1

loading...

Friday, April 19, 2019

Makalah Sumber Hukum Islam


 MAKALAH SUMBER HUKUM ISLAM


BAB I

PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
Sumber Hukum Islam adalah Wahyu Allah yang dituangkan di dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW. Ayat-ayat Al-Qur’an yang berhubungan dengan hukum tidak banyak bila dibandingkan dengan jumlah keseluruhan ayat (6.348 ayat menurut Mushaf Ustmani yang ada sekarang). Demikian pula apabila dibandingkan dengan masalah yang harus diberi ketetapan hukum, yang selalu muncul dalam kehidupan didunia ini. Namun demikian secara umum Allah menerangkan bahwa semua masalah (pokok-pokoknya) terdapat dalam Al-Qur’an. Allah berfirman:
مَّا فَرَّطۡنَا فِي ٱلۡكِتَٰبِ مِن شَيۡءٖۚ…. ٣٨
Artinya: “Tiadalah Kami alpakan sesuatupun dalam Al-Kitab …” (Q.S. Al-An’am:6: 38)

Dalam hokum Islam dikenal istilah Fiqh, Ushul Fiqh, Qawaid Fiqhiyyah, maupun yang lainnya. Adapun Fiqh adalah produk yang dihasilkan oleh Ushul Fiqh ataupun Qawa’id Fiqhiyyah.
Pembahasan pertama ini pemakalah akan membahas pengertian qawa’id fiqhiyyah yang mencakup bahasan kaidah yang bersifat umum dan biasa digunakan untuk menyelesaikan permasalahan yang bersifat praktis dalam kehidupan sehari-hari, dan perbedaannya dengan qawa’id ushuliyyah & dhawabith fiqhiyyah.

BAB II
PEMBAHASAN

a.    Pengertian Qawa’id Fiqhiyyah
Al-Qawa’id Al-Fiqhiyyah terdiri atas dua kata yang berasal dari Bahasa Arab yaitu, qawa’id dan fiqhiyyah. Kata qawa’id merupakan bentuk jamak (plural) dari kata qa’idah. Kata ini telah diserap ke dalam bahasa Indonesia menjadi kaidah, dengan pengertian yang lebih kurang sama dengan yang terdapat dalam bahasa Arab.[1]
 Dapat dijelaskan juga, Ar-Raghib Al-Asfahani dalam Abd. Rahman Dahlan bahwa di dalam penggunaan Bahasa Arab, kata qawa’id secara etimologi berarti asas atas dasar dan fondasi,[2] baik dalam pengertian konkret, seperti kata qawa’id al-buyut yang berarti fondasi bangunan rumah, maupun dalam pengertian abstrak, seperti qawa’id ad-din, yang berarti dasar-dasar agama.[3]
Kaidah yang berarti dasar-dasar (fondasi) yang bersifat materi terdapat dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah (2) ayat 127 dan surat Al-Nahl (16) ayat 26 yang berbunyi:
وَإِذۡ يَرۡفَعُ إِبۡرَٰهِ‍ۧمُ ٱلۡقَوَاعِدَ مِنَ ٱلۡبَيۡتِ وَإِسۡمَٰعِيلُ
Artinya:Dan (ingatlah), ketika Ibrahim meninggikan (fondasi) dasar-dasar Baitullah bersama Ismail … (QS. Al-Baqarah: [2]: 127).
فَأَتَى ٱللَّهُ بُنۡيَٰنَهُم مِّنَ ٱلۡقَوَاعِدِ
Artinya: “Maka Allah menghancurkan rumah-rumah mereka dari fondasinya … “ (QS. Al-Nahl [16]: 26)
Demikianlah pengertian qawa’id menurut Bahasa. Sedangkan kata fiqhiyyah diambil dari kata fiqh  yang berasal dari Bahasa Arab; fiqh, yang secara etimologi mengandung makna; mengerti atau paham. Sebagaimana dalam Firman Allah pada surah Al-Isra’ [17]: 44.
تُسَبِّحُ لَهُ ٱلسَّمَٰوَٰتُ ٱلسَّبۡعُ وَٱلۡأَرۡضُ وَمَن فِيهِنَّۚ وَإِن مِّن شَيۡءٍ إِلَّا يُسَبِّحُ بِحَمۡدِهِۦ وَلَٰكِن لَّا تَفۡقَهُونَ تَسۡبِيحَهُمۡۚ إِنَّهُۥ كَانَ حَلِيمًا غَفُورٗا ٤٤
Artinya: “Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah. Dan tak ada suatupun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penyantun lagi Maha Pengampun.”
Adapun dalam pengertian terminologi (istilah), terdapat variasi definisi (ta’rif) fiqh, antara lain, definisi yang dikemukakan Ibnu as-Subki, sebagaimana yang dikutip Abd. Rahman Dahlan ialah:
العِلْمُ بِالْقَوَاعِدِ الَّتِي يَتَوَصَّلُ بِهَا إِلَى إِسْتِنْبَاطِ الأَحْكَامِ الشَّرْعِيَّةِالفَرْعِيَّةِ مِنْ أَدِلَّتِهَا التَفْصِيْلِيَّةِ.
Artinya: “Pengetahuan tentang hukum-hukum syara’ yang berkaitan dengan perbuatan manusia yang diusahakan dari dalil-dalil syara’ yang spesifik.”
Selanjutnya, jika kedua kata diatas digabungkan menjadi kata majemuk yaitu qawa’id fiqhiyyah, maka ia menunjuk pengertian suatu cabang ilmu keislaman, yang oleh ulama fiqh diberi definisi agak berbeda-beda, namun substansi terminologinya tetap sama.
Menurut Al-Taftazany (w. 791 H), sebagaimana yang dikutip oleh Syarif Hidayatullah[4] adalah sebagai berikut:
 إِنَّهَا حُكْمٌ كُلِّيٌّ يَنْطَبِقُ عَلَى جُزْئِيَّاتِهَا لِيُتَعَرَّفَ أَحْكَامُهَا مِنْهُ.
Artinya: “Bahwasanya qawa’id fiqhiyyah adalah suatu hukum yang bersifat universal (kulli) yang dapat diaplikasikan kepada seluruh juz’i-nya (bagiannya) agar dapat diidentifikasi hukum-hukum juz’I (bagian) tersebut darinya.”
            Definisi Tajuddin Al-Subky (w. 771 H), yaitu:
هِيَ الأَمْرُ الكُلِّيُّ الَّذِى يَنْطَبِقُ عَلَيْهِ جُزْئِيَّاتٌ كَثِيْرَةٌ تُفْهَمُ أَحْكَامُهَا مِنْه.  
Artinya: “Qawa’id fiqhiyyah adalah perkara yang bersifat universal (kulli) yang banyak persoalan juz’i (bagian) yang dapat diaplikasikan padanya; dimana hokum-hukum juz’i (bagian) tersebut dapat difahami darinya.”


