MAKALAH SUMBER HUKUM ISLAM
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Sumber Hukum
Islam adalah Wahyu Allah yang dituangkan di dalam Al-Qur’an dan Sunnah
Rasulullah SAW. Ayat-ayat Al-Qur’an yang berhubungan dengan hukum tidak banyak
bila dibandingkan dengan jumlah keseluruhan ayat (6.348 ayat menurut Mushaf
Ustmani yang ada sekarang). Demikian pula apabila dibandingkan dengan masalah
yang harus diberi ketetapan hukum, yang selalu muncul dalam kehidupan didunia
ini. Namun demikian secara umum Allah menerangkan bahwa semua masalah
(pokok-pokoknya) terdapat dalam Al-Qur’an. Allah berfirman:
… مَّا فَرَّطۡنَا فِي ٱلۡكِتَٰبِ مِن شَيۡءٖۚ…. ٣٨
Artinya: “Tiadalah
Kami alpakan sesuatupun dalam Al-Kitab …” (Q.S. Al-An’am:6: 38)
Dalam hokum Islam dikenal istilah Fiqh, Ushul Fiqh, Qawaid Fiqhiyyah,
maupun yang lainnya. Adapun Fiqh adalah produk yang dihasilkan oleh Ushul
Fiqh ataupun Qawa’id Fiqhiyyah.
Pembahasan pertama ini pemakalah akan membahas pengertian qawa’id
fiqhiyyah yang mencakup bahasan kaidah yang bersifat umum dan biasa
digunakan untuk menyelesaikan permasalahan yang bersifat praktis dalam
kehidupan sehari-hari, dan perbedaannya dengan qawa’id ushuliyyah & dhawabith
fiqhiyyah.
BAB II
PEMBAHASAN
a.
Pengertian Qawa’id
Fiqhiyyah
Al-Qawa’id
Al-Fiqhiyyah terdiri atas dua kata yang berasal dari Bahasa
Arab yaitu, qawa’id dan fiqhiyyah. Kata qawa’id merupakan
bentuk jamak (plural) dari kata qa’idah. Kata ini telah diserap ke dalam
bahasa Indonesia menjadi kaidah, dengan pengertian yang lebih kurang sama dengan
yang terdapat dalam bahasa Arab.[1]
Dapat dijelaskan juga, Ar-Raghib Al-Asfahani
dalam Abd. Rahman Dahlan bahwa di dalam penggunaan Bahasa Arab, kata qawa’id
secara etimologi berarti asas atas dasar dan fondasi,[2]
baik dalam pengertian konkret, seperti kata qawa’id al-buyut yang berarti
fondasi bangunan rumah, maupun dalam pengertian abstrak, seperti qawa’id
ad-din, yang berarti dasar-dasar agama.[3]
Kaidah
yang berarti dasar-dasar (fondasi) yang bersifat materi terdapat dalam
Al-Qur’an surat Al-Baqarah (2) ayat 127 dan surat Al-Nahl (16) ayat 26 yang
berbunyi:
وَإِذۡ يَرۡفَعُ إِبۡرَٰهِۧمُ
ٱلۡقَوَاعِدَ مِنَ ٱلۡبَيۡتِ وَإِسۡمَٰعِيلُ …
Artinya: “Dan (ingatlah),
ketika Ibrahim meninggikan (fondasi) dasar-dasar Baitullah bersama Ismail … (QS. Al-Baqarah:
[2]: 127).
فَأَتَى ٱللَّهُ
بُنۡيَٰنَهُم مِّنَ ٱلۡقَوَاعِدِ …
Artinya:
“Maka Allah menghancurkan rumah-rumah mereka dari fondasinya … “ (QS.
Al-Nahl [16]: 26)
Demikianlah
pengertian qawa’id menurut Bahasa. Sedangkan kata fiqhiyyah
diambil dari kata fiqh yang
berasal dari Bahasa Arab; fiqh, yang secara etimologi mengandung makna;
mengerti atau paham. Sebagaimana dalam Firman Allah pada surah Al-Isra’ [17]:
44.
تُسَبِّحُ
لَهُ ٱلسَّمَٰوَٰتُ ٱلسَّبۡعُ وَٱلۡأَرۡضُ وَمَن فِيهِنَّۚ وَإِن مِّن شَيۡءٍ
إِلَّا يُسَبِّحُ بِحَمۡدِهِۦ وَلَٰكِن لَّا تَفۡقَهُونَ تَسۡبِيحَهُمۡۚ إِنَّهُۥ
كَانَ حَلِيمًا غَفُورٗا ٤٤
Artinya:
“Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada
Allah. Dan tak ada suatupun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu
sekalian tidak mengerti tasbih mereka. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penyantun
lagi Maha Pengampun.”
