1

loading...

Thursday, June 20, 2019

MAKALAH BIMBINGAN KONSELING KRISIS Teori Konseling Post Modern Sebagai Alternatif Konseling Krisis (Narative Therapy)


MAKALAH BIMBINGAN KONSELING KRISIS 

Teori Konseling Post Modern Sebagai Alternatif Konseling Krisis (Narative Therapy)



BAB I
PENDAHULUAN
A.           Latar belakang
Naratif therapy dalah bentuk psikoterapi yang menggunakan narasi. Pada awalnya dikembangkan selama tahun 1970-an dan 1980-an, oleh bangsa Australian Michael White dan temannya, David Epston ; dari New Zealand. Pendekatan mereka menjadi terkenal di Amerika Utara setelah terbitnya buku mereka, Narrative to Therapeutic Ends pada tahun 1990, diikuti dengan berbagai buku dan artikel tentang kasus sebelumnya dari anorexia nervosa, ADHD, skizofrenia, dan masalah lainnya.
B.            Rumusan masalah
Berdasarkan latar belakang diatas dapat dirumuskan rumusan masalahnya sebagai berikut :
1.      Bagaimana sejarah perkembangan narative therapy?
2.      Bagaimana hakikat manusia?
3.      Bagaimana perkembangan perilaku?
4.      Bagaimana hakikat konseling?
5.      Apa kondisi pengubahan?
6.      Bagaimana mekanisme pengubahan?
7.      Contoh kasus dari hasil penelitian?
C.           Tujuan penulisan
Berdasarkan rumusan masalah dapat dirumuskan tujuan penulisan sebagai berikut:
1.      Untuk mengetahui sejarah perkembangan narative therapy.
2.      Untuk mengetahui hakikat manusia.
3.      Untuk mengetahui perkembangan perilaku.
4.      Untuk mengetahui hakikat konseling.
5.      Untuk mengetahui kondisi pengubahan.
6.      Untuk mengetahui mekanisme pengubahan.
7.      Untuk mengetahui contoh kasus dari hasil penelitian.

BAB II
PEMBAHASAN
A.           Sejarah Perkembangan
Terapi Naratif mengadopsi pendekatan yang melibatkan perubahan fokus dari teori paling tradisional. Terapis dianjurkan untuk membangun pendekatan kolaboratif dengan minat khusus pada klien dengan mendengarkan cerita-cerita; untuk mencari tahu kehidupan klien. Menggunakan pertanyaan sebagai cara untuk melibatkan klien dan memfasilitasi mereka bereksplorasi, untuk menghindari diagnosis dan pelabelan klien atau menerima sepenuhnya berdasarkan deskripsi masalah; untuk membantu klien dalam pemetaan  pengaruh masalah yang dimiliki dalam kehidupan mareka; dan untuk membantu klien memisahkan diri dari cerita-cerita yang dominan yang telah diinternalisasi sehingga hati atau pikiran yang sering kali disebut sebagai ruang dapat dibuka untuk menciptakan kisah kehidupan alternatif (Freddman&Combs, 1996).[1]
1.             Peran Stories     
Kita hidup dengan cerita yang kita ceritakan tentang diri kita dan orang lain katakan tentang kita. Cerita ini sebenarnya membentuk realitas yang dalam, bahwa mereka membangun dan membentuk apa yang kita lihat, rasakan dan lakukan. Cerita kita hidup dan tumbuh dari percakapan dalam konteks sosial dan budaya. Tetapi klien tidak mempunyai  peran patologis, korban yang hidup tanpa harapan dan meyedihkan, melainkan mereka muncul sebagai pemenang yang berani menceritakan kisah-kisah nyata. Cerita tidak mengubah orang yang mengatakan cerita, tetapi juga mengubah terapis yang beruntung menjadi bagian dari proses ini (Monk, 1997).



2.             Mendengarkan dengan  pikiran terbuka
Semua teori kontruksionis sosial menekankan pada klien untuk mendengarkan tanpa menghakimi atau menyalahkan , menegaskan dan menghargai mereka. Lindsley (1994) menekankan bahwa terapis dapat mendorong klien untuk mempertimbangkan kembali peniaian absolut yang bergerak ke arah melihat keduanya “baik” dan “buruk” unsur-unsur dalam situasi. Terapis Naratif melakukan upaya tanpa memaksakan sistem nilai mereka dan interpretasi. Mereka ingin menciptakan makna dan kemungkinan-kemungkinan baru klien yang berbagi cerita bukan dari prasangka dan pada akhirnya sebuah teori dan nilai penting dipaksakan.Walaupun terapis Naratif membawa kepada usaha terapis tentang  sikap tertentu seperti: optimisme, hormat, keingintahuan, ketekunan, dan menghargai klien untuk mengetahui, mereka dapat mendengarkan masalah-kisah kejenuhan klien tanpa terjebak. Sebagai terapis Naratif, dalam mendengarkan cerita klien, mereka tetap waspada untuk rincian yang memberikan bukti  dari kompetensi klien dalam melawan masalah yang menindas.[2]

B.            Hakikat Manusia
Berdasarkan konsep perilaku manusia, prinsip kerja konseling berdasarkan konseling naratif ini didasarkan atas asumsi sebagai barikut:
1.    Perspektif Naratif berfokus pada kemampuan manusia untuk berpikir kreatif dan imajinatif. Praktisi Naratif tidak pernah menganggap bahwa ia tahu lebih banyak tentang kehidupan klien daripada yang mereka lakukan.
2.    Klien adalah penafsir utama pengalaman mereka sendiri.
3.    Praktisi Naratif melihat orang  sebagai agen aktif yang mampu memperoleh makna keluar dari dunia pengalaman mereka. Dengan demikian, proses perubahan dapat difasilitasi, tetapi tidak diarahkan oleh terapis.

