MAKALAH BIMBINGAN KONSELING KRISIS
Teori Konseling Post Modern Sebagai Alternatif Konseling Krisis (Narative Therapy)
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
belakang
Naratif
therapy dalah bentuk psikoterapi yang menggunakan narasi. Pada awalnya
dikembangkan selama tahun 1970-an dan 1980-an, oleh bangsa Australian Michael
White dan temannya, David Epston ; dari New Zealand. Pendekatan mereka menjadi
terkenal di Amerika Utara setelah terbitnya buku mereka, Narrative to Therapeutic Ends pada tahun 1990, diikuti dengan
berbagai buku dan artikel tentang kasus sebelumnya dari anorexia nervosa, ADHD,
skizofrenia, dan masalah lainnya.
B.
Rumusan
masalah
Berdasarkan
latar belakang diatas dapat dirumuskan rumusan masalahnya sebagai berikut :
1.
Bagaimana
sejarah perkembangan narative therapy?
2.
Bagaimana
hakikat manusia?
3.
Bagaimana
perkembangan perilaku?
4.
Bagaimana
hakikat konseling?
5.
Apa
kondisi pengubahan?
6.
Bagaimana
mekanisme pengubahan?
7.
Contoh
kasus dari hasil penelitian?
C.
Tujuan
penulisan
Berdasarkan
rumusan masalah dapat dirumuskan tujuan penulisan sebagai berikut:
1.
Untuk
mengetahui sejarah perkembangan narative therapy.
2.
Untuk
mengetahui hakikat manusia.
3.
Untuk
mengetahui perkembangan perilaku.
4.
Untuk
mengetahui hakikat konseling.
5.
Untuk
mengetahui kondisi pengubahan.
6.
Untuk
mengetahui mekanisme pengubahan.
7.
Untuk mengetahui
contoh kasus dari hasil penelitian.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Sejarah
Perkembangan
Terapi
Naratif mengadopsi pendekatan yang melibatkan perubahan fokus dari teori paling
tradisional. Terapis dianjurkan untuk membangun pendekatan kolaboratif dengan minat
khusus pada klien dengan mendengarkan cerita-cerita; untuk mencari tahu
kehidupan klien. Menggunakan pertanyaan sebagai cara untuk melibatkan
klien dan memfasilitasi mereka bereksplorasi, untuk menghindari diagnosis
dan pelabelan klien atau menerima sepenuhnya berdasarkan deskripsi masalah;
untuk membantu klien dalam pemetaan pengaruh masalah yang dimiliki dalam
kehidupan mareka; dan untuk membantu klien memisahkan diri dari cerita-cerita
yang dominan yang telah diinternalisasi sehingga hati atau pikiran
yang sering kali disebut sebagai ruang dapat dibuka untuk menciptakan kisah
kehidupan alternatif (Freddman&Combs, 1996).[1]
1.
Peran
Stories
Kita hidup
dengan cerita yang kita ceritakan tentang diri kita dan orang lain katakan
tentang kita. Cerita ini sebenarnya membentuk realitas yang dalam, bahwa mereka
membangun dan membentuk apa yang kita lihat, rasakan dan lakukan. Cerita kita
hidup dan tumbuh dari percakapan dalam konteks sosial dan budaya. Tetapi klien
tidak mempunyai peran patologis, korban yang hidup tanpa harapan dan
meyedihkan, melainkan mereka muncul sebagai pemenang yang berani menceritakan
kisah-kisah nyata. Cerita tidak mengubah orang yang mengatakan cerita, tetapi
juga mengubah terapis yang beruntung menjadi bagian dari proses ini (Monk,
1997).
2.
Mendengarkan
dengan pikiran terbuka
Semua teori
kontruksionis sosial menekankan pada klien untuk mendengarkan tanpa menghakimi
atau menyalahkan , menegaskan dan menghargai mereka. Lindsley (1994) menekankan
bahwa terapis dapat mendorong klien untuk mempertimbangkan kembali peniaian
absolut yang bergerak ke arah melihat keduanya “baik” dan
“buruk” unsur-unsur dalam situasi. Terapis Naratif melakukan upaya tanpa
memaksakan sistem nilai mereka dan interpretasi. Mereka ingin menciptakan
makna dan kemungkinan-kemungkinan baru klien yang berbagi cerita bukan dari
prasangka dan pada akhirnya sebuah teori dan nilai penting dipaksakan.Walaupun
terapis Naratif membawa kepada usaha terapis tentang sikap tertentu
seperti: optimisme, hormat, keingintahuan, ketekunan, dan menghargai klien
untuk mengetahui, mereka dapat mendengarkan masalah-kisah kejenuhan klien tanpa
terjebak. Sebagai terapis Naratif, dalam mendengarkan cerita klien, mereka
tetap waspada untuk rincian yang memberikan bukti dari kompetensi klien
dalam melawan masalah yang menindas.[2]
B.
Hakikat
Manusia
Berdasarkan konsep perilaku manusia,
prinsip kerja konseling berdasarkan konseling naratif ini didasarkan atas
asumsi sebagai barikut:
1.
