1

loading...

Thursday, November 8, 2018

MAKALAH ILMU FIQH : " MUNAKAHAT " (PEMINANGAN DAN PERNIKAHAN : PENGERTIAN, HUKUM, HIKMAH, SYARAT DAN RUKUN)

MAKALAH ILMU FIQH : " MUNAKAHAT " (PEMINANGAN DAN PERNIKAHAN : PENGERTIAN, HUKUM, HIKMAH, SYARAT DAN RUKUN)

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Pada dasarnya hukum Islam sudah mengatur tentang pernikahan sesuai dengan ketentuan syari’at Islam. secara garis besar hukum Islam terbagi menjadi dua yitu fiqih ibadah dan fiqih muamalat. dalam fiqih ibadah meliputi aturan tentang shalat,puasa,zakat,haji,nazar dan sebagainya yang bertujuan untuk mengatur hubungan antara manusia dengan tuhannya. sedangkan fiqih muamalah ini mengatur hubungan antara manusia dengan sesamanya seperti perikatan,sanksi hukum dan aturan lain agar terwujud ketertiban dan keadilan baik secara perorangan maupun kemasyarakatan.
Dalam ilmu fiqih membahas tentang pernikahan. yang dimaksud dengan nikah menurut bahasa berasal dari bahasa arab yaitu nakaha yankihu nikahan yang berarti kawin. dalam istilah nikah adalah ikatan suami istri yang sah menimbulkan akibat hukum dan hak serta kewajiban bagi suami istri. dalam hukum kekeluargaan harus disertai dengan kuat agama yang disyariatkan Islam. beberapa hukum tersebut dapat dipelajari dalam al-qur’an dan as-sunnah.
Sebenarnya pertalian nikah adalah pertalian yang seteguh-teguhnya dalam hidup dan kehidupan manusia, bukan saja antara suami istri dan keturunannya, melainkan antara dua keluarga. faedah terbesar pernikahan ialah untuk menjaga dan memelihara perempuan yang bersifat lemah itu dari kebinasaan sebab seorang perempuan apabila ia sudah menikah maka biaya hidupnya wajib ditanggung oleh suaminya. demikianlah maksud pernikahan sejati dalam Islam. selanjutnya akan dibahas dibab pembahasan.

B.     Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dari latar belakang diatas sebagai berikut :
1.      Apa pengertian dari Peminangan ?
2.      Apa pengertian dari Pernikahan?
3.      Bagaimana Hukum Pernikahan?
4.      Apa syarat dan rukun Nikah?
5.      Apa Hikmah pernikahan?

C.    Tujuan Penulisan
1.      Agar mahasiswa dapat memahami pengertian peminangan
2.      Agar mahasiswa dapat memahami pengertian pernikahan
3.      Agar mahasiswa dapat mengetahui hukum Pernikahan
4.      Agar mahasiswa dapat mengetahui syarat dan rukun nikah
5.      Agar mahasiswa dapat mengetahui hikmah pernikahan


