1

loading...

Thursday, November 1, 2018

SUMBER HUKUM ISLAM


SUMBER HUKUM ISLAM
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sebagai landasan aktifitas ummat Islam seharihari dalam usaha memahami maksud-maksud ajaran Islam (maqasidusy Syari’ ah) se’ara lebih menyeluruh, keberadaan Qawa’id fiqhiyyah menjadi sesuatu yang amat penting, termasuk dalam kehidupan berekonomi. Baik di mata para ahli usul (usuliyyun) maupun fuqaha, pemahaman terhadap qawa’id fiqhiyyah adalah mutlak diperlukan untuk melakukan suatu “ijtihad” atau pembaharuan pemikiran dalam masalah muamalat atau lebih khas lagi ekonomi. Manfaat keberadaan qawa’id fiqhiyyah adalah untuk menyediakan panduan yang lebih praktis yang diturunkan dari nash asalnya yaitu al-qur’an dan al-Hadits kepada masyarakat.
Dengan qawa’id fiqhiyyah ini para ulama dan fuqaha dapat menyiapkan garis panduan hidup bagi ummat Islam dalam lingkup yang berbeda dari waktu ke waktu dan tempat ke tempat. Sebagaimana diketahui Islam memberi kesempatan kepada ummatnya melalui mereka yang memiliki otoritas yaitu para ulama untuk melakukan ijtihad dengan berbagai cara yang dituntunkan oleh Rasulullah, melalui ijma’, qiyas, istihsan, istishab, istislah (masalihulmursalah) dan sebagainya untuk mencari kebenaran yang tak ditemukan dalam al-Qur’an maupun Hadits Rasulullah SAW. Demikian pula, dalam kehidupan ekonomi, atau yang dalam khazanah karya para fuqaha terdahulu biasa disebut muamalat, pemakaian qawa’id fiqhiyyah menjadi sesuatu yang amat penting. Ratusan atau bahkan mungkin ribuan qawa’id telah dirumuskan oleh para fuqaha dari kalangan empat madzhab. Ash-Shiddieqie (1981).”  Para fuqaha sepakat bahwa proses pemahaman dan penurunan qawa’id ini sama dengan proses yang dilakukan oleh para usuliyyun dalam menurunkan panduan hukum berupa Qawa’id al-Usuliyyah berdasarkan metode qiyas. Terdapat sejumlah qawa’id fiqhiyyah yang dirumuskan oleh para ulama/fuqaha, sebagai bagian dari fatwa mereka, yang menyinggung persoalan perilaku ekonomi umat Islam. Sebagai contoh: ‘al-aadah muhakkamah atau kebiasaan dapat menjadi dasar hukum.[1]
1.2 Rumusan Masalah
a.      apa yang dimaksud dengan Qawaidul Fiqiyah ?
b.     Apa yang dimaksud dengan asasiah dan contoh dalam bidang muamalah ?
c.      Apa yang dimaksud dengan  kadiah-kaidah dalam bidang muamalah dan contohnya?
1.3 Tujuan Penulisan
a. mengetahui apa yang dimaksud dengan Qawaidul Fiqiyah
b.mengetahui tentang asasiah dan contoh dalam bidang muamalah
c. mengetahui tentang kaidah-kaidah dalam bidang muamalah dan contohnya
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Qawaidul Fiqiyah
Al-Qawaid al-fiqhiyah terdiri dari atas dua kata yang berasal dari bahsa arab yaitu, Qawaid dan Fiqhiyah. Kata Qawad’id merupakan bentuk jamak (plular) dari kata Qa’idah. Kata ini telah diserap ke dalam bahsa Indonesia menjadi kaidah. Dengan pernertian yang lebih kurtang sama dengan yang terdapat dalam bahsa Arab.
Lebih jauh dapat dijelaskan, bahwa di dalam penggunakan bahasa Arab, jkata Qawaid secara etimologi berarti asas atau dasar dan fondasi., baik dalam pengertian konkret, seperti kata Qawa’id al-buyut yang berarti fondasi bangunan rumah, maupun dalam pengertian abstrak, seperti qawaid ad-din, yang berarti dasar-dasar agama. Penggunaan kata qawa’id dalam pengertian fondasi dapat dilihat dalam Alquran, antara lain firman Allah pada surah al-Baqarah (2):127 :
Artinya : “Dan (ingatlah), ketika Ibrahim meninggikan (membina) dasar-dasar Baitullah bersama Ismail (seraya berdo`a): "Ya Tuhan kami terimalah daripada kami (amalan kami), sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”[2]
Demikian juga firman Allah pada surah an-Nahl (16):26
Artinya : Sesungguhnya orang-orang yang sebelum mereka telah mengadakan makar, maka Allah menghancurkan rumah-rumah mereka dari fondasinya...QS. al-Nahl 26)
Dengan demikian jika disebut qawa’id, maka secara etimologi yang di maksud adalah dasar-dasar atau fondasi-fondasi.
Kata fiqhiyyah berasal dari kata fiqh ditambah dengan ya nisbah yang berfungsi sebagai penjenisan, atau penyandaran. Secara etimologi fiqh berarti pengetahuan, pemahaman, atau memahami maksud pembicaraan dan perkataannya.
Al-Qur’an menyebut kata fiqh sebanyak 20 ayat, antara lain pada surah al-Taubah ayat 122 :
Artinya : Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mukmin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya[3]
