MAKALAH TEORI SOSIAL KLASIK, IBNU KHALDUN, DAN AUGUST COMTE
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR
BELAKANG
Ilmu-ilmu
sosial di namakan demikian karena ilmu-ilmu tersebut mengambil masyarakat atau
kehidupan bersama sebagai objek yang dipelajarinya. Ilmu-ilmu sosial belum
mempunyai kaidah-kaidah dan dalil-dalil tetap yang di terima oleh bagian
terbesar masyarakat karena ilmu-ilmu tersebut belum lama berkembang, sedangakan
yang menjadi objeknya adalah masyarakat manusia yang berubah-ubah, hingga kini
belum dapat di selidiki dan di analisis secara tuntas hubungan antara
unsur-unsur dalam masyarakat secara lebih mendalam. Lain halnya dengan ilmu
pengetahuan alam yang telah lama berkembang sehingga telah empunyai
kaidah-kaidah dan dalil-dalil yang teratur dan diterima oleh masyarakat, yang
juga disebabkan karena objeknya bukan manusia.
B. RUMUSAN
MASALAH
1. Sebutkan
dan jelaskan teori sosial klasik?
2. Sebutkan
apa sajakah teori Ibnu Khaldun?
3. Jelaskan
tahap-tahap pemikiran August Comte?
C. TUJUAN
PANULISAN
Setelah membaca makalah ini kita semua akan tau apa
saja teori-teori Ibnu Khaldun dan tahap-tahap pemukiran August Comte.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
TEORI SOSIAL KLASIK
Pada
awalnya banyak orang yang masyarakat dengan penekanan bebagai hal yang menarik
perhatian umum saja seperti perang, kejahatan kekuasaan, golongan dari
pihak-pihak yang berkuasa seperti pemerintah atau raja, gejala-gejala
keagamaan, dan sebagainya. Dari pemikiran ini para pemerhatian ilmu sosial
mengembangakan pengetahuannya kedalam bentuk filsafat kemasyarakatan yang
didalamnya menguraikan tentang harapan, susunan serta kehidupan masyarakat yang
di inginkan atau yang dianggap edial. [1]
Berangkat dari
masyarakat yang edial tersebut muncullah perumusan tentang nilai-nilai dan
kaidah-kaidah yang seharusnya ditaati oleh manusia dalam hubungannya dengan
manusia lain dalam suatu kehidupan manusia. Nilai-nilai dan kaidah-kaidah yang
di maksudkan tersebut yaitu suatu penciptaan kehidupan manusia yang penuh
kebahagiaan, ketenteraman, kedamaian dalam tatanan kehidupan sosial. Akan
tetapi, harapan demi harapan tersebut tidak selamanya dapat dicapai atau
direlisasikan dalam kehidupan yang sesunguhnya sehingga timbulnya antara
harapan dan kenyataan. Untuk mewujudkan harapan-harapan tersebut maka para
ilmuan perlu menciptakan teori-teori untuk dikembangan secara sisitematis dan
besifat objektif (netral) yang terlepas dari harapan-harapan pribadi yang
mempelajarinya terutama tentang penilaian baik dan buruk tentang suatu
kenyataan yang ada.
Pada
zaman dahulu, sumber semua ilmu pengetahuan adalah fisafat. Dengan kata lain,
semua ilmu pengetahuan yang ada sekarang penah menjadi bagian dari filsafat.
Dengan demikian, filsafat dapat dikataan induk dari semua ilmu pengetahuan (master sciantiarum). Akan tetapi,
filsafat bersifat objektif kareana filsafat merupakan ilmu pengetahuan yang
hanya bersandar pada pemukiran manusia sehingga skla keilmiahannya masih sangat
kecil. Dari Abad ke-19, di antaranya ilmu pengetahuan yang baru muncul adalah
ilmu psiologi, fisika, biologi, sosiologi pada mulanya adalah filsafat yang
kemudian berkembang menjadi ilmu pengetahuan.[2]
Sosiologi sebagai ilmu yang mengkaji
hubungan antara manusia satu dan lainnya, antara kelompok satu dan kelompok
yang lainya berasal dari berbagai pemikirannya tentang masyarakat. Berangkat
dari pemikiran itulah para pemikir mulai mencari jawaban, terutama menyangkut
persoalan; mengapa kehidupan masyarakat berubah menjadi pola-pola itu. Ada pada
dibalik pola-pola kehidupan sosial tersebut, bagaiman mencari jalan keluar
untuk mengatasi persoalan tersebut, dan bagaimana caranya untuk mencapai
kehidupan yang lebih baik dalam setiap kali muncul perubahan sosial. Beberapa
pemikiran yang berusaha mencari jawaban dari persoalan tersebut secara ilmiah
adalah August Comte yang pertama kali memberikan nama ilmu yang mengkaji
hubungan sosial kemasyarakatan tersebut dengan istilah sosiologi.
