentang penyelesaian sengketa konsumen?
b) Bagaimanakah
tanggung jawab pelaku usaha terhadap konsumen?
C.
Tujuan
Penulisan
Penelitian ini memiliki beberapa tujuan, di
antaranya adalah:
a) Untuk
mengetahui tentang aturan hukum penyelesaian sengketa konsumen.
b) Untuk
mengetahui tanggung jawab pelaku usaha terhadap konsumen.
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Pengertian
Dan Dasar Hukum Perlindungan Konsumen
Awal
terbentuknya Undang-Undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang
disepakati oleh DPR pada (tanggal 30 Maret 1999) dan disahkan Presiden RI pada
tanggal 20 April 1999 (LN No. 42 Tahun 1999). Berbagai usaha dengan memakan
waktu, tenaga dan pikiran yang banyak telah dijalankan berbagai pihak yang
berkaitan dengan pembentukan hukum dan perlindungan konsumen. Baik dari
kalangan pemerintah, lembaga-lembaga swadaya masyarakat. YLKI,
bersama-samadengan perguruan-perguruan tinggi untuk mewujudkan undang-undang
Perlindungan Konsumen ini. Penyusunan naskah-naskah penelitian, pengkajian
naskah akademik Rancangan Undang-Undang (Perlindungan Konsumen).
Kegiatan-kegiatan tersebut dimulai antara lain:
a) Pembahasan
masalah Perlindungan Konsumen (dari sudut ekonomi oleh Bakir Hasan
dan dari sudut hukum oleh Az. Nasution) dalam Seminar Kelima Pusat Study
Hukum Dagang Fakultas Hukum Universitas Indonesia (tanggal 15-16 Desember 1975)
sampai dengan penyelesaian akhir UndangUndang ini pada tanggal 20 April 1999.
b) Badan
Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman RI, Penelitian tentang Perlindungan Konsumen di Indonesia
(tahun 1979-1980).
c) BPHN
– Departemen Kehakiman, Naskah Akademik Peraturan Perundang-undangan tentang
Perlindungan Konsumen (tahun 1980-1981).
d) Yayasan
Lembaga Konsumen Indonesia, Perlindungan Konsumen Indonesia, suatu sumbangan
pemikiran tentang rancangan Undang-Undang Perlindungan Konsumen (tahun 1981).
e) Departemen
Perdagangan RI bekerjasama dengan Fakultas Hukum Universitas Indonesia, RUU
tentang Perlidungan Konsumen (tahun 1997).
f) DPR
RI, RUU Usul Inisiatif DPR tentang Undang-Undang Perlindungan Konsumen (tahun
1998).
Salah
satu pokok kesimpulan seminar Kelima Universitas Indonesia tersebut berbunyi
“Agaknya dalam kerangka ini mutlak perlu suatu Undang-Undang Perlindungan
Konsumen, dan seharusnya Undang-Undang ini memberikann perlindungan pada
masyarakat konsumen.” Akhirnya, didukung oleh perkembangan politik dan ekonomi
di Indonesia (1997-1999), semua kegiatan tersebut berujung disetujuinya UU Tentang
Perlindungan Konsumen yang terdiri dari 15 Bab dan 65 pasal dan mulai berlaku
efektif sejak 20 April 2000. Ternyata dibutuhkan waktu 25 tahun sejak gagasan
awal hingga Undang-Undang ini disahkan (1975-2000). Perlindungan konsumen
adalah istilah yang dipakai untuk menggambarkan perlindungan hukum yang
diberikan kepada konsumen dalam usahanya untuk memenuhi kebutuhannya
dari hal-hal yang dapat merugikan
konsumen itu sendiri.
Istilah
konsumen ini berasal dari alih bahasa dari kata consumer (Inggris- Amerika),
atau consumen/konsument (Belanda). Pengertian consumer dan consument
ini hanya bergantung dimana posisi ia berada. Secara hafiah arti kata consumer
itu adalah (lawan dari produsen), setiap orang yang menggunakan barang dan
jasa. Tujuan penggunaan barang dan jasa itu nanti menentukan termasuk konsumen
kelompok mana pengguna tersebut, begitu pula Kamus Besar Bahasa Indonesia
memberi arti kata consumer sebagai pemakai atau konsumen. Konsumen
umumnya diartikan sebagai pemakai terakhir dari produk yang diserahkan pada
mereka, yaitu setiap orang yang mendapatkan barang untuk dipakai dan tidak
untuk diperdagangkan atau diperjualbelikan lagi dan menurut pasal 1 angka 2
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen menyebutkan
bahwa :
”Konsumen
adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam
masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun
makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.”
Hukum
perlindungan konsumen ini mendapatkan landasan hukumnya dari Undang-Undang
Dasar 1945, pembukaan, Alinea ke-4 yang berbunyi: ”Kemudian daripada itu untuk
membentuk suatu pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa
Indonesia.” Umumnya, sampai sekarang ini orang bertumpu pada kata ”segenap
bangsa” sehingga ia diambil sebagai asas tentang persatuan seluruh bangsa
Indonesia (asas persatuan bangsa). Akan tetapi disamping itu, dari kata
”melindungi” terkandung pula asas perlindungan (hukum) pada segenap bangsa
tanpa ada kecualinya, ini artinya baik laki-laki maupun perempuan, orang kaya
atau orang miskin, orang kota atau orang desa, orang asli atau keturunan, dan
pengusaha atau konsumen.
Dalam
berbagai literatur ditemukan sekurang-kurangnya dua istilah mengenai hukum yang
mempersoalkan konsumen, yaitu hukum konsumen dan hukum perlindungan konsumen.
Oleh Az. Nasution menjelaskan bahwa kedua istilah itu berbeda, yaitu bahwa
hukum perlindungan konsumen adalah bagian dari hukum konsumen. Menurut beliau
hukum konsumen adalah: ”Keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah hukum yang
mengatur hubungan dan masalah antara berbagai pihak satu sama lain berkaitan
dengan barang dan atau jasa konsumen, didalam pergaulan hidup.[1]”Dan
Sedangkan hukum perlindungan konsumen adalah : ”Keseluruhan asas-asas dan
kaidah-kaidah hukum yang mengatur dan melindungi konsumen dalam hubungan dan
masalahnya dengan para penyedia barang dan atau jasa konsumen.”
Pada
dasarnya, baik hukum konsumen maupun hukum perlindungan konsumen membicarakan
hal yang sama, yaitu kepentingan hukum konsumen, dengan demikian, hukum
perlindungan konsumen atau hukum konsumen dapat diartikan sebagai seluruh
peraturan hukum yang mengatur hak-hak dan kewajiban-kewajiban konsumen dan
produsen yang timbul dalam usahanya untuk memenuhi kebutuhannya.
Az.
Nasution menambahkan bahwa Hukum perlindungan konsumen inilah yang menjembatani
permasalahan yang timbul tersebut. Hukum perlindungan konsumen merupakan bagian
dari hukum konsumen yang memuat asas-asas atau kaidah-kaidah yang bersifat
mengatur dan juga mengandung sifat yang melindungi konsumen.[2]
Menurut
Mochtar Kusumaatmaja hukum perlindungan konsumen adalah keseluruhan asas-asasdan kaidah-kaidah hukum
yang mengatur dan melindungi konsumen dalam hubungan dan masalahnya dengan para
penyedia barang dan/atau jasa konsumen.
Perlindungan konsumen secara umum juga diatur dalam firman Allah SWT dalam QS Al-Baqarah/2: 168 :
Terjemahnya:
Hai sekalian
manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi dan
janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan
itu adalah musuh yang nyata bagimu.[3]
Dalam
surah Al-Baqarah ayat 2 menjelaskan bahwa makanan yang halal dan baik menjadi
syarat utma bagi kesucian amal yang akan diterima oleh Allah. Penjelasan
mengenai segala sesuatu yang halal dan haram telahdijabarkan dalam Al-Qur'an
maupun Hadis. Orang yang beriman diperintahkan agar segala amalnya bersih, jiwa
dan hatinya digerakkan oleh kekuatan darah yang bersih, sumber makanannya pun
harus halal. Selain itu tidak mengenakan pakaian dan perhiasan apapun yang
bersumberkan dari sesuatu yang haram. Pesan moral yag terkandung dalam ayat
tersebut diatas mengandung nilai yang memberikan perintah atau seruan kepada
setiap manusia untuk memperoleh makanan dari cara yang halal.
