1

loading...

Tuesday, November 27, 2018

MAKALAH MANAJEMEN EKONOMI


MAKALAH MANAJEMEN EKONOMI "PERLINDUNGAN HUKUM KONSUMEN"

BAB I
PENDAHULUAN
      A.    Latar Belakang
Perlindungan konsumen merupakan bagian tak terpisahkan dari kegiatan bisnis yang sehat. Dalam kegiatan bisnis yang sehat terdapat keseimbangan perlindungan hukum antar konsumen dengan produsen. Tidak adanya perlindungan yang seimbang menyebabkan konsumen berada pada posisi yang lemah. Terlebih jika produk yang dihasilkan oleh produsen  merupakan jenis produk yang terbatas, prodisen dapat menyalahgunakan posisinya yang monopolistis tersebut. Hal ini tentu saja akan merugikan konsumen.
Kerugian-kerugian yang dialami oleh konsumen tersebut dapat timbul sebagai akibat dari adanya hubungan hukum perjanjian antara produsen dengan konsumen, maupun akibat dari adanya perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh produsen. Perjanjian-perjanjian yang dilakukan antara para pihak tidak selamanya dapat berjalan mulus dalam arti masing-masing pihak puas, karena terkadang para pihak penerima tidak menerima barang atau jasa sesuai dengan harapannya. Apabila pembeli, dalam hal ini konsumen tidak menerima barang atau jasa sesuai dengan yang diperjanjikan, maka produsen dapat dikatakan telah melakukan wanprestasi, sehingga konsumen mengalami kerugian.
Wanprestasi salah satu pihak dalam perjanjian merupakan kelalaian untuk memenuhi syarat yang tercantum dalam perjanjian. Hal ini biasanya lebih banyak dialami oleh pihak yang lemah/memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap pihak lainnya. Karena persyaratan tersebut berat sebelah/lebih memberatkan kepada pihak yang lemah. Hal ini disebabkan karena persyaratan persyaratan tersebut telah dituangkan kedalam suatu perjanjian baku. Perjanjian yang demikian sudah lazim dipergunakan dan memegang peranan penting dalam hukum bisnis yang pada umumnya dilandasi oleh nilai-nilai yang berorientasi pada efesiensinya.[1]
Disamping wanprestasi, kerugian dapat pula terjadi diluar hubungan perjanjian, yaitu jika terjadi perbuatan melanggar hukum, yang dapat berupa adanya cacat pada barang atau jasa yang mengakibatkan kerugian konsumen, baik itu karena rusak atau musnahnya barang itu sendiri, maupun kerusakan atau musnahnya barang akibat cacat pada barang itu. Selain disebabkan karena wanprestasi atau perbuatan melanggar hukum, kerugian yang dialami konsumen selama ini juga banyak disebabkan karena konsumen kurang kritis terhadap barang-barang yang ditawarkan, sehingga kerugian yang dialami konsumen tidak hanya kerugian finansial, akan tetapi juga dapat merugikan kesehatan atau keselamatan hidup konsumen sendiri. Kemungkinan kerugian konsumen tersebut akan semakin bertambah lagi jika barang-barang/jasa yang beredar dalam masyarakat tidak menggunakan merek secara teratur, terutam jika terjadi pemalsuan-pemalsuan merek tertentu yang memungkinkan suatu merek dipergunakan pada beberapa barang sejenis, namun dengan kualitas berbeda, sehingga diantara barang-barang tersebut ada yang mungkin akan merugikan konsumen yang kurang kritis.
Perlindungan atas kepentingan konsumen tersebut diperlukan karena pada umumnya konsumen selalu berada pada pihak yang dirugikan. Perlindungan hukum terhadap konsumen itu sendiri dilaksanakan berdasarkan asas-asas perlindungan konsumen sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 2 Undang-Undang nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, yang dirumuskan sebagai berikut “Perlindungan konsumen berasaskan manfaat, kepastian, keadilan, keseimbangan, keamanan, dan keselamatan konsumen, serta kepastian hukum”. Asas-asas tersebut ditempatkan sebagai dasar baik dalam merumuskan peraturan perundang-undangan  maupun dalam berbagai kegiatan yang berhubungan dengan perlindungan terhadap konsumen.
Menurut Setiawan:
“Perlindungan konsumen mempunyai 2 (dua) aspek yang bermuara pada praktik perdagangan yang tidak jujur (unfair trade practices) dan masalah keterikatan pada syarat-syarat umum dalam suatu perjanjian”.[2]

Pengawasan terhadap pelaksanaan kewajiban pelaku usaha tersebut harus ditingkatkan, dengan demikian hak-hak konsumen akan mudah terpenuhi, karena kewajiban pelaku usaha merupakan hak bagi konsumen. Namun pada kenyataannya, hak-hak konsumen sering diabaikan oleh pelaku usaha, dengan kata lain, pelaku usaha belum melakukan kewajibannya kepada konsumen dengan baik.
Selalu ada kemungkinan terjadinya perilaku menyimpang dari produsen pelaku usaha atas barang-barang produknya yang diedarkan kepada konsumen. Oleh karena itu, konsumen harus mendapat penggantian atas kerugian karena mengkonsumsi produk yang diedarkan.
      B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
        a )      Bagimanakah aturan hukum tentang penyelesaian sengketa konsumen?
        b)      Bagaimanakah tanggung jawab pelaku usaha terhadap konsumen?
      C.    Tujuan Penulisan
 Penelitian ini memiliki beberapa tujuan, di antaranya adalah:
       a)      Untuk mengetahui tentang aturan hukum penyelesaian sengketa konsumen.
        b)      Untuk mengetahui tanggung jawab pelaku usaha terhadap konsumen.


BAB II

LANDASAN TEORI
     A.    Pengertian Dan Dasar Hukum Perlindungan Konsumen
Awal terbentuknya Undang-Undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang disepakati oleh DPR pada (tanggal 30 Maret 1999) dan disahkan Presiden RI pada tanggal 20 April 1999 (LN No. 42 Tahun 1999). Berbagai usaha dengan memakan waktu, tenaga dan pikiran yang banyak telah dijalankan berbagai pihak yang berkaitan dengan pembentukan hukum dan perlindungan konsumen. Baik dari kalangan pemerintah, lembaga-lembaga swadaya masyarakat. YLKI, bersama-samadengan perguruan-perguruan tinggi untuk mewujudkan undang-undang Perlindungan Konsumen ini. Penyusunan naskah-naskah penelitian, pengkajian naskah akademik Rancangan Undang-Undang (Perlindungan Konsumen). Kegiatan-kegiatan tersebut dimulai antara lain:
a)      Pembahasan masalah Perlindungan Konsumen (dari sudut ekonomi oleh Bakir  Hasan  dan dari sudut hukum oleh Az. Nasution) dalam Seminar Kelima Pusat Study Hukum Dagang Fakultas Hukum Universitas Indonesia (tanggal 15-16 Desember 1975) sampai dengan penyelesaian akhir UndangUndang ini pada tanggal 20 April 1999.
b)      Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman RI, Penelitian  tentang Perlindungan Konsumen di Indonesia (tahun 1979-1980).
c)      BPHN – Departemen Kehakiman, Naskah Akademik Peraturan Perundang-undangan tentang Perlindungan Konsumen (tahun 1980-1981).
d)     Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, Perlindungan Konsumen Indonesia, suatu sumbangan pemikiran tentang rancangan Undang-Undang Perlindungan Konsumen (tahun 1981).
e)      Departemen Perdagangan RI bekerjasama dengan Fakultas Hukum Universitas Indonesia, RUU tentang Perlidungan Konsumen (tahun 1997).
f)       DPR RI, RUU Usul Inisiatif DPR tentang Undang-Undang Perlindungan Konsumen (tahun 1998).
Salah satu pokok kesimpulan seminar Kelima Universitas Indonesia tersebut berbunyi “Agaknya dalam kerangka ini mutlak perlu suatu Undang-Undang Perlindungan Konsumen, dan seharusnya Undang-Undang ini memberikann perlindungan pada masyarakat konsumen.” Akhirnya, didukung oleh perkembangan politik dan ekonomi di Indonesia (1997-1999), semua kegiatan tersebut berujung disetujuinya UU Tentang Perlindungan Konsumen yang terdiri dari 15 Bab dan 65 pasal dan mulai berlaku efektif sejak 20 April 2000. Ternyata dibutuhkan waktu 25 tahun sejak gagasan awal hingga Undang-Undang ini disahkan (1975-2000). Perlindungan konsumen adalah istilah yang dipakai untuk menggambarkan perlindungan hukum yang diberikan kepada konsumen dalam usahanya untuk memenuhi kebutuhannya
dari hal-hal yang dapat merugikan konsumen itu sendiri.
Istilah konsumen ini berasal dari alih bahasa dari kata consumer (Inggris- Amerika), atau consumen/konsument (Belanda). Pengertian consumer dan consument ini hanya bergantung dimana posisi ia berada. Secara hafiah arti kata consumer itu adalah (lawan dari produsen), setiap orang yang menggunakan barang dan jasa. Tujuan penggunaan barang dan jasa itu nanti menentukan termasuk konsumen kelompok mana pengguna tersebut, begitu pula Kamus Besar Bahasa Indonesia memberi arti kata consumer sebagai pemakai atau konsumen. Konsumen umumnya diartikan sebagai pemakai terakhir dari produk yang diserahkan pada mereka, yaitu setiap orang yang mendapatkan barang untuk dipakai dan tidak untuk diperdagangkan atau diperjualbelikan lagi dan menurut pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen menyebutkan bahwa :


Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.”

Hukum perlindungan konsumen ini mendapatkan landasan hukumnya dari Undang-Undang Dasar 1945, pembukaan, Alinea ke-4 yang berbunyi: ”Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia.” Umumnya, sampai sekarang ini orang bertumpu pada kata ”segenap bangsa” sehingga ia diambil sebagai asas tentang persatuan seluruh bangsa Indonesia (asas persatuan bangsa). Akan tetapi disamping itu, dari kata ”melindungi” terkandung pula asas perlindungan (hukum) pada segenap bangsa tanpa ada kecualinya, ini artinya baik laki-laki maupun perempuan, orang kaya atau orang miskin, orang kota atau orang desa, orang asli atau keturunan, dan pengusaha atau konsumen.
Dalam berbagai literatur ditemukan sekurang-kurangnya dua istilah mengenai hukum yang mempersoalkan konsumen, yaitu hukum konsumen dan hukum perlindungan konsumen. Oleh Az. Nasution menjelaskan bahwa kedua istilah itu berbeda, yaitu bahwa hukum perlindungan konsumen adalah bagian dari hukum konsumen. Menurut beliau hukum konsumen adalah: ”Keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan dan masalah antara berbagai pihak satu sama lain berkaitan dengan barang dan atau jasa konsumen, didalam pergaulan hidup.[1]”Dan Sedangkan hukum perlindungan konsumen adalah : ”Keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah hukum yang mengatur dan melindungi konsumen dalam hubungan dan masalahnya dengan para penyedia barang dan atau jasa konsumen.”
Pada dasarnya, baik hukum konsumen maupun hukum perlindungan konsumen membicarakan hal yang sama, yaitu kepentingan hukum konsumen, dengan demikian, hukum perlindungan konsumen atau hukum konsumen dapat diartikan sebagai seluruh peraturan hukum yang mengatur hak-hak dan kewajiban-kewajiban konsumen dan produsen yang timbul dalam usahanya untuk memenuhi kebutuhannya.
Az. Nasution menambahkan bahwa Hukum perlindungan konsumen inilah yang menjembatani permasalahan yang timbul tersebut. Hukum perlindungan konsumen merupakan bagian dari hukum konsumen yang memuat asas-asas atau kaidah-kaidah yang bersifat mengatur dan juga mengandung sifat yang melindungi konsumen.[2]
Menurut Mochtar Kusumaatmaja hukum perlindungan konsumen adalah  keseluruhan asas-asasdan kaidah-kaidah hukum yang mengatur dan melindungi konsumen dalam hubungan dan masalahnya dengan para penyedia barang dan/atau jasa konsumen.

Perlindungan konsumen secara umum juga diatur dalam firman Allah SWT dalam QS Al-Baqarah/2: 168 :
 Terjemahnya:
Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu.[3]

Dalam surah Al-Baqarah ayat 2 menjelaskan bahwa makanan yang halal dan baik menjadi syarat utma bagi kesucian amal yang akan diterima oleh Allah. Penjelasan mengenai segala sesuatu yang halal dan haram telahdijabarkan dalam Al-Qur'an maupun Hadis. Orang yang beriman diperintahkan agar segala amalnya bersih, jiwa dan hatinya digerakkan oleh kekuatan darah yang bersih, sumber makanannya pun harus halal. Selain itu tidak mengenakan pakaian dan perhiasan apapun yang bersumberkan dari sesuatu yang haram. Pesan moral yag terkandung dalam ayat tersebut diatas mengandung nilai yang memberikan perintah atau seruan kepada setiap manusia untuk memperoleh makanan dari cara yang halal.
Berbicara tentang perlindungan konsumen berarti mempersoalkan jaminan atau kepastian tentang terpenuhinya hak-hak konsumen. Perlindungan konsumen mempunyai cakupan yang luas meliputi perlindungan konsumen dalam memperoleh barang dan jasa, yang berawal dari tahap kegiatan untuk mendapatkan barang dan jasa hingga ke akibatakibat dari pemakaian barang jasa tersebut.
Kedudukan seorang konsumen tidak seimbang dengan pelaku usaha, hal ini dapat dilihat dari faktor ekonomi pelaku usaha yang lebih tinggi dibandingkan konsumen. Keadaan seperti ini tidak hanya terjadi di Indonesia melainkan di negara-negara maju dan berkembang lainnya. Hal ini telah menjadi permasalahan yang terus dipelajari agar ditemukan jalan yang terbaik dalam menyelesaikannya.
     B.     Tujuan Umum Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen
Hukum perlindungan kosumen memberikan penjelasan yang lebih terhadap konsumen mengenai hal-hal yang harus diperhatikan oleh konsumen dalam melakukan hubungan hukum dengan pelaku usaha. Hubungan hukum yang tercipta antara konsumen dan pelaku usaha merupakan hubungan hukum yang memberikan keuntungan bagi kedua belah pihak. Secara umum konsumen haruslah dapat mengetahui tentang definisi seorang konsumen, pelaku usaha, dan hak-hak yang dimiliki oleh konsumen dan pelaku usaha tersebut.
Berdasarkan undang-undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen memberikan kepastian hukum untuk melindungi hak- hak konsumen. Undang-undang tersebut juga memberikan harapan agar pelaku usaha tidak lagi sewenang-wenang yang selalu merugikan hak konsumen. Dengan adanya undang-undang perlindungan konsumen beserta perangkat hukum lainnya, konsumen memiliki hak dan posisi berimbang, dan mereka pun bisa menggugat atau menuntut jika ternyata hak-haknya telah dirugikan atau dilanggar oleh pelaku usaha. Perlindungan konsumen yang dijamin oleh undang-undang ini adalah adanya kepastian hukum yang meliputi segala upaya berdasarkan atas hukum untuk memberdayakan konsumen memperoleh atau menentukan pilihannya atas barang dan/atau jasa kebutuhannya serta mempertahankan atau membela hak-haknya apabila dirugikan oleh pelaku usaha penyedia kebutuhan konsumen.
Setelah mengetahui definisi hukum konsumen dan hukum perlindungan konsumen, maka dapat diketahui definisi hukum konsumen lebih luas bila dibandingkan dengan hukum perlindungan konsumen. Hukum perlindungan konsumen merupakan salah satu bagian dari hukum konsumen yang melindungi hak- hak konsumen. Dengan banyaknya peraturan perundang-undangan yang mengatur hukum konsumen maka dalam menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari harus sejalan dengan hukum perlindungan konsumen yang telah ada. Oleh karena itu di dalam Pasal 64 Undang-undang nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen disebutkan bahwa:
 ”Segala ketentuan peraturan perundang- undangan yang bertujuan melindungi konsumen yang telah ada pada saat undang- undang ini diundangkan, dinyatakan tetap berlaku.”