Adapun
dalam pengertian terminologi (istilah), terdapat variasi definisi (ta’rif)
fiqh, antara lain, definisi yang dikemukakan Ibnu as-Subki, sebagaimana yang
dikutip Abd. Rahman Dahlan ialah:
العِلْمُ بِالْقَوَاعِدِ الَّتِي يَتَوَصَّلُ بِهَا إِلَى إِسْتِنْبَاطِ
الأَحْكَامِ الشَّرْعِيَّةِالفَرْعِيَّةِ مِنْ أَدِلَّتِهَا التَفْصِيْلِيَّةِ.
Artinya: “Pengetahuan tentang hukum-hukum syara’ yang berkaitan
dengan perbuatan manusia yang diusahakan dari dalil-dalil syara’ yang spesifik.”
Selanjutnya, jika kedua
kata diatas digabungkan menjadi kata majemuk yaitu qawa’id fiqhiyyah,
maka ia menunjuk pengertian suatu cabang ilmu keislaman, yang oleh ulama fiqh
diberi definisi agak berbeda-beda, namun substansi terminologinya tetap sama.
Menurut Al-Taftazany
(w. 791 H), sebagaimana yang dikutip oleh Syarif Hidayatullah[4]
adalah sebagai berikut:
إِنَّهَا
حُكْمٌ كُلِّيٌّ يَنْطَبِقُ عَلَى جُزْئِيَّاتِهَا لِيُتَعَرَّفَ أَحْكَامُهَا
مِنْهُ.
Artinya: “Bahwasanya
qawa’id fiqhiyyah adalah suatu hukum yang bersifat universal (kulli) yang dapat
diaplikasikan kepada seluruh juz’i-nya (bagiannya) agar dapat diidentifikasi hukum-hukum
juz’I (bagian) tersebut darinya.”
Definisi
Tajuddin Al-Subky (w. 771 H), yaitu:
هِيَ
الأَمْرُ الكُلِّيُّ الَّذِى يَنْطَبِقُ عَلَيْهِ جُزْئِيَّاتٌ كَثِيْرَةٌ
تُفْهَمُ أَحْكَامُهَا مِنْه.
Artinya: “Qawa’id fiqhiyyah adalah perkara yang bersifat universal
(kulli) yang banyak persoalan juz’i (bagian) yang dapat diaplikasikan padanya;
dimana hokum-hukum juz’i (bagian) tersebut dapat difahami darinya.”
Sedangkan al-Hamawy (w.
1098 H), mendefinisikan qawa’id fiqhiyyah bersifat aghlabiyah
(mayoritas), sebagai berikut:
إِنَّهَا
حُكْمٌ أكْثَرِيُ لاَ كُلِّيٌّ يَنْطَبِقُ عَلَى أَكْثَرِ جُزْئِيَّاتِهِ
لِتُعْرَفَ أَحْكَامُهَا.
Artinya: “Qawa’id fiqhiyyah adalah hukum mayoritas
(aktsari), bukan hukum universal (kulli) yang dapat diaplikasikan kepada
mayoritas bagiannya (juz’iyyat) agar hukum-hukumnya dapat diketahui.”
Mustafa Ahmad az-Zarqa (guru besar fikih dari Universitas
Amman, Yordania) mendefinisikan kaidah fikih sebagai dasar-dasar fikih yang
bersifat umum yang diungkapkan dalam teks singkat yang bersifat undang-undang (dusturiyyah)
dan mengandung hukum-hukum syarak dalam berbagai kasus yang termasuk dalam
cakupan kaidah tersebut.[5]
Dari definisi diatas, maka dapat disimpulkan bahwa qawa’id
fiqhiyyah adalah kaidah-kaidah fiqh yang disimpulkan secara general dari
materi fikih yang mempunyai ‘illat sama, dimana tujuannya untuk mendekatkan
berbagai persoalan dan mempermudah untuk mengetahuinya.
A. Sejarah Perkembangan Qawa’id Fiqhiyah
Secara
umum sejarah perkembangan dibagi menjadi 3 periode yakni periode Nabi, periode
Khulafaur Rasyidin dan Periode Tabi‘in. Lebih jelasnya dapat dijabarkan sebagai
berikut:[6]
1. Periode
Nabi
Rasulullah
tidak meninggalkan umatnya tanpa membangun secara sempurna ketetapan hukum
Islam dengan berlandaskan nash yang sharih, global dan universal. Pada periode
ini, otoritas tertinggi dalam pengambilan hukum di pegang oleh Nabi. Semua
persoalan yang ada di tengah masyarakat bisa dijawab dengan sempurna oleh
Al-Quran dan Hadis Nabi.Kehadiran Islam di Makkah adalah untuk membenahi akidah
dan memerangi orang-orang kafir penyembah berhala. Sedangkan masa penetapan
hukum, baru dimulai ketika Nabi berada di Madinah.