Berbicara
tentang perlindungan konsumen berarti mempersoalkan jaminan atau kepastian
tentang terpenuhinya hak-hak konsumen. Perlindungan konsumen mempunyai cakupan
yang luas meliputi perlindungan konsumen dalam memperoleh barang dan jasa, yang
berawal dari tahap kegiatan untuk mendapatkan barang dan jasa hingga ke
akibatakibat dari pemakaian barang jasa tersebut.
Kedudukan
seorang konsumen tidak seimbang dengan pelaku usaha, hal ini dapat dilihat dari
faktor ekonomi pelaku usaha yang lebih tinggi dibandingkan konsumen. Keadaan
seperti ini tidak hanya terjadi di Indonesia melainkan di negara-negara maju
dan berkembang lainnya. Hal ini telah menjadi permasalahan yang terus
dipelajari agar ditemukan jalan yang terbaik dalam menyelesaikannya.
B. Tujuan
Umum Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen
Hukum
perlindungan kosumen memberikan penjelasan yang lebih terhadap konsumen
mengenai hal-hal yang harus diperhatikan oleh konsumen dalam melakukan hubungan
hukum dengan pelaku usaha. Hubungan hukum yang tercipta antara konsumen dan
pelaku usaha merupakan hubungan hukum yang memberikan keuntungan bagi kedua
belah pihak. Secara umum konsumen haruslah dapat mengetahui tentang definisi
seorang konsumen, pelaku usaha, dan hak-hak yang dimiliki oleh konsumen dan
pelaku usaha tersebut.
Berdasarkan
undang-undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen memberikan
kepastian hukum untuk melindungi hak- hak konsumen. Undang-undang tersebut juga
memberikan harapan agar pelaku usaha tidak lagi sewenang-wenang yang selalu
merugikan hak konsumen. Dengan adanya undang-undang perlindungan konsumen
beserta perangkat hukum lainnya, konsumen memiliki hak dan posisi berimbang,
dan mereka pun bisa menggugat atau menuntut jika ternyata hak-haknya telah
dirugikan atau dilanggar oleh pelaku usaha. Perlindungan konsumen yang dijamin
oleh undang-undang ini adalah adanya kepastian hukum yang meliputi segala upaya
berdasarkan atas hukum untuk memberdayakan konsumen memperoleh atau menentukan
pilihannya atas barang dan/atau jasa kebutuhannya serta mempertahankan atau
membela hak-haknya apabila dirugikan oleh pelaku usaha penyedia kebutuhan
konsumen.
Setelah
mengetahui definisi hukum konsumen dan hukum perlindungan konsumen, maka dapat
diketahui definisi hukum konsumen lebih luas bila dibandingkan dengan hukum
perlindungan konsumen. Hukum perlindungan konsumen merupakan salah satu bagian
dari hukum konsumen yang melindungi hak- hak konsumen. Dengan banyaknya
peraturan perundang-undangan yang mengatur hukum konsumen maka dalam
menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari harus sejalan dengan hukum
perlindungan konsumen yang telah ada. Oleh karena itu di dalam Pasal 64
Undang-undang nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen disebutkan
bahwa:
”Segala ketentuan peraturan perundang-
undangan yang bertujuan melindungi konsumen yang telah ada pada saat undang-
undang ini diundangkan, dinyatakan tetap berlaku.”
Pasal
ini menjelaskan hubungan hukum yang harmonis antara hukum konsumen dengan hukum
perlindungan konsumen. Peraturan perundang-undangan yang mengatur perlindungan
konsumen tetap berlaku selama tidak bertentangan dan belum diatur dalam UUPK.
1. Asas
dan Tujuan Hukum Perlindungan Konsumen
UUPK
memberikan perlindungan kepada konsumen bersama-sama dengan pelaku usaha
berdasarkan atas asas-asas yang relevan dengan pembangunan nasional. Asas-asas
ini telah diatur di dalam Pasal 2 UUPK. Adapun asas-asas tersebut dapat
disebutkan sebagai berikut:[4]
1) Asas
Manfaat
Asas
ini mengamanatkan penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan
manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara
keseluruhan.
2)
Asas
Keadilan
Asas
ini dimaksudkan untuk mewujudkan partisipasi masyarakat secara maksimal dan
memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya
dan melaksanakan kewajibannya secara adil.
3)
Asas
Keseimbangan
Asas
ini memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan
pemerintah dalam arti materil maupun spiritual.
4)
Asas
Keamanan dan Keselamatan Konsumen
Asas
ini ditujukan agar konsumen terjamin dalam hal keamanan, keselamatan dalam
penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi.
5)
Asas
Kepastian Hukum
Asas
ini dimaksudkan agar konsumen dan pelaku usaha mematuhi hukumyang ada, dapat
memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungankonsumen dan negara
menjamin kepastian hukum atas hal tersebut.
2.
Hak
dan Kewajiban Konsumen
John
F. Kennedy mengemukakan pendapatnya tentang hak-hak yang dimiliki seorang
konsumen, yaitu:[5]
1)
Hak
untuk memperoleh keamanan
2)
Hak
untuk memilih
3)
Hak
untuk mendapatkan informasi
4)
Hak
untuk didengar
Adapun
hak-hak konsumen yang disebutkan dalam Undang undang No.8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen, yaitu:
1) Hak
atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau
jasa;
2) Hak
untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa
tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
3) Hak
atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang
dan/atau jasa;
4) Hak
untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang
digunakan;
5) Hak
untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa
perlindungan konsumen secara patut;
6) Hak
untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
7) Hak
untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak
diskriminatif;
8)
Hak untuk mendapatkan
kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang
diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;
9)
Hak-hak yang diatur
dalam ketentuan-ketentuan perundang-undangan lainnya.
Kemudian
disebutkan juga kewajiban-kewajiban dari
konsumen itu sendiri, yaitu :
1) Membaca
atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan
barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan;
2) Beritikad
baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa;
3) Membayar
sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;
4)
Mengikuti upaya
penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.
3. Hak
dan Kewajiban Pelaku Usaha
Secara
tegas UUPK telah mengatur hak dan kewajiban pelaku usaha. Di dalam
Undang-undang No.8 Tahun 1999 diatur juga hak-hak yang dimiliki seorang pelaku
usaha, yaitu:
1) hak
untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan
nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
2) hak
untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak
baik;
3) hak
untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa
konsumen;
4) hak
untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian
konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
5) hak-hak
yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
Pelaku
usaha merupakan subjek hukum perlindungan yang vital dalam menerapkan hukum
perlindungan konsumen dengan baik dan sempurna.
Pelaku
usaha dalam memproduksi suatu barang ataupun jasa mempunyai suatu aturan yang
telah diatur dalam UUPK. UUPK telah disebutkan di dalam definisinya tentang
pelaku usaha. Pelaku usaha yang dimaksud dalam UUPK adalah pelaku usaha
pabrikan, distributor dan jaringannya, serta juga termasuk para importir dan
juga pelaku usaha periklanan.
Pelaku
usaha pabrikan dan pelaku usaha distributor secara prinsip merupakan berbeda,
tetapi undang-undang tidak membedakan kewajiban yang harus dipenuhi oleh kedua
pelaku usaha tersebut, dan juga berbagai larangan yang dikenakan kepada kedua
pelaku usaha tersebut. Terdapat perbedaan sedikit yang patut diperhitungkan,
yaitu sifat saat
terbitnya pertanggungjawaban
terhadap kegiatan usaha
yang dilakukan masingmasing pelaku usaha terhadap konsumen yang
mempergunakan barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau yang diberikan[6].
