MAKALAH ZAKAT PROFESI
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Zakat berbeda
dengan sumber-sumber pendapatan negara yang lainnya di mana tanggung-jawab
membayar zakat adalah merupakan sebahagian dari ibadah dalam kehidupan kaum
Muslim. Allah telah menyatakan dalam al-Quran bahwa menunaikan zakat itu adalah
merupakan sebahagian dari ciri-ciri seorang Muslim.
Zakat profesi
merupakan salah satu kasus baru dalam fiqh (hukum Islam). Al-Quran dan
al-Sunnah, tidak memuat aturan hukum yang tegas mengenai zakat profesi ini.
Begitu juga ulama mujtahid seperti Abu Hanifah, Malik, Syafi^i, dan Ahmad ibn
Hanbal tidak pula memuat dalam kitab-kitab mereka mengenai zakat profesi ini.
Hal ini disebabkan oleh terbatasnya jenis-jenis usaha atau pekerjaan masyarakat
pada masa Nabi dan imam mujtahid.
Sedangkan hukum
Islam itu sendiri adalah refleksi dari peristiwa-peristiwa hukum yang terjadi
ketika hukum itu ditetapkan. Tidak munculnya berbagai jenis pekerjaan dan jasa
atau yang disebut dengan profesi ini pada masa Nabi dan imam-imam mujtahid masa
lalu, menjadikan zakat profesi tidak begitu dikenal (tidak familiar) dalam
Sunnah dan kitab-kitab fiqh klasik. Dan adalah wajar apabila sekarang terjadi
kontroversi dan perbedaan pendapat ulama di sekitar zakat profesi ini. Ada
ulama yang mewajibkannya dan ada pula ulama yang secara apriori tidak
mewajibkannya.[1]
B. RUMUSAN MASALAH
·
Pengertian zakat profesi
·
Profesi wajib zakat
·
Zakat penghasilan
·
Penghasilan yang harus di bayar zakat
C. TUJUAN PENULISAN
·
Memahami tentang zakat penghasilan dan zakat profesi dlam perspektif islam
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN ZAKAT PROFESI
Zakat profesi
terdiri dari dua kata yaitu zakat dan profesi. Dalam literatur fiqh klasik
pengertian zakat adalah hak yang dikeluarkan dari harta atau badan. Sehubungan
dengan hal ini, Wahbah al-Zuhayly mengemukakan bahwa zakat adalah penuanaian
hak yang wajib yang terdapat dalam harta. Dalam kamus Bahasa Indonesia, profesi
adalah bidang pekerjaan yang dilandasi pendidikan keahlian (keterampilan,
kejujuran, dan sebagainya) tertentu (Kamus Bahasa Indonesia dalam Muhammad
2002: 58). Zakat profesi adalah zakat yang di keluarkan dari hasil apa yang di
peroleh dari pekerjaan dan profesinya. Misalnya pekerjaan yang menghasilkan
uang baik itu pekerjaan yang dikerjakan sendiri tampa tergantung dengan orang
lain, berkat kecekatan tangan ataupun otak (professional). Maupun pekerjaan
yang dikerjakan seseorang buat pihak lain baik
pemerintah,
perusahaan, maupun perorangan dengan memperoleh upah yang diberikan, dengan
tangan, otak, ataupun keduanya. Penghasilan dari pekerjaan seperti itu berupa
gaji, upah, ataupun honorarium. Yang demikian itu apabila sudah mencapai
nisabnya dan haulnya pendapatan yang ia hasilkan harus di keluarkan zakatnya.
(Qardawi, 2007: 459).
Menurut
Wikipedia, zakat profesi adalah zakat yang dikeluarkan dari penghasilan profesi
( guru, dokter, aparat, dan lain-lain ) atau hasil profesi bila telah sampai
pada nisabnya. Berbeda dengan sumber pendapatan dari pertanian, peternakan dan
perdagangan, sumber pendapatan dari profesi tidak banyak dikenal di masa
generasi terdahulu.
Dalam pandangan
al-Ghazali zakat merupakan jenis ibadah yang berbentuk ritual sekaligus
material tidak seperti ibadah syahadat, shalat atau puasa (Al-Ghazali dalam Muhammad
Hadi 2010: 68). Untuk bisa sampai ke arah sana diperlukan pemahaman yang
memadai untuk menyadarkan bahwa kewajiban zakat bukanlah sekedar amaliah ritual
mahdhah saja, tetapi juga memiliki makna kewajiban sosial. Zakat adalah
kesalehan diri melalui ikhtiar sosial. Agar sampai kepada kesadaran seperti itu
diperlukan penyadaran yang dibarengi dengan tindakan amal-amal sosial, termasuk
mengeluarkan zakat, infak dan shadaqah. Karena dalam ajaran zakat ini pandangan
dan komitmen sosialnya begitu jelas, bahkan dari titik kepentingan yang paling
menyentuh hajat orang banyak, yaitu pemenuhan kebutuhan ekonomi.
