MAKALAH SUMBER HUKUM ISLAM
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar belakang
Kehadiran agama Islam yang
dibawa Nabi Muhammad Saw diyakini dapat menjamin terwujudnya kehidupan manusia
yang sejahtera lahir dan batin. Petunjuk-petunjuk agama mengenai berbagai
kehidupan manusia, sebagaimana terdapat di dalam sumber ajarannya, Alquran dan
Hadis, tampak amat ideal dan agung.
Islam mengajarkan kehidupan
yang dinamis dan progresif, menghargai akal pikiran melalui pengembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi, bersikap seimbang dalam memenuhi kebutuhan material
dan spiritual, senantiasa mengembangkan kepedulian sosial, menghargai waktu,
bersikap terbuka, demokratis, berorientasi pada kualitas, egaliter, kemitraan,
anti-feodalistik, mencintai kebersihan, mengutamakan persaudaraan, berakhlak
mulia dan bersikap positif lainnya
B.
Rumusan masalah
1. Apa itu aqur’an, hadis, ijtihad dan qiyas?
C.
Tujuan penulis
1. Untuk menjelaskan pengertian alquar’an,
hadis, ijtihad dan qiyas.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Alqur’an
a. Pengertian alqur’an
Alqur’an menurut bahasa mempunyai arti yang
bermacam-macam, menurut pendapat yang lebih kuat adalah bahwa alqur’an berarti
“bacaan” atau yang dibaca. Pendapat ini beralasan bahwa alqur’an adalah bentuk masdar dari kata “qara’a yaqra’u” yang artinya “membaca”.
Alqur’an dalam arti
membaca ini juga terdapat dalam potongan ayat alqur’an, surat alqiamah ayat 16-
18 yang artinya:
Janganlah kamu kamu gerakkan lidah mu untuk (membaca)
alqur’an karena hendak cepat- cepat (menguasainya). Sesungguh nya atas tanggungan
kamilah mengumpulkannya (didada mu) dan (membuat mu pandai membaca nya). Apabilah
kami telah selesai membaca nya maka ikutilah bacaan nya. (alqiamah ayat 16-
18).
Ada ulama yang mengartikan alqur’an menurut
bahasa, antara lain yaitu:
Al-asy’ari, beliau mengartikan bahwa alqur’an
artinya ialah menggabungkan sesuatu dengan yang lain, karena alqur’an terampil
dari kata “qarana” dan alqur’an berarti demikian, karena surat- surat maupun
ayat, bahkan juga huruf- huruf nya saling beriringan dan bergabung satu dengan
yang lain.
Alquran menurut istilah adalah lafal
berbahasa arab yang di turunkan kepada nabi muhammad saw, yang disampaikan
kepada kita secara mutawatir, yang di perintahkan membaca nya, yang menantang
setiap orang ( untuk menyusun walaupun) dengan (membuat) surat yang terpendek
daripada surat- surat yang ada didalam nya. Secara etimologi Al Qur’an berasal dari kata qara’a, yaqra’u,
qiraa’atan, atau qur’anan yang berarti mengumpulkan (al-jam’u) dan menghimpun (al-dlammu).
Sedangkan secara terminologi (syariat), Alquran adalah Kalam Allah ta’ala yang
diturunkan kepada Rasul dan penutup para Nabi-Nya, Muhammad SAW, diawali dengan
surat al-Fatihah dan diakhiri dengan surat an-Naas. Dan menurut para ulama
klasik, Alquran adalah Kalamulllah yang diturunkan pada Rasulullah dengan
bahasa arab, merupakan mukjizat dan diriwayatkan secara mutawatir serta
membacanya adalah ibadah.
Alquran berisi perintah dan larangan, ayat
yang pertama turun di gua hira pada
permulaan Muhammad diangkat menjadi rasul dengan surah al-‘alaq. Sedangkan ayat
yang terakhir turun adalah surah al-maa’idah ayat 3.