Pertanggungjawaban yang diberikan pelaku usaha terhadap konsumen atas kesalahan
pelaku usaha melanggar ketentuan undang-undang merupakan tanggung jawab yang
berupa ganti rugi[7].
Hukum pembuktian menerangkan tentang hapusnya ataupun lahirnya suatu
pertanggungjawaban dari suatu pelaku usaha dan beralihnya pertanggungjawaban
tersebut kepada pelaku usaha lainnya harus dibuktikan, agar tidak merugikan
konsumen maupun pelaku usaha lainnya. Hal ini dimaksudkan agar tercipta suatu
asas kepatutan dan keadilan, serta kepastian hukum untuk semua pihak.[8]
Perbuatan
yang dilarang untuk pelaku usaha telah diatur dalam UUPK. Perbuatan yang
dilarang tersebut diatur dalam Bab IV yang terdiri dari 10 Pasal, diawali dari
Pasal 8 sampai dengan Pasal 17. Di dalam Bab IV dapat dilihat bahwa pada
dasarnya larangan-larangan yang berlaku bagi pelaku usaha pabrikan juga
diberlakukan bagi para pelaku usaha distributor, dan tidak semua larangan yang
dikenakan bagi pelaku usaha distributor (dan jaringannya) dikenakan juga bagi
pelaku usaha pabrikan.
Pada
dasarnya undang-undang tidak memberikan perlakuan yang berbeda kepada
masing-masing pelaku usaha yang menyelenggarakan kegiatan usaha tersebut,
selama pelaku usaha tersebut menjalankan kegiatan usahanya tersebut secara
benar dan memberikan informasi yang cukup, relevan, dan dapat
dipertanggungjawabkan, serta tidak menyesatkan konsumen yang akan mempergunakan
atau memkai atau memanfaatkan barang dan jasa yang diberikan tersebut.
Ketentuan Pasal 8 UUPK merupakan satu-satunya ketentuan umum yang berlaku
secara umum mengenai larangan kegiatan usaha para pelaku usaha pabrikan ataupun
distributor di Indonesia.
Secara
garis besar larangan yang tertuang dalam Pasal 8 UUPK dapat dibagi ke dalam dua
larangan pokok, yaitu:[9]
1) Larangan
mengenai produk itu sendiri, yang tidak memenuhi syarat dan standar yang layak
untuk dipergunakan atau dipakai atau dimanfaatkan konsumen Kelayakan produk
suatu barang dan/atau jasa pada dasarnya berhubungan erat dengan karakteristik
dan sifat dari barang dan/atau jasa yang diperdagangkan. Kelayakan produk harus
dipenuhi atau dimiliki oleh suatu barang dan/atau jasa tertentu sebelum barang
dan/atau jasa tersebut diperdagangkan kepada masyarakat luas. Kelayakan produk
tersebut memenuhi suatu standar yang harus diketahui oleh masyarakat, standar
tersebut banyak yang sudah diketahui oleh masyarkat tetapi ada juga yang masih
membutuhkan penjelasan yang lebih untuk hla tersebut. Oleh karena itu
dibutuhkan informasi yang lebih yang didapat tidak hanya dari pelaku usaha
tetapi juga melalui sumber lain yang terpercaya.
2) Larangan
mengenai ketersediaan informasi yang tidak benar, dan tidak akurat, yang
menyesatkan konsumen.Setiap konsumen mempunyai hak memilih dan menentukan
barang dan/atau jasa yang akan dikonsumsi, oleh karena itu setiap konsumen
membutuhkn informasi yang benar mengenai barang dan/atau jasa tersebut. Dalam
pembuatan informasi tentang suatu barang dan/atau jasa perusahaan periklanan
dan pelaku usaha harus jujur yaitu memberikan informasi mengenai kelebihan dan
kekurangan yang ada pada barang dan/jasa yang diperdagangkan. Undang-undang
mengakui tentang adanya penjualan yang dilakukan secara lelang, penawaran
dengan hadiah, atau penjualan barang dan/atau jasa yang tidak dalam keadaan
yang tidak sempurna, dengan keadaan yang seperti ini maka dapat dikatakan bahwa
kedudukan konsumen berada pada posisi yang kurang diuntungkan dibandingkan
dengan posisi pelaku usaha sebab keterbatasan konsumen dalam menentukan barang
dan/atau jasa yang layak menjadi terbatas.
C.
Tinjauan
Umum Wanprestasi
Perkataan
wanprestasi berasal dari bahasa Belanda yang berarti prestasi buruk. Klausula
wanprestasi merupakan suatu hal yang penting untuk dicantumkan dalam suatu
perjanjian.
R.
Subekti, menguraikan arti dari kata wanprestasi sebagai berikut: “Apabila si
berutang (debitur) tidak melakukan apa yang dijanjikan akan dilakukannya, maka
dikatakan bahwa ia melakukan wanprestasi. Ia adalah alpa atau lalai atau
bercidera janji. Atau juga ia melanggar perjanjian, yaitu apabila ia melakukan
atau berbuat sesuatu yang tidak boleh dilakukannya.” Pengertian umum mengenai
wanprestasi menurut R. Sardjono: “Wanprestasi adalah suatu keadaan dimana si
berutang tidak melakukan apa yang dijanjikan untuk dilakukan atau melanggar
perjanjian dalam hal diperjanjikan bahwa si debitur tidak boleh melakukan
sesuatu hal, sedangkan ia telah melakukannya”.
Sedangkan
R. Wirjono Prodjodikoro, merumuskan wanprestasi sebagai “ketiadaan suatu
prestasi”, dimana prestasi yang dimaksudkan disini adalah prestasi dalam hukum
perjanjian yang berarti sebagai suatu hal yang harus dilaksanakan sebagai isi
dari suatu perjanjian. Beliau juga memberikan istilah “ketiadaan pelaksanaan
janji” untuk wanprestasi.
Seorang
debitur yang lalai berarti melakukan wanprestasi ini dapat digugat di muka
hakim dan hakim akan menjatuhkan putusan yang merugikan kepada tergugat itu[10].
Akan tetapi karena wanprestasi (kelalaian) ini mempunyai akibat-akibat yang
begitu penting, maka harus ditetapkan lebih dahulu apakah si debitur (si berutang) itu melakukan
wanprestasi atau lalai, dan kalau hal itu disangkal olehnya, harus dibuktikan
di muka Hakim.
Wanprestasi
adalah kelalaian debitur untuk memenuhi kewajibannya sesuai dengan perjanjian
yang telah disepakati. Untuk menentukan kapan seseorang harus melakukan
kewajibannya dapat dilihat dari isi perjanjian yang telah dibuatnya. Dalam
perjanjian biasanya diatur kapan seseorang harus melaksanakan kewajibannya,
seperti menyerahkan sesuatu barang atau melakukan sesuatu perbuatan. Apabila
debitur tidak melakukan apa yang diperjanjikannya, maka ia telah melakukan
wanprestasi.
Sanksi
yang dapat dikenakan atas debitur yang lalai atau alpa ada empat macam, yaitu:
a) Membayar
kerugian yang diderita oleh kreditur atau dengan dinamakan gantirugi;
b) Pembatalan
perjanjian atau juga dinamakan pemecahan perjanjian;
c) Peralihan
resiko;
d) Membayar
biaya perkara, kalau sampai diperkarakan di depan hakim.[11]
Ganti
rugi sering dirinci dalam tiga unsur[12],
biaya, rugi dan bunga :
1) Biaya
adalah segala pengeluaran atau perongkosan yang nyata-nyata sudah dikeluarkan
oleh satu pihak. Contoh nya jika seorang sutradara mengadakan suatu perjanjian
dengan pemain sandiwara untuk mengadakan suatu pertunjukan dan pemain tersebut
tidak datang sehingga pertunjukan terpaksa dibatalkan, maka yang termasuk biaya
adalah ongkos cetak iklan, sewa gedung, sewa kursi dan lain-lain.