Sedangkan al-Hamawy (w. 1098 H), mendefinisikan qawa’id fiqhiyyah bersifat aghlabiyah (mayoritas), sebagai berikut:
إِنَّهَا حُكْمٌ أكْثَرِيُ لاَ كُلِّيٌّ يَنْطَبِقُ عَلَى أَكْثَرِ جُزْئِيَّاتِهِ لِتُعْرَفَ أَحْكَامُهَا.
Artinya: “Qawa’id fiqhiyyah adalah hukum mayoritas (aktsari), bukan hukum universal (kulli) yang dapat diaplikasikan kepada mayoritas bagiannya (juz’iyyat) agar hukum-hukumnya dapat diketahui.”
            Mustafa Ahmad az-Zarqa (guru besar fikih dari Universitas Amman, Yordania) mendefinisikan kaidah fikih sebagai dasar-dasar fikih yang bersifat umum yang diungkapkan dalam teks singkat yang bersifat undang-undang (dusturiyyah) dan mengandung hukum-hukum syarak dalam berbagai kasus yang termasuk dalam cakupan kaidah tersebut.[5]
            Dari definisi diatas, maka dapat disimpulkan bahwa qawa’id fiqhiyyah adalah kaidah-kaidah fiqh yang disimpulkan secara general dari materi fikih yang mempunyai ‘illat sama, dimana tujuannya untuk mendekatkan berbagai persoalan dan mempermudah untuk mengetahuinya.
A.    Sejarah Perkembangan Qawa’id Fiqhiyah
     Secara umum sejarah perkembangan dibagi menjadi 3 periode yakni periode Nabi, periode Khulafaur Rasyidin dan Periode Tabi‘in. Lebih jelasnya dapat dijabarkan sebagai berikut:[6]
1.  Periode Nabi
Rasulullah tidak meninggalkan umatnya tanpa membangun secara sempurna ketetapan hukum Islam dengan berlandaskan nash yang sharih, global dan universal. Pada periode ini, otoritas tertinggi dalam pengambilan hukum di pegang oleh Nabi. Semua persoalan yang ada di tengah masyarakat bisa dijawab dengan sempurna oleh Al-Quran dan Hadis Nabi.Kehadiran Islam di Makkah adalah untuk membenahi akidah dan memerangi orang-orang kafir penyembah berhala. Sedangkan masa penetapan hukum, baru dimulai ketika Nabi berada di Madinah. 
Pada periode ini, tidak ada spesialisasi ilmu tertentu yang dikaji dari Al- Quran dan al-Hadis. Semangat sahabat sepenuhnya dicurahkan pada jihad dan mengaplikasikan apa yang telah diperoleh dari Nabi, berupa ajaran al-Quran maupun al-Hadis. Ilmu pengetahuan hanya berkisar pada mengaplikasikan dan mengembangkan hukum-hukum yang telah ditetapkan oleh Nabi ketika menghadapi persoalan-persoalan baru.8 Pada massa Rasul posisi fiqih lebih berada pada wilayah praktis ketimbang teoritis. Para sabahat akan menanyakan langsung persoalan baru kepada Nabi setelah persoalan itu terjadi. Tidak ada usaha untuk membuat kerangkan teori dalam berfikir untuk ke depan. Sebab pada masa ini Nabi merupakan satu-satunya mujtahid, sehingga disebut sebagai mujtahid al-awwal. Segala sesuatu yang datang dari Nabi ini yang dikemudian hari menjadi sunnah (tradisi), yang beberapa dekade kemudian dikodifikasi menjadi hadist.
Disamping itu Nabi tidak mewariskan ilmu fiqh dalam bentuk buku yang siap pakai. Beliah hanya meninggalkan prinsip-prinsip kaidah-kaidah umum, dan beberapa hukum-hukum parsial tertentu yang telah ditetapkan dalam al-Quran dan al-Hadis. Kaidah-kaidah itu dapat dijadikan sebagai kerangkah berfikir untuk memecahkan persoalan-persoalan yang bersifat parsial. Dengan kaidah itu, fiqih akan tetap dinamis, fleksibel dan tetap akan memiliki cakupan wilaya yang luas.
