1

loading...

Tuesday, November 6, 2018

MAKALAH SUMBER HUKUM ISLAM


MAKALAH SUMBER HUKUM ISLAM


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar belakang
Kehadiran agama Islam yang dibawa Nabi Muhammad Saw diyakini dapat menjamin terwujudnya kehidupan manusia yang sejahtera lahir dan batin. Petunjuk-petunjuk agama mengenai berbagai kehidupan manusia, sebagaimana terdapat di dalam sumber ajarannya, Alquran dan Hadis, tampak amat ideal dan agung.
Islam mengajarkan kehidupan yang dinamis dan progresif, menghargai akal pikiran melalui pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, bersikap seimbang dalam memenuhi kebutuhan material dan spiritual, senantiasa mengembangkan kepedulian sosial, menghargai waktu, bersikap terbuka, demokratis, berorientasi pada kualitas, egaliter, kemitraan, anti-feodalistik, mencintai kebersihan, mengutamakan persaudaraan, berakhlak mulia dan bersikap positif lainnya
B.     Rumusan masalah
1.      Apa itu aqur’an, hadis, ijtihad dan qiyas?
C.    Tujuan penulis
1.      Untuk menjelaskan pengertian alquar’an, hadis, ijtihad dan qiyas.



BAB II
PEMBAHASAN

A.           Alqur’an
a.    Pengertian alqur’an
Alqur’an menurut bahasa mempunyai arti yang bermacam-macam, menurut pendapat yang lebih kuat adalah bahwa alqur’an berarti “bacaan” atau yang dibaca. Pendapat ini beralasan bahwa alqur’an adalah bentuk masdar dari kata “qara’a yaqra’u” yang artinya “membaca”. Alqur’an dalam arti membaca ini juga terdapat dalam potongan ayat alqur’an, surat alqiamah ayat 16- 18 yang artinya:
Janganlah kamu kamu gerakkan lidah mu untuk (membaca) alqur’an karena hendak cepat- cepat (menguasainya). Sesungguh nya atas tanggungan kamilah mengumpulkannya (didada mu) dan (membuat mu pandai membaca nya). Apabilah kami telah selesai membaca nya maka ikutilah bacaan nya. (alqiamah ayat 16- 18).
Ada ulama yang mengartikan alqur’an menurut bahasa, antara lain yaitu:
Al-asy’ari, beliau mengartikan bahwa alqur’an artinya ialah menggabungkan sesuatu dengan yang lain, karena alqur’an terampil dari kata “qarana” dan alqur’an berarti demikian, karena surat- surat maupun ayat, bahkan juga huruf- huruf nya saling beriringan dan bergabung satu dengan yang lain.
Alquran menurut istilah adalah lafal berbahasa arab yang di turunkan kepada nabi muhammad saw, yang disampaikan kepada kita secara mutawatir, yang di perintahkan membaca nya, yang menantang setiap orang ( untuk menyusun walaupun) dengan (membuat) surat yang terpendek daripada surat- surat yang ada didalam nya. Secara etimologi Al Qur’an  berasal dari kata qara’a, yaqra’u, qiraa’atan, atau qur’anan yang berarti mengumpulkan (al-jam’u) dan menghimpun (al-dlammu). Sedangkan secara terminologi (syariat), Alquran adalah Kalam Allah ta’ala yang diturunkan kepada Rasul dan penutup para Nabi-Nya, Muhammad SAW, diawali dengan surat al-Fatihah dan diakhiri dengan surat an-Naas. Dan menurut para ulama klasik, Alquran adalah Kalamulllah yang diturunkan pada Rasulullah dengan bahasa arab, merupakan mukjizat dan diriwayatkan secara mutawatir serta membacanya adalah ibadah.
Alquran berisi perintah dan larangan, ayat yang pertama  turun di gua hira pada permulaan Muhammad diangkat menjadi rasul dengan surah al-‘alaq. Sedangkan ayat yang terakhir turun adalah surah al-maa’idah ayat 3.
Alquran terdiri dari 30 juz, 114 surah, 6.236 ayat, dan 324.345 huruf. Menurut turunnya, wahyu dapat dibagi dua bagian, yaitu: wahyu (surah) yang turun di mekah disebut makkiyah, dan wahyu (surah) yang turun di madinah disebut madaniyah.
b.      Fungsi alqur’an
Alqur’an berfungsi sebagai penegas bidang akidah. Dalam bidang akidah penegasan alqur’an merupakan khulashah ( intisari ) yang di prioritaskan, di antaranya mengenai iman kepada yang gaib. Selain itu alqur’an juga berfungsi sebagai sumber hukum yang utama, sebagai penegas ibadah, dan sebagai sumber pelajaran, menjadi pedoman hidup bagi setiap orang mukmin, sebagaimana firman allah dalam surah (annaml/27: 77 ) yang artinya: “dan sesungguh nya alqur’an itu benar- benar menjadi petunjuk dan rahmat bagi orang- orang beriman. “(annaml/27: 77 )
adapun fungsi lain nya yaitu sebagai obat bagi segala penyakit rohani serta memberikan motivasi atau dorongan untuk kemajuan tekhnologi.[1]