2) Rugi
adalah kerugian karena kerusakan barang-barang kepunyaan kreditur yang
diakibatkan oleh kelalaian si debitur. Misalnya rumah yang baru diserahkan oleh
pemborong ambruk karena salah konstruksinya, hingga merusak perabotan rumah.
3) Bunga
adalah kerugian yang berupa kehilangan keuntungan yang sudah dibayangkan atau
dihitung oleh kreditur. Misalnya, dalam hal jual beli barang, jika barang
tersebut sudah mendapat tawaran yang lebih tinggi dari harga pembeliannya.
Dalam
soal penuntutan ganti rugi, oleh undang-undang diberikan pembatasan mengenai
apa yang dapat dituntut sebagai ganti rugi. Dalam hal ini Undang-undang
memberikan perlindungan bagi si debitur yang lalai terhadap tindakan kreditur
meminta ganti rugi. Seperti yang diatur dalam beberapa pasal dalam KUH Pdt
sebagai berikut:
Pasal 1248 KUHPer menentukan :
“Bahkan jika
hal tidak dipenuhinya perjanjian itu disebabkan karena tipu daya si berutang, penggantian
biaya, rugi dan bunga, sekedar mengenai kerugian yang diderita oleh si
berpiutang dan keuntungan yang terhilang baginya, hanyalah terdiri atas apa
yang merupakan akibat langsung dari tak dipenuhinya perjanjian”
Pembatalan
perjanjian, bertujuan membawa kedua belah pihak kembali pada keadaan sebelum
perjanjian diadakan. Pembatalan perjanjian karena kelalaian debitur diatur
dalam pasal 1266 KUHPdt yang mengatur mengenai perikatan bersyarat, yang
berbunyi:
“Syarat batal
dianggap selamanya dicantumkan dalam perjanjian-perjanjian yang timbal balik,
manakala salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya. Dalam hal demikian
perjanjian tidak batal demi hukum, tetapi pembatalan harus dimintakan kepada
hakim.Permintaan ini juga harus dilakukan, meskipun syarat batal mengenai tidak
dipenuhinya kewajiban itu dinyatakan dalam perjanjian.Jika syarat batal tidak
dinyatakan dalam perjanjian, hakim leluasa menurut keadaan atas permintaan si
tergugat, untuk memberikan suatu jangka waktu guna kesempatan memenuhi kewajibannya,
jangka waktu mana tidak boleh lebih dari satu bulan”.
Pembatalan
perjanjian itu harus dimintakan kepada hakim, bukan batal secara otomatis
walaupun debitur nyata-nyata melalaikan kewajibannya. Putusan hakim itu tidak
bersifat declaratoir tetapi constitutif, secara aktif membatalkan
perjanjian itu. Putusan hakim tidak berbunyi “Menyatakan batalnya perjanjian
antara penggugat dan tergugat” Melainkan, membatalkan perjanjian”[13]
Sebagai
sanksi ketiga atas kelalaian seorang debitur disebutkan dalam pasal 1237
KUHPdt. Resiko adalah kewajiban untuk memikul kerugian jika terjadi suatu
peristiwa di luar kesalahan salah satu pihak, yang menimpa barang yang menjadi
objek perjanjian.
Menurut
pasal 1460 KUHPdt, maka resiko dalam jual beli barang tertentu dipikulkan
kepada si pembeli, meskipun barangnya belum diserahkan. Penjual yang terlambat
menyerahkan barangnya, maka kelalaian ini diancam dengan mengalihkan resiko
tadi dari si pembeli kepada si penjual. Jadi dengan lalainya sipenjual, resiko
itu beralih kepada dia.
Tentang
Pembayaran ongkos biaya perkara sebagai sanksi keempat bagi seorang debitur
yang lalai adalah tersimpul dalam suatu peraturan hukum acara, bahwa pihak yang
dikalahkan diwajibkan membayar biaya perkara. Seorang debitur yang lalai tentu
akan dikalahkan kalau samapai terjadi suatu perkara di depan Hakim. Pihak
Debitur yang dikalahkan dengan keputusan hakim itulah yang menanggung biaya
perkara itu, disamping juga mengganti kerugian kepada pihak kreditur atas
wanprestasi yang dilakukannya.
Wanprestasi
artinya tidak memenuhi kewajiban yang telah disepakati dalam perikatan. Tidak
dipenuhinya kewajiban oleh debitur karena dua kemiungkinan alasan yaitu:[14]
a) Kesengajaan
maupun kelalaian;
b) Keadaan
memaksa (force majure), diluar kemampuan debitur, jadi debitur tidak bersalah.
Menurut
kamus Hukum, Wanprestasi berarti kelalaian, kealpaan, cidera janji, tidak
menepati kewajibannya dalam perjanjian. Dengan demikian, Wanprestasi adalah
suatu keadaan dimana seorang debitur (berutang) tidak memenuhi atau melaksanakan
prestasi sebagaimana telah ditetapkan dalam suatu perjanjian.[15]
Menurut
Prodjodikoro, Wanprestasi adalah tidak adanya suatu prestasi dalam
perjanjian, ini berarti bahwa suatu hal harus dilaksanakan sebagai isi dari
suatu perjanjian. Dalam istilah bahasa Indonesia dapat dipakai istilah
pelaksanaan janji untuk prestasi, sedangkan ketiadaan pelaksanaan janji untuk
wanprestasi.
BAB
III
PEMBAHASAN
A.
Aturan Hukum dalam Penyelesaian Sengketa
Konsumen
1.
Badan Penyelesaian Sengketa dan Konsumen
Secara
legal term pengertian BPSK diatur dalam UU No.8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen dan dalam Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdangangan menyebutkan
Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen selanjutnya dalam keputusan ini disebut
BPSK adalah badan yang bertugas menangani dan menyelesaikan sengketa antara
Pelaku Usaha dan Konsumen[1].
Dalam pembahasan BPSK erat kaitannya dengan pelaku usaha dan konsumen. Maka,
hukum konsumen diartikan sebagai keseluruhan asas–asas dan kaidah–kaidah hukum
yang mengatur hubungan dan masalah antara berbagai pihak satu sama lain
berkaitan dengan barang dan atau jasa konsumen di dalam pergaulan hidup.[2]
Sedangkan
menurut istilah (Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen) BPSK merupakan suatu
lembaga khusus yang dibentuk diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen,
yang tugas utamanya adalah menyelesaikan sengketa atau perselisihan antara
konsumen dan pelaku usaha[3].
Undang-Undang nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen memungkinkan
penyelesaian sengketa konsumen diluar pengadilan, hal tersebut disebutkan pada
Pasal 45 ayat (1) jo, Pasal 23. Penyelesaian sengketa diluar pengadilan
dilaksanakan untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti
kerugian dan/atau mengenai tindakan tertentu untuk menjamin tidak akan terjadi
kembali kerugian yang diderita oleh konsumen.
BPSK
merupakan lembaga atau institusi non-struktural yang memiliki fungsi sebagai
lembaga/institusi yang menyelesaikan permasalahan konsumen di luar pengadilan.
Lembaga ini pun di bentuk oleh Pemerintah dalam rangka menyelesaikan sengketa
konsumen yang terjadi. BPSK berada di bawah naungan Departemen Perindustrian
dan Perdagangan sedangkan operasionalnya dibantu oleh Pemerintah daerah
setempat. Pengusulan pembentukan BPSK di kabupaten/kota kepada Pemerintah
berkoordinasi dengan provinsi dan fasilitasi operasional BPSK. Adapun prinsip
BPSK dalam menyelesaikan sengketa, yaitu : mengutamakan musyawarah, cepat,
murah dan adil. Keberadaan BPSK diharapkan mampu memberikan konsultasi seputar
masalah perlindungan konsumen, dan menjembatani setiap adanya sengketa yang
timbul dari kedua belah pihak serta mampu menyelesaikan tugasnya dalam hal menerima
pengaduan dari masyarakat.