C.           Perkembangan Perilaku
1.    Struktur Kepribadian
Terapi Narasi didasarkan pada empat keyakinan dasar yaitu antara lain sebagai berikut:[3]
a)    Klien tidak ditentukan oleh masalah mereka yang hadir. Klien sering mengidentifikasi diri dengan masalah mereka. Sebaliknya, dengan memiliki label disfungsi, klien mulai menerima masalah mereka sebagai bagian yang terintegrasi dari siapa mereka, bukan karakteristik yang melekat. Sebagai contoh, klien yang menderita depresi mengalami keadaan temporal bukanlah karakteristik kepribadian mereka. Membuat perbedaan antara diri dan masalahnya adalah penting jika klien harus diberdayakan untuk reauthor narasi kehidupan mereka.
b)   Klien adalah pakar pada kehidupan mereka, sehingga konselor atau terapis harus bijaksana mencari keahlian mereka. Aspek humanistik konseling dan psikoterapi adalah keyakinan bahwa klien memiliki jawaban mereka. Klien telah menghabiskan waktu yang paling dengan diri mereka sendiri, telah mengalami totalitas kehidupan mereka, dan merupakan sumber terbaik tentang bagaimana mereka harus datang ke tempat ini mereka dalam kehidupan. Setiap intervensi yang efektif dengan klien harus memperhitungkan keakraban besar yang mereka miliki dengan diri dan dilema mereka.
c)    Klien memiliki banyak keterampilan, kompetensi, dan sumber daya internal yang menarik. Semua klien, bahkan anak muda, memiliki keterampilan hidup tertentu yang mereka menarik dari dalam kehidupan sehari-hari mereka. Kompetensi-kompetensi yang klien telah digunakan untuk tiba pada titik ini dalam perjalanan hidup mereka harus digunakan sebagai sumber bagi mereka dalam pekerjaan terapi mereka dan seterusnya. Praktisi harus memperhatikan dan mengeksplorasi kekuatan yang jelas dalam narasi kehidupan klien.
d)   Terapi perubahan terjadi ketika klien menerima peran mereka sebagai penulis hidup mereka dan mulai untuk menciptakan sebuah narasi kehidupan yang kongruen dengan harapan mereka, impian, dan aspirasi. Klien memiliki banyak pilihan dalam cara mereka pengalaman dan melihat perjalanan hidup mereka. Memberdayakan klien untuk menerima tanggung jawab atas penulisan hidup mereka adalah peran konselor atau terapis. Setelah klien melihat pola tematik dan karakter dalam cerita kehidupan mereka, mereka bisa membuat struktur cerita mereka terhadap tujuan yang lebih positif dan sehat.[4]

D.           Hakikat Konseling
Perspektif narratif berfokus pada kapasitas manusia untuk mengkreasikan dan imajinasi pikiran. Praktisi narrative tidak menganggap bahwa mereka mengetahui  hal yang lebih mengenai kehidupan konseli dari yang mereka lakukan (Konseli adalah penafsir utama dari pengalaman mereka sendiri. Orang-orang dipandang sebagai agen aktif yang mampu berarti berasal dari dunia pengalaman mereka. Dengan demikian proses perubahan dapat difasilitasi, tapi tidak diarahkan oleh terapis (Corey, 200: 389).