Kisah umat terdahulu, seperti para Nabi dan Rasul dalam menyiarkan syariat Allah SWT maupun kisah orang-orang saleh ataupun kisah orang yang mengingkari kebenaran Alqur’an agar dapat dijadikan pembelajaran.
Al-Quran mengandung tiga komponen dasar hukum, sebagai berikut:
1.      Hukum I’tiqadiah, yakni hukum yang mengatur hubungan rohaniah manusia dengan Allah SWT dan hal-hal yang berkaitan dengan akidah/keimanan. Hukum ini tercermin dalam Rukun Iman. Ilmu yang mempelajarinya disebut Ilmu Tauhid, Ilmu Ushuluddin, atau Ilmu Kalam.
2.      Hukum Amaliah, yakni hukum yang mengatur secara lahiriah hubungan manusia dengan Allah SWT, antara manusia dengan sesama manusia, serta manusia dengan lingkungan sekitar. Hukum amaliah ini tercermin dalam Rukun Islam dan disebut hukum syara/syariat. Adapun ilmu yang mempelajarinya disebut Ilmu Fikih.
3.      Hukum Khuluqiah, yakni hukum yang berkaitan dengan perilaku normal manusia dalam kehidupan, baik sebagai makhluk individual atau makhluk sosial. Hukum ini tercermin dalam konsep Ihsan. Adapun ilmu yang mempelajarinya disebut Ilmu Akhlaq atau Tasawuf. Sedangkan khusus hukum syara dapat dibagi menjadi dua kelompok, yakni:
1.      Hukum ibadah, yaitu hukum yang mengatur hubungan manusia dengan Allah SWT,misalnya shalat, puasa, zakat, dan haji
2.      Hukum muamalat, yaitu hukum yang mengatur manusia dengan sesama manusia dan alam sekitarnya. Termasuk ke dalam hukum muamalat adalah sebagai berikut:
a.       Hukum munakahat (pernikahan).
b.       Hukum faraid (waris).
c.        Hukum jinayat (pidana).
d.       Hukum hudud (hukuman).
e.        Hukum jual-beli dan perjanjian.
f.        Hukum tata Negara/kepemerintahan
g.        Hukum makanan dan penyembelihan.
h.       Hukum aqdiyah (pengadilan).
i.         Hukum jihad (peperangan).
j.         Hukum dauliyah (antarbangsa).

