SUMBER HUKUM ISLAM
BAB I
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Sebagai
landasan aktifitas ummat Islam seharihari dalam usaha memahami maksud-maksud
ajaran Islam (maqasidusy Syari’ ah) se’ara lebih menyeluruh, keberadaan Qawa’id
fiqhiyyah menjadi sesuatu yang amat penting, termasuk dalam kehidupan
berekonomi. Baik di mata para ahli usul (usuliyyun) maupun fuqaha, pemahaman
terhadap qawa’id fiqhiyyah adalah mutlak diperlukan untuk melakukan suatu
“ijtihad” atau pembaharuan pemikiran dalam masalah muamalat atau lebih khas
lagi ekonomi. Manfaat keberadaan qawa’id fiqhiyyah adalah untuk menyediakan
panduan yang lebih praktis yang diturunkan dari nash asalnya yaitu al-qur’an
dan al-Hadits kepada masyarakat.
Dengan
qawa’id fiqhiyyah ini para ulama dan fuqaha dapat menyiapkan garis panduan
hidup bagi ummat Islam dalam lingkup yang berbeda dari waktu ke waktu dan
tempat ke tempat. Sebagaimana diketahui Islam memberi kesempatan kepada
ummatnya melalui mereka yang memiliki otoritas yaitu para ulama untuk melakukan
ijtihad dengan berbagai cara yang dituntunkan oleh Rasulullah, melalui ijma’,
qiyas, istihsan, istishab, istislah (masalihulmursalah) dan sebagainya untuk
mencari kebenaran yang tak ditemukan dalam al-Qur’an maupun Hadits Rasulullah
SAW. Demikian pula, dalam kehidupan ekonomi, atau yang dalam khazanah karya
para fuqaha terdahulu biasa disebut muamalat, pemakaian qawa’id fiqhiyyah
menjadi sesuatu yang amat penting. Ratusan atau bahkan mungkin ribuan qawa’id
telah dirumuskan oleh para fuqaha dari kalangan empat madzhab. Ash-Shiddieqie
(1981).” Para fuqaha sepakat bahwa proses
pemahaman dan penurunan qawa’id ini sama dengan proses yang dilakukan oleh para
usuliyyun dalam menurunkan panduan hukum berupa Qawa’id al-Usuliyyah
berdasarkan metode qiyas. Terdapat sejumlah qawa’id fiqhiyyah yang dirumuskan
oleh para ulama/fuqaha, sebagai bagian dari fatwa mereka, yang menyinggung
persoalan perilaku ekonomi umat Islam. Sebagai contoh: ‘al-aadah muhakkamah
atau kebiasaan dapat menjadi dasar hukum.[1]
1.2 Rumusan Masalah
a. apa yang dimaksud dengan Qawaidul
Fiqiyah ?
b. Apa yang dimaksud dengan asasiah dan
contoh dalam bidang muamalah ?
c. Apa yang dimaksud dengan kadiah-kaidah dalam bidang muamalah dan
contohnya?
1.3
Tujuan Penulisan
a. mengetahui apa yang dimaksud dengan Qawaidul
Fiqiyah
b.mengetahui tentang asasiah dan contoh dalam bidang
muamalah
c. mengetahui tentang kaidah-kaidah dalam bidang
muamalah dan contohnya
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Pengertian Qawaidul Fiqiyah
Al-Qawaid al-fiqhiyah terdiri dari atas dua kata
yang berasal dari bahsa arab yaitu, Qawaid dan Fiqhiyah. Kata Qawad’id merupakan
bentuk jamak (plular) dari kata Qa’idah. Kata ini telah diserap ke dalam bahsa
Indonesia menjadi kaidah. Dengan pernertian yang lebih kurtang sama dengan yang
terdapat dalam bahsa Arab.
Lebih jauh dapat dijelaskan, bahwa di dalam
penggunakan bahasa Arab, jkata Qawaid secara etimologi berarti asas atau dasar
dan fondasi., baik dalam pengertian konkret, seperti kata Qawa’id al-buyut yang
berarti fondasi bangunan rumah, maupun dalam pengertian abstrak, seperti qawaid
ad-din, yang berarti dasar-dasar agama. Penggunaan kata qawa’id dalam
pengertian fondasi dapat dilihat dalam Alquran, antara lain firman Allah pada
surah al-Baqarah (2):127 :
Artinya : “Dan
(ingatlah), ketika Ibrahim meninggikan (membina) dasar-dasar Baitullah bersama
Ismail (seraya berdo`a): "Ya Tuhan kami terimalah daripada kami (amalan
kami), sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”[2]
Demikian
juga firman Allah pada surah an-Nahl (16):26
Artinya : Sesungguhnya
orang-orang yang sebelum mereka telah mengadakan makar, maka Allah
menghancurkan rumah-rumah mereka dari fondasinya...QS. al-Nahl 26)
Dengan demikian jika disebut qawa’id, maka secara
etimologi yang di maksud adalah dasar-dasar atau fondasi-fondasi.
Kata fiqhiyyah berasal dari kata fiqh ditambah
dengan ya nisbah yang berfungsi sebagai penjenisan, atau penyandaran. Secara
etimologi fiqh berarti pengetahuan, pemahaman, atau memahami maksud pembicaraan
dan perkataannya.
Al-Qur’an menyebut kata fiqh sebanyak 20 ayat,
antara lain pada surah al-Taubah ayat 122 :
Artinya : Tidak
sepatutnya bagi orang-orang yang mukmin itu pergi semuanya (ke medan perang).
Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang
untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan
kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat
menjaga dirinya[3]
Kata fiqh juga ditemukan dalam Hadis Rasulullah SAW.
antara lain:
Siapa yang dikehendaki
Allah mendapatkan kebaikan, akan diberikan-Nya pengetahuan dalam agama
Dari pengertian di atas, dapat diketahui bahwa
pengertian qawaid fiqhiyyah menurut etimologi berarti aturan yang sudah pasti
atau patokan, dasar-dasar bagi fiqh.[4]
2.2
Asasiah Dan
Contoh Dalam bidang Muamalah
2.2.1
Segala perkara tergantung kepada tujuannya.
Dasar Qaidah dari
Al-Qur’an
a. Qur’an surah al-Bayyinah ayat 5 :
Padahal mereka tidak
disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya
dalam (menjalankan) agama dengan lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan
menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus.
b. Qur’an surah al-Baqarah ayat 225:
Allah tidak menghukum
kamu disebabkan sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Allah
menghukum kamu disebabkan (sumpahmu) yang disengaja (untuk bersumpah) oleh
hatimu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.[5]
Dasar Qaidah dari hadis
Rasulullah SAW.
a. Hadis riwayat Muslim dari Umar bin Khattab r.a.
Rasulullah bersabda:
Bahwasanya setiap
perbuatan (amal) tergantung kepada niatnya. Setiap orang mendapatkan apa yang
diniyatkannya. siapa yang berhijrah karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya
tersebut karena Allah dan Rasul-Nya. Siapa yang berhijrah karena ingin
memperoleh harta dunia atau karena perempuan yang akan dinikahinya, maka
hijrahnya tersebut karena hal tersebut.
Ayat-ayat al-Qur’an di atas sebagai dasar
dibentuknya qaidah telah diperkuat oleh hadis-hadis Rasulullah SAW. yaitu bahwa
tujuan, atau niat dari amal perbuatan harus dikerjakan dengan ikhlas karena
Allah. Dengan demikian, maka setiap urusan tergantung pada tujuan atau niat
orang yang melaksanakannya. Kalau niat karena Allah atau untuk ibadah, maka
akan memperoleh pahala dan keridhaan Allah. Sebaliknya jika niatnya untuk
mengerjakan suatu perbuatan hanya karena terpaksa, atau karena ria, maka ia
tidak mendapat pahala. Demikian pula, jika seseorang mengerjakan suatu
perbuatan tanpa niat terutama dalam masalah ibadah, maka ibadahnya tidak sah.
Penerapan Qaidah dalam
bidang muamalah:
1) Apabila seseorang membeli anggur dengan
tujuan/niat memakan atau menjual maka hukumnya boleh. Akan tetapi apabila ia
membeli dengan tujuan/niat menjadikan khamr, atau menjual pada orang yang akan
menjadikannya sebagai khamr, maka hukumnya haram.
2) Apabila seseorang menemukan di jalan
sebuah dompet yang berisi sejumlah uang lalu mengambilnya dengan tujuan/niat
mengembalikan kepada pemiliknya, maka hal itu tidak mengganti jika dompet itu
hilang tanpa sengaja. Akan tetapi jika ia mengambilnya dengan tujuan/niat untuk
memilikinya, maka ia dihukumkan sama dengan ghashib (orang yang merampas harta
orang). Jika dompet itu hilang, maka ia harus menggantinya secara mutlak.
2.2.2
Keyakinan tidak dapat dihilangkan dengan keraguan
Dasar Qaidah Hadis
Rasulullah SAW. antara lain:
Apabila salah seorang
diantara kalian merasakan sesuatu dalam perutnya, lalu dia kesulitan menetukan
apakah sudah keluar sesuatu (kentut) ataukah belum, maka jangan keluar dari
Masjid sehingga mendengar suara atau mendapatkannya bau.
Hadis
riwayat Muslim dari Abi Sa’id al-Kudry, Rasulullah SAW. bersabda:
Apabila salah seorang
diantara kalian raguragu dalam shalatnya, sehingga tidak mengetahui sudah
berapa rakaatkah dia mengerjakan shalat, maka hendaklah dia membuang keraguan
dan lakukanlah yang dia yakni kemudian dia sujud dua kali sebelum salam, kalau
ternyata dia itu shalat lima rakaat maka kedua sujud itu bisa[6]
menggenapkan shalatnya, dan jikalau ternyata shalatnya sudah sempurna maka
kedua sujud itu bisa membuat jengkel setan.
`Qaidah fiqh yang kedua adalah qaidah tentang
keyakinan dan keraguan. Yakin Secara etimologi yaitu manatapnya hati atas
sesuatu al-Yaqin juga bisa dikatakan pengetahuan dan tidak ada keraguan
didalamnya. Jadi maksud qaidah itu ialah apabila seseorang telah meyakini
terhadap suatu perkara, maka yang telah diyakini itu tidak dapat dihilangkan
dengan keraguraguan.
Penerapan Qaidah
dalam bidang muamalah :
1) Jika seseorang membeli mobil, kemudian
ia mengatakan, bahwa mobil yang dibelinya itu cacat dan ia ingin
mengembalikannya, lalu penjual menolak ucapan pembeli yang mengatakan adanya
cacat itu, maka si pembeli tidak boleh mengembalikannya, karena pada asalnya
mobil itu yakin dalam keadaan baik. Cacat tidak boleh ditetapkan dengan adanya
keraguan, sebab yang yakin tidak boleh dihapuskan oleh keraguan.