Alquran terdiri dari 30 juz, 114 surah, 6.236
ayat, dan 324.345 huruf. Menurut turunnya, wahyu dapat dibagi dua bagian,
yaitu: wahyu (surah) yang turun di mekah disebut makkiyah, dan wahyu (surah) yang turun di madinah disebut madaniyah.
b. Fungsi alqur’an
Alqur’an berfungsi sebagai penegas bidang
akidah. Dalam bidang akidah penegasan alqur’an merupakan khulashah ( intisari ) yang di prioritaskan, di antaranya mengenai
iman kepada yang gaib. Selain itu alqur’an juga berfungsi sebagai sumber hukum
yang utama, sebagai penegas ibadah, dan sebagai sumber pelajaran, menjadi
pedoman hidup bagi setiap orang mukmin, sebagaimana firman allah dalam surah
(annaml/27: 77 ) yang artinya: “dan
sesungguh nya alqur’an itu benar- benar menjadi petunjuk dan rahmat bagi orang-
orang beriman. “(annaml/27: 77 )
adapun fungsi lain nya yaitu sebagai obat
bagi segala penyakit rohani serta memberikan motivasi atau dorongan untuk
kemajuan tekhnologi.[1]
Kisah umat terdahulu, seperti para Nabi dan Rasul
dalam menyiarkan syariat Allah SWT maupun kisah orang-orang saleh ataupun kisah
orang yang mengingkari kebenaran Alqur’an agar dapat dijadikan pembelajaran.
Al-Quran mengandung tiga komponen dasar hukum, sebagai berikut:
1. Hukum I’tiqadiah,
yakni hukum yang mengatur hubungan rohaniah manusia dengan Allah SWT dan
hal-hal yang berkaitan dengan akidah/keimanan. Hukum ini tercermin dalam Rukun
Iman. Ilmu yang mempelajarinya disebut Ilmu Tauhid, Ilmu Ushuluddin, atau Ilmu
Kalam.
2. Hukum Amaliah, yakni
hukum yang mengatur secara lahiriah hubungan manusia dengan Allah SWT, antara
manusia dengan sesama manusia, serta manusia dengan lingkungan sekitar. Hukum
amaliah ini tercermin dalam Rukun Islam dan disebut hukum syara/syariat. Adapun
ilmu yang mempelajarinya disebut Ilmu Fikih.
3. Hukum Khuluqiah,
yakni hukum yang berkaitan dengan perilaku normal manusia dalam kehidupan, baik
sebagai makhluk individual atau makhluk sosial. Hukum ini tercermin dalam
konsep Ihsan. Adapun ilmu yang mempelajarinya disebut Ilmu Akhlaq atau Tasawuf. Sedangkan khusus hukum syara dapat dibagi menjadi dua
kelompok, yakni:
1. Hukum ibadah, yaitu
hukum yang mengatur hubungan manusia dengan Allah SWT,misalnya shalat, puasa,
zakat, dan haji
2. Hukum muamalat, yaitu
hukum yang mengatur manusia dengan sesama manusia dan alam sekitarnya. Termasuk
ke dalam hukum muamalat adalah sebagai berikut:
a.
Hukum munakahat (pernikahan).
b.
Hukum faraid (waris).
c.
Hukum jinayat (pidana).
d.
Hukum hudud (hukuman).
e.
Hukum jual-beli dan perjanjian.
f.
Hukum tata Negara/kepemerintahan
g.
Hukum makanan dan penyembelihan.
h.
Hukum aqdiyah (pengadilan).
i.
Hukum jihad (peperangan).
j.
Hukum dauliyah (antarbangsa).
c. Kedudukan
Al-Qur’an sebagai sumber islam
Allah
SWT. Menurunkan Al-Qur’an itu, gunanya untuk dijadikan dasar hukum, dan
disampaikan kepada ummat manusia untuk diamalkan segala perintahnya dan
ditinggalkan segala larangannya, sebagaimana firman Allah : فاستمسك
بالذي أوحى اليك ( الزخرف : 43)
Artinya :“ maka berpeganglah kepada apa diwahyukan
kepadamu”. (Az-Zukhruf ayat 43)
Al-Qur’an
sebagai kitab Allah SWT menempati posisi sebagai sumber pertama dan utama dari
seluruh ajaran Islam, sekaligus juga sebagai dalil utama fiqih. Al-Qur’an juga
membimbing dan memberikan petunjuk untuk menemukan hukum-hukum yang terkandung
dalam sebagian ayat-ayatnya.