c.       Kedudukan Al-Qur’an sebagai sumber islam
Allah SWT. Menurunkan Al-Qur’an itu, gunanya untuk dijadikan dasar hukum, dan disampaikan kepada ummat manusia untuk diamalkan segala perintahnya dan ditinggalkan segala larangannya, sebagaimana firman Allah :     فاستمسك بالذي أوحى اليك ( الزخرف : 43)          
Artinya :“ maka berpeganglah kepada apa diwahyukan kepadamu”. (Az-Zukhruf ayat 43)
Al-Qur’an sebagai kitab Allah SWT menempati posisi sebagai sumber pertama dan utama dari seluruh ajaran Islam, sekaligus juga sebagai dalil utama fiqih. Al-Qur’an juga membimbing dan memberikan petunjuk untuk menemukan hukum-hukum yang terkandung dalam sebagian ayat-ayatnya.
Karena kedudukan Al-Qur’an itu sebagai sumber utama dan pertama bagi penetapan hukum, maka apabila seseorang ingin menemukan hukum maka dilakukan penyelesainnya terlebih dahulu berdasarkan dengan Al-Qur’an. Dan apabila menggunakan sumber hukum lain di luar Al-Qur’an, maka harus sesuai dengan petunjuk Al-Qur’an dan tidak boleh melakukan sesuatu yang bertentangan dengan Al-Qur’an.
Hal ini berarati bahwa sumber-sumber hukum selain Al-Qur’an tidak boleh menyalahi apa yang telah ditetapkan Al-Qur’an. Al-Qur’an juga mengatur hubungan manusia dengan dirinya sendiri, hubungan manusia dengan Allah SWT, hubungan manusia dengan sesamanya, dan hubungan manusia dengan alam.
d.        Pokok-pokok isi Al Qur’an 
Isi pokok Al Qur’an  adalah :
a)      Tauhid
b)      Ibadah
c)      Janji dan ancaman
d)     Sejarah