Pasal ini menjelaskan hubungan hukum yang harmonis antara hukum konsumen dengan hukum perlindungan konsumen. Peraturan perundang-undangan yang mengatur perlindungan konsumen tetap berlaku selama tidak bertentangan dan belum diatur dalam UUPK.
     1.      Asas dan Tujuan Hukum Perlindungan Konsumen
UUPK memberikan perlindungan kepada konsumen bersama-sama dengan pelaku usaha berdasarkan atas asas-asas yang relevan dengan pembangunan nasional. Asas-asas ini telah diatur di dalam Pasal 2 UUPK. Adapun asas-asas tersebut dapat disebutkan sebagai berikut:[4]
1)      Asas Manfaat
Asas ini mengamanatkan penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan.
2)      Asas Keadilan
Asas ini dimaksudkan untuk mewujudkan partisipasi masyarakat secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil.
3)      Asas Keseimbangan
Asas ini memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti materil maupun spiritual.
4)      Asas Keamanan dan Keselamatan Konsumen
Asas ini ditujukan agar konsumen terjamin dalam hal keamanan, keselamatan dalam penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi.
5)      Asas Kepastian Hukum
Asas ini dimaksudkan agar konsumen dan pelaku usaha mematuhi hukumyang ada, dapat memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungankonsumen dan negara menjamin kepastian hukum atas hal tersebut.
       2.      Hak dan Kewajiban Konsumen
John F. Kennedy mengemukakan pendapatnya tentang hak-hak yang dimiliki seorang konsumen, yaitu:[5]
       1)      Hak untuk memperoleh keamanan
       2)      Hak untuk memilih
       3)      Hak untuk  mendapatkan informasi
       4)      Hak untuk didengar
Adapun hak-hak konsumen yang disebutkan dalam Undang undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yaitu:
      1)      Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa;
     2)      Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
    3)      Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;
     4)    Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan;
     5)      Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;
      6)      Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
      7)      Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
     8)      Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;
     9)      Hak-hak yang diatur dalam ketentuan-ketentuan perundang-undangan lainnya.

Kemudian disebutkan juga kewajiban-kewajiban  dari konsumen itu sendiri, yaitu :
      1)      Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan;
        2)      Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa;
        3)      Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;
         4)      Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.
3.      Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha
Secara tegas UUPK telah mengatur hak dan kewajiban pelaku usaha. Di dalam Undang-undang No.8 Tahun 1999 diatur juga hak-hak yang dimiliki seorang pelaku usaha, yaitu:
      1)      hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
        2)      hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik;    
     3)  hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen;
    4)      hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
      5)      hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
Pelaku usaha merupakan subjek hukum perlindungan yang vital dalam menerapkan hukum perlindungan konsumen dengan baik dan sempurna.
Pelaku usaha dalam memproduksi suatu barang ataupun jasa mempunyai suatu aturan yang telah diatur dalam UUPK. UUPK telah disebutkan di dalam definisinya tentang pelaku usaha. Pelaku usaha yang dimaksud dalam UUPK adalah pelaku usaha pabrikan, distributor dan jaringannya, serta juga termasuk para importir dan juga pelaku usaha periklanan.
Pelaku usaha pabrikan dan pelaku usaha distributor secara prinsip merupakan berbeda, tetapi undang-undang tidak membedakan kewajiban yang harus dipenuhi oleh kedua pelaku usaha tersebut, dan juga berbagai larangan yang dikenakan kepada kedua pelaku usaha tersebut. Terdapat perbedaan sedikit yang patut diperhitungkan, yaitu   sifat   saat   terbitnya pertanggungjawaban   terhadap   kegiatan   usaha  yang dilakukan masingmasing pelaku usaha terhadap konsumen yang mempergunakan barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau yang diberikan[6]. Pertanggungjawaban yang diberikan pelaku usaha terhadap konsumen atas kesalahan pelaku usaha melanggar ketentuan undang-undang merupakan tanggung jawab yang berupa ganti rugi[7]. Hukum pembuktian menerangkan tentang hapusnya ataupun lahirnya suatu pertanggungjawaban dari suatu pelaku usaha dan beralihnya pertanggungjawaban tersebut kepada pelaku usaha lainnya harus dibuktikan, agar tidak merugikan konsumen maupun pelaku usaha lainnya. Hal ini dimaksudkan agar tercipta suatu asas kepatutan dan keadilan, serta kepastian hukum untuk semua pihak.[8]
Perbuatan yang dilarang untuk pelaku usaha telah diatur dalam UUPK. Perbuatan yang dilarang tersebut diatur dalam Bab IV yang terdiri dari 10 Pasal, diawali dari Pasal 8 sampai dengan Pasal 17. Di dalam Bab IV dapat dilihat bahwa pada dasarnya larangan-larangan yang berlaku bagi pelaku usaha pabrikan juga diberlakukan bagi para pelaku usaha distributor, dan tidak semua larangan yang dikenakan bagi pelaku usaha distributor (dan jaringannya) dikenakan juga bagi pelaku  usaha  pabrikan.
Pada dasarnya undang-undang tidak memberikan perlakuan yang berbeda kepada masing-masing pelaku usaha yang menyelenggarakan kegiatan usaha tersebut, selama pelaku usaha tersebut menjalankan kegiatan usahanya tersebut secara benar dan memberikan informasi yang cukup, relevan, dan dapat dipertanggungjawabkan, serta tidak menyesatkan konsumen yang akan mempergunakan atau memkai atau memanfaatkan barang dan jasa yang diberikan tersebut. Ketentuan Pasal 8 UUPK merupakan satu-satunya ketentuan umum yang berlaku secara umum mengenai larangan kegiatan usaha para pelaku usaha pabrikan ataupun distributor di Indonesia.
Secara garis besar larangan yang tertuang dalam Pasal 8 UUPK dapat dibagi ke dalam dua larangan pokok, yaitu:[9]
1)      Larangan mengenai produk itu sendiri, yang tidak memenuhi syarat dan standar yang layak untuk dipergunakan atau dipakai atau dimanfaatkan konsumen Kelayakan produk suatu barang dan/atau jasa pada dasarnya berhubungan erat dengan karakteristik dan sifat dari barang dan/atau jasa yang diperdagangkan. Kelayakan produk harus dipenuhi atau dimiliki oleh suatu barang dan/atau jasa tertentu sebelum barang dan/atau jasa tersebut diperdagangkan kepada masyarakat luas. Kelayakan produk tersebut memenuhi suatu standar yang harus diketahui oleh masyarakat, standar tersebut banyak yang sudah diketahui oleh masyarkat tetapi ada juga yang masih membutuhkan penjelasan yang lebih untuk hla tersebut. Oleh karena itu dibutuhkan informasi yang lebih yang didapat tidak hanya dari pelaku usaha tetapi juga melalui sumber lain yang terpercaya.

2)      Larangan mengenai ketersediaan informasi yang tidak benar, dan tidak akurat, yang menyesatkan konsumen.Setiap konsumen mempunyai hak memilih dan menentukan barang dan/atau jasa yang akan dikonsumsi, oleh karena itu setiap konsumen membutuhkn informasi yang benar mengenai barang dan/atau jasa tersebut. Dalam pembuatan informasi tentang suatu barang dan/atau jasa perusahaan periklanan dan pelaku usaha harus jujur yaitu memberikan informasi mengenai kelebihan dan kekurangan yang ada pada barang dan/jasa yang diperdagangkan. Undang-undang mengakui tentang adanya penjualan yang dilakukan secara lelang, penawaran dengan hadiah, atau penjualan barang dan/atau jasa yang tidak dalam keadaan yang tidak sempurna, dengan keadaan yang seperti ini maka dapat dikatakan bahwa kedudukan konsumen berada pada posisi yang kurang diuntungkan dibandingkan dengan posisi pelaku usaha sebab keterbatasan konsumen dalam menentukan barang dan/atau jasa yang layak menjadi terbatas.