Pada
periode ini, tidak ada spesialisasi ilmu tertentu yang dikaji dari Al- Quran
dan al-Hadis. Semangat sahabat sepenuhnya dicurahkan pada jihad dan
mengaplikasikan apa yang telah diperoleh dari Nabi, berupa ajaran al-Quran
maupun al-Hadis. Ilmu pengetahuan hanya berkisar pada mengaplikasikan dan
mengembangkan hukum-hukum yang telah ditetapkan oleh Nabi ketika menghadapi
persoalan-persoalan baru.8 Pada massa Rasul posisi fiqih lebih berada pada
wilayah praktis ketimbang teoritis. Para sabahat akan menanyakan langsung
persoalan baru kepada Nabi setelah persoalan itu terjadi. Tidak ada usaha untuk
membuat kerangkan teori dalam berfikir untuk ke depan. Sebab pada masa ini Nabi
merupakan satu-satunya mujtahid, sehingga disebut sebagai mujtahid al-awwal.
Segala sesuatu yang datang dari Nabi ini yang dikemudian hari menjadi sunnah
(tradisi), yang beberapa dekade kemudian dikodifikasi menjadi hadist.
Disamping
itu Nabi tidak mewariskan ilmu fiqh dalam bentuk buku yang siap pakai. Beliah
hanya meninggalkan prinsip-prinsip kaidah-kaidah umum, dan beberapa hukum-hukum
parsial tertentu yang telah ditetapkan dalam al-Quran dan al-Hadis.
Kaidah-kaidah itu dapat dijadikan sebagai kerangkah berfikir untuk memecahkan
persoalan-persoalan yang bersifat parsial. Dengan kaidah itu, fiqih akan tetap
dinamis, fleksibel dan tetap akan memiliki cakupan wilaya yang luas.
Sebenarnya
al-Qur‘an dan al-Hadist banyak mengandung ayat-ayat dan penjelasan yang artinya
sangat umum dan menjadi landasan bagi persoalan-persoalan yang bersifat
parsial, seperti pada Hadist tentang persoalan Niat, kaidah yang digunakan pada
hadist tersebut adalah kaidah fiqih Al-Amrru bimaqhasidiha. Beberapa
sabda Nabi Muhammad SAW yang dianggap sebagai kaidah fiqh, yaitu :
”pajak itu disertai imbalan jaminan”
”Tidak boleh menyulitkan (orang
lain) dan tidak boleh dipersulitkan (oleh orang lain)’’
2. Periode Khulafaur Rasyidin
Sepeninggalnya
Rasul, tepatnya memasuki masa kepemimpinan khulafa alrasyidin, pola
pikir para sahabat perlahan mulai memasuki tahap perkembangan baru.
Sebelumnya para sahabat hanya fokus menaruh perhatian terhadap yang apa yang
telah diberikan oleh Rasul. Pada masa ini, penggunaan rasio secara maksimal dalam
memahami hukum masih belum sepenuhnya digunakan—bisa dikatakan tidak begitu
dibutuhkan—sebab jika terdapat persoalan maka langsung ditanyakan kepada Nabi.
Akibatnya ijtihad yang masih berada di antara benar dan salah tidak diperlukan
karena mereka dapat memperoleh kebenaran valid dengan cara menanyakan
langsung persoalan itu pada sumbernya, yaitu nabi.[7]
Namun
pasca meninggalnya Nabi, persoalannya menjadi lain. Pola pikir sahabat
mulai mengalami transformasi ke arah ijtihad. Hal ini lebih disebabkan persoalan
baru yang tidak pernah terjadi pada masa Nabi muncul dan memaksa mereka berijtihad.Metode
ijtihad mereka pada saat itu adalah mencari keterangan terlebih dahulu
dalam al-Quran. Jika mereka tidak menemukan maka pindah ke Sunah nabi,
dengan cara memusyawarahkan dan mengumpulkan para sahabat yang pernah
mendengar penjelasan dari Nabi tentang masalah itu. Jika mereka masih tidak
menemukan keterangan, baru mereka mengunakan ra‘yu dan ijtihad.