Karena
kedudukan Al-Qur’an itu sebagai sumber utama dan pertama bagi penetapan hukum,
maka apabila seseorang ingin menemukan hukum maka dilakukan penyelesainnya
terlebih dahulu berdasarkan dengan Al-Qur’an. Dan apabila menggunakan sumber
hukum lain di luar Al-Qur’an, maka harus sesuai dengan petunjuk Al-Qur’an dan
tidak boleh melakukan sesuatu yang bertentangan dengan Al-Qur’an.
Hal
ini berarati bahwa sumber-sumber hukum selain Al-Qur’an tidak boleh menyalahi
apa yang telah ditetapkan Al-Qur’an. Al-Qur’an juga mengatur hubungan manusia
dengan dirinya sendiri, hubungan manusia dengan Allah SWT, hubungan manusia
dengan sesamanya, dan hubungan manusia dengan alam.
d.
Pokok-pokok isi Al
Qur’an
Isi pokok Al Qur’an adalah :
a)
Tauhid
b)
Ibadah
c)
Janji dan ancaman
d)
Sejarah
e. Hukum yang terkandung dalam Al Qur’an
Hukum yang di kandung oleh Al
Qur’an ada 3 macam, yaitu:
a)
Hukum-hukum akidah (keimanan), yang
bersangkut paut dengan hal-hal yang harus di percayai oleh setiap mukallaf,
tentang malaikat nya, kitabnya, para rasulnya.
b)
Hukum-hukum Allah , yang bersangkut paut
dengan hal-hal yang harus di jadikan perhiasan oleh setiap mukallaf.
c)
Hukum-hukum amaliyah, yang bersangkut paut
dengan hal-hal tindakan setiap mukallaf, meliputi masalah ucapan, perbuatan,
akad (contract), dan pembelanjaan (pengelolaan harta benda).
Maka hukum selain ibadah dalam istilah syara’
disebut hukum muamalah. Sedangkan menurut istilah modern hukum muamalah telah
bercabang cabang sesuai dengan hal-hal yang berhubungan dengan muamalah manusia
yakni :
a)
Hukum badan pribadi yaitu hukum yang dengan
unit keluarga , mulai dari pemulaan berdirinya.contohnya: mengatur hubungan
anak dengan orang tua, suami istri, dan
kerabat. Ayat –ayat mengenai hukum ini dalam Al Qur’an sekitar 70 ayat.
b)
Hukum perdata yaitu : yang berhubungan dengan
muamalah antara perorangan ,masyarakat dan persekuatannya, seperti : jual
beli,sewa-menyewa , gadai-menggadai, pertanggungan, dll. Dalam Al Qur’an ada 70 ayat.
c)
Hukum pidana yang berhubungan tindakan
kriminal setiap mukalaf dan masalah pidananya bagi si pelaku kriminal. Dan
dalam Al Qur’an terdapat sekitar 30
ayat.
d)
Hukum acara yaitu : yang berhubungan dengan
pengadilan , kesaksian , dan sumpah. Dalam Al Qur’an terdapat sekitar 13 ayat
e)
Hukum ketatanegaraan ,yaitu: yang berhubungan
dengan peraturan pemerintahan dan dasar-dasarnya. Dalam Al Qur’an tercatat sekitar 13 ayat .
f)
Hukum internasional, yaitu : yang berhubungan
dengan masalah-masalah hubungan antar negara-negara islam dengan bukan negara
islam,dan tata cara pergaulan selain muslim di negara islam. Dalam Al
Qur’an tercatat sekitar 25 ayat.
g)
Hukum ekonomi dan keuangan ,yaitu: yang
berhubungan dengan hak orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak
mendapat bagian dari harta orang kaya. Dalam Al Qur’an tercatat sekitar 10 ayat.
