MAKALAH PEMERINTAHAN TURKI UTSMANI
BAB II
BAB II
PEMBAHASAN
A.
PEMERINTAHAN TURKI UTSMANI
Keberhasilan
ekspansi bangsa Turki selain strategi dalam bidang kemiliteran tersebut tidak
terlepas dengan bidang pemerintahannya sehingga tercipta jaringan pemerintahan
yang teratur, strategi yang dilakukan Turki adalah:
Dalam mengelola
wilayah yang luas sultan-sultan Turki Usmani senantiasa bertindak tegas.[1] Dalam struktur pemerintahan, sultan
sebagai penguasa tertinggi, dibantu oleh shadr al-a’zham (perdana menteri),
yang membawahi pasya (gubernur). Gubernur mengepalai daerah tingkat I.
Dibawahnya terdapat beberapa orang al-zanaziq atau al-‘alawiyah (bupati). Pada
masa Muhammad II dibentuklah sebuah divisi fungsional diantar jabatan perdana
menteri, tokoh-tokoh agama, jabatan administrasi keuangan Negara, dan beberapa
keluarga Turki dipulihkan martabatnya dan diperkenankan menjadi property
mereka.
Dimasa Sultan
Sulaiman I disusun sebuah kitab undang-undang (qanun). kitab tersebut diberi
nama Multaqa al-Abhur, yang menjadi pegangan hukum bagi kerajaan Turki Usmani
sampai datangnya reformasi pada abad ke-19. Karena jasa Sultan Sulaiman I yang
amat berharga ini, di ujung namanya ditambah gelar al-Qanuni.
Sultan, pasukan
Jannesari dan tarekat-tarekat bekerja sama. hal ini terlihat pada Tarekat
Bektasyi (Bektasia) yang memiliki banyak pengikut dari kalangan Janissari,
tarekat Maulawi (Molevis) didukung oleh para sultan untuk menghadang ancaman
mereka dari kerjasama Jannisari-Bektasy.[2] Muhammad II berusaha mendukung dewan
kependetaan mereka Yunani ortodoks dengan mengakui hak sipil mereka sebagai hak
otoritas keagamaan atas jama’ah gereja. Memusatkan kontrol pemerintahan dengan
memberlakukan pemeriksaan pajak dan menggabungkan beberapa teritori budak yang
merdeka ke dalam sistem timar, dan memberlakukan kitab-kitab hukum secara sistematis
yang memuat organisasi negara dan kewajiban warga Negara.
Sultan Usmani
menggabungkan dimensi patrimonial Islam dan dimensi imperial. Negara merupakan
rumah tangganya, rakyat merupakan pembantu pribadinya. Tentara merupakan
budaknya yang secara pribadi harus setia kepadanya. Teritorial Imperium
merupakan properti pribadinya, bahkan sebagian diberikan kelompok penguasa
dalam bentuk iqta’. Pengalihan hak atas pendapatan Negara dalam bentuk apapun
tidaklah dipandang sebagai penyimpangan atas kepemilikan absolute sang sultan.
Salah satu
konsep yang diterapkan oleh Usmani adalah perbedaan antara askeri dan re’aya
yaitu antara kalangan elit penguasa dan yang dikuasai, elit pemerintah dan
warga Negara, antar tentara dan pedagang, antara petugas pemungut pajak dan
pembayar pajak. seseorang dapat menjadi elit Usmani melalui kelahiran
(keturunan) atau melalui pendidikan sekolah-sekolah kerajaan, kemiliteran atau
pendidoikan sekolah keagamaan.
Masyarakat awam
muslim merupakan sebuah warga atau penduduk awam, diorganisasikan dalam sebuah
cara yang sejenis. Pihak Usmani dengan tegas mem,bawanya dibawah pengendalian
Negara. Hal ini dikarenakan untuk memperluas dukungan terhadap elit
ulama dan sufi. Dukungan Usmani ini mengantarkan pada pengorganisasian sebuah
sistem pendidikan madrasah yang tersebut luas.
Dalam
menjalankan pemerintahan, pemimpin Turki Usmani menggunakan dua gelar
sekaligus, yaitu Khalifah dan Sultan. Sultan bergerak dalam bidang atau urusan
duniawi, sedangkan Khalifah berkuasa dibidang agama dan spiritual. Dalam
menjalankan roda pemerintahan Sultan atau Khalifah dibantu oleh seorang mufti
atau Syaikh Al-Alawiyah yang mempunyai wewenang untuk mewakili pemimpin Turki
Usmani dalam melaksanakan wewenang spiritual. Dan Sadr Al-A’zam atau perdana
menteri yang membantu tugas Sultan dalam menguruh hal duniawi.