2.2.3
Kesulitan menyebabkan kemudahan.
Dasar
Qaidah dari Al-Qur’an
a. Qur’an surah al-Baqarah ayat 185 :
b. Allah
SWT. menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. [7]
c. Qur’an surah al-Baqarah ayat 286:
Allah SWT. tidak
membebani seseorang melainkan sesuai dengan kemampuannya.
d. Qur’an surah al-Nisa ayat 28:
Allah hendak memberikan
keringanan kepadamu, dan manusia dijadikan bersifat lemah.
e. Qur’an surah al-A’raf ayat 157:
dan
Allah membuang dari mereka bebanbeban dan belenggu-belenggu yang ada pada
mereka.
Dasar
Qaidah dari Hadis Rasulullah SAW, antara lain:
a.
Hadis
riwayat Bukhari dan Muslim dari Abi Hurairah r.a.:
Agama
itu mudah
b.
Mudahkanlah dan jangan mempersulit, gembirakanlah
dan jangan menakuti.
Ayat-ayat al-Quran dan hadis-hadis Nabi SAW. yang
disebutkan di atas, menunjukkan bahwa Islam selalu menginginkan kemudahan bagi
manusia. Semua hukum yang ada di dalam ajaran Islam tidak melampaui batas
kemampuan manusia yang bersifat lemah. Berdasarkan ayat dan hadis tersebut para
ulama membentuk qaidah tersebut.
Al-Masyaqqah (secara etimologi adalah atta’ab yaitu
kelelahan, kepayahan, kesulitan, dan kesukaran. Seperti terdapat dalam
Quran Surah An-Nahl ayat 7:
Dan ia memikul
beban-bebanmu ke suatu negeri yang kamu tidak sampai ke tempat tersebut kecuali
dengan susah
Sedangkan
al-Taysir secara etimologis berarti kemudahan, seperti di dalam Hadis Nabi
SAW.
Agama itu mudah.
Yusrun lawan dari kata ‘usyrun. Jadi makna qaidah
tersebut adalah kesulitan menyebabkan adanya kemudahan. Maksudnya adalah
hukum-hukum syari’ah didasarkan atas kenyamanan, keringanan dan menghilangkan
kesulitan. Hukum-hukum yang dalam penerapannya menimbulkan kesulitan dan
kesukaran bagi mukallaf (subjek hukum), maka syariah meringankannya agar
mukallaf dapat melaksanakan hukum tersebut tanpa kesulitan dan kesukaran.
Maksudnya adalah kelonggaran atau keringanan hukum yang disebabkan oleh adanya
kesukaran sebagai pengecualian dari pada qaidah hukum. Dan yang dimaksud
kesukaran ialah yang di [8]dalamnya
mengandung unsur-unsur keterpaksaan, Dalam hukum Islam, Ada hukum azimah dan
ada hukum rukhsah.Hukum dalam bentuk azimah yaitu:
Hukum yang ditetapkan
Allah pertama kali dalam bentuk hukum-hukum umum.
Hukum yang berlaku berdasarkan suatu dalil menyalahi
dalil yang ada karena adanya uzur. Hukum rukhsah adalah hukum tentang
keringanan yang dilakukan oleh karena adanya kesulitan. Faktor Penyebab adanya
Rukhshah adalah, karena:
a. Dharurat (keterpaksaan) seperti
orang yang keadaannya sangat lapar apabila ia tidak makan dikhawatirkan akan
mati, sementara yang ada di hadapannya hanya makanan yang haram dimakan, maka
ia boleh makan makanan yang haram ituuntuk menjaga jiwanya.
b. Hajat menghilangkan masyaqqah
(kesukaran). Al-Masyaqqah itu sendiri bersifat individual. Maksudnya, bagi
seseorang mungkin masyaqqah tetapi bagi orang lain tidak merasa masyaqqah.
tetapi ada standar umum yang sesungguhnya bukan masyaqqah dan karenanya tidak
menyebabkan keringanan di dalam pelaksanaan ibadah, seperti merasa berat
berwudhu pada masa musim dingin, atau merasa berat berpuasa pada masa musim
panas, atau juga merasa berat bagi terpidana dalam menjalankan hukuman
Penerapan Qaidah dalam
bidang muamalah:
a. Dibolehkan hanya melihat apa yang
mungkin dapat dilihat, seperti menjual apa yang ada dalam kaleng/botol, apa
yang dimakan ada di dalamnya dan lain-lain. Maka pendapat yang benar adalah
dibolehkan jual beli seperti itu disertai adanya gharar yasir (ketidakjelasan
yang ringan (sedikit), karena jual beli ini membawa maslahat bagi
manusia.Berkenaandengan makanan yang ada
dalam kaleng atau botol jika dibuka tutup kalengnya, atau tutup botolnya, tentu
makanan atau minuman yang ada di dalamnya akan menjadi rusak. Untuk
kemaslahatan agar makanan itu tidak rusak, maka dibolehkan (sah) jual beli
hanya melihat apa yang dapat dilihat, yaitu yang di luarnya saja, dengan
tulisan, label dan lain-lain, dengan tidak melihat langsung makanan atau
minuman itu.
