Konsep Manusia Menurut mazdhab Psikoanalisis dan Belaviorime Perspektif Psikoanalisis
1.
Mazhab
Psikionalisis
Mazhab
psikoanalis yang menekankan analisis terhadap struktur kejiwaan manusia yang
relative stabil dan menetap. Aliran ini dipelopori oleh Sigmund Freud
(1856-1939) yang kemudian disempurnakan oleh Carl Gustav Jung dan Erik H.
Erikson. Ciri utama mazhab ini yang penulis kutib dari Yudiani (2016) adalah:
a.
Menentukan
aktivitas manusia berdasarkan dinamika struktur kejiwaan yang terdiri dari id,
ego dan super ego. Lebih lanjut, id merupakan sumber dari impuls-impuls yang
menuntut untuk dipuaskan dan ia tunduk pada kesenangan (pleasure principle),
sementara ego merupakan sistem kesadaran manusia yang bertugas untuk memuaskan
id cara yang disetujui oleh super ego. Sigmund Freud menggambarkan interaksi
ketiga struktur ini dengan analogi orang berkuda. Id adalah kuda yang bergerak
dan menerjang sesukanya, sementara ego adalah orang yang memegang tali kekang
dan mengendalikan kuda agar berjalan sesuai dengan aturan lalu-lintas dan
aturan itu sendiri adalah super ego.
b.
Motif
dasar penggerak struktur jiwa manusia adalah libido dan insting yang terdiri
dari eros (insting yang mengarah pada kehidupan – konstruktif –
membangun dan memelihara) dan tanatos (insting yang mengarah kepada
kematian – destruktif – merusak dan menghancurkan), motif-motif dasar ini
berkedudukan di dalam id. Selanjutnya Freud lebih konsen membahas libido
seksual, bahkan banyak teori-teorinya dilandaskan pada libido yang satu ini.
c.
Alam kesadaran manusia terbagi menjadi tiga
tingkatan yaitu; alam pra sadar (pre-conscious), alam tak sadar (unconscious)
dan alam sadar (conscious). Yang menjadi kedudukan dari masing masing
struktur kepribadian.
d.
Memandang
bahwa gangguan mental disebabkan oleh ketidakmampuan ego menyelaraskan
pemenuhan id dengan nilai-nilai yang dianut super ego.
Psikoanalisis bermula
dari keraguan Freud terhadap kedokteran. Pada saat itu kedokteran dipercaya
bisa menyembuhkan semua penyakit, termasuk histeria yang sangat menggejala di Wina.
Pengaruh Jean-Martin Charcot, neurolog Prancis, yang menunjukkan adanya faktor
psikis yang menyebabkan histeria mendukung pula keraguan Freud pada kedokteran
(Berry, 2001:15). Sejak itu Freud dan doktor Josef Breuer menyelidiki penyebab
histeria. Pasien yang menjadi subjek penyelidikannya adalah Anna O. Selama
penyelidikan, Freud melihat ketidakruntutan keterangan yang disampaikan oleh
Anna O. Seperti ada yang terbelah dari kepribadian Anna O.
Penyelidikan-penyelidikan itu yang membawa Freud pada kesimpulan struktur
psikis manusia: id, ego, superego dan ketidaksadaran, prasadar, dan kesadaran. Freud
menjadikan prinsip ini untuk menjelaskan segala yang terjadi pada manusia,
antara lain mimpi. Menurut Freud, mimpi adalah bentuk penyaluran dorongan yang
tidak disadari. Dalam keadaan sadar orang sering merepresi
keinginan-keinginannya. Karena tidak bisa tersalurkan pada keadaan sadar, maka
keinginan itu mengaktualisasikan diri pada saat tidur, ketika kontrol ego
lemah. Dalam pandangan Freud, semua
perilaku manusia baik yang nampak (gerakan otot) maupun yang tersembunyi
(pikiran) adalah disebabkan oleh peristiwa mental sebelumnya. Terdapat
peristiwa mental yang kita sadari dan tidak kita sadari namun bisa kita akses (preconscious)
dan ada yang sulit kita bawa ke alam tidak sadar (unconscious). Di alam
tidak sadar inilah tinggal dua struktur mental yang ibarat gunung es dari
kepribadian kita, yaitu:
a. Id, adalah berisi energi
psikis, yang hanya memikirkan kesenangan semata.
b. Superego, adalah berisi
kaidah moral dan nilai-nilai sosial yang diserap individu dari lingkungannya.
c. Ego, adalah pengawas
realitas.
