MAKALAH PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN FILSAFAT HUKUM ISLAM
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Secara umum hukum Islam memiliki makna segala upaya yang dilakukan para
ahli fiqh dalam menetapkan hukum sesuai dengan kebutuhan masyarakatnya pada
saat itu. Selain itu hukum Islam didefinisikan dalam dua hal, yaitu syari’at dan fiqih. Syari’at adalah segala khitab
(ketentuan) Allah yang berhubungan dengan tindak tanduk manusia selain akhlak
atau amaliyah manusia. Pada awalnya kata syari’ah ini dimaknai sebagai agama
seperti yang tercantum dalam surah Asy Syura ayat 13. Pada perkembangannya kata
tersebut mengalami penyempitan makna yang oleh para ulama kemudian
didefinisikan sebagai hukum amaliyah yang berbeda menurut perbedaan yang dibawa
para Rasul yang membawanya dan orang lain yang datang kemudian untuk
mengoreksi hukum yang terdahulu. Qatadah mengartikan kata syari’at
sebagai hal-hal yang menyangkut kewajiban, batasan-batasan perintah dan
larangan selain akidah, hikmah-hikmah dan ibarat-ibarat yang tercakup di dalam
agama. Sedangkan menurut Muhammad Syaltut, syari’at adalah hukum-hukum dan
aturan-aturan yang ditetapkan Allah untuk hambanya agar diikuti dalam
hubungannya kepada Allah dan hubungan manusia sesamanya. Adapun menurut Farouk
Abu Zaid, syariat adalah apa-apa yang ditetapkan Allah melalui lisan nabi-Nya.
2) Sedangkan menurut Abu Zahrah, fiqih adalah mengetahui hukum-hukum syara’
yang bersifat amaliyah yang dikaji dari dalil-dalil yang terperinci.
3) Menurut al-Amidi, fiqih berarti ilmu tentang seperangkat hukum syara’ yang
bersifat Furu’iyah yang didapatkan melalui penalaran dan istidlal (dalil-dali).
4) Dari definisi diatas, fiqih dapat dipahami sebagai:
1.
Ilmu tentang syara’
2.
Membicarakan hal-hal
yang bersifat amaliyah furu’iyyah (praktis dan bercabang).
3.
Pengetahuan tenntang
hukum syara’ didasarkan pada dalil tafsili yaitu Al-Qur’an dan Hadis. Digali
dan ditemukan melalui penalaran dan istidlal mujtahid.
5) Adapun definisi filsafat hukum Islam adalah filsafat yang menganalisis
hukum Islam secara metodis dan sistematis sehingga mendapatkan keterangan yang
mendasar atau menganalisis hukum Islam secara ilmiah dengan menggunakan metode
filsafat. Sedangkan menurut Azhar Ba’asyir, filsafat hukum Islam adalah
pemikiran secara ilmiah, sistematis, dapat dipertanggungjawabkan dan radikal
tentang hukum Islam. Secara umum filsafat hukum Islam dimadefiniskan sebagai
pengetahuan tentang hakikat, rahasia, dan tujuan hukum Islam baik yang menyangkut
materinya maupun proses penetapannya; atau filsafat yang digunakan untuk
memancarkan, menguatkan, dan memelihara hukum Islam sehingga sesuai dengan
maksud dan tujuan Allah menetapkannya di muka bumi untuk kesejahteraan umat
manusia seluruhnya. Berdasarkan beberapa definisi diatas, dapat diketahui
bahwasanya filsafat hukum Islam telah lahir sejak masa Rasulullah saw.
Kemunculan filsafat ini diawali ketika Rasulullah mengizinkan Mu’az bin Jabal
untuk berijtihad sesuai dengan sabdanya: “Diriwayatkan dari Mu’az bin Jabal,
bahwa Rasulullah saw. ketika berkeinginan untuk mengutus Mu’az ke Yaman, Beliau
bertanya: ”Apabila dihadapkan padamu suatu kasus hukum, bagaimanakah cara anda
memutuskannya?” Mu’az menjawab: “Saya akan memutuskannya berdasarkan Al-Qur’an”.
Nabi bertanya lagi: “Jika Kasus tersebut tidak anda temukan di dalam
Al-Qur’an?” Mu’az menjawab : “Saya akan memutuskannya berdasarkan Sunnah
Rasulullah” Nabi bertanya lagi: “Jika kasus tersebut tidak terdapat di dalam
Sunnah dan Al-Qur’an?” Mu’az menjawab: “Aku akan berijtihad dengan seksama”.