10
Metode pengkajian hukum Islam pada periode ini sebenarnya tidak berbeda jauh
dengan masa Nabi, sebab keberadaan fiqih pada massa ini masih cenderung
bersifat praktis. Ini dapat dilihat dari pemecahan persoalan-persoalan baru
dicari hukumnya setelah terjadi, kemudian baru disesuaikan dengan nash
al-Qur‘an dan Sunnah. Meski demikian terdapat dua hal yang membedakan masa ini
dengan masa sebelumnya.
Dimana
penggunaan ra‟yu dan qiyas mulai tampak nyata dalam menghukumi
persoalan-persoalan baru. Ra‘yu dan ijtihad pada masa Nabi tidak pernah dipakai
kecuali pada saat-saat tertentu.Munculnya ijma‘, seperti yang pernah dilakukan
oleh Abu Bakar dan Umar ketika menghadapi masalah-masalah baru, keduanya
mengumpulkan para sahabat lain untuk dimintai pendapatnya dan apa yang
disepakati itu yang dijalankan. Contoh pola-pola bahasa yang sama dengan kaidah
fiqh yang muncul pada masa khulafaur rasyidin; yakni perkataan Umar: terputusnya (ketetapan) hak tergantung pada
syarat.
3. Periode Tabi‟in
Pada
periode ini dimulailah pendasaran terhadap ilmu fiqh. Sebagaimana yang telah
kita ketahui, bahwa pada awal diangkatnya Khalifah ketiga, yaitu Utsman, banyak
para sahabat yang pindah ke daerah lain dan menetap di daerah itu. Sebelumnya,
pada masa Umar, mereka tidak diperkenankan meninggalkan Madinah, karena masih
dibutuhkan untuk dimintai pendapat. Ditempat barunya itu, mereka mengajarkan
Hadis Nabi dan hukum agama, sehingga banyak Tabi‘in yang bermunculan di
beberapa tempat. Pada periode ini, ilmu fiqh telah menjadi disiplin ilmu
tersendiri.
Hal
itu tidak lepas dari jasa para Tabi‟in. Prestasi gemilang yang pernah
diraih pada periode ini dan sekaligus menjadi tanda terhadap kokohnya
pondasi-pondasi fiqh adalah keberhasilannya dalam menolak terhadap fitnah dan
gejolak-gejolak internal yang sengaja dihembuskan agar epistemologi yang telah
diwarisi dari Khulafa‟ al-Rasyidun ditinggalkan.
Periode
pendasaran ini adalah awal dari kecenderungan fiqh untuk berada pada wilayah
teori. Dengan masuknya fiqh pada wilayah teori, banyak hukum fiqh yang
diproduksi dari hasil penalaran terhadap teori dibanding hukum fiqh yang
dihasilakn dari pemahaman terhadap kasus-kasus yang pernah terjadi lalu
disamakan dengan kasu baru. Periode ini merupakan awal perubahan fiqh dari
sifatnya yang waqi‟iyyah (aktual) menjadi nazariyyah (teori).
Penggunaan ra‟yu di dalam fiqh, seperti qiyas, istihsan,
dan istishlah untuk menghukumi masalah-masalah yang tidak dijelaskan
secara tegas oleh nash berkembang pesat.[8]
Pengambilan
hukum seperti ini menimbulkan kekhawatiran dari pada ulama ahli hadis, karena
cara tersebut dianggap telah memberikan otoritas penuh kepada ra‟yu dalam
proses pengambilan hukum. Akhirnya persaingan sengit antara dua kubu (ahlu
al-ra‟yi dan ahlu al-hadis) tidak terelakkan lagi. Pada periode ini
juga dimulai pembukuan ilmu fiqh. Pertama kali ulama yang menulis kitab dalam
bentuk mazhabi adalah Muhammad bin Hasan al- Syaibani, murid Abu Hanifah, yang
berusaha mengumpulkan pendapat-pendapat Mazhab gurunya (Imam Abu Hanifa).
Selain itu ada kitab Muwatta‘ karya Imam Malik dan al-Umm karya Imam Syafi‘i.
Pada
periode ini juga ilmu ushul fiqh mulai dibukukan agar menjadi kerangka berfikir
untuk menggali hukum-hukum dari sumbernya. Metode ini merupakan hasil refleksi
mereka ketika memamahi fiqh. Kitab yang membicarakan ushul fiqh yang pertama
kali ditulis adalah al-Risalah karya Imam Syafi‘i.Pada masa ini juga banyak
bermunculan istilah-istilah fiqh yang menjadi ciri dari kekayaan bahasa fiqh.
Istilah ini diciptakan dengan berbagai bentuk sesuai dengan mazhabnya.