Sebagai contoh adalah
berikut ini: Anda adalah seorang bendahara yang diserahi mengelola uang sebesar
1 miliar Rupiah tunai. Id mengatakan pada Anda: “Pakai saja uang itu
sebagian, toh tak ada yang tahu!”. Sedangkan ego berkata:”Cek dulu,
jangan-jangan nanti ada yang tahu!”. Sementara superego menegur:”Jangan
lakukan!”. Pada masa kanak-kanak kira dikendalikan sepenuhnya oleh id,
dan pada tahap ini oleh Freud disebut sebagai primary process thinking.
Anak-anak akan mencari pengganti jika tidak menemukan yang dapat memuaskan
kebutuhannya (bayi akan mengisap jempolnya jika tidak mendapat dot misalnya). Sedangkan
ego akan lebih berkembang pada masa kanak-kanak yang lebih tua dan pada
orang dewasa. Di sini disebut sebagai tahap secondary process thinking.
Manusia sudah dapat menangguhkan pemuasan keinginannya (sikap untuk memilih
tidak jajan demi ingin menabung misalnya). Walau begitu kadangkala pada orang
dewasa muncul sikap seperti primary process thnking, yaitu mencari
pengganti pemuas keinginan (menendang tong sampah karena merasa jengkel akibat
dimarahi bos di kantor misalnya). (Yudiani, 2016)
Mazhab
yang pertama adalah psikoanalisis,
dengan Sigmund Freud sebagai tokohnya. Psikoanalisis memandang manusia sebagai homo
volens di mana perilakunya dikendalikan oleh dorongan alam bawah sadarnya.
Secara singkat, menurut pendekatan psikoanalisis, perilaku manusia adalah hasil
interaksi dari tiga pilar atau komponen kepribadian, yakni komponen biologis (Das
Id), psikologis (Das Ego),
dan sosial (Das Superego); atau unsur hewani, rasional, dan moral
(hewani, akali, dan moral).
Dengan menggunakan pendekatan psikoanalisis, kedua kasus di atas sebagai
representasi perilaku menyampah di sekitar kita, dapat dijelaskan sebagai
berikut. Perilaku menyampah yang dilakukan baik pria maupun perempuan pada
kasus di atas –dan juga perilaku menyampah yang biasa terjadi di sekitar kita-
lebih dikendalikan oleh alam bawah sadar yaitu Das Id, dorongan
biologis, unsur hewani. Das Id bergerak berdasarkan prinsip kesenangan (pleasure
principle), ingin segera memenuhi keinginannya, bersifat egoistis (ego-enhacement)
dan tidak mau tahu dengan kenyataan. Dalam kaitannya dengan alam bawah sadar
dan perilaku menyampah, kiranya tepatlah untuk mengemukakan tiga sifat dasar
manusia yang menonjol (Tondok, 2008)
a.
Pertama, manusia itu mau mencari enak,
dan bahkan mencari enaknya sendiri. Manusia pada dasarnya adalah pecandu
kenikmatan dan bersifat egoistis. Dalam perilaku menyampah, sifat egoistis ini
muncul dalam NIMBY syndrome (Not In My Back Yard syndrome:
terserah mau buang sampah di manapun, asal tidak di halaman rumahku). Pada pria
dan wanita dalam kasus di atas, menyampah di ruang tunggu bandara atau di
jalanan adalah hal yang boleh-boleh saja karena itu bukan halaman atau teritori
milik mereka. Akan tetapi, tunggu dulu! Sekiranya ada orang lain yang menyampah
di teritori atau wilayah privasi semisal halaman rumah mereka, mereka berdua
pasti akan marah. Sekiranya hal yang sama terjadi di teritori kita, kita pun pasti
akan peduli, marah. Dalam NIMBY syndrome inilah egoisme perilaku
menyampah mengemuka.
b.
Kedua, masih berkaitan dengan ciri
manusia yang pertama, manusia itu malas atau tidak mau repot. Dalam konteks
perilaku menyampah, pria dan wanita dalam kedua kasus di atas enggan mencari
tempat sampah atau ’menyimpan’ sampah sampai menemukan tempat sampah yang
sesungguhnya. 'Gitu aja koq repot-repot!”. Menurut prinsip kesenangan
dari Das Id, menyampah lebih menyenangkan dibandingkan dengan harus
membuang sampah pada tempat yang sesungguhnya. Ini merupakan cerminan kemalasan
atau tidak mau repotnya manusia. Dalam kaitannya dengan sampah, kebiasaan
dilayani oleh petugas khusus kebersihan, cleaning service Bandara Juanda
atau pasukan kuning alias Dinas Kebersihan dan Pertamanan (DKP) Kota Surabaya.