E.            Kondisi Pengubahan
1.    Tujuan
Tujuan umum konseling narasi adalah membawa konseli agar dapat
menggambarkan pengalaman mereka dalam bahasa baru dan segar. Dalam hal ini dilakukan sampai konseli menemukan pandangan baru. Bahasa baru ini memungkinkan klien untuk mengembangkan makna baru bagi pikiran yang bermasalah, perasaan, dan perilaku (Freedman & Combs, 1996). Terapi narasi hampir selalu mencakup kesadaran akan dampak dari berbagai aspek budaya dominan pada kehidupan manusia. Praktisi berusaha untuk memperbesar sudut pandang dan fokus serta memfasilitasi penemuan atau penciptaan pilihan baru yang unik untuk orang-orang yang mereka lihat.
2.    Konselor
Peran terapis Narasi adalah fasilitator aktif. Konsep kepedulian, minat, respek dengan menghormati, keterbukaan, empati, kontak, dan bahkan daya tarik dipandang sebagai kebutuhan relasional. Ketidaktahuan posisi, yang memungkinkan terapis untuk mengikuti, menegaskan dan dipandu oleh cerita-cerita dari klien mereka, menciptakan pengamatan terhadap konseli dan dan berperan sebagai fasilitator dan mengintegrasikan terapi dengan pandangan postmodern manusia.[5]
Tugas utama terapis adalah membantu klien membangun cerita yang lebih disukai klien. Terapis narasi mengadopsi sikap yang ditandai oleh respek dengan hormat dan bekerja dengan klien untuk mengeksplorasi dampak masalah pada mereka dan apa yang mereka lakukan untuk mengurangi efek dari masalah (Winslade & Monk, 2007).
Salah satu fungsi utama terapis adalah dengan mengajukan pertanyaan pada klien dan, berdasarkan jawaban, untuk menghasilkan pertanyaan lebih lanjut. Putih dan Epston (1990) mulai dengan eksplorasi klien sehubungan untuk masalah yang diajukan. Hal ini tidak biasa bagi klien untuk menyajikan cerita awal di mana mereka dan masalah menyatu, seolah-olah sama. Terapis Narasi cenderung menghindari penggunaan bahasa yang mencakup diagnosis, penilaian, pengobatan, dan intervensi. Fungsi seperti diagnosis dan penilaian sering memberikan prioritas kepada "kebenaran" praktisi atas pengetahuan klien tentang hidup mereka sendiri. Pendekatan naratif memberikan penekanan kepada klien pemahaman pada pengalaman hidup dan menekankan upaya untuk memprediksi, menafsirkan, dan pathologize. Praktisi Narasi berhati-hati untuk tidak menganggap peran utama mengambil inisiatif dalam kehidupan orang lain atau merebut kekuatan dari klien dalam membawa perubahan (Winslade etal, 1997). Dalam konseling narasi, tidak ada penetapan formula atau resep untuk mengikuti.
Monk (1997) menekankan bahwa terapi narasi akan bervariasi dengan setiap klien karena setiap orang adalah unik. Untuk Monk, percakapan narasi didasarkan pada cara hidup, dan jika konseling narasi "Dipandang sebagai rumus atau digunakan sebagai resep, klien akan memiliki pengalaman setelah sesuatu dilakukan kepada mereka dan merasa ditinggalkan dari percakapan ".[6]
3.    Konseli
Terapis narasi mengasumsikan klien adalah ahli ketika datang ke apa yang dia inginkan dalam hidup. Dalam hal ini berarti konseli berperan aktif dalam konseling karena konseli yang mengetahui dirinya dan kehidupannya.
4.    Situasi Hubungan
Konseling Narasi sangat mementingkan kualitas terapis yang membawa kepada usaha terapi. Beberapa dari termasuk sikap optimisme dan rasa hormat, rasa ingin tahu dan ketekunan, menghargai pengetahuan klien, dan menciptakan jenis khusus dari hubungan ditandai dengan dialog pembagian kekuasaan nyata (Winslade & Monk, 2007). Kolaborasi, kasih sayang, refleksi, dan penemuan mencirikan hubungan terapeutik. Jika hubungan ini adalah untuk benar-benar kolaboratif, terapis perlu menyadari bagaimana kekuasaan memanifestasikan dirinya dalam praktek profesionalnya. Ini tidak berarti bahwa terapis tidak memiliki otoritas sebagai seorang profesional. Dia menggunakan otoritas ini, dengan memperlakukan klien sebagai pakar dalam kehidupan mereka sendiri. 
Winslade, Crocket, dan Monk (1997) menggambarkan kolaborasi ini sebagai coauthoring atau berbagi kekuasaan. Klien berfungsi sebagai penulis ketika mereka memiliki kewenangan untuk berbicara atas nama mereka sendiri. Dalam pendekatan naratif, terapis sebagai ahli digantikan oleh klien sebagai ahli. Gagasan ini menantang sikap terapis sebagai seorang ahli semua-bijaksana dan maha tahu.
Winslade dan Monk (2007) menyatakan: "Integritas dari hubungan konseling demikian dipertahankan sementara klien dihormati sebagai penulis senior dalam pembangunan dari sebuah narasi alternatif.
Klien sering terjebak dalam cerita masalah pola hidup kejenuhan  tidak bekerja. Terapis memasuki dialog ini dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan dalam upaya untuk memperoleh perspektif, sumber daya, dan pengalaman unik dari klien.[7]

