PRODUK PENYALURAN DANA DENGAN AKAD SEWA (IJARAH) DAN AL-IJARAH
AL-MUNTAHIYAH BI AT-TAMLIK
A.
IJARAH
1.
Pengertian
Secara bahasa,
Ijarah berasal dari kata al-Ajru yang memiliki arti al-‘Iwadhu (bermakna
kompensasi/ganti). Secara terminology Ijarah adalah akad pemindahan hak
guna (manfaat) atas suatu barang atau jasa, dalam waktu tertentu dengan
pembayaran upah sewa (ujrah), tanpa diikuti dengan pemindahan
kepemilikan (ownership) atas barang itu sendiri.[1]
Menurut Fatwa Dewan Syarah Nasional NO. 09/DSN/MUI/IV/2000, Ijarah
merupakan akad pemindahan hak guna (manfaat) atas suatu barang atau jasa dalam
waktu tertentu melalui pembayaran sewa/upah, tanpa diikuti dengan pemindahan
kepemilikan barang itu sendiri, dengan demikian dalam akad ijarah tidak ada
perubahan kepemilikan, tetapi hanya pemindahan hak guna saja dari yang
menyewakan kepada penyewa.
Namun demikian, pada zaman modern ini muncul inovasi baru dalam
ijarah, dimana peminjam dimungkinkan untuk memiliki objek ijarah-nya diakhir
periode peminjaman. Ijarah yang membuka kemungkinan perpindahan kepemilikan
atas objek ijarah-nya, ini disebut sebagai ijarah Muntahiyyah Bittamlik (IMBT).[2]
Ijarah (sewa) identik dengan jual beli (ba’i),
jika jual beli obyek transaksinya barang sedangkan ijarah obyek transaksinya
adalah jasa yang diberikan oleh obyek sewa, yang dapat memberikan manfaat tanpa
disertai kepemilikan. Adapun jual beli barang disertai dengan kepemilikan baik
secara tunai maupun diangsur. Pemahaman ini sama hal bentuk pembiayaan LKS
kepada nasabah dengan bentuk operating lease, yang tidak mensyaratkan
kepemilikan barang pada akhir periode transaksi.
2.
Landasan Syariah
a.
Al- Qur’an
QS. Al-
Baqarah: 233
Artinya: “Dan,
jika kamu ingin anakmu disusuhkan oleh orang lain, tidak dosa bagimu apabila
kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamu kepada Allah
dan ketahuilah bahwa Allah maha melihat apa yang kamu kerjakan”
(QS. Al- Baqarah : 233)
Ayat diatas menjelaskan bahwa “Para ibu hendaklah meyusukan
anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan.
Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara
ma’ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya.
Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah
karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin
menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka
tidak ada dosa atas keduanya, dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang
lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut
yang patut. Bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah maha
melihat apa yang kamu kerjakan”.[3]
QS. Al- Qashash: 26
Artinya: “Salah
seorang dari kedua wanita itu berkata: Ya ayahku, ambillah ia sebagai orang
yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu
ambil untuk bekerja (pada kita) adalah orang yang kuat lagi dapat dipercaya.” (QS.
Al-Qashash: 26)
Ayat di atas
menjelaskan tentang kebolehan memperkerjakan seseorang yang kuat dan dapat
dipercaya dengan imbalan tertentu. Dan itu adalah inti dari akad Ijarah.
Dalam ayat tersebut juga disebutkan bahwa ketika kita memilih orang untuk
bekerja dengan kita, maka ada dua sifat yang perlu menjadi pertimbangan, dua
sifat tersebut adalah kuat dan dapat dipercaya. Hal ini karena, ketika kita
mempekerjakan seseorang, maka kekuatan fisik dan juga kekuatan non fisik
menjadi pertimbangan. Selain itu sifat dapat dipercaya juga harus dimiliki oleh
seorang pekerja karena belum tentu orang yang mempekerjakan itu selalu
mendampingi dan mengawasi setiap saat sehingga sifat amanah menjadi penting
bagi seorang pekerja dalam menjalankan pekerjaan yang diembannya.
b.
Al- Hadist
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah bersabda:
“Berbekamlah kamu, kemudian berikanlah olehmu upahnya kepada tukang bekam itu”
(HR. Bukhari dan Muslim).