Kita masih ’merasa’ bahwa urusan sampah adalah urusan petugas sampah; mereka
’diadakan’ untuk mengurusi sampah, termasuk sampah yang kita buang sembarangan.
(Tondok, 2008)
c.
Ketiga,
kebanyakan manusia juga pelupa. Meskipun telah berulang kali diingatkan dan
upanya penyadaran sudah dilakukan, tetap saja manusia perlu diingatkan. Dalam
kedua kasus di atas, kemungkingan besar tulisan ’buanglah sampah pada
tempatnya’ tidak terlihat oleh pria perokok yang menyampah di ruang tunggu
bandara. Sementara itu, kemungkinan besar dalam mobil perempuan yang menyampah
di jalan raya tidak terdapat tulisan atau clue yang sewaktu-waktu bisa
mengingatnya untuk tidak menyampah. (Tondok, 2008)
2. Behaviorisme
Behaviorisme
adalah sebuah aliran dalam psikologi yang didirikan oleh John B. Watson pada
tahun 1913 yang berpendapat bahwa perilaku harus merupakan unsur subyek tunggal
psikologi. Behaviorisme merupakan aliran revolusioner, kuat dan berpengaruh,
serta memiliki akar sejarah yang cukup dalam. Behaviorisme lahir sebagai reaksi
terhadap introspeksionisme (yang menganalisis jiwa manusia berdasarkan
laporan-laporan subjektif) dan juga psikoanalisis (yang berbicara tentang alam
bawah sadar yang tidak tampak). Behaviorisme secara keras menolak unsur-unsur
kesadaran yang tidak nyata sebagai obyek studi dari psikologi, dan membatasi
diri pada studi tentang perilaku yang nyata. Dengan demikian, Behaviorisme
tidak setuju dengan penguraian jiwa ke dalam elemen seperti yang dipercayai
oleh strukturalism. Berarti juga behaviorisme sudah melangkah lebih jauh dari
fungsionalisme yang masih mengakui adanya jiwa dan masih memfokuskan diri pada
proses-proses mental. (Yudiani,2016)
Behavioristik
adalah aliran psikologi yang menekankan teorinya pada perubahan tingkah laku
manusia. Aliran ini dipelopori oleh John Millar, BF. Skinner dan Neal E
Miller. Mazhab behavioristik menolak
bahwa struktur kejiwaan manusia yang relative stabil dan menetap, mereka
berkeyakinan bahwa tingkah laku individu mudah berubah yang dipengaruhi oleh
lingkungan sekitarnya. Menurut pandangan mazhab ini, manusia dilahirkan dalam
kondisi kosong atau netral, sehingga tingkahlaku yang ada merupakan wujud dari
kebiasaan-kebiasaan yang dibentuk olehlingkungan. Seiring dengan
perkembangannya, mazhab ini banyak menyumbangkan teori-teori modifikasi
perilaku termasuk teori-teori tentang belajar. Menurut pandangan mazhab ini
perilaku manusia tidak lebih dari respon terhadap stimulus yang ia terima (teori
S-R, teori awal aliran ini), respon-respon yang ditampilkan oleh manusia juga
ikut dipengaruhi oleh penguatan (reinforcement) yang ia terima dari lingkungan.
Pendek kata dalam pandangan mazhab ini tingkah laku manusia sangat mungkin
untuk diprediksikan dan dimodifikasi. Lebih lanjut, mazhab ini sama sekali
tidak tertarik pada pembahasan struktur kejiwaan, mereka hanya membahas
perilaku, terutama proses terjadinya dan bagaimana caranya perilaku tersebut
bisa jadi menetap. Lebih lanjut, objek penelitian yang dilakukan oleh ilmuan
psikologi dari mazhab ini adalah hewan, kemudian hasil penelitian tersebut
digunakan untuk membahasa dan mengkaji dinamika perilaku manusia, seperti;
Pavlov dengan penelitiannya tentang perilaku anjing, skinner dengan
penelitiannya tentang perilaku merpati, dan peneliti lain yang meneliti
simpanse, tikus, dan lain-lain. Pandangan
Mazhab Behavioristik terhadap Perilaku Beragama Menurut Skinner, keyakinan
manusia terhadap suatu agama dan upacara ritual untuk mengagungkan Tuhan yang terkandung
dalam agama merupakan tingkahlaku tahayul, sepert halnya tingkah laku burung
merpati kelaparan yang terus menerus mengulangi perilaku khusus untuk
mendapatkan
penguatan (reinforcement) yang berupa makanan.(Yudiani,
2016)
Kritik terhadap Mazhab Behavioristik
·
Paham mazhab behavioristik anti agama, sehingga
teoriteorinya melepaskan diri dari norma-norma agama.