    C.    Tinjauan Umum Wanprestasi
Perkataan wanprestasi berasal dari bahasa Belanda yang berarti prestasi buruk. Klausula wanprestasi merupakan suatu hal yang penting untuk dicantumkan dalam suatu perjanjian.
R. Subekti, menguraikan arti dari kata wanprestasi sebagai berikut: “Apabila si berutang (debitur) tidak melakukan apa yang dijanjikan akan dilakukannya, maka dikatakan bahwa ia melakukan wanprestasi. Ia adalah alpa atau lalai atau bercidera janji. Atau juga ia melanggar perjanjian, yaitu apabila ia melakukan atau berbuat sesuatu yang tidak boleh dilakukannya.” Pengertian umum mengenai wanprestasi menurut R. Sardjono: “Wanprestasi adalah suatu keadaan dimana si berutang tidak melakukan apa yang dijanjikan untuk dilakukan atau melanggar perjanjian dalam hal diperjanjikan bahwa si debitur tidak boleh melakukan sesuatu hal, sedangkan ia telah melakukannya”.
Sedangkan R. Wirjono Prodjodikoro, merumuskan wanprestasi sebagai “ketiadaan suatu prestasi”, dimana prestasi yang dimaksudkan disini adalah prestasi dalam hukum perjanjian yang berarti sebagai suatu hal yang harus dilaksanakan sebagai isi dari suatu perjanjian. Beliau juga memberikan istilah “ketiadaan pelaksanaan janji” untuk wanprestasi.
Seorang debitur yang lalai berarti melakukan wanprestasi ini dapat digugat di muka hakim dan hakim akan menjatuhkan putusan yang merugikan kepada tergugat itu[10]. Akan tetapi karena wanprestasi (kelalaian) ini mempunyai akibat-akibat yang begitu penting, maka harus ditetapkan lebih dahulu apakah  si debitur (si berutang) itu melakukan wanprestasi atau lalai, dan kalau hal itu disangkal olehnya, harus dibuktikan di muka Hakim.
Wanprestasi adalah kelalaian debitur untuk memenuhi kewajibannya sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati. Untuk menentukan kapan seseorang harus melakukan kewajibannya dapat dilihat dari isi perjanjian yang telah dibuatnya. Dalam perjanjian biasanya diatur kapan seseorang harus melaksanakan kewajibannya, seperti menyerahkan sesuatu barang atau melakukan sesuatu perbuatan. Apabila debitur tidak melakukan apa yang diperjanjikannya, maka ia telah melakukan wanprestasi.
Sanksi yang dapat dikenakan atas debitur yang lalai atau alpa ada empat macam, yaitu:
a)      Membayar kerugian yang diderita oleh kreditur atau dengan dinamakan gantirugi;
b)      Pembatalan perjanjian atau juga dinamakan pemecahan perjanjian;
c)      Peralihan resiko;
d)     Membayar biaya perkara, kalau sampai diperkarakan di depan hakim.[11]
Ganti rugi sering dirinci dalam tiga unsur[12], biaya, rugi dan bunga :
1)      Biaya adalah segala pengeluaran atau perongkosan yang nyata-nyata sudah dikeluarkan oleh satu pihak. Contoh nya jika seorang sutradara mengadakan suatu perjanjian dengan pemain sandiwara untuk mengadakan suatu pertunjukan dan pemain tersebut tidak datang sehingga pertunjukan terpaksa dibatalkan, maka yang termasuk biaya adalah ongkos cetak iklan, sewa gedung, sewa kursi dan lain-lain.
2)      Rugi adalah kerugian karena kerusakan barang-barang kepunyaan kreditur yang diakibatkan oleh kelalaian si debitur. Misalnya rumah yang baru diserahkan oleh pemborong ambruk karena salah konstruksinya, hingga merusak perabotan rumah.
3)      Bunga adalah kerugian yang berupa kehilangan keuntungan yang sudah dibayangkan atau dihitung oleh kreditur. Misalnya, dalam hal jual beli barang, jika barang tersebut sudah mendapat tawaran yang lebih tinggi dari harga pembeliannya.
Dalam soal penuntutan ganti rugi, oleh undang-undang diberikan pembatasan mengenai apa yang dapat dituntut sebagai ganti rugi. Dalam hal ini Undang-undang memberikan perlindungan bagi si debitur yang lalai terhadap tindakan kreditur meminta ganti rugi. Seperti yang diatur dalam beberapa pasal dalam KUH Pdt sebagai berikut:
Pasal 1248 KUHPer menentukan :
Bahkan jika hal tidak dipenuhinya perjanjian itu disebabkan karena tipu daya si berutang, penggantian biaya, rugi dan bunga, sekedar mengenai kerugian yang diderita oleh si berpiutang dan keuntungan yang terhilang baginya, hanyalah terdiri atas apa yang merupakan akibat langsung dari tak dipenuhinya perjanjian

Pembatalan perjanjian, bertujuan membawa kedua belah pihak kembali pada keadaan sebelum perjanjian diadakan. Pembatalan perjanjian karena kelalaian debitur diatur dalam pasal 1266 KUHPdt yang mengatur mengenai perikatan bersyarat, yang berbunyi:
Syarat batal dianggap selamanya dicantumkan dalam perjanjian-perjanjian yang timbal balik, manakala salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya. Dalam hal demikian perjanjian tidak batal demi hukum, tetapi pembatalan harus dimintakan kepada hakim.Permintaan ini juga harus dilakukan, meskipun syarat batal mengenai tidak dipenuhinya kewajiban itu dinyatakan dalam perjanjian.Jika syarat batal tidak dinyatakan dalam perjanjian, hakim leluasa menurut keadaan atas permintaan si tergugat, untuk memberikan suatu jangka waktu guna kesempatan memenuhi kewajibannya, jangka waktu mana tidak boleh lebih dari satu bulan”.