Kemudian Rasulullah menepuk-nepuk dada Mu’az dengan tangannya seraya berkata:
“Segala puji bagi Allah yang telah memberikan petunjuk kepada utusan Rasulullah
terhadap jalan yang diridhai-Nya”. (HR. Abu Daud).
6) Setelah Nabi saw wafat, pemikiran filsafat (ijtihad) ini dilanjutkan oleh
para sahabat terutama oleh Umar bin Khattab yaitu dengan menghapuskan hukum
potong tangan bagi pencuri, zakat bagi muallaf, dan lain-lain yang disesuaikan
dengan keadaan umat pada masa itu.
B.
Rumusan Masalah
1. Apa Pengertian Filsafat Islam ?
2. Bagaimana Pertumbuhan Fisafat Hukum Islam ?
3. Bagaiaman Perkembangan Filsafat Hukum Islam ?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Filsafat Islam
Sebelum lebih lanjut membicarakan filsafat Islam, terlebih dulu perlu
ditegaskan apa yang dimaksud dengan filsafat Islam di sini. Filsafat Islam dimaksudkan adalah filsafat dalam perspektif
pemikiran orang Islam. Seperti juga pendidikan Islam adalah dimaksudkan
pendidikan dalam perspektif orang Islam. Karena berdasarkan
perspektif pemikiran orang, maka kemungkinan keliru dan bertentangan satu sama
lain adalah hal yang wajar.
Filsafat
berasal dari bahasa Yunani, philo dan sophia. Philo berarti cinta dan
sophia berarti kebijaksanaan atau kebenaran. Sedang menurut istilah, filsafat
diartikan sebagai upaya manusia untuk memahami secara radikal dan integral
serta sistematik mengenai Tuhan, alam semesta dan manusia, sehingga dapat
menghasilkan pengetahuan tentang bagaimana hakikatnya sejauh yang dapat dicapai
akal manusia dan bagaimana sikap manusia itu seharusnya setelah mencapai
pengetahuan tersebut.[1]
Harun Nasution menggunakan istilah filsafat dengan “falsafat” atau
“falsafah”. Karena menurutnya, filsafat berasal dari kata Yunani, Philein dan Sophos. Kemudian
orang Arab menyesuaikan dengan bahasa mereka falsafah atau falsafat dari akar
kata falsafa-yufalsifu-falsafatan wa filsafan dengan
akar kata (wazan) fa’lala.
Musa
Asy’arie (2002:6) menjelaskan, bahwa hakikat filsafat Islam adalah filsafat
yang bercorak Islami, yang dalam bahasa Inggris dibahasakan menjadi Islamic Philosophy, bukan the Philosophy of Islam yang berarti berpikir tentang
Islam. Dengan demikian, Filsafat Islam adalah berpikir bebas, radikal (radix)
yang berada pada taraf makna, yang mempunyai sifat, corak dan karakter yang
dapat memberikan keselamatan dan kedamaian hati. Dengan demikian, Filsafat
Islam tidak netral, melainkan memiliki keberpihakan (komitmen) kepada
keselamatan dan kedamaian (baca: Islam).
Menurut
Al-Farabi dalam kitabnya Tahshil as-Sa’adah, filsafat berasal dari
Keldania (Babilonia), kemudian pindah ke Mesir, lalu pindah ke Yunani,
Suryani dan akhirnya sampai ke Arab. Filsafat pindah ke negeri Arab setelah
datangnya Islam. Karena itu filsafat yang pindah ke negeri Arab ini dinamakan
filsafat Islam. Walaupun di kalangan para sejarawan banyak yang berbeda
pendapat dalam penamaan filsafat yang pindah ke Arab tersebut. Namun kebanyakan
di antara mereka menyimpulkan, bahwa filsafat yang pindah tersebut adalah
filsafat Islam (Al-Ahwani, 1984:2).
Dalam
perspektif Islam, filsafat merupakan upaya untuk menjelaskan cara Allah
menyampaikan kebenaran atau yang haq dengan bahasa pemikiran yang
rasional. Sebagaimana kata Al-Kindi (801-873M), bahwa filsafat adalah
pengetahuan tentang hakikat hal-ihwal dalam batas-batas kemungkinan manusia.