Perspektif Naratif berfokus pada
kemampuan manusia untuk berpikir kreatif dan imajinatif. Praktisi Naratif tidak
pernah menganggap bahwa ia tahu lebih banyak tentang kehidupan klien daripada
yang mereka lakukan.
2.
Klien adalah penafsir utama
pengalaman mereka sendiri.
3.
Praktisi
Naratif melihat orang sebagai agen aktif yang mampu memperoleh
makna keluar dari dunia pengalaman mereka. Dengan demikian, proses perubahan
dapat difasilitasi, tetapi tidak diarahkan oleh terapis.
C.
Perkembangan
Perilaku
1. Struktur Kepribadian
Terapi Narasi didasarkan pada empat
keyakinan dasar yaitu antara lain sebagai berikut:[3]
a)
Klien tidak ditentukan oleh masalah
mereka yang hadir. Klien sering mengidentifikasi diri dengan masalah mereka.
Sebaliknya, dengan memiliki label disfungsi, klien mulai menerima masalah
mereka sebagai bagian yang terintegrasi dari siapa mereka, bukan karakteristik yang
melekat. Sebagai contoh, klien yang menderita depresi mengalami keadaan
temporal bukanlah karakteristik kepribadian mereka. Membuat perbedaan antara
diri dan masalahnya adalah penting jika klien harus diberdayakan untuk reauthor
narasi kehidupan mereka.
b)
Klien adalah pakar pada kehidupan
mereka, sehingga konselor atau terapis harus bijaksana mencari keahlian mereka.
Aspek humanistik konseling dan psikoterapi adalah keyakinan bahwa klien
memiliki jawaban mereka. Klien telah menghabiskan waktu yang paling dengan diri
mereka sendiri, telah mengalami totalitas kehidupan mereka, dan merupakan
sumber terbaik tentang bagaimana mereka harus datang ke tempat ini mereka dalam
kehidupan. Setiap intervensi yang efektif dengan klien harus memperhitungkan
keakraban besar yang mereka miliki dengan diri dan dilema mereka.
c)
Klien memiliki banyak keterampilan,
kompetensi, dan sumber daya internal yang menarik. Semua klien, bahkan anak
muda, memiliki keterampilan hidup tertentu yang mereka menarik dari dalam
kehidupan sehari-hari mereka. Kompetensi-kompetensi yang klien telah digunakan
untuk tiba pada titik ini dalam perjalanan hidup mereka harus digunakan sebagai
sumber bagi mereka dalam pekerjaan terapi mereka dan seterusnya. Praktisi harus
memperhatikan dan mengeksplorasi kekuatan yang jelas dalam narasi kehidupan
klien.
d)
Terapi perubahan terjadi ketika
klien menerima peran mereka sebagai penulis hidup mereka dan mulai untuk
menciptakan sebuah narasi kehidupan yang kongruen dengan harapan mereka,
impian, dan aspirasi. Klien memiliki banyak pilihan dalam cara mereka
pengalaman dan melihat perjalanan hidup mereka. Memberdayakan klien untuk
menerima tanggung jawab atas penulisan hidup mereka adalah peran konselor atau
terapis. Setelah klien melihat pola tematik dan karakter dalam cerita kehidupan
mereka, mereka bisa membuat struktur cerita mereka terhadap tujuan yang lebih
positif dan sehat.[4]
D.
Hakikat
Konseling
Perspektif narratif berfokus pada
kapasitas manusia untuk mengkreasikan dan imajinasi pikiran. Praktisi narrative
tidak menganggap bahwa mereka mengetahui hal yang lebih mengenai
kehidupan konseli dari yang mereka lakukan (Konseli adalah penafsir utama dari pengalaman
mereka sendiri. Orang-orang dipandang sebagai agen aktif yang mampu berarti
berasal dari dunia pengalaman mereka. Dengan demikian proses
perubahan dapat difasilitasi, tapi tidak diarahkan oleh terapis (Corey,
200: 389).
Dari hal ini disimpulkan bahwa hakikat konseling dari pendekatan naratif ini
adalah keaktifan konselor sebagai fasilitator dan keaktifan konseli dalam
menyampaikan cerita kehidupannya yang menjadi inti dari pendekatan naratif.
E.
Kondisi
Pengubahan
1. Tujuan
Tujuan
umum konseling narasi adalah membawa konseli agar dapat
menggambarkan pengalaman mereka dalam bahasa baru dan segar. Dalam hal ini dilakukan sampai konseli menemukan pandangan baru. Bahasa baru ini memungkinkan klien untuk mengembangkan makna baru bagi pikiran yang bermasalah, perasaan, dan perilaku (Freedman & Combs, 1996). Terapi narasi hampir selalu mencakup kesadaran akan dampak dari berbagai aspek budaya dominan pada kehidupan manusia. Praktisi berusaha untuk memperbesar sudut pandang dan fokus serta memfasilitasi penemuan atau penciptaan pilihan baru yang unik untuk orang-orang yang mereka lihat.
menggambarkan pengalaman mereka dalam bahasa baru dan segar. Dalam hal ini dilakukan sampai konseli menemukan pandangan baru. Bahasa baru ini memungkinkan klien untuk mengembangkan makna baru bagi pikiran yang bermasalah, perasaan, dan perilaku (Freedman & Combs, 1996). Terapi narasi hampir selalu mencakup kesadaran akan dampak dari berbagai aspek budaya dominan pada kehidupan manusia. Praktisi berusaha untuk memperbesar sudut pandang dan fokus serta memfasilitasi penemuan atau penciptaan pilihan baru yang unik untuk orang-orang yang mereka lihat.
