1

loading...

Thursday, November 1, 2018

MAKALAH PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN FILSAFAT HUKUM ISLAM

MAKALAH PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN FILSAFAT HUKUM ISLAM 


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Secara umum hukum Islam memiliki makna segala upaya yang dilakukan para ahli fiqh dalam menetapkan hukum sesuai dengan kebutuhan masyarakatnya pada saat itu. Selain itu hukum Islam didefinisikan dalam dua hal, yaitu syari’at dan fiqih. Syari’at adalah segala khitab (ketentuan) Allah yang berhubungan dengan tindak tanduk manusia selain akhlak atau amaliyah manusia. Pada awalnya kata syari’ah ini dimaknai sebagai agama seperti yang tercantum dalam surah Asy Syura ayat 13. Pada perkembangannya kata tersebut mengalami penyempitan makna yang oleh para ulama kemudian didefinisikan sebagai hukum amaliyah yang berbeda menurut perbedaan yang dibawa para Rasul yang membawanya dan orang lain yang datang kemudian untuk mengoreksi  hukum yang terdahulu. Qatadah mengartikan kata syari’at sebagai hal-hal yang menyangkut kewajiban, batasan-batasan perintah dan larangan selain akidah, hikmah-hikmah dan ibarat-ibarat yang tercakup di dalam agama. Sedangkan menurut Muhammad Syaltut, syari’at adalah hukum-hukum dan aturan-aturan yang ditetapkan Allah untuk hambanya agar diikuti dalam hubungannya kepada Allah dan hubungan manusia sesamanya. Adapun menurut Farouk Abu Zaid, syariat adalah apa-apa yang ditetapkan Allah melalui lisan nabi-Nya.

1)      Adapun kata fiqih secara bahasa memiliki makna menegetahui sesuatu dan memahaminya secara baik.
2)      Sedangkan menurut Abu Zahrah, fiqih adalah mengetahui hukum-hukum syara’ yang bersifat amaliyah  yang dikaji dari dalil-dalil yang terperinci.
3)      Menurut al-Amidi, fiqih berarti ilmu tentang seperangkat hukum syara’ yang bersifat Furu’iyah yang didapatkan melalui penalaran dan istidlal (dalil-dali).

4)      Dari definisi diatas, fiqih dapat dipahami sebagai:
1.      Ilmu tentang syara’
2.      Membicarakan hal-hal yang bersifat amaliyah furu’iyyah (praktis dan bercabang).
3.      Pengetahuan tenntang hukum syara’ didasarkan pada dalil tafsili yaitu Al-Qur’an dan Hadis. Digali dan ditemukan melalui penalaran dan istidlal mujtahid.
5)      Adapun definisi filsafat hukum Islam adalah filsafat yang menganalisis hukum Islam secara metodis dan sistematis sehingga mendapatkan keterangan yang mendasar atau menganalisis hukum Islam secara ilmiah dengan menggunakan metode filsafat. Sedangkan menurut Azhar Ba’asyir, filsafat hukum Islam adalah pemikiran secara ilmiah, sistematis, dapat dipertanggungjawabkan dan radikal tentang hukum Islam. Secara umum filsafat hukum Islam dimadefiniskan sebagai pengetahuan tentang hakikat, rahasia, dan tujuan hukum Islam baik yang menyangkut materinya maupun proses penetapannya; atau filsafat yang digunakan untuk memancarkan, menguatkan, dan memelihara hukum Islam sehingga sesuai dengan maksud dan tujuan Allah menetapkannya di muka bumi untuk kesejahteraan umat manusia seluruhnya. Berdasarkan beberapa definisi diatas, dapat diketahui bahwasanya filsafat hukum Islam telah lahir sejak masa Rasulullah saw. Kemunculan filsafat ini diawali ketika Rasulullah mengizinkan Mu’az bin Jabal untuk berijtihad sesuai dengan sabdanya: “Diriwayatkan dari Mu’az bin Jabal, bahwa Rasulullah saw. ketika berkeinginan untuk mengutus Mu’az ke Yaman, Beliau bertanya: ”Apabila dihadapkan padamu suatu kasus hukum, bagaimanakah cara anda memutuskannya?” Mu’az menjawab: “Saya akan memutuskannya berdasarkan Al-Qur’an”. Nabi bertanya lagi: “Jika Kasus tersebut tidak anda temukan di dalam Al-Qur’an?” Mu’az menjawab : “Saya akan memutuskannya berdasarkan Sunnah Rasulullah” Nabi bertanya lagi: “Jika kasus tersebut tidak terdapat di dalam Sunnah dan Al-Qur’an?” Mu’az menjawab: “Aku akan berijtihad dengan seksama”. Kemudian Rasulullah menepuk-nepuk dada Mu’az dengan tangannya seraya berkata: “Segala puji bagi Allah yang telah memberikan petunjuk kepada utusan Rasulullah terhadap jalan yang diridhai-Nya”. (HR. Abu Daud).
6)      Setelah Nabi saw wafat, pemikiran filsafat (ijtihad) ini dilanjutkan oleh para sahabat terutama oleh Umar bin Khattab yaitu dengan menghapuskan hukum potong tangan bagi pencuri, zakat bagi muallaf, dan lain-lain yang disesuaikan dengan keadaan umat pada masa itu.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa Pengertian Filsafat Islam ?
2.      Bagaimana Pertumbuhan Fisafat Hukum Islam ?
3.      Bagaiaman Perkembangan Filsafat Hukum Islam ?

