1

loading...

Thursday, November 1, 2018

MAKALAH PEMERINTAHAN TURKI UTSMANI


MAKALAH  PEMERINTAHAN TURKI UTSMANI
BAB II
PEMBAHASAN

A.    PEMERINTAHAN TURKI UTSMANI
Keberhasilan ekspansi bangsa Turki selain strategi dalam bidang kemiliteran tersebut tidak terlepas dengan bidang pemerintahannya sehingga tercipta jaringan pemerintahan yang teratur, strategi yang dilakukan Turki adalah:
Dalam mengelola wilayah yang luas sultan-sultan Turki Usmani senantiasa bertindak tegas.[1] Dalam struktur pemerintahan, sultan sebagai penguasa tertinggi, dibantu oleh shadr al-a’zham (perdana menteri), yang membawahi pasya (gubernur). Gubernur mengepalai daerah tingkat I. Dibawahnya terdapat beberapa orang al-zanaziq atau al-‘alawiyah (bupati). Pada masa Muhammad II dibentuklah sebuah divisi fungsional diantar jabatan perdana menteri, tokoh-tokoh agama, jabatan administrasi keuangan Negara, dan beberapa keluarga Turki dipulihkan martabatnya dan diperkenankan menjadi property mereka.
Dimasa Sultan Sulaiman I disusun sebuah kitab undang-undang (qanun). kitab tersebut diberi nama Multaqa al-Abhur, yang menjadi pegangan hukum bagi kerajaan Turki Usmani sampai datangnya reformasi pada abad ke-19. Karena jasa Sultan Sulaiman I yang amat berharga ini, di ujung namanya ditambah gelar al-Qanuni.
Sultan, pasukan Jannesari dan tarekat-tarekat bekerja sama. hal ini terlihat pada Tarekat Bektasyi (Bektasia) yang memiliki banyak pengikut dari kalangan Janissari, tarekat Maulawi (Molevis) didukung oleh para sultan untuk menghadang ancaman mereka dari kerjasama Jannisari-Bektasy.[2] Muhammad II berusaha mendukung dewan kependetaan mereka Yunani ortodoks dengan mengakui hak sipil mereka sebagai hak otoritas keagamaan atas jama’ah gereja. Memusatkan kontrol pemerintahan dengan memberlakukan pemeriksaan pajak dan menggabungkan beberapa teritori budak yang merdeka ke dalam sistem timar, dan memberlakukan kitab-kitab hukum secara sistematis yang memuat organisasi negara dan kewajiban warga Negara.
Sultan Usmani menggabungkan dimensi patrimonial Islam dan dimensi imperial. Negara merupakan rumah tangganya, rakyat merupakan pembantu pribadinya. Tentara merupakan budaknya yang secara pribadi harus setia kepadanya. Teritorial Imperium merupakan properti pribadinya, bahkan sebagian diberikan kelompok penguasa dalam bentuk iqta’. Pengalihan hak atas pendapatan Negara dalam bentuk apapun tidaklah dipandang sebagai penyimpangan atas kepemilikan absolute sang sultan.
Salah satu konsep yang diterapkan oleh Usmani adalah perbedaan antara askeri dan re’aya yaitu antara kalangan elit penguasa dan yang dikuasai, elit pemerintah dan warga Negara, antar tentara dan pedagang, antara petugas pemungut pajak dan pembayar pajak. seseorang dapat menjadi elit Usmani melalui kelahiran (keturunan) atau melalui pendidikan sekolah-sekolah kerajaan, kemiliteran atau pendidoikan sekolah keagamaan.
Masyarakat awam muslim merupakan sebuah warga atau penduduk awam, diorganisasikan dalam sebuah cara yang sejenis. Pihak Usmani dengan tegas mem,bawanya dibawah pengendalian Negara. Hal ini   dikarenakan untuk memperluas dukungan terhadap elit ulama dan sufi. Dukungan Usmani ini mengantarkan pada pengorganisasian sebuah sistem pendidikan madrasah yang tersebut luas.
Dalam menjalankan pemerintahan, pemimpin Turki Usmani menggunakan dua gelar sekaligus, yaitu Khalifah dan Sultan. Sultan bergerak dalam bidang atau urusan duniawi, sedangkan Khalifah berkuasa dibidang agama dan spiritual. Dalam menjalankan roda pemerintahan Sultan atau Khalifah dibantu oleh seorang mufti atau Syaikh Al-Alawiyah yang mempunyai wewenang untuk mewakili pemimpin Turki Usmani dalam melaksanakan wewenang spiritual. Dan Sadr Al-A’zam atau perdana menteri yang membantu tugas Sultan dalam menguruh hal duniawi.
Sebagai berikut adalah struktur pemerintahan negara kekhilafahan Turki Utsmany[3]:
1.     Khalifah.
2.     Para Mu'awin (Wuzrat at-Tafwidh), yakni para pembantu Khalifah dalam bidang pemerintahan.
3.     Wuzarat at-Tanfidz, yakni para pembantu Khalifah dalam bidang administrasi.
4.     Para Wali (Gubernur).
5.     Amirul Jihad.
6.     Departeman Keamanan Dalam Negeri.
7.     Departemen Luar Negeri.
8.     Departemen Industri.
9.     Peradilan.
10.  Departemen-Departemen Negara untuk Pelayanan Masyarakat).
11.  Baitul Mal (Kas Negara).
12.  Departemen Penerangan.
13.  Majelis Umat.
Wilayah Turki Usmani dibagi menjadi beberapa propinsi yang masing-masing propinsi dipimpin oleh seorang gubernur yang bergelar Pasha. Seorang gubernur dalam menjalankan pemerintahannya dibantu oleh seorang Zanaqiq atau Al-Alawiyah yaitu seorang bupati. Propinsi-propinsi tersebut adalah :
a.      Iraq, terdiri atas 4 propinsi yaitu : Baghdad, Basra, Mosul, Shahrizur.
b.     Syria, terdiri dari 4 propinsi yaitu : Aleppo, Damaskus, Tripoli, Sudan.
c.      Arab, terdiri dari 2 propinsi yaitu : Hijaz dan Yaman.
d.     Afrika terdiri dari 4 propinsi yaitu : Mesir, Tripoli, Tunis, Aljazair.
Dinasti Usmaniyyah mempertahankan perbatasan Islam dan mengadakan ekspansi, mereka berseteru dengan dinasti Shafawiyyah untuk memperebutkan Anatholia dan Irak. Dinasti Shafawiyyah memproklamirkan Syiah sebagai agama resmi dinasti, sedangkan dinasti Usmaniyyah menganut ajaran Sunni seiring dengan perluasan imperium yang meliputi pula pusat-pusat budaya tinggi Islam perkotaan.[4]
1.     Penaklukkan konstantinapel
Pada tahun 1453 M, bertepatan dengan masa pemeritahan muhammad Al – fatih atau muhammad II, pasukan tentara utsmani berhasil menaklukkan kontantinapel. Kemudian sultan muhammad memasuki konstantinapel dan merubah gerejaaya shopia menjadi masjid Aya sopia. Sesudah penaklukkan konsatantinapel sultan Muhammad al – fatih melakukan penataan hal ikhwal orang – orang yunani (romawi). Dalam penataan tersebut sultan tetap memberi kebebasan pihak gereja seperti yang dilakukan oleh para pendahulunya mengakui sesuia dengan ajaran Islam yang menghormati keyakinan suatu agama.
2.     Penaklukan syiria dan mesir
Perekonomian daulat mamalik di mesir dan disyiria di penghujung abad xv M mengalami kemunduran dikarenakan portugis berhasil menemukan jalan laut tanjung harapan. Dengan demikian terjalinlah hubungan dagang langsung antarA EROPA dengan india eropa tanpa harus melintasi pelabuhan2 mesir dan Arab. Tekanan ekonomi yangmelanda pemerintah mamalik adalah salah satu faktor yang mendorong turki utsmani berambisi untuk menaklukkan mesir dan syiria. t rki utsmani berhasil menaklukkansyiria pada tahun 1516 M dan menaklukkan mesir pada tahun 1517 M.
3.     Penaklukan pada masa Sultan sulaiman di eropa dan di asia
Puncak zaman keemasan turki utsmani terjadi pada masa sultan sulaiman al – qanuni sultan sulaiman agung. Pada masa sultan sulaiman wilayah imperium turki utsmani membentang meliputi wilayah yang sangat luas baik dieropa maupun di di benua asia dan benua afrika. Pada masa sulatan sulaiman, belgrado, dan puau rhodes dapat diduduki (1522 M). Pada tahun 1526 M, perang mohawks yang pertama antara pasukan utsmani dengan pasukan kerajaan hongaria meletus. Pihak utsmani dapat mengalahkan pihak musuh dan rajanya louis terbunuh. Kemudian ketika pangeran translavia dan raja austria berselisih mengenai tahta kerajaan hmgaria,sultan sulaiman membawa pangeran translavia. Selanjutnya iaberhasil menduduki budapest.[5]