2. Konselor
Peran terapis Narasi adalah
fasilitator aktif. Konsep kepedulian, minat, respek dengan
menghormati, keterbukaan, empati, kontak, dan bahkan daya
tarik dipandang sebagai kebutuhan relasional. Ketidaktahuan posisi, yang memungkinkan
terapis untuk mengikuti, menegaskan dan dipandu oleh cerita-cerita dari
klien mereka, menciptakan pengamatan terhadap konseli dan dan
berperan sebagai fasilitator dan mengintegrasikan terapi dengan pandangan
postmodern manusia.[5]
Tugas utama terapis adalah membantu klien
membangun cerita yang lebih disukai klien. Terapis narasi mengadopsi sikap yang
ditandai oleh respek dengan hormat dan bekerja dengan klien untuk mengeksplorasi
dampak masalah pada mereka dan apa yang mereka lakukan untuk mengurangi efek
dari masalah (Winslade & Monk, 2007).
Salah satu fungsi utama terapis
adalah dengan mengajukan pertanyaan pada klien dan, berdasarkan
jawaban, untuk menghasilkan pertanyaan lebih lanjut. Putih dan Epston
(1990) mulai dengan eksplorasi klien sehubungan untuk masalah yang
diajukan. Hal ini tidak biasa bagi klien untuk menyajikan cerita awal di
mana mereka dan masalah menyatu, seolah-olah sama. Terapis
Narasi cenderung menghindari penggunaan bahasa yang mencakup diagnosis,
penilaian, pengobatan, dan intervensi. Fungsi seperti diagnosis dan
penilaian sering memberikan prioritas kepada "kebenaran"
praktisi atas pengetahuan klien tentang hidup mereka sendiri. Pendekatan
naratif memberikan penekanan kepada klien pemahaman pada pengalaman
hidup dan menekankan upaya untuk memprediksi, menafsirkan, dan
pathologize. Praktisi Narasi berhati-hati untuk tidak menganggap peran
utama mengambil inisiatif dalam kehidupan orang lain atau
merebut kekuatan dari klien dalam membawa perubahan (Winslade etal,
1997). Dalam konseling narasi, tidak ada penetapan formula atau resep
untuk mengikuti.
Monk (1997) menekankan
bahwa terapi narasi akan bervariasi dengan setiap klien karena setiap
orang adalah unik. Untuk Monk, percakapan narasi didasarkan pada cara hidup,
dan jika konseling narasi "Dipandang sebagai rumus atau digunakan
sebagai resep, klien akan memiliki pengalaman setelah sesuatu dilakukan
kepada mereka dan merasa ditinggalkan dari percakapan ".[6]
3. Konseli
Terapis narasi mengasumsikan
klien adalah ahli ketika datang ke apa yang dia inginkan dalam hidup. Dalam
hal ini berarti konseli berperan aktif dalam konseling karena konseli yang
mengetahui dirinya dan kehidupannya.
4. Situasi Hubungan
Konseling Narasi sangat mementingkan
kualitas terapis yang membawa kepada usaha terapi.
Beberapa dari termasuk sikap optimisme dan rasa hormat, rasa ingin
tahu dan ketekunan, menghargai pengetahuan klien, dan menciptakan jenis
khusus dari hubungan ditandai dengan dialog pembagian kekuasaan nyata (Winslade
& Monk, 2007). Kolaborasi, kasih sayang, refleksi, dan penemuan mencirikan
hubungan terapeutik. Jika hubungan ini adalah untuk benar-benar
kolaboratif, terapis perlu menyadari bagaimana kekuasaan memanifestasikan
dirinya dalam praktek profesionalnya. Ini tidak berarti bahwa terapis
tidak memiliki otoritas sebagai seorang profesional. Dia menggunakan
otoritas ini, dengan memperlakukan klien sebagai pakar dalam kehidupan mereka
sendiri.
Winslade, Crocket, dan Monk (1997)
menggambarkan kolaborasi ini sebagai coauthoring atau berbagi kekuasaan.
Klien berfungsi sebagai penulis ketika mereka memiliki kewenangan untuk
berbicara atas nama mereka sendiri. Dalam pendekatan naratif, terapis sebagai ahli
digantikan oleh klien sebagai ahli. Gagasan ini menantang sikap terapis
sebagai seorang ahli semua-bijaksana dan maha tahu.
Winslade dan Monk (2007)
menyatakan: "Integritas dari hubungan
konseling demikian dipertahankan sementara klien dihormati sebagai
penulis senior dalam pembangunan dari sebuah narasi alternatif.