Sebenarnya al-Qur‘an dan al-Hadist banyak mengandung ayat-ayat dan penjelasan yang artinya sangat umum dan menjadi landasan bagi persoalan-persoalan yang bersifat parsial, seperti pada Hadist tentang persoalan Niat, kaidah yang digunakan pada hadist tersebut adalah kaidah fiqih Al-Amrru bimaqhasidiha. Beberapa sabda Nabi Muhammad SAW yang dianggap sebagai kaidah fiqh, yaitu :
”pajak itu disertai imbalan jaminan”
”Tidak boleh menyulitkan (orang lain) dan tidak boleh dipersulitkan (oleh orang lain)’’
2.      Periode Khulafaur Rasyidin
Sepeninggalnya Rasul, tepatnya memasuki masa kepemimpinan khulafa alrasyidin, pola pikir para sahabat perlahan mulai memasuki tahap perkembangan baru. Sebelumnya para sahabat hanya fokus menaruh perhatian terhadap yang apa yang telah diberikan oleh Rasul. Pada masa ini, penggunaan rasio secara maksimal dalam memahami hukum masih belum sepenuhnya digunakan—bisa dikatakan tidak begitu dibutuhkan—sebab jika terdapat persoalan maka langsung ditanyakan kepada Nabi. Akibatnya ijtihad yang masih berada di antara benar dan salah tidak diperlukan karena mereka dapat memperoleh kebenaran valid dengan cara menanyakan langsung persoalan itu pada sumbernya, yaitu nabi.[7]
Namun pasca meninggalnya Nabi, persoalannya menjadi lain. Pola pikir sahabat mulai mengalami transformasi ke arah ijtihad. Hal ini lebih disebabkan persoalan baru yang tidak pernah terjadi pada masa Nabi muncul dan memaksa mereka berijtihad.Metode ijtihad mereka pada saat itu adalah mencari keterangan terlebih dahulu dalam al-Quran. Jika mereka tidak menemukan maka pindah ke Sunah nabi, dengan cara memusyawarahkan dan mengumpulkan para sahabat yang pernah mendengar penjelasan dari Nabi tentang masalah itu. Jika mereka masih tidak menemukan keterangan, baru mereka mengunakan ra‘yu dan ijtihad.
10 Metode pengkajian hukum Islam pada periode ini sebenarnya tidak berbeda jauh dengan masa Nabi, sebab keberadaan fiqih pada massa ini masih cenderung bersifat praktis. Ini dapat dilihat dari pemecahan persoalan-persoalan baru dicari hukumnya setelah terjadi, kemudian baru disesuaikan dengan nash al-Qur‘an dan Sunnah. Meski demikian terdapat dua hal yang membedakan masa ini dengan masa sebelumnya.
Dimana penggunaan ra‟yu dan qiyas mulai tampak nyata dalam menghukumi persoalan-persoalan baru. Ra‘yu dan ijtihad pada masa Nabi tidak pernah dipakai kecuali pada saat-saat tertentu.Munculnya ijma‘, seperti yang pernah dilakukan oleh Abu Bakar dan Umar ketika menghadapi masalah-masalah baru, keduanya mengumpulkan para sahabat lain untuk dimintai pendapatnya dan apa yang disepakati itu yang dijalankan. Contoh pola-pola bahasa yang sama dengan kaidah fiqh yang muncul pada masa khulafaur rasyidin; yakni perkataan Umar:  terputusnya (ketetapan) hak tergantung pada syarat.
3.      Periode Tabi‟in
Pada periode ini dimulailah pendasaran terhadap ilmu fiqh. Sebagaimana yang telah kita ketahui, bahwa pada awal diangkatnya Khalifah ketiga, yaitu Utsman, banyak para sahabat yang pindah ke daerah lain dan menetap di daerah itu. Sebelumnya, pada masa Umar, mereka tidak diperkenankan meninggalkan Madinah, karena masih dibutuhkan untuk dimintai pendapat. Ditempat barunya itu, mereka mengajarkan Hadis Nabi dan hukum agama, sehingga banyak Tabi‘in yang bermunculan di beberapa tempat. Pada periode ini, ilmu fiqh telah menjadi disiplin ilmu tersendiri.