Sebagai berikut
adalah struktur pemerintahan negara kekhilafahan Turki Utsmany[3]:
1.
Khalifah.
2.
Para
Mu'awin (Wuzrat at-Tafwidh), yakni para pembantu Khalifah dalam bidang
pemerintahan.
3.
Wuzarat
at-Tanfidz, yakni para pembantu Khalifah dalam bidang administrasi.
4.
Para
Wali (Gubernur).
5.
Amirul
Jihad.
6.
Departeman
Keamanan Dalam Negeri.
7.
Departemen
Luar Negeri.
8.
Departemen
Industri.
9.
Peradilan.
10.
Departemen-Departemen
Negara untuk Pelayanan Masyarakat).
11.
Baitul
Mal (Kas Negara).
12.
Departemen
Penerangan.
13.
Majelis
Umat.
Wilayah Turki
Usmani dibagi menjadi beberapa propinsi yang masing-masing propinsi dipimpin
oleh seorang gubernur yang bergelar Pasha. Seorang gubernur dalam menjalankan
pemerintahannya dibantu oleh seorang Zanaqiq atau Al-Alawiyah yaitu seorang
bupati. Propinsi-propinsi tersebut adalah :
a.
Iraq,
terdiri atas 4 propinsi yaitu : Baghdad, Basra, Mosul, Shahrizur.
b.
Syria,
terdiri dari 4 propinsi yaitu : Aleppo, Damaskus, Tripoli, Sudan.
c.
Arab,
terdiri dari 2 propinsi yaitu : Hijaz dan Yaman.
d.
Afrika
terdiri dari 4 propinsi yaitu : Mesir, Tripoli, Tunis, Aljazair.
Dinasti Usmaniyyah mempertahankan perbatasan Islam dan mengadakan
ekspansi, mereka berseteru dengan dinasti Shafawiyyah untuk memperebutkan
Anatholia dan Irak. Dinasti Shafawiyyah memproklamirkan Syiah sebagai agama
resmi dinasti, sedangkan dinasti Usmaniyyah menganut ajaran Sunni seiring
dengan perluasan imperium yang meliputi pula pusat-pusat budaya tinggi Islam
perkotaan.[4]
1.
Penaklukkan
konstantinapel
Pada tahun 1453
M, bertepatan dengan masa pemeritahan muhammad Al – fatih atau muhammad II,
pasukan tentara utsmani berhasil menaklukkan kontantinapel. Kemudian sultan
muhammad memasuki konstantinapel dan merubah gerejaaya shopia menjadi masjid
Aya sopia. Sesudah penaklukkan konsatantinapel sultan Muhammad al – fatih
melakukan penataan hal ikhwal orang – orang yunani (romawi). Dalam penataan
tersebut sultan tetap memberi kebebasan pihak gereja seperti yang dilakukan
oleh para pendahulunya mengakui sesuia dengan ajaran Islam yang menghormati
keyakinan suatu agama.
2.
Penaklukan
syiria dan mesir
Perekonomian
daulat mamalik di mesir dan disyiria di penghujung abad xv M mengalami
kemunduran dikarenakan portugis berhasil menemukan jalan laut tanjung harapan.
Dengan demikian terjalinlah hubungan dagang langsung antarA EROPA dengan india
eropa tanpa harus melintasi pelabuhan2 mesir dan Arab. Tekanan ekonomi
yangmelanda pemerintah mamalik adalah salah satu faktor yang mendorong turki utsmani
berambisi untuk menaklukkan mesir dan syiria. t rki utsmani berhasil
menaklukkansyiria pada tahun 1516 M dan menaklukkan mesir pada tahun 1517 M.
3.
Penaklukan
pada masa Sultan sulaiman di eropa dan di asia
Puncak zaman keemasan turki utsmani
terjadi pada masa sultan sulaiman al – qanuni sultan sulaiman agung. Pada masa
sultan sulaiman wilayah imperium turki utsmani membentang meliputi wilayah yang
sangat luas baik dieropa maupun di di benua asia dan benua afrika. Pada masa
sulatan sulaiman, belgrado, dan puau rhodes dapat diduduki (1522 M). Pada tahun
1526 M, perang mohawks yang pertama antara pasukan utsmani dengan pasukan
kerajaan hongaria meletus. Pihak utsmani dapat mengalahkan pihak musuh dan
rajanya louis terbunuh. Kemudian ketika pangeran translavia dan raja austria
berselisih mengenai tahta kerajaan hmgaria,sultan sulaiman membawa pangeran
translavia. Selanjutnya iaberhasil menduduki budapest.[5]
B.