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Peminangan
Meminang artinya menyatakan permintaan untuk menikah dari seseorang laki-laki kepada seorang perempuan atau sebaliknya dengan perantaraan seorang yang dipercayai. meminang dengan cara diperbolehkan dalam Islam terhadap gadis atau janda yang telah habis iddahnya kecuali perempuan yang masih dalam iddah ba’in[1] sebaiknya dengan jalan sindiran saja, seperti firman Allah Swt:
وَلاَجُنَاحَ عَليكُم فِيمَا عَرَضْتُم بِه مِنْ خِطْبَةِ النِّسآء
Artinya :” Dan tidak ada dosa bagi  kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran” (Al-Baqarah :235)
Meminang atau khitbah adalah permintaan seoang laki-laki kepada seorang perempuan untuk menjadi istrinya,dengan cara-cara tertentu yang sudah umum berlaku dimasyarakat setempat. Meminang termasuk usaha pendahuluan dalam rangka pernikahan. Allah menggariskan agar masing-masing pasangan yang mau menikah, lebih dulu saling mengenal sebelum melakukan akad nikah, sehingga pelaksanaan pernikahan benar-benar berdasarkan pandangan dan penilaian yang jelas. Namun perlu diperhatikan, bahwa peminangan belum menimbulkan akibat hukum, sehingga laki-laki maupun wanita dapat memutuskan peminangan.
Adapun wanita yang boleh dipinang sebagai berikut :
1.        Pada waktu dipinang tidak ada halangan hukum yang melarang dilangsungkannya pernikahan.
2.        Belum dipinang orang lain secara sah
Apabila terdapat halangan hukum maka tidak boleh dipinang, misalnya si wanita karena sesuatu hal haram dinikahi selamanya atau sementara atau telah dipinang lebih dulu oleh orang lain. Adapun wanita yang tidak boleh dipinang yaitu :
1.      Wanita bekas istri orang lain yang sedang dalam masa iddah
2.      Wanita pinangan orang lain.[2]
Meminang atau khitbah merupakan langkah-langkah pendahuluan menjelang perkawinan. Allah ta’ala telah mensyari’atkan khitbah sebelum hubungan perkawinan dimulai, yakni sebelum diadakan akad nikah, dengan maksud agar kedua belah pihak saling kenal mengenal terlebih dahulu, sehingga perkawinan yang akan mereka tempuh betul-betul didasarkan pada saling pengertian dan keterusterangan.
Wali berkewajiban memilih calon suami untuk anak gadisnya. Ia tidak boleh mengawinkan anaknya itu kecuali dengan laki-laki yang beragama dan berakhlak baik, sehingga dapat berumah tangga dengan anak tersebut dengan baik tanpa menganiayanya.
Petnah Hasan bin ‘Ali ditanya seseorang, katanya: ‘Sesungguhnya saya ini mempunyai seorang anak gadis, dengan siapakah sebaiknya ia saya kawinkan menurut tuan?”
“Kawinkanlah dengan laki-laki yang bertaqwa kepada Allah,” jawab Hasan.“Kalau laki-laki itu mencintai anakmu, ia akan memulaikannya, dan kalau tidak cinta pun tak kan menganiaya dia.”
Wanita Manakah Yang Boleh Dipinang?. Wanita yang boleh dipinang hanyalah wanita yang telah memenuhi syarat sebagai berikut:
-          Pertama,Tidak ada halangan Syar’i yang menyebabkan laki-laki dilarang memperisterikannya saat itu.
-          Kedua,Tidak ada laki-laki lain yang telah lebih dahulu meminangya secara sah.
Jadi kalau ada halangan Syar’i, umpamanya wanita itu memang tak boleh dikawin (Muharramah), baik untuk sementara atau selama-lamanya, atau sudah ada laki-laki lain yang meminangnya lebih dulu, maka wanita itu tak boleh dipinang.



B.     Pengertian Pernikahan
Nikah menurut bahasa berasal dari kata nakaha yankihu nikahan yang berarti kawin. dalam istilah nikah berarti ikatan suami istri yang sah yang menimbulkan akibat hukum dan hak serta kewajiban bagi suami isteri.[3] 
Menurut Sajuti Thalib, Pernikahan adalah suatu perjanjian yang suci kuat dan kokoh untuk hidup bersama secarah sah antara seorang laki-laki dengan seorang prempuan membentuk keluarga yang kekal, santun-menyantuni, kasih-mengasihi, tentram dan bahagia.[4]
Dalam UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974 seperti yang termuat dalam pasal 1 ayat 2 perkawinan didefinisikan sebagai:
“Ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami-istri dengan tujuan membentuk keluarga, rumah tangga, yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Menurut Kompilasi Hukum Islam, seperti yang terdapat pada Pasal 2 dinyatakan bahwa perkawinan dalam hukum Islam adalah,
“Pernikahan yaitu akad yang sangat kuat untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan Ibadah”.
Dalam buku fiqih wanita yang dimaksud Nikah atau perkawinan adalah Sunnatullah pada hamba-hamba-Nya. Dengan perkawinan Allah menghendaki agar mereka mengemudikan bahtera kehidupan.
Sunnatullah yang berupa perkawinan ini tidak hanya berlaku dikalangan manusia saja, tapi juga didunia binatang. Allah Ta’ala berfirman:

وَمِنْ كُلِّ شَيْءٍ خَلَقْنَا زَوْجَيْنِ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ
“Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat akan kebersamaan Allah.”
Namun demikian, Allah SWT tidak menghendaki perkembangan dunia berjalan sekehendaknya.Oleh sebab itu diatur-Nya lah naluri apapun yang ada pada manusia dan dibuatkan untuknya prinsip-prinsip dan undang-undang, sehingga kemanusiaan manusia tetap utuh, bahkan semakin baik, suci dan bersih.Demikianlah, bahwa segala sesuatu yang ada pada jiwa manusia sebenarnya tak pernah terlepasdari didikan Allah.
Menurut pengertian sebagian fukaha, perkawinan ialah aqad yang mengandung ketentuan hukum kebolehan hubungan kelamin dengan lafadz nikah atau ziwaj atau semakna keduanya. Pengertian ini dibuat hanya melihat dari satu segi saja ialah kebolehan hukum, dalam hubungan antara seorang laki-laki dan seorang wanita yang semula dilarang menjadi dibolehkan. Perkawinan mengandung aspek akibat hukum melangsungkan perkawinan ialah saling mendapat hak dan kewajiban serta bertujuan mengadakan hubungan pergaulan yang dilandasi tolong-menolong. Karena perkawinan termasuk pelaksanaan agama, maka di dalamnya terkandung adanya tujuan/maksud mengharapkan keridhaan Allah SWT. Perkawinan ialah suatu aqad atau perikatan untuk menghasilkan hubungan kelamin antara laki-laki dan perempuan dalam rangka mewujudkan kebahagian hidup berkeluarga yang meliputi rasa ketenteraman serta kasih sayang dengan cara yang diridhai Allah SWT.[5]
Dari berbagai pengertian diatas, dapat di simpulkan bahwa pernikahan adalah sebuah ikatan lahir dan batin antara pria dan wanita masing-masing menjadi suami dan istri dalam rangka memperoleh kebahagian hidup dan membangun keluarga.[6]

C.    Hukum Nikah
1.      Jaiz, (diperbolehkan) ini asal hukumnya
2.      Sunnat, bagi orang yang berkehendak serta mampu memberi nafkah
3.      Wajib, bagi orang yang mampu memberi nafkah dan dia takut akan tergoda pada kejahatan (zina)
4.      Makruh, bagi orang yang tidak mampu memberi nafkah
5.      Haram, bagi orang yang berniat kan menyakiti perempuan yang dinikahinya.[7]
Bagi orang yang telah mampu kawin, beristeri itu wajib hukumnya.Karena dengan beristeri itu hati lebih terpelihara dan lebih bersih dari desakan nafsu. Al-Qurthubi mengatakan: “Bagi orang yang mampu kawin, sedang dia khawatir dirinya terjerumus kedalam dosa sehingga agamanya tidak terpelihara akibat membujang, yang rasanyahal itu hanya bisa disembuhkan dengan perkawinan, maka tak ada perbedaan pendapat mengenai wajibnya perkawinan dalam keadaan seperti ini.

D.    Rukun dan Syarat Nikah
1.      Rukun perkawinan
a.       Dua orang yang saling melakukan aqad perkawinan, yaitu mempelai laki-laki dan mempelai perempuan.
b.      Adanya wali.
c.       Adanya 2 orang saksi 
d.      Dilakukan dengan shighat(akad) tertentu. sighat (akad) yaitu perkataan dari pihak perempuan seperti kata wali. tidak sah nikah kecuali dengan lafadz nikah.
2.      Syarat dua mempelai
Adapun syarat dua mempunyai ialah :
a.       Syarat pengantin pria
Syari'at Islam menentukan beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh calon suami berdasarkan ijtihad para ulama, ialah:
1)      Calon suami beragama Islam.
2)      Terang bahwa calon suami itu betul laki-laki.
3)      Orangnya diketahui dan tertentu.
4)      Calon mempelai laki-laki itu jelas halal kawin dengan calon istri.
5)      Calon mempelai laki-laki tahu/kenal pada calon istri serta tahu betul calon istrinya halal baginya.
6)      Calon suami ridha (tidak dipaksa) untuk melakukan perkawinan itu.
7)      Tidak sedang melakukan ihram.
8)      Tidak mempunyai istri yang haram dimadu dengan calon istri.
9)      Tidak sedang mempunyai istri empat.
b.      Syarat calon pengantin perempuan
Syari'at Islam menentukan beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh calon suami berdasarkan ijtihad para ulama, ialah:
1)      Calon suami beragama Islam.
2)      Terang bahwa ia wanita, bukan Khuntsa.
3)      Wanita itu tertentu orangnya.
4)      Halal bagi calon suami.
5)      Wanita tidak dalam ikatan perkawinan dan tidak masih dalam 'iddah.
6)      Tidak dipaksa/ikhtiyar.
7)      Tidak dalam keadaan ihram haji atau umrah.
c.       Syarat-syarat wali
Perkawinan dilangsungkan oleh wali pihak mempelai perempuan atau wakilnya dengan calon suami atau wakilnya.
Wali hendaklah seorang lelaki, muslim, baligh, berakal dan adil, artinya tidak fasik. Karena itu perkawinan tanpa wali dianggap tidak sah. Hal ini dilandaskan pada hadits Nabi SAW.