Hal itu tidak lepas dari jasa para Tabi‟in. Prestasi gemilang yang pernah diraih pada periode ini dan sekaligus menjadi tanda terhadap kokohnya pondasi-pondasi fiqh adalah keberhasilannya dalam menolak terhadap fitnah dan gejolak-gejolak internal yang sengaja dihembuskan agar epistemologi yang telah diwarisi dari Khulafa‟ al-Rasyidun ditinggalkan.
Periode pendasaran ini adalah awal dari kecenderungan fiqh untuk berada pada wilayah teori. Dengan masuknya fiqh pada wilayah teori, banyak hukum fiqh yang diproduksi dari hasil penalaran terhadap teori dibanding hukum fiqh yang dihasilakn dari pemahaman terhadap kasus-kasus yang pernah terjadi lalu disamakan dengan kasu baru. Periode ini merupakan awal perubahan fiqh dari sifatnya yang waqi‟iyyah (aktual) menjadi nazariyyah (teori). Penggunaan ra‟yu di dalam fiqh, seperti qiyas, istihsan, dan istishlah untuk menghukumi masalah-masalah yang tidak dijelaskan secara tegas oleh nash berkembang pesat.[8]
Pengambilan hukum seperti ini menimbulkan kekhawatiran dari pada ulama ahli hadis, karena cara tersebut dianggap telah memberikan otoritas penuh kepada ra‟yu dalam proses pengambilan hukum. Akhirnya persaingan sengit antara dua kubu (ahlu al-ra‟yi dan ahlu al-hadis) tidak terelakkan lagi. Pada periode ini juga dimulai pembukuan ilmu fiqh. Pertama kali ulama yang menulis kitab dalam bentuk mazhabi adalah Muhammad bin Hasan al- Syaibani, murid Abu Hanifah, yang berusaha mengumpulkan pendapat-pendapat Mazhab gurunya (Imam Abu Hanifa). Selain itu ada kitab Muwatta‘ karya Imam Malik dan al-Umm karya Imam Syafi‘i.
Pada periode ini juga ilmu ushul fiqh mulai dibukukan agar menjadi kerangka berfikir untuk menggali hukum-hukum dari sumbernya. Metode ini merupakan hasil refleksi mereka ketika memamahi fiqh. Kitab yang membicarakan ushul fiqh yang pertama kali ditulis adalah al-Risalah karya Imam Syafi‘i.Pada masa ini juga banyak bermunculan istilah-istilah fiqh yang menjadi ciri dari kekayaan bahasa fiqh. Istilah ini diciptakan dengan berbagai bentuk sesuai dengan mazhabnya.
Teori-teori fiqh pada masa ini sangat berkembang pesat. Sehingga, fiqh mampu membahas dan menentukan hukum persoalan-persoalan yang belum terjadi. Pada saat fiqh mengalami perkembangan yang sangat pesat ini, banyak qaidah fiqh dan dlwabid (batasan fiqh) bermunculan. Diantara ulama yang mengembangkan kaidah fiqh pada generasi tabi‘in adalah Abu Yusuf Ya‘kub ibn Ibrahim (113-182), dengan karyanya yang terkenal kitab Al Kharaj, kaidah-kaidah yang disusun adalah :”Harta setiap yang meninggal yang tidak memiliki ahli waris diserahkan ke Bait al-Mal”
Kaidah tersebut berkenaan dengan pembagian harta pusaka Baitul Mal sebagai salah satu lembaga ekonomi umat Islam dapat menerima harta peninggalan(tirkah atau mauruts), apabila yang meninggal dunia tidak memiliki ahli waris. Ulama berikutnya yang mengembangkan kaidah fiqh adalah Imam Asy-Syafi‟i, yang hidup pada fase kedua abad kedua hijriah (150-204 H), salah satu kaidah yang dibentuknya, yaitu :”Sesuatu yangh dibolehkan dalah keadaan terpaksa adalah tidak diperbolehkan ketika tidak terpaksa”.