Ibn Sina (980-1037M) juga mengatakan, bahwa filsafat adalah menyempurnakan jiwa
manusia melalui konseptualisasi hal ihwal dan penimbangan kebenaran teoretis
dan praktis dalam batas-batas kemampuan manusia. Karena dalam ajaran
Islam di antara nama-nama Allah juga terdapat kebenaran, maka tidak
terelakkan bahwa terdapat hubungan yang erat antara filsafat dan agama (C.A
Qadir, 1989: 8).
Pada
zaman dulu di kalangan umat Islam, filsafat Islam merupakan kisah perkembangan
dan kemajuan ruh. Begitu pula mengenai ilmu pengetahuan Islam, sebab menurut
al-Qur’an seluruh fenomena alam ini merupakan petunjuk Allah, sebagaimana
diakui oleh Rosental, bahwa tujuan filsafat Islam adalah untuk membuktikan
kebenaran wahyu sebagai hukum Allah dan ketidakmampuan akal untuk memahami
Allah sepenuhnya, juga untuk menegaskan bahwa wahyu tidak bertentangan dengan
akal (C.A. Qadir, 1989: ix).
Filsafat
Islam jika dibandingkan dengan filsafat umum lainnya, telah mempunyai
ciri tersendiri sekalipun objeknya sama. Hal ini karena filsafat Islam itu
tunduk dan terikat oleh norma-norma Islam. Filsafat Islam berpedoman pada
ajaran Islam.
Dari
uraian di atas dapat disimpulkan bahwa filsafat Islam adalah merupakan hasil
pemikiran manusia secara radikal, sistematis dan universal tentang hakikat
Tuhan, alam semesta dan manusia berdasarkan ajaran Islam.
B.
Pertumbuhan Fisafat Hukum Islam
Pertumbuhan Filsafat Hukum Islam diawali oleh adanya doktrin Islam yang
memperbolehkan ijtihad. Ijtihad merupakan pendekatan akal dalam mengambil
putusan hukum jika tidak ada dalil yang pasti, baik dai al-Qur’an maupun
Sunnah.[2]
Hal tersebut terjadi pada peristiwa Muadz Ibn Jabal
كيف تقض
إذاعرض لك قضاء؟ قال : أقض بكتاب الله قال: فإن لم تجد فى كتاب الله ؟ قال فبسنة
رسول الله ص.م. فإن لم تجد فى سنة رسول الله ولا فى كتاب الله ؟ أجتهد برأى ولا
الو قال معاد. فضرب رسول الله ص.م. صدره وقال الحمد لله الذى وفق رسول الله لما
يرضى رسول الله.
Al-Qur’a juga mendorong
adanya penelaran akal dalam memahami hukum seperti Q.S. Al-Baqarah ayat 179:
وَلَكُمْ فِى الْقِصَاصِ حَيَوةٌ يُا ولِى الْاَلْبَابِ
لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَ
Umar Bin Khaththab:
Memutuskan hukum dengan melihat roh syari’ah. Muhammad Iqbal (1873-1938) pernah
menyatakan “apakah hukum Islam dapat berkembang?” Ia menjawb sendiri, “bisa,
asalkan dunia Islam mau memasuki jiwa Umar.” Kontroversi Ijtihad Umar Pendapatnya
tentang Hasbuna Kitaballah. Menggugurkan hukum potong tangan bagi pencuri
dengan berdasarkan argumen subyektif sosiologis. Membatasi kebolehan menikahi
wanita ahlul kitab karena khawatir menikahi dengan wanita muslimah akan kurang
disukai. Tidak memberikan zakat kepada muallaf. Faktor-faktor pendorong
dalam putusan Umar : Beradaptasi dengan tantangan baru, karena perubahan
sosial, ekonomi, dan demografi.
Karakteristik Mazhab
Umar : Mengutamakan ra’yu dari pada sunnah Menekankan aspek maqasid
asy-syari’ah Imam Syafi’i (150-204 H.) Tokoh yang terkenal dengan qaul qodim
(pendapatnya ketika di Irak) dan qaul jadidnya (pendapatnya ketika di Mesir). Qaul
qadim cendrung lebih rasional sedangkan qaul jadid lebih bersifat naqli
(hadis.). Secara metodologis perubahan atas suatu pemikiran merupakan realitas
dinamis dalam pemikiran hukum Syafi’i yang sangat terkait dengan keadaan ruang
dan waktu.