e.       Hukum yang terkandung dalam Al Qur’an 
Hukum yang  di kandung oleh Al Qur’an  ada 3 macam, yaitu:
a)      Hukum-hukum akidah (keimanan), yang bersangkut paut dengan hal-hal yang harus di percayai oleh setiap mukallaf, tentang malaikat nya, kitabnya, para rasulnya.
b)      Hukum-hukum Allah , yang bersangkut paut dengan hal-hal yang harus di jadikan perhiasan oleh setiap mukallaf.
c)      Hukum-hukum amaliyah, yang bersangkut paut dengan hal-hal tindakan setiap mukallaf, meliputi masalah ucapan, perbuatan, akad (contract), dan pembelanjaan (pengelolaan harta benda).
Maka hukum selain ibadah dalam istilah syara’ disebut hukum muamalah. Sedangkan menurut istilah modern hukum muamalah telah bercabang cabang sesuai dengan hal-hal yang berhubungan dengan muamalah manusia yakni :
a)      Hukum badan pribadi yaitu hukum yang dengan unit keluarga , mulai dari pemulaan berdirinya.contohnya: mengatur hubungan anak dengan orang tua, suami  istri, dan kerabat. Ayat –ayat mengenai hukum ini dalam Al Qur’an  sekitar 70 ayat.
b)      Hukum perdata yaitu : yang berhubungan dengan muamalah antara perorangan ,masyarakat dan persekuatannya, seperti : jual beli,sewa-menyewa , gadai-menggadai, pertanggungan, dll. Dalam Al Qur’an  ada 70 ayat.
c)      Hukum pidana yang berhubungan tindakan kriminal setiap mukalaf dan masalah pidananya bagi si pelaku kriminal. Dan dalam Al Qur’an  terdapat sekitar 30 ayat.
d)     Hukum acara yaitu : yang berhubungan dengan pengadilan , kesaksian , dan sumpah. Dalam Al Qur’an  terdapat sekitar 13 ayat
e)      Hukum ketatanegaraan ,yaitu: yang berhubungan dengan peraturan pemerintahan dan dasar-dasarnya. Dalam Al Qur’an  tercatat sekitar 13 ayat .
f)       Hukum internasional, yaitu : yang berhubungan dengan masalah-masalah hubungan antar negara-negara islam dengan bukan negara islam,dan tata cara pergaulan selain muslim di negara islam. Dalam Al Qur’an  tercatat sekitar 25 ayat.
g)      Hukum ekonomi dan keuangan ,yaitu: yang berhubungan dengan hak orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian dari harta orang kaya. Dalam Al Qur’an  tercatat sekitar 10 ayat.
B.     Hadist
a.      Pengertian
Sunnah menurut bahasa artinya perjalanan, pekerjaan atau cara. Sunnah menurut istilah syara’ ialah perkataan nabi Muhammad saw., perbuatannya, dan keterangannya yaitu sesuatu yang dikatakan atau diperbuat oleh sahabat dan ditetapkan oleh nabi, tiada ditegurnya sebagai bukti bahwa perbuatan itu tiada terlarang hukumnya.
Pengertian hadis secara sempit yaitu sebagaimana yang di kemukakan oleh jumhurul muhadditsin, ialah:
“hadis adalah sesuatu yang di sandarkan kepada nabi saw., baik berupa perkataan, perbuatan, pernyataan (taqrir), dan sebagainya.”
Jadi bisa di artikan hadis adalah sumber ke dua ajaran islam, setelah alqur’an alkarim. Sedangkan pengertian hadist secara luas ialah suatu yang disandarakan baik kepada Nabi Muhammad SAW atau sahabat, Taabi’in, baik berupa perkataan, perbuatan, pernyataan atau Taqrir maupun sifat dan keadaannya.[2]
Sementara itu Jumhurul Ulama atau kebanyakan para ulama ahli hadis mengartikan Al-Hadis, Al-Sunnah, Al-Khabar dan Al-Atsar sama saja, yaitu segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad Saw, baik dalam bentuk ucapan, perbuatan maupun ketetapan. Sementara itu ulama Ushul mengartikan bahwa Al-Sunnah adalah sesuatu yang berasal dari Nabi Muhammad dalam bentuk ucapan, perbuatan dan persetujuan beliau yang berkaitan dengan hukum.
b.      Kedudukan hadis sebagai sumber hukum islam
Kedudukan Hadist sebagai sumber ajaran Islam selain didasarkan pada keterangan ayat-ayat Alquran dan Hadist juga didasarkan kepada pendapat kesepakatan para sahabat. Yakni seluruh sahabat sepakat untuk menetapkan tentang wajib mengikuti hadis, baik pada masa Rasulullah masih hidup maupun setelah beliau wafat.
Sebagai sumber ajaran Islam kedua, setelah Alquran, Hadist memiliki fungsi yang pada intinya sejalan dengan alquran. Keberadaan Al-Sunnah tidak dapat dilepaskan dari adanya sebagian ayat Alquran :
1.      Yang bersifat global (garis besar) yang memerlukan perincian;
2.      Yang bersifat umum (menyeluruh) yang menghendaki pengecualian;
3.      Yang bersifat mutlak (tanpa batas) yang menghendaki pembatasan; dan ada pula
4.      Isyarat Alquran yang mengandung makna lebih dari satu (musytarak)
Menghendaki penetapan makna yang akan dipakai dari dua makna tersebut; bahkan terdapat sesuatu yang secara khusus tidak dijumpai keterangannya di dalam Alquran yang selanjutnya diserahkan kepada hadis nabi. Ada tiga peranan al-Hadis disamping al-Quran sebagai sumber agama dan ajaran Islam, yakni sebagai berikut :