Perkembangan Hukum Islam dan Peradilan di Turki Usmani
Perkembangan
hukum Islam di Turki dibagi oleh Harun Nasution ke dalam tiga periode besar
yaitu periode awal (650-1250), periode pertengahan (1250-1800), dan periode
modern (1800 sampai sekarang).[6]
Ø Pada periode awal
Hukum Islam dilaksanakan secara murni sesuai dengan ajaran Alquran
dan Sunnah bahkan cenderung tradisional dan konservatif.
Ø Pada periode pertengahan
Sudah ada usaha untuk memasukkan hukum Islam ke dalam
perundang-undangan negara. Usaha ini dilakukan setelah melihat adanya perbedaan
pendapat di kalangan fukaha dan perbedaan putusan di kalangan hakim-hakim dalam
memutuskan suatu persoalan yang sama. Usaha tersebut tidak berhasil karena para
fukaha tidak ingin memaksakan pendapatnya untuk diikuti dan karena menyadari
bahwa ijtihad yang dilakukannya bisa saja salah.
Usaha tersebut baru terwujud setelah munculnya
buku Al-Majallah al-Ahkam al-Adliyah pada tahun 1823. Dengan demikian
dikeluarkanlah keputusan pemerintah Turki Usmani untuk memakai kitab
undang-undang tersebut sebagai pegangan para hakim di pengadilan-pengadilan.
Kitab tersebut terdiri dari 185 pasal yang dibagi menjadi 16 bab. Yaitu: 1)
Jual beli, 2) Sewa menyewa, 3) Tanggungan, 4) Pemindahan utang atau piutang, 5)
Gadai, 6) Titipan, 7) Hibah, 8) Rampasan, 9) Pengampunan, paksaan dan hak beli
dengan paksa, 10) Serikat dagang, 11) Perwakilan, 12) Perdamaian dan
pembebasan hak, 13) Pengakuan, 14) Gugatan 15) Pembuktian dan sumpah, 16)
Peradilan.[7] Dengan
demikian kitab Undang-Undang ini merupakan kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Umum (positif) pertama yang diambil dari ketentuan hukum Islam, dan diambil
dari mazhab Hanafi sebagai mazhab resmi negara pada waktu itu.
Selain kitab tersebut di atas, dikeluarkan pula Undang-Undang
Keluarga (Qanun ‘Ailat) pada tahun 1326, yang dikhususkan untuk
masalah-masalah kawin dan putusnya perkawinan.[8] Dalam
Undang-Undang ini, banyak ketentuan-ketentuannya yang tidak diambil dari mazhab
Hanafi, seperti tidak sahnya perkawinan orang yang dipaksa dan tidak
sahnya talaq yang dijatuhkannya.
Keluarnya kedua Undang-Undang tersebut merupakan kodifikasi hukum
pertama yang bersumber pada syari’at Islam. dan sebagai langkah
pertama untuk meninggalkan taqlid buta dan untuk tidak terikat dengan
satu mazhab tertentu, baik dalam bentuk keputusan hakim, maupun dalam pendapat
orang biasa.
Pada akhir periode pertengahan mulai muncul pemikiran pembaharuan.
Hal ini karena mulai adanya penetrasi Barat (Eropa) terhadap dunia Islam.Namun
ide-ide pembaharuan itu mendapat tantangan dari kaum ulama, karena bertentangan
dengan faham tradisionalis yang terdapat di kalangan umat Islam. Kaum ulama
dalam menentang usaha tersebut menjalin kerjasama dengan Yeniseri.[9] Hal
ini membuat gagalnya usaha pembaharuan pertama di Kerajaan Usmani.
Ø Pada periode modern terjadi pembaruan besar-besaran di Turki
termasuk upaya Turkinisasi Hukum Islam yang dipelopori oleh Mustafa Kemal.
Kerajaan Turki Usmani pada masa awal kekuasaannya tidak menganut
salah satu mazhab. Pada fase berikutnya penguasa Turki Usmani mengundangkan
Mazhab Hanafi sebagai mazhab resmi dalam hal fatwa dan peradilan.