B.
Hadist
a.
Pengertian
Sunnah menurut bahasa artinya perjalanan,
pekerjaan atau cara. Sunnah menurut istilah syara’ ialah perkataan nabi
Muhammad saw., perbuatannya, dan keterangannya yaitu sesuatu yang dikatakan
atau diperbuat oleh sahabat dan ditetapkan oleh nabi, tiada ditegurnya sebagai
bukti bahwa perbuatan itu tiada terlarang hukumnya.
Pengertian hadis secara sempit yaitu
sebagaimana yang di kemukakan oleh jumhurul muhadditsin, ialah:
“hadis
adalah sesuatu yang di sandarkan kepada nabi saw., baik berupa perkataan,
perbuatan, pernyataan (taqrir), dan sebagainya.”
Jadi bisa di artikan hadis adalah sumber ke
dua ajaran islam, setelah alqur’an alkarim. Sedangkan pengertian hadist secara luas
ialah suatu yang disandarakan baik kepada Nabi Muhammad SAW atau sahabat,
Taabi’in, baik berupa perkataan, perbuatan, pernyataan atau Taqrir maupun sifat
dan keadaannya.[2]
Sementara itu Jumhurul Ulama atau kebanyakan para
ulama ahli hadis mengartikan Al-Hadis, Al-Sunnah, Al-Khabar dan Al-Atsar sama
saja, yaitu segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad Saw, baik
dalam bentuk ucapan, perbuatan maupun ketetapan. Sementara itu ulama Ushul
mengartikan bahwa Al-Sunnah adalah sesuatu yang berasal dari Nabi Muhammad
dalam bentuk ucapan, perbuatan dan persetujuan beliau yang berkaitan dengan
hukum.
b.
Kedudukan hadis sebagai sumber
hukum islam
Kedudukan Hadist sebagai sumber ajaran Islam selain
didasarkan pada keterangan ayat-ayat Alqur’an
dan Hadist juga didasarkan kepada pendapat kesepakatan para sahabat. Yakni
seluruh sahabat sepakat untuk menetapkan tentang wajib mengikuti hadis, baik
pada masa Rasulullah masih hidup maupun setelah beliau wafat.
Sebagai sumber ajaran Islam kedua, setelah Alquran, Hadist
memiliki fungsi yang pada intinya sejalan dengan alquran. Keberadaan Al-Sunnah
tidak dapat dilepaskan dari adanya sebagian ayat Alquran :
1. Yang bersifat global
(garis besar) yang memerlukan perincian;
2. Yang bersifat umum
(menyeluruh) yang menghendaki pengecualian;
3.
Yang bersifat mutlak (tanpa batas) yang menghendaki
pembatasan; dan ada pula
4.
Isyarat Alquran yang mengandung makna lebih dari satu
(musytarak)
Menghendaki penetapan
makna yang akan dipakai dari dua makna tersebut; bahkan terdapat sesuatu yang
secara khusus tidak dijumpai keterangannya di dalam Alquran yang selanjutnya
diserahkan kepada hadis nabi. Ada tiga peranan al-Hadis disamping al-Quran sebagai sumber agama dan
ajaran Islam, yakni sebagai berikut :
a. Menegaskan
lebih lanjut ketentuan yang terdapat dalam al-Quran. Misalnya dalam Al-Quran
terdapat ayat tentang sholat tetapi mengenai tata cara pelaksanaannya
dijelaskan oleh Nabi.
b. Sebagai
penjelasan isi Al-Quran. Di dalam Al-Quran Allah memerintah- kan manusia
mendirikan shalat. Namun di dalam kitab suci tidak dijelaskan banyaknya
raka’at, cara rukun dan syarat mendirikan shalat. Nabilah yang menyebut sambil
mencontohkan jumlah raka’at setiap shalat, cara, rukun dan syarat mendirikan
shalat.
c. Menambahkan
atau mengembangkan sesuatu yang tidak ada atau samar-samar ketentuannya di
dalam Al-Quran. Sebagai contoh larangan Nabi mengawini seorang perempuan dengan
bibinya. Larangan ini tidak terdapat dalam larangan-larangan perkawinan di
surat An-Nisa (4) : 23. Namun, kalau dilihat hikmah larangan itu jelas bahwa
larangan tersebut mencegah rusak atau putusnya hubungan silaturrahim antara dua
kerabat dekat yang tidak disukai oleh agama Islam.
c.