B.
TEORI IBNU KHALDUN
Teori Ibnu Khaldun ada 5 macam yaitu sebagai
berikut:
1.
Asal
Mula Negara (Daulah)
Menurut Ibnu Khaldun manusia diciptakan sebagai
makhluk politik atau sosial, yaitu makhluk yang selalu membutuhkan orang lain
dalam mempertahankan kehidupannya, sehingga kehidupannya dengan masyarakat dan
organisasi sosial merupakan sebuah keharusan. Lebih lanjut, manusia hanya
mungkin bertahan untuk hidup dengan bantuan makanan. Sedang untuk memenuhi
makanan yang sedikit dalam waktu satu hari yang memerlukan banyak pekerjaan.
Sebagai contoh dari butir-butir gandum untuk menjadi potongan roti memerlukan proses
yang panjang. [3]
Selain kebutuhan makanan untuk mempertahankan hidup,
menurut Ibnu Khaldun manusia mememrlukan bantuan dalam hal pembelaan diri
terhadap ancaman bahaya.tetap sekali lagi amanusia untiuk mempertahakan hidup
tersebut manusia tetap salang membutuhkan bantuan dari yang lainnya, sehingga
organisasi kemasyarakatan merupakan sebuah keharusan. Tanpa organisasi tersebut
eksestensi manusia tidaka akan lengkap, kehendak Tuhan untuk mengisi dunia ini
dengan umat manusia dan membiarkan berkembang bia sebagai khalifah tidak akan
terlaksana. Setelah beroganisasi masyarakat terbentuk, dan inilah peradaban,
maka masyarakat memerlukan seseorang yang dengan pengaruhnya dapat bertindak
sebagai penengah dan pemisah dalam anggota masyarakat. Ini karena manusia memiliki
sifat yang agresif dan tidak adil, sehingga dengan akal dan tangan yang di
berikan Tuhan padanya tidak memungkinkan
untuk mempertahankan diri dari serangan manusia yang lain karena setiap manusia
mempunyai akal dan tangan pula. Tetapi yang membedakan penelitian yang
dialakuakan Ibnu Khaldun dalam Muqaddimahnaya bukan sekedar filosofis,
melainkan kajian yang berdasarkan pada pengamatan inderawi dan analisis
perbandingan data-data yang obyektif ,
sebagai upaya untuk memehami manusia pada masa lampau dan kini untuk mengmalkan
masa depan dengan berbagai kecenderungannya. [4]
2.
Sosiologi
Masyarakat: Peradapan Badui, Orang Kota, dan Solidaritas Sosial
Orang-orang Badui yang hidup sederhana dibanding
orang-orang kota serta hidup berlapar-lapar dan meninggalkan makanan yang mewah
lebih baik dalam beragama dibandingakan dengan orang yang mewah dan berlebihan.
Orang-orang yang taat beragama sedikit sekali yang tinggal dikota-kota kareana
kota telah dipenuhi kekerasan dan masa bodoh. Orang Badui lebih berani daripada
penduduk kota. Karena penduduk kota malas dan sukayang mudah-mudah. Sedangkan
orang Badui hidup memencilkan diri dari masyarakat. karena hidup liar di
tempat-tempat jauh diluar kota dan tak pernah mendapatkan pengawasan dari
tentara.
Untuk bertahan hidup masyarakat pedalaman harus
memiliki sentimen kelompok yang merupakan kekuatan pendorang dalam jalanan
sejarah manusia, pembangkit suatu klan. Oleh karena itu, pemimpin hanya dapat
dilaksanakan dengan kekuasaan. Maka soladaritas sosial yang memiliki oleh
pemimpin harus lebih kuat dari pada soladaritas lain yang ada, sehingga dia
memperoleh kekuasaan dan snggup memimpin rakyat dengan sempurna. Tujuan
terakhir solidaritas adalah kedaulatan. Akan tetapi hambatan jalan memcapai
kedaulatan adalah kemewahan. Semakain besar kemewahan dan kenikmatan mereka
semakin dekat mereka dari kehancuran, bukan tambah memperoleh kedaulatan.