Teori-teori
fiqh pada masa ini sangat berkembang pesat. Sehingga, fiqh mampu membahas dan
menentukan hukum persoalan-persoalan yang belum terjadi. Pada saat fiqh
mengalami perkembangan yang sangat pesat ini, banyak qaidah fiqh dan dlwabid
(batasan fiqh) bermunculan. Diantara ulama yang mengembangkan kaidah fiqh
pada generasi tabi‘in adalah Abu Yusuf Ya‘kub ibn Ibrahim (113-182),
dengan karyanya yang terkenal kitab Al Kharaj, kaidah-kaidah yang
disusun adalah :”Harta setiap yang meninggal yang tidak memiliki ahli
waris diserahkan ke Bait al-Mal”
Kaidah
tersebut berkenaan dengan pembagian harta pusaka Baitul Mal sebagai salah satu
lembaga ekonomi umat Islam dapat menerima harta peninggalan(tirkah atau mauruts),
apabila yang meninggal dunia tidak memiliki ahli waris. Ulama berikutnya yang
mengembangkan kaidah fiqh adalah Imam Asy-Syafi‟i, yang hidup pada fase
kedua abad kedua hijriah (150-204 H), salah satu kaidah yang dibentuknya, yaitu
:”Sesuatu yangh dibolehkan dalah keadaan terpaksa adalah tidak
diperbolehkan ketika tidak terpaksa”.
C. Hubungan Fiqih, Uhul Fiqih, Qowaid Fiqih
Hubungan ushul fiqih dengan fiqih
adalah seperti hubungan ilmu mantiq (logika) dengan filsafat; mantiq merupakan
kaidah berfikir yang memelihara akal agar tidak terjadi kerancuan dalam
berpikir. Juga seperti hubungan ilmu nahwu dengan bahasa arab; ilmu nahwu
sebagai gramatika yang menghindarkan kesalahan seseorang didalam menulis dan
mengucapkan bahasa arab. Demikian ushul fiqih diumpamakan dengan limu mantiq
atau ilmu nahwu, sedangkan fiqih seperti ilmu filsafat atau bahasa
arab, sehingga ilmu ushul fiqih berfungsi menjaga agar tidak terjadi kesalahan
dalam mengistinbatkan hukum.[9]
Objek fiqih adalah hukum yang berhubungan
dengan perbuatan mausia beserta dalil-dalilnya yang terperinci. Adapun objek
ushul fiqih adalah mengenai metodologi penetapan hukum-hukum tersebut. Kedua
disiplin ilmu tersebut sama-sama membahas dalil-dalil syara’, tetapi
tinjauannya berbeda. Fiqih membahas dalil-dalil tersebut untuk menetapkan
hukum-hukum cabang yang berhubungan dengan perbuatan manusia, sedangkan ushul
fiqih meninjau dari segi metode penetapan, klasifikasi argumetasi, serta
situasi dan kondisi yang melatar belakangi dalil-dalil tersebut.
Ushul fiqih merupakan ilmu yang
secara garis besar mengkaji cara-cara menginstinbath (menggali hukum).
Sekalipun ushul fiqh muncul setelah fiqih, tetapi secara teknis, terlebih
dahulu para ulama menggunakan ushul fiqh untuk menghasilkan fiqh. Artinya
sebelum ulama menetapkan suatu perkara itu haram, ia telah mengkaji dasar-dasar
yang menjadi alasan perkara itu diharamkan. Hukum haramnya disebut fiqih, dan
dasar-dasar sebagai alasannya disebut ushul fiqh.
Kemudian tujuan dari pada ushul
fiqih itu sendiri adalah untuk mengetahui jalan dalam mendapatkan hukum syara’
dan cara-cara untuk menginstinbatkan suatu hukum dari dalil-dalilnya. Dengan
menggunakan ushul fiqih itu, seseorang dapat terhindar dari jurang
taklid. Ushul fiqih itu juga sebagai pemberi pegangan pokok atau sebagai
pengantar dan sebagai cabang ilmu fiqih itu.Dapat dikatakan bahwa ushul fiqih
sebagai pengantar dari fiqih, memberikan alat atau sarana kepada fiqih dalam
merumuskan, menemukan penilaian-penilaian syari’at dan peraturan-peraturannya
dengan tepat.