Fungsi Hadist dalam Al-Qur’an
1.
berfungsi menetapkan dan memperkuat hukum-hukum yang
telah ditentukan oleh Al-Qur’an
2.
memberikan perincian dan penafsiran ayat-ayat Al-
Qur’an yang masih bersifat umum
d.
Pembagian Hadist
Berikut
beberapa pembagian hadist :
1. Sunnah Qouliyah yaitu perkataan nabi saw.
yang menerangkan hukum-hukum agama dan maksud isi Al-Qur’an serta berisi
peradaban, hikmah, ilmu pengetahuan dan juga menganjurkan akhlaq yang mulia.
Sunnah qouliyah (ucapan) dinamakan juga hadits nabi saw.
Sunnah
Qouliyah juga disebut “khabar”. Jadi
sunnah qouliyah itu boleh dikatakan sunnah, hadits dan khabar. Khabar pada umumnya dapat dibagi tiga :
a.
Yang
pasti benarnya,seperti apa yang datang dari Allah,RasulNya dan khabar yang
dibeikan dengan jalan mutawatir.
b.
Yang
pasti tidak benarnya, yaitu pemberitaan tentang hal-hal yang tidak mungkin
dibenarkan oleh akal, seperti khabar mati dan hidup dapat berkumpul.
c.
Khabar
yang tidak dapat dipastikan benar bohongnya seperti khabar-khabar yang
samar,karena kadang-kadang tidak dapat ditentukan mana yang kuat, benarnya atau
bohongnya.
2. Sunnah Fi’liyah yaitu perbuatan Nabi SAW yang
menerangkan cara melaksanakan ibadah, misalnya cara berwudhu, shalat dan
sebagainya. Sunnah Fi’liyah itu terbagi sebagai berikut :
a.
Pekerjaan
nabi saw. yang bersifat gerakan jiwa, gerakan hati, gerakan tubuh, seperti :
bernafas, duduk, berjalan dan sebagainya. Perbuatan seperti ini tidak
bersangkut-paut dengan soal hukum, dan tidak ada hubungannya dengan suruhan
larangan atau tauladan.
b.
Perbuatan
nabi saw. yang bersifat kebiasaan, seperti : cara-cara makan, tidur dan
sebagainya. Perbuatan semacam ini pun tidak ada hubungannya dengan
perintah, larangan, dan tauladan. kecuali kalau ada perintah anjuran nabi untuk
mengikuti cara-cara tersebut.
c.
Perbuatan
nabi saw. yang khusus untuk beliau sendiri, beristri lebih dari empat. Dalam
hal ini orang lain tidak boleh mengikutinya.
d.
Pekerjaan
yang bersifat menjelaskan hukum yang mujmal, seperti : shalatnya, hajjinya,
yang kedua-duanya menjelaskan sabdanya :
صلواكمارأيتمونى اصلى.
Artinya :
“Shalatlah kamu sebagaimana
kamu melihat aku shalat”.
Dan:
خذوا مناسككم.
Artinya
:
“Ambillah dari padaku
hal-hal (pelakuan) ibadah hajjimu”.
Hukum
perbuatan tersebut sama dengan hukum apa yang dijelaskan, baik wajib
maupun mandubnya.
a.
Pekerjaan
yang dilakukan orang lain sebagai hukuman, seperti: menahan orang,atau
mengusahakan milik orang lain.
b.
Pekerjaan
yang menunjukkan kebolehan saja, seperti: berwudhu dengan satu kali, dua kali
dan tiga kali.