Pembatalan perjanjian itu harus dimintakan kepada hakim, bukan batal secara otomatis walaupun debitur nyata-nyata melalaikan kewajibannya. Putusan hakim itu tidak bersifat declaratoir tetapi constitutif, secara aktif membatalkan perjanjian itu. Putusan hakim tidak berbunyi “Menyatakan batalnya perjanjian antara penggugat dan tergugat” Melainkan, membatalkan perjanjian”[13]
Sebagai sanksi ketiga atas kelalaian seorang debitur disebutkan dalam pasal 1237 KUHPdt. Resiko adalah kewajiban untuk memikul kerugian jika terjadi suatu peristiwa di luar kesalahan salah satu pihak, yang menimpa barang yang menjadi objek perjanjian.
Menurut pasal 1460 KUHPdt, maka resiko dalam jual beli barang tertentu dipikulkan kepada si pembeli, meskipun barangnya belum diserahkan. Penjual yang terlambat menyerahkan barangnya, maka kelalaian ini diancam dengan mengalihkan resiko tadi dari si pembeli kepada si penjual. Jadi dengan lalainya sipenjual, resiko itu beralih kepada dia.
Tentang Pembayaran ongkos biaya perkara sebagai sanksi keempat bagi seorang debitur yang lalai adalah tersimpul dalam suatu peraturan hukum acara, bahwa pihak yang dikalahkan diwajibkan membayar biaya perkara. Seorang debitur yang lalai tentu akan dikalahkan kalau samapai terjadi suatu perkara di depan Hakim. Pihak Debitur yang dikalahkan dengan keputusan hakim itulah yang menanggung biaya perkara itu, disamping juga mengganti kerugian kepada pihak kreditur atas wanprestasi  yang dilakukannya.
Wanprestasi artinya tidak memenuhi kewajiban yang telah disepakati dalam perikatan. Tidak dipenuhinya kewajiban oleh debitur karena dua kemiungkinan alasan yaitu:[14]
a)      Kesengajaan maupun kelalaian;
b)      Keadaan memaksa (force majure), diluar kemampuan debitur, jadi debitur tidak bersalah.
Menurut kamus Hukum, Wanprestasi berarti kelalaian, kealpaan, cidera janji, tidak menepati kewajibannya dalam perjanjian. Dengan demikian, Wanprestasi adalah suatu keadaan dimana seorang debitur (berutang) tidak memenuhi atau melaksanakan prestasi sebagaimana telah ditetapkan dalam suatu perjanjian.[15]
Menurut Prodjodikoro, Wanprestasi adalah tidak adanya suatu prestasi dalam perjanjian, ini berarti bahwa suatu hal harus dilaksanakan sebagai isi dari suatu perjanjian. Dalam istilah bahasa Indonesia dapat dipakai istilah pelaksanaan janji untuk prestasi, sedangkan ketiadaan pelaksanaan janji untuk wanprestasi.
BAB III
PEMBAHASAN
A.    Aturan Hukum dalam Penyelesaian Sengketa Konsumen
1.      Badan Penyelesaian Sengketa dan Konsumen
Secara legal term pengertian BPSK diatur dalam UU No.8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen dan dalam Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdangangan menyebutkan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen selanjutnya dalam keputusan ini disebut BPSK adalah badan yang bertugas menangani dan menyelesaikan sengketa antara Pelaku Usaha dan Konsumen[1]. Dalam pembahasan BPSK erat kaitannya dengan pelaku usaha dan konsumen. Maka, hukum konsumen diartikan sebagai keseluruhan asas–asas dan kaidah–kaidah hukum yang mengatur hubungan dan masalah antara berbagai pihak satu sama lain berkaitan dengan barang dan atau jasa konsumen di dalam pergaulan hidup.[2]
Sedangkan menurut istilah (Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen) BPSK merupakan suatu lembaga khusus yang dibentuk diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen, yang tugas utamanya adalah menyelesaikan sengketa atau perselisihan antara konsumen dan pelaku usaha[3]. Undang-Undang nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen memungkinkan penyelesaian sengketa konsumen diluar pengadilan, hal tersebut disebutkan pada Pasal 45 ayat (1) jo, Pasal 23. Penyelesaian sengketa diluar pengadilan dilaksanakan untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti kerugian dan/atau mengenai tindakan tertentu untuk menjamin tidak akan terjadi kembali kerugian yang diderita oleh konsumen.
BPSK merupakan lembaga atau institusi non-struktural yang memiliki fungsi sebagai lembaga/institusi yang menyelesaikan permasalahan konsumen di luar pengadilan. Lembaga ini pun di bentuk oleh Pemerintah dalam rangka menyelesaikan sengketa konsumen yang terjadi. BPSK berada di bawah naungan Departemen Perindustrian dan Perdagangan sedangkan operasionalnya dibantu oleh Pemerintah daerah setempat. Pengusulan pembentukan BPSK di kabupaten/kota kepada Pemerintah berkoordinasi dengan provinsi dan fasilitasi operasional BPSK. Adapun prinsip BPSK dalam menyelesaikan sengketa, yaitu : mengutamakan musyawarah, cepat, murah dan adil. Keberadaan BPSK diharapkan mampu memberikan konsultasi seputar masalah perlindungan konsumen, dan menjembatani setiap adanya sengketa yang timbul dari kedua belah pihak serta mampu menyelesaikan tugasnya dalam hal menerima pengaduan dari masyarakat.
Berdasarkan penjelasan UUPK pasal 45 ayat (2) penyelesaian sengketa konsumen sebagaimana dimaksud pada ayat ini tidak menutup kemungkinan penyelesaian damai oleh para pihak yang bersengketa. Pada setiap tahap diusahakan untuk menggunakan penyelesaian damai oleh kedua belah pihak yang bersengketa. Penyelesaian yang dilakukan oleh kedua belah pihak yang bersengketa (pelaku usaha dan konsumen) tanpa melalui pengadilan atau melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen dan tidak bertentangan dengan UU ini. Berdasarkan ketentuan pasal 45 ayat (2) UUPK dihubungkan dengan penjelasannya, maka penyelesaian sengketa konsumen dapat dilakukan melalui cara-cara sebagai berikut[4] :
a)      Penyelesaian damai oleh para pihak yang bersengketa tanpa melibatkan pengadilan atau pihak ketiga yang netral. 
b)      Penyelesaian melalui pengadilan.
c)      Penyelesaian di luar pengadilan melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen
Pada prinsipnya setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum. Apabila telah dipilih upaya penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan, maka gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya tersebut dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu pihak atau oleh pihak yang bersengketa.
2.      Penyelesaian Sengketa Melalui BPSK
Tata cara penyelesaian sengketa BPSK diatur dalam UUPK jo Kepmenperindag No.350/MPP/12/2001 tentang pelaksanaan Tugas dan Wewenang. Proses penyelesaiannya pun diatur sangat sederhana dan sejauh mungkin dihindari suasana formal. Mengajukan gugatan ke BPSK, dapat dilakukan sendiri atau kuasanya atau ahli warsinya, secara tertulis kesekretarian BPSK, sekretariat akan memberikan tanda terima, bila permohonan diajukan secara lisan maka sekretariat akan mencatat permohonan tersebut dalam sebuah formulis yang disediakan secara khusus dan dibubuhi tanggal dan nomot registrasi.
Catatan yang penting, permohonan harus lengkap, karena jika tidak ketua BPSK akan menolak permohonan tersebut. Pemanggilan pelaku usaha, dibuat surat panggilan yang memuat hari,tanggal, jam dan tempat persidangan serta kewajibannya untuk memberikan jawaban terhadap penyelesaian sengketa konsumen untuk diajukan pada persidangan pertama. Jika pada hari pertama pelaku usaha tidak hadir tidak memenuhi panggilan, pelaku usaha dapat dipanggil sekali lagi, jika tetap tidak hadir maka BPSK dapat meminta bantuan penyiidik untuk menghadirkan pelaku usaha tersebut.Jika pelaku usaha hadir, maka konsumen memilih cara penyelesaian sengketeanya yang harus disetujui oleh pelaku usaha, yakni yang bisa dipilih adalah konsiliasi, mediasi dan  arbitrasi. Jika yang dipilih para pihak adalah konsiliasi atau mediasi, maka ketua BPSK segera menunjuk majelis sesuai ketentuan untuk ditetapkan sebagai konsiliator atau mediator. Jika yang dilipilih adalah arbitrasi,maka prosedurnya adalah para pihak memilih atbiter ketiga dari anggota BPSK yang berasal dariunsur pemerintah sebagai ketua majelis[5]
Persidangan dilaksanakan selambat-lambatnya hari kerja ke-7terhitung sejak diterimanya permohonan.Tahap persidangan ini meliputi tiga hal, yakni persidangan secara konsiliasi, mediasi atau arbitrasitergantung dari cara yang dipilih oleh yang bersengketa. Persidangan dengan cara konsiliasi. konsiliasi adalah proses penyelesaian sengketa diantara para pihak dengan melibatkan pihak ketiga yang netral dan tidak memihak, pihak ini disebut konsiliator.
Konsiliator hanya melakukan tindakan seperti mengatur waktu dan tempat pertemuan para pihak, mengarahkan subjek pembicaraan, membawa pesan dari satu pihak ke pihak lain jika pesan tersebut tidak mungkin disampaikan langsung oleh para pihak. Penyelesaian sengketa model ini mengacu pada konsensus antara pihak, dimana pihak netral dapat berperan secara aktif maupun tidak aktif.
Konsiliator dapat mengusulkan pendapatnya, namun tidak berwenang memutus perkaranya. Penyelesaian sengketa konsumen melalui konsiliator ini dilakukan sendiri oleh pihak yang bersengketa dengan didampingi majelis BPSK yang bertindak pasif sebagai konsiliator. Majelis menyerahkan sepenuhnya proses penyelesaian sengketa kepada para pihak, baik mengenai bentuk maupun jumlah kerugian. Hasil musyawarah yang merupakan kesepakatan anta konsumen dan pelaku usaha yang bersengketa selanjutnya dibuat dalam bentuk perjanjian tertulis yang ditandatangani oleh para pihak yang bersengketa dan diserahkan kepada majelis untuk dituangkan dalam keputusan majelis BPSK yang menguatkan perjanjian tersebut.
Selain dengan cara konsiliasi, persidangan dengan cara mediasi merupakan proses negosiasi penyelesaian sengketa atau pemecahan masalah dimana pihak-pihak ketiga yang tidak memihak bekerjasama dengan para pihak yang bersengketa membantu memperoleh kesepakatan perjanjian yang memuaskan, pihak ini disebut mediator. Mediator tidak mempunyai wewenang untuk memutuskan sengketa, melainkan hanya membantu para pihak untuk menyelesaikan persoalanpersoalan yang diserahkan kepadanya.
Kesepakatan dapat terjadi dengan mediasi, jika para pihak yang bersengketa berhasil mencapai saling pengertian dan bersama-sama merumuskan penyelesaian sengketa dengan arahan konkret dari mediator. Mediator menyerahkan sepenuhnya proses penyelesaian sengketa kepada para pihak, baik mengenai bentuk maupun besarnya ganti kerugian atau tindakan tertentu untuk menjamin tidak terulangnya kembali kerugian konsumen. Hasil musyawarah merupakan kesepakatan antara konsumen dengan pelaku usaha. Selanjutnya dibuat dalam bentuk perjanjian, ditandatangani oleh para pihak dan diserahkan kepada majelis BPSK untuk dikukuhkan dalam keputusan majelis BPSK untuk menguatkan perjanjian tersebut.
Putusan tersebut mengikat kedua belah pihak dana mediasi tidak memuat sanksi administratif. Persidangan dengan cara arbitrase menurut UU No. 30 tahun 1999 tentang arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar pengadilan, yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Arbitrase ini adalah bentuk alternatif paling formal untuk menyelesaikan sengketa sebelum bertlitigasi. Pada proses ini pihak yang bersengketa mengemukakan masalah mereka kepada pihak ketiga yang netral dan memberinya wewenang untuk memberi keputusan.