a.       Menegaskan lebih lanjut ketentuan yang terdapat dalam al-Quran. Misalnya dalam Al-Quran terdapat ayat tentang sholat tetapi mengenai tata cara pelaksanaannya dijelaskan oleh Nabi.
b.      Sebagai penjelasan isi Al-Quran. Di dalam Al-Quran Allah memerintah- kan manusia mendirikan shalat. Namun di dalam kitab suci tidak dijelaskan banyaknya raka’at, cara rukun dan syarat mendirikan shalat. Nabilah yang menyebut sambil mencontohkan jumlah raka’at setiap shalat, cara, rukun dan syarat mendirikan shalat.
c.       Menambahkan atau mengembangkan sesuatu yang tidak ada atau samar-samar ketentuannya di dalam Al-Quran. Sebagai contoh larangan Nabi mengawini seorang perempuan dengan bibinya. Larangan ini tidak terdapat dalam larangan-larangan perkawinan di surat An-Nisa (4) : 23. Namun, kalau dilihat hikmah larangan itu jelas bahwa larangan tersebut mencegah rusak atau putusnya hubungan silaturrahim antara dua kerabat dekat yang tidak disukai oleh agama Islam.
c.       Fungsi Hadist dalam Al-Qur’an
1.      berfungsi menetapkan dan memperkuat hukum-hukum yang telah ditentukan oleh Al-Qur’an
2.      memberikan perincian dan penafsiran ayat-ayat Al- Qur’an yang masih bersifat umum
3.      menetapkan hukum atau aturan-aturn yang tidak didapati dalam Al-Qur’an[3]
d.      Pembagian Hadist
Berikut beberapa pembagian hadist :
1.       Sunnah Qouliyah yaitu perkataan nabi saw. yang menerangkan hukum-hukum agama dan maksud isi Al-Qur’an serta berisi peradaban, hikmah, ilmu pengetahuan dan juga menganjurkan akhlaq yang mulia. Sunnah qouliyah (ucapan) dinamakan juga hadits nabi saw.
Sunnah Qouliyah juga disebut “khabar”.  Jadi sunnah qouliyah itu boleh dikatakan sunnah, hadits dan khabar. Khabar  pada umumnya dapat dibagi tiga :
a.       Yang pasti benarnya,seperti apa yang datang dari Allah,RasulNya dan khabar yang dibeikan dengan jalan mutawatir.
b.      Yang pasti tidak benarnya, yaitu pemberitaan tentang hal-hal yang tidak mungkin dibenarkan oleh akal, seperti khabar mati dan hidup dapat berkumpul.
c.       Khabar yang tidak dapat dipastikan benar bohongnya seperti khabar-khabar yang samar,karena kadang-kadang tidak dapat ditentukan mana yang kuat, benarnya atau bohongnya.
2.       Sunnah Fi’liyah yaitu perbuatan Nabi SAW yang menerangkan cara melaksanakan ibadah, misalnya cara berwudhu, shalat dan sebagainya. Sunnah Fi’liyah itu terbagi sebagai berikut :
a.       Pekerjaan nabi saw. yang bersifat gerakan jiwa, gerakan hati, gerakan tubuh, seperti : bernafas, duduk, berjalan dan sebagainya. Perbuatan seperti ini tidak bersangkut-paut dengan soal hukum, dan tidak ada hubungannya dengan suruhan larangan atau tauladan.
b.      Perbuatan nabi saw. yang bersifat kebiasaan, seperti : cara-cara makan, tidur dan sebagainya. Perbuatan semacam ini  pun tidak ada hubungannya dengan perintah, larangan, dan tauladan. kecuali kalau ada perintah anjuran nabi untuk mengikuti cara-cara tersebut.
c.       Perbuatan nabi saw. yang khusus untuk beliau sendiri, beristri lebih dari empat. Dalam hal ini orang lain tidak boleh mengikutinya.
d.      Pekerjaan yang bersifat menjelaskan hukum yang mujmal, seperti : shalatnya, hajjinya, yang kedua-duanya menjelaskan sabdanya :
صلواكمارأيتمونى اصلى.
               Artinya :
“Shalatlah kamu sebagaimana kamu melihat aku shalat”.
            Dan:            
خذوا مناسككم.
Artinya :
“Ambillah dari padaku hal-hal (pelakuan) ibadah hajjimu”.
Hukum perbuatan tersebut  sama dengan hukum apa yang dijelaskan, baik wajib maupun mandubnya.
a.       Pekerjaan yang dilakukan orang lain sebagai hukuman, seperti: menahan orang,atau mengusahakan milik orang lain.
b.      Pekerjaan yang menunjukkan kebolehan saja, seperti: berwudhu dengan satu kali, dua kali dan tiga kali.
3.       Sunnah Taqririyah yaitu bila Nabi SAW mendengar sahabat mengatakan sesuatu perkataan atau melihat mereka memperbuat suatu perbuatan, lalu ditetapkan dan dibiarkan oleh Nabi SAW dan tiada ditegurnya atau dilarangnya, maka yang demikian dinamai sunnah ketetapan Nabi (taqrir).
Maka perkataan atau perbuatan yang didiamkan itu sama saja dengan perkataan dan perbuatan Nabi sendiri, yaitu dapat menjadi hujjah bagi ummat seluruhnya.
Syarat sahnya taqrir ialah orang yang dibiarkannya itu benar-benar orang yang tunduk kepada syara’, bukan orang kafir atau munafiq. Contoh-contoh taqrir antara lain sebagai berikut:
a.       Mempergunakan uang yang dibuat oleh orang kafir.
b.      Mempergunakan harta yang diusahakan mereka seketika masih kafir.
c.       Membiarkan dzikir dengan suara keras sesudah shalat.
C.    Ijtihad
a.      pengertian
Dari segi bahasa ijtihad adalah “mengerjakan sesuatu dengan segalah kesungguhan” mengerjakan apa saja, asalkan dilakukan dengan penuh kesungguhan, adalah berijtihad namanya. Kata ijtihat memang tidak di gunakan kecuali untuk perbuatan yang harus dikerjakan dengan susah payah. Sedangkan menurut arti istilah, yang di sebut dengan ijtihad ialah ” mengerahkan segala potensi dan kemampuan semaksimal mungkin untuk menetapkan hukum- hukum syari’ah.
b.      Syarat- syarat ijtihad
1.      Mengetahui alqur’an dan alhadis
2.      Mengetahui hukum- hukum yang di tetapkan dengan ijma’
3.      Mengetahui serta memahami bahasa arab.
4.      Mengetahui ilmu ushul fiqih dan harus menguasai ilmu ini dengan kuat.
5.      Mengetahui imu nasikh dan mansukh
c.       Bentuk- bentuk ijtihad