Klien sering terjebak dalam cerita
masalah pola hidup kejenuhan tidak bekerja. Terapis memasuki dialog ini
dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan dalam upaya untuk memperoleh perspektif, sumber
daya, dan pengalaman unik dari klien.[7]
F.
Mekanisme
Pengubahan
1.
Tahap-tahap Konseling
Ini gambaran singkat mengenai langkah-langkah
dalam proses terapi narasi menggambarkan struktur pendekatan narasi:
a.
Berkolaborasi dengan
klien untuk datang dengan nama yang dapat diterima
bersama untuk masalah tersebut.
b.
Melambangkan masalah dan
menghubungkan pada keinginan yang menekan dan strategi untuk masalah
tersebut.
c.
Menyelidiki bagaimana masalah telah
mengganggu, mendominasi, atau mengecilkan hati mengecewakan klien.
d.
Mintalah klien untuk melihat
ceritanya dari perspektif yang berbeda dengan
menawarkan makna alternatif dari peristiwa yang
dialaminya .
e.
Temukan saat-saat ketika
klien tidak didominasi atau berkecil hati oleh masalah dengan
mencari pengecualian untuk masalah ini.
f.
Menemukan bukti historis untuk
mendukung pandangan baru dari klien sebagai orang yang cukup kompeten
untuk menantang, mengalahkan, atau keluar dari dominasi atau tekanan masalah.
(Pada tahap ini identitas orang tersebut dan kehidupan cerita mulai mendapatkan
ditulis ulang.)[8]
g.
Meminta klien untuk berspekulasi mengenai
masa depan bagaimana yang bisa diharapkan dari kekuatan dan kompetensi
seseorang. Sehingga klien menjadi terbebas dari cerita-cerita masalah yang
menjenuhkan dari masa lalu, dan ia dapat membayangkan
dan merencanakan untuk masa depan yang kurang bermasalah.
h.
Menemukan atau menciptakan audiens
untuk memahami dan mendukung cerita baru. Tidaklah cukup untuk
membaca cerita baru. Klien perlu untuk hidup baru cerita luar terapi. Karena orang
itu masalah awalnya dikembangkan dalam konteks sosial, adalah penting untuk
melibatkan lingkungan sosial dalam mendukung kisah hidup baru yang
telah muncul dalam percakapan dengan terapis.
Winslade dan Monk (2007) menekankan
bahwa percakapan narasi tidak mengikuti perkembangan linier dijelaskan di
sini, karena lebih baik memikirkan langkah-langkah dalam hal perkembangan
siklus yang mengandung unsur-unsur berikut:
a) Pindah
cerita masalah ke arah deskripsi externalized masalah.
b) Peta efek
dari masalah pada individu.
c) Dengarkan
tanda-tanda kekuatan dan kompetensi di problem saturated individu cerita.
d) Membangun
cerita baru kompetensi dan mendokumentasikan prestasi ini.
2.
Teknik-teknik
Konseling
a.
Pertanyaan
dan pertanyaan lainnya
Pertanyaan
yang ditanyakan oleh terapis naratif mungkin nampaknya melekat dalam sebuah
percakapan yang unik, bagian dari dialog tentang dialog sebelumnya,
penemuan kejadian-kejadian unik atau eksplorasi proses kultur yang dominan dan
memberikan perintah. Apapun tujuannya, pertanyaan sering kali sirkuler atau
berhubungan, dan ditujukan untuk memberikan dorongan kepada klien dalam
cara yang baru. Seperti prase terkenal yang digunakan oleh Gregory Bateson
(1972), pertanyaan-pertanyaan itu adalah pertanyaan untuk mencari perbedaan
yang akan membuat perbedaan.[9]
Terapis naratif
menggunakan pertanyaan sebagai upaya untuk menhasilkan pengalaman daripada mengumpulkan
informasi. Tujuan bertanya di sini adalah untuk terus menemukan atau membentuk
pengalaman klien sehingga terapis memahami arah mana yang harus di tempuh.
Pertanyaan selalu dimulai dengan merespek secara positif, keingintahuan
dan keterbukaan. Terapis bertanya dari posisi yang tidak tahu dimana berarti
bahwa mereka tidak memberikan pertanyaan yang kiranya mereka sudah mengetahui
jawabannya.
Monk (1997)
menjelaskan posisi ini sebagai berikut: Berkebalikan dengan normative yang
ada, cara naratif mengharuskan konselor untuk mengambil posisi mencari tahu,
memeriksa dan menggali informasi. Dia menunjukkan kepada klien bahwa konselor
tidak memiliki akses khusus kedalam kebenaran. Konselor hanya memiliki peran
untuk memahami pengalaman klien.
Terapis yang
menggunakan pendekatan naratif berusaha memilah-milah atau membentuk
kembali wacana yang melatarbelakangi masalah klien. Melalui proses
bertanya, terapis memberikan kesempatan kepada klien untuk mencari tahu
berbagai macam dimensi dalam kehidupan mereka. Dengan cara ini mereka membantu
membawa ke permukaan asumsi kultur yang tidak terucapkan yang berhubungan
dengan pembentukan masalah pada awalnya. Terapis berperan dalam menemukan
bagaimana masalah ini pertama kali menjadi jelas dan bagaimana masalah ini
mempengaruhi pandangan klien terhadap diri mereka (Monk, 1997). Terapis naratif
berusaha melibatkan orang dalam pembentukan kembali kisah-kisah tentang masalah
mereka, mengidentifikasi arah yang diinginkan dan menciptakan kisah-kisah
lainnya yang mencukung arah yang dipilih tersebut (Freedman dan Combs, 1996).
b.