Kemewahan telah menghancurkan dan melenyapkan soladiritas sosial. [5]
3.
Khalifah,
Imamah, Sulthaniah
Khalifah menurut ibnu khaldun adalah pemerintahan
yang berlandasan agama yang memerintah rakyatanya sesuai dengan petunjuk agama
baik dalam keduniawian atau akhirat. Maka pemerintahan yang dilandaskan agama
yang disebut dengan Khalifah, Imamah atau Sulhaniah. Khalifah adalah pengganti
nabi Muhammad dengan tugas mempertahankan agama dan menjalankan kepemimpinan
dunia. Lembaga Imamah adalah wajib menurut agama, yang dibuktikan dengan
dibai’atnya Abu Bakar sebagai khalifah. Tetapi ada juga ang berpendapat, imamah
wajib karena akal perlunya manusia terhadap organisasi. Ibnu Khaldun sendiri
menetepkan 5 syarat bagi khaluifah, Imam, ataupun Suthan, yaitu:
1.
Memiliki
pengetahuan
2.
Memiliki
sifat Adil
3.
Mempunyai
kemampuan
4.
Sehat
panca indra dan tubuhnya
5.
Keturunan
Quraisy
Ibnu Khaldun
berpendapat sama dengan pemikir muslin sebelumnya tentang keutamaan keturuanan
Quraisy. Ia mengemukakan bahwa orang-orang Quraisy adalah pemimpin-pemimpin
terkemuka, original dan tampilan dari Bani Mudhar. Dengan jumlahnya yang banyak
dan soladaritas kelompoknya yang kuat, dan dengan keanggunanya suku Quraisy
memiliki wibawa yang tinggi.
4.
Bentuk-Bentuk
Pemerintah
Ibnu Khaldun berpendapat bentuk pemerintahan ada 3
bagian yaitu:
1.
Pemerintahan
yang natural
Yaitu pemerintahan yang membawa masyarakatnaya
sesuai dengan tujua nafsu. Artinya, seorang jara yang memerintah kerajaa lebih
mengikuti kehenadak dan hawa nafsunya sendiri dan tidak memperhatikan
kepentingan rakayat yang akibatnyasukar enaati akbat timbulnya terror,
penindasam, dan anarki. [6]
2.
Pemerintahan
ysang bedasakan nalar
Yaitu pemerintahan yang membwa rakyatnya sesuai
dengan rasio dalam mencapai kemaslahatan duniawi dan mencegah kemudratan.
3.
Pemerintahan
yang berlandasan agama
Yaitu pemerintahan yang membawa semua rakyatnya
sesuai dengan tuntunan agama, baik yang bersifat duniawian maupun keukhrawitan.
Menurut Ibnu Khaldun pemerintahan ini yang terbaik,karena dengan hukum yang
ersumber dengan ajaran agama akan terjamin dan tidak saja keamanan dan kesejahteraan
di dunia tetapi juga di akhirat.
5. Tahap Timbul Tenggelamnya Peradapan
Ibnu Khaldun membuat teori tentang tahap tumbul
tenggelamnya suatu negara atau sebuah peradapan menjadi 5 tahap, yaitu:
1.
Tahap
sukses atau konsolidasi
Dimana otoritas negara di dukung oleh masyrakat yang
berhasil menggulingkan kedaulatan dari dinasti sebelumnya.
2.
Tahap
Tirani
Tahap diman penguasa tersebut berbuat sekehendaknya
pada rakyatnya.
3.
Tahap
Sederhana
Ketika dedaulatan telah dinikmati. Segala perhatian
penguasa tercurah kepada usaha pembanguanan negara.
4.
Tahap
Kepuasan Hati
Tentram dan damai. Pada tahap ini, penguasa merasa
puas dengan segala sesuatu yang telah dibagun pada pendahlunya.
5.
Tahap
Hidup Boros dan Berlebihan
Penguasa
menjadi perusak warisan pendahulunya, pemuas hawa nafsu dan kesenangan. Pada
tahap ini, negara tinggal menunggu kehancuran.[7]
Tahap-tahap itu menurut Ibnu Khaldun dan
memunculkan 3 generasi, yaitu:
1.
Generasi
pembangun, yang dengan segala kesederhanan dan solidaritasyang tulus tunduk
dibawah otoritas kekuasaan ang di dukungnya.