Secara umum
zakat profesi menurut putusan Tarjih Muhammadiyah adalah zakat yang dikeluarkan
dari hasil usaha yang halal yang dapat mendatangkan hasil atau uang, relatif
banyak dengan cara yang halal dan mudah, baik melalui keahlian tertentu maupun
tidak. Sedangkan dalam
pemahaman Zamzami Ahmad, zakat profesi adalah zakat penghasilan yang didapat
dan diterima dengan jalan yang halal dalam bentuk upah, honor ataupun gaji.[2]
B. SEJARAH ZAKAT PROFESI
Zakat profesi
tidak pernah ada dalam sepanjang sejarah Islam sejak masa Rasulullah SAW hingga
tahun 60-an akhir pada abad ke-20 yang lalu, ketika mulai muncul gagasan zakat
profesi ini. Penggagas zakat profesi adalah Syeikh Yusuf Qardhawi dalam
kitabnya Fiqh Az Zakah, yang cetakan pertamanya terbit tahun 1969. Namun
nampaknya Yusuf Qardhawi dalam hal ini mendapat pengaruh dari dua ulama
lainnya, yaitu Syeikh Abdul Wahhab Khallaf dan Syeikh Abu Zahrah.
Kajian dan
praktik zakat profesi mulai marak di Indonesia kira-kira sejak tahun 90-an
akhir dan awal tahun 2000-an. Khususnya setelah kitab Yusuf Qardhawi tersebut
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Didin Hafidhuddin dengan judul
Fikih Zakat yang terbit tahun 1999.
Sejak saat itu
zakat profesi mulai banyak diterapkan oleh lembaga pengelola zakat di
Indonesia, baik BAZ (badan amil zakat) milik pemerintah, baik BASDA atau
BASNAZ, maupun LAZ (lembaga amil zakat) milik swasta, seperti PKPU, Dompet
Dhuafa, dan sebagainya. (http://hizbut-tahrir.
or.id/2013/09/13/mengkritisi-zakat-profesi/)[3]
C. LANDASAN TEORI ZAKAT PROFESI
Meskipun zakat
profesi dianggap jenis zakat yang baru, bukan berarti ulama terdahulu tidak
pernah membahasnya. Imam Ahmad bin Hanbal, misalnya, dikisahkan pernah
menghidupi dirinya dengan menyewakan rumahnya. Karena itu ia berpendapat bahwa
seorang muslim yang menyewakan rumahnya dan nilai sewa mencapai nisab, maka ia
harus mengeluarkan zakat tanpa perlu menunggu syarat haul (satu tahun).
Menyewakan rumah di sini dapat dianalogikan dengan menyewakan tenaga atau
keahlian. Sebab, menekuni profesi tertentu pada hakikatnya adalah menyewakan
keahlian.
Profesi
merupakan bentuk usaha-usaha yang relatif baru yang tidak dikenal pada masa
pensyariatan dan penetapan hukum Islam. Karena itu, sangat wajar bila kita
tidak menjumpai ketentuan hukumnya secara jelas (tersurat) baik dalam al-Quran
maupun dalam al-Sunnah.
Kewajiban
berzakat ini berdasarkan keumuman kandungan makna Al-Qur’an surah at-Taubah:103
dan surah al-Baqoroh: 267. Disamping itu juga berdasarkan pada tujuan
disyariatkannya zakat, seperti untuk membersihkan dan mengembangkan harta serta
menolong para mustahik.
“Hai
orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil
usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang kami keluarkan dari bumi
untuk kamu. dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan
daripadanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memincingkan
mata terhadapnya. dan Ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.
Penjelasan ayat
QS. Al-Baqarah 267 adalah: Kata “ﻣﺎ” adalah termasuk kata yang mengandung pengertian yang
umum, yang artinya apa saja, sebagian dari hasil (apa saja) yang kamu usahakan
yang baik-baik. Maka jelaslah, bahwa semua macam penghasilan (gaji, honorarium,
dll) terkena wajib zakat
berdasarkan
ketentuan QS. Al –Baqarah : 267 tersebut yang mengandung pengertian yang umum,
asal penghasilan tersebut telah melebihi kebutuhan pokok hidupnya dan
keluarganya (sandang, pangan, papan, beserta alat-alat rumah tangga, alat-alat
kerja atau usaha, kendaraan, dan lain-lain yang tidak bisa diabaikan), bebas
dari beban hutang, telah genap setahun kepemilikannya dan telah mencapai nishab.