B.    Perkembangan Hukum Islam dan Peradilan di Turki Usmani
Perkembangan hukum Islam di Turki dibagi oleh Harun Nasution ke dalam tiga periode besar yaitu periode awal (650-1250), periode pertengahan (1250-1800), dan periode modern (1800 sampai sekarang).[6]
Ø  Pada periode awal
Hukum Islam dilaksanakan secara murni sesuai dengan ajaran Alquran dan Sunnah bahkan cenderung tradisional dan konservatif.
Ø  Pada periode pertengahan
Sudah ada usaha untuk memasukkan hukum Islam ke dalam perundang-undangan negara. Usaha ini dilakukan setelah melihat adanya perbedaan pendapat di kalangan fukaha dan perbedaan putusan di kalangan hakim-hakim dalam memutuskan suatu persoalan yang sama. Usaha tersebut tidak berhasil karena para fukaha tidak ingin memaksakan pendapatnya untuk diikuti dan karena menyadari bahwa ijtihad yang dilakukannya bisa saja salah.
Usaha tersebut baru terwujud setelah munculnya buku Al-Majallah al-Ahkam al-Adliyah pada tahun 1823. Dengan demikian dikeluarkanlah keputusan pemerintah Turki Usmani untuk memakai kitab undang-undang tersebut sebagai pegangan para hakim di pengadilan-pengadilan. Kitab tersebut terdiri dari 185 pasal yang dibagi menjadi 16 bab. Yaitu: 1) Jual beli, 2) Sewa menyewa, 3) Tanggungan, 4) Pemindahan utang atau piutang, 5) Gadai, 6) Titipan, 7) Hibah, 8) Rampasan, 9) Pengampunan, paksaan dan hak beli dengan paksa, 10) Serikat dagang, 11) Perwakilan, 12)  Perdamaian dan pembebasan hak, 13) Pengakuan, 14) Gugatan 15) Pembuktian dan sumpah, 16) Peradilan.[7]  Dengan demikian kitab Undang-Undang ini merupakan kitab Undang-Undang Hukum Perdata Umum (positif) pertama yang diambil dari ketentuan hukum Islam, dan diambil dari mazhab Hanafi sebagai mazhab resmi negara pada waktu itu.
Selain kitab tersebut di atas, dikeluarkan pula Undang-Undang Keluarga (Qanun ‘Ailat) pada tahun 1326, yang dikhususkan untuk masalah-masalah kawin dan putusnya perkawinan.[8] Dalam Undang-Undang ini, banyak ketentuan-ketentuannya yang tidak diambil dari mazhab Hanafi, seperti tidak sahnya perkawinan orang yang dipaksa dan tidak sahnya talaq yang dijatuhkannya.
Keluarnya kedua Undang-Undang tersebut merupakan kodifikasi hukum pertama yang bersumber pada syari’at Islam. dan sebagai langkah pertama untuk meninggalkan taqlid buta dan untuk tidak terikat dengan satu mazhab tertentu, baik dalam bentuk keputusan hakim, maupun dalam pendapat orang biasa.
Pada akhir periode pertengahan mulai muncul pemikiran pembaharuan. Hal ini karena mulai adanya penetrasi Barat (Eropa) terhadap dunia Islam.Namun ide-ide pembaharuan itu mendapat tantangan dari kaum ulama, karena bertentangan dengan faham tradisionalis yang terdapat di kalangan umat Islam. Kaum ulama dalam menentang usaha tersebut menjalin kerjasama dengan Yeniseri.[9]  Hal ini membuat gagalnya usaha pembaharuan pertama di Kerajaan Usmani.
Ø  Pada periode modern terjadi pembaruan besar-besaran di Turki termasuk upaya Turkinisasi Hukum Islam yang dipelopori oleh Mustafa Kemal.
Kerajaan Turki Usmani pada masa awal kekuasaannya tidak menganut salah satu mazhab. Pada fase berikutnya penguasa Turki Usmani mengundangkan Mazhab Hanafi sebagai mazhab resmi dalam hal fatwa dan peradilan.
Perkembangan hukum Islam pada masa Dinasti Usmani, sejak sultan Usman I bin Orthagol (1299 M) hingga meninggalnya Salim I bin Bagazid II (1520 M), belum terkodifikasi dan tersistemasikan dengan sempurna. Oleh sebab itulah pemerintahan Usmani, pada masa Sultan Sulaiman I bin Salim I (1520 M), berupaya untuk melakukan terobosan dalam bidang hukum, yaitu dengan mengkodifikasikannya.[10]
Cikal bakal kodifikasi dan kebangkitan hukum Islam bermula dari kepemimpinan Sulaiman al-Qauni. Keberhasilan ekspedisi dan perkembangan dakwah hingga kedaratan Eropa juga diikuti dengan keinginan untuk menegakkan syariat Islam di wilayah kekuasaannya. Sulaiman al-Qauni berkeinginan untuk menegakkan Syariat Islam di wilayah kekuasaannya. Sulaiman al-Qauni berkeinginan untuk menghimpun hukum Islam serta memebrlakukannya menjadi hukum positif yang berlaku di semua wilayah kekuasaan Turki.