2.2.4
Kemudharatan dihilangkan
Dasar al-Qur’an:
a. Qur’an surah al-Baqarah ayat 60:
dan janganlah kamu berkeliaran di muka
bumi dengan berbuat kerusakan.
b. Qur’an surah al-A’raf ayat 56:
Dan janganlah kamu membuat kerusakan di
bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya
c. Qur’an surah al-Qashash ayat 77:[9]
dan janganlah
kamu berbuat kerusakan di bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang
yang berbuat kerusakan
Dasar Qaidah
dari Hadis Rasulullah SAW:
Hadis
Rasulullah SAW. riwayat dari Ahmad bin Hanbal dari Ibnu Abbas:
Tidak boleh
membahayakan dan tidak boleh (pula) saling membahayakan (merugikan).
Para ulama menganggap hadis di atas sebagai jawami’
al-kalim, kemudian hadis tersebut dijadikan sebagai qaidah fiqhiyyah asasiyyah.
Mudharat secara etimologi adalah berasal dari kalimat "al-Dharar"
yang berarti sesuatu yang turun tanpa ada yang dapat menahannya. Al-dharar
adalah membahayakan orang lain secara mutlak, sedangkan al-dhirar adalah
membahayakan orang lain dengan cara yang tidak disyariatkan. Dalam alQur’an
ayat-ayat yang mengandung kata yang berakar dari Ayat-ayat itu seluruhnya
menyuruh mengusahakan kebaikan dan melarang tindakan merugikan; keharusan
mengikuti ajakan perbaikan hubungan suami isteri (QS. al-Baqarah ayat 228),
larangan merujuki isteri dengan maksud yang tidak baik (QS. al-Baqarah ayat
231), larangan membuat keputusanyang merugikan dalam pembagian ( QS. al-Nisa ayat 12), larangan saling
merugikan antar anggota rumah tangga suami, isteri dan anak (QS. al-Baqarah
ayat 233), dan larangan menyusahkan isteri ( QS. al-An’am ayat 6).6[10]
Memberlakukan Qaidah asasiyyah ini harus
memperhatikan qaidah bagiannya, yaitu:
a. dapat Kemudharatan menghalalkan
sesuatu yang diharamkan menurut syariat). Misalnya, orang yang dilanda
kelaparan diperkenankan makan binatang yang diharamkan karena ketidak adaan
makanan yang halal.
b.kemudharatani itu tidak dapat dihilangkan
dengan menimbulkan kemudharatan yang lain). Oleh karena itu, orang yang dalam
keadaan terpaksa menghajatkan sekali kepada makanan, maka tidak boleh makan
makanan milik orang lain yang ia juga sangat menghajatkannya.
c. Kerusakan (mafsadat) lebih
didahulukan daripada menarik kemaslahatan). Oleh karena itu, apabila berjual
beli hukumnya sunnat, tetapi jika jual beli itu mengandung aspek riba, maka
jual beli itu menjadi dilarang.
Penerapan
Qaidah dalam bidang muamalah :
a. Mengembalikan barang yang telah dibeli
lantaran adanya cacat dalam masa khiyar diperbolehkan. Begitu pula larangan
terhadap mahjur (orang yang dilarang membelanjakan harta kekayaannya), muflis
(yang jatuh pailit, yang safih (orang dungu) untuk bertransaksi. Dasar
pertimbangan diberlakukan ketentuan tersebut untuk menghindarkan sejauh mungkin
bahaya yang merugikan pihak-pihak yang terlibat di dalam transaksi tersebut.
b. Jika seseorang meminjam uang dengan
kadar tertentu, kemudian uang tersebut tidak berlaku lagi karena penggantian
uang, atau yang lainnya, maka menurut Abu Yusuf (w.182 H) orang tersebut wajib
mengembalikannya sesuai dengan harga uang tersebut, yaitu pada hari akhir
berlakunya uang pinjaman tersebut
2.2.5
Adat kebiasan ditetapkan sebagai hukum
Dasar Qaidah Dari
al-Qur’an :
a. Al-Qur’an pada surah al-Baqarah ayat
228:
Dan para wanita
mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma`ruf. Akan
tetapi para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya. Dan
Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
b. Al-Qur’an pada surah al-Baqarah ayat
233:
Dan jika kamu ingin
anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu
memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kepada Allah dan
ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.
Dasar Qaidah
dari Hadis Rasulullah SAW.: [11]
a.
Hadis
riwayat dari banyak perawi Hadis antara lain imam Bukhari ra.:
Ambillah secukupnya
untuk kamu dan anakmu dengan cara yang ma’ruf (kebiasaan yang baik).
Apa yang dipandang baik
oleh kaum muslimin, maka baik pula disisi Allah. Apa yang dipandang tidak baik
oleh kaum muslimin, maka tidak baik pula disisi Allah
Qaidah fiqhiyyah asasiyyah kelima tentang adat atau
kebiasaan, dalam bahasa Arab terdapat dua istilah yang berkenaan dengan
kebiasaan yaitu al-‘adat dan al- ‘urf. ‘Adat dan ‘urf keduanya berasal dari
kata bahasa arab dan sering dibicarakan dalam literatur fiqh. ‘Urf secara
etimologi berarti yang baik, dan juga berarti pengulangan atau berulang-ulang.