C.    Hubungan Fiqih, Uhul Fiqih, Qowaid Fiqih
Hubungan ushul fiqih dengan fiqih adalah seperti hubungan ilmu mantiq (logika) dengan filsafat; mantiq merupakan kaidah berfikir yang memelihara akal agar tidak terjadi kerancuan dalam berpikir. Juga seperti hubungan ilmu nahwu dengan bahasa arab; ilmu nahwu sebagai gramatika yang menghindarkan kesalahan seseorang didalam menulis dan mengucapkan bahasa arab. Demikian ushul fiqih diumpamakan dengan limu mantiq atau ilmu  nahwu, sedangkan fiqih seperti ilmu filsafat atau bahasa arab, sehingga ilmu ushul fiqih berfungsi menjaga agar tidak terjadi kesalahan dalam mengistinbatkan hukum.[9]
 Objek fiqih adalah hukum yang berhubungan dengan perbuatan mausia beserta dalil-dalilnya yang terperinci. Adapun objek ushul fiqih adalah mengenai metodologi penetapan hukum-hukum tersebut. Kedua disiplin ilmu tersebut sama-sama membahas dalil-dalil syara’, tetapi tinjauannya berbeda. Fiqih membahas dalil-dalil tersebut untuk menetapkan hukum-hukum cabang yang berhubungan dengan perbuatan manusia, sedangkan ushul fiqih meninjau dari segi metode penetapan, klasifikasi argumetasi, serta situasi dan kondisi yang melatar belakangi dalil-dalil tersebut.
Ushul fiqih merupakan ilmu yang secara garis besar mengkaji cara-cara menginstinbath (menggali hukum). Sekalipun ushul fiqh muncul setelah fiqih, tetapi secara teknis, terlebih dahulu para ulama menggunakan ushul fiqh untuk menghasilkan fiqh. Artinya sebelum ulama menetapkan suatu perkara itu haram, ia telah mengkaji dasar-dasar yang menjadi alasan perkara itu diharamkan. Hukum haramnya disebut fiqih, dan dasar-dasar sebagai alasannya disebut ushul fiqh. 
Kemudian tujuan dari pada ushul fiqih itu sendiri adalah untuk mengetahui jalan dalam mendapatkan hukum syara’ dan cara-cara untuk menginstinbatkan suatu hukum dari dalil-dalilnya. Dengan menggunakan ushul fiqih itu, seseorang dapat terhindar dari jurang taklid. Ushul fiqih itu juga sebagai pemberi pegangan pokok atau sebagai pengantar dan sebagai cabang ilmu fiqih itu.Dapat dikatakan bahwa ushul fiqih sebagai pengantar dari fiqih, memberikan alat atau sarana kepada fiqih dalam merumuskan, menemukan penilaian-penilaian syari’at dan peraturan-peraturannya dengan tepat.
Hukum yang digali dari dalil atau sumber hukum itulah yang kemudian dikenal dengan nama fiqih. Jadi fiqih adalah produk operasional ushul fiqih. Sebuah hukum fiqih tidak dapat dikeluarkan dari dalil atau sumbernya (nash al-Qur’an dan as-Sunah) tanpa melalui ushul fiqih. Ini sejalan dengan pengertian harfiah ushul fiqih, yaitu dasar-dasar (landasan) fiqih. Misalnya hukum wajib sholat dan zakat yang digali (istinbath) dari ayat Al-Qur’an surat al-Baqarah (2) ayat 43 yang  Artinya: “Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku'lah beserta orang-orang yang ruku'”.
Firman Allah diatas berbentuk perintah yang menurut ilmu ushul fiqih, perintah pada asalnya menunjukan wajib selama tidak ada dalil yang merubah ketentuan tersebut ( الاصل فى الامر للوجوب).