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Filsafat Islam
Sebelum lebih lanjut membicarakan filsafat Islam, terlebih dulu perlu ditegaskan apa yang dimaksud dengan filsafat Islam di sini. Filsafat Islam dimaksudkan adalah filsafat dalam perspektif pemikiran orang Islam. Seperti juga pendidikan Islam adalah dimaksudkan pendidikan dalam perspektif orang Islam. Karena berdasarkan perspektif pemikiran orang, maka kemungkinan keliru dan bertentangan satu sama lain adalah hal yang wajar.
Filsafat berasal dari bahasa Yunani, philo dan sophia. Philo berarti cinta dan sophia berarti kebijaksanaan atau kebenaran. Sedang menurut istilah, filsafat diartikan sebagai upaya manusia untuk memahami secara radikal dan integral serta sistematik mengenai Tuhan, alam semesta dan manusia, sehingga dapat menghasilkan pengetahuan tentang bagaimana hakikatnya sejauh yang dapat dicapai akal manusia dan bagaimana sikap manusia itu seharusnya setelah mencapai pengetahuan tersebut.[1]
Harun Nasution menggunakan istilah filsafat dengan “falsafat” atau  “falsafah”. Karena menurutnya, filsafat berasal dari kata Yunani, Philein dan Sophos. Kemudian orang Arab menyesuaikan dengan bahasa mereka falsafah atau falsafat dari akar kata  falsafa-yufalsifu-falsafatan wa filsafan dengan akar kata (wazan)  fa’lala.
Musa Asy’arie (2002:6) menjelaskan, bahwa hakikat filsafat Islam adalah filsafat yang bercorak Islami, yang dalam bahasa Inggris dibahasakan menjadi Islamic Philosophy, bukan the Philosophy of Islam yang berarti berpikir tentang Islam. Dengan demikian, Filsafat Islam adalah berpikir bebas, radikal (radix) yang berada pada taraf makna, yang mempunyai sifat, corak dan karakter yang dapat memberikan keselamatan dan kedamaian hati. Dengan demikian, Filsafat Islam tidak netral, melainkan memiliki keberpihakan (komitmen) kepada keselamatan dan kedamaian (baca: Islam).
Menurut Al-Farabi dalam kitabnya Tahshil as-Sa’adah,  filsafat berasal dari Keldania (Babilonia), kemudian pindah ke Mesir, lalu pindah  ke Yunani, Suryani dan akhirnya sampai ke Arab. Filsafat pindah ke negeri Arab setelah datangnya Islam. Karena itu filsafat yang pindah ke negeri Arab ini dinamakan filsafat Islam. Walaupun di kalangan para sejarawan banyak yang berbeda pendapat dalam penamaan filsafat yang pindah ke Arab tersebut. Namun kebanyakan di antara mereka menyimpulkan, bahwa filsafat yang pindah tersebut adalah filsafat Islam (Al-Ahwani, 1984:2).
Dalam perspektif Islam, filsafat merupakan upaya untuk menjelaskan cara Allah menyampaikan kebenaran atau yang haq dengan bahasa pemikiran yang rasional. Sebagaimana kata Al-Kindi (801-873M), bahwa filsafat adalah pengetahuan tentang hakikat hal-ihwal dalam batas-batas kemungkinan manusia. Ibn Sina (980-1037M) juga mengatakan, bahwa filsafat adalah menyempurnakan jiwa manusia melalui konseptualisasi hal ihwal dan penimbangan kebenaran teoretis dan praktis dalam batas-batas kemampuan manusia. Karena dalam ajaran Islam  di antara nama-nama Allah juga terdapat kebenaran, maka tidak terelakkan bahwa terdapat hubungan yang erat antara filsafat dan agama (C.A Qadir, 1989: 8).
Pada zaman dulu di kalangan umat Islam, filsafat Islam merupakan kisah perkembangan dan kemajuan ruh. Begitu pula mengenai ilmu pengetahuan Islam, sebab menurut al-Qur’an seluruh fenomena alam ini merupakan petunjuk Allah, sebagaimana diakui oleh Rosental, bahwa tujuan filsafat Islam adalah untuk membuktikan kebenaran wahyu sebagai hukum Allah dan ketidakmampuan akal untuk memahami Allah sepenuhnya, juga untuk menegaskan bahwa wahyu tidak bertentangan dengan akal (C.A. Qadir, 1989: ix).
Filsafat Islam jika dibandingkan dengan filsafat  umum lainnya, telah mempunyai ciri tersendiri sekalipun objeknya sama. Hal ini karena filsafat Islam itu tunduk dan terikat oleh norma-norma Islam. Filsafat Islam berpedoman pada ajaran Islam.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa filsafat Islam adalah merupakan hasil pemikiran manusia secara radikal, sistematis dan universal tentang hakikat Tuhan, alam semesta dan manusia berdasarkan  ajaran Islam.