Macam-macam ijtidah yang dikenal dalam syariat islam, yaitu
Ijma’, yaitu menurut bahasa artinya sepakat, setuju, atau sependapat. Sedangkan menurut istilah adalah kebulatan pendapat ahli Ijtihad umat Nabi Muhammad SAW sesudah beliau wafat pada suatu masa, tentang hukum suatu perkara dengan cara musyawarah. Hasil dari Ijma’ adalah fatwa, yaitu keputusan bersama para ulama dan ahli agama yang berwenang untuk diikuti seluruh umat. Adapun bentuk- bentuk ijtihad adalah sebagai berikut :
1.      Ijma’ menurut bahasa, artinya : sepakat, setuju, atau sependapat. Dan menurut ilmu fikih, ijmak artinya, kesatuan pendapat dari ahli-ahli hukum (ulama-ulama fikih) islam dalam satu masalah dalam satu masa dan wilayah tertentu. ijmak tidak boleh bertentangan dengan alquran dan sunah Rasulullah SAW. Ijmak ada dua macam, yaitu:
a.       Ijmak bayani, adalah pendapat dari para ahli hukum (fikih) yang mengeluarkan pendapatnya untuk menentukan suatu masalah.
b.      Ijmak sukuti, adalah suatu pendapat dari seseorang atau beberapa ahli hukum, tetapi ahli-ahli hukum lainnya tidak membantah.misalnya, semasa hidup nabi, nabi melakukan salat tarawih sebanyak 8 rakaat di zaman Umar Bin Khattab ra. 20 rakaat tidak ada sahabat yang membantah, maka salat tarawih di terima dengan ijmak sukuti.
2.      Qiyas menurut bahasa berarti mengukur, memperbandingkan, atau mempersamakan sesuatu dengan lainnya dikarenakan adanya persamaan. Sedang menurut istilah qiyas ialah menetapkan hukum sesuatu yang belum ada ketentuan hukumnya dalam nash dengan mempersamakan sesuatu yang telah ada status hukumnya dalam nash.
Berbeda dengan ijma', qiyas bisa dilakukan oleh individu, sedang ijma' harus dilakukan bersama oleh para mujtahid. Dengan kata lain Qiyas dapat diartikan pula sebagai suatu upaya untuk membandingkan suatu perkara dengan perkara lain yang mempunyai pokok masalah atau sebab akibat yang sama. Contohnya adalah surat al-isra ayat 23 dikatakan bahwa perkataan ‘ah’, ‘cis’, atau ‘hus’ kepada orang tua tidak diperbolehkan karena dianggap meremehkan atau menghina, apalagi sampai memukul karena sama-sama menyakiti kemaslahatan manusia.
Contohnya, dalam Al Quran maupun Hadist tidak terdapat dalil tentang menyakiti hati orang tua.
Qiyas menurut para ulama adalah hujjah syar'iyah yang keempat sesudah Al-Qur'an, Hadits dan Ijma'. Mereka berpendapat demikian dengan alasan:
Firman Allah :
فاعتبروا يااولى الابصار. ( الحسر : 2)
Artinya:
"Hendaklah kamu mengambil i'tibar (ibarat = pelajaran) hai orang-orang yang berfikiran". (S. Al-Hasyr ayat 2)
Karena i'tibar artinya "qiyasusysyai-i bisysyai-i : membandingkan sesuatu dengan sesuatu yang lain".
3.      Istihsan, yaitu suatu proses perpindahan dari suatu Qiyas kepada Qiyas lainnya yang lebih kuat atau mengganti argumen dengan fakta yang dapat diterima untuk mencegah kemudharatan atau dapat diartikan pula menetapkan hukum suatu perkara yang menurut logika dapat dibenarkan.
Contohnya, menurut aturan syarak, kita dilarang mengadakan jual beli yang barangnya belum ada saat terjadi akad. Akan tetapi menurut Istihsan, syarak memberikan rukhsah (kemudahan atau keringanan) bahwa jual beli diperbolehkan dengan system pembayaran di awal, sedangkan barangnya dikirim kemudian.