Fiqih membahas tentang bagaimana cara tentang beribadah, tentang prinsip rukun Islam dan hubungan antara manusia sesuai dengan dalil-dalil yang terdapat dalam Al-Qur'an dan Sunnah. Oleh karena itu hubungan diantara Qowa’id al- fiqhiyah dengan fiqih sangat erat sekali karena qowa’id fiqhiyah dapat dijadikan sebagai kerangka acuan dalam mengetahui hukum perbuatan seorang mukalaf. Ini karena dalam menjalanklan hukum fiqih kadang-kadang mengalami kendala-kendala. 
Misalnya kewajiban shalat lima waktu yang harus dikerjakan tepat pada waktunya. Kemudian seorang mukalaf dalam menjalankan kewajibannya mendapat halangan, misalnya ia diancam bunuh jika mengerjakan shalat tepat pada waktunya. Dalam kasus seperti ini, mukalaf tersebut boleh menunda sholat dari waktunya karena jiwanya terancam. Hukum  boleh ini dapat ditetapkan lewat pendekatan qawaid fiqhiyah, yaitu dengan menggunakan qaidah :”الضرار يزال bahaya wajib dihilangkan. Ini adalah salah satu perbedaan antara ushul fiqih dengan qowa’id fiqih.
Qowa’id fiqih  merupakan kunci berpikir dalam pengembangan dan seleksi hukum fiqih. Dengan bantuan qawa’id al fiqhiyah semakin tampak jelas semua permasalahan hukum baru yang tumbuh ditengah-tengah masyarakat dapat ditampung oleh syari’at Islam dan dengan mudah serta cepat dapat dipecahkan permasalahannya. Persoalan baru semakin banyak tumbuh dalam masyarakat seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan masyarakat itu sendiri. Maka diperlukan kunci berfikir guna memecahkan persoalan masyarakat sehingga tidak menjadi berlarut-larut tanpa kepastian hukum. Dengan demikian qawa’id al fiqhiyah sangat berhubungan dengan tugas pengabdian ulama ahli fiqih dalam rangka mengefektifkan dan mendinamiskan ilmu fiqih ke arah pemecahan problema hukum masyarakat
Adapun dalam kaitannya dengan fiqih muamalah hampir sama dengan fiqih pada umumnya akan tetapi dalam fiqih muamalah objek kajian dikhususkan pada lingkup muamalah saja yaitu hal yang berkaitan hubungan antara sesama manusia.Berikut ayat yang menjelaskan keterkaitan antara fiqh, ushul fiqh, dan qawaid fiqh:
Artinya: “Allah Telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”. (QS. Al Baqarah: 275)
Ushul fiqih muamalah contohnya seperti ayat yang menghalalkan jual beli sedangkan fiqihnya yaitu mubah (boleh), dan untuk qowa’id fiqihnya yaitu:
الأَصْلُ فِي المُعَامَلَةِ الإِبَاحَةُ الاَّ أَنْ يَدُ لَّ  دَلِيْلٌ عَلىَ تَحْرِيْمِهَا
“Hukum asal  semua bentuk muamlah adalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang Mengharamkannya.”
Demikianlah hubungan antara ushul fiqih, qowa’id fiqih dan fiqih muamalah. Hukum syara’ tentang muamalah (fiqih muamalah) adalah hukum yang diistinbath dari nash al-Qur’an dan sunnah melalui pendekatan ushul fiqih. Hukum yang telah diistinbath tersebut diikat oleh qowa’id fiqhiyah, dengan maksud supaya lebih mudah difahami dan diidentifikasi.