Dari
Ibnu Umar bahwa Rasulullah bersabda, “Berikanlah upah pekerja sebelum
keriangatnya kering” (HR Ibnu Majah)
Hadist Riwayat Abu Daud dari Sa’d Ibn Abi
Waqqash, beliau berkata:“Dahulu kami menyewa tanah dengan (jalan
membayar dari) tanaman yang tumbuh. Lalu Rasulullah melarang kami cara itu dan
memerintahkan kami agar membayarnya dengan uang emas atau perak.”
3.
Syarat dan Rukun
Syarat Ijarah yang harus ada agar terpenuhi ketentuan-ketentuan
hukum Islam, sebagai berikut:
a.
Jasa atau manfaat yang akan diberikan oleh aset yang disewakan
tersebut harus tertentu dan diketahui dengan jelas oleh kedua belah pihak.
b.
Kepemilikan aset tetap pada yang menyewakan yang bertanggung jawab
pemeliharaannya, sehingga aset tersebut harus dapat memberi manfaat kepada
penyewa.
c.
Akad ijarah dihentikan pada saat aset yang bersangkutan berhenti.
d.
Memberikan manfaat kepada penyewa. Jika aset tersebut rusak dalam
kontrak, akad ijarah masih tetap berlaku.
Rukun
dari akad Ijarah yang harus dipenuhi dalam transaksi adalah:
a.
Pelaku akad, yaitu mustajir (penyewa) adalah pihak yang
menyewa aset dan mu’jir/muajir (pemilik) adalah pihak pemilik yang
menyewakan aset.
b.
Objek akad, yaitu ma’jur (aset yang disewakan) dan ujrah
(harga sewa).
c.
Sighat yaitu ijab dan kabul.
4.
Aplikasi dalam Lembaga Keuangan Syariah
Akad-akad yang dipergunakan oleh lembaga keuangan syariah, terutama
perbankan syari‟ah di Indonesia dalam operasinya merupakan akad-akad yang tidak
menimbulkan kontroversi yang disepakati oleh sebagian besar ulama dan sudah
sesuai dengan ketentuan syari‟ah untuk diterapkan dalam produk dan instrumen
keuangan syari‟ah. Akad-akad tersebut meliputi akad-akad untuk pendanaan,
pembiayaan, jasa produk, jasa operasional, dan jasa investasi.15 Terkait dengan
itu, disini penyusun hanya menjelaskan praktek pembiayaan ijarah dan ijarah
muntahiya bit tamlik dalam lembaga keuangan syari‟ah. Menurut surat edaran
No. 10/14/DPBS yang dikeluarkan Bank Indonesia tertanggal 17 Maret 2008, dalam
memberikan pembiayaan ijarah Bank Syari‟ah atau Unit Usaha Syariah (UUS) harus memenuhi
langkah berikut ini :
a.
Bank bertindak sebagai pemilik dan/atau pihak yang mempunyai hak
penguasaan atas objek sewa baik berupa barang atau jasa, yang menyewakan objek
sewa dimaksud kepada nasabah sesuai kesepakatan,
b.
Barang dalam transaksi ijarah adalah barang bergerak atau tidak
bergerak yang dapat diambil manfaat sewanya,
c.
Bank wajib menjelaskan kepada nasabah mengenai karakteristik produk
pembiayaan atas dasar ijarah, serta hak dan kewajiban nasabah sebagaimana
diatur dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai transparansi informasi produk
Bank dan penggunaan data pribadi nasabah,
d.
Bank wajib melakukan analisis atas rencana pembiayaan atas dasar
ijarah kepada nasabah yang antara lain meliputi aspek personal berupa analisa
atas karakter dan/atau aspek usaha antara lain meliputi analisa kapasitas
usaha, keuangan dan/atau prospek usaha,
e.
Objek sewa harus dapat dinilai dan diidentifikasi secara spesifik
dan dinyatakan dengan jelas termasuk besarnya nilai sewa dan jangka waktunya,
f.
Bank sebagai pihak yang menyediakan objek sewa, wajib menjamin
pemenuhan kualitas maupun kuantitas objek sewa serta ketepatan waktu penyediaan
objek sewa sesuai kesepakatan,
g.
Bank wajib menyediakan dan untuk merealisasikan penyediaan objek
sewa yang dipesan nasabah,
h.