Eksternalisasi
dan dekonstruksi
Terapis naratif berbeda dari terapis
tradisional lainnya dimana terapis naratif percaya bahwa bukan orangnya yang menjadi
masalah tetapi masalahnya memang sebuah masalah. Menjalani hidup berarti memang
menghadapi masalah, tidak menjadi satu dengan masalah. Masalah dan kisah-kisah
tentang masalah memiliki pengaruh pada orang dan dapat merubah hidup dalam
cara-cara yang negatif. Asumsi tentang sebuah masalah yang tidak dipahami
dengan benar akan membatasi kesempatan baik untuk klien dan terapis untuk
menggali perubahan (McKenzie & Monk, 1997). Terapis naratif membantu klien
untuk membentuk kembali kisah-kisah berisi masalah-masalah yang mereka hadapi
dengan memisah-misahkan asumsi-asumsi yang diyakini begitu saja yang terbentuk
dari sebuah kejadian yang mana kemudian membuka kemungkinan alternatif untuk
menjalani hidup (Bertolino & O’Hanlon; WInslade & Monk, 1999).
Eksternalisasi adalah proses untuk
membentuk kembali kekuatan naratif dan memisahkan orang dari pengidentifikasian
masalah dan kadang pemberian nama kepada masalah tersebut. White (1992)
menyatakan orang datang mencari terapi karena mereka menganggap mereka memiliki
masalah dan bukanlah untuk suatu alasan menyeluruh seperti masalah kejiwaan.
Ketika klien memandang diri mereka adalah masalah, mereka membatasi diri mereka
kepada cara-cara untuk mengatasi masalah tersebut. Pengaruh dari perubahan
bahasa yang halus ini adalah klien dapat merasakan masalah yang ada diluar diri
mereka. Bukannya memiliki masalah, seseorang justru memiliki hubungan dengan
masalah. Contohnya, ada perbedaan antara menyebut seseorang sebagai pecandu
alkohol dan mengetahui ada indikasi bahwa alkohol telah mempengaruhi
kehidupannya. Memisahkan masalah dari diri seseorang akan memberikan harapan
dan memungkinkan klien untuk menghadapi masalah seperti menyalahkan dirinya
sendiri. Dengan memahami kecenderungan untuk menyalahkan dirinya sendiri, klien
dapat membentuk kembali garis ceritanya dan membentuk cerita yang lebih
positif.[10]
Sebagian besar klien barang kali
tidak mengidentifikasi efek penuh cerita masalah, barangkali karena ketakutan
mereka dibanjiri oleh kesulitan-kesulitan. Metode yang digunakan untuk
memisahkan seseorang dengan masalah disebut sebagai eksternalisasi percakapan. Metode
ini secara khusus bermanfaat ketika orang-orang mendiagnosis dan memberi label
yang tidak memvalidasi atau memberdayakan proses perubahan (Bertolino dan O'Hanlon
2002). Eksternalisasi percakapan menetralkan tekanan, cerita yang jenuh dengan
masalah, dan memberdayakan untuk merasa kompeten dalam menangani masalah yang
dihadapi. Dua cara untuk membentuk eksternalisasi percakapan adalah (1)
memetakan pengaruh dari masalah dalam kehidupan seseorang, atau (2) memetakan
pengaruh kehidupan seseorang terhadap pengembangan masalah (McKenzie dan Monk,
1997).
Pemetaan pengaruh masalah terhadap
seseorang menghasilkan informasi yang sangat bermanfaat dan seringkali membuat
orang-orang tidak terlalu salah dan malu. Orang-orang merasa didengar dan
dipahami ketika masalah yang mempengaruhi mereka diselidiki secara sistematis.
Ketika pemetaan ini dilakukan secara hati-hati, ini memberikan landasan untuk
mengarang garis cerita baru bagi klien. Sebuah pertanyaan yang umum adalah
“Kapan masalah ini muncul pertama kali dalam kehidupan anda?” Pekerjaan dari
terapis adalah membantu klien dalam menelusuri masalah dari mana asalnya sampai
sekarang. Terapis menempatkan masalah mendatang dengan bertanya, “Jika masalah
berlanjut selama satu bulan (atau periode tertentu), apakah artinya bagi anda?”
Pertanyaan ini dapat memotivasi klien untuk bergabung dengan terapis dalam
memerangi dampak dari efek masalah tersebut.
Pemetaan efek dari kehidupan
seseorang terhadap pengembangan masalah seringkali membuat klien menjadi sadar
bahwa masalah tersebut tidak sepenuhnya didominasi diri atau kehidupannya.