Adapun dalam tataran terminologi, sebagian ulama ushul Fiqh memberi definisi
yang sama terhadap ‘adat dan 'urf. Dalam penilaian al-Raghib kata ‘urf yang
seakar dengan kata ma’ruf merupakan nama bagi suatu perbuatan yang dinilai baik
oleh akal dan agama. Makna ini dapat ditemukan dalam diantaranya dalam Qur’an
surah al-Imran ayat 104. Kata ‘urf dan ma’ruf dalam Qur’an dipandang sebagai
bagian dari sikap ihsan. Isyarat ini dapat ditemukan dalam Qur’an surah
al-‘Araf ayat 199.
Dikalangan ulama ushul fiqh, mereka membicarakannya
tentang macam-Macam adat. Adat mendapat tempat sebagai dasar penetapan hukum
dengan syarat-syarat tertentu, yaitu tidak bertentangan dengan hukum-hukum
syariat yang berlandaskan dalil atau sumber hukum yang sah, baik Al-Qur’an
maupun Sunnah dan dalil lainnya, juga berlaku dan meluas dalam masyarakat
umumnya. Karena itu adat dibagi dua bagian, yaitu:
a. Adat yang shahih, yaitu adat
yang tidak bertentangan dengan hukum syariat. Adat yang seperti ini harus
dipelihara, terutama dalam menetapkan terhadap suatu hokum, atau ketika
mempertimbangkan suatu keputusan dalam pengadilan. Karena adat yang sudah
berlaku di tengah-tengah masyarakat, merupakan tuntutan yang sesuai dengan
kemaslahatan mereka. Misalnya mengadakan pertunangan sebelum melangsungkan
perkawinan.
b. Adat fasid, yaitu adat yang berlaku
dalam suatu sosial masyarakat yang senantiasa bertentangan dengan ajaran
syariat, Misalnya kebiasaan mengadakan sesajin untuk sebuah patung atau suatu
tempat yang dipandang mulia, karena bertentangan dengan akidah tauhid.[12]
`Adat apabila dipandang dari segi ruang lingkupnya,
maka dibagi kepada dua, yaitu:
a.
Adat
'aam, yaitu adat yang berlaku pada semua tempat, masa dan keadaan. Misalnya
memberi hadiah kepada orang yang telah memberikan jasanya kepada seseorang.
Begitu pula mengucapkan terima kasih kepada orang yang telah membantu.
b.
Adat
khas, yaitu adat yang hanya berlaku pada tempat, masa dan atau keadaan tertentu
saja. Misalnya mengadakan “halal bi halal” yang biasa dilakukan oleh orang
(masyarakat) Indonesia bagi yang beragama Islam pada setiap selesai puasa
Ramadhan dan berlebaran. Sedangkan di negara lain tidak merupakan kebiasaan.
Penerapan Qaidah
dalam masalah muamalah:
Cacat pada barang yang dibeli, adalah disesuaikan
dengan adat kebiasaan yang berlaku di kalangan masyarakat. Maka apa yang
dipandang masyarakat sebagai cacat, itu adalah cacat yang karenannya barang itu
dikembalikan, tetapi jika itu tidak dipandang oleh masyarakat sebagai cacat,
maka barang yang dibeli tidak dapat dikembalikan[13]
2.3 Kadiah-Kaidah Dalam Bidang Muamalah Dan
Contoh
Pengertian muamalah secara etimologi, kata artinya
bertindak, saling berbuat, saling mengamalkan, pengertian muamalah secara luas
adalah segala peraturan yang diciptakan Allah untuk mengatur hubungan manusia
dengan sesamanya dalam hidup dan kehidupan di dunia (pergaulan sosisial)
mencapai suksesnya kehidupan dunia dan akhirat.
2.3.1
Pada Dasarnya Semua Muamalah Boleh Dilakukan,
Terkecuali Ada Dalil Yang Mengharamkannya
Sumber
Qaidah :
a. Dalil al-Qur’an :
Al-Qur’an
surah al-Maidah ayat 87:
Hai orang-orang yang
beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan
bagi kamu, dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang-orang yang melampaui batas.
Hadis Rasulullah Saw.
1.
Hadis riwayat al-Baihaqi dari Ubaid bin Amir r.a:
Rasulullah Saw.berkata:
Bahwasanya aku tidak menghalalkan apa yang dihalalkan Allah dalam kitab-Nya.
Dan tidak mengharamkan kecuali apa yang diharamkan Allah dalam kitab-Nya.
Bentuk muamalah secara sempit adalah
aktivitasaktivitas ekonomi, seperti jual beli, utang piutang, ijarah, dan
transaksi-transaksi lainnya.[14]
Penyebab dilarangnya suatu transaksi adalah
disebabkan karena faktor-faktor:
(1) haram zatnya (haram li-dzatuhi);
2) haram selain zatnya (haram li ghairihi); dan
(3) tidak sah atau tidak lengkap akadnya.
Para fukaha menerangkan secara umum faktor penyebab
muamalat yang diharamkan yaitu:
1. kezhaliman. Apabila praktik muamalat di
dalamnya mengandung kezhaliman terhadap salah satu pihak atau pihak manapun,
maka muamalah itu menjadi diharamkan. Berdasarkan firman Allah pada surah
anNisa ayat 29:
Hai orang-orang yang
beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil,
kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara
kamu...