لا نكاح إلا بولى.(رواه الخمسة إلا أنسائى)
"Tidak ada perkawinan tanpa wali." (HR. Al Khomsah kecuali An Nasaiy)
Hanafi Tidak mensyaratkan wali dalam perkawinan. Perempuan yang telah baligh dan berakal, boleh mengawinkan dirinya sendiri, tanpa wajibdihadiri oleh dua orang saksi, sedang Malik berpendapat, wali adalah syarat untuk mengawinkan perempuan bangsawan, bukan untuk mengawinkan perempuan awam.[8]
Wali dan saksi bertanggung jawab atas sahnya akad nikah oleh karena itu,tidak semua orang dapat diterima menjadi saksi atau wali.tetapi hendaklah orang-orang yang memiliki beberapa sifat sebagai berikut :
1.      Islam. orang yang tidak beragama Islam tidak sah menjdi wali atau saksi.
2.      Balig. (sudah berumur 15 tahun)
3.      Berakal
4.      Merdeka
5.      Laki-laki
6.      Adil
Yang dianggap sah menjadi wali mempelai perempuan ialah menurut susunan yang akan diuraikan dibawah ini :
a.       Bapaknya
b.      Kakeknya (bapak dari bapak mempelai perempuan)
c.       Saudara laki-laki yang seibu sebapak dengannya.
d.      Saudara laki-laki yang sebapak saja dengannya.
e.       Anak laki-laki dari saudara laki-laki yang seibu sebapak dengannya.
f.       Anak laki-laki dari saudara laki-laki yang sebapak saja dengannya.
g.      Saudara bapak yang laki-laki (paman dari pihak bapak)
h.      Anak laki-laki pamanya dari pihak bapaknya
i.        Hakim[9]
d.      Syarat-syarat saksi
Saksi yang menghadiri akad nikah haruslah dua orang, lelaki, muslim, baligh, berakal, melihat dan mendengar serta mengerti (faham) akan maksud akad nikah. Tetapi menurut Hanafi dan Hambali, boleh juga saksi itu lelaki dan dua orang perempuan. Dan menurut Hanafi, boleh dua orang buta atau dua orang fasik (tidak adil).
Selanjutnya orang tuli, orang tidur dan orang mabuk tidak boleh menjadi saksi.Sebagian besar ulama berpendapat saksi merupakan syarat (rukun) perkawinan. Karena itu perkawinan (akad nikah) tanpa dua orang saksi tidak sah. Inilah pendapat Syafi'i, Hanafi dan Hambali.
1)      Bersifat adil
Menurut imam Hanafi untuk menjadi saksi dalam perkawinan tidak di syaratkan harus orang yang adil, jadi perkawinan yang di saksikan oleh dua orang fasik hukumnya sah.
Golongan Syafi’I berpendapat saksi itu harus orang yang adil, sebagaimana tersebut dalam hadis :’’ Tidak sah nikah tanpa wali dan dua orang saksi yang adil’’. Menurut mereka ini bila perkawinan di saksikan oleh dua orang yang belum di kenal adil tidaknya, maka ada dua pendapat tetapi menurut Syafi’I  kawin dengan saksi-saksi yang belum di kenal adil tidaknya, hukumnya sah.
2)      Perempuan Menjadi Saksi
Golongan Syafi’I dan Hambali mensyaratkan saksi haruslah laki-laki.Akad nikah dengan saksi seorang laki-laki dan dua perempuan, tidak sah, tetapi golongan Hanafi tidak mengharuskan syarat ini.Mereka berpendapat bahwa kesaksian dua orang laki-laki atau seorang laki-laki dan dua perempuan sudah sah.
3)      Harus Orang Merdeka
Abu Hanifah dan Syafi’I mensyaratkan orang yang menjadi saksi harus orang-orang yang merdeka, tetapi Ahmad juga mengharuskan syarat ini.Dia berpendapat akad nikah yang di saksikan dua orang budak, hukumnya sah sebagaimana sahnya kesaksian mereka dalam masalah-masalah lain, dan karena dalam al Qur’an maupun hadist tidak ada keterangan yang menolak seorang budak untuk menjadi saksi dan selama dia jujur serta amanah, kesaksiannya tidak boleh di tolak.
4)      Harus Orang Islam
Para ahli fiqih berbeda pendapat tentang syarat-syarat menjadi saksi dalam perkawinan bilamana pasangannya terdiri dari laki-laki dan perempuan muslim,apakah saksinya harus beragama Islam? juga mereka berbeda pendapat jika yang laki-lakinya beragama Islam, apakah yang menjadi saksi boleh orang yang bukan Islam? Menurut Ahmad, Syafi’I dan Muhammad bin Al-Hasan perkawinannya tidak sah, jika saksi-saksinya bukan Islam, karena yang kawin adalah orang Islam, sedang kesaksian bukan orang Islam terhadap orang Islam tidak dapat di terima.
Tetapi Abu Hanifah dan Abi Yusuf berpendapat bila perkawinan itu antara laki-laki muslim dan perempuan ahli Kitab maka kesaksian dua orang Ahli Kitab boleh di terima. Dan pendapat ini di ikuti oleh undang-undang perkawinan mesir.
e.       Syarat-syarat ijab qabul
Perkawinan wajib dilakukan dengan ijab kabul dengan lisan. Inilah yang dinamakan 'aqad nikah (ikatan atau perjanjian perkawinan). Bagi orang bisu sah perkawinannya dengan isyarat tangan atau kepala yang bisa dipahami.
Ijab dilakukan oleh pihak wali mempelai perempuan atau wakilnya, sedang kabul dilakukan oleh mempelai laki-laki atau wakilnya.
Menurut pendapat Hanafi, boleh juga ijab oleh pihak mempelai lelaki atau wakilnya dan kabul dan pihak perempuan (wali atau wakilnya) apabila perempuan itu telah baligh dan berakal, dan boleh sebaliknya.
f.       Ijab dan kabul merupakan syarat perkawinan
Ijab kabul ini dilakukan di dalam satu majelis dan tidak boleh ada jarak yang lama antara ijab dan kabul yang merusak kesatuan akad dan kelangsungan akad, dan masing-masing ijab dan kabul dapat didengar dengan baik oleh kedua belah pihak dan dua orang saksi.
Hanafi membolehkan ada jarak antara ijab dan kabul asal masih di dalam satu majelis dan tiada hal-hal yang menunjukkan salah satu pihak berpaling dari maksud akad itu.
Lafadz yang digunakan untuk akad nikah adalah lafadz nikah atau tazwij, yang terjemahannya adalah kawin dan nikah. Sebab kalimat-kalimat itu terdapat di dalam Sunnah dan Kitabullah. Demikian Asy-Syafi'i dan Hambali. Sedang Hanafi membolehkan dengan kalimat lain yang tidak dari Al-Qur'an, misalnya menggunakan majaz yang biasa digunakan dalam bahasa sastra atau biasa yang artinya perkawinan.
Akad nikah itu wajib dihindari oleh dua orang saksi lelaki, muslim, baligh, berakal, melihat (tidak buta), mendengar (tidak tuli) dan mengerti tentang maksud akad nikah, dan juga adil. Saksi merupakan syarat sah perkawinan.
Menurut Hanafi dan Hambali saksi itu boleh seorang lelaki dan boleh orang perempuan, sedang menurut Hanafi boleh saksi itu dua orang buta atau dua orang fasik (tidak adil). [10]
Untuk terjadinya akad yang mempunyai akibat-akibat hokum pada suami istri haruslah memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1.      Kedua belah pihak harus tamyiz
Bila salah satu pihak ada yang gila atau masih kecil dan belum tamyiz ( membedakan benar dan salah), maka pernikahannya tidak sah.
2.      Ijab qobulnya dalam satu majlis, yaitu ketika mengucapkan ijab qobul tidak boleh di selingi dengan kata-kata lain, atau menurut adat di anggap ada penyelingan yang menghalangi peristiwa ijab dan qobul.
Tetapi dalam ijab dan qobul tak ada syarat harus langsung.Bilamana majlisnya berjalan lama dan antara ijab dan qobul ada tenggang waktu, tetapi tanpa menghalangi upacara ijab qobul, maka di anggap satu majlis.Sama dengan ini pendapat golongan hanafi dan hambali.
Dalam kitab mughni disebutkan: bila ada tenggang waktu antara ijab qobul, maka hukumnya tetap sah, selagi dalam satu majlis juga tidak di selingi sesuatu yang mengganggu. Karena di pandang satu majlis selama terjadinya upacara akad nikah, dengan alasan sama dengan penerimaan tunai bagi barang yang di syaratkan di terima tunai, sedangkan bagi barang yang tidak di syaratkan tunai penerimaannya, barulah disana di benarkannya hak khiyar ( tetap jadi membeli atau membatalkan).
Bilamana sebelum di lakukan qobul telah berpisah, maka ijabnya batal.Karena makna ijab disini telah hilang.Sebab, menghalangi bisa dilakukan oleh pihak laki-laki dengan jalan berpisah diri, sehingga dengan demikian tidak terlaksana qobulnya.Begitu pula kalau kedua-duanya sibuk dengan sesuatu yang mengakibatkan terputusnya ijab qobul, maka ijabnya batal lantaran upacara qobulnya jadi terhalang.
Sedangkan golongan syafi’I mensyaratkan cara tersebut boleh asal segera. Mereka ( ahli fiqih) berkata bilamana ijab qabul di selingi oleh khutbah si wali, umpamanya: bismillah, Alhamdulillah, washshalatu wassalamu’ala rasulillah, aku terima akad nikahnya. Dalam hal ini ada dua pendapat.
Pertama: syaich Abu Hamid Asfara Yini berpendapat sah. Karena khutbah dan akad nikah di perintahkan agama.Dan perbuatan ini tidak merupakan halangan sahnya akad nikah, seperti halnya orang yang bertayamum antara dua shalat yang di jama’.
Kedua: tidak sah, sebab memisahkan acara ijab qabul , sebagaimana halnya kalau antara ijab qabul itu di pisahkan oleh hal-hal lain di luar khutbah. Dalam hal ini berbeda dengan hokum tayamum di antara dua shalat yang di jama’ itu memang ada di perintahkan agama, sedangkan khutbah nikah di perintahkan sebelum ijab qabul.
3.      Hendaklah ucapan qabul tidak menyalahi ucapan ijab, kecuali kalau lebih baik dari ucapan ijabnya sendiri yang menunjukkan pernyataan persetujuannya lebih tegas. Jika pengijab mengatakan: aku kawinkan kamu dengan anak perempuanku anu, dengan mahar Rp 100 umpamanya, lalu qabul menyebut : aku menerima nikahnya  dengan Rp 200 maka nikahnya sah, sebab qabulnya memuat hal yang lebih baik ( lebih tinggi nilainya) dari yang di nyatakan pengijab.[11]
Kata-kata dalam ijab dan qabul
Di dalam melakukan ijab qabul haruslah di pergunakan kata-kata yang dapat di pahami oleh masing-masing pihak yang melakukan akad nikah sebagai menyatakan kemauan yang timbul dari kedua belah pihakuntuk nikah, dan tidak boleh menggunakan kata-kata yang samara tau kabur.
Jika kata-kata dalam ijab dan qabul dapat dig anti dengan kata-kata kiasan, maka sahlah hukumnya, seperti halnya dengan menyatakan cerai dengan kata-kata kiasan.