2.
Generasi
penikmat, yakni mereka yang karena dintungkan secara ekomomi dan politk dalam
sisitem kekuasaan, menjadi tidak peka lagi terhadap kepentingan bangsa dan
negara.
3.
Generasi
yang tidak lagi memiliki hunguan emosional dengan negara. Mereka dapat
melakukan apa saja tanpa mempedulikan nasip negara.
C.
TEORI AUGUSTE COMTE
1. Riwayat
Hidup
Auguste Comte dilahirkan di Montpellier, Prancis
tahun 1798, keluarganya beragama khatolik dan berdarah bangsawan. Dia
mendapatkan pendidikan di Ecole Polytechnique di Prancis, namun tidak sempat
menyelesaikan sekolahnya karena banyak ketidakpuasan di dalam dirinya, dan
sekaligus ia adalah mahasiswa yang keras kepala dan suka memberontak.
Comte akhirnya memulai karir profesionalnya dengan
memberi les privat bidang matematika. Kehidupan ekonominya pas-pasan, hampir
dapat dipastikan hidupnya dalam kemiskinan karena ia tidak pernah dibayar
sebagaimana mestinya dalam memberikan les privat, dimana pada waktu itu biaya
pendidikan di Prancis sangat mahal.[8]
Comte hidup pada masa akhir revolusi Prancis
termasuk didalamnya serangkaian pergolakan yang terus berkesinambungan sehingga Comte sangat
menekankan arti pentingnya Keteraturan Sosial. Pada tahun 1857 ia mengakhiri
hdiupnya dalam kesengsaraan dan kemiskinan namun demikian namanya tetap kita
kenang hingga sekarang karena kegemilangan pikiran serta gagasannya. Comte
hidup pada masa revolusi Prancis yang
telah menimbulkan perubahan yang sangat
besar pada semua aspek kehidupan masyarakat Prancis. Revolusi ini telah
melahirkan dua sikap optimis akan masa depan yang lebih baik dengan bantuan ilmu pengetahuan dan teknologi
dan sebaliknya sikap konservatif atau skeptis terhadap perubahan yang
menimbulakn anarki dan sikap
individualis.
Lingkungan intelektual Perancis diwarnai oleh dua
kelompok intelektual yaitu para peminat filsafat sejarah yang memberi bentuk
pada gagasan tentang kemajuan dan para penulis
yang lebih berminat kepada masalah-masalah penataan masyarakat. Beberapa
tokoh dapat disebut dari
Fontenelle, Abbe de St Pierre, Bossuet, Voltaire, Turgot, dan Condorcet.
Para peminat masalah-masalah penataan masyarakat menaruh perhatian pada masalah
integrasi dan ketidaksamaan. Tokoh-tokohnya antara lain Montesquieu, Rousseau,
De Bonald.
Menurut Condocet, studi sejarah mempunyai dua
tujuan, pertama, adanya keyakinan bahwa sejarah dapat diramalkan asal saja
hukum-hukumnya dapat diketahui (yang diperlukan adalah Newton-nya sejarah).
Tujuan kedua adalah untuk menggantikan
harapan masa depan yang bersifat
sekuler. Menurut Condorcet ada tiga
tahap perkembangan manusia yaitu membongkar perbedaan antar negara,
perkembangan persamaan negara, dan ketiga kemajuan manusia sesungguhnya.
2. Perseptif
Positivisme Comte Tentang Masyarakat
Comte percaya bahwa penemuan hukum-hukum alam itu
akan membukakan batas-batas yang pasti yang melekat (inherent) dalam kenyataan
sosial, dan melampaui batas-batas itu usaha pembaharuan akan merusakkan dan
menghasilkan yang sebaliknya.[9]
Comte melihat masyarakat sebagai suatu keseluruhan organic yang kenyataan lebih
daripada sekedar jumlah bagian-bagian
yang saling tergantung, tetapi untuk mengerti kenyataan ini, metode
penelitian empiris harus digunakan dengan keyakinan bahwa masyarakat merupakan
suatu bagian dari alam seperti halnya gejala fisik. Andreski berpendapat, pendirian Comte bahwa memperoleh
pengetahuan tentang masyarakat menuntut
penggunaan metode-metode penelitian empiris dari ilmu-ilmu alam lainnya,
merupakan sumbangannya yang tak terhingga nilainya terhadap nilainya terhadap
perkembangan sosiologi.