F.            Mekanisme Pengubahan
1.    Tahap-tahap Konseling
Ini gambaran singkat mengenai langkah-langkah dalam proses terapi narasi menggambarkan struktur pendekatan narasi:
a.    Berkolaborasi dengan klien untuk datang dengan nama yang dapat diterima bersama untuk masalah tersebut.
b.    Melambangkan masalah dan menghubungkan pada keinginan yang menekan dan strategi untuk masalah tersebut.
c.    Menyelidiki bagaimana masalah telah mengganggu, mendominasi, atau mengecilkan hati mengecewakan klien.
d.   Mintalah klien untuk melihat ceritanya dari perspektif yang berbeda dengan menawarkan makna alternatif dari peristiwa yang dialaminya .
e.    Temukan saat-saat ketika klien tidak didominasi atau berkecil hati oleh masalah dengan mencari pengecualian untuk masalah ini.
f.     Menemukan bukti historis untuk mendukung pandangan baru dari klien sebagai orang yang cukup kompeten untuk menantang, mengalahkan, atau keluar dari dominasi atau tekanan masalah. (Pada tahap ini identitas orang tersebut dan kehidupan cerita mulai mendapatkan ditulis ulang.)[8]
g.    Meminta klien untuk berspekulasi mengenai masa depan bagaimana yang bisa diharapkan dari kekuatan dan kompetensi seseorang. Sehingga klien menjadi terbebas dari cerita-cerita masalah yang menjenuhkan dari masa lalu, dan ia dapat membayangkan dan merencanakan untuk masa depan yang kurang bermasalah.
h.    Menemukan atau menciptakan audiens untuk memahami dan mendukung cerita baru. Tidaklah cukup untuk membaca cerita baru. Klien perlu untuk hidup baru cerita luar terapi. Karena orang itu masalah awalnya dikembangkan dalam konteks sosial, adalah penting untuk melibatkan lingkungan sosial dalam mendukung kisah hidup baru yang telah muncul dalam percakapan dengan terapis.
Winslade dan Monk (2007) menekankan bahwa percakapan narasi tidak mengikuti perkembangan linier dijelaskan di sini, karena lebih baik memikirkan langkah-langkah dalam hal perkembangan siklus yang mengandung unsur-unsur berikut:
a)    Pindah cerita masalah ke arah deskripsi externalized masalah.
b)   Peta efek dari masalah pada individu.
c)    Dengarkan tanda-tanda kekuatan dan kompetensi di problem saturated individu cerita.
d)   Membangun cerita baru kompetensi dan mendokumentasikan prestasi ini.
2.    Teknik-teknik Konseling  
a.    Pertanyaan dan pertanyaan lainnya
Pertanyaan yang ditanyakan oleh terapis naratif mungkin nampaknya melekat dalam sebuah percakapan yang unik, bagian dari dialog tentang dialog sebelumnya, penemuan kejadian-kejadian unik atau eksplorasi proses kultur yang dominan dan memberikan perintah. Apapun tujuannya, pertanyaan sering kali sirkuler atau berhubungan,  dan ditujukan untuk memberikan dorongan kepada klien dalam cara yang baru. Seperti prase terkenal yang digunakan oleh Gregory Bateson (1972), pertanyaan-pertanyaan itu adalah pertanyaan untuk mencari perbedaan yang akan membuat perbedaan.[9]
Terapis naratif menggunakan pertanyaan sebagai upaya untuk menhasilkan pengalaman daripada mengumpulkan informasi. Tujuan bertanya di sini adalah untuk terus menemukan atau membentuk pengalaman klien sehingga terapis memahami arah mana yang harus di tempuh. Pertanyaan selalu dimulai dengan merespek secara positif, keingintahuan dan keterbukaan. Terapis bertanya dari posisi yang tidak tahu dimana berarti bahwa mereka tidak memberikan pertanyaan yang kiranya mereka sudah mengetahui jawabannya.
Monk (1997) menjelaskan posisi ini sebagai berikut: Berkebalikan dengan normative yang ada, cara naratif mengharuskan konselor untuk mengambil posisi mencari tahu, memeriksa dan menggali informasi. Dia menunjukkan kepada klien bahwa konselor tidak memiliki akses khusus kedalam kebenaran. Konselor hanya memiliki peran untuk memahami pengalaman klien.
Terapis yang menggunakan pendekatan naratif berusaha memilah-milah atau membentuk kembali  wacana yang melatarbelakangi masalah klien. Melalui proses bertanya, terapis memberikan kesempatan kepada klien untuk mencari tahu berbagai macam dimensi dalam kehidupan mereka. Dengan cara ini mereka membantu membawa ke permukaan asumsi kultur yang tidak terucapkan yang berhubungan dengan pembentukan masalah pada awalnya. Terapis berperan dalam menemukan bagaimana masalah ini pertama kali menjadi jelas dan bagaimana masalah ini mempengaruhi pandangan klien terhadap diri mereka (Monk, 1997). Terapis naratif berusaha melibatkan orang dalam pembentukan kembali kisah-kisah tentang masalah mereka, mengidentifikasi arah yang diinginkan dan menciptakan kisah-kisah lainnya yang mencukung arah yang dipilih tersebut (Freedman dan Combs, 1996).
b.    Eksternalisasi dan dekonstruksi