Kata fiqh juga ditemukan dalam Hadis Rasulullah SAW. antara lain: 
Siapa yang dikehendaki Allah mendapatkan kebaikan, akan diberikan-Nya pengetahuan dalam agama
Dari pengertian di atas, dapat diketahui bahwa pengertian qawaid fiqhiyyah menurut etimologi berarti aturan yang sudah pasti atau patokan, dasar-dasar bagi fiqh.[4]
2.2   Asasiah Dan Contoh Dalam bidang Muamalah
2.2.1       Segala perkara tergantung kepada tujuannya.
Dasar Qaidah dari Al-Qur’an
a. Qur’an surah al-Bayyinah ayat 5 :
Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus.
b. Qur’an surah al-Baqarah ayat 225:
Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Allah menghukum kamu disebabkan (sumpahmu) yang disengaja (untuk bersumpah) oleh hatimu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.[5]
Dasar Qaidah dari hadis Rasulullah SAW.
a. Hadis riwayat Muslim dari Umar bin Khattab r.a. Rasulullah bersabda:
Bahwasanya setiap perbuatan (amal) tergantung kepada niatnya. Setiap orang mendapatkan apa yang diniyatkannya. siapa yang berhijrah karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya tersebut karena Allah dan Rasul-Nya. Siapa yang berhijrah karena ingin memperoleh harta dunia atau karena perempuan yang akan dinikahinya, maka hijrahnya tersebut karena hal tersebut.
Ayat-ayat al-Qur’an di atas sebagai dasar dibentuknya qaidah telah diperkuat oleh hadis-hadis Rasulullah SAW. yaitu bahwa tujuan, atau niat dari amal perbuatan harus dikerjakan dengan ikhlas karena Allah. Dengan demikian, maka setiap urusan tergantung pada tujuan atau niat orang yang melaksanakannya. Kalau niat karena Allah atau untuk ibadah, maka akan memperoleh pahala dan keridhaan Allah. Sebaliknya jika niatnya untuk mengerjakan suatu perbuatan hanya karena terpaksa, atau karena ria, maka ia tidak mendapat pahala. Demikian pula, jika seseorang mengerjakan suatu perbuatan tanpa niat terutama dalam masalah ibadah, maka ibadahnya tidak sah.
Penerapan Qaidah dalam bidang muamalah:
1)     Apabila seseorang membeli anggur dengan tujuan/niat memakan atau menjual maka hukumnya boleh. Akan tetapi apabila ia membeli dengan tujuan/niat menjadikan khamr, atau menjual pada orang yang akan menjadikannya sebagai khamr, maka hukumnya haram.
2)     Apabila seseorang menemukan di jalan sebuah dompet yang berisi sejumlah uang lalu mengambilnya dengan tujuan/niat mengembalikan kepada pemiliknya, maka hal itu tidak mengganti jika dompet itu hilang tanpa sengaja. Akan tetapi jika ia mengambilnya dengan tujuan/niat untuk memilikinya, maka ia dihukumkan sama dengan ghashib (orang yang merampas harta orang). Jika dompet itu hilang, maka ia harus menggantinya secara mutlak.
2.2.2       Keyakinan tidak dapat dihilangkan dengan keraguan
Dasar Qaidah Hadis Rasulullah SAW. antara lain:
Apabila salah seorang diantara kalian merasakan sesuatu dalam perutnya, lalu dia kesulitan menetukan apakah sudah keluar sesuatu (kentut) ataukah belum, maka jangan keluar dari Masjid sehingga mendengar suara atau mendapatkannya bau.
Hadis riwayat Muslim dari Abi Sa’id al-Kudry, Rasulullah SAW. bersabda:
Apabila salah seorang diantara kalian raguragu dalam shalatnya, sehingga tidak mengetahui sudah berapa rakaatkah dia mengerjakan shalat, maka hendaklah dia membuang keraguan dan lakukanlah yang dia yakni kemudian dia sujud dua kali sebelum salam, kalau ternyata dia itu shalat lima rakaat maka kedua sujud itu bisa[6] menggenapkan shalatnya, dan jikalau ternyata shalatnya sudah sempurna maka kedua sujud itu bisa membuat jengkel setan.
`Qaidah fiqh yang kedua adalah qaidah tentang keyakinan dan keraguan. Yakin Secara etimologi yaitu manatapnya hati atas sesuatu al-Yaqin juga bisa dikatakan pengetahuan dan tidak ada keraguan didalamnya. Jadi maksud qaidah itu ialah apabila seseorang telah meyakini terhadap suatu perkara, maka yang telah diyakini itu tidak dapat dihilangkan dengan keraguraguan.
Penerapan Qaidah dalam bidang muamalah :
1)     Jika seseorang membeli mobil, kemudian ia mengatakan, bahwa mobil yang dibelinya itu cacat dan ia ingin mengembalikannya, lalu penjual menolak ucapan pembeli yang mengatakan adanya cacat itu, maka si pembeli tidak boleh mengembalikannya, karena pada asalnya mobil itu yakin dalam keadaan baik. Cacat tidak boleh ditetapkan dengan adanya keraguan, sebab yang yakin tidak boleh dihapuskan oleh keraguan.