Bank dan nasabah wajib menuangkan kesepakatan dalam bentuk
perjanjian tertulis berupa akad pembiayaan atas dasar ijarah,
i.
Pembayaran sewa dapat dilakukan baik dengan angsuran maupun
sekaligus,
j.
Pembayaran sewa tidak dapat dilakukan dalam bentuk piutang maupun
dalam bentuk pembebasan utang,
k.
Bank dapat meminta nasabah untuk menjaga keutuhan objek sewa, dan
menanggung biaya pemeliharaan objek sewa sesuai dengan kesepakatan dimana
uraian pemeliharaan yang bersifat material dan structural harus dituangkan
dalam akad, dan Bank tidak dapat meminta nasabah untuk bertanggungjawab atas
kerusakan objek sewa yang terjadi bukan karena pelanggaran akad atau kelalaian
nasabah.[4]
5.
Skema
Berdasarkan
skema yang tampak pada gambar di atas, jenis Ijarah dapat dibagi
berdasarkan sudut pandang yang digunakan. Berdasarkan jenis objek Ijarah,
maka Ijarah dapat dibagi menjadi dua, yaitu; Pertama, Ijarah
Fee, yaitu; akad ijarah yang menjadikan jasa sebagai objek manfaat yang
disewakan. Pendapatan yang diperoleh berupa fee atas jasa yang telah
diberikan oleh pemilik objek kepada penyewa. Sebagai contoh adalah; Penyewaan Safe
Deposit Box (SDB) dan jasa pemeliharaan emas. Kedua; Ijarah Aset,
yaitu; akad Ijarah yang menjadikan asset sebagai objek manfaat yang
disewakan. Asset yang dapat disewakan adalah asset berwujud dan asset yang tidak
berwujud. Ijarah asset berwujud menggunakan asset berwujud sebagai objek
sewa menyewa. Termasuk kategori ini adalah:
a.
Jual-Ijarah, yaitu kombinasi antara akad penjualan yang dilanjutkan
dengan sewa menyewa. Contoh: Tuan A menjual mobil ke Tuan B, dan oleh Tuan B
mobil tersebut disewakan kepada Tuan C.
b.
Ijarah biasa, yaitu: akad sewa menyewa tanpa perpindahan
kepemilikan (operating lease). Sebagai contoh Tuan A menyewakan rumahnya
kepada Tuan B selama setahun dengan fasilitas tertentu dan harga sewa tertentu.
c.
IMBT, yaitu akad sewa menyewa yang disertai dengan akad janji
sepihak (wa’ad) untuk kemungkinan dilakukan perpindahan kepemilikan. Dan
akad ini yang akan dikembangkan dalam pemberdayaan tanah wakaf menjadi akad al-Ijarah
al-Mutanaqishah.
Sedangkan Ijarah
asset tidak berwujud adalah akad sewa-menyewa dengan mengunakan asset tidak
berwujud sebagai objek sewa menyewa. Termasuk dalam kategori ini adalah;
a.
Ijarah berlanjut,
yaitu; bentuk akad sewa menyewa dimana suatu entitas menyewakan lebih lanjut
kepada pihak lain atas asset yang sebelumnya disewakan pemiliknya. Sebagai
contoh; Tuan B menyewa rumah dari Tuan A, lalu Tuan B menyewakan rumah tersebut
kepada Tuan C. Dalam literatur fikih, menyewakan kembali barang yang disewa
harus atas izin pemilik objek sewa (dalam contoh ini Tuan A).
b.
Multijasa, yaitu: bentuk pengembangan dalam implementasi Ijarah berlanjut,
umumnya digunakan dalam transaksi pendidikan, ibadah haji dan pernikahan.
Sebagai contoh; Talangan haji adalah Ijarah multijasa dari Ijarah asset tidak
berwujud, yang disewakan adalah porsi haji yang dibayar lembaga keuangan dan
kemudian disewakan kepada Nasabah calon haji (talangan haji sudah tidak
diberlakukandi lembaga keuangan syariah).[5]
B.
Ijarah Muntahiya Bittamlik
1.