Terapis naratif berbeda dari terapis tradisional lainnya dimana terapis naratif percaya bahwa bukan orangnya yang menjadi masalah tetapi masalahnya memang sebuah masalah. Menjalani hidup berarti memang menghadapi masalah, tidak menjadi satu dengan masalah. Masalah dan kisah-kisah tentang masalah memiliki pengaruh pada orang dan dapat merubah hidup dalam cara-cara yang negatif. Asumsi tentang sebuah masalah yang tidak dipahami dengan benar akan membatasi kesempatan baik untuk klien dan terapis untuk menggali perubahan (McKenzie & Monk, 1997). Terapis naratif membantu klien untuk membentuk kembali kisah-kisah berisi masalah-masalah yang mereka hadapi dengan memisah-misahkan asumsi-asumsi yang diyakini begitu saja yang terbentuk dari sebuah kejadian yang mana kemudian membuka kemungkinan alternatif untuk menjalani hidup (Bertolino & O’Hanlon; WInslade & Monk, 1999).
Eksternalisasi adalah proses untuk membentuk kembali kekuatan naratif dan memisahkan orang dari pengidentifikasian masalah dan kadang pemberian nama kepada masalah tersebut. White (1992) menyatakan orang datang mencari terapi karena mereka menganggap mereka memiliki masalah dan bukanlah untuk suatu alasan menyeluruh seperti masalah kejiwaan. Ketika klien memandang diri mereka adalah masalah, mereka membatasi diri mereka kepada cara-cara untuk mengatasi masalah tersebut. Pengaruh dari perubahan bahasa yang halus ini adalah klien dapat merasakan masalah yang ada diluar diri mereka. Bukannya memiliki masalah, seseorang justru memiliki hubungan dengan masalah. Contohnya, ada perbedaan antara menyebut seseorang sebagai pecandu alkohol dan mengetahui ada indikasi bahwa alkohol telah mempengaruhi kehidupannya. Memisahkan masalah dari diri seseorang akan memberikan harapan dan memungkinkan klien untuk menghadapi masalah seperti menyalahkan dirinya sendiri. Dengan memahami kecenderungan untuk menyalahkan dirinya sendiri, klien dapat membentuk kembali garis ceritanya dan membentuk cerita yang lebih positif.[10]
Sebagian besar klien barang kali tidak mengidentifikasi efek penuh cerita masalah, barangkali karena ketakutan mereka dibanjiri oleh kesulitan-kesulitan. Metode yang digunakan untuk memisahkan seseorang dengan masalah disebut sebagai eksternalisasi percakapan. Metode ini secara khusus bermanfaat ketika orang-orang mendiagnosis dan memberi label yang tidak memvalidasi atau memberdayakan proses perubahan (Bertolino dan O'Hanlon 2002). Eksternalisasi percakapan menetralkan tekanan, cerita yang jenuh dengan masalah, dan memberdayakan untuk merasa kompeten dalam menangani masalah yang dihadapi. Dua cara untuk membentuk eksternalisasi percakapan adalah (1) memetakan pengaruh dari masalah dalam kehidupan seseorang, atau (2) memetakan pengaruh kehidupan seseorang terhadap pengembangan masalah (McKenzie dan Monk, 1997).
Pemetaan pengaruh masalah terhadap seseorang menghasilkan informasi yang sangat bermanfaat dan seringkali membuat orang-orang tidak terlalu salah dan malu. Orang-orang merasa didengar dan dipahami ketika masalah yang mempengaruhi mereka diselidiki secara sistematis. Ketika pemetaan ini dilakukan secara hati-hati, ini memberikan landasan untuk mengarang garis cerita baru bagi klien. Sebuah pertanyaan yang umum adalah “Kapan masalah ini muncul pertama kali dalam kehidupan anda?” Pekerjaan dari terapis adalah membantu klien dalam menelusuri masalah dari mana asalnya sampai sekarang. Terapis menempatkan masalah mendatang dengan bertanya, “Jika masalah berlanjut selama satu bulan (atau periode tertentu), apakah artinya bagi anda?” Pertanyaan ini dapat memotivasi klien untuk bergabung dengan terapis dalam memerangi dampak dari efek masalah tersebut.
Pemetaan efek dari kehidupan seseorang terhadap pengembangan masalah seringkali membuat klien menjadi sadar bahwa masalah tersebut tidak sepenuhnya didominasi diri atau kehidupannya. Terdapat beberapa contoh di mana klien menangani secara baik masalah tersebut. bentuk pemetaan ini membantu klien tidak tenggelam dalam masalah dan melihat harapan dari bentuk kehidupan berbeda. Terapis melihat ‘momen kemilau’ ini ketika mereka melakukan eksternalisasi percakapan dengan klien (White dan Epston, 1990).[11]
Kasus Brandon mengilustrasikan eksternalisasi percakapan. Brandon mengatakan bahwa dia terlalu marah, khususnya ketika dia merasa bahwa istrinya mekritiknya secara tidak adil: “Saya hanya cerewet, daya rendah, saya kacau, kembali bertengkar. Kemudian saya ingin saya tidak seperti itu, tetapi sudah terlalu lambat. Saya terjerumus lagi” Walaupun pertanyaan tentang bagaimana kemarahan terjadi, lengkap dengan contoh dan kejadian-kejadian khusus, akan membangun menunjukkan pengaruh dari masalah, pertanyaan sesungguhnya adalah eksternalisasi masalah: “Apakah misi dari marah, dan bagaimanakah anda melakukan misi tersebut?”, “Bagaimanakah kemarahan anda terjadi, dan bagaimana ini membuat anda menjadi sangat kuat?”. “Apakah kemarahan yang dilakukan anda, dan apa yang terjadi ketika anda memenuhi kebutuhan tersebut?”.
c.    Penemuan hasil yang unik