3.      Penyelesaian Sengketa Melalui Pengadilan
Menurut Pasal 48 Undang-undang Nomor 1999 tentang perlindungan  konsumen, penyelesaian sengketa konsumen melalui pengadilan mengacu pada ketentuan tentang peradilan umum. Ini berarti hukum acara yang dipakai dalam tata  cara persidangan dan pemeriksaan perkara adalah berdasarkan Herzine Inland Regeling (HIR) atau Rechtsreglemen Buitengewesten (RBg), yang mana keduanya pada dasar tidak mempunyai perbedaan yang mendasar (prinsipil).[6]
Pengajuan gugatan dalam hukum acara perdata yang berlaku di Indonesia, di kenal asas Hakim bersifat menunggu atau pasif. Artinya bahwa inisiatif berperkara datang dari pihak-pihak yang berkepentingan. Dimana hal tersebut diatur dalam Pasal 1865 KUH Perdata, yaitu setiap orang yang mendalilkan bahwa ia mempunyai sesuatu hak atau guna meneguhkan haknya sendiri maupun membantah suatu hak orang lain, menunjuk pada suatu peristiwa, diwajibkan membuktikan adanya hak atau peristiwa tersebut. Kemudian dapat di lihat bahwa dalam rumusan pasal 1865 KUH Perdata tersebut mengandung beberapa makna, yang mana makna tersebut terdiri dari.[7]
a)      Seseorang dapat mengajukan suatu peristiwa, dalam hal ini wanprestasi atau perbuatan melawan hukum, untuk menunjukkan haknya.
b)      Peristiwa yang diajukan itu harus dibuktikan.
Berdasarkan hal tersebut di atas, bahwa di dalam persidangan perdata para pihak yang merasakan atau mendapatkan kerugian yang ditimbulkan dari akibat adanya hubungan hukum, berhak mengajukan penuntutan di depan persidangan dengan memberikan bukti-bukti yang berhubugan dengan persoalan yang terjadi. Hal ini berbeda dengan ketentuan yang terdapat di dalam Udang perlindungan konsumen. Di mana tepatnya di dalam pasal 46 UUPK No 8 Tahun 1999, menyebutkan bahwa :
a)      Seseorang konsumen yang dirugikan atau ahli waris yang bersangkutan;
b)      Sekelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama;
c)      Lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi syarat, yaitu berbentuk badan hukum atau yayasan, yang dalam anggaran dasarnya menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan didirikannya organisasi tersebut adalah untuk kepentingan perlindungan konsumen dan telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya;
d)     Pemerintah dan atau instansi terkait apabila barang dan atau jasa yang dikonsumsi atau dimanfaatkan mengakibatkan kerugian materi yang besar dan/atau korban yang tidak sedikit

Gugatan yang diajukan oleh sekelompok konsumen, lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat, atau pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, atau huruf d diajukan kepada peradilan umum.  Ketentuan lebih lanjut menegenai kerugian materi yang besar dan/atau korban yang tidak sedikit sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) huruf d diatur dengan peraturan pemerintah. Oleh karena itu, berdasarkan ketentuan di atas, yang dapat mengajukan gugatan dalam ketentuan Undang-undang Perlindungan Konsumen adalah setiap konsumen yang dirugikan, ahli warisnya, baik berupa perseorangan maupun kelompok, lembaga Konsumen Swadaya Masyarakat dan pemerintah.
B.     Tanggung Jawab Pelaku Usaha terhadap pelaku konsumen
1.      Melanjutkan atau Membatalkan Perjanjian

Tanggung jawab menurut kamus bahasa indonesia adalah, keadaan wajib menaggung segala sesuatunya. Sehingga bertanggung jawab menurut kamus umum bahasa indonesia adalah berkewajiban menanggung,memikul, menanggung segala sesuatunya, dan menanggung akibatnya. Tanggung jawab adalah kesadaran manusia akan tingkah laku atau perbuatannya yang disengaja maupun yang tidak di sengaja. Tanggung jawab juga berarti berbuat sebagai perwujudan kesadarankan kewajiban[8]. Tanggung jawab itu bersifat kodrati, artinya sudah menjadi bagian hidup manusia, bahwa setiap manusia di bebani dengan tanggung jawab, apabila dikaji tanggung jawab itu adalah kewajiban yang harus di pikul sebagai akibat dari perbuatan pihak yang berbuat. Tanggung jawab adalah ciri manusia yang beradab, manusia merasa bertanggung jawab karena ia menyadari akibat baik atau buruk perbuatannya itu, dan menyadari pula bahwa pihak lain memerlukan pengadilan atau pengorbanan.
Teori hukum Hans kelsen Suatu konsep yang terkait dengan konsep kewajiban hukum adalah konsep tanggungjawab hukum (liability). Seseorang yang bertanggungjawab secara hukum atas perbuatan tertentu bahwa dia dapat dikenakan suatu sanksi dalam kasus perbuatannya bertentangan/ berlawanan hukum. Sanksi dikenakan karena perbuatannya sendiri yang membuat orang tersebut bertanggungjawab. Tanggung jawab pada perjanjian dapat berupa membatalkan/melanjutkan perjanjian dan ganti kerugian.
Pengertian pembatalan di sini bukanlah pembatalan karena tidak memenuhi syarat subyektif dalam perjanjian, tetapi karena debitur telah melakukan wanprestasi. Jadi, pembatalan yang dimaksudkan adalah pembatalan sebagai salah satu kemungkinan yang dapat dituntut kreditur terhadap debitur yang telah melakukan wanprestasi. Selain dapat mengajukan tuntutan pembatalan, kreditur dapat pula mengajukan tuntutan yang lain yaitu pembatalan perjanjian dan ganti kerugian, ganti kerugian saja, pemenuhan perikatan atau pemenuhan perikatan dan ganti kerugian. Namun, perlu juga dikemukakan di sini bahwa sementara ahli ada yang menyebut dengan istilah pemutusan perjanjian untuk maksud yang sama dengan pembatalan perjanjian.
Syarat batal dianggap selalu dicantumkan dalam perjanjian-perjanjian yang bertimbal-balik, manakala salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya. Dalam hal yang demikian perjanjian tidak batal demi hukum, tetapi pembatalan harus dimintakan kepada hakim. Permintaan ini juga harus dilakukan, meskipun syarat batal mengenai tidak dipenuhinya kewajiban dinyatakan di dalam perjanjian. Jika syarat batal tidak dinyatakan dalam perjanjian, hakim adalah leluasa untuk menurut keadaan, atas permintaan si tergugat, memberikan suatu jangka waktu untuk masih . juga memenuhi kewajibannya, jangka waktu mana, namun itu tidak boleh lebih dari satu bulan.
Perumusan Pasal 1266 BW di atas ini ternyata mengandung berbagai macam kontradiktif dan menimbulkan kesan sedemikian rupa, seakan-akan perjanjian batal dengan sendirinya kniena hukum begitu debitur melakukan wanprestasi, padahal pembatalan perjanjian tersebut harus dimintakan hakim. Selain itu, juga menimbulkan kesan seakan akan debitur juga berhak menuntut pembatalan perjanjian, padahal menurut Pasal 1266 BW itu yang berhak menuntut pembatalan perjanjian hanyalah kreditur.