D.    Tujuh  Kaidah Utama Dalam Qawa’id Fiqiyyah
Kaidah-kaidah fiqh adalah kaidah-kaidah yang disimpulkan secara general dari materi fiqh dan kemudian digunakan pula untuk menentukan hukum dari kasus-kasus baru yang timbul, yang tidak jelas hukumna di nash. Adapun manfaatnya adalah memberi kemudahan di dalam menemukan hukum-hukum untuk kasus-kasus hukum yang baru dan tidak jelas nashnya dan memungkinkan menghubungkannya dengan materi-materi fiqh yang lain yang tersebar di berbagai kitab fiqh serta memudahkan di dalam memberikan kepastian hukum.
Di bawah ini diuraikan beberapa kaidah fiqh yang terdapat di dalam beberapa kitab-kitab kaidah yang dianggap mencakup pula kepada berbagai bidang fiqh, antara lain:
1.    Kaidah Fiqh Pertama
الاجتهاد لاينقص بالاجتهاد
“ijtihad yang telah lalu tidak dibatalkan oleh ijtihad yang kemudian”
Maksud dari kaidah di atas adalah bahwa suatu hasil ijtihad di masa lalu tidak berubah karena ada hasil ijtihad baru dalam kasus yang sama. Seperti yang dikatakan oleh Umar Ibn al-Khattab:” itu adalah yang kami putuskan pada masa lalu dan ini adalah yang kami putuskan sekarang”
Contoh dari kaidah di atas adalah bila seseorang menginginkan sholat akan tetapi tidak menemukan air, maka ia diperbolehkan untuk bertayamum (ijtihad I), seusai sholat ia menemukan air, maka ia tidak wajib mengulang sholatnya (ijtihad II). Contoh lain adalah seorang hakim dengan ijtihadnya menjatuhkan hukuman kepada seorang pelaku kejahatan dengan dijatuhi hukuman tujuh tahun. Kemudian dalam kasus yang sama, datang lagi pelaku kejahatan, tetapi hakim menjatuhkan hukuman penjara seumur hidup, karena ada pertimbangan-pertimbangan lain yang berbeda dengan  pelaku kejahatan yang pertama. Jadi bukan keadilan yang berbeda, tapi pertimbangan keadaan dan hukumnya yang berbeda, maka hasil ijtihadnya pun berubah, meskipun kasusnya sama, misalnya korupsi dan lain-lain.
2.    Kaidah Fiqh Kedua
الايثار بالقرب مكروه وفى غيرها محبوب
“mengutamakan orang lain dalam ibadah dimakruhkan sedang selain ibadah disenangi.
     Kaidah di atas menjelaskan bahwa tidak boleh mendahulukan orang lain dalam hal ibadah seperti mendapatkan kesempatan barisan pertama dalam sholat, meminang seorang wanita dan mendapatkan kesempatan air suci dalam berwudhu. Sedang dalam masalah keduniaan maka disunnatkan mendahulukan orang lain seperti mendahulukan orang lain dalam menerima zakat dan lain-lain.
3.      Kaidah Fiqh Ketiga
اذااجتمع الحلال والحرام غلب الحرام
apabila antara yang halal dan yang haram berkumpul maka dimenangkan yang haram.
Pada kaidah tersebut menunjukkan adanya prioritas untuk mendahulukan yang haram, ini berarti apabila ada dua dalil yang bertentangan mengenai satu masalah, ada yang menghalalkan dan ada pula yang mengharamkan, maka dua dalil itu dipilih yang mengharamkan, karena itu lebih ikhtiyat. Seperti ketetapan khalifah Utsman bin Affan ketika ditanya ketentuan mengawini dua saudara, yang satu berstatus merdeka dan yang lain berstatus budak sahaya. Dalam QS. An-Nisa’:22, tidak boleh mengumpulkan dua saudara wanita untuk dinikahi. Sedang dalam QS. An-Nisa’:23, memperbolehkannya asal yang satu menjadi budak sahaya, maka keputusan beliau adalah melarangnya, sesuai dengan kaidah di atas.
4.      Kaidah Fiqh Keempat
التابع تابع
“pengikut (hukumnya) itu tetap sebagai pengikut yang mengikuti”
Cabang dari kaidah ini adalah :
التابع لايفرد بالحكم
“pengikut itu tidak menyendiri di dalam hukum”
Contohnya : anak kambing di dalam perut tidak boleh dijual dengan sendirinya, terjualnya induk merupakan terjualnya anak kambing tersebut.
Cabang Kedua:
التابع ساقط بسقوط المتبوع
“pengikut menjadi gugur dengan gugurnya yang diikuti”
Contohnya: tidak boleh mengawini saudara wanita istri, tapi jika istrinya telah dicerai maka wanita tersebut boleh dikawininya.
Cabang Ketiga :
التابع لايتقدم على المتبوع
Pengikut itu tidak mendahului yang diikuti”
Contohnya : tidak sah makmum mendahului imam.
Cabang Keempat :
يغتفر فى التوابع مالا يغتفر فى غيرها
dapat dimaafkan pada hal yang mengikuti dan tidak dimaafkan pada yang lainnya”
Contohnya : mewakafkan sebidang kebun yang tanamannya sudah rusak, maka wakaf itu sah, karena yang rusak adalah tanaman yang mengikuti kebun.
5.    Kaidah Fiqh Kelima
تصرف الامام على الرعية منوط بالمصلحة
“tindakan imam terhadap rakyatnya harus dikaitkan dengan kemaslahatannya”
Kaidah tersebut bersumber dari perkataan Imam Syafi’I, bahwa kedudukan imam (Pemimpin) terhadap rakyatnya sama halnya dengan kedudukan wali terhadap anak yatim. Ungkapan tersebut berasal dari qaul Umar bin Khattab yang berbunyi “sungguh aku menempatkan diriku terhadap harta Allah seperti kedudukan wali terhadap anak yatim”. Jadi, kaidah di atas menyangkut kebijakan pemimpin harus bertujuan memberi kemaslahatan manusia.
6.     Kaidah Keenam
الحود تسقط بالشبهات
   hukuman had gugur bila masih meragukan (Syubhat)
Contohnya : hubungan seksual laki-laki terhadap wanita yang dikira    istrinya. Hal ini tidak dapat dijatuhkan had sebab hukumnya masih syubhat.
7.      Kaidah Ketujuh
الحريم له حكم ما هو حريم له
“yang menjaga sesuatu hukumnya sama dengan apa yang dijaga”
Contoh : wajib mencuci sebagian leher dan kepala ketika mencuci muka, sebagian lengan atas (sampai siku-siku), mencuci sebagian atas mata kaki dalam wudhu.[10]