Penelitian Filsafat
Hukum Islam ditekankan pada maqasid as-Syari’ah. Al-Juwaini, menyakatakan
seseorang tidak dikatakan mampu menetapkan hukum Islam, sebelum ia dapat
memahami benar tujuan Allah menetapkan perintah dan larangan-larangan-Nya. Maqasid
Syari’ah menurut Juwaini dibagi pada lima bagian; daruriyyat, hajjah al-ammah,
makramah, hal-hal yang tidak termasuk daruriyah dan hajjiyah, dan hal yang
tidak termasuk pada daruri, hajjah al-ammah dan makramat.
Dikembangkan oleh
muridnya yaitu Al-Ghazali. Maqasid Syari’ah diletakkan dalam konteks illat
dalam qiyas maupun dalam konteks istislah. Masalahat ialah memelihara maksud
syari’ (pembuat hukum). Maslahat itu menurut al-Gazali ada lima, yaitu
memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Tujuan ini diletakkan dalam
dlaruriyyah, hajjiyah dan tahsiniyah.
Izz al-Din Ibnu ‘Abd
Salam, dalam kitabnya Qawa’id al-Ahkam fi Mashalih al-Anam, masalahat
diletakkan dalam konteks dar’ul mafasid wa jalbul manafi’ (menghindari mafsadat
menarik manfaat). Maslahat di dunia tidak bisa dilepaskan dari daruriyah,
hajjiyyat, tatimmat atau taklimat. Taklif bermuara pada kemaslahatan manusia
baik di dunia maupun di akirat.
Abu Ishaq Al-Syatibi
(730-790 H.) dalam kitabnya al-Muwafaqat menyatakan bahwa tujuan Alah SWT.
Mensyari’atkan hukum-Nya adalah untuk kemaslahatan manusia. Ia membagi
peringkat kemaslahatan kepada dharuriyat, hajjiyat dan tahsiniyyat.
Dharuriyyat (musti)
bersifat esensial bagi kehidupan manusia. Kebutuhan esensial itu memelihara
agama, jiwa, akal, keturunan dan harta.
Hajjiyat, (diperlukan) tidak termasuk esensial tapi merupakan kebutuhan yang dapat menghindarkan manusia dari kesulitan dalam kehidupannya baik di dunia maupun diakhirat.
Hajjiyat, (diperlukan) tidak termasuk esensial tapi merupakan kebutuhan yang dapat menghindarkan manusia dari kesulitan dalam kehidupannya baik di dunia maupun diakhirat.
Tahsiniyat (pujian),
sifatnya emnunjang peningkatn martabat seseorang baik kehidupan di dunia maupun
akhirat. Najmuddin Al-Thufi (657-716 H.) Pemikirannya tentang masalah bertolak
dari hadis لَاضَرَرَ وَلَاضِرَارَ (tidak boleh memadartkan dan tidak boleh pula memeadaratkan.
(HR. Hakim, Daruqutni, Ibnu Majjah dan Ahmad Bin Hambal). Inti seluruh ajaran
Islam yang termuat dalam nash adalah maslahah bagi manusia. Seluruh
kemaslahatan itu disyari’atkan. Setiap maslahat tidak pelu mendapatkan dukungan
dari nash.
Maslahat merupakan
dalil paling kuat yang secara mandiri dapat dijadikan alasan dalam menentukan
hukum syara. Prinsip Masalahat dalam pemikitan al-Thufi meliputi: Akal bebas
menentukan kemasalahat dan kemadaratan, khususnya dalam bidang muamalah dan
adat. Maslahah merupakan dalil mandiri dalam menentukan hukum. Maslahah hanya
berlaku dalam masalah muamalah Maslahah merupakan dalil syara’ yang paling
kuat. Apabila nash atau ijma bertentangan dengan maslahah didahulukan maslahah
engn cara takhsis dan bayan.