3. Sunnah Taqririyah yaitu bila Nabi SAW
mendengar sahabat mengatakan sesuatu perkataan atau melihat mereka memperbuat
suatu perbuatan, lalu ditetapkan dan dibiarkan oleh Nabi SAW dan tiada
ditegurnya atau dilarangnya, maka yang demikian dinamai sunnah ketetapan Nabi
(taqrir).
Maka
perkataan atau perbuatan yang didiamkan itu sama saja dengan perkataan dan
perbuatan Nabi sendiri, yaitu dapat menjadi hujjah bagi ummat seluruhnya.
Syarat
sahnya taqrir ialah orang yang dibiarkannya itu benar-benar orang yang tunduk
kepada syara’, bukan orang kafir atau munafiq. Contoh-contoh taqrir antara lain
sebagai berikut:
a.
Mempergunakan
uang yang dibuat oleh orang kafir.
b.
Mempergunakan
harta yang diusahakan mereka seketika masih kafir.
c.
Membiarkan
dzikir dengan suara keras sesudah shalat.
C. Ijtihad
a.
pengertian
Dari segi bahasa ijtihad adalah “mengerjakan
sesuatu dengan segalah kesungguhan” mengerjakan apa saja, asalkan dilakukan
dengan penuh kesungguhan, adalah berijtihad namanya. Kata ijtihat memang tidak
di gunakan kecuali untuk perbuatan yang harus dikerjakan dengan susah payah.
Sedangkan menurut arti istilah, yang di sebut dengan ijtihad ialah ”
mengerahkan segala potensi dan kemampuan semaksimal mungkin untuk menetapkan
hukum- hukum syari’ah.
b.
Syarat- syarat
ijtihad
1.
Mengetahui alqur’an dan alhadis
2.
Mengetahui hukum- hukum yang di tetapkan
dengan ijma’
3.
Mengetahui serta memahami bahasa arab.
4.
Mengetahui ilmu ushul fiqih dan harus
menguasai ilmu ini dengan kuat.
5.
Mengetahui imu nasikh dan mansukh
c. Bentuk- bentuk ijtihad
Macam-macam ijtidah yang dikenal dalam syariat islam,
yaitu
Ijma’, yaitu menurut bahasa artinya sepakat, setuju, atau sependapat. Sedangkan
menurut istilah adalah kebulatan pendapat ahli Ijtihad umat Nabi Muhammad SAW
sesudah beliau wafat pada suatu masa, tentang hukum suatu perkara dengan cara
musyawarah. Hasil dari Ijma’ adalah fatwa, yaitu keputusan bersama para ulama
dan ahli agama yang berwenang untuk diikuti seluruh umat. Adapun bentuk- bentuk ijtihad
adalah sebagai berikut :
1.
Ijma’ menurut bahasa, artinya : sepakat,
setuju, atau sependapat. Dan menurut ilmu fikih, ijmak artinya, kesatuan
pendapat dari ahli-ahli hukum (ulama-ulama fikih) islam dalam satu masalah
dalam satu masa dan wilayah tertentu. ijmak tidak boleh bertentangan dengan
alquran dan sunah Rasulullah SAW. Ijmak ada dua macam, yaitu:
a.
Ijmak bayani, adalah pendapat dari para ahli
hukum (fikih) yang mengeluarkan pendapatnya untuk menentukan suatu masalah.
b.
Ijmak sukuti, adalah suatu pendapat dari
seseorang atau beberapa ahli hukum, tetapi ahli-ahli hukum lainnya tidak
membantah.misalnya, semasa hidup nabi, nabi melakukan salat tarawih sebanyak 8
rakaat di zaman Umar Bin Khattab ra. 20 rakaat tidak ada sahabat yang
membantah, maka salat tarawih di terima dengan ijmak sukuti.
2.
Qiyas
menurut bahasa berarti mengukur, memperbandingkan, atau mempersamakan sesuatu
dengan lainnya dikarenakan adanya persamaan. Sedang menurut istilah qiyas ialah
menetapkan hukum sesuatu yang belum ada ketentuan hukumnya dalam nash dengan
mempersamakan sesuatu yang telah ada status hukumnya dalam nash.