3. Hukum
Tiga Tahap
Hukum tiga tahap merupakan usaha Comte untuk menjelaskan kemajuan evolusioner
umat manusia dari masa primtive sampai ke peradaban Prancis abad kesembilan
belas yang sangat maju. Hukum ini, yang mungkin paling terkenal dari
gagasan-gagasan teoritis pokok Comte, tidak lagi diterima sebagai suatu
penjelasan mengenai perubahan sejarah secara memadai.
Singkatnya, hukum itu menyatakan bahwa
masyarakat-masyarakat (atau umat
manusia) berkembang melalui tiga tahap utama. Tahap-tahap ini ditentukan
menurut cara berpikir yang dominan : teologis,
metafisik, dan positif.[10]
Tahap teologis merupakan periode yang paling lama
dalam sejarah manusia, dan untuk analisa yang lebih terperinci, Comte
membaginya ke dalam periode fetisisme, politisme dan monoteisme. Tahap
metafisik terutama merupakan tahap transisi antara tahap teologis dan positif.
Tahap ini ditandai oleh satu kepercayaan akan hukum-hukum alam yang asasi yang
dapat ditemukan akal budi. Tahap positif
ditandai oleh kepercayaan akan data empiris sebagai sumber pengetahuan
terakhir. Tetapi pengetahuan selalu sementara sifatnya, tidak mutlak semngat
positivism memperlihatkan suatu keterbukaan terus menerus terhadap data baru
atas dasar mana pengetahuan dapat ditinjau kembali dan diperluas.
4. Hubungan
antara Tahap-Tahap Intelektual dan Organisasi Sosial
Dalam melengkapi penelusuran akan perkembangan intelektual manusia, Comte mau memperlihatkan
sumbangan masing-masing tahap atau dalam hubungnannya dengan kehidupan
sosial. Selain sumbangan tahap-tahap sebelumnya
terhadap evolusi sosial, masing-masing tahap juga memiliki hubungan afinitas
yang khas dengan jenis organisasi sosial dimana cara berfikir itu dominan.
Dengan kata lain, dalam setiap tahap itu, pola organisasi intelektualnya.
Khususnya Comte merasa bahwa tahap teologis mendukung tipe organisasi sosial
militer, sedangkan tahap positif yang terakhir mendukung tipe keteraturan
sosial yang bersifat industrial. Tahap metafisik peralihan berhubungan dengan
dominasi sosial dari “ahli hukum”, istilah Comte untuk menunjukkan mereka yang
berusaha menarik doktrin-doktrin sosial dan politik dari pemahaman tentang
hukum-hukum alam.[11]
5. Prinsip-Prinsip
Keteraturan Sosial
Analisa comte mengenai keteraturan sosial dapat
dibagi dalam dua fase. Pertama usaha untuk menjelaskan keteraturan sosial
secara empiris dengan menggunakan metode positif. Kedua, usaha untuk
meningkatkan keteraturan sosial sebagai suatu cita-cita yang normative dengan
menggunakan metode-metode yang bukan tidak sesuai dengan positivisme, tetapi
yang menyangkut perasaan dan juga intelek. [12]
Perkembangan tersebut
pada hakekatnya melewati tiga tahap, sesuai dengan tahap-tahap perkembangan
pikiran manusia, yauitu sebagai berikut.[13]
1.
Tahap teologis
Tahap ini merupakan tingkat pemikiran
manusia yang beranggapan semua benda di dunia ini mempunyai jiwa dan itu
disebabkan oleh suatu kekuatan yang berada diatas manusia. Cara berfikir
trsebut tidak dapat di pakai dalam pengetahuan karena ilmu pengetahuan bertujuan
untuk mencari sebab serta akibat dan gejala-gejala.
2.
Tahap metafisis
Pada
tahap ini manusia masih percaya bahwa gejala-gejala di dunia ini di sebabkan
oleh kekuatan-kekuatan yang yang di atas manusia. Manusia belum berusaha untuk
mencari sebab dan akibat gejala-gejala tersebut.
3.
Tahap positif
Tahap
positif merupakan tahap diama manusia telah sanggup berfikir secara ilmiah.
Pada tahap ini berkembanglah ilm pengetahuan.