Perkembangan hukum Islam pada masa Dinasti Usmani, sejak sultan
Usman I bin Orthagol (1299 M) hingga meninggalnya Salim I bin Bagazid II (1520
M), belum terkodifikasi dan tersistemasikan dengan sempurna. Oleh sebab itulah
pemerintahan Usmani, pada masa Sultan Sulaiman I bin Salim I (1520 M), berupaya
untuk melakukan terobosan dalam bidang hukum, yaitu dengan
mengkodifikasikannya.[10]
Cikal bakal kodifikasi dan kebangkitan hukum Islam bermula dari
kepemimpinan Sulaiman al-Qauni. Keberhasilan ekspedisi dan perkembangan dakwah
hingga kedaratan Eropa juga diikuti dengan keinginan untuk menegakkan syariat Islam
di wilayah kekuasaannya. Sulaiman al-Qauni berkeinginan untuk menegakkan
Syariat Islam di wilayah kekuasaannya. Sulaiman al-Qauni berkeinginan untuk
menghimpun hukum Islam serta memebrlakukannya menjadi hukum positif yang
berlaku di semua wilayah kekuasaan Turki.
Pada awal abad ke-16 suasana kehidupan beragama di Turki,
dipengaruhi oleh ulama-ulama mazhab. Dalam penerapan hukum, rakyat Turki
merujuk kepada mazhab Hanafi dan menjadi mazhab resmi negaranya.
Sistem pemerintahan dan sistem administrasi peradilan
diselenggarakan berdasarkan syari’at Islam. Unit peradilan umum (peradilan
perdata) bekerja sama dengan qadha’, ia disebut juga subashi.
Berdasarkan kedudukan syariat Islam sebagai sumber hukum, sejarah
peradilan Turki Usmani dalam garis besarnya dapat dilihat dari dua periode
yaitu :
1.
Periode pertama berlangsung sejak masa awal berdirinya kerajaan
Turki Usmani sampai lahirnya gerakan Tanzimat (1299-1939 M)
Pada fase pertama ini syar’at Islam dijadikan satu-satunya sumber
penetapan hukum di Turki Usmani. Sehubungan dengan basis kekuasaannya terdiri
atas pengikut mazhab Hanafi, maka Syari’at Islam yang menjadi pegangan bagi
pemerintah dalam menghadapi berbagai masalah peradilan adalah mazhab Hanafi,
sehingga para qadhi utama harus ulama yang bermazhab Hanafi.
Kerajaan Turki Usmani memiliki dua bentuk kekuasaan yaitu kekuasaan
temporal (duniawi) dan kekuasaan spiritual (rohani). Sebagai penguasa dunia ia
disebut Sultan dan sebagai penguasa spiritual ia disebut Khalifah. Dalam
pelaksanaan urusan pemerintahan, sultan dibantu oleh Shadr al-Azam, sedangkan
untuk urusan keagamaan khalifah dibantu oleh Syaikh al-Islam. Sadrazam sering
menggantikan Sultan bila ia berhalangan. Selanjutnya qadhi ditunjuk untuk
membantu tugas sultan dalam persoalan peradilan.
Pada masa ini Qadha (peradilan) dibagi menjadi beberapa tingkatan,
yaitu :
a.
Mahkamah
tingkat terendah ada dua bentuk :
-
Mahkamah
al-jaza’ (peradilan pidana), yang bertugas menyelesaikan perkara-perkara
pidana.
-
Mahkamah
al-huquq, bertugas menyelesaikan masalah al-Syakhsiyat (perkara perdata).
b.
Mahkamah
al-Isti’naf (mahkamah tingkat II atau banding), bertugas meneliti
masalah-masalah peradilan sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan.
c.
Mahkamah
al-Tamyiz atau al-Naqdhu wa al-Ibram, yang bertugas meneliti keputusan yang
dibuat oleh mahkamah tingkat II atau banding berdasakan prinsip-prinsip dan
prosedur yang ditetapkan.
2.
Masalah Setelah Tanzimat
Tanzimat berasal dari kata Nazhama, yang berarti mengatur,
menyusun, dan memperbaiki. Tanzimat atau dalam bahasa Turki dikenal dengan
Tanzimat-i Khairiye adalah gerakan pembaharuan di Turki yang diperkenalkan ke
dalam sistem birokrasi dan pemerintahan Turki Usmani semenjak pemerintahan
Sultan ‘Abd al-Majid (1839-1876), putra Sultan ‘Abd al-Aziz (1861-1876).[11]
Pada periode ini banyak diterbitkan beberapa peraturan yang
bertujuan untuk memperlancar proses pembaharuan. Pemabaharuan tersebut dimulai
dengan diumumkannya deklarasi Gulkhane, Khatt-i Syerif Gulkhane. Pada tanggal 3
Nopember1839/ 26 Sya’ban 1255. Tanzimat ini ditindaklanjuti oleh Khatt-i
Humaqun yang diumumkan pada 18 Februari 1856. Kata tanzimat sendiri secara
resmi telah tercantum dalam dokumen kerajaan pada pemerintahan Sultan Mahmud II.