Ijab qabul Bukan dengan Bahasa Arab
Para ahli fiqih sependapat, ijab qabul boleh dilakukan dengan bahasa selain arab, asalkan memang pihak-pihak yang berakat baik semua atau salah satunya tidak tahu bahasa arab. Mereka berbeda pendapat bagaimana bila kedua belah pihak paham pahasa arab dan bisa melaksanakan ijab qbulnya dengan bahasa ini.
Ibnu Qudamah dalam kitab mughni mengatakan bagi orang yang mampu mempergunakan bahasa Arab dan ijab qabulnya, tidak sah menggunakan selain bahasa arab. Demikian salah satu pendapat dari imam syafi’i.menurut imam Abu Hanifah boleh, sebab ia telah menggunakan kata-kata tertentu yang di gunakan ijab qobul sebagaimana juga dalam bahasa Arab
Ijab qabulnya Orang Bisu
Ijab qabul orang bisu sah dengan isyaratnya, bilamana dapat di mengerti, sebagaimana halnya akad jual belinya yang sah dengan jalan isyaratnya, karena isyarat itu mempunyai makna yang dapat di mengerti. Tetapi kalau salah satu pihaknya tidak memahami isyaratnya, ijab qabulnya tidak sah,sebab yang melakukan ijab qabul hanyalah antara dua orang yang bersangkutan itu saja.
Ijab Qabulnya Orang yang Gaib (Tidak Hadir)
Bilamana salah seorang dari pasangan pengantin tidak ada tetapi tetap mau melanjutkan aqad nikahnya, maka wajiblah ia mengirim wakilnya atau menulis surat kepada pihak lainnya meminta di akadnikahkan, dan pihak yang lain ini jika memang mau menerima hendaklah ia menghadirkan para saksi dan membacakan isi suratnya kepada mereka atau menunjukkan wakilnya kepada mereka dan mempersaksikan kepada mereka di dalam majlisnya bahwa akad nikahnya telah di terimanya. Dengan demikian qabulnya di anggap masih dalam satu majlis.[12]