Diantara jenis transaksi yang diharamkan karena
mengandung kezhaliman, yaitu :
a. Ghisysy atau tadlis, yaitu transaksi
dengan cara merahasiakan cacat barang atau dengan cara menampilkan barang yang
dipandang baik dan menyelipkan diselanya barang yang rusak.
b. Najsy (Rekayasa pasar dalam demand)
yaitu merupakan penipuan terhadap pembeli. Hal ini terjadi apabila seorang
produsen atau pembeli menciptakan permintaan palsu, seolah-olah ada banyak
permintaan terhadap suatu produk, sehingga harga jual produk itu akan naik.[15]
2. Gharar (Penipuan).Gharar dalam muamalah
adalah suatu akad yang mengandung unsur penipuan karena tidak ada kepastian,
baik ada atau tidaknya objek akad. Gharar dapat terjadi dalam empat hal yakni:
kuantitas, kualitas, harga dan waktu penyerahan.
3. Riba,
Menurut bahasa riba berarti bertambah Sesuatu menjadi riba apabila ia
bertambah. Keharaman riba berdasarkan al-Quran, Hadis dan Ijma. Dalam al-Quran
misalnya pada surah al-Baqarah ayat 275 dijelaskan, yaitu:
...Padahal
Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba...
4. Risywah (Suap), Risywah berasal dari
bahasa Arab yang berarti sogokan, bujukan, suap, atau kadang disebut uang
pelicin. Risywah yaitu pemberian sesuatu dengan tujuan membatalkan sesuatu yang
benar atau membenarkan sesuatu yang bathil.
Keharaman risywah ditegaskan oleh hadis
Rasulullah Saw. dari Abdullah bin Amr ra. diriwayatkan oleh Abu Dawud :
Rasulullah
Saw. melaknak orang yang memberi suap dan orang yang menerima suap.
Contoh Qaidah Muamalah :
Para ulama melarang jual beli dengan cara pembeli
mencegat para penjual barang untuk melakukan jual beli sebelum mereka tiba di
pasar. Pengharaman menjual buah-buahan sebelum matang, Pengharaman menjual
bahan makanan yang dibeli sebelum menerimanya,pengharaman menjual kotoran. Dan lain-lain.
2.3.2
Pada
Dasarnya Semua Yang Bermanfaat Halal Dan Yang Membahayakan haram Dengan
Petunjuk Syariat.
Sumber
Qaidah:
a. Al-Qur’an surah al-Baqarah ayat 219:
Mereka
bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: Pada keduanya itu
terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya
lebih besar dari manfaatnya. Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka
nafkahkan. Katakanlah: Yang lebih dari keperluan. Demikianlah Allah menerangkan
ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berfikir,
b.
Al-Qur’an
surah al-Nisa ayat 111:
Barangsiapa
yang mengerjakan dosa, maka sesungguhnya ia mengerjakannya untuk (kemudharatan)
dirinya sendiri. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
Dalil hadis Rasulullah Saw. riwayat dari Ahmad bin
Hanbal dari Ibnu Abbas r.a.:
Tidak
boleh membahayakan dan tidak boleh (pula) saling membahayakan (merugikan)
Qaidah muamalah yang kedua ini adalah masuk apa saja
perbuatan muamalah yang di dalamnya mengandung manfaat dan tidak mengandung
mudharat dibolehkan, tetapi jika perbuatan muamalah itu mengandung mudharat,
maka diharamkan. Dalam syariat Islam, maka tujuan diadakannya hukum, termasuk
bagian muamalah adalah untuk mendapat kemaslahatan, dan menjauhi kemudharatan.
Setiap kemaslahatan mengandung manfaat, dan setiap kemudharatan mengandung
bahaya.
Dalam muamalah, seperti jual beli, utang piutang dan
lainnya, sebagaimana diterangkan pada qaidah fiqhiyyah muamalah yang pertama,
bahwa semua mua malah itu boleh karena
bermuamalah itu bermanfaat. Kebolehan muamalah itu selama tidak ada dalil yang
menyatakan keharaman, karena keharaman itu mengandung mafsadat dan bahaya. Oleh
karena dalam bermuamalah dilarang adanya unsur kezhaliman, unsur gharar, unsur
maysir dan riba. Karena semua itu adalah membawa mudharat kepada orang yang
bertransaksi.
Contoh Qaidah Muamalah:
a.
Semua
bentuk jual beli dibolehkan oleh para ulama, karena jual beli itu mengandung
manfaat, tetapi para ulama mengharamkan jual beli yang ada unsur riba, karena
riba mengandung unsur kemudharatan (bahaya), kemudharatan itu ditunjuk oleh
syariat. Misalnya seseorang melakukan utang piutang kemudian pembayarannya
berlebih dari jumlah utang dengan permintaan sipemberi utang.
2.3.4
Pada
Dasarnya Pada Akad Adalah Keridhaan kedua Belah Pihak Yang Mengadakan akad
Hasilnya Apa Yang Saling di iltizamkan Oleh Perakadan Itu
Dasar
Qaidah :
a.
Dalil Al-Qur’an
Al-Qur’an pada surah al-Maidah ayat 1:
Hai
orang-orang yang beriman, penuhi- lah akad-akad itu.
Al-Qur’an
pada surah Al-Nisa ayat 29:
Hai
orang-orang yang beriman,jangan- lah kamu saling memakan harta sesamamu dengan
jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka
samasuka di antara kamu
Hadis Rasulullah Saw. yang diriwayatkan oleh Ibnu
Majah dari Abi Said al-Khudry ra.:
Dari
Abi Said al-Khudr bahwa Rasulullah Saw. bersabda:
Sesungguhnya
jual beli itu harus dilakukan dengan suka sama suka. [16]
Qaidah fiqhiyyah
muamalah ini berkaitan dengan akad dalam muamalah. Akad menurut etimologi
memiliki beberapa arti, yaitu al-Rabth berarti mengikat. Tetapi bisa pula
berarti al-Aqd berarti sambungan, dan bisa pula berarti al-‘Ahd berarti janji.