Dalam pendekatan naratif, eksternalisasi pertanyaan-pertanyaan diikuti dengan pertanyaan untuk mencari hasil unik. Terapis berbicara kepada klien tentang momen pilihan atau keberhasilan berkaitan dengan masalah. Ini dilakukan dengan memilih perhatian dan beberapa pengalaman yang terpisah dari cerita masalah, terlepas pada bagaimana tidak signifikan ini bagi klien. Terapis dapat bertanya: “Apakah ada waktu di mana kemarahan akan menguasai anda, dan anda melawannya? Seperti apakah diri anda? Bagaimanakah anda melakukan itu?” Pertanyaan-pertanyaan ini dimaksudkan untuk menyoroti momen ketika masalah tidak terjadi atau ketika masalah diatasi dengan baik.  Hasil unik sering kali dapat ditemukan dalam masa lalu atau sekarang, tetapi mereka juga dapat dihipotesa untuk masa depan: “Apakah bentuk yang akan terjadi terhadap kemarahan yang terjadi?”. Menyelidiki pertanyaan-pertanyaan seperti ini memungkinkan klien melihat perubahan mungkin dilakukan. adalah di dalam perhitungan bahwa hasil unik bahwa terdapat gerbang untuk memberikan teritorial alternatif bagi kehidupan klien (White, 1992).
Dengan mengikuti deskripsi kejadian unik, White (1992) menyampaikan pertanyaan-pertanyaan berikut, baik langsung ataupun tidak langsung, yang membawa pada naratif yang disampaikan secara lebih jelas:
d.   Alternatif cerita and Reautoring
Membentuk cerita terjadi berulang-ulang dalam dekonstruksi, dan terapis naratif mendengarkan pembukaan terhadap cerita baru. orang-orang dapat secara kontinyu dan aktif mengarang kembali hidupnya, dan terapis naratif mengundang klien untuk mengarang cerita alternatif melalui ‘hasil unik’ atau sesuatu yang tidak diprediksi oleh cerita yang jenuh masalah (Freedman dan Combs 1996). Terapis naratif menanyakan pada saat pembukaan: “Sudahkah anda pernah mampu keluar dari pengaruh masalah?”. Terapis mendengarkan isyarat terhadap kompetensi di antara cerita problematis dan membangun cerita tentang kompetensi.[12]
Sebuah titik balik dalam wawancara naratif terjadi ketika klien melakukan pilihan apakah melanjutkan hidupnya yang jenuh dengan cerita masalah atau menciptakan cerita lain (Winslade dan Monk, 1999). Melalui penggunaan kemungkinan pertanyaan uni, terapis menggerakkan fokus ke masa depan. Contoh, “Didasarkan pada apa yang anda pelajari tentang diri sendiri, apakah langkah selanjutnya yang akan anda ambil? Ketika anda bereaksi dari identitas yang disukai, apakah aksi yang akan membuat anda bertindak lebih?”. Pertanyaan-pertanyaan tersebut mendorong orang-orang memantulkan apa yang telah mereka capai sekarang dan apa langkah selanjutnya.
Terapis bekerja dengan klien secara kolaboratif dengan membantu mereka membuat cerita komprehensif yang lebih koheren (Naimeyer 1993). Apakah terlibat dalam percakapan bebas atau melakukan serangkaian peraturan dalam proses relatif konsisten, terapis naratif berusaha menunjukkan kemungkinan baru dan mengkaitkan ini dengan proses dan naratif kehidupan dari orang-orang yang mereka layani. White dan Epston (1990) menyelidiki kejadian-kejadian unik yang serupa dengan pertanyaan-pertanyaan pengecualian pada terapis berfokus-solusi. Keduanya berusaha membangun kompetensi yang sudah ada pada seseorang. Pengembangan cerita alternatif, atau naratif, dalam menyampaikan harapan akhir: Sekarang adalah hari pertama dari sisa kehidupan selanjutnya.
e.    Mendokumentasikan bukti naratif
Praktisi naratif percaya bahwa cerita terjadi hanya ketika terdapat pemirsa yang menghargai dan mendukung mereka. dengan demikian, penghargaan audien terhadap perkembangan baru secara sadar diajukan. Memperoleh audien untuk agar perubahan baru terjadi menimbulkan kebutuhan untuk terjadi jika cerita alternatif tetap hidup (Andrew dan Clark, 1996).
Satu teknik untuk mengkonsolidasi keuntungan yang dibuat klien adalah dengan menulis surat. Surat naratif yang ditulis oleh terapis mencatat sesi dan mungkin memasukkan eksternalisasi deskripsi tentang masalah dan pengaruhnya terhadap klien sebagaimana halnya laporan kekuatan dan kemampuan klien yang diidentifikasi dalam sesi tersebut. Surat tersebut menyoroti perjuangan klien yang telah dilakukan dalam mengatasi masalah dan menarik perbedaan antara cerita yang penuh masalah dengan mengembangkan cerita baru dan disukai (McKenzie dan Monk, 1997). Surat ini seringkali dikirim kepada klien antar sesi (Andrew, Clark, dan baird, 1997).[13]
Epston telah mengembangkan fasilitas khusus untuk melakukan dialog terapi antara sesi melalui penggunaan surat (Shite dan Epston, 1990) Suratnya mungkin panjang, kronologis proses wawancara dan perjanjian yang dicapai, atau singkat, menyoroti makna atau pemahaman yang terjadi terhadap dirinya di akhir kunjungan terapi sebelumnya. Surat ini digunakan untuk mendorong klien, mencatat kekuatan dan prestasi mereka sehubungan dengan menangani masalah atau mencatat makna dari prestasi mereka bagi orang lain dalam komunitas.
          