E.     Hikmah Pernikahan
Islam menganjurkan menikah.itu merupakan kabar gembira, sebagaimana dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah karena nikah berpengaruh besar (secara positif) baik bagi pelakunya, masyarakat maupun seluruh  umat manusia. jadi, banyak sekali hikmah yang terkandung dalam nikah, baik ditinjau aspek sosial,psikologi, maupun kesehatan. adapun hikmah pernikhan sebagai berikut :
1.      Menyalurkan Naluri seks
Naluri seks merupakan naluri terkuat yang selamanya menuntut jlan keluar. orang yang tidak bisa mencarikan jalan keluar untuk memuaskannya, serin mengalami goncangan dan kekacauuan bahkan tidak jarang seseorang melakukan kejahatan karenanya menikah merupakan jalan keluar yang paling aman untuk menyalurkan naluri seks.
2.      Jalan mendapatkan keturunan yang sah
Nikah merupakan jalan terbaik untuk mendapatkan keturunan mulia (terhormat). melalui pernikahan, keturunan menjadi banyak, kehidupan menjadi lestari, dan keturunan terpelihara sehingga kelangsungan hidup suatu negara atau bangsa dapat terwujud.
3.      Penyaluran naluri kebapakan dan keibuan
Mereka yang telah menikah dan memperoleh anak, naluri kebapakan dan naluri keibuan akan tumbuh saling melengkapi dalam suasana hidup kekeluargaan. ini akan menimbulkan perasaan ramh, saling mencintai, dan saling menyayangi antara satu dengan anggota keluarga lainnya.
4.      Dorongan untuk bekerja keras
Orang telah menikah dan memperoleh anak akan terdorong menunaikan tanggung jawab dan kewajibannya dengan baik sehingga dia akan bekerja keras untuk melaksanakan kewajibannya.
5.      Pengaturan hak dan kewajiban dalam rumah tangga
Melalui perkawinan akan timbul hak dan kewajiban suami isteri secara seimbang, juga adanya pembagian tugas antara suami istri dalam hubungannya dengan pengembangan generasi yang baik dimasa mendatang.[13]
6.      Membuahkan tali kekeluargaan, memperteguh kelanggengan rasa cintaantar keluarga dan memperkuat hubungan kemasyarakatan.
7.      Pembagian tugas dan tanggung jawab suami istri dengan adil.[14]

BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
1.      Dalam Islam dianjurkan untuk Menikah. sebelum melaksanakan pernikahan harus memulai dengan pinangan. yang dimaksud meminang atau khitbah adalah permintaan seorang laki-laki kepada seorang perempuan untuk menikahinya,baik dilakukan oleh laki-laki secara langsung maupun oleh pihak yang dipercayainya sesuai dengan aturan agama.yang dimaksud dengan nikah adalah akad yang menghalalkan pergaulan dan membatasi hak dan kewajiban serta tolong-menolong antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang bukan mahram.
2.      Hukum nikah ada 5 yakni :
a.       Jaiz, (diperbolehkan) ini asal hukumnya
b.      Sunnat, bagi orang yang berkehendak serta mampu memberi nafkah
c.       Wajib, bagi orang yang mampu memberi nafkah dan dia takut akan tergoda pada kejahatan (zina)
d.      Makruh, bagi orang yang tidak mampu memberi nafkah
e.       Haram, bagi orang yang berniat kan menyakiti perempuan yang dinikahinya.
3.      Rukun nikah ada 4 yakni : Sighat (akad), Wali (wali si perempuan), Dua orang saksi dan Calon pengantin
4.      Adapun syarat wali dan dua orang saksi yaitu : Islam, Baligh, Berakal, Merdeka, Laki-laki dan Adil
5.      Adapun Hikmah nikah yaitu : menyalurkan naluri seks, jalan mendapatkan keturunan yang sah, penyaluran naluri kebapakan dan keibuan, dorongan untuk bekerja keras, pengaturan hak dan kewajiban dalam rumah tangga.