Istilah ‘ahdu dalam al-Qur’an mengacu kepada pernyataan seseorang untuk
mengerjakan sesuatu atau untuk tidak mengerjakan sesuatu dan tidak ada sangkut
pautnya dengan orang lain. Sedangkan ‘aqdu, mengacu terjadinya dua perjanjian
atau lebih, yaitu apabila seseorang mengadakan janji kemudian ada orang lain
yang menyetujui janji tersebut serta menyatakan pula suatu janji yang
berhubungan dengan janji yang pertama, maka terjadilah perikatan dua buah janji
dari dua orang yang mempunyai hubungan antara yang satu dengan yang lain
disebut akad.
Di simpulkan
bahwa akad terjadi diantara dua pihak dengan keredhaan, dan menimbulkan
kewajiban atas masing-masing secara timbal balik. Maka dari itu sudah jelas
pihak yang menjalin ikatan perlu memperhatikan terpenuhinya hak dan kewajiban
masingmasing pihak tanpa ada pihak yang terlangar haknya.[17]
Adapun
faktor-faktor yang merusak keredhaan seseorang adalah sebagai berikut :
a. Paksaan/Intimidasi,Yakni memaksa
pihak lain secara melanggar hukum untuk melakukan atau tidak melakukan suatu
ucapan atau perbuatan yang tidak disukainya dengan ancaman sehingga menyebabkan
terhalangnya hak seseorang untuk bebas berbuat dan hilangnya keredhaan.
b. Penyamaran Harga Barang (Ghubn), Ghubn
secara bahasa artinya pengurangan
Contoh Qaidah
Fiqhiyyah Muamalah :
Ketika terjadi
suatu akad, di mana salah satu pihak tidak menghendaki (berakad dalam keadaan
terpaksa), maka akad itu dipandang tidak sah atau batal. Seperti dalam akad
hibah, bila mana pihak yang memberikan mau mengadakan akad tersebut karena
adanya paksaan maka akad itu tidak sah. Meskipun mulanya, terjadinya suatu akad
itu merupakan kehendak kedua belah pihak, namun apabila dikemudian hari pada
akad itu tidak disetujui oleh salah satu pihak, maka akad dipandang batal,
seperti akad jual beli yang mengandung tipuan. Pada hakikatnya jual beli itu
dikehendaki oleh masing-masing pihak, tetapi pada iltizamnya tidak disetujui
oleh salah satu pihak, karena merasa dirugikan dengan adanya tipuan yang ada
pada iltizam tersebut, dengan demikian akad jual beli menjadi batal.[18]
2.4 Pengertian Ijtihad
Ijtihad (Arab: اجتهاد) adalah sebuah usaha yang sungguh-sungguh, yang
sebenarnya bisa dilaksanakan oleh siapa saja yang sudah berusaha mencari ilmu
untuk memutuskan suatu perkara yang tidak dibahas dalam Al Quran maupun hadis
dengan syarat menggunakan akal sehat dan pertimbangan matang.Namun pada
perkembangan selanjutnya, diputuskan bahwa ijtihad sebaiknya hanya dilakukan
para ahli agama Islam.
Tujuan ijtihad adalah untuk memenuhi keperluan umat manusia akan pegangan hidup
dalam beribadah kepada Allah di suatu
tempat tertentu atau pada suatu waktu tertentu Meski Al Quran sudah diturunkan
secara sempurna dan lengkap, tidak berarti semua hal dalam kehidupan manusia
diatur secara detil oleh Al Quran maupun Al Hadist. Selain itu ada perbedaan keadaan pada saat turunnya Al Quran dengan
kehidupan modern. Sehingga setiap saat masalah baru akan terus berkembang dan
diperlukan aturan-aturan baru dalam melaksanakan Ajaran Islam dalam kehidupan
beragama sehari-hari.[19]
Jika terjadi persoalan baru bagi kalangan umat Islam di suatu tempat
tertentu atau di suatu masa waktu tertentu maka persoalan tersebut dikaji
apakah perkara yang dipersoalkan itu sudah ada dan jelas ketentuannya dalam Al
Quran atau Al Hadist. Sekiranya
sudah ada maka persoalan tersebut harus mengikuti ketentuan yang ada
sebagaimana disebutkan dalam Al Quran atau Al Hadits itu. Namun jika persoalan
tersebut merupakan perkara yang tidak jelas atau tidak ada ketentuannya dalam
Al Quran dan Al Hadist, pada saat itulah maka umat Islam memerlukan ketetapan
Ijtihad. Tapi yang berhak membuat Ijtihad adalah mereka yang mengerti dan paham
Al Quran dan Al Hadist.
2.5 Lapangan
Ijtihad (Majal Al-ijtihad)
Wilayah
ijtihad atau majal al ijtihad adalah masalah yang diperbolehkan penetapan
hukumnya dengan cara ijtihad itu.Adapun hukum yang diketahui dari agama secara
dharudoh dan bid’ah (pasti benar berdasarkan pertimbangan akal). Dalil qoth’i al subut wal dalalah tidaklah termasuk lapangan
ijtihad, persoalan-persoalan yang tergolong ma’ulima min ad din bi ‘al dhoruroh
diantaranya kewajiban shalat lima waktu, puasa pada bulan Ramadhan.