Berbeda dengan ijma', qiyas bisa dilakukan
oleh individu, sedang ijma' harus dilakukan bersama oleh para mujtahid. Dengan kata lain
Qiyas dapat diartikan pula sebagai suatu upaya untuk membandingkan suatu
perkara dengan perkara lain yang mempunyai pokok masalah atau sebab akibat yang sama. Contohnya adalah surat al-isra ayat 23 dikatakan bahwa
perkataan ‘ah’, ‘cis’, atau ‘hus’ kepada orang tua tidak
diperbolehkan karena dianggap meremehkan atau menghina, apalagi sampai memukul
karena sama-sama menyakiti kemaslahatan manusia.
Contohnya, dalam Al
Quran maupun Hadist tidak terdapat dalil tentang menyakiti hati orang tua.
Qiyas
menurut para ulama adalah hujjah syar'iyah yang keempat sesudah Al-Qur'an,
Hadits dan Ijma'. Mereka berpendapat demikian dengan alasan:
Firman
Allah :
فاعتبروا يااولى الابصار. (
الحسر : 2)
Artinya:
"Hendaklah
kamu mengambil i'tibar (ibarat = pelajaran) hai orang-orang yang
berfikiran". (S. Al-Hasyr ayat 2)
Karena
i'tibar artinya "qiyasusysyai-i bisysyai-i : membandingkan sesuatu
dengan sesuatu yang lain".
3. Istihsan, yaitu suatu
proses perpindahan dari suatu Qiyas kepada Qiyas lainnya yang lebih kuat atau
mengganti argumen dengan fakta yang dapat diterima untuk mencegah kemudharatan
atau dapat diartikan pula menetapkan hukum suatu perkara yang menurut logika dapat
dibenarkan.
Contohnya, menurut
aturan syarak, kita dilarang mengadakan jual beli yang barangnya belum ada saat
terjadi akad. Akan tetapi menurut Istihsan, syarak memberikan rukhsah
(kemudahan atau keringanan) bahwa jual beli diperbolehkan dengan system
pembayaran di awal, sedangkan barangnya dikirim kemudian.
4. Mushalat Murshalah,
yaitu menurut bahasa berarti kesejahteraan umum. Adapun menurut istilah adalah
perkara-perkara yang perlu dilakukan demi
memerintahkan untuk
membukukan ayat-ayat Al Qur’an. Akan tetapi, hal ini
dilakukan oleh umat Islam demi kemaslahatan umat.
5. Sududz Dzariah, yaitu
menurut bahasa berarti menutup jalan, sedangkan menurut istilah adalah tindakan
memutuskan suatu yang mubah menjadi makruh atau haram demi kepentingan umat.
Contohnya adalah adanya larangan meminum minuman keras
walaupun hanya seteguk, padahal minum seteguk tidak memabukan. Larangan seperti
ini untuk menjaga agar jangan sampai orang tersebut minum banyak hingga mabuk
bahkan menjadi kebiasaan.
6. Istishab, yaitu melanjutkan
berlakunya hukum yang telah ada dan telah ditetapkan di masa lalu hingga ada
dalil yang mengubah kedudukan hukum tersebut.
Contohnya, seseorang
yang ragu-ragu apakah ia sudah berwudhu atau belum. Di saat seperti ini, ia
harus berpegang atau yakin kepada keadaan sebelum berwudhu sehingga ia harus
berwudhu kembali karena shalat tidak sah bila tidak berwudhu.
7. Urf, yaitu berupa
perbuatan yang dilakukan terus-menerus (adat), baik berupa perkataan maupun
perbuatan.
Contohnya adalah
dalam hal jual beli. Si pembeli menyerahkan uang sebagai pembayaran atas barang
yang telah diambilnya tanpa mengadakan ijab kabul karena harga telah dimaklumi
bersama antara penjual dan pembeli.[4]
d.
Kedudukan
Ijma’ Sebagai Sumber Hukum
Kebanyakan
ulama menetapkan bahwa ijma' dapat dijadikan hujjah dan sumber hukum islam
dalam menetapkan sesuatu hukum dengan nilai kehujjahan bersifat dzhanny.