Pengertian
Di atas telah disebutkan bahwa produk pembiayaan perbankan syariah
berdasarkan akad sewa-menyewa terdiri dari sewa murni dan sewa yang diakhiri
dengan pemindahan hak kepemilikan atau dikenal dengan ijarah muntahiya bit
tamlik.17 Ijarah muntahia bit tamlik (IMBT) pada dasarnya merupakan
perpaduan antara sewa menyewa dengan jual beli. Semakin jelas dan kuat komitmen
untuk membeli barang di awal akad, maka hakikat IMBT pada dasarnya lebih
bernuansa jual beli. Namun, apabila komitmen untuk membeli barang di awal akad
tidak begitu kuat dan jelas (walaupun opsi membeli tetap terbuka), maka hakikat
IMBT akan lebih bernuansa ijarah.
Dari sisi ijarah, perbedaan IMBT terletak dari adanya opsi untuk
membeli barang dimaksud pada akhir periode. Sedangkan dari sisi jual beli,
perbedaan IMBT terletak pada adanya penggunaan manfaat barang dimaksud terlebih
dahulu melalui akad sewa (ijarah), sebelum transaksi jual beli dilakukan.
Ijarah Muntahiyyah Bittamlik adalah akad sewa menyewa antara pemilik objek sewa dan penyewa
untuk mendapatkan imbalan atas objek sewa yang disewakannya dengan opsi
perpindahan hak milik objek sewa pada saat tertentu sesuai dengan akad sewa. Transaksi
yang disebut dengan al-ijarah al-muntahia bit-tamlik adalah sejenis perpaduan
antara kontrak jual beli dan sewa atau lebih tepatnya akad sewa yang diakhiri
dengan pemilikan barang di tangan si penyewa. Sifat perpindahan kepemilikan ini
pula yang membedakan dengan ijarah biasa.
Berbagai bentuk alih kepemilikan IMBT antara lain:
a)
Hibah di akhir periode, yaitu ketika pada akhir periode sewa aset
dihibahkan kepada penyewa;
b)
Harga yang berlaku pada akhir periode, yaitu ketika pada akhir
periode sewa aset dibeli oleh penyewa dengan harga yang berlaku pada saat itu;
c)
Harga ekuivalen dalam periode sewa, yaitu ketika penyewa membeli
aset dalam periode sewa sebelum kontrak sewa berakhir dengan harga ekuivalen;
dan
d)
Bertahap selama periode sewa, yaitu ketika alih kepemilikan
dilakukan bertahap dengan pembayaran cicilan selama periode sewa.[6]
2.
Landasan Syariah
a.
Al- Qur’am
Q. S
Az- Zukhruf: 32
Artinya: “Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kami
telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan
kami telah meninggikan kebahagian mereka atas sebagian yang lain beberapa
derajat, agar sebagian mereka yang lain, dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa
yang mereka kumpulkan.” (Q.S Az- Zukhruf: 32)
Q.S Al- Kahfi: 94
Artinya: Mereka berkata: “
Hai Dzulkarnain, sesungguhnya Ya’jul dan Ma’jul itu orang-orang yang membuat
kerusakan dimuka bumi, maka dapatkah kami memberikan sesuatu pembayaran
kepadamu, supaya kamu membuat dinding antara kami dan mereka?”
b.
Al- Hadist
HR. ‘Abd ar-Razzaq dari Abu Hurairah dan Abi Sa’id al-Khudri
“Barang siapa mempekerjakan pekerjaan, beritahukanlah upahnya”.
3.
Syarat dan Rukun
Rukun Ijarah al-Muntahiyah bi al- Tamlik pada dasarnya sama dengan
rukun Ijarah, yaitu:
a.
Menurut Hanafiyyah adalah Ijab dan Qabul.
b.
Rukun Ijarah menurut mayoritas ulama ada 4 macam, yaitu:
· Pelaku yang
terdiri atas pemberi sewa dan penyewa.
· Objek akad
Ijarah berupa: upah dan manfaat barang.
· Ijab qabul/
serah terima.
4.
Aplikasi dalam Lembaga Keuangan Syariah
Secara teknis, implementasi IMBT juga diatur dalam Surat
Edaran Bank Indonesia (SEBI) No. 10/14/DPBS pada tanggal 17 Maret 2008 yaitu:
a.
Bank sebagai pemilik objek sewa juga bertindak sebagai
pemberi janji (wa`ad) untuk memberikan opsi pengalihan kepemilikan
dan/atau hak penguasaan objek sewa kepada nasabah penyewa sesuai kesepakatan,
b.