Terdapat beberapa contoh di mana klien menangani secara baik masalah tersebut.
bentuk pemetaan ini membantu klien tidak tenggelam dalam masalah dan melihat
harapan dari bentuk kehidupan berbeda. Terapis melihat ‘momen kemilau’ ini
ketika mereka melakukan eksternalisasi percakapan dengan klien (White dan
Epston, 1990).[11]
Kasus Brandon mengilustrasikan eksternalisasi
percakapan. Brandon mengatakan bahwa dia terlalu marah, khususnya ketika dia
merasa bahwa istrinya mekritiknya secara tidak adil: “Saya hanya cerewet, daya
rendah, saya kacau, kembali bertengkar. Kemudian saya ingin saya tidak seperti
itu, tetapi sudah terlalu lambat. Saya terjerumus lagi” Walaupun pertanyaan
tentang bagaimana kemarahan terjadi, lengkap dengan contoh dan
kejadian-kejadian khusus, akan membangun menunjukkan pengaruh dari masalah,
pertanyaan sesungguhnya adalah eksternalisasi masalah: “Apakah misi dari marah,
dan bagaimanakah anda melakukan misi tersebut?”, “Bagaimanakah kemarahan anda
terjadi, dan bagaimana ini membuat anda menjadi sangat kuat?”. “Apakah
kemarahan yang dilakukan anda, dan apa yang terjadi ketika anda memenuhi kebutuhan
tersebut?”.
c.
Penemuan
hasil yang unik
Dalam pendekatan naratif,
eksternalisasi pertanyaan-pertanyaan diikuti dengan pertanyaan untuk mencari
hasil unik. Terapis berbicara kepada klien tentang momen pilihan atau
keberhasilan berkaitan dengan masalah. Ini dilakukan dengan memilih perhatian
dan beberapa pengalaman yang terpisah dari cerita masalah, terlepas pada
bagaimana tidak signifikan ini bagi klien. Terapis dapat bertanya: “Apakah ada
waktu di mana kemarahan akan menguasai anda, dan anda melawannya? Seperti
apakah diri anda? Bagaimanakah anda melakukan itu?” Pertanyaan-pertanyaan ini
dimaksudkan untuk menyoroti momen ketika masalah tidak terjadi atau ketika
masalah diatasi dengan baik. Hasil unik sering kali dapat ditemukan dalam
masa lalu atau sekarang, tetapi mereka juga dapat dihipotesa untuk masa depan:
“Apakah bentuk yang akan terjadi terhadap kemarahan yang terjadi?”. Menyelidiki
pertanyaan-pertanyaan seperti ini memungkinkan klien melihat perubahan mungkin
dilakukan. adalah di dalam perhitungan bahwa hasil unik bahwa terdapat gerbang
untuk memberikan teritorial alternatif bagi kehidupan klien (White, 1992).
Dengan mengikuti deskripsi kejadian
unik, White (1992) menyampaikan pertanyaan-pertanyaan berikut, baik langsung
ataupun tidak langsung, yang membawa pada naratif yang disampaikan secara lebih
jelas:
d.
Alternatif
cerita and Reautoring
Membentuk cerita terjadi
berulang-ulang dalam dekonstruksi, dan terapis naratif mendengarkan pembukaan
terhadap cerita baru. orang-orang dapat secara kontinyu dan aktif mengarang
kembali hidupnya, dan terapis naratif mengundang klien untuk mengarang cerita
alternatif melalui ‘hasil unik’ atau sesuatu yang tidak diprediksi oleh cerita
yang jenuh masalah (Freedman dan Combs 1996). Terapis naratif menanyakan pada
saat pembukaan: “Sudahkah anda pernah mampu keluar dari pengaruh masalah?”. Terapis
mendengarkan isyarat terhadap kompetensi di antara cerita problematis dan
membangun cerita tentang kompetensi.[12]
Sebuah titik balik dalam wawancara
naratif terjadi ketika klien melakukan pilihan apakah melanjutkan hidupnya yang
jenuh dengan cerita masalah atau menciptakan cerita lain (Winslade dan Monk,
1999). Melalui penggunaan kemungkinan pertanyaan uni, terapis menggerakkan
fokus ke masa depan. Contoh, “Didasarkan pada apa yang anda pelajari tentang
diri sendiri, apakah langkah selanjutnya yang akan anda ambil? Ketika anda
bereaksi dari identitas yang disukai, apakah aksi yang akan membuat anda
bertindak lebih?”. Pertanyaan-pertanyaan tersebut mendorong orang-orang
memantulkan apa yang telah mereka capai sekarang dan apa langkah selanjutnya.
Terapis bekerja dengan klien secara
kolaboratif dengan membantu mereka membuat cerita komprehensif yang lebih
koheren (Naimeyer 1993). Apakah terlibat dalam percakapan bebas atau melakukan
serangkaian peraturan dalam proses relatif konsisten, terapis naratif berusaha
menunjukkan kemungkinan baru dan mengkaitkan ini dengan proses dan naratif
kehidupan dari orang-orang yang mereka layani. White dan Epston (1990)
menyelidiki kejadian-kejadian unik yang serupa dengan pertanyaan-pertanyaan
pengecualian pada terapis berfokus-solusi. Keduanya berusaha membangun
kompetensi yang sudah ada pada seseorang. Pengembangan cerita alternatif, atau
naratif, dalam menyampaikan harapan akhir: Sekarang adalah hari pertama dari
sisa kehidupan selanjutnya.
e.