B.     Pertumbuhan Fisafat Hukum Islam
Pertumbuhan Filsafat Hukum Islam diawali oleh adanya doktrin Islam yang memperbolehkan ijtihad. Ijtihad merupakan pendekatan akal dalam mengambil putusan hukum jika tidak ada dalil yang pasti, baik dai al-Qur’an maupun Sunnah.[2]
Hal tersebut terjadi pada peristiwa Muadz Ibn Jabal
كيف تقض إذاعرض لك قضاء؟ قال : أقض بكتاب الله قال: فإن لم تجد فى كتاب الله ؟ قال فبسنة رسول الله ص.م. فإن لم تجد فى سنة رسول الله ولا فى كتاب الله ؟ أجتهد برأى ولا الو قال معاد. فضرب رسول الله ص.م. صدره وقال الحمد لله الذى وفق رسول الله لما يرضى رسول الله.
Al-Qur’a juga mendorong adanya penelaran akal dalam memahami hukum seperti Q.S. Al-Baqarah ayat 179:

وَلَكُمْ فِى الْقِصَاصِ حَيَوةٌ يُا ولِى الْاَلْبَابِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَ
Umar Bin Khaththab: Memutuskan hukum dengan melihat roh syari’ah. Muhammad Iqbal (1873-1938) pernah menyatakan “apakah hukum Islam dapat berkembang?” Ia menjawb sendiri, “bisa, asalkan dunia Islam mau memasuki jiwa Umar.” Kontroversi Ijtihad Umar Pendapatnya tentang Hasbuna Kitaballah. Menggugurkan hukum potong tangan bagi pencuri dengan berdasarkan argumen subyektif sosiologis. Membatasi kebolehan menikahi wanita ahlul kitab karena khawatir menikahi dengan wanita muslimah akan kurang disukai. Tidak memberikan zakat kepada muallaf.  Faktor-faktor pendorong dalam putusan Umar : Beradaptasi dengan tantangan baru, karena perubahan sosial, ekonomi, dan demografi.
Karakteristik Mazhab Umar : Mengutamakan ra’yu dari pada sunnah Menekankan aspek maqasid asy-syari’ah Imam Syafi’i (150-204 H.) Tokoh yang terkenal dengan qaul qodim (pendapatnya ketika di Irak) dan qaul jadidnya (pendapatnya ketika di Mesir). Qaul qadim cendrung lebih rasional sedangkan qaul jadid lebih bersifat naqli (hadis.). Secara metodologis perubahan atas suatu pemikiran merupakan realitas dinamis dalam pemikiran hukum Syafi’i yang sangat terkait dengan keadaan ruang dan waktu. 
Penelitian Filsafat Hukum Islam ditekankan pada maqasid as-Syari’ah. Al-Juwaini, menyakatakan seseorang tidak dikatakan mampu menetapkan hukum Islam, sebelum ia dapat memahami benar tujuan Allah menetapkan perintah dan larangan-larangan-Nya. Maqasid Syari’ah menurut Juwaini dibagi pada lima bagian; daruriyyat, hajjah al-ammah, makramah, hal-hal yang tidak termasuk daruriyah dan hajjiyah, dan hal yang tidak termasuk pada daruri, hajjah al-ammah dan makramat. 
Dikembangkan oleh muridnya yaitu Al-Ghazali. Maqasid Syari’ah diletakkan dalam konteks illat dalam qiyas maupun dalam konteks istislah. Masalahat ialah memelihara maksud syari’ (pembuat hukum).  Maslahat itu menurut al-Gazali ada lima, yaitu memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Tujuan ini diletakkan dalam dlaruriyyah, hajjiyah dan tahsiniyah.
Izz al-Din Ibnu ‘Abd Salam, dalam kitabnya Qawa’id al-Ahkam fi Mashalih al-Anam, masalahat diletakkan dalam konteks dar’ul mafasid wa jalbul manafi’ (menghindari mafsadat menarik manfaat). Maslahat di dunia tidak bisa dilepaskan dari daruriyah, hajjiyyat, tatimmat atau taklimat. Taklif bermuara pada kemaslahatan manusia baik di dunia maupun di akirat.
Abu Ishaq Al-Syatibi (730-790 H.) dalam kitabnya al-Muwafaqat menyatakan bahwa tujuan Alah SWT. Mensyari’atkan hukum-Nya adalah untuk kemaslahatan manusia. Ia membagi peringkat kemaslahatan kepada dharuriyat, hajjiyat dan tahsiniyyat.
Dharuriyyat (musti) bersifat esensial bagi kehidupan manusia. Kebutuhan esensial itu memelihara agama, jiwa, akal, keturunan dan harta.
Hajjiyat, (diperlukan) tidak termasuk esensial tapi merupakan kebutuhan yang dapat menghindarkan manusia dari kesulitan dalam kehidupannya baik di dunia maupun diakhirat.
Tahsiniyat (pujian), sifatnya emnunjang peningkatn martabat seseorang baik kehidupan di dunia maupun akhirat. Najmuddin Al-Thufi (657-716 H.) Pemikirannya tentang masalah bertolak dari hadis لَاضَرَرَ وَلَاضِرَارَ (tidak boleh memadartkan dan tidak boleh pula memeadaratkan. (HR. Hakim, Daruqutni, Ibnu Majjah dan Ahmad Bin Hambal). Inti seluruh ajaran Islam yang termuat dalam nash adalah maslahah bagi manusia. Seluruh kemaslahatan itu disyari’atkan. Setiap maslahat tidak pelu mendapatkan dukungan dari nash.
Maslahat merupakan dalil paling kuat yang secara mandiri dapat dijadikan alasan dalam menentukan hukum syara. Prinsip Masalahat dalam pemikitan al-Thufi meliputi: Akal bebas menentukan kemasalahat dan kemadaratan, khususnya dalam bidang muamalah dan adat. Maslahah merupakan dalil mandiri dalam menentukan hukum. Maslahah hanya berlaku dalam masalah muamalah Maslahah merupakan dalil syara’ yang paling kuat. Apabila nash atau ijma bertentangan dengan maslahah didahulukan maslahah engn cara takhsis dan bayan.