2.      Ganti Kerugian
Dalam penerapan ketentuan yang berada dalam lingkungan hukum privat tersebut, terdapat perbedaan esensial antara tuntutan ganti kerugian yang didasarkan pada wanprestasi dengan tuntutan ganti kerugian yang didasarkan pada perbuatan melanggar hukum. Apabila tuntutan ganti kerugian didasarkan pada wanprestasi, maka terlebih dahulu tergugat dengan penggugat (produsen dengan konsumen) terikat suatu perjanjian. Dengan demikian, pihak ketiga (bukan sebagai pihak dalam perjanjian) yang dirugikan tidak dapat menuntut ganti kerugian dengan alasan wanprestasi[9].
Ganti kerugian yang diperoleh karena adanya wanprestasi merupakan akibat  tidak dipenuhinya kewajiban utama atau kewajiban sampingan (kewajiban atas prestasi atau kewajiban jaminan/garansi) dalam perjanjian. Bentuk-bentuk wanprestasi dapat berupa :
a)      Debitur tidak memenuhi prestasi sama sekali;
b)      Debitur terlambat dalam memenuhi prestasi;
c)      Debitur berprestasi tidak sebagaimana mestinya

Terjadinya wanprestasi pihak debitur dalam suatu perjanjian, membawa akibat yang tidak mengenakkan bagi debitur karena debitur harus :
a)      Mengganti kerugian;
b)      Benda yang menjadi objek perikatan sejak terjadinya wanprestasi menjadi tanggung gugat debitur;
c)      Jika perikatan itu timbul dari perikatan timbal balik, kreditur dapat minta pembatalan/ pemutusan perjanjian.
Sedangkan untuk menghindari terjadinya kerugian bagi kreditur karena terjadinya wanprestasi, maka kreditur dapat menuntut salah satu dari lima kemungkinan :
a)      Pembatalan (pemutusan) perjanjian;
b)      Pemenuhan perjanjian;
c)      Pembayaran ganti kerugian;
d)     Pembatalan perjanjian disertai ganti kerugian;
e)      Pemenuhan perjanjain disertai ganti kerugian.

Dalam tanggung gugat berdasarkan adanya wanprestasi kewajiban untuk membayar ganti kerugian tidak lain daripada akibat penerapan ketentuan dalam perjanjian, yang merupakan ketentuan hukum yang oleh kedua pihak secara suka rela tunduk berdasarkan perjanjiannya. Dengan demikian, bukan undang-undang yang menuntut apakah harus dibayar ganti kerugian atau berapa besar ganti kerugian yang harus dibayar melainkan kedua belah pihak yang menentukan syarat-syaratnya serta besarnya ganti kerugian yang harus dibayar.
Disamping ketentuan yang terdapat dalam perjanjian yang dibuat oleh para pihak, ketentuan ganti kerugian yang bersumber dari hukum pelengkap juga harus mendapat perhatian, seperti ketentuan tentang wanprestasi dan cacat tersembunyi serta ketentuan lainnya. Ketentuan-ketentuan ini melengkapi ketentuan yang telah disepakati oleh kedua belah pihak, dan ketentuan ini hanya dapat dikesampingkan jika para pihak menjanjikan lain.
Dengan mengkaji pasal demi pasal dalam UUPK, tampak bahwa beberapa ketentuan yang tertera dalam UU tersebut sesuai dengan nilai-nilai etika bisnis, walaupun dengan redaksi yang berbeda akan tetapi substansi dan tujuannya adalah sama yaitu untuk melindungi konsumen. Hal ini dapat terlihat dari aturan-aturan mengenai keharusan beritikad baik dalam melakukan usaha (pasal 7 huruf a ), jujur (pasal 7 huruf b), jujur dalam takaran atau timbangan (pasal 8 ayat (1), huruf a, b, c, d, e), menjual barang yang baik mutunya (pasal 8 ayat (2, 3, 4), larangan menyembunyikan barang yang cacat (pasal 8) dan lain sebagainya. 19 Itikad baik dalam bisnis merupakan hakekat dari bisnis itu sendiri. Itikad baik akan menimbulkan hubungan baik dalam usaha.[10]
Dengan itikad baik pelaku usaha tidak akan melakukan usaha yang merugikan pihak lain. Dalam Islam itikad baik diwujudkan dalam dua bentuk yaitu itikad baik menuntut seseorang berbuat baik kepada orang lain, dan menuntut agar tidak berbuat jahat/ merugikan orang lain. Sebagaimana firman Allah dalam al-Qur’an : an nisa 29 :
Terjemahnya:
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu[11].