Mendokumentasikan
bukti naratif
Praktisi naratif percaya bahwa
cerita terjadi hanya ketika terdapat pemirsa yang menghargai dan mendukung
mereka. dengan demikian, penghargaan audien terhadap perkembangan baru secara
sadar diajukan. Memperoleh audien untuk agar perubahan baru terjadi menimbulkan
kebutuhan untuk terjadi jika cerita alternatif tetap hidup (Andrew dan Clark,
1996).
Satu teknik untuk mengkonsolidasi
keuntungan yang dibuat klien adalah dengan menulis surat. Surat naratif yang
ditulis oleh terapis mencatat sesi dan mungkin memasukkan eksternalisasi
deskripsi tentang masalah dan pengaruhnya terhadap klien sebagaimana halnya
laporan kekuatan dan kemampuan klien yang diidentifikasi dalam sesi tersebut.
Surat tersebut menyoroti perjuangan klien yang telah dilakukan dalam mengatasi
masalah dan menarik perbedaan antara cerita yang penuh masalah dengan
mengembangkan cerita baru dan disukai (McKenzie dan Monk, 1997). Surat ini
seringkali dikirim kepada klien antar sesi (Andrew, Clark, dan baird, 1997).[13]
Epston telah mengembangkan fasilitas
khusus untuk melakukan dialog terapi antara sesi melalui penggunaan surat
(Shite dan Epston, 1990) Suratnya mungkin panjang, kronologis proses wawancara
dan perjanjian yang dicapai, atau singkat, menyoroti makna atau pemahaman yang
terjadi terhadap dirinya di akhir kunjungan terapi sebelumnya. Surat ini
digunakan untuk mendorong klien, mencatat kekuatan dan prestasi mereka
sehubungan dengan menangani masalah atau mencatat makna dari prestasi mereka bagi
orang lain dalam komunitas.
G.
Contoh Kasus
dari Hasil Penelitian
Terapi naratif mengandung pengertian
bahwa seseorang membangun pengetahuan melalui interaksi. Kata-kata seperti
mencari jalan dan mengatasi biasa digunakan dalam pendekatan ini dimana setiap
orang tampak sebagai pahlawan yang telah menyelesaikan masalah yang mencekam
dirinya. Pada akhir terapi, kejelasan memberi makna bagi konseli sebagai
kemenangan dalam menyelesaikan masalah yang telah menindas mereka sebelumnya.
Gagasan naratif memberi metode alternatif bagi konselor untuk berbicara dengan
konseli tentang masalah dan cara pemecahan. Penggunaan bahasa yang unik ini
kondusif untuk melaksanakan bimbingan dan konseling kolaboratif.
a.
Pendekatan postmodern dari
perspektif multicultural Kontribusi
Konstruksionis sosial pendekatan
terapi klien dengan menyediakan kerangka kerja untuk berpikir tentang pemikiran
mereka dan untuk menentukan dampak stories terhadap apa yang mereka lakukan.
Klien didorong untuk menjelajahi bagaimana realitas mereka sedang dibangun dan
konsekuensi yang mengikuti dari konstruksi. Dalam kerangka nilai-nilai budaya
mereka dan pandangan dunia, klien dapat mengeksplorasi kepercayaan mereka dan
memberikan reinterpretations mereka sendiri tentang peristiwa kehidupan yang
signifikan. Para praktisi dengan perspektif konstruktivis sosial dapat memandu
klien dengan menghormati nilai-nilai yang mendasarinya. Dimensi ini penting
terutama dalam kasus-kasus di mana konselor dari latar belakang budaya yang
berbeda dengan klien mereka. Terapi naratif didasarkan konteks sosial budaya,
yang membuat pendekatan ini sangat relevan untuk konseling dengan klien beragam
budaya. Banyak pendekatan modern yang telah dibahas dalam buku ini didasarkan
pada asumsi bahwa masalah-masalah ada di dalam individu. Beberapa model
tradisional ini mendefinisikan kesehatan mental dalam kaitannya dengan
nilai-nilai budaya yang dominan. Sebaliknya, narasi terapis beroperasi pada
premis bahwa masalah-masalah yang diidentifikasi dalam sosial, budaya, politik,
dan konteks relasional daripada individua. Mereka sangat peduli dengan
mempertimbangkan isu-isu gender, etnis, ras, orientasi seksual, dan kelas sosial
dalam proses terapeutik. Masalah terapis narasi berkonsentrasi pada
cerita-cerita yang mendominasi dan menundukkan pribadi, sosial, dan budaya
tingkat. Dari orientasi ini, para praktisi membongkar asumsi-asumsi budaya yang
merupakan bagian dari problem klien.