Bank hanya dapat memberikan janji (wa`ad) untuk
mengalihkan kepemilikan dan/atau hak penguasaan objek sewa setelah objek sewa
secara prinsip dimiliki oleh bank,
c.
Bank dan nasabah harus menuangkan kesepakatan adanya opsi
pengalihan kepemilikan dan/atau hak penguasaan objek sewa dalam bentuk tertulis,
pelaksanaan pengalihan kepemilikan dapat
dilakukan setelah masa sewa disepakati selesai oleh Bank dan nasabah penyewa,
dan
d.
Dalam hal nasabah penyewa mengambil opsi pengalihan
kepemilikan dan/atau hak penguasaan objek sewa, maka bank wajib mengalihkan
kepemilikan dan/atau hak penguasaan objek sewa kepada nasabah yang dilakukan
pada saat tertentu dalam periode atau pada akhir periode pembiayaan atas dasar
akad IMBT.
5.
Skema
Keterangan:
·
Nasabah memesan untuk menyewa barang kepada Bank.
·
Bank membeli dan membayar barang kepada Suplier.
·
Suplier mengirim barang kepada Nasabah.
·
Nasabah membayar sewa kepada Bank.
·
Masa sewa diakhiri dengan Nasabah membeli barang tersebut.[7]
C.
Kesimpulan
Dari pembahasan di atas, maka penulis dapat menarik kesimpulan
sebagai berikut: bahwa produk pembiayaan perbankan syariah berdasarkan akad
sewa-menyewa terdiri dari sewa murni dan sewa yang diakhiri dengan pemindahan
hak kepemilikan atau dikenal dengan ijarah muntahiya bit tamlik.
Secara bahasa, Ijarah berasal dari kata al-Ajru yang
memiliki arti al-‘Iwadhu (bermakna kompensasi/ganti). Secara terminology
Ijarah adalah akad pemindahan hak guna (manfaat) atas suatu barang atau
jasa, dalam waktu tertentu dengan pembayaran upah sewa (ujrah), tanpa
diikuti dengan pemindahan kepemilikan (ownership) atas barang itu
sendiri.
Namun demikian, pada zaman modern ini muncul inovasi baru dalam
ijarah, dimana peminjam dimungkinkan untuk memiliki objek ijarah-nya
diakhir periode peminjaman. Ijarah yang membuka kemungkinan perpindahan
kepemilikan atas objek ijarah-nya, ini disebut sebagai ijarah
Muntahiyyah Bittamlik (IMBT).
Ijarah muntahia bit tamlik (IMBT) pada dasarnya merupakan perpaduan antara sewa menyewa dengan
jual beli. Semakin jelas dan kuat komitmen untuk membeli barang di awal akad,
maka hakikat IMBT pada dasarnya lebih bernuansa jual beli. Namun, apabila
komitmen untuk membeli barang di awal akad tidak begitu kuat dan jelas
(walaupun opsi membeli tetap terbuka), maka hakikat IMBT akan lebih bernuansa
ijarah.
DAFTAR PUSTAKA
[1] Ridwan, Murtadho.
2015. Al-Ijarah Al-Mutanaqishah. Vol
3 No. 1, Juni
[2] Tona,
Martha. 2012. Media Mahardika. Vol 10 No. 2 Januari
[3] Santoso,
Harun . 2015. Analisis Pembiayaan Ijarah Pada perbankan Syariah, Vol.
01, No. 02, Juli
[4] Ascarya.
2012. Akad dan Produk Bank Syariah. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
[5] Burhanuddin.
2008. Hukum Perbankan Syariah di
Indonesia. Yogyakarta: UII Press
[2] Martha Tona, Media Mahardika, Vol 10 No. 2 Januari 2012, Hal
21-22.
[4] Harun Santoso, dkk. Analisis Pembiayaan ijarah Pada Perbankan Syariah.
Vol 01, No. 02, Juli 2015
[6] Ascarya. Akad dan Produk Bank Syariah. (Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2012). Hal.103.
[7] Burhanuddin. Hukum Perbankan Syariah di Indonesia. (Yogyakarta:
UII Press, 2008). Hal. 273.
No comments:
Post a Comment