Dan periode tanzimat berakhir pada awal pemerintahan Abd al-Hamid, 1880.[12]
Pada akhir periode Usmani, persoalan peradilan semakin banyak dan
sumber hukum tidak hanya syari’at Islam, teteapi memiliki sumber hukum yang
berbeda, yaitu :
a.
Mahkamah
al-Thawa’if atau Al-Qadha’ al-Milli, yaitu peradilan untuk suatu kelompok
(agama), sumber hukumnya agama masing-masing.
b.
Al-Qadha’
al-Qunshuli, yaitu pengadilan untuk warga asing. Sumbernya undang-undang warga
asing tersebut.
c.
Qadha’
mahkamah al-Jina’i, sumber hukumnya undang-undang Eropa.
d.
Qadha’
mahkamah al-Huquq, mengadili perkara perdata, sumbernya adalah majalah al-ahkam
al-‘Adliyyah.
e.
Majlis
al-Syar’i, mengadili perkara kaum Muslimin khususnya masalah keluarga (al-Ahwal
al-Syakhsiyyah), sumbernya adalah Fiqh Islam.[13]
Al-Majallat Al-Ahkam Al’Adhliyah
Tindak lanjut dari upaya mengkodifikasi hukum (taqnim) pada
masa Turki Usmani dilatarbelakangi oleh majunya kebudayaan Islam,
pesatnya ilmu pengetahuan yang melahirkan ilmuwan dan imam-imam mazhab
(fanatisme mazhab), melemahnya upaya berijtihad, dan stagnan dalam berijtihad.
Di samping itu, juga perbedaan dalam menetapkan hukum karena mazhab yang
digunakan berbeda, agar tidak terjadi perbedaan status hukum pada permasalahan
yang sama di lembaga peradilan.
Pemerintah Turki Usmani memerintahkan untuk membentuk panitia yang
bertugas mengumpulkan ketentuan hukum syara’ atas peristiwa-peristiwa yang
terjadi yang berkenaan dengan hukum muamalat (perdata), penetapannya berpegang
kepada mazhab Hanafi dengan tidak mengabaikan pendapat mazhab-mazhab yang laun
sesuai dengan kondisi saat itu. Maka ditunjuklah tujuh ulama fikih untuk
membuat undang-undang perdata Islam, yang mengandung ikhtilaf, melihat pendapat
yang lebih rajih dan mudah untuk dipelajari.
Ulama merampungkan tugasnya selama tujuh tahun (1869-1876 M) dengan
melahirkan peraturan “Majalah al-Ahkam al-Adhiyah). Diundangkan pada 26 Sya’ban
1293 H, dan memerintahkan semua pengadilan di wilayah kekuasaan Turki Usmani
untuk melaksanakannya.
[1]
Badri
Yatim, Sejarah Peradaban Islam Dirasat Islamiyah, (Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 2000), 135
[2]
Siti
Maryam, Sejarah Peradaban Islam, (Yogyakarta: LESFI, 2004),
133
[3]
An-nabhani
At-taqiyyudin, 2002, Daulah Islam, Jakarta : HTI Press . hal. 174
[4]
Albert Hourani,
Sejarah Bangsa-Bangsa Muslim, Mizan, Bandung, 2004, hal. 422-426.
[5]
Syalabi, Ahmad. 1998. Sejarah dan Kebudayaan Islam Imperium
Turki Ustmani. Jakarta : Kalam Mulia, hal.98
[6]
Harun
Nasution, Pembaharuan dalam Islam; Sejarah Pemikiran dan Gerakan (Cet.
VIII; Jakarta: Bulan BIntang, 1991), h. 12-13.
[7]
Ahmad
Hanafi, Pengantar dan Sejarah Hukum Islam (Cet. V; Jakarta: PT.
BUlan Bintang, 1989), h. 219.
[9]
Harun
Nasution, op. cit., h. 18
[10]
Alaidi Koto, Sejarah
Peradilan Islam, (Jakarta : Rajawali Press,2012),hal. 144-145
[11]
Syafiq
A.Mughni, Sejarah Kebudayaan Islam di Turki, (Jakarta
:Logos,1997),hal.125
[12]
Syafiq A.Mughni,
Sejarah Kebudayaan Islam di Turki...hal.126
[13]
Rahmiati, Peradilan
Islam, ( Jakarta : Haifa Press,2005), hal.82-83
No comments:
Post a Comment