6. Agama
Humanitas
Agama Humanitas Comte merupakan satu gagasan Utopis
untuk mereorganisasi masyarakat secara sempurna. Sosiologi akan menjadi ratu
ilmu pengetahuan (seperti teologi diabat-abat pertengahan), hal itu
memungkinkan satu penjelasan tentang kemajuan pengetahuan manusia secara
komprehensif (termasuk semua ilmu lainnya) dan mengenai hukum-hukum keteraturan
dan kemajuan sosial. Ahli-ahli sosiologi akan menjadi penjaga moral dan
intelektual dalam tata baru itu, dan peranannya akan mencakup bimbingan bagi
industriawan serta pemimipin-pemimpin pemerintahan untuk meyakinkan bahwa tindakan mereka dibimbing oleh pengetahuan ilmiah dan prinsip-prinsip moral.[14]
7. Teori
Kemajuan Milik Comte Versusu Teori
Siklus Perubahan Budaya Menurut Sorokin
Orang dapat berargumentasi bahwa pelbagai gagsan
reorgaanisasi sosial dibuat Comte pada bagian kedua dari karirnya, mencerminkan
hilangnya kepercayaan akan tidak terhindarnya kemajuan evolusi yang
dijamin oleh hukum-hukum ilmiah dari
dinamika sosial.
Kalau Comte mengusulkan suatu model linier yang
berkulminasi pada munculnya masyarakat positivis, Sorokin mengembangkan model
siklus perubahan sosial yang artinya, dia yakin bahwa tahap-tahap sejarah
cendrung berulang dalam kaitannya dengan mentalis budaya yang dominan, tanpa
membayangkan satu tahap akhir yang final.[15]
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Ibnu Khaldun adalah
pemikir barat yang terkemuka, dunia mendaulatkanya sebagai bapak sosiologi
islam, sebagi seorang pemikir hebat dan serba bisa sepanjang masa,buah pikirna
amat berpengaruh. Ibnu Khaldun menulis kitab Al-Muqaddimah yang mengupas
masalah-masalah sosial manusia.
Sedangkan August Comte
sangat menekankan arti pentingnya keteratura sosial, dan dia juga memiliki
pereseptif positif dalam masyrakat, hukum tiga tahap, hubugan antara
tahap-tahap interaktual dan organisai sosial, prinsip-prnsip keteraturan
sosial, dan agama humanitas.
B.
SARAN
Dengan belajar teori-teori dari ilmu sosial klasik,
teori Ibnu Khaldun dan August Comte kita bisa tau apa saja teori-teori yang
mencakup sosial masyarakat yang telah kita pelajar ini dan kita juga bisa
menerapkan teori ini di masyarakat sekeliling kita.
DAFTAR
PUSTAKA
Elly M. Setiadi dan Usman Kotip ,2011 Buku pengantar sosiologi, Jakarta : PRENADAMEDIA GRUOP.
Amrullah Boerman, 2015. Buku
teori sosiologi klasik, Bengkulu : PWM B-press
[1]
Elly M. Setiadi dan Usman
Kotip, Buku pengantar sosiologi (Jakarta, PRENADAMEDIA GRUOP 2011), Cetakan
ke-1 Hlm
[2]
Elly M. Setiadi dan Usman
Kotip, (Jakarta, PRENADAMEDIA GRUOP
2011), Cetakan ke-1 Hlm 7
[3] Amrullah Boerman, Buku teori sosiologi klasik (Bengkulu, PWM B-press 2015) , Cetakan ke-2
Hlm 41
[7]
Amrullah Boerman,
(Bengkulu, PWM B-press 2015) ,
Cetakan ke-2 Hlm 50-51
[8] Amrullah Boerman, (Bengkulu, PWM
B-press 2015) , Cetakan ke-2 Hlm 53-56
[9] Amrullah Boerman, (Bengkulu, PWM
B-press 2015) , Cetakan ke-2 Hlm 56-58
[10] Amrullah Boerman, (Bengkulu, PWM
B-press 2015) , Cetakan ke-2 Hlm 58-59
[11] Amrullah Boerman, (Bengkulu, PWM
B-press 2015) , Cetakan ke-2 Hlm 59-62
[12] Amrullah Boerman, (Bengkulu, PWM
B-press 2015) , Cetakan ke-2 Hlm 63-64
[13]
Elly M. Setiadi dan Usman
Kotip Buku pengantar sosiologi, Cetakan ke-1
Hlm 11
[14] Amrullah Boerman, (Bengkulu, PWM
B-press 2015) , Cetakan ke-2 Hlm 65-66
No comments:
Post a Comment