C. Perkembangan Filsafat Hukum Islam
Kegiatan penelitian
terhadap hukum Islam telah banyak dilakukan oleh para ulama yang dikenal dengan
sebutan ushul fiqh. Ulama generasi awal yang sudah melakukan
kegiatan ijtihad ini dikenal dengan sebutan imam empat mazhab, yaitu Malik ibn
Anas, Abu Hanifah, Asy-Syafi’iy dan Ahmad bin Hambal.[3]
Kegiatan filsafat hukum
Islam ini terus berlanjut oleh generasi berikutnya. Al-Juwaini yang dikenal
sebagai ulama ushul fiqh generasi awal menekankan pentingnya memahami maqashid
al-syariah (tujuan hukum) dalam menetapkan hukum. Ia secara tegas
menyatakan bahwa seseorang tidak dikatakan mampu menetapkan hukum dalam Islam
sebelum ia dapat memahami dengan benar tujuan Allah menetapkan
perintah-perintah dan larangan-larangannya. Kemudian ia mengaitkan tujuan hukum
tersebut dalam kaitannya pada pembahasan ‘illah dalam masalah qiyas. Menurut
pendapatnya, dalam kaitan dengan ‘illah, ashl dapat dibedakan menjadi tiga
kelompok, yaitu daruriyat, hajiyyat, dan makramat.
Kerangka berpikir
al-Juwaini diatas dikembangkan oleh muridnya al-Ghazali. Dalam kitabnya Syifa’
al-Ghalil, Ghazali menjelaskan maksud syariat dalam kaitannya dengan
pembahasan al-munasabat al-mashlahiyat dalam qiyas. Sementara dalam kitabnya
yang lain ia membicarakannya dalam pembahasan istishlah. Menurut al-Ghazali,
mashlahat adalah memelihara maksud al-Syar’i (pembuat hukum). Kemudian ia
memerinci mashlahat itu menjadi lima, yaitu: memelihara agama, jiwa, akal,
keturunan dan harta.[4]
Pada era sekarang,
kegiatan berfilsafat (ijtihad) dalam hukum Islam ini telah dinaungi dalam
sebuah organisasi keislaman yang bertugas mencari ketetapan hukum terhadap
masalah-masalah baru yang terdapat di dalam masyarakatnya. Pada masyarakat
Indonesia, proses ijtihad ini dilakukan oleh organisisai Islam yang disebut
dengan Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang bertugas memberikan jawaban-jawaban
atas permasalahan baru yang muncul di kalangan umat Islam di Indonesia. Dalam
menetapkan hukum, MUI menggunakan suatu istilah yang disebut dengan fatwa,
yaitu keputusan atau ketetapan hukum baru terhadap permasalahan yang tidak terdapat
di dalam Al-Qur’an, hadis, maupun kitab-kitab hukum Islam terdahulu agar
terpeliharanya keamanan dan kesejahteraan umat Islam di Indonesia.
Majelis Ulama Indonesia
adalah wadah atau majelis yang menghimpun para ulama,zuama dan cendekiawan
muslim Indonesia untuk menyatukan gerak dan langkah-langkah umat
Islam Indonesia dalam mewujudkan cita-cita bersama. Majelis Ulama
Indonesia berdiri pada tanggal, 7 Rajab 1395 H, bertepatan dengan tanggal 26
Juli 1975 di Jakarta, sebagai hasil dari pertemuan atau musyawarah para ulama,
cendekiawan dan zu’ama yang datang dari berbagai penjuru tanah air. Antara lain
meliputi dua puluh enam orang ulama yang mewakili 26 Propinsi
di Indonesia, 10 orang ulama yang merupakan unsur dari ormas-ormas Islam
tingkat pusat, yaitu, NU, Muhammadiyah, Syarikat Islam, Perti. Al Washliyah,
Math’laul Anwar, GUPPI, PTDI, DMI dan al Ittihadiyyah, 4 orang ulama dari Dinas
Rohani Islam, AD, AU, AL dan POLRI serta 13 orang tokoh/cendekiawan yang
merupakan tokoh perorangan.
Dalam khitah pengabdian
Majelis Ulama Indonesia telah dirumuskan limafungsi dan peran utama MUI
yaitu:
1. Sebagai pewaris tugas-tugas para Nabi (Warasatul Anbiya)
2. Sebagai pemberi fatwa (mufti)
3. Sebagai pembimbing dan pelayan umat (Riwayat wa khadim al ummah)
4. Sebagai gerakan Islah wa al Tajdid
5. Sebagai penegak amar ma’ruf dan nahi munkar
Sampai saat ini Majelis Ulama Indonesia mengalami beberapa kali kongres
atau musyawarah nasional, dan mengalami beberapa kali pergantian Ketua Umum,
dimulai dengan Prof. Dr. Hamka, KH. Syukri Ghozali, KH. Hasan Basri, Prof. KH.