Hukum yang digali dari
dalil atau sumber hukum itulah yang kemudian dikenal dengan nama
fiqih. Jadi fiqih adalah produk operasional ushul fiqih. Sebuah hukum fiqih
tidak dapat dikeluarkan dari dalil atau sumbernya (nash al-Qur’an dan
as-Sunah) tanpa melalui ushul fiqih. Ini sejalan dengan pengertian harfiah
ushul fiqih, yaitu dasar-dasar (landasan) fiqih. Misalnya hukum wajib sholat
dan zakat yang digali (istinbath) dari ayat Al-Qur’an surat al-Baqarah (2) ayat
43 yang Artinya: “Dan dirikanlah
shalat, tunaikanlah zakat dan ruku'lah beserta orang-orang yang ruku'”.
Firman Allah diatas berbentuk
perintah yang menurut ilmu ushul fiqih, perintah pada asalnya menunjukan wajib
selama tidak ada dalil yang merubah ketentuan tersebut ( الاصل فى الامر للوجوب).
Fiqih membahas tentang bagaimana
cara tentang beribadah, tentang prinsip rukun Islam dan hubungan antara manusia
sesuai dengan dalil-dalil yang terdapat dalam Al-Qur'an dan Sunnah. Oleh karena
itu hubungan diantara Qowa’id al- fiqhiyah dengan fiqih sangat erat sekali
karena qowa’id fiqhiyah dapat dijadikan sebagai kerangka acuan dalam mengetahui
hukum perbuatan seorang mukalaf. Ini karena dalam menjalanklan hukum fiqih
kadang-kadang mengalami kendala-kendala.
Misalnya kewajiban shalat lima
waktu yang harus dikerjakan tepat pada waktunya. Kemudian seorang mukalaf dalam
menjalankan kewajibannya mendapat halangan, misalnya ia diancam bunuh jika
mengerjakan shalat tepat pada waktunya. Dalam kasus seperti ini, mukalaf
tersebut boleh menunda sholat dari waktunya karena jiwanya terancam.
Hukum boleh ini dapat ditetapkan lewat pendekatan qawaid fiqhiyah, yaitu
dengan menggunakan qaidah :”الضرار يزال“ bahaya wajib dihilangkan. Ini
adalah salah satu perbedaan antara ushul fiqih dengan qowa’id fiqih.
Qowa’id
fiqih merupakan kunci berpikir dalam pengembangan dan seleksi hukum
fiqih. Dengan bantuan qawa’id al fiqhiyah semakin tampak jelas semua
permasalahan hukum baru yang tumbuh ditengah-tengah masyarakat dapat ditampung
oleh syari’at Islam dan dengan mudah serta cepat dapat dipecahkan
permasalahannya. Persoalan baru semakin banyak tumbuh dalam masyarakat seiring
dengan pertumbuhan dan perkembangan masyarakat itu sendiri. Maka diperlukan
kunci berfikir guna memecahkan persoalan masyarakat sehingga tidak menjadi
berlarut-larut tanpa kepastian hukum. Dengan demikian qawa’id al fiqhiyah
sangat berhubungan dengan tugas pengabdian ulama ahli fiqih dalam rangka
mengefektifkan dan mendinamiskan ilmu fiqih ke arah pemecahan problema hukum
masyarakat
Adapun dalam kaitannya dengan
fiqih muamalah hampir sama dengan fiqih pada umumnya akan tetapi dalam fiqih
muamalah objek kajian dikhususkan pada lingkup muamalah saja yaitu hal yang
berkaitan hubungan antara sesama manusia.Berikut ayat yang menjelaskan
keterkaitan antara fiqh, ushul fiqh, dan qawaid fiqh:
Artinya: “Allah Telah
menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”. (QS. Al Baqarah: 275)
Ushul fiqih muamalah contohnya
seperti ayat yang menghalalkan jual beli sedangkan fiqihnya yaitu mubah
(boleh), dan untuk qowa’id fiqihnya yaitu:
الأَصْلُ فِي المُعَامَلَةِ الإِبَاحَةُ الاَّ أَنْ يَدُ
لَّ دَلِيْلٌ عَلىَ تَحْرِيْمِهَا
“Hukum asal semua bentuk muamlah adalah boleh dilakukan kecuali ada
dalil yang Mengharamkannya.”
Demikianlah hubungan antara ushul
fiqih, qowa’id fiqih dan fiqih muamalah. Hukum syara’ tentang muamalah (fiqih
muamalah) adalah hukum yang diistinbath dari nash al-Qur’an dan sunnah melalui
pendekatan ushul fiqih. Hukum yang telah diistinbath tersebut diikat oleh
qowa’id fiqhiyah, dengan maksud supaya lebih mudah difahami dan diidentifikasi.