2.2.3       Kesulitan menyebabkan kemudahan.
Dasar Qaidah dari Al-Qur’an                          
a.      Qur’an surah al-Baqarah ayat 185 :
b.     Allah SWT. menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. [7]
c.      Qur’an surah al-Baqarah ayat 286:
Allah SWT. tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kemampuannya.
d.     Qur’an surah al-Nisa ayat 28:
Allah hendak memberikan keringanan kepadamu, dan manusia dijadikan bersifat lemah.
e.      Qur’an surah al-A’raf ayat 157:
dan Allah membuang dari mereka bebanbeban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka.
Dasar Qaidah dari Hadis Rasulullah SAW, antara lain:
a.        Hadis riwayat Bukhari dan Muslim dari Abi Hurairah r.a.:
Agama itu mudah
b.       Mudahkanlah dan jangan mempersulit, gembirakanlah dan jangan menakuti.
Ayat-ayat al-Quran dan hadis-hadis Nabi SAW. yang disebutkan di atas, menunjukkan bahwa Islam selalu menginginkan kemudahan bagi manusia. Semua hukum yang ada di dalam ajaran Islam tidak melampaui batas kemampuan manusia yang bersifat lemah. Berdasarkan ayat dan hadis tersebut para ulama membentuk qaidah tersebut.
Al-Masyaqqah (secara etimologi adalah atta’ab yaitu kelelahan, kepayahan, kesulitan, dan kesukaran. Seperti terdapat dalam
Quran Surah An-Nahl ayat 7:
Dan ia memikul beban-bebanmu ke suatu negeri yang kamu tidak sampai ke tempat tersebut kecuali dengan susah
Sedangkan al-Taysir secara etimologis berarti kemudahan, seperti di dalam Hadis Nabi SAW. 
Agama itu mudah.
Yusrun lawan dari kata ‘usyrun. Jadi makna qaidah tersebut adalah kesulitan menyebabkan adanya kemudahan. Maksudnya adalah hukum-hukum syari’ah didasarkan atas kenyamanan, keringanan dan menghilangkan kesulitan. Hukum-hukum yang dalam penerapannya menimbulkan kesulitan dan kesukaran bagi mukallaf (subjek hukum), maka syariah meringankannya agar mukallaf dapat melaksanakan hukum tersebut tanpa kesulitan dan kesukaran. Maksudnya adalah kelonggaran atau keringanan hukum yang disebabkan oleh adanya kesukaran sebagai pengecualian dari pada qaidah hukum. Dan yang dimaksud kesukaran ialah yang di [8]dalamnya mengandung unsur-unsur keterpaksaan, Dalam hukum Islam, Ada hukum azimah dan ada hukum rukhsah.Hukum dalam bentuk azimah yaitu:
Hukum yang ditetapkan Allah pertama kali dalam bentuk hukum-hukum umum.
Hukum yang berlaku berdasarkan suatu dalil menyalahi dalil yang ada karena adanya uzur. Hukum rukhsah adalah hukum tentang keringanan yang dilakukan oleh karena adanya kesulitan. Faktor Penyebab adanya Rukhshah adalah, karena:
a. Dharurat (keterpaksaan) seperti orang yang keadaannya sangat lapar apabila ia tidak makan dikhawatirkan akan mati, sementara yang ada di hadapannya hanya makanan yang haram dimakan, maka ia boleh makan makanan yang haram ituuntuk menjaga jiwanya.
b. Hajat menghilangkan masyaqqah (kesukaran). Al-Masyaqqah itu sendiri bersifat individual. Maksudnya, bagi seseorang mungkin masyaqqah tetapi bagi orang lain tidak merasa masyaqqah. tetapi ada standar umum yang sesungguhnya bukan masyaqqah dan karenanya tidak menyebabkan keringanan di dalam pelaksanaan ibadah, seperti merasa berat berwudhu pada masa musim dingin, atau merasa berat berpuasa pada masa musim panas, atau juga merasa berat bagi terpidana dalam menjalankan hukuman
Penerapan Qaidah dalam bidang muamalah:
a.      Dibolehkan hanya melihat apa yang mungkin dapat dilihat, seperti menjual apa yang ada dalam kaleng/botol, apa yang dimakan ada di dalamnya dan lain-lain. Maka pendapat yang benar adalah dibolehkan jual beli seperti itu disertai adanya gharar yasir (ketidakjelasan yang ringan (sedikit), karena jual beli ini membawa maslahat bagi manusia.Berkenaandengan makanan  yang ada dalam kaleng atau botol jika dibuka tutup kalengnya, atau tutup botolnya, tentu makanan atau minuman yang ada di dalamnya akan menjadi rusak. Untuk kemaslahatan agar makanan itu tidak rusak, maka dibolehkan (sah) jual beli hanya melihat apa yang dapat dilihat, yaitu yang di luarnya saja, dengan tulisan, label dan lain-lain, dengan tidak melihat langsung makanan atau minuman itu.
2.2.4       Kemudharatan dihilangkan
Dasar al-Qur’an:
a.  Qur’an surah al-Baqarah ayat 60:
dan janganlah kamu berkeliaran di muka bumi dengan berbuat kerusakan.
b.   Qur’an surah al-A’raf ayat 56:
Dan janganlah kamu membuat kerusakan di bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya
c.    Qur’an surah al-Qashash ayat 77:[9]
dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan
Dasar Qaidah dari Hadis Rasulullah SAW:
 Hadis Rasulullah SAW. riwayat dari Ahmad bin Hanbal dari Ibnu Abbas:
Tidak boleh membahayakan dan tidak boleh (pula) saling membahayakan (merugikan).
Para ulama menganggap hadis di atas sebagai jawami’ al-kalim, kemudian hadis tersebut dijadikan sebagai qaidah fiqhiyyah asasiyyah. Mudharat secara etimologi adalah berasal dari kalimat "al-Dharar" yang berarti sesuatu yang turun tanpa ada yang dapat menahannya. Al-dharar adalah membahayakan orang lain secara mutlak, sedangkan al-dhirar adalah membahayakan orang lain dengan cara yang tidak disyariatkan. Dalam alQur’an ayat-ayat yang mengandung kata yang berakar dari Ayat-ayat itu seluruhnya menyuruh mengusahakan kebaikan dan melarang tindakan merugikan; keharusan mengikuti ajakan perbaikan hubungan suami isteri (QS. al-Baqarah ayat 228), larangan merujuki isteri dengan maksud yang tidak baik (QS. al-Baqarah ayat 231), larangan membuat keputusanyang merugikan dalam pembagian  ( QS. al-Nisa ayat 12), larangan saling merugikan antar anggota rumah tangga suami, isteri dan anak (QS. al-Baqarah ayat 233), dan larangan menyusahkan isteri ( QS. al-An’am ayat 6).6[10]