G.           Contoh Kasus dari Hasil Penelitian
Terapi naratif mengandung pengertian bahwa seseorang membangun pengetahuan melalui interaksi. Kata-kata seperti mencari jalan dan mengatasi biasa digunakan dalam pendekatan ini dimana setiap orang tampak sebagai pahlawan yang telah menyelesaikan masalah yang mencekam dirinya. Pada akhir terapi, kejelasan memberi makna bagi konseli sebagai kemenangan dalam menyelesaikan masalah yang telah menindas mereka sebelumnya. Gagasan naratif memberi metode alternatif bagi konselor untuk berbicara dengan konseli tentang masalah dan cara pemecahan. Penggunaan bahasa yang unik ini kondusif untuk melaksanakan bimbingan dan konseling kolaboratif.
a.    Pendekatan postmodern dari perspektif multicultural Kontribusi
Konstruksionis sosial pendekatan terapi klien dengan menyediakan kerangka kerja untuk berpikir tentang pemikiran mereka dan untuk menentukan dampak stories terhadap apa yang mereka lakukan. Klien didorong untuk menjelajahi bagaimana realitas mereka sedang dibangun dan konsekuensi yang mengikuti dari konstruksi. Dalam kerangka nilai-nilai budaya mereka dan pandangan dunia, klien dapat mengeksplorasi kepercayaan mereka dan memberikan reinterpretations mereka sendiri tentang peristiwa kehidupan yang signifikan. Para praktisi dengan perspektif konstruktivis sosial dapat memandu klien dengan menghormati nilai-nilai yang mendasarinya. Dimensi ini penting terutama dalam kasus-kasus di mana konselor dari latar belakang budaya yang berbeda dengan klien mereka. Terapi naratif didasarkan konteks sosial budaya, yang membuat pendekatan ini sangat relevan untuk konseling dengan klien beragam budaya. Banyak pendekatan modern yang telah dibahas dalam buku ini didasarkan pada asumsi bahwa masalah-masalah ada di dalam individu. Beberapa model tradisional ini mendefinisikan kesehatan mental dalam kaitannya dengan nilai-nilai budaya yang dominan. Sebaliknya, narasi terapis beroperasi pada premis bahwa masalah-masalah yang diidentifikasi dalam sosial, budaya, politik, dan konteks relasional daripada individua. Mereka sangat peduli dengan mempertimbangkan isu-isu gender, etnis, ras, orientasi seksual, dan kelas sosial dalam proses terapeutik. Masalah terapis narasi berkonsentrasi pada cerita-cerita yang mendominasi dan menundukkan pribadi, sosial, dan budaya tingkat. Dari orientasi ini, para praktisi membongkar asumsi-asumsi budaya yang merupakan bagian dari problem klien.
Dalam diskusi tentang pengaruh multikultural klien, Bertolino dan O’Hanlon (2002) bahwa mereka tidak mendekati klien dengan pendapat yg terbentuk sebelumnya. Sebaliknya, mereka belajar dari klien tentang pengalaman mereka. Berikut adalah beberapa pertanyaan untuk lebih memahami multikultural klien:[14]
1.    Apa yang dapat Anda berbagi dengan saya tentang latar belakang yang memungkinkan saya untuk lebih memahami Anda?
2.    Apa yang telah Anda siapkan menghadapi tantangan perkembangan budaya Anda?
3.    Jika ada, tentang latar belakang yang sulit bagi Anda?
4.    Bagaimana Anda dapat menarik kekuatan dan sumber daya dari budaya Anda? Sumber daya apa yang dapat Anda ambil pada saat dibutuhkan?
Pertanyaan seperti ini dapat menjelaskan pengaruh multikultural tertentu sebagai sumber dukungan atau yang berkontribusi pada masalah klien.
Keterbatasan Multicultural Counseling terhadap Pendekatan Post Modern Keterbatasan berkenaan pendekatan postmodern, pada “sikap ketidaktahuan” terapis, mengasumsikan bersama “klien sebagai ahli”. Jika terapis mengatakan pada klien “Saya benar-benar tidak seorang ahli; Anda adalah ahli, aku percaya pada sumber daya Anda untuk mencari solusi untuk masalah Anda,” kemungkinan akan menimbulkan kurangnya kepercayaan pada Therapist.
Untuk menghindari situasi ini, terapis menggunakan solusi-fokus atau orientasi narrative kepada klien bahwa ia memiliki keahlian dalam proses terapi, tetapi klien tidak langsung terlibat dalam perilaku yang bertentangan dengan tujuan dasar mereka.[15]
Sarah Walther adalah salah satu dari 'generasi kedua' terapis narasi yang membangun dan memperluas pemikiran Michael White dan metode. Sarah adalah seorang guru yang berpengalaman dan menarik dari Institut Terapi Narasi dan menawarkan pelatihan dan konsultasi sebagai anggota fakultas pengajaran Institut, baik di Inggris dan internasional. Dia telah menulis sejumlah makalah yang berhubungan dengan terapi naratif dan prakteknya berbasis di Timur Lancashire CAMHS, di mana dia adalah Therapist Narasi pertama ditunjuk oleh layanan kesehatan nasional publik. Dia berbicara dengan anak, orang muda dan mereka yang terlibat dalam kehidupan mereka di mana ada berbagai kekhawatiran, termasuk: efek trauma; kesulitan makan; pikiran dan tindakan yang terkait dengan merugikan diri dan bunuh diri; kronis masalah kesehatan fisik, dll. Evril Silver, Alison Williams, Fiona Worthington, dan Nicola Phillips (1998). Jurnal Terapi Keluarga, 20, 413-422.
b.   Proses dan hasil terapi narasi untuk penyakit depresi pada orang dewasa: refleksivitas Narasi, aliansi kerja dan peningkatan gejala dan antar-pribadi
Tujuan penelitian, untuk mengetahui proses dan hasil terapi naratif, terdiri tujuan teoritis dan empiris. Tujuan pertama adalah untuk mengartikulasikan sebuah sintesis teoritis dari teori naratif, penelitian, dan praktek. Proses refleksivitas narasi diidentifikasi sebagai konstruk teoritis yang menghubungkan teori dengan penelitian narasi narasi dan praktek. Tujuan kedua adalah untuk mendukung sintesis ini secara empiris dengan memeriksa proses terapi narasi, khususnya refleksivitas naratif dan aliansi terapi, dan hubungannya dengan hasil terapi. Tujuan ketiga adalah untuk mendukung sintesis yang diusulkan teori, penelitian, dan praktek dan memberikan bukti kuantitatif untuk kegunaan terapi naratif, dengan mengevaluasi gejala depresi dan antar pribadi hasil keterkaitan melalui analisis signifikansi statistik, signifikansi klinis.[16]
Untuk mendukung sintesis teoritis, uji coba proses-hasil dievaluasi delapan sesi terapi narasi untuk 47 orang dewasa dengan gangguan depresi besar. Variabel proses dependen adalah narasi refleksivitas (dinilai pada Sesi 1 dan 8) dan aliansi terapeutik (dinilai pada Sesi 1, 3 dan 8). Primer variabel hasil dependen adalah gejala depresi dan antar-pribadi keterkaitan. Analisis Primer dinilai hasil terapi pada pra-terapi, pasca-terapi, dan tiga bulan follow-up dan digunakan strategi benchmarking terhadap terapi pra-mengevaluasi pasca-terapi dan pasca terapi untuk menindaklanjuti keuntungan, efek ukuran dan pra -terapi untuk pasca terapi signifikansi klinis. Uji klinis memberikan dukungan empiris untuk kegunaan terapi narasi dalam meningkatkan gejala depresi dan antar-pribadi keterkaitan dari pra-terapi untuk pasca terapi: besarnya perubahan yang menunjukkan efek ukuran besar (d = 1,10-1,36) untuk gejala depresi dan efek ukuran sedang (d = 0,52-0,62) untuk antar-pribadi keterkaitan. Terapi efektif dalam mengurangi gejala depresi pada klien dengan sedang dan berat pra-terapi keparahan gejala depresi. Perbaikan gejala depresi, tetapi tidak antar-pribadi keterkaitan, dipertahankan tiga bulan setelah terapi. Penurunan gejala depresi dan proporsi klien yang mencapai perbaikan klinis yang signifikan (53%) pada gejala depresi pada pasca terapi sebanding dengan perbaikan dari psychotherapies standar, dilaporkan dalam penelitian patokan. Penelitian ini memiliki implikasi untuk membantu pemahaman kita tentang pendekatan naratif, menyempurnakan strategi yang akan memudahkan dokter pemulihan dari gangguan psikologis dan menyediakan dengan dasar bukti yang lebih luas untuk praktek narasi.[17]
c.    Narasi terapi untuk orang dewasa dengan gangguan depresi utama: Peningkatan gejala dan hasil interpersonal
Penelitian ini meneliti gejala depresi dan hasil keterkaitan antar pribadi dari delapan sesi terapi narasi manualized untuk 47 orang dewasa dengan gangguan depresi besar. Pasca terapi, depresi gejala perbaikan (d = 1,36) dan proporsi klien mencapai perbaikan yang dapat diandalkan (74%), gerakan untuk penduduk fungsional (61%), dan perbaikan klinis yang signifikan (53%) sebanding dengan hasil penelitian patokan. Pasca terapi peningkatan keterkaitan interpersonal (d = 62) kurang substansial dibandingkan gejala. Tiga bulan follow-up ditemukan pemeliharaan gejala, tapi keuntungan tidak interpersonal. Perbandingan dan analisis signifikansi klinis dikurangi keterbatasan ukuran desain diulang, memberikan bukti empiris untuk mendukung terapi narasi untuk orang dewasa dengan gangguan depresi besar.