Golongan syi'ah memandang bahwa ijma' ini sebagai hujjah yang harus diamalkan.
Sedang ulama-ulama Hanafi dapat menerima ijma' sebagai dasar hukum, baik ijma'
qath'iy maupun dzhanny. Sedangkan ulama-ulama Syafi'iyah hanya memegangi ijma'
qath'iy dalam menetapkan hukum. Dalil penetapan ijma' sebagai sumber hukum
islam ini antara lain adalah :
Firman
Allah dalam surat An-Nisa' ayat 59 :
يايهاالذين امنوا اطيعوا الله واطيعوا الرسول
واولى الأمر منكم ( النساء : 59)
Artinya :
"Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan
rasul-Nya dan Ulil
Amri diantara kamu".
Yang
dimaksud "ulil amri" ialah orang-orang yang memerintah dan para
ulama. Menurut hadits:
لاتجتمع أمّتى على الضّلالة
Artinya:
"Ummatku
tidak bersepakat atas kesesatan".
Ijma'
ini menempati tingkat ketiga sebagai hukum syar'iy, yaitu setelah Al-Qur'an dan
as-Sunnah. Dari pemahaman seperti ini, pada dasarnya ijma' dapat dijadikan
alternatif dalam menetapkan hukum sesuatu peristiwa yang di dalam Al-Qu'an atau
as-Sunnah tidak ada atau kurang jelas hukumnya. Adapun Ijma’ ini terbagi dua macam:
a. Ijma’ Sharih, yaitu
ijma’ para ulama Mujtahiddin yang dinyatakan secara terang atau jelas baik
dengan perkataan , tulisan ataupun perbuatan.
b. Ijma’ Sukuti, yitu
Ijma’ dimana sebagian mujtihad mengeluarkan pendapatnya yang sama, sedangkan
Mujtadid yang lainnya diam dan tidak mengeluarkan pendapatnya.[5]
BAB III
PENUTUP
a.
Kesimpulan
Kesimpulkan Makalah ini adalah
bahwa sumber-sumber ajaran islam terdiri dari ajaran islam primer dan skunder
Primer terdiri dari Al-Qur’an dan Hadist sedangkan Skunder terdiri Ijtihad dan
mencangkup Qiyas
b.
Saran
Kajian tentang makalah
sumber-sumber ajaran islam ini akan memberikan pengetahuan dan wawasan. Hal ini
sangat penting agar para pendidik dapat memahami dan pada giliranya kelak
terhadap dinamika pendidikan itu sendiri. Dan yang tidak kalah pentingnya adalah
bahwa dengan pengetahuan sumber-sumber ajaran islam itu sendiri. Demikianlah
makalah kami yang berjudul sumber-sumber ajaran islam kami menyadari makalah
ini masih banyak kekuranganya, karena itu kritik dan saran yang sifatnya
membangun kami terima. Semoga makalah ini sangat berguna bagikita semua Amin
DAFTAR PUSTAKA
Aminuddin Dkk, 2005. Pendidikan
Agama Isam.Bogor.Ghalia Indonesia.
Ngaiun Na’im.2009. Sejarah
Pemikiran Hukum Islam.Yogyakarta. Teras
[1] Aminuddin Dkk, Pendidikan Agama
Islam, ( Bogor, Ghalia Indonesia,2005) hlm. 45-47
[2] Aminuddin Dkk, Pendidikan Agama
Islam, ( Bogor, Ghalia Indonesia,2005) hlm 55
[3] Aminuddin Dkk, Pendidikan Agama
Islam, ( Bogor, Ghalia Indonesia,2005) hlm 57-58
[4] Ngaiun Naim, Sejarah Pemikiran
Hukum Isam ( Yogyakarta, Teras, 2009) hlm. 36-37
[5] Aminuddin Dkk, Pendidikan Agama
Islam, ( Bogor, Ghalia Indonesia,2005) hlm 65-67
No comments:
Post a Comment