Memberlakukan Qaidah asasiyyah ini harus memperhatikan qaidah bagiannya, yaitu: 
a. dapat Kemudharatan menghalalkan sesuatu yang diharamkan menurut syariat). Misalnya, orang yang dilanda kelaparan diperkenankan makan binatang yang diharamkan karena ketidak adaan makanan yang halal.
 b.kemudharatani itu tidak dapat dihilangkan dengan menimbulkan kemudharatan yang lain). Oleh karena itu, orang yang dalam keadaan terpaksa menghajatkan sekali kepada makanan, maka tidak boleh makan makanan milik orang lain yang ia juga sangat menghajatkannya.
c. Kerusakan (mafsadat) lebih didahulukan daripada menarik kemaslahatan). Oleh karena itu, apabila berjual beli hukumnya sunnat, tetapi jika jual beli itu mengandung aspek riba, maka jual beli itu menjadi dilarang.
Penerapan Qaidah dalam bidang muamalah :
a.      Mengembalikan barang yang telah dibeli lantaran adanya cacat dalam masa khiyar diperbolehkan. Begitu pula larangan terhadap mahjur (orang yang dilarang membelanjakan harta kekayaannya), muflis (yang jatuh pailit, yang safih (orang dungu) untuk bertransaksi. Dasar pertimbangan diberlakukan ketentuan tersebut untuk menghindarkan sejauh mungkin bahaya yang merugikan pihak-pihak yang terlibat di dalam transaksi tersebut.
b.     Jika seseorang meminjam uang dengan kadar tertentu, kemudian uang tersebut tidak berlaku lagi karena penggantian uang, atau yang lainnya, maka menurut Abu Yusuf (w.182 H) orang tersebut wajib mengembalikannya sesuai dengan harga uang tersebut, yaitu pada hari akhir berlakunya uang pinjaman tersebut
2.2.5       Adat kebiasan ditetapkan sebagai hukum
Dasar Qaidah Dari al-Qur’an :
a.      Al-Qur’an pada surah al-Baqarah ayat 228:
Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma`ruf. Akan tetapi para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
b.     Al-Qur’an pada surah al-Baqarah ayat 233:
Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.
Dasar Qaidah dari Hadis Rasulullah SAW.: [11]
a.        Hadis riwayat dari banyak perawi Hadis antara lain imam Bukhari ra.:
Ambillah secukupnya untuk kamu dan anakmu dengan cara yang ma’ruf (kebiasaan yang baik).
Apa yang dipandang baik oleh kaum muslimin, maka baik pula disisi Allah. Apa yang dipandang tidak baik oleh kaum muslimin, maka tidak baik pula disisi Allah
Qaidah fiqhiyyah asasiyyah kelima tentang adat atau kebiasaan, dalam bahasa Arab terdapat dua istilah yang berkenaan dengan kebiasaan yaitu al-‘adat dan al- ‘urf. ‘Adat dan ‘urf keduanya berasal dari kata bahasa arab dan sering dibicarakan dalam literatur fiqh. ‘Urf secara etimologi berarti yang baik, dan juga berarti pengulangan atau berulang-ulang. Adapun dalam tataran terminologi, sebagian ulama ushul Fiqh memberi definisi yang sama terhadap ‘adat dan 'urf. Dalam penilaian al-Raghib kata ‘urf yang seakar dengan kata ma’ruf merupakan nama bagi suatu perbuatan yang dinilai baik oleh akal dan agama. Makna ini dapat ditemukan dalam diantaranya dalam Qur’an surah al-Imran ayat 104. Kata ‘urf dan ma’ruf dalam Qur’an dipandang sebagai bagian dari sikap ihsan. Isyarat ini dapat ditemukan dalam Qur’an surah al-‘Araf ayat 199.
Dikalangan ulama ushul fiqh, mereka membicarakannya tentang macam-Macam adat. Adat mendapat tempat sebagai dasar penetapan hukum dengan syarat-syarat tertentu, yaitu tidak bertentangan dengan hukum-hukum syariat yang berlandaskan dalil atau sumber hukum yang sah, baik Al-Qur’an maupun Sunnah dan dalil lainnya, juga berlaku dan meluas dalam masyarakat umumnya. Karena itu adat dibagi dua bagian, yaitu:
a. Adat yang shahih, yaitu adat yang tidak bertentangan dengan hukum syariat. Adat yang seperti ini harus dipelihara, terutama dalam menetapkan terhadap suatu hokum, atau ketika mempertimbangkan suatu keputusan dalam pengadilan. Karena adat yang sudah berlaku di tengah-tengah masyarakat, merupakan tuntutan yang sesuai dengan kemaslahatan mereka. Misalnya mengadakan pertunangan sebelum melangsungkan perkawinan.
b.     Adat fasid, yaitu adat yang berlaku dalam suatu sosial masyarakat yang senantiasa bertentangan dengan ajaran syariat, Misalnya kebiasaan mengadakan sesajin untuk sebuah patung atau suatu tempat yang dipandang mulia, karena bertentangan dengan akidah tauhid.[12]
`Adat apabila dipandang dari segi ruang lingkupnya, maka dibagi kepada dua, yaitu:
a.           Adat 'aam, yaitu adat yang berlaku pada semua tempat, masa dan keadaan. Misalnya memberi hadiah kepada orang yang telah memberikan jasanya kepada seseorang. Begitu pula mengucapkan terima kasih kepada orang yang telah membantu.
b.           Adat khas, yaitu adat yang hanya berlaku pada tempat, masa dan atau keadaan tertentu saja. Misalnya mengadakan “halal bi halal” yang biasa dilakukan oleh orang (masyarakat) Indonesia bagi yang beragama Islam pada setiap selesai puasa Ramadhan dan berlebaran. Sedangkan di negara lain tidak merupakan kebiasaan.
Penerapan Qaidah dalam masalah muamalah:
Cacat pada barang yang dibeli, adalah disesuaikan dengan adat kebiasaan yang berlaku di kalangan masyarakat. Maka apa yang dipandang masyarakat sebagai cacat, itu adalah cacat yang karenannya barang itu dikembalikan, tetapi jika itu tidak dipandang oleh masyarakat sebagai cacat, maka barang yang dibeli tidak dapat dikembalikan[13]
2.3  Kadiah-Kaidah Dalam Bidang Muamalah Dan Contoh