Ali Yafie dan kini KH. M. Sahal Maffudh. Ketua Umum MUI yang pertama, kedua dan
ketiga telah meninggal dunia dan mengakhiri tugas-tugasnya. Sedangkan dua yang
terakhir masih terus berkhidmah untuk memimpin majelis para ulama ini.
Dalam menegakkan hukum Islam di Indonesia, MUI menggunakan mufti untuk
memberikan fatwa. Adapun contoh fatwa yang diberikan MUI sebagai proses ijtihad
dalam hukum Islam yaitu: fatwa MUI tentang bunga yang diberikan oleh bank
kepada nasabahnya. Hal ini disebabkan karena pada zaman Nabi saw lembaga
pengatur keuangan sdengan sistem ekonomi seperti bank belum ada. Berdasarkan
Al-Qur’an, hadis, ijma’ dan qiyas, empat landasan dasar dalam pengambilan hukum
Islam di Indonesia, MUI memutuskan bahwasanya Praktek pembungaan uang saat ini
telah memenuhi kriteria riba yang terjadi pada jaman Rasulullah SAW, Ya ini
Riba Nasi’ah. Dengan demikian, praktek pembungaan uang ini termasuk salah satu
bentuk Riba, dan Riba Haram Hukumnya. Praktek Penggunaan tersebut hukumnya
adalah haram, baik di lakukan oleh Bank, Asuransi, Pasar Modal, Pegadian,
Koperasi, Dan Lembaga Keuangan lainnya maupun dilakukan oleh individu.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Sebelum lebih lanjut
membicarakan filsafat Islam, terlebih dulu perlu ditegaskan apa yang dimaksud
dengan filsafat Islam di sini. Filsafat Islam dimaksudkan
adalah filsafat dalam perspektif pemikiran orang Islam. Seperti juga pendidikan
Islam adalah dimaksudkan pendidikan dalam perspektif orang Islam. Karena
berdasarkan perspektif pemikiran orang, maka kemungkinan keliru dan
bertentangan satu sama lain adalah hal yang wajar.
Pertumbuhan Filsafat
Hukum Islam diawali oleh adanya doktrin Islam yang memperbolehkan ijtihad.
Ijtihad merupakan pendekatan akal dalam mengambil putusan hukum jika tidak ada
dalil yang pasti, baik dai al-Qur’an maupun Sunnah.
Kegiatan penelitian
terhadap hukum Islam telah banyak dilakukan oleh para ulama yang dikenal dengan
sebutan ushul fiqh. Ulama generasi awal yang sudah melakukan
kegiatan ijtihad ini dikenal dengan sebutan imam empat mazhab, yaitu Malik ibn
Anas, Abu Hanifah, Asy-Syafi’iy dan Ahmad bin Hambal.
B. Saran
Untuk mendapatkan manfaat yang sempurna dari Makalah yang penulis buat ini, hedaknya Pembaca Memberikan Kritik dan saran serta melakukan
Pengkajian Ulang (diskusi) terhadap penulisan sehingga penulis terhindar dari
Kekeliruan.
DAFTAR PUSTAKA
Barnadib,
Imam. 1982. Filsafat Pendidikan. Yogyakarta: IKIP Yogyakarta
Jalaluddin, dkk. 1998. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada
Jalaluddin, dkk. 1998. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada
Harun
Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam (Cet. V; Jakarta: Bulan
Bintang, 1973).
zainuddin. Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Filsafat Islam. Lecturer
UIN-Malang 2013.
[1] Barnadib, Imam. 1982. Filsafat Pendidikan. Yogyakarta:
IKIP Yogyakarta
[2] Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam
Islam (Cet. V;
Jakarta: Bulan Bintang, 1973).
[3] Al-Juwaini, al-Burhan
fi Ushul al-Fiqh (Dar
al-Anshar, 1979), jilid 1, hal. 295.
[4] Al-Ghazali, al-Mustashfa
min Ilmi al-Ushul (Kairo:
Sayyid al-Husein), hal. 250.
No comments:
Post a Comment