Ayat ini menerangkan hukum transaksi secara umum, lebih khusus kepada transaksi perdagangan, bisnis jual beli. Sebelumnya telah diterangkan transaksi muamalah yang berhubungan dengan harta, seperti harta anak yatim, mahar, dan sebagainya. Dalam ayat ini Allah mengharamkan orang beriman untuk memakan, memanfaatkan, menggunakan, (dan segala bentuk transaksi lainnya) harta orang lain dengan jalan yang batil, yaitu yang tidak dibenarkan oleh syari’at. Kita boleh melakukan transaksi terhadap harta orang lain dengan jalan perdagangan dengan asas saling ridha, saling ikhlas. Dan dalam ayat ini Allah juga melarang untuk bunuh diri, baik membunuh diri sendiri maupun saling membunuh.
Konsumen menjadi obyek aktifitas bisnis untuk mendapat keuntungan sebesar-besarnya. Perlu upaya pemberdayaan konsumen melalui pembentukan Undang-Undang yang dapat melindungi kepentingan konsumen secara integratif dan komprehensif serta dapat diterapkan secara efektif. Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen ini mengacu pada filosofi pembangunan nasional, bahwa pembangunan nasional termasuk pembangunan hukum yang memberikan perlindungan terhadap konsumen adalah dalam rangka membangun manusia Indonesia seutuhnya yang berlandaskan pada falsafah kenegaraan Republik Indonesia yaitu dasar negara Pancasila dan konstitusi negara Undang-undang Dasar 1945.
Penyusunan UU No 8 Tahun 1999 dilatarbelakangi oleh pemikiran untuk meningkatkan harkat dan martabat konsumen dengan meningkatkan kesadaran, pengetahuan, kepedulian, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi dirinya serta menumbuhkembangkan sikap pelaku usaha yang bertanggung jawab.
Berdasarkan pemikiran tersebut diperlukan perangkat peraturan perundangundangan untuk mewujudkan keseimbangan perlindungan kepentingan konsumen dan pelaku usaha sehingga tercipta perekonomian yang sehat. Berdasarkan pasal 1365 KUHPer : “Tiap perbuatan melanggar hukum, yang menimbulkan kerugian bagi orang lain mewajibkan orang yang karena kesalahannya mengakibatkan kerugian itu, mengganti kerugian.” Pasal ini memberi perlindungan kepada seseorang terhadap perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad) orang lain.
Unsur penting dalam pasal ini ialah perbuatan melawan hukum yang pada zaman dulu ditafsirkan secara sempit, yaitu perbuatan yang bertentangan dengan UU atau Peraturan Perundangan. Tetapi kemudian H.M.N. Purwosutjipto memberikan tafsiran lebih luas yakni perbuatan yang bertentangan dengan atau melanggar :
a)      Hukum atau Peraturan Perundangan.
b)      Hak orang lain.
c)      Wajib hukumnya sendiri (si pembuat).
d)     Keadilan dan kesusilaan
e)      Kepatutan yang layak diindahkan dalam pergaulan masyarakat terhadap, orang atau barang.
Berdasarkan KUHPer tersebut kedudukan konsumen sangat lemah dibanding produsen. Salah satu usaha untuk melindungi dan meningkatkan kedudukan konsumen adalah dengan menerapkan prinsip tanggung jawab mutlak dalam hukum tentang tanggung jawab produsen. Dengan diberlakukannya prinsip tanggung jawab mutlak diharapkan pula para produsen menyadari betapa pentingnya menjaga kualitas produk yang dihasilkan, para produsen akan lebih berhati-hati dalam memproduksi barang.
Demikian juga bila kesadaran para produsen terhadap hukum tentang tanggung jawab produsen tidak ada, dikhawatirkan akan berakibat tidak baik terhadap perkembangan dunia industri nasional maupun terhadap daya saing produk nasional di luar negeri. Namun demikian, dengan memberlakukan prinsip tanggung jawab mutlak dalam hukum tentang product liability tidak berarti pihak produsen tidak mendapat perlindungan, pihak produsen masih diberi kesempatan untuk membebaskan dari tanggung jawabnya dalam hal-hal tertentu yang dinyatakan dalam undang-undang.
Dengan penerapan tanggung jawab mutlak produk ini, pelaku usaha pembuat  produk atau yang dipersamakan dengannya, dianggap bersalah atas terjadinya kerugian pada konsumen pemakai produk itu, kecuali apabila ia dapat membuktikan keadaan sebaiknya, yaitu bahwa kerugian yang terjadi tidak dapat dipersalahkan kepadanya. Tanggung jawab produk, tanpa kesalahan, merupakan doktrin hukum ang masih baru dan merupakan perluasan dari tanggung jawab perbuatan melawan hukum. Kriteria perbuatan melawan hukum adalah
a)      Pelanggaran hak-hak. Hukum mengakui hak-hak tertentu baik mengenai hak-hak pribadi maupun hak-hak kebendaan dan akan melindunginya dengan memaksa pihak yang melanggar itu supaya membayar ganti rugi kepada pihak yang dilanggar haknya.
b)      Unsur kesalahan. Pertanggungjawaban pada kesalahan perdata memerlukan unsur kesalahan atau kesengajaan pada pihak yang melakukan pelanggaran.
c)      Kerugian yang diderita oleh penggugat. Suatu unsur yang esensial dari kebanyakan kesalahan
d)     perdata adalah bahwa penggugat harus
e)      Sudah menderita kerugian fisik atau finansial sebagai akibat dari perbuatan tergugat.
Sesuai dengan hukum positif yang berlaku di Indonesia, seorang konsumen bila dirugikan dalam mengkonsumsi barang atau jasa, dapat menggugat pihak yang menimbulkan kerugian itu. Dengan kualifikasi gugatan wanprestasi atau perbuatan melawan hukum. Karena kerugian yang dialami konsumen, tidak lain karena tidak dilaksanakannya prestasi oleh pengusaha.Penuntutan karena wanprestasi dan karena onrechtmatige daad (perbuatan melawan hukum) pelaksanaannya berbeda yakni
Dalam aksi karena onrechtmatige da  ad maka si penuntut harus membuktikan semua unsur-unsur yakni antara lain bahwa ia harus membuktikan adanya kesalahan pada si pelaku. Dalam aksi karena wanpresptasi maka si penuntut umum menunjukkan adanya wanprestasi, sedang pembuktian bahwa tentang tidak adanya wanprestasi dibebankan pada si pelaku. Tuntutan pengembalian pada keadaan semula hanyalah dapat dilakukan bilamana terjadi tuntutan karena onrechtmatige daad, sedang dalam tuntutan wanprestasi tidak dapat dituntut pengembalian pada keadaan semula. Bilamana terdapat beberapa debitur yang bertanggung gugat, maka dalam hal terjadi tuntutan ganti kerugian karena onrechtmatige daad, masingmasing debitur tersebut bertanggung gugat untuk keseluruhan ganti kerugian tersebut. Kalau tuntutannya didasarkan pada wanprestasi maka penghukuman masing-masing untuk keseluruhannya hanyalah mungkin bilamana sifat tanggung rentengnya dicantumkan dalam kontraknya atau bilamana prestasinya tidak dapat dibagi-bagi.
Dengan kualifikasi gugatan ini, konsumen sebagai penggugat harus membuktikan unsur-unsur :
a)      Adanya perbuatan melawan hukum. Perbuatan barulah merupakan perbuatan melawan hukum apabila : bertentangan dengan hak orang lain, bertentangan dengan kewajiban hukumnya sendiri, bertentangan dengan kesusilaan yang baik, bertentangan dengan keharusan yang harus diindahkan dalam pergaulan  masyarakat mengenai orang lain atau barang.
b)      Adanya kesalahan/ kelalaian pengusaha/ perusahaan. Dikatakan ada kelalaian apabila timbulnya kerugian bagi seseorang atau barang milik orang lain disebabkan karena kurang hati-hatinya melakukan suatu perbuatan, atau mengurus sesuatu sebagaimana dikehendaki oleh hukum. Untuk berhasilnya suatu gugatan berdasarkan kelalaian, penggugat harus membuktikan tiga unsur penting yaitu : pertama, bahwa tergugat dibebankan kewajiban berhati-hati dalam melakukan kewajiban hukumnya, kedua, kewajiban hukum itu dilanggar, ketiga, bahwa akibat pelanggaran itu timbul kerugian.
c)      Adanya kerugian yang dialami konsumen. Penggugat harus membuktikan bahwa ia menderita kerugian sebagai akibat dari pelanggaran kewajiban berhati-hati oleh tergugat. Dalam kerugian itu dapat termasuk kerugian terhadap harta benda, kerugian pribadi dan dalam beberapa hal kerugian uang. 
d)     Adanya hubungan kausal antara perbuatan melawan hukum dengan kerugian yang dialami konsumen. Apabila tanggung jawab dalam kesalahan perdata tergantung pada kerugian, penggugat harus membuktikan bahwa kerugiannya secara sah disebabkan oleh perbuatan tergugat.:
Konsekuensinya, jika pelaku usaha gagal membuktikan tidak adanya unsur kesalahan, maka gugatan ganti rugi penggugat akan dikabulkan dalam hal memiliki alasan yang sah menurut hukum. Dalam hal yang demikian, selama pelaku usaha tidak dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut bukan merupakan kesalahan yang terletak pada pihaknya, maka demi hukum pelaku usaha bertanggung jawab dan wajib mengganti kerugian yang diderita tersebut[12]. Jika pelaku usaha menolak dan/  atau tidak memberi tanggapan dan/ atau tidak memenuhi ganti rugi atas tuntutan konsumen maka menurut pasal 23 UUPK dapat digugat melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen.
BAB IV
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Aturan hukum tentang penyelesain sengketa konsumen adalah memberikan perlindungan hukum terhadap konsumen melalui BPSK dan pengadilan Negeri. BPSK dijadikan pertimbangan oleh hakim pengadilan Negeri. Namun putusan BPSK tersebut tidak dijadikan dasar pertimbangan hakim.
Tanggung jawab terhadap konsumen jika wanprestasi dapat dilakukan dengan melanjutkan/membatalkan perjanjian dan mengganti kerugian yang ditimbulkan akibat wanprestasi tersebut.

B.     Saran
Untuk melindungi konsumen, khususnya terhadap wanprestasi pelaku usaha, banyak aspek yang terkait didalamnya, baik dari segi peraturan atau implementasi  yang harus diperhatikan antara lain:
a.       Dalam undang-undang perlindungan konsumen, belum adanya pasal yang lebih spesifik membahas mengenai sistem tanggung jawab pelaku usaha, karena jenis dan tanggung jawab pelaku usaha terdiri dari berbagai jenis.
b.      Dengan seiring berkembangnya perubahan zaman, Undang-Undang Perlindungan Konsumen sebaiknya mengikuti perubahan yang ada. Pada pemerintahan sebagai regulator diharapkan dapat membuat peraturan-peraturan/kebijakan yang berkaitan dengan perlindungan konsumen, dalam praktiknya masih belum banyak terdapat peraturan pemetintah yang menjaditurunan dari Undang-Undang Perlindungan Konsumen




[1] Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik IndonesiaNo.
350/Mpp/Kep/12/2001 Tahun 2001tentangPelaksanaan Tugas dan Wewenang Badan Penyelesaian
Sengketa Konsumen
[2] Az Nasution, Konsumen dan Hukum, Jakarta : Pustaka Sinar Harapan,2004
[3] Celina Tri Siwi Kristianti, Hukum Perlindungan Konsumen . Jakarta : Sinar
Grafika, 2011
[4] Yusuf Shofie, Perlindungan Konsumen dan Instrumen-Instrumen Hukumnya, Bandung : PT
Citra Aditya Bakti, 2000, h. 239 -240.
[5] Yusuf shofie. Penyelesaian Sengketa Konsumen menurut UUPK, Teori dan Peraktek Penegakan Hukum. Cet ke-1 (PT  Citra Aditya Bakti, 2003) hal-37
[6] Sudikno Martolusuma, Hukum Acara Perdata Indonesia. (Liberty yogyakarta, , 1988) h 35
[7] Redaksi Aksara, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Yogyakarta : Redaksi Aksara
sukses, 2013, h 470
[8] Departemen Pendidikan Nasional Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka 2010, h 165
[9] Celina Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta : 2017, PT Sinar Grafika,
[10] Neni Sri Imaniyati ,Hukum Ekonomi dan Ekonomi Islam dalam Perkembangan, Bandung :
Mandar Maju, 2002, h. 177.
[11] Kementrian agama RI. Al-Qur’an Terjemah dan Tajwid. Jawa Barat. Sygma creative media
corp. 2014, h. 60
[12] Gunawan Wijaya dan Ahmad Yani, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen, Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama, 2000, h. 69 



No comments:

Post a Comment