D. PROFESI WAJIB ZAKAT
Barangkali
bentuk penghasilan yang paling menyolok pada zaman sekarang ini adalah apa yang
diperoleh dari pekerjaan dan profesinya. Pekerjaan yang menghasilkan uang ada
dua macam. Yang pertama adalah pekerjaan yang dikerjakan sendiri tanpa tergantung
kepada orang lain, berkat kecekatan tangan ataupun otak. Penghasilan yang
diperoleh dengan cara ini merupakan penghasilan profesional, seperti
penghasilan seorang doktor, insinyur, advokat seniman, penjahit, tukang kayu
dan lain-lainnya. (Daradjat, 1996 : 56)
Yang kedua, adalah pekerjaan yang dikerjakan
seseorang buat pihak lain-baik pemerintah, perusahaan, maupun perorangan dengan
memperoleh upah, yang diberikan, dengan tangan, otak, ataupun kedua-duanya.
Penghasilan dari pekerjaan yang dikerjakan untuk orang atau pihak lain dengan
imbalan mendapat upah atau honorarium seperti pegawai negeri atau swasta.
(Hasan, 2001 : 204)
Penghasilan dan profesi dapat diambil zakatnya
bila sudah setahun dan cukup senisab. Jika kita berpegang kepada pendapat Abu
Hanifah, Abu Yusuf, dan Muhammad bahwa nisab tidak perlu harus tercapai
sepanjang tahun, tapi cukup tercapai penuh antara dua ujung tahun tanpa kurang
di tengahtengah kita dapat menyimpulkan bahwa dengan penafsiran tersebut
memungkinkan untuk mewajibkan zakat atas hasil penghasilan setiap tahun, karena
hasil itu jarang terhenti sepanjang tahun bahkan kebanyakan mencapai kedua sisi
ujung tahun tersebut. Berdasar hal itu, kita dapat menetapkan hasil penghasilan
sebagai sumber zakat, karena terdapatnya illat (penyebab), yang menurut
ulama-ulama fikih sah, dan nisab, yang merupakan landasan wajib zakat.
Dikarenakan Islam mempunyai ukuran bagi seseorang – untuk bisa dianggap kaya
yaitu 12 Junaih emas menurut ukuran Junaih Mesir lama maka ukuran itu harus
terpenuhi pula buat seseorang untuk terkena kewajiban
zakat, sehingga
jelas perbedaan antara orang kaya yang wajib zakat dan orang miskin penerima
zakat. Dalam hal ini, mazhab Hanafi lebih jelas, yaitu bahwa jumlah senisab itu
cukup terdapat pada awal dan akhir tahun saja tanpa harus terdapat di
pertengahan tahun. Ketentuan itu harus diperhatikan dalam mewajibkan zakat atas
hasil penghasilan dan profesi ini, supaya dapat jelas siapa yang tergolong kaya
dan siapa yang tergolong miskin, seorang pekerja profesi jarang tidak memenuhi
ketentuan tersebut. (Juhairi, 1995 : 45)
Mengenai besar
zakat, Penghasilan dan profesi dalam fikih masalah khusus mengenai penyewaan.
Seseorang yang menyewakan rumahnya dan mendapatkan uang sewaan yang cukup
nisab, bahwa orang tersebut wajib mengeluarkan zakatnya ketika menerimanya
tanpa persyaratan setahun. Hal itu pada hakikatnya menyerupai mata penghasilan,
dan wajib dikeluarkan zakatnya bila sudah mencapai satu nisab.
Hal itu sesuai
dengan apa yang telah kita tegaskan lebih dahulu, bahwa jarang seseorang
pekerja yang penghasilannya tidak mencapai nisab seperti yang telah kita
tetapkan, meskipun tidak cukup di pertengahan tahun tetapi cukup pada akhir
tahun. Ia wajib mengeluarkan zakat sesuai dengan nisab yang telah berumur
setahun. Akibat dari tafsiran itu, kecuali yang menentang, adalah bahwa zakat
wajib dipungut dari gaji atau semacamnya sebulan dari dua belas bulan. Karena
ketentuan wajib zakat adalah cukup nisab penuh pada awal tahun atau akhir
tahun.[4]
E. TEHNIK PENGHITUNGAN ZAKAT PROFESI
Islam tidak
mewajibkan zakat atas seluruh harta benda, tetapi mewajibkan zakat atas harta
benda yang mencapai nishab. Dalam penentuan nishab terhadap zakat penghasilan,
cenderung mengqiyaskan/menganalogikannya menurut ukuran tanaman dan buah-buahan
(sebagaimana disebutkan di atas), yaitu pendapataan yang mencapai atau senilai
dengan lima wasaq (50 qail) atau 653 kg bersih, maka waajib dikenakan zakatnya
2.5 % saat memetik atau saat menerima gaji. Dalam hal ini kita tidak memilih 5%
karena gaji yang harus dizakatkan adalah gaji kotor, yaitu take home pay
sebelum digunakan untuk berbagai keperluan konsumsi, membayar hutang, dan biaya
hidup terendah sesorang yang menjadi tanggungannya bisa dikeluarkan.