C.    Perkembangan Filsafat Hukum Islam
Kegiatan penelitian terhadap hukum Islam telah banyak dilakukan oleh para ulama yang dikenal dengan sebutan ushul fiqh. Ulama generasi awal yang sudah melakukan kegiatan ijtihad ini dikenal dengan sebutan imam empat mazhab, yaitu Malik ibn Anas, Abu Hanifah, Asy-Syafi’iy dan Ahmad bin Hambal.[3]
Kegiatan filsafat hukum Islam ini terus berlanjut oleh generasi berikutnya. Al-Juwaini yang dikenal sebagai ulama ushul fiqh generasi awal menekankan pentingnya memahami maqashid al-syariah (tujuan hukum) dalam menetapkan hukum. Ia secara tegas menyatakan bahwa seseorang tidak dikatakan mampu menetapkan hukum dalam Islam sebelum ia dapat memahami dengan benar tujuan Allah menetapkan perintah-perintah dan larangan-larangannya. Kemudian ia mengaitkan tujuan hukum tersebut dalam kaitannya pada pembahasan ‘illah dalam masalah qiyas. Menurut pendapatnya, dalam kaitan dengan ‘illah, ashl dapat dibedakan menjadi tiga kelompok, yaitu daruriyat, hajiyyat, dan makramat.
Kerangka berpikir al-Juwaini diatas dikembangkan oleh muridnya al-Ghazali. Dalam kitabnya Syifa’ al-Ghalil, Ghazali menjelaskan maksud syariat dalam kaitannya dengan pembahasan al-munasabat al-mashlahiyat dalam qiyas. Sementara dalam kitabnya yang lain ia membicarakannya dalam pembahasan istishlah. Menurut al-Ghazali, mashlahat adalah memelihara maksud al-Syar’i (pembuat hukum). Kemudian ia memerinci mashlahat itu menjadi lima, yaitu: memelihara agama, jiwa, akal, keturunan dan harta.[4]
Pada era sekarang, kegiatan berfilsafat (ijtihad) dalam hukum Islam ini telah dinaungi dalam sebuah organisasi keislaman yang bertugas mencari ketetapan hukum terhadap masalah-masalah baru yang terdapat di dalam masyarakatnya. Pada masyarakat Indonesia, proses ijtihad ini dilakukan oleh organisisai Islam yang disebut dengan Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang bertugas memberikan jawaban-jawaban atas permasalahan baru yang muncul di kalangan umat Islam di Indonesia. Dalam menetapkan hukum, MUI menggunakan suatu istilah yang disebut dengan fatwa, yaitu keputusan atau ketetapan hukum baru terhadap permasalahan yang tidak terdapat di dalam Al-Qur’an, hadis, maupun kitab-kitab hukum Islam terdahulu agar terpeliharanya keamanan dan kesejahteraan umat Islam di Indonesia.