Berdasarkan
penjelasan UUPK pasal 45 ayat (2) penyelesaian sengketa konsumen sebagaimana
dimaksud pada ayat ini tidak menutup kemungkinan penyelesaian damai oleh para
pihak yang bersengketa. Pada setiap tahap diusahakan untuk menggunakan
penyelesaian damai oleh kedua belah pihak yang bersengketa. Penyelesaian yang
dilakukan oleh kedua belah pihak yang bersengketa (pelaku usaha dan konsumen)
tanpa melalui pengadilan atau melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen dan tidak
bertentangan dengan UU ini. Berdasarkan ketentuan pasal 45 ayat (2) UUPK
dihubungkan dengan penjelasannya, maka penyelesaian sengketa konsumen dapat
dilakukan melalui cara-cara sebagai berikut[4] :
a) Penyelesaian
damai oleh para pihak yang bersengketa tanpa melibatkan pengadilan atau pihak
ketiga yang netral.
b) Penyelesaian
melalui pengadilan.
c) Penyelesaian
di luar pengadilan melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen
Pada
prinsipnya setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui
lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha
atau melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum. Apabila telah
dipilih upaya penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan, maka gugatan
melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya tersebut dinyatakan tidak
berhasil oleh salah satu pihak atau oleh pihak yang bersengketa.
2.
Penyelesaian
Sengketa Melalui BPSK
Tata
cara penyelesaian sengketa BPSK diatur dalam UUPK jo Kepmenperindag
No.350/MPP/12/2001 tentang pelaksanaan Tugas dan Wewenang. Proses
penyelesaiannya pun diatur sangat sederhana dan sejauh mungkin dihindari
suasana formal. Mengajukan gugatan ke BPSK, dapat dilakukan sendiri atau
kuasanya atau ahli warsinya, secara tertulis kesekretarian BPSK, sekretariat
akan memberikan tanda terima, bila permohonan diajukan secara lisan maka
sekretariat akan mencatat permohonan tersebut dalam sebuah formulis yang
disediakan secara khusus dan dibubuhi tanggal dan nomot registrasi.
Catatan
yang penting, permohonan harus lengkap, karena jika tidak ketua BPSK akan
menolak permohonan tersebut. Pemanggilan pelaku usaha, dibuat surat panggilan
yang memuat hari,tanggal, jam dan tempat persidangan serta kewajibannya untuk
memberikan jawaban terhadap penyelesaian sengketa konsumen untuk diajukan pada
persidangan pertama. Jika pada hari pertama pelaku usaha tidak hadir tidak
memenuhi panggilan, pelaku usaha dapat dipanggil sekali lagi, jika tetap tidak
hadir maka BPSK dapat meminta bantuan penyiidik untuk menghadirkan pelaku usaha
tersebut.Jika pelaku usaha hadir, maka konsumen memilih cara penyelesaian
sengketeanya yang harus disetujui oleh pelaku usaha, yakni yang bisa dipilih
adalah konsiliasi, mediasi dan
arbitrasi. Jika yang dipilih para pihak adalah konsiliasi atau mediasi, maka
ketua BPSK segera menunjuk majelis sesuai ketentuan untuk ditetapkan sebagai
konsiliator atau mediator. Jika yang dilipilih adalah arbitrasi,maka
prosedurnya adalah para pihak memilih atbiter ketiga dari anggota BPSK yang
berasal dariunsur pemerintah sebagai ketua majelis[5]
Persidangan
dilaksanakan selambat-lambatnya hari kerja ke-7terhitung sejak diterimanya
permohonan.Tahap persidangan ini meliputi tiga hal, yakni persidangan secara
konsiliasi, mediasi atau arbitrasitergantung dari cara yang dipilih oleh yang
bersengketa. Persidangan dengan cara konsiliasi. konsiliasi adalah proses
penyelesaian sengketa diantara para pihak dengan melibatkan pihak ketiga yang
netral dan tidak memihak, pihak ini disebut konsiliator.
Konsiliator
hanya melakukan tindakan seperti mengatur waktu dan tempat pertemuan para
pihak, mengarahkan subjek pembicaraan, membawa pesan dari satu pihak ke pihak
lain jika pesan tersebut tidak mungkin disampaikan langsung oleh para pihak.
Penyelesaian sengketa model ini mengacu pada konsensus antara pihak, dimana
pihak netral dapat berperan secara aktif maupun tidak aktif.
Konsiliator
dapat mengusulkan pendapatnya, namun tidak berwenang memutus perkaranya.
Penyelesaian sengketa konsumen melalui konsiliator ini dilakukan sendiri oleh
pihak yang bersengketa dengan didampingi majelis BPSK yang bertindak pasif
sebagai konsiliator. Majelis menyerahkan sepenuhnya proses penyelesaian
sengketa kepada para pihak, baik mengenai bentuk maupun jumlah kerugian. Hasil
musyawarah yang merupakan kesepakatan anta konsumen dan pelaku usaha yang
bersengketa selanjutnya dibuat dalam bentuk perjanjian tertulis yang
ditandatangani oleh para pihak yang bersengketa dan diserahkan kepada majelis
untuk dituangkan dalam keputusan majelis BPSK yang menguatkan perjanjian
tersebut.
Selain dengan cara konsiliasi, persidangan dengan
cara mediasi merupakan proses negosiasi penyelesaian sengketa atau pemecahan
masalah dimana pihak-pihak ketiga yang tidak memihak bekerjasama dengan para
pihak yang bersengketa membantu memperoleh kesepakatan perjanjian yang
memuaskan, pihak ini disebut mediator. Mediator tidak mempunyai wewenang untuk memutuskan
sengketa, melainkan hanya membantu para pihak untuk menyelesaikan
persoalanpersoalan yang diserahkan kepadanya.
Kesepakatan
dapat terjadi dengan mediasi, jika para pihak yang bersengketa berhasil mencapai
saling pengertian dan bersama-sama merumuskan penyelesaian sengketa dengan
arahan konkret dari mediator. Mediator menyerahkan sepenuhnya proses
penyelesaian sengketa kepada para pihak, baik mengenai bentuk maupun besarnya
ganti kerugian atau tindakan tertentu untuk menjamin tidak terulangnya kembali
kerugian konsumen. Hasil musyawarah merupakan kesepakatan antara konsumen
dengan pelaku usaha. Selanjutnya dibuat dalam bentuk perjanjian, ditandatangani
oleh para pihak dan diserahkan kepada majelis BPSK untuk dikukuhkan dalam
keputusan majelis BPSK untuk menguatkan perjanjian tersebut.
Putusan
tersebut mengikat kedua belah pihak dana mediasi tidak memuat sanksi
administratif. Persidangan dengan cara arbitrase menurut UU No. 30 tahun 1999
tentang arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar
pengadilan, yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara
tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Arbitrase ini adalah bentuk
alternatif paling formal untuk menyelesaikan sengketa sebelum bertlitigasi.
Pada proses ini pihak yang bersengketa mengemukakan masalah mereka kepada pihak
ketiga yang netral dan memberinya wewenang untuk memberi keputusan.
3.
Penyelesaian
Sengketa Melalui Pengadilan
Menurut
Pasal 48 Undang-undang Nomor 1999 tentang perlindungan konsumen, penyelesaian sengketa konsumen
melalui pengadilan mengacu pada ketentuan tentang peradilan umum. Ini berarti
hukum acara yang dipakai dalam tata cara
persidangan dan pemeriksaan perkara adalah berdasarkan Herzine Inland Regeling
(HIR) atau Rechtsreglemen Buitengewesten (RBg), yang mana keduanya pada dasar
tidak mempunyai perbedaan yang mendasar (prinsipil).[6]
Pengajuan
gugatan dalam hukum acara perdata yang berlaku di Indonesia, di kenal asas
Hakim bersifat menunggu atau pasif. Artinya bahwa inisiatif berperkara datang
dari pihak-pihak yang berkepentingan. Dimana hal tersebut diatur dalam Pasal
1865 KUH Perdata, yaitu setiap orang yang mendalilkan bahwa ia mempunyai
sesuatu hak atau guna meneguhkan haknya sendiri maupun membantah suatu hak
orang lain, menunjuk pada suatu peristiwa, diwajibkan membuktikan adanya hak
atau peristiwa tersebut. Kemudian dapat di lihat bahwa dalam rumusan pasal 1865
KUH Perdata tersebut mengandung beberapa makna, yang mana makna tersebut
terdiri dari.[7]
a) Seseorang
dapat mengajukan suatu peristiwa, dalam hal ini wanprestasi atau perbuatan
melawan hukum, untuk menunjukkan haknya.
b) Peristiwa
yang diajukan itu harus dibuktikan.