Secara lebih jelas, Wahbah az zuhaili (1978:497) menjelaskan bahwa
lapangan ijtihat itu ada dua. Pertama, sesuatu yang tidak dijelaskan samasekali
oleh Allah dan Nabi dalam Al-Qur’an dan Sunnah (ma la nasha fi ashlain). Kedua,
sesuatu yang ditetapkan berdasarkan dalil zhanni Ats-Tsubut wa Al-Adalah atau
salah satunya (Zhanni Ats Tsubut atau Zhanni Al Adalah).[20]
2.6 Syarat-syarat
Ijtihad
Para ulama ushul berbeda pendapat
dalam menetapkan syarat-syarat ijtihad atau syarat-syarat yang harus dimiliki
oleh seorang mujtahid. Secara umum, pendapat mereka tentang persyaratan seorang
mujtahid dapat disimpulkan sebagai berikut :[21]
1. Menguasai dan mengetahui arti ayat-ayat hukum yang
terdapat dalam Al-Qur’an, baik menurut bahasa maupuan syari’ah.
2. Menguasai dan mengetahui hadis-hadis tentang hukum,
baik menurut bahsa maupun menurut syari’ah.
3. Mengetahui naskh dan mansukh dalam Al-Qur’an dan
As-Sunah.
4. Mengetahui permasalahan yang sudah ditetapkan
melalui ijma’ulama, sehingga ijtihadnya tidak bertentangan dengan ijma’ ulama.
5. Mengetahui qiyas dan persyaratannya serta
meng-istinbatnya.
6. Mengetahui bahasa Arab dan berbagai disiplin ilmu
yang berkaitan dengan bahasa,serta berbagai problematikannya.
7. mengetahui ilmu Ushul Fiqh yang merupakan pondasi ijtihad.
8. Mengetahui maqashidu As-Syari’ah (tujuan syari’at) secara umum, karena
bagaimanapun juga syari’at itu berkaitan dengan Maqashidu Asy-Syari’at rahasia disyariatkannya suatu hukum.
2.7 . Tingkatan mujtahid
Menurut
sarjana ushul fiqh, hanya orang-orang yang memenuhi syarat-syarat tersebut yang
berhak menyandang predikat mujtahid. Namun, mereka membedakan derajat mujtahid
ke dalam beberapa martabat dari tingkatan tertinggi sampai tingkatan terendah.
Beberapa tingkatan mujtahid itu adalah:
1.
Mujtahid Mustaqil,
yaitu mujtahid yang mampu menggali hukum-hukum syari’at langsung dari sumbernya
yang terpokok ( Alquran dan Sunnah) dan dalam mengistimbatkan hukum mujtahid
mempunyai dasar-dasar istimbat sendiri, tidak mengikuti istimbat orang lain.
Mustahid mustaqil ini lazim disebut dengan istilah mujtahid mutlak.
2.
Mujtahid Muntasib,
yaitu mujtahid yang dalam mengistimbatkan hukum mengikuti (memilih) ushul
istimbat imam madzab tertentu, walaupun dalam masalah-masalah furu’ dia berbeda
pendapat dengan imamnya.
3.
Mujtahid Madzab,
yaitu mujtahid yang mengikuti imam madzabnya baik dalam masalah ushul maupun
furu’. Kalaupun dia melakukan ijtihad, ijtihadnya terbatas dalam masalah yang
ketentuan hukumnya tidak dia peroleh dari imam madzab yang di anutnya.
4.
Mujtahid Murajjih,
yaitu mujtahid yang tidak mengistimbatkan hukum-hukum furu’ (apalagi hukum
asal), akan tetapi dia hanya membandingkan beberapa pendapat mujtahid yang ada
untuk kemudian memilih salah satu pendapat yang di pandang paling kuat.
5.
Mujtahid Mustadil,
yaitu ulama yang tidak melakukan tarjih terhadap pendapat-pendapat yang ada,
akan tetapi dia mengemukakan dalil-dalil berbagai pendapat tersebut dan
menerangkan mana yang patut dipegang ( di ikuti) tanpa melakukan tarjih
terlebih dahulu.[22]
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Qawa’id
fiqhiyyah merupakan landasan umum dalam pemikiran dan perilaku sosial
memberikan panduan bagi masyarakat untuk melakukan interaksi dengan sesamanya.
Panduan yang diberikan menyangkut beberapa aspek kehidupan seperti hukum,
ekonomi, sosial, politik dan kenegaraan, budaya, dan sebagainyasampai pada
masalah pernikahan.
Dalam hal ini,
pemahaman terhadap qawa’id fiqhiyyah adalah mutlak diperlukanuntuk melakukan
suatu “ijtihad” atau pemba-haruan pemikiran. Para ulama dan fuqaha terdahulu,
sejak akhir abad ke-2 Hijriyyah telahmerintis batu peletakan qawa’id melalui
karya-karya agung mereka, yang sampai kini masihterlihat manfaatnya untuk
diimplementasikan dalam kehidupan modern, termasuk ekonomi. Para ulama/fuqaha
dari keempat madzhab fiqhtersebut menyusun qawa’id dalam jumlah yang begitu
banyak, sebagiannya sama atau serupa, sehingga susah untuk diketahui jumlahnya
secara pasti.
No comments:
Post a Comment