Pengertian muamalah secara etimologi, kata artinya bertindak, saling berbuat, saling mengamalkan, pengertian muamalah secara luas adalah segala peraturan yang diciptakan Allah untuk mengatur hubungan manusia dengan sesamanya dalam hidup dan kehidupan di dunia (pergaulan sosisial) mencapai suksesnya kehidupan dunia dan akhirat.
2.3.1       Pada Dasarnya Semua Muamalah Boleh Dilakukan, Terkecuali Ada Dalil Yang Mengharamkannya
Sumber Qaidah :
 a. Dalil al-Qur’an :
Al-Qur’an surah al-Maidah ayat 87:
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.
Hadis Rasulullah Saw.
1.      Hadis riwayat al-Baihaqi dari Ubaid bin Amir r.a:
Rasulullah Saw.berkata: Bahwasanya aku tidak menghalalkan apa yang dihalalkan Allah dalam kitab-Nya. Dan tidak mengharamkan kecuali apa yang diharamkan Allah dalam kitab-Nya.
Bentuk muamalah secara sempit adalah aktivitasaktivitas ekonomi, seperti jual beli, utang piutang, ijarah, dan transaksi-transaksi lainnya.[14]
Penyebab dilarangnya suatu transaksi adalah disebabkan karena faktor-faktor:
(1) haram zatnya (haram li-dzatuhi);
2) haram selain zatnya (haram li ghairihi); dan
(3) tidak sah atau tidak lengkap akadnya.
Para fukaha menerangkan secara umum faktor penyebab muamalat yang diharamkan yaitu:
1.     kezhaliman. Apabila praktik muamalat di dalamnya mengandung kezhaliman terhadap salah satu pihak atau pihak manapun, maka muamalah itu menjadi diharamkan. Berdasarkan firman Allah pada surah anNisa ayat 29:
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu...
Diantara jenis transaksi yang diharamkan karena mengandung kezhaliman, yaitu :
a.     Ghisysy atau tadlis, yaitu transaksi dengan cara merahasiakan cacat barang atau dengan cara menampilkan barang yang dipandang baik dan menyelipkan diselanya barang yang rusak.
b.     Najsy (Rekayasa pasar dalam demand) yaitu merupakan penipuan terhadap pembeli. Hal ini terjadi apabila seorang produsen atau pembeli menciptakan permintaan palsu, seolah-olah ada banyak permintaan terhadap suatu produk, sehingga harga jual produk itu akan naik.[15]
2.     Gharar (Penipuan).Gharar dalam muamalah adalah suatu akad yang mengandung unsur penipuan karena tidak ada kepastian, baik ada atau tidaknya objek akad. Gharar dapat terjadi dalam empat hal yakni: kuantitas, kualitas, harga dan waktu penyerahan.
3.     Riba,  Menurut bahasa riba berarti bertambah Sesuatu menjadi riba apabila ia bertambah. Keharaman riba berdasarkan al-Quran, Hadis dan Ijma. Dalam al-Quran misalnya pada surah al-Baqarah ayat 275 dijelaskan, yaitu:
...Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba...
4.     Risywah (Suap), Risywah berasal dari bahasa Arab yang berarti sogokan, bujukan, suap, atau kadang disebut uang pelicin. Risywah yaitu pemberian sesuatu dengan tujuan membatalkan sesuatu yang benar atau membenarkan sesuatu yang bathil.
Keharaman risywah ditegaskan oleh hadis Rasulullah Saw. dari Abdullah bin Amr ra. diriwayatkan oleh Abu Dawud :
Rasulullah Saw. melaknak orang yang memberi suap dan orang yang menerima suap.
Contoh Qaidah Muamalah :
Para ulama melarang jual beli dengan cara pembeli mencegat para penjual barang untuk melakukan jual beli sebelum mereka tiba di pasar. Pengharaman menjual buah-buahan sebelum matang, Pengharaman menjual bahan makanan yang dibeli sebelum menerimanya,pengharaman menjual kotoran. Dan lain-lain.
2.3.2       Pada Dasarnya Semua Yang Bermanfaat Halal Dan Yang Membahayakan haram Dengan Petunjuk Syariat.
Sumber Qaidah:
a.      Al-Qur’an surah al-Baqarah ayat 219:
Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: Pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya. Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: Yang lebih dari keperluan. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berfikir,
b.     Al-Qur’an surah al-Nisa ayat 111:
Barangsiapa yang mengerjakan dosa, maka sesungguhnya ia mengerjakannya untuk (kemudharatan) dirinya sendiri. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
Dalil hadis Rasulullah Saw. riwayat dari Ahmad bin Hanbal dari Ibnu Abbas r.a.:
Tidak boleh membahayakan dan tidak boleh (pula) saling membahayakan (merugikan)
Qaidah muamalah yang kedua ini adalah masuk apa saja perbuatan muamalah yang di dalamnya mengandung manfaat dan tidak mengandung mudharat dibolehkan, tetapi jika perbuatan muamalah itu mengandung mudharat, maka diharamkan. Dalam syariat Islam, maka tujuan diadakannya hukum, termasuk bagian muamalah adalah untuk mendapat kemaslahatan, dan menjauhi kemudharatan. Setiap kemaslahatan mengandung manfaat, dan setiap kemudharatan mengandung bahaya.
Dalam muamalah, seperti jual beli, utang piutang dan lainnya, sebagaimana diterangkan pada qaidah fiqhiyyah muamalah yang pertama, bahwa semua mua  malah itu boleh karena bermuamalah itu bermanfaat. Kebolehan muamalah itu selama tidak ada dalil yang menyatakan keharaman, karena keharaman itu mengandung mafsadat dan bahaya. Oleh karena dalam bermuamalah dilarang adanya unsur kezhaliman, unsur gharar, unsur maysir dan riba. Karena semua itu adalah membawa mudharat kepada orang yang bertransaksi.
Contoh Qaidah Muamalah:
a.      Semua bentuk jual beli dibolehkan oleh para ulama, karena jual beli itu mengandung manfaat, tetapi para ulama mengharamkan jual beli yang ada unsur riba, karena riba mengandung unsur kemudharatan (bahaya), kemudharatan itu ditunjuk oleh syariat. Misalnya seseorang melakukan utang piutang kemudian pembayarannya berlebih dari jumlah utang dengan permintaan sipemberi utang.