Berdasarkan
hal tersebut di atas, bahwa di dalam persidangan perdata para pihak yang
merasakan atau mendapatkan kerugian yang ditimbulkan dari akibat adanya
hubungan hukum, berhak mengajukan penuntutan di depan persidangan dengan
memberikan bukti-bukti yang berhubugan dengan persoalan yang terjadi. Hal ini
berbeda dengan ketentuan yang terdapat di dalam Udang perlindungan konsumen. Di
mana tepatnya di dalam pasal 46 UUPK No 8 Tahun 1999, menyebutkan bahwa :
a) Seseorang
konsumen yang dirugikan atau ahli waris yang bersangkutan;
b) Sekelompok
konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama;
c) Lembaga
perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi syarat, yaitu berbentuk
badan hukum atau yayasan, yang dalam anggaran dasarnya menyebutkan dengan tegas
bahwa tujuan didirikannya organisasi tersebut adalah untuk kepentingan
perlindungan konsumen dan telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran
dasarnya;
d) Pemerintah
dan atau instansi terkait apabila barang dan atau jasa yang dikonsumsi atau
dimanfaatkan mengakibatkan kerugian materi yang besar dan/atau korban yang
tidak sedikit
Gugatan
yang diajukan oleh sekelompok konsumen, lembaga perlindungan konsumen swadaya
masyarakat, atau pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf
c, atau huruf d diajukan kepada peradilan umum.
Ketentuan lebih lanjut menegenai kerugian materi yang besar dan/atau
korban yang tidak sedikit sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) huruf d
diatur dengan peraturan pemerintah. Oleh karena itu, berdasarkan ketentuan di
atas, yang dapat mengajukan gugatan dalam ketentuan Undang-undang Perlindungan
Konsumen adalah setiap konsumen yang dirugikan, ahli warisnya, baik berupa
perseorangan maupun kelompok, lembaga Konsumen Swadaya Masyarakat dan
pemerintah.
B.
Tanggung
Jawab Pelaku Usaha terhadap pelaku konsumen
1.
Melanjutkan
atau Membatalkan Perjanjian
Tanggung
jawab menurut kamus bahasa indonesia adalah, keadaan wajib menaggung segala
sesuatunya. Sehingga bertanggung jawab menurut kamus umum bahasa indonesia
adalah berkewajiban menanggung,memikul, menanggung segala sesuatunya, dan
menanggung akibatnya. Tanggung jawab adalah kesadaran manusia akan tingkah laku
atau perbuatannya yang disengaja maupun yang tidak di sengaja. Tanggung jawab
juga berarti berbuat sebagai perwujudan kesadarankan kewajiban[8].
Tanggung jawab itu bersifat kodrati, artinya sudah menjadi bagian hidup
manusia, bahwa setiap manusia di bebani dengan tanggung jawab, apabila dikaji
tanggung jawab itu adalah kewajiban yang harus di pikul sebagai akibat dari
perbuatan pihak yang berbuat. Tanggung jawab adalah ciri manusia yang beradab,
manusia merasa bertanggung jawab karena ia menyadari akibat baik atau buruk
perbuatannya itu, dan menyadari pula bahwa pihak lain memerlukan pengadilan
atau pengorbanan.
Teori
hukum Hans kelsen Suatu konsep yang terkait dengan konsep kewajiban hukum
adalah konsep tanggungjawab hukum (liability). Seseorang yang bertanggungjawab
secara hukum atas perbuatan tertentu bahwa dia dapat dikenakan suatu sanksi
dalam kasus perbuatannya bertentangan/ berlawanan hukum. Sanksi dikenakan
karena perbuatannya sendiri yang membuat orang tersebut bertanggungjawab.
Tanggung jawab pada perjanjian dapat berupa membatalkan/melanjutkan perjanjian
dan ganti kerugian.
Pengertian
pembatalan di sini bukanlah pembatalan karena tidak memenuhi syarat subyektif
dalam perjanjian, tetapi karena debitur telah melakukan wanprestasi. Jadi,
pembatalan yang dimaksudkan adalah pembatalan sebagai salah satu kemungkinan
yang dapat dituntut kreditur terhadap debitur yang telah melakukan wanprestasi.
Selain dapat mengajukan tuntutan pembatalan, kreditur dapat pula mengajukan
tuntutan yang lain yaitu pembatalan perjanjian dan ganti kerugian, ganti
kerugian saja, pemenuhan perikatan atau pemenuhan perikatan dan ganti kerugian.
Namun, perlu juga dikemukakan di sini bahwa sementara ahli ada yang menyebut
dengan istilah pemutusan perjanjian untuk maksud yang sama dengan pembatalan
perjanjian.
Syarat
batal dianggap selalu dicantumkan dalam perjanjian-perjanjian yang
bertimbal-balik, manakala salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya. Dalam
hal yang demikian perjanjian tidak batal demi hukum, tetapi pembatalan harus dimintakan
kepada hakim. Permintaan ini juga harus dilakukan, meskipun syarat batal
mengenai tidak dipenuhinya kewajiban dinyatakan di dalam perjanjian. Jika syarat
batal tidak dinyatakan dalam perjanjian, hakim adalah leluasa untuk menurut
keadaan, atas permintaan si tergugat, memberikan suatu jangka waktu untuk masih
. juga memenuhi kewajibannya, jangka waktu mana, namun itu tidak boleh lebih
dari satu bulan.
Perumusan
Pasal 1266 BW di atas ini ternyata mengandung berbagai macam kontradiktif dan
menimbulkan kesan sedemikian rupa, seakan-akan perjanjian batal dengan
sendirinya kniena hukum begitu debitur melakukan wanprestasi, padahal pembatalan
perjanjian tersebut harus dimintakan hakim. Selain itu, juga menimbulkan kesan
seakan akan debitur juga berhak menuntut pembatalan perjanjian, padahal menurut
Pasal 1266 BW itu yang berhak menuntut pembatalan perjanjian hanyalah kreditur.
2.
Ganti
Kerugian
Dalam
penerapan ketentuan yang berada dalam lingkungan hukum privat tersebut,
terdapat perbedaan esensial antara tuntutan ganti kerugian yang didasarkan pada
wanprestasi dengan tuntutan ganti kerugian yang didasarkan pada perbuatan
melanggar hukum. Apabila tuntutan ganti kerugian didasarkan pada wanprestasi,
maka terlebih dahulu tergugat dengan penggugat (produsen dengan konsumen)
terikat suatu perjanjian. Dengan demikian, pihak ketiga (bukan sebagai pihak
dalam perjanjian) yang dirugikan tidak dapat menuntut ganti kerugian dengan
alasan wanprestasi[9].
Ganti
kerugian yang diperoleh karena adanya wanprestasi merupakan akibat tidak dipenuhinya kewajiban utama atau
kewajiban sampingan (kewajiban atas prestasi atau kewajiban jaminan/garansi)
dalam perjanjian. Bentuk-bentuk wanprestasi dapat berupa :
a) Debitur
tidak memenuhi prestasi sama sekali;
b) Debitur
terlambat dalam memenuhi prestasi;
c)
Debitur berprestasi tidak sebagaimana
mestinya
Terjadinya
wanprestasi pihak debitur dalam suatu perjanjian, membawa akibat yang tidak
mengenakkan bagi debitur karena debitur harus :
a) Mengganti
kerugian;
b) Benda
yang menjadi objek perikatan sejak terjadinya wanprestasi menjadi tanggung
gugat debitur;
c) Jika
perikatan itu timbul dari perikatan timbal balik, kreditur dapat minta
pembatalan/ pemutusan perjanjian.