Pada awal abad ke-16 suasana kehidupan beragama di Turki, dipengaruhi oleh ulama-ulama mazhab. Dalam penerapan hukum, rakyat Turki merujuk kepada mazhab Hanafi dan menjadi mazhab resmi negaranya.
Sistem pemerintahan dan sistem administrasi peradilan diselenggarakan berdasarkan syari’at Islam. Unit peradilan umum (peradilan perdata) bekerja sama dengan qadha’, ia disebut juga subashi.
Berdasarkan kedudukan syariat Islam sebagai sumber hukum, sejarah peradilan Turki Usmani dalam garis besarnya dapat dilihat dari dua periode yaitu :
1.     Periode pertama berlangsung sejak masa awal berdirinya kerajaan Turki Usmani sampai lahirnya gerakan Tanzimat (1299-1939 M)
Pada fase pertama ini syar’at Islam dijadikan satu-satunya sumber penetapan hukum di Turki Usmani. Sehubungan dengan basis kekuasaannya terdiri atas pengikut mazhab Hanafi, maka Syari’at Islam yang menjadi pegangan bagi pemerintah dalam menghadapi berbagai masalah peradilan adalah mazhab Hanafi, sehingga para qadhi utama harus ulama yang bermazhab Hanafi.
Kerajaan Turki Usmani memiliki dua bentuk kekuasaan yaitu kekuasaan temporal (duniawi) dan kekuasaan spiritual (rohani). Sebagai penguasa dunia ia disebut Sultan dan sebagai penguasa spiritual ia disebut Khalifah. Dalam pelaksanaan urusan pemerintahan, sultan dibantu oleh Shadr al-Azam, sedangkan untuk urusan keagamaan khalifah dibantu oleh Syaikh al-Islam. Sadrazam sering menggantikan Sultan bila ia berhalangan. Selanjutnya qadhi ditunjuk untuk membantu tugas sultan dalam persoalan peradilan.
Pada masa ini Qadha (peradilan) dibagi menjadi beberapa tingkatan, yaitu :
a.      Mahkamah tingkat terendah ada dua bentuk :
-        Mahkamah al-jaza’ (peradilan pidana), yang bertugas menyelesaikan perkara-perkara pidana.
-        Mahkamah al-huquq, bertugas menyelesaikan masalah al-Syakhsiyat (perkara perdata).
b.     Mahkamah al-Isti’naf (mahkamah tingkat II atau banding), bertugas meneliti masalah-masalah peradilan sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan.
c.      Mahkamah al-Tamyiz atau al-Naqdhu wa al-Ibram, yang bertugas meneliti keputusan yang dibuat oleh mahkamah tingkat II atau banding berdasakan prinsip-prinsip dan prosedur yang ditetapkan.
2.     Masalah Setelah Tanzimat
Tanzimat berasal dari kata Nazhama, yang berarti mengatur, menyusun, dan memperbaiki. Tanzimat atau dalam bahasa Turki dikenal dengan Tanzimat-i Khairiye adalah gerakan pembaharuan di Turki yang diperkenalkan ke dalam sistem birokrasi dan pemerintahan Turki Usmani semenjak pemerintahan Sultan ‘Abd al-Majid (1839-1876), putra Sultan ‘Abd al-Aziz (1861-1876).[11]
Pada periode ini banyak diterbitkan beberapa peraturan yang bertujuan untuk memperlancar proses pembaharuan. Pemabaharuan tersebut dimulai dengan diumumkannya deklarasi Gulkhane, Khatt-i Syerif Gulkhane. Pada tanggal 3 Nopember1839/ 26 Sya’ban 1255. Tanzimat ini ditindaklanjuti oleh Khatt-i Humaqun  yang diumumkan pada 18 Februari 1856. Kata tanzimat sendiri secara resmi telah tercantum dalam dokumen kerajaan pada pemerintahan Sultan Mahmud II. Dan periode tanzimat berakhir pada awal pemerintahan Abd al-Hamid, 1880.[12]
Pada akhir periode Usmani, persoalan peradilan semakin banyak dan sumber hukum tidak hanya syari’at Islam, teteapi memiliki sumber hukum yang berbeda, yaitu :
a.      Mahkamah al-Thawa’if atau Al-Qadha’ al-Milli, yaitu peradilan untuk suatu kelompok (agama), sumber hukumnya agama masing-masing.
b.     Al-Qadha’ al-Qunshuli, yaitu pengadilan untuk warga asing. Sumbernya undang-undang warga asing tersebut.
c.      Qadha’ mahkamah al-Jina’i, sumber hukumnya undang-undang Eropa.
d.     Qadha’ mahkamah al-Huquq, mengadili perkara perdata, sumbernya adalah majalah al-ahkam al-‘Adliyyah.
e.      Majlis al-Syar’i, mengadili perkara kaum Muslimin khususnya masalah keluarga (al-Ahwal al-Syakhsiyyah), sumbernya adalah Fiqh Islam.[13]