2.3.4       Pada Dasarnya Pada Akad Adalah Keridhaan kedua Belah Pihak Yang Mengadakan akad Hasilnya Apa Yang Saling di iltizamkan Oleh Perakadan Itu
Dasar Qaidah :
a. Dalil Al-Qur’an
 Al-Qur’an pada surah al-Maidah ayat 1:
Hai orang-orang yang beriman, penuhi- lah akad-akad itu.
Al-Qur’an pada surah Al-Nisa ayat 29:
Hai orang-orang yang beriman,jangan- lah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka samasuka di antara kamu
Hadis Rasulullah Saw. yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari Abi Said al-Khudry ra.:
Dari Abi Said al-Khudr bahwa Rasulullah Saw. bersabda:
Sesungguhnya jual beli itu harus dilakukan dengan suka sama suka.  [16]
Qaidah fiqhiyyah muamalah ini berkaitan dengan akad dalam muamalah. Akad menurut etimologi memiliki beberapa arti, yaitu al-Rabth berarti mengikat. Tetapi bisa pula berarti al-Aqd berarti sambungan, dan bisa pula berarti al-‘Ahd berarti janji. Istilah ‘ahdu dalam al-Qur’an mengacu kepada pernyataan seseorang untuk mengerjakan sesuatu atau untuk tidak mengerjakan sesuatu dan tidak ada sangkut pautnya dengan orang lain. Sedangkan ‘aqdu, mengacu terjadinya dua perjanjian atau lebih, yaitu apabila seseorang mengadakan janji kemudian ada orang lain yang menyetujui janji tersebut serta menyatakan pula suatu janji yang berhubungan dengan janji yang pertama, maka terjadilah perikatan dua buah janji dari dua orang yang mempunyai hubungan antara yang satu dengan yang lain disebut akad.
Di simpulkan bahwa akad terjadi diantara dua pihak dengan keredhaan, dan menimbulkan kewajiban atas masing-masing secara timbal balik. Maka dari itu sudah jelas pihak yang menjalin ikatan perlu memperhatikan terpenuhinya hak dan kewajiban masingmasing pihak tanpa ada pihak yang terlangar haknya.[17]
Adapun faktor-faktor yang merusak keredhaan seseorang adalah sebagai berikut :
a. Paksaan/Intimidasi,Yakni memaksa pihak lain secara melanggar hukum untuk melakukan atau tidak melakukan suatu ucapan atau perbuatan yang tidak disukainya dengan ancaman sehingga menyebabkan terhalangnya hak seseorang untuk bebas berbuat dan hilangnya keredhaan.
b.     Penyamaran Harga Barang (Ghubn), Ghubn secara bahasa artinya pengurangan
Contoh Qaidah Fiqhiyyah Muamalah :
Ketika terjadi suatu akad, di mana salah satu pihak tidak menghendaki (berakad dalam keadaan terpaksa), maka akad itu dipandang tidak sah atau batal. Seperti dalam akad hibah, bila mana pihak yang memberikan mau mengadakan akad tersebut karena adanya paksaan maka akad itu tidak sah. Meskipun mulanya, terjadinya suatu akad itu merupakan kehendak kedua belah pihak, namun apabila dikemudian hari pada akad itu tidak disetujui oleh salah satu pihak, maka akad dipandang batal, seperti akad jual beli yang mengandung tipuan. Pada hakikatnya jual beli itu dikehendaki oleh masing-masing pihak, tetapi pada iltizamnya tidak disetujui oleh salah satu pihak, karena merasa dirugikan dengan adanya tipuan yang ada pada iltizam tersebut, dengan demikian akad jual beli menjadi batal.[18]
2.4 Pengertian Ijtihad
            Ijtihad (Arabاجتهاد) adalah sebuah usaha yang sungguh-sungguh, yang sebenarnya bisa dilaksanakan oleh siapa saja yang sudah berusaha mencari ilmu untuk memutuskan suatu perkara yang tidak dibahas dalam Al Quran maupun hadis dengan syarat menggunakan akal sehat dan pertimbangan matang.Namun pada perkembangan selanjutnya, diputuskan bahwa ijtihad sebaiknya hanya dilakukan para ahli agama Islam.
            Tujuan ijtihad adalah untuk memenuhi keperluan umat manusia akan pegangan hidup dalam beribadah kepada Allah di suatu tempat tertentu atau pada suatu waktu tertentu Meski Al Quran sudah diturunkan secara sempurna dan lengkap, tidak berarti semua hal dalam kehidupan manusia diatur secara detil oleh Al Quran maupun Al Hadist. Selain itu ada perbedaan keadaan pada saat turunnya Al Quran dengan kehidupan modern. Sehingga setiap saat masalah baru akan terus berkembang dan diperlukan aturan-aturan baru dalam melaksanakan Ajaran Islam dalam kehidupan beragama sehari-hari.[19]
            Jika terjadi persoalan baru bagi kalangan umat Islam di suatu tempat tertentu atau di suatu masa waktu tertentu maka persoalan tersebut dikaji apakah perkara yang dipersoalkan itu sudah ada dan jelas ketentuannya dalam Al Quran atau Al Hadist. Sekiranya sudah ada maka persoalan tersebut harus mengikuti ketentuan yang ada sebagaimana disebutkan dalam Al Quran atau Al Hadits itu. Namun jika persoalan tersebut merupakan perkara yang tidak jelas atau tidak ada ketentuannya dalam Al Quran dan Al Hadist, pada saat itulah maka umat Islam memerlukan ketetapan Ijtihad. Tapi yang berhak membuat Ijtihad adalah mereka yang mengerti dan paham Al Quran dan Al Hadist.
2.5 Lapangan Ijtihad (Majal Al-ijtihad)
            Wilayah ijtihad atau majal al ijtihad adalah masalah yang diperbolehkan penetapan hukumnya dengan cara ijtihad itu.Adapun hukum yang diketahui dari agama secara dharudoh dan bid’ah (pasti benar berdasarkan pertimbangan akal). Dalil qoth’i al subut wal dalalah tidaklah termasuk lapangan ijtihad, persoalan-persoalan yang tergolong ma’ulima min ad din bi ‘al dhoruroh diantaranya kewajiban shalat lima waktu, puasa pada bulan Ramadhan.
            Secara lebih jelas, Wahbah az zuhaili (1978:497) menjelaskan bahwa lapangan ijtihat itu ada dua. Pertama, sesuatu yang tidak dijelaskan samasekali oleh Allah dan Nabi dalam Al-Qur’an dan Sunnah (ma la nasha fi ashlain). Kedua, sesuatu yang ditetapkan berdasarkan dalil zhanni Ats-Tsubut wa Al-Adalah atau salah satunya (Zhanni Ats Tsubut atau Zhanni Al Adalah).[20]
2.6 Syarat-syarat Ijtihad
            Para ulama ushul berbeda pendapat dalam menetapkan syarat-syarat ijtihad atau syarat-syarat yang harus dimiliki oleh seorang mujtahid. Secara umum, pendapat mereka tentang persyaratan seorang mujtahid dapat disimpulkan sebagai berikut :[21]
1.     Menguasai dan mengetahui arti ayat-ayat hukum yang terdapat dalam Al-Qur’an, baik menurut bahasa maupuan syari’ah.
2.     Menguasai dan mengetahui hadis-hadis tentang hukum, baik menurut bahsa maupun menurut syari’ah.
3.     Mengetahui naskh dan mansukh dalam Al-Qur’an dan As-Sunah.
4.     Mengetahui permasalahan yang sudah ditetapkan melalui ijma’ulama, sehingga ijtihadnya tidak bertentangan dengan ijma’ ulama.
5.     Mengetahui qiyas dan persyaratannya serta meng-istinbatnya.
6.     Mengetahui bahasa Arab dan berbagai disiplin ilmu yang berkaitan dengan bahasa,serta berbagai problematikannya.
7.     mengetahui ilmu Ushul Fiqh yang merupakan pondasi ijtihad.
8.     Mengetahui maqashidu As-Syari’ah (tujuan syari’at) secara umum, karena bagaimanapun juga syari’at itu berkaitan dengan Maqashidu Asy-Syari’at rahasia disyariatkannya suatu hukum.
2.7  . Tingkatan mujtahid
            Menurut sarjana ushul fiqh, hanya orang-orang yang memenuhi syarat-syarat tersebut yang berhak menyandang predikat mujtahid. Namun, mereka membedakan derajat mujtahid ke dalam beberapa martabat dari tingkatan tertinggi sampai tingkatan terendah. Beberapa tingkatan mujtahid itu adalah:
1.     Mujtahid Mustaqil, yaitu mujtahid yang mampu menggali hukum-hukum syari’at langsung dari sumbernya yang terpokok ( Alquran dan Sunnah) dan dalam mengistimbatkan hukum mujtahid mempunyai dasar-dasar istimbat sendiri, tidak mengikuti istimbat orang lain. Mustahid mustaqil ini lazim disebut dengan istilah mujtahid mutlak.
2.     Mujtahid Muntasib, yaitu mujtahid yang dalam mengistimbatkan hukum mengikuti (memilih) ushul istimbat imam madzab tertentu, walaupun dalam masalah-masalah furu’ dia berbeda pendapat dengan imamnya.
3.     Mujtahid Madzab, yaitu mujtahid yang mengikuti imam madzabnya baik dalam masalah ushul maupun furu’. Kalaupun dia melakukan ijtihad, ijtihadnya terbatas dalam masalah yang ketentuan hukumnya tidak dia peroleh dari imam madzab yang di anutnya.
4.     Mujtahid Murajjih, yaitu mujtahid yang tidak mengistimbatkan hukum-hukum furu’ (apalagi hukum asal), akan tetapi dia hanya membandingkan beberapa pendapat mujtahid yang ada untuk kemudian memilih salah satu pendapat yang di pandang paling kuat.
5.     Mujtahid Mustadil, yaitu ulama yang tidak melakukan tarjih terhadap pendapat-pendapat yang ada, akan tetapi dia mengemukakan dalil-dalil berbagai pendapat tersebut dan menerangkan mana yang patut dipegang ( di ikuti) tanpa melakukan tarjih terlebih dahulu.[22]


BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Qawa’id fiqhiyyah merupakan landasan umum dalam pemikiran dan perilaku sosial memberikan panduan bagi masyarakat untuk melakukan interaksi dengan sesamanya. Panduan yang diberikan menyangkut beberapa aspek kehidupan seperti hukum, ekonomi, sosial, politik dan kenegaraan, budaya, dan sebagainyasampai pada masalah pernikahan.
Dalam hal ini, pemahaman terhadap qawa’id fiqhiyyah adalah mutlak diperlukanuntuk melakukan suatu “ijtihad” atau pemba-haruan pemikiran. Para ulama dan fuqaha terdahulu, sejak akhir abad ke-2 Hijriyyah telahmerintis batu peletakan qawa’id melalui karya-karya agung mereka, yang sampai kini masihterlihat manfaatnya untuk diimplementasikan dalam kehidupan modern, termasuk ekonomi. Para ulama/fuqaha dari keempat madzhab fiqhtersebut menyusun qawa’id dalam jumlah yang begitu banyak, sebagiannya sama atau serupa, sehingga susah untuk diketahui jumlahnya secara pasti.



1.Muqorobin Masyhudi  Jurnal Ekonomi dan Studi Pembangunan Volume 8, Nomor 2, Oktober 2007: 198-214
[2] Dahlan,Abd.Rahman, ushul Fiqih, (Jakarta :AMZAH,2010) h.10
[3] Dahlan,Abd.Rahman, ushul Fiqih, (Jakarta :AMZAH,2010) h.10