Sedangkan
untuk menghindari terjadinya kerugian bagi kreditur karena terjadinya
wanprestasi, maka kreditur dapat menuntut salah satu dari lima kemungkinan :
a) Pembatalan
(pemutusan) perjanjian;
b) Pemenuhan
perjanjian;
c) Pembayaran
ganti kerugian;
d) Pembatalan
perjanjian disertai ganti kerugian;
e) Pemenuhan
perjanjain disertai ganti kerugian.
Dalam
tanggung gugat berdasarkan adanya wanprestasi kewajiban untuk membayar ganti
kerugian tidak lain daripada akibat penerapan ketentuan dalam perjanjian, yang
merupakan ketentuan hukum yang oleh kedua pihak secara suka rela tunduk
berdasarkan perjanjiannya. Dengan demikian, bukan undang-undang yang menuntut
apakah harus dibayar ganti kerugian atau berapa besar ganti kerugian yang harus
dibayar melainkan kedua belah pihak yang menentukan syarat-syaratnya serta
besarnya ganti kerugian yang harus dibayar.
Disamping
ketentuan yang terdapat dalam perjanjian yang dibuat oleh para pihak, ketentuan
ganti kerugian yang bersumber dari hukum pelengkap juga harus mendapat
perhatian, seperti ketentuan tentang wanprestasi dan cacat tersembunyi serta
ketentuan lainnya. Ketentuan-ketentuan ini melengkapi ketentuan yang telah
disepakati oleh kedua belah pihak, dan ketentuan ini hanya dapat dikesampingkan
jika para pihak menjanjikan lain.
Dengan
mengkaji pasal demi pasal dalam UUPK, tampak bahwa beberapa ketentuan yang
tertera dalam UU tersebut sesuai dengan nilai-nilai etika bisnis, walaupun
dengan redaksi yang berbeda akan tetapi substansi dan tujuannya adalah sama
yaitu untuk melindungi konsumen. Hal ini dapat terlihat dari aturan-aturan
mengenai keharusan beritikad baik dalam melakukan usaha (pasal 7 huruf a ),
jujur (pasal 7 huruf b), jujur dalam takaran atau timbangan (pasal 8 ayat (1),
huruf a, b, c, d, e), menjual barang yang baik mutunya (pasal 8 ayat (2, 3, 4),
larangan menyembunyikan barang yang cacat (pasal 8) dan lain sebagainya. 19
Itikad baik dalam bisnis merupakan hakekat dari bisnis itu sendiri. Itikad baik
akan menimbulkan hubungan baik dalam usaha.[10]
Dengan
itikad baik pelaku usaha tidak akan melakukan usaha yang merugikan pihak lain.
Dalam Islam itikad baik diwujudkan dalam dua bentuk yaitu itikad baik menuntut
seseorang berbuat baik kepada orang lain, dan menuntut agar tidak berbuat
jahat/ merugikan orang lain. Sebagaimana firman Allah dalam al-Qur’an : an nisa
29 :
Terjemahnya:
Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan
jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka
sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu[11].
Ayat
ini menerangkan hukum transaksi secara umum, lebih khusus kepada transaksi
perdagangan, bisnis jual beli. Sebelumnya telah diterangkan transaksi muamalah
yang berhubungan dengan harta, seperti harta anak yatim, mahar, dan sebagainya.
Dalam ayat ini Allah mengharamkan orang beriman untuk memakan, memanfaatkan,
menggunakan, (dan segala bentuk transaksi lainnya) harta orang lain dengan
jalan yang batil, yaitu yang tidak dibenarkan oleh syari’at. Kita boleh
melakukan transaksi terhadap harta orang lain dengan jalan perdagangan dengan
asas saling ridha, saling ikhlas. Dan dalam ayat ini Allah juga melarang untuk
bunuh diri, baik membunuh diri sendiri maupun saling membunuh.
Konsumen
menjadi obyek aktifitas bisnis untuk mendapat keuntungan sebesar-besarnya.
Perlu upaya pemberdayaan konsumen melalui pembentukan Undang-Undang yang dapat
melindungi kepentingan konsumen secara integratif dan komprehensif serta dapat
diterapkan secara efektif. Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen ini
mengacu pada filosofi pembangunan nasional, bahwa pembangunan nasional termasuk
pembangunan hukum yang memberikan perlindungan terhadap konsumen adalah dalam
rangka membangun manusia Indonesia seutuhnya yang berlandaskan pada falsafah
kenegaraan Republik Indonesia yaitu dasar negara Pancasila dan konstitusi
negara Undang-undang Dasar 1945.
Penyusunan
UU No 8 Tahun 1999 dilatarbelakangi oleh pemikiran untuk meningkatkan harkat
dan martabat konsumen dengan meningkatkan kesadaran, pengetahuan, kepedulian,
kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi dirinya serta
menumbuhkembangkan sikap pelaku usaha yang bertanggung jawab.
Berdasarkan
pemikiran tersebut diperlukan perangkat peraturan perundangundangan untuk
mewujudkan keseimbangan perlindungan kepentingan konsumen dan pelaku usaha sehingga tercipta perekonomian yang
sehat. Berdasarkan pasal 1365 KUHPer : “Tiap perbuatan melanggar hukum, yang
menimbulkan kerugian bagi orang lain mewajibkan orang yang karena kesalahannya
mengakibatkan kerugian itu, mengganti kerugian.” Pasal ini memberi
perlindungan kepada seseorang terhadap perbuatan melawan hukum (onrechtmatige
daad) orang lain.
Unsur
penting dalam pasal ini ialah perbuatan melawan hukum yang pada zaman dulu
ditafsirkan secara sempit, yaitu perbuatan yang bertentangan dengan UU atau
Peraturan Perundangan. Tetapi kemudian H.M.N. Purwosutjipto memberikan tafsiran
lebih luas yakni perbuatan yang bertentangan dengan atau melanggar :
a) Hukum
atau Peraturan Perundangan.
b) Hak
orang lain.
c) Wajib
hukumnya sendiri (si pembuat).
d)
Keadilan dan kesusilaan
e)
Kepatutan yang layak
diindahkan dalam pergaulan masyarakat terhadap, orang atau barang.
Berdasarkan
KUHPer tersebut kedudukan konsumen sangat lemah dibanding produsen. Salah satu
usaha untuk melindungi dan meningkatkan kedudukan konsumen adalah dengan
menerapkan prinsip tanggung jawab mutlak dalam hukum tentang tanggung jawab
produsen. Dengan diberlakukannya prinsip tanggung jawab mutlak diharapkan pula
para produsen menyadari betapa pentingnya menjaga kualitas produk yang
dihasilkan, para produsen akan lebih berhati-hati dalam memproduksi barang.
Demikian
juga bila kesadaran para produsen terhadap hukum tentang tanggung jawab
produsen tidak ada, dikhawatirkan akan berakibat tidak baik terhadap
perkembangan dunia industri nasional maupun terhadap daya saing produk nasional
di luar negeri. Namun demikian, dengan memberlakukan prinsip tanggung jawab
mutlak dalam hukum tentang product liability tidak berarti pihak produsen tidak
mendapat perlindungan, pihak produsen masih diberi kesempatan untuk membebaskan
dari tanggung jawabnya dalam hal-hal tertentu yang dinyatakan dalam
undang-undang.