Al-Majallat Al-Ahkam Al’Adhliyah
Tindak lanjut dari upaya mengkodifikasi hukum (taqnim)  pada masa Turki Usmani  dilatarbelakangi oleh majunya kebudayaan Islam, pesatnya ilmu pengetahuan yang melahirkan ilmuwan dan imam-imam mazhab (fanatisme mazhab), melemahnya upaya berijtihad, dan stagnan dalam berijtihad. Di samping itu, juga perbedaan dalam menetapkan hukum karena mazhab yang digunakan berbeda, agar tidak terjadi perbedaan status hukum pada permasalahan yang sama di lembaga peradilan.
Pemerintah Turki Usmani memerintahkan untuk membentuk panitia yang bertugas mengumpulkan ketentuan hukum syara’ atas peristiwa-peristiwa yang terjadi yang berkenaan dengan hukum muamalat (perdata), penetapannya berpegang kepada mazhab Hanafi dengan tidak mengabaikan pendapat mazhab-mazhab yang laun sesuai dengan kondisi saat itu. Maka ditunjuklah tujuh ulama fikih untuk membuat undang-undang perdata Islam, yang mengandung ikhtilaf, melihat pendapat yang lebih rajih dan mudah untuk dipelajari.
Ulama merampungkan tugasnya selama tujuh tahun (1869-1876 M) dengan melahirkan peraturan “Majalah al-Ahkam al-Adhiyah). Diundangkan pada 26 Sya’ban 1293 H, dan memerintahkan semua pengadilan di wilayah kekuasaan Turki Usmani untuk melaksanakannya.