D. Tujuh Kaidah Utama
Dalam Qawa’id Fiqiyyah
Kaidah-kaidah fiqh adalah kaidah-kaidah yang disimpulkan secara
general dari materi fiqh dan kemudian digunakan pula untuk menentukan hukum
dari kasus-kasus baru yang timbul, yang tidak jelas hukumna di nash. Adapun
manfaatnya adalah memberi kemudahan di dalam menemukan hukum-hukum untuk
kasus-kasus hukum yang baru dan tidak jelas nashnya dan memungkinkan
menghubungkannya dengan materi-materi fiqh yang lain yang tersebar di berbagai
kitab fiqh serta memudahkan di dalam memberikan kepastian hukum.
Di bawah ini diuraikan beberapa kaidah fiqh yang terdapat di dalam
beberapa kitab-kitab kaidah yang dianggap mencakup pula kepada berbagai bidang
fiqh, antara lain:
1. Kaidah Fiqh
Pertama
الاجتهاد لاينقص
بالاجتهاد
Maksud
dari kaidah di atas adalah bahwa suatu hasil ijtihad di masa lalu tidak berubah
karena ada hasil ijtihad baru dalam kasus yang sama. Seperti yang dikatakan
oleh Umar Ibn al-Khattab:” itu adalah
yang kami putuskan pada masa lalu dan ini adalah yang kami putuskan sekarang”
Contoh dari kaidah di atas adalah bila seseorang menginginkan
sholat akan tetapi tidak menemukan air, maka ia diperbolehkan untuk bertayamum
(ijtihad I), seusai sholat ia menemukan air, maka ia tidak wajib mengulang
sholatnya (ijtihad II). Contoh lain adalah seorang hakim dengan ijtihadnya
menjatuhkan hukuman kepada seorang pelaku kejahatan dengan dijatuhi hukuman
tujuh tahun. Kemudian dalam kasus yang sama, datang lagi pelaku kejahatan,
tetapi hakim menjatuhkan hukuman penjara seumur hidup, karena ada
pertimbangan-pertimbangan lain yang berbeda dengan pelaku kejahatan yang pertama. Jadi bukan
keadilan yang berbeda, tapi pertimbangan keadaan dan hukumnya yang berbeda,
maka hasil ijtihadnya pun berubah, meskipun kasusnya sama, misalnya korupsi dan
lain-lain.
2.
Kaidah Fiqh Kedua
الايثار بالقرب مكروه وفى غيرها محبوب
“mengutamakan orang lain dalam ibadah dimakruhkan sedang selain
ibadah disenangi.
Kaidah di atas menjelaskan bahwa tidak boleh mendahulukan orang
lain dalam hal ibadah seperti mendapatkan kesempatan barisan pertama dalam
sholat, meminang seorang wanita dan mendapatkan kesempatan air suci dalam
berwudhu. Sedang dalam masalah keduniaan maka disunnatkan mendahulukan orang
lain seperti mendahulukan orang lain dalam menerima zakat dan lain-lain.
3.
Kaidah Fiqh Ketiga
اذااجتمع
الحلال والحرام غلب الحرام
“apabila antara yang halal dan yang haram
berkumpul maka dimenangkan yang haram.
Pada kaidah tersebut menunjukkan adanya prioritas untuk
mendahulukan yang haram, ini berarti apabila ada dua dalil yang bertentangan
mengenai satu masalah, ada yang menghalalkan dan ada pula yang mengharamkan,
maka dua dalil itu dipilih yang mengharamkan, karena itu lebih ikhtiyat.
Seperti ketetapan khalifah Utsman bin Affan ketika ditanya ketentuan mengawini
dua saudara, yang satu berstatus merdeka dan yang lain berstatus budak sahaya.
Dalam QS. An-Nisa’:22, tidak boleh mengumpulkan dua saudara wanita untuk
dinikahi. Sedang dalam QS. An-Nisa’:23, memperbolehkannya asal yang satu
menjadi budak sahaya, maka keputusan beliau adalah melarangnya, sesuai dengan
kaidah di atas.
4.
Kaidah Fiqh Keempat
التابع تابع
“pengikut (hukumnya) itu tetap sebagai pengikut yang mengikuti”
Cabang
dari kaidah ini adalah :
التابع لايفرد بالحكم
“pengikut itu tidak menyendiri di dalam hukum”
Contohnya : anak kambing di dalam perut tidak boleh dijual dengan
sendirinya, terjualnya induk merupakan terjualnya anak kambing tersebut.
Cabang
Kedua:
التابع
ساقط بسقوط المتبوع
“pengikut menjadi gugur dengan gugurnya yang diikuti”
Contohnya:
tidak boleh mengawini saudara wanita istri, tapi jika istrinya telah dicerai
maka wanita tersebut boleh dikawininya.