Dengan
penerapan tanggung jawab mutlak produk ini, pelaku usaha pembuat produk atau yang dipersamakan dengannya,
dianggap bersalah atas terjadinya kerugian pada konsumen pemakai produk itu,
kecuali apabila ia dapat membuktikan keadaan sebaiknya, yaitu bahwa kerugian
yang terjadi tidak dapat dipersalahkan kepadanya. Tanggung jawab produk, tanpa
kesalahan, merupakan doktrin hukum ang masih baru dan merupakan perluasan dari
tanggung jawab perbuatan melawan hukum. Kriteria perbuatan melawan hukum adalah
a) Pelanggaran
hak-hak. Hukum mengakui hak-hak tertentu baik mengenai hak-hak pribadi maupun
hak-hak kebendaan dan akan melindunginya dengan memaksa pihak yang melanggar
itu supaya membayar ganti rugi kepada pihak yang dilanggar haknya.
b) Unsur
kesalahan. Pertanggungjawaban pada kesalahan perdata memerlukan unsur kesalahan
atau kesengajaan pada pihak yang melakukan pelanggaran.
c) Kerugian
yang diderita oleh penggugat. Suatu unsur yang esensial dari kebanyakan
kesalahan
d) perdata
adalah bahwa penggugat harus
e) Sudah
menderita kerugian fisik atau finansial sebagai akibat dari perbuatan tergugat.
Sesuai
dengan hukum positif yang berlaku di Indonesia, seorang konsumen bila dirugikan
dalam mengkonsumsi barang atau jasa, dapat menggugat pihak yang menimbulkan
kerugian itu. Dengan kualifikasi gugatan wanprestasi atau perbuatan melawan
hukum. Karena kerugian yang dialami konsumen, tidak lain karena tidak
dilaksanakannya prestasi oleh pengusaha.Penuntutan karena wanprestasi dan
karena onrechtmatige daad (perbuatan melawan hukum) pelaksanaannya berbeda
yakni
Dalam
aksi karena onrechtmatige da ad maka si
penuntut harus membuktikan semua unsur-unsur yakni antara lain bahwa ia harus
membuktikan adanya kesalahan pada si pelaku. Dalam aksi karena wanpresptasi
maka si penuntut umum menunjukkan adanya wanprestasi, sedang pembuktian bahwa
tentang tidak adanya wanprestasi dibebankan pada si pelaku. Tuntutan pengembalian
pada keadaan semula hanyalah dapat dilakukan bilamana terjadi tuntutan karena
onrechtmatige daad, sedang dalam tuntutan wanprestasi tidak dapat dituntut
pengembalian pada keadaan semula. Bilamana terdapat beberapa debitur yang
bertanggung gugat, maka dalam hal terjadi tuntutan ganti kerugian karena
onrechtmatige daad, masingmasing debitur tersebut bertanggung gugat untuk
keseluruhan ganti kerugian tersebut. Kalau tuntutannya didasarkan pada
wanprestasi maka penghukuman masing-masing untuk keseluruhannya hanyalah
mungkin bilamana sifat tanggung rentengnya dicantumkan dalam kontraknya atau
bilamana prestasinya tidak dapat dibagi-bagi.
Dengan
kualifikasi gugatan ini, konsumen sebagai penggugat harus membuktikan
unsur-unsur :
a) Adanya
perbuatan melawan hukum. Perbuatan barulah merupakan perbuatan melawan hukum
apabila : bertentangan dengan hak orang lain, bertentangan dengan kewajiban
hukumnya sendiri, bertentangan dengan kesusilaan yang baik, bertentangan dengan
keharusan yang harus diindahkan dalam pergaulan masyarakat mengenai orang lain atau barang.
b) Adanya
kesalahan/ kelalaian pengusaha/ perusahaan. Dikatakan ada kelalaian apabila
timbulnya kerugian bagi seseorang atau barang milik orang lain disebabkan
karena kurang hati-hatinya melakukan suatu perbuatan, atau mengurus sesuatu
sebagaimana dikehendaki oleh hukum. Untuk berhasilnya suatu gugatan berdasarkan
kelalaian, penggugat harus membuktikan tiga unsur penting yaitu : pertama,
bahwa tergugat dibebankan kewajiban berhati-hati dalam melakukan kewajiban
hukumnya, kedua, kewajiban hukum itu dilanggar, ketiga, bahwa akibat
pelanggaran itu timbul kerugian.
c) Adanya
kerugian yang dialami konsumen. Penggugat harus membuktikan bahwa ia menderita
kerugian sebagai akibat dari pelanggaran kewajiban berhati-hati oleh tergugat.
Dalam kerugian itu dapat termasuk kerugian terhadap harta benda, kerugian
pribadi dan dalam beberapa hal kerugian uang.
d) Adanya
hubungan kausal antara perbuatan melawan hukum dengan kerugian yang dialami
konsumen. Apabila tanggung jawab dalam kesalahan perdata tergantung pada
kerugian, penggugat harus membuktikan bahwa kerugiannya secara sah disebabkan
oleh perbuatan tergugat.:
Konsekuensinya,
jika pelaku usaha gagal membuktikan tidak adanya unsur kesalahan, maka gugatan
ganti rugi penggugat akan dikabulkan dalam hal memiliki alasan yang sah menurut
hukum. Dalam hal yang demikian, selama pelaku usaha tidak dapat membuktikan
bahwa kesalahan tersebut bukan merupakan kesalahan yang terletak pada pihaknya,
maka demi hukum pelaku usaha bertanggung jawab dan wajib mengganti kerugian
yang diderita tersebut[12].
Jika pelaku usaha menolak dan/ atau
tidak memberi tanggapan dan/ atau tidak memenuhi ganti rugi atas tuntutan
konsumen maka menurut pasal 23 UUPK dapat digugat melalui Badan Penyelesaian
Sengketa Konsumen.
BAB IV
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Aturan hukum
tentang penyelesain sengketa konsumen adalah memberikan perlindungan hukum
terhadap konsumen melalui BPSK dan pengadilan Negeri. BPSK dijadikan
pertimbangan oleh hakim pengadilan Negeri. Namun putusan BPSK tersebut tidak
dijadikan dasar pertimbangan hakim.
Tanggung jawab
terhadap konsumen jika wanprestasi dapat dilakukan dengan
melanjutkan/membatalkan perjanjian dan mengganti kerugian yang ditimbulkan
akibat wanprestasi tersebut.
B.
Saran
Untuk
melindungi konsumen, khususnya terhadap wanprestasi pelaku usaha, banyak aspek
yang terkait didalamnya, baik dari segi peraturan atau implementasi yang harus diperhatikan antara lain:
a.
Dalam
undang-undang perlindungan konsumen, belum adanya pasal yang lebih spesifik
membahas mengenai sistem tanggung jawab pelaku usaha, karena jenis dan tanggung
jawab pelaku usaha terdiri dari berbagai jenis.
b.
Dengan seiring
berkembangnya perubahan zaman, Undang-Undang Perlindungan Konsumen sebaiknya
mengikuti perubahan yang ada. Pada pemerintahan sebagai regulator diharapkan
dapat membuat peraturan-peraturan/kebijakan yang berkaitan dengan perlindungan
konsumen, dalam praktiknya masih belum banyak terdapat peraturan pemetintah
yang menjaditurunan dari Undang-Undang Perlindungan Konsumen
350/Mpp/Kep/12/2001
Tahun 2001tentangPelaksanaan Tugas dan Wewenang Badan Penyelesaian
Sengketa Konsumen
Grafika, 2011
Citra Aditya Bakti, 2000, h. 239 -240.
[5] Yusuf shofie. Penyelesaian Sengketa Konsumen menurut UUPK, Teori
dan Peraktek Penegakan Hukum. Cet ke-1 (PT
Citra Aditya Bakti, 2003) hal-37
sukses, 2013, h 470
[8] Departemen Pendidikan Nasional Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta
: Balai Pustaka 2010, h 165
[9] Celina Tri Siwi Kristiyanti, Hukum
Perlindungan Konsumen, Jakarta : 2017, PT Sinar Grafika,
Mandar Maju, 2002, h. 177.
corp. 2014, h. 60
[12] Gunawan Wijaya dan Ahmad Yani, Hukum Tentang Perlindungan
Konsumen, Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama, 2000, h. 69
No comments:
Post a Comment