Majelis Ulama Indonesia adalah wadah atau majelis yang menghimpun para ulama,zuama dan cendekiawan muslim Indonesia untuk menyatukan gerak dan langkah-langkah umat Islam Indonesia dalam mewujudkan cita-cita bersama. Majelis Ulama Indonesia berdiri pada tanggal, 7 Rajab 1395 H, bertepatan dengan tanggal 26 Juli 1975 di Jakarta, sebagai hasil dari pertemuan atau musyawarah para ulama, cendekiawan dan zu’ama yang datang dari berbagai penjuru tanah air. Antara lain meliputi dua puluh enam orang ulama yang mewakili 26 Propinsi di Indonesia, 10 orang ulama yang merupakan unsur dari ormas-ormas Islam tingkat pusat, yaitu, NU, Muhammadiyah, Syarikat Islam, Perti. Al Washliyah, Math’laul Anwar, GUPPI, PTDI, DMI dan al Ittihadiyyah, 4 orang ulama dari Dinas Rohani Islam, AD, AU, AL dan POLRI serta 13 orang tokoh/cendekiawan yang merupakan tokoh perorangan.
Dalam khitah pengabdian Majelis Ulama Indonesia telah dirumuskan limafungsi dan peran utama MUI yaitu:
1.     Sebagai pewaris tugas-tugas para Nabi (Warasatul Anbiya)
2.     Sebagai pemberi fatwa (mufti)
3.     Sebagai pembimbing dan pelayan umat (Riwayat wa khadim al ummah)
4.     Sebagai gerakan Islah wa al Tajdid
5.     Sebagai penegak amar ma’ruf dan nahi munkar
Sampai saat ini Majelis Ulama Indonesia mengalami beberapa kali kongres atau musyawarah nasional, dan mengalami beberapa kali pergantian Ketua Umum, dimulai dengan Prof. Dr. Hamka, KH. Syukri Ghozali, KH. Hasan Basri, Prof. KH. Ali Yafie dan kini KH. M. Sahal Maffudh. Ketua Umum MUI yang pertama, kedua dan ketiga telah meninggal dunia dan mengakhiri tugas-tugasnya. Sedangkan dua yang terakhir masih terus berkhidmah untuk memimpin majelis para ulama ini.
Dalam menegakkan hukum Islam di Indonesia, MUI menggunakan mufti untuk memberikan fatwa. Adapun contoh fatwa yang diberikan MUI sebagai proses ijtihad dalam hukum Islam yaitu: fatwa MUI tentang bunga yang diberikan oleh bank kepada nasabahnya. Hal ini disebabkan karena pada zaman Nabi saw lembaga pengatur keuangan sdengan sistem ekonomi seperti bank belum ada. Berdasarkan Al-Qur’an, hadis, ijma’ dan qiyas, empat landasan dasar dalam pengambilan hukum Islam di Indonesia, MUI memutuskan bahwasanya Praktek pembungaan uang saat ini telah memenuhi kriteria riba yang terjadi pada jaman Rasulullah SAW, Ya ini Riba Nasi’ah. Dengan demikian, praktek pembungaan uang ini termasuk salah satu bentuk Riba, dan Riba Haram Hukumnya. Praktek Penggunaan tersebut hukumnya adalah haram, baik di lakukan oleh Bank, Asuransi, Pasar Modal, Pegadian, Koperasi, Dan Lembaga Keuangan lainnya maupun dilakukan oleh individu.

BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Sebelum lebih lanjut membicarakan filsafat Islam, terlebih dulu perlu ditegaskan apa yang dimaksud dengan filsafat Islam di sini. Filsafat Islam dimaksudkan adalah filsafat dalam perspektif pemikiran orang Islam. Seperti juga pendidikan Islam adalah dimaksudkan pendidikan dalam perspektif orang Islam. Karena berdasarkan perspektif pemikiran orang, maka kemungkinan keliru dan bertentangan satu sama lain adalah hal yang wajar.
Pertumbuhan Filsafat Hukum Islam diawali oleh adanya doktrin Islam yang memperbolehkan ijtihad. Ijtihad merupakan pendekatan akal dalam mengambil putusan hukum jika tidak ada dalil yang pasti, baik dai al-Qur’an maupun Sunnah.
Kegiatan penelitian terhadap hukum Islam telah banyak dilakukan oleh para ulama yang dikenal dengan sebutan ushul fiqh. Ulama generasi awal yang sudah melakukan kegiatan ijtihad ini dikenal dengan sebutan imam empat mazhab, yaitu Malik ibn Anas, Abu Hanifah, Asy-Syafi’iy dan Ahmad bin Hambal.

B.     Saran
Untuk mendapatkan manfaat yang sempurna dari Makalah yang penulis buat  ini, hedaknya Pembaca  Memberikan Kritik dan saran serta melakukan Pengkajian Ulang (diskusi) terhadap penulisan sehingga penulis terhindar dari Kekeliruan.

DAFTAR PUSTAKA

Barnadib, Imam. 1982. Filsafat Pendidikan. Yogyakarta: IKIP Yogyakarta
Jalaluddin, dkk. 1998. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada

Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam (Cet. V; Jakarta: Bulan Bintang, 1973).

zainuddin. Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Filsafat Islam. Lecturer UIN-Malang 2013.



[1] Barnadib, Imam. 1982. Filsafat Pendidikan. Yogyakarta: IKIP Yogyakarta
[2] Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam (Cet. V; Jakarta: Bulan Bintang, 1973).
[3]  Al-Juwaini, al-Burhan fi Ushul al-Fiqh (Dar al-Anshar, 1979), jilid 1, hal. 295.
[4] Al-Ghazali, al-Mustashfa min Ilmi al-Ushul (Kairo: Sayyid al-Husein), hal. 250.

No comments:

Post a Comment