B.     Kritik dan Saran
Penulis menyadari masih banyak terdapat kesalahan serta kekurangan baik dalam penulisan maupun penyajian, oleh karenanya penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi kebaikan makalah ini kedepannya.
DAFTAR PUSTAKA
Darajdat, Zakiah. 1995. Ilmu Fiqih Jilid 2.Yogyakarta: PT Dana Bhakti Wakaf.
Na’im, Abdul Haris. 2008. Fiqih Munakahat. Kudus: Stain Kudus.
Nuruddin, Amiur dan Azhari Akmal Taringan. 2004. Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta : Kencana.
Rasjid, Sulaiman.2012. Fiqh Islam. Bandung: Sinar Baru Algesindo.
Sabiq, sayyid. 1980.  Fiqih Sunnah 6.Bandung: PT Alma’arif.
Supiana-Karman Muhammad. Materi Pendidikan Agama Islam. Bandung:PT Remaja Rosdakarya



[1] Rasjid, Sulaiman.Fiqh Islam.Bandung:Sinar Baru Algesindo.Hal 380
[2] Na’im,Abdul Haris.Fiqih Munakahat. Kudus:Stain Kudus.Hal 31-35
[3] Na’im,Abdul Haris.Fiqih Munakahat.Kudus:Stain Kudus.Hal 17
[4] Amir Nurruddin dan Azhari Akmal Taringan, Hukum perdata Iskam di Indonesia,(Jakarta:Kencana:2004), hlm. 40.
[5] Darajdat,Zakiah.Ilmu Fiqih.Yogyakarta:PT Dana Bhakti Wakaf. Hal 37
[6] Ibid., hlm. 42.
[7] Rasjid, Sulaiman.Fiqh Islam.Bandung:Sinar Baru Algesindo.Hal 381-382
[8] Darajdat,Zakiah.Ilmu Fiqih.Yogyakarta:PT Dana Bhakti Wakaf. Hal 77
[9] Rasjid, Sulaiman.Fiqh Islam.Bandung:Sinar Baru Algesindo.Hal 383-384
[10] Darajdat,Zakiah.Ilmu Fiqih.Yogyakarta:PT Dana Bhakti Wakaf. Hal 82
[11] Sabiq,sayyid.1980.Fiqih Sunnah 6.Bandung:PT Alma’arif.Hal 53-59
[12] Sabiq,sayyid.1980.Fiqih Sunnah 6.Bandung:PT Alma’arif.Hal 90-92
[13] Supiana-Karman Muhammad.Materi Pendidikan Agama Islam.Bandung:PT Remaja Rosdakarya. Hal 129-130
[14] Na’im,Abdul Haris. Fiqih Munakahat. Kudus:Stain Kudus.Hal 26.

No comments:

Post a Comment