[4] Dahlan,Abd.Rahman, ushul Fiqih, (Jakarta :AMZAH,2010) h.10

[5] Azhari, Fathurrahman, qawaidul fiqhiyah Muamalah ( Banjarmasin: (LPKU):2015)  h. 44-115
[6] Azhari, Fathurrahman, qawaidul fiqhiyah Muamalah ( Banjarmasin: (LPKU):2015)  h. 44-115

[7] Azhari, Fathurrahman, qawaidul fiqhiyah Muamalah ( Banjarmasin: (LPKU):2015)  h. 44-115

[8] Azhari, Fathurrahman, qawaidul fiqhiyah Muamalah ( Banjarmasin: (LPKU):2015)  h. 44-115

[9] Azhari, Fathurrahman, qawaidul fiqhiyah Muamalah ( Banjarmasin: (LPKU):2015)  h. 44-115

[10] Azhari, Fathurrahman, qawaidul fiqhiyah Muamalah ( Banjarmasin: (LPKU):2015)  h. 44-115

[11] Azhari, Fathurrahman, qawaidul fiqhiyah Muamalah ( Banjarmasin: (LPKU):2015)  h. 44-115

[12] Azhari, Fathurrahman, qawaidul fiqhiyah Muamalah ( Banjarmasin: (LPKU):2015)  h. 44-115

[13] Azhari, Fathurrahman, qawaidul fiqhiyah Muamalah ( Banjarmasin: (LPKU):2015)  h. 44-115

[14] Azhari, Fathurrahman, qawaidul fiqhiyah Muamalah ( Banjarmasin: (LPKU):2015)  h. 44-115

[15] Azhari, Fathurrahman, qawaidul fiqhiyah Muamalah ( Banjarmasin: (LPKU):2015)  h. 44-115

[16] Azhari, Fathurrahman, qawaidul fiqhiyah Muamalah ( Banjarmasin: (LPKU):2015)  h. 44-115

[17] Azhari, Fathurrahman, qawaidul fiqhiyah Muamalah ( Banjarmasin: (LPKU):2015)  h. 44-115

[18] Azhari, Fathurrahman, qawaidul fiqhiyah Muamalah ( Banjarmasin: (LPKU):2015)  h. 44-115

[19] Abu Hamid Muhammad al-Ghazali, Al-Mustafa min Ilmi al-Ushul (Beirut:Dar al-Fikr), hlm.342
[20] Fathurrahman Djamil, Metode Ijtihad Majlis Tarjih Muhammadiyah, Cetakan Kesatu Jakarta: Logos Publishing, 1995,) hlm 15-16
[21] Disarikan dari Santria Effendi M.Zein, Ushul Fiqh,(Jakarta : Kencana, Cet.Ke-2008) hlm.254
[22] Yusuf al-Qardhawi, al-ijtihad di al-syariah al-islamiyah, (terj.Asyatori), ( jakarta: bulan Bintang , 1987,hlm 140

No comments:

Post a Comment