Menurut riwayat
dari Ibn Abi Syaibah dari Hubairah bahwa Ibn Mas’ud selalu membayar zakat
gajinya setiap 1000, zakat yang dikeluarkannya adalah 25, jadi kalau
dipersentase adalah 2,5%. Nisab zakat pendapatan/profesi mengambil rujukan
kepada nisab zakat tanaman dan buah-buahan sebesar 5 wasaq atau 652,8 kg gabah
setara dengan 520 kg beras. Hal ini berarti bila harga beras adalah Rp 4.000/kg
maka nisab zakat profesi adalah 520 dikalikan 4000 menjadi sebesar Rp
2.080.000. Namun mesti diperhatikan bahwa karena rujukannya pada zakat hasil
pertanian yang dengan frekuensi panen sekali dalam setahun, maka pendapatan
yang dibandingkan dengan nisab tersebut adalah pendapatan selama setahun.
Menurut Yusuf
Qardhawi perhitungan zakat profesi dibedakan menurut 2 (dua) cara:
1.
Secara langsung, zakat dihitung dari 2,5% dari penghasilan kotor seara
langsung, baik dibayarkan bulanan atau tahunan. Metode ini lebih tepat dan adil
bagi mereka yang diluaskan rezekinya oleh Allah. Contoh: Seseorang dengan
penghasilan Rp 3.000.000 tiap bulannya, maka wajib membayar zakat sebesar: 2,5%
X 3.000.000=Rp 75.000 per bulan atau Rp 900.000 per tahun.
2. Setelah dipotong dengan kebutuhan pokok,
zakat dihitung 2,5% dari gaji setelah dipotong dengan kebutuhan pokok. Metode
ini lebih adil diterapkan oleh mereka yang penghasilannya pas-pasan. Contoh:
Seseorang dengan penghasilan Rp 1.500.000,- dengan pengeluaran untuk kebutuhan
pokok Rp 1.000.000 tiap bulannya, maka wajib membayar zakat sebesar : 2,5% X
(1.500.000-1.000.000)=Rp 12.500 per bulan atau Rp 150.000,- per tahun.[5]
BAB III
PENUTUP
A.KESIMPULAN
Terdapat
beberapa kesimpulan yang dapat diambil dari pembahasan ini, adalah:
1. Zakat adalah instrumen utama dari perekonomian
umat muslim yang dapat mempersempit jurang pendapatan dan kekayaan antar umat.
2. Zakat juga mampu menekan angka kemiskinan,
yang nantinya tentu sangat bermanfaat bagi kesejahteraan masyarakat.
3. Zakat profesi sebagai zakat yang dianggap
baru. Meski terdapat sedikit perbedaan dikalangan ulama tentang zakat profesi,
sebahagian besar ulama di dunia sudah menyepakati bahwa zakat profesi tidak
bertentangan dengan ketentuan syariah..
4. Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 3 Tahun
2003 tentang zakat penghasilan (profesi) adalah halal.
B. SARAN
Sebagai bentuk
ibadah wajib, maka seharusnya umat Islam menyadari betul arti penting zakat.
Islam yang rahmatul lillalamin sangat memperhatikan kesejahteraan umat. Untuk
itu ada beberapa hal yang dapat dilakukan dalam zakat profesi:
1) Dikarenakan pentingnya zakat profesi untuk
pendistribusian pendapatan maka sebaiknya zakat profesi langsung
diambil/dipotong dari setiap gaji, upah atau honorarium seorang muslim.
DAFTAR PUSTAKA
Setiawan, Deny. jurnal sosial pembangunan ekonomi, tahun I,
maret 2011.
Marimin, Agus
dan Tira Nur Fitria. Jurnal Ilmiah Ekonomi Islam. Vol.01, No. 01. Maret 2015.
Riyadi, Fuad. ZISWAF.
Vol. 2, No. 1. Juni 2015.
Zahro, Ahmad. Fiqih kontemporer.
Jakarta. 2014.
[2] Agus Marimin dan Tira Nur Fitria, Jurnal Ilmiah Ekonomi Islam-Vol. 01, No. 01,
Maret 2015 hal..51
No comments:
Post a Comment