Cabang
Ketiga :
التابع
لايتقدم على المتبوع
“Pengikut itu tidak mendahului yang diikuti”
Contohnya
: tidak sah makmum mendahului imam.
Cabang
Keempat :
يغتفر
فى التوابع مالا يغتفر فى غيرها
“dapat dimaafkan pada hal yang mengikuti dan
tidak dimaafkan pada yang lainnya”
Contohnya : mewakafkan sebidang kebun yang tanamannya sudah rusak,
maka wakaf itu sah, karena yang rusak adalah tanaman yang mengikuti kebun.
5.
Kaidah Fiqh Kelima
تصرف
الامام على الرعية منوط بالمصلحة
“tindakan imam terhadap rakyatnya
harus dikaitkan dengan kemaslahatannya”
Kaidah tersebut bersumber dari perkataan Imam Syafi’I, bahwa
kedudukan imam (Pemimpin) terhadap rakyatnya sama halnya dengan kedudukan wali
terhadap anak yatim. Ungkapan tersebut berasal dari qaul Umar bin Khattab yang
berbunyi “sungguh aku menempatkan diriku terhadap harta Allah seperti kedudukan
wali terhadap anak yatim”. Jadi, kaidah di atas menyangkut kebijakan pemimpin
harus bertujuan memberi kemaslahatan manusia.
6. Kaidah
Keenam
الحود تسقط بالشبهات
“hukuman had gugur bila masih meragukan (Syubhat)
Contohnya : hubungan seksual laki-laki terhadap wanita yang
dikira istrinya. Hal ini tidak dapat
dijatuhkan had sebab hukumnya masih syubhat.
7.
Kaidah Ketujuh
الحريم له حكم ما هو
حريم له
“yang menjaga sesuatu hukumnya sama
dengan apa yang dijaga”
Contoh
: wajib mencuci sebagian leher dan kepala ketika mencuci muka, sebagian lengan
atas (sampai siku-siku), mencuci sebagian atas mata kaki dalam wudhu.[10]
DAFTAR PUSTAKA
‘Athiyah ‘Adlan
‘Athiyah Ramadhan, Mausu’ah al-Qawa’id al-Fiqhiyyah, (al-Iskandariyah:
Dar al Qimmah – Dar al Iman, t.th).
Abd. Rahman
Dahlan, Ushul Fiqh, (Jakarta: AMZAH, 2011).
Abdul Azis Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid 3, (Jakarta:
PT. Ichtiar Baru Van Houve, 1996).
Ade Dedi Rohayana, Ilmu Qawa’id Fiqhiyyah, (Jakarta: Gaya Media
Pratama, 2008).
Djazuli, kaidah-kaidah fikih: kaidah-kaidah dalam hokum islam dalam
menyelesaikan malah yang praktis, Jakarta: Kencana 2011
[1]
Dalam bahasa Indonesia, kata kaidah yang mengandung arti rumusan dari asas-asas
yang menjadi hokum; aturan yang tentu; patokan;dalil. Tim Punyusun, Kamus,
hlm. 376. Selanjutnya dalam tulisan ini, kecuali dalam hal-hal tertentu, kata
kaidah akan dipakai untuk menunjuk pengertian qa’idah dalam bahasa Arab.
[2]
Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, (Jakarta: AMZAH, 2011), hlm. 10
[3]
Abd. Rahman Dahlan. hlm. 10
[4]
Syarif Hidayatullah, Qawa’id Fiqhiyyah Dan Penerapannya Dalam Transaksi
Keuangan Syari’ah Kontemporer, (Jakarta: Gramata Publishing, 2012), hlm.
16-17.
[5]
Abdul Azis Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid 3, (Jakarta:
PT. Ichtiar Baru Van Houve, 1996), hlm. 860.
[6] Dr. Ahmad Sudirman Abbas, MA, Sejarah
Qawa’id Fiqhiyyah (Jakarta: Radar Jaya Offset,
2004), hal.1
[7]
Ibid, hal 9
[8] Dr. Ahmad Sudirman Abbas, MA,SejarahQawa’id
Fiqhiyyah(Jakarta: Radar Jaya Offset, 2004), hal. 11
[9] Hasbiyallah, Fiqh dan Ushul Fiqh
Metode Istinbath dan Istidlal, (Bandung: PT Remaja, 2014), h. 4
[10] Djazuli, kaidah-kaidah fikih: kaidah-kaidah dalam hokum islam dalam
menyelesaikan malah yang praktis, Jakarta: Kencana 2011
No comments:
Post a Comment