4.      Mushalat Murshalah, yaitu menurut bahasa berarti kesejahteraan umum. Adapun menurut istilah adalah perkara-perkara yang perlu dilakukan demi
memerintahkan untuk membukukan ayat-ayat Al Quran. Akan tetapi, hal ini dilakukan oleh umat Islam demi kemaslahatan umat.
5.      Sududz Dzariah, yaitu menurut bahasa berarti menutup jalan, sedangkan menurut istilah adalah tindakan memutuskan suatu yang mubah menjadi makruh atau haram demi kepentingan umat.
Contohnya adalah adanya larangan meminum minuman keras walaupun hanya seteguk, padahal minum seteguk tidak memabukan. Larangan seperti ini untuk menjaga agar jangan sampai orang tersebut minum banyak hingga mabuk bahkan menjadi kebiasaan.
6.      Istishab, yaitu melanjutkan berlakunya hukum yang telah ada dan telah ditetapkan di masa lalu hingga ada dalil yang mengubah kedudukan hukum tersebut.
Contohnya, seseorang yang ragu-ragu apakah ia sudah berwudhu atau belum. Di saat seperti ini, ia harus berpegang atau yakin kepada keadaan sebelum berwudhu sehingga ia harus berwudhu kembali karena shalat tidak sah bila tidak berwudhu.
7.      Urf, yaitu berupa perbuatan yang dilakukan terus-menerus (adat), baik berupa perkataan maupun perbuatan.
Contohnya adalah dalam hal jual beli. Si pembeli menyerahkan uang sebagai pembayaran atas barang yang telah diambilnya tanpa mengadakan ijab kabul karena harga telah dimaklumi bersama antara penjual dan pembeli.[4]
d.      Kedudukan Ijma’ Sebagai Sumber Hukum
Kebanyakan ulama menetapkan bahwa ijma' dapat dijadikan hujjah dan sumber hukum islam dalam menetapkan sesuatu hukum dengan nilai kehujjahan bersifat dzhanny. Golongan syi'ah memandang bahwa ijma' ini sebagai hujjah yang harus diamalkan. Sedang ulama-ulama Hanafi dapat menerima ijma' sebagai dasar hukum, baik ijma' qath'iy maupun dzhanny. Sedangkan ulama-ulama Syafi'iyah hanya memegangi ijma' qath'iy dalam menetapkan hukum. Dalil penetapan ijma' sebagai sumber hukum islam ini antara lain adalah :
Firman Allah dalam surat An-Nisa' ayat 59 :
يايهاالذين امنوا اطيعوا الله واطيعوا الرسول واولى الأمر منكم ( النساء : 59)
Artinya :
"Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan rasul-Nya dan Ulil Amri diantara kamu".
Yang dimaksud "ulil amri" ialah orang-orang yang memerintah dan para ulama. Menurut hadits:
لاتجتمع أمّتى على الضّلالة   
Artinya:
"Ummatku tidak bersepakat atas kesesatan".
Ijma' ini menempati tingkat ketiga sebagai hukum syar'iy, yaitu setelah Al-Qur'an dan as-Sunnah. Dari pemahaman seperti ini, pada dasarnya ijma' dapat dijadikan alternatif dalam menetapkan hukum sesuatu peristiwa yang di dalam Al-Qu'an atau as-Sunnah tidak ada atau kurang jelas hukumnya. Adapun Ijma’ ini terbagi dua macam:
a.       Ijma’ Sharih, yaitu ijma’ para ulama Mujtahiddin yang dinyatakan secara terang atau jelas baik dengan perkataan , tulisan ataupun perbuatan.
b.      Ijma’ Sukuti, yitu Ijma’ dimana sebagian mujtihad mengeluarkan pendapatnya yang sama, sedangkan Mujtadid yang lainnya diam dan tidak mengeluarkan pendapatnya.[5]