[1] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam Dirasat Islamiyah, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), 135
[2] Siti Maryam, Sejarah Peradaban Islam, (Yogyakarta: LESFI, 2004), 133
[3] An-nabhani At-taqiyyudin, 2002, Daulah Islam, Jakarta : HTI Press . hal. 174
[4] Albert Hourani, Sejarah Bangsa-Bangsa Muslim, Mizan, Bandung, 2004, hal. 422-426.
[5]  Syalabi, Ahmad. 1998. Sejarah dan Kebudayaan Islam Imperium Turki Ustmani. Jakarta : Kalam Mulia, hal.98
[6] Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam; Sejarah Pemikiran dan Gerakan (Cet. VIII; Jakarta: Bulan BIntang, 1991), h. 12-13.
[7] Ahmad Hanafi, Pengantar dan Sejarah Hukum Islam (Cet. V; Jakarta: PT. BUlan Bintang, 1989), h. 219.
[8] Ibid., h. 221.
[9] Harun Nasution, op. cit., h. 18
[10] Alaidi Koto, Sejarah Peradilan Islam, (Jakarta : Rajawali Press,2012),hal. 144-145
[11] Syafiq A.Mughni, Sejarah Kebudayaan Islam di Turki, (Jakarta :Logos,1997),hal.125
[12] Syafiq A.Mughni, Sejarah Kebudayaan Islam di Turki...hal.126
[13] Rahmiati, Peradilan Islam, ( Jakarta : Haifa Press,2005), hal.82-83

No comments:

Post a Comment