DAFTAR PUSTAKA
Athiyah ‘Adlan ‘Athiyah Ramadhan, Mausu’ah al-Qawa’id al-Fiqhiyyah, (al-Iskandariyah: Dar al Qimmah – Dar al Iman, t.th).
Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, (Jakarta: AMZAH, 2011).
Abdul Azis Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid 3, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Houve, 1996).
Ade Dedi Rohayana, Ilmu Qawa’id Fiqhiyyah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2008).
Djazuli, kaidah-kaidah fikih: kaidah-kaidah dalam hokum islam dalam menyelesaikan malah yang praktis, Jakarta: Kencana 2011


[1] Dalam bahasa Indonesia, kata kaidah yang mengandung arti rumusan dari asas-asas yang menjadi hokum; aturan yang tentu; patokan;dalil. Tim Punyusun, Kamus, hlm. 376. Selanjutnya dalam tulisan ini, kecuali dalam hal-hal tertentu, kata kaidah akan dipakai untuk menunjuk pengertian qa’idah dalam bahasa Arab.
[2] Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, (Jakarta: AMZAH, 2011), hlm. 10
[3] Abd. Rahman Dahlan. hlm. 10
[4] Syarif Hidayatullah, Qawa’id Fiqhiyyah Dan Penerapannya Dalam Transaksi Keuangan Syari’ah Kontemporer, (Jakarta: Gramata Publishing, 2012), hlm. 16-17.
[5] Abdul Azis Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid 3, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Houve, 1996), hlm. 860.
[6] Dr. Ahmad Sudirman Abbas, MA, Sejarah Qawa’id Fiqhiyyah (Jakarta: Radar Jaya Offset, 2004), hal.1
[7] Ibid, hal 9
[8] Dr. Ahmad Sudirman Abbas, MA,SejarahQawa’id Fiqhiyyah(Jakarta: Radar Jaya Offset, 2004), hal. 11
[9] Hasbiyallah, Fiqh dan Ushul Fiqh Metode Istinbath dan Istidlal, (Bandung: PT Remaja, 2014), h. 4
[10] Djazuli, kaidah-kaidah fikih: kaidah-kaidah dalam hokum islam dalam menyelesaikan malah yang praktis, Jakarta: Kencana 2011

No comments:

Post a Comment