BAB III
PENUTUP
a.              Kesimpulan
Kesimpulkan Makalah ini adalah bahwa sumber-sumber ajaran islam terdiri dari ajaran islam primer dan skunder Primer terdiri dari Al-Qur’an dan Hadist sedangkan Skunder terdiri Ijtihad dan mencangkup Qiyas
b.             Saran
Kajian tentang makalah sumber-sumber ajaran islam ini akan memberikan pengetahuan dan wawasan. Hal ini sangat penting agar para pendidik dapat memahami dan pada giliranya kelak terhadap dinamika pendidikan itu sendiri. Dan yang tidak kalah pentingnya adalah bahwa dengan pengetahuan sumber-sumber ajaran islam itu sendiri. Demikianlah makalah kami yang berjudul sumber-sumber ajaran islam kami menyadari makalah ini masih banyak kekuranganya, karena itu kritik dan saran yang sifatnya membangun kami terima. Semoga makalah ini sangat berguna bagikita semua  Amin

DAFTAR PUSTAKA

Aminuddin Dkk, 2005. Pendidikan Agama Isam.Bogor.Ghalia Indonesia.
Ngaiun Na’im.2009. Sejarah Pemikiran Hukum Islam.Yogyakarta. Teras



[1] Aminuddin Dkk, Pendidikan Agama Islam, ( Bogor, Ghalia Indonesia,2005) hlm. 45-47
[2] Aminuddin Dkk, Pendidikan Agama Islam, ( Bogor, Ghalia Indonesia,2005) hlm 55
[3] Aminuddin Dkk, Pendidikan Agama Islam, ( Bogor, Ghalia Indonesia,2005) hlm 57-58
[4] Ngaiun Naim, Sejarah Pemikiran Hukum Isam ( Yogyakarta, Teras, 2009) hlm. 36-37

[5] Aminuddin Dkk, Pendidikan Agama Islam, ( Bogor, Ghalia Indonesia,2005) hlm 65-67

No comments:

Post a Comment