BAB III
PENUTUP
A.           Kesimpulan
Terapi Naratif mengadopsi pendekatan yang melibatkan perubahan fokus dari teori paling tradisional. Terapis dianjurkan untuk membangun pendekatan kolaboratif dengan minat khusus pada klien dengan mendengarkan cerita-cerita; untuk mencari tahu kehidupan klien. Menggunakan pertanyaan sebagai cara untuk melibatkan klien dan memfasilitasi mereka bereksplorasi, untuk menghindari diagnosis dan pelabelan klien atau menerima sepenuhnya berdasarkan deskripsi masalah; untuk membantu klien dalam pemetaan  pengaruh masalah yang dimiliki dalam kehidupan mareka; dan untuk membantu klien memisahkan diri dari cerita-cerita yang dominan yang telah di internalisasi sehingga hati atau pikiran yang sering kali disebut sebagai ruang dapat dibuka untuk menciptakan kisah kehidupan alternatif.
B.            Saran
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis dan dapat menambah wawasan bagi pembaca. Kami mengharapkan kritik dan saran bagi pembaca untuk perbaikan makalah selanjutnya.












DAFTAR PUSTAKA

Capuzzi, D & Gross, D.R, 2007. Counseling & Psychotherapy: Theories and Intervention. Upper Saddle River. New Jersey: Pearson Prentice-Hall.
Corey G, 2009. Theory and Practice of Counseling and Psychotherapy.  Belmont, CA: Brooks/Cole.
Mc Leod, John, 2010. Pengantar Konseling: Teori dan Studi Kasus. Jakarta: Kencana.
Lynette P.Vromans & Robert D.Schweitzer, 2010. Psikoterapi Penelitian, 19 Maret 2010.


















                [1] Capuzzi, D & Gross, D.R. Counseling & Psychotherapy: Theories and Intervention. Upper Saddle River. (New Jersey: Pearson Prentice-Hall. 2007). Hal 23-24.
                [2] Capuzzi, D & Gross, D.R. Counseling & Psychotherapy: Theories and Intervention. Upper Saddle River. (New Jersey: Pearson Prentice-Hall. 2007). Hal 25.
   [3] Corey G. Theory and Practice of Counseling and Psychotherapy.  (Belmont, CA: Brooks/Cole.2009). Hal 112-113.
   [4] Corey G. Theory and Practice of Counseling and Psychotherapy.  (Belmont, CA: Brooks/Cole.2009). Hal 113-114.
   [5] Mc Leod, John. Pengantar Konseling: Teori dan Studi Kasus. Jakarta: Kencana.2010. Hal 234-235.
[6] Mc Leod, John. Pengantar Konseling: Teori dan Studi Kasus. Jakarta: Kencana.2010. Hal 235-236.
   [7] Corey G. Theory and Practice of Counseling and Psychotherapy.  (Belmont, CA: Brooks/Cole.2009). Hal 116.
                [8] Capuzzi, D & Gross, D.R. Counseling & Psychotherapy: Theories and Intervention. Upper Saddle River. (New Jersey: Pearson Prentice-Hall. 2007). Hal 26-27.
                [9] Capuzzi, D & Gross, D.R. Counseling & Psychotherapy: Theories and Intervention. Upper Saddle River. (New Jersey: Pearson Prentice-Hall. 2007). Hal 28.
   [10] Corey G. Theory and Practice of Counseling and Psychotherapy.  (Belmont, CA: Brooks/Cole.2009). Hal 117.
   [11] Lynette P.Vromans & Robert D.Schweitzer, 2010. Psikoterapi Penelitian, 19 Maret 2010. Hal 54-60.
[12] Lynette P.Vromans & Robert D.Schweitzer, 2010. Psikoterapi Penelitian, 19 Maret 2010. Hal 62.
   [13] Corey G. Theory and Practice of Counseling and Psychotherapy.  (Belmont, CA: Brooks/Cole.2009). Hal 120.
   [14] Corey G. Theory and Practice of Counseling and Psychotherapy.  (Belmont, CA: Brooks/Cole.2009). Hal 121.
   [15] Lynette P.Vromans & Robert D.Schweitzer, 2010. Psikoterapi Penelitian, 19 Maret 2010. Hal 63-64.
   [16] Lynette P.Vromans & Robert D.Schweitzer, 2010. Psikoterapi Penelitian, 19 Maret 2010. Hal 68.
                [17] Lynette P. Vromans & Robert D. Schweitzer. Psikoterapi Penelitian, (2010). 19 Maret 2010. Hal 69.

No comments:

Post a Comment