·
Menurut
kaum humanis, teori-teori behavioristik memandang manusia sebagai suatu mesin,
yaitu system kompleks yang bertingkahlaku menurut cara yang sesuai dengan
hukum. Lebih lanjut mereka memandang bahwa behavioristik melakukan dehumanisasi
dengan cara mengindahkan keunikan individu.
.
Behaviorisme yang
dipelopori oleh John B. Watson, Ivan P. Pavlov, Burrhus F. Skinner, Edward L. Thorndike
lahir sebagai reaksi terhadap introspeksionisme (yang menganalisa jiwa manusia
berdasarkan laporanlaporan subyektif) dan juga psikoanalisis (yang berbicara
alam bawah sadar yang tidak tampak). Menurut behaviorisme, perilaku manusia
bukan dikendalikan oleh faktor dalam (alam bawah sadar), tetapi sepenuhnya
dipengaruhi oleh faktor eksternal yakni
lingkungan.
Penganut behaviorisme memandang manusia sebagai homo mechanicus, manusia
mesin. (Tondok, 2008)
Behaviorisme tidak mau mempersoalkan
apakah manusia baik atau jelek, rasional atau emosional. Behaviorisme hanya
ingin mengetahui sebagaimana perilaku individu dikendalikan oleh faktor-faktor
lingkungan. Individu bersifat sangat plastis, bisa dibentuk menjadi apa dan
siapa, atau berperilaku apa saja sesuai dengan lingkungan yang dialami atau
yang dipersiapkan untuknya. Dengan kata lain, respon atau perilaku individu
dalam situasi tertentu sangat dipengaruhi dan ditentukan oleh stimulus atau apa
yang diterimanya dari lingkungan. Salah satu prinsip perilaku menurut
pendekatan behavioristik adalah perilaku organisme terbentuk melalui
pembiasaaan atau kondisioning. (Tondok, 2008)
Perspektif behaviorisme, respon atau
perilaku menyampah yang dilakukan baik oleh pria maupun perempuan dalam kasus
di atas –termasuk perilaku menyampah yang sering terjadi di sekitar kita-
merupakan perilaku hasil pembiasaan yang dibentuk oleh lingkungan. Kemungkinan
besar, pengalaman menyampah pria dan perempuan tersebut selama ini di bandara
atau di jalan atau bahkan juga di tempat-tempat umum lainnya, tidak mendapatkan
hukuman (misalnya dimarahi petugas atau kena denda. Tentu saja, perilaku mereka
akan sangat lain jika ketika menyampah, mereka segera mendapatkan konsekuensi
yang tidak menyenangkan seperti dimarahi petugas atau kena denda. Oleh karena
itu, sangat wajarlah jika perilaku menyampah di bandara, di jalan atau di
tempat umum jarang ditemui di lingkungan ataupun di negara yang menindak tegas
siapa saja yang menyampah.
Perspektif
psikologi behavioristik, pembentukan kebiasaan membuang sampah pada tempatnya,
dapat dilakukan dengan ’latihan yang berulang-ulang’. Selain itu, tetap
diperlukan tulisan-tulisan yang dapat mengingatkan individu untuk membuang
sampah pada tempatnya. Aliran ini sering dikaitkan sebagai
aliran ilmu jiwa namun tidak peduli pada jiwa. Pada akhir abad ke-19, Ivan
Petrovic Pavlov memulai eksperimen psikologi yang mencapai puncaknya pada tahun
1940 – 1950-an. Di sini psikologi didefinisikan sebagai sains dan sementara
sains hanya berhubungan dengan sesuatu yang dapat dilihat dan diamati saja.
Sedangkan ‘jiwa’ tidak bisa diamati, maka tidak digolongkan ke dalam psikologi.
Aliran ini memandang manusia sebagai mesin (homo mechanicus) yang dapat
dikendalikan perilakunya melalui suatu pelaziman (conditioning). Sikap
yang diinginkan dilatih terus-menerus sehingga menimbulkan maladaptive
behaviour atau perilaku menyimpang.
DAFTAR
PUSTAKA
-Yudiani, E. 2016. Komparasi
Paradigma Psikologi Kontemporer Versus Psikologi Islam Tentang Manusia. (http://jurnal.radenfatah.ac.id<article>view)
Di akses pada tanggal 16 April 2016.
-Tondok, MS.2008. ’Menyampah' dari Perspektif Psikologi (1). (http://docplayer.info/34099173-menyampah-dari-perspektif-psikiologi-1-mareslius-sampe-tondok-fakultas-psikologi-universitas-surabaya.html).
Diakses pada tanggal 13 juli 2008.
No comments:
Post a Comment