Dalam diskusi tentang pengaruh multikultural klien, Bertolino dan O’Hanlon (2002) bahwa mereka tidak mendekati klien dengan pendapat yg terbentuk sebelumnya. Sebaliknya, mereka belajar dari klien tentang pengalaman mereka. Berikut adalah beberapa pertanyaan untuk lebih memahami multikultural klien:[14]
Dalam diskusi tentang pengaruh multikultural klien, Bertolino dan O’Hanlon (2002) bahwa mereka tidak mendekati klien dengan pendapat yg terbentuk sebelumnya. Sebaliknya, mereka belajar dari klien tentang pengalaman mereka. Berikut adalah beberapa pertanyaan untuk lebih memahami multikultural klien:[14]
1. Apa yang
dapat Anda berbagi dengan saya tentang latar belakang yang memungkinkan saya
untuk lebih memahami Anda?
2. Apa yang
telah Anda siapkan menghadapi tantangan perkembangan budaya Anda?
3. Jika ada,
tentang latar belakang yang sulit bagi Anda?
4. Bagaimana
Anda dapat menarik kekuatan dan sumber daya dari budaya Anda? Sumber daya apa
yang dapat Anda ambil pada saat dibutuhkan?
Pertanyaan
seperti ini dapat menjelaskan pengaruh multikultural tertentu sebagai sumber
dukungan atau yang berkontribusi pada masalah klien.
Keterbatasan
Multicultural Counseling terhadap Pendekatan Post Modern Keterbatasan berkenaan
pendekatan postmodern, pada “sikap ketidaktahuan” terapis, mengasumsikan
bersama “klien sebagai ahli”. Jika terapis mengatakan pada klien “Saya
benar-benar tidak seorang ahli; Anda adalah ahli, aku percaya pada sumber daya Anda
untuk mencari solusi untuk masalah Anda,” kemungkinan akan menimbulkan
kurangnya kepercayaan pada Therapist.
Untuk
menghindari situasi ini, terapis menggunakan solusi-fokus atau orientasi
narrative kepada klien bahwa ia memiliki keahlian dalam proses terapi, tetapi
klien tidak langsung terlibat dalam perilaku yang bertentangan dengan tujuan
dasar mereka.[15]
Sarah
Walther adalah salah satu dari 'generasi
kedua' terapis narasi yang membangun dan memperluas pemikiran Michael
White dan metode. Sarah adalah seorang guru
yang berpengalaman dan menarik dari Institut Terapi Narasi dan menawarkan
pelatihan dan konsultasi sebagai anggota fakultas pengajaran Institut, baik di
Inggris dan internasional. Dia telah menulis sejumlah makalah yang berhubungan
dengan terapi naratif dan prakteknya berbasis di Timur Lancashire CAMHS, di
mana dia adalah Therapist Narasi pertama ditunjuk oleh layanan kesehatan
nasional publik. Dia berbicara dengan anak, orang muda dan mereka yang terlibat
dalam kehidupan mereka di mana ada berbagai kekhawatiran, termasuk: efek
trauma; kesulitan makan; pikiran dan tindakan yang terkait dengan merugikan
diri dan bunuh diri; kronis masalah kesehatan fisik, dll. Evril Silver, Alison
Williams, Fiona Worthington, dan Nicola Phillips (1998). Jurnal Terapi
Keluarga, 20, 413-422.
b.
Proses dan hasil terapi narasi untuk
penyakit depresi pada orang dewasa: refleksivitas Narasi, aliansi kerja dan
peningkatan gejala dan antar-pribadi
Tujuan penelitian, untuk mengetahui
proses dan hasil terapi naratif, terdiri tujuan teoritis dan empiris. Tujuan
pertama adalah untuk mengartikulasikan sebuah sintesis teoritis dari teori
naratif, penelitian, dan praktek. Proses refleksivitas narasi diidentifikasi
sebagai konstruk teoritis yang menghubungkan teori dengan penelitian narasi
narasi dan praktek. Tujuan kedua adalah untuk mendukung sintesis ini secara
empiris dengan memeriksa proses terapi narasi, khususnya refleksivitas naratif
dan aliansi terapi, dan hubungannya dengan hasil terapi. Tujuan ketiga adalah
untuk mendukung sintesis yang diusulkan teori, penelitian, dan praktek dan
memberikan bukti kuantitatif untuk kegunaan terapi naratif, dengan mengevaluasi
gejala depresi dan antar pribadi hasil keterkaitan melalui analisis
signifikansi statistik, signifikansi klinis.[16]
Untuk mendukung sintesis teoritis,
uji coba proses-hasil dievaluasi delapan sesi terapi narasi untuk 47 orang
dewasa dengan gangguan depresi besar. Variabel proses dependen adalah narasi
refleksivitas (dinilai pada Sesi 1 dan 8) dan aliansi terapeutik (dinilai pada
Sesi 1, 3 dan 8). Primer variabel hasil dependen adalah gejala depresi dan
antar-pribadi keterkaitan. Analisis Primer dinilai hasil terapi pada
pra-terapi, pasca-terapi, dan tiga bulan follow-up dan digunakan strategi
benchmarking terhadap terapi pra-mengevaluasi pasca-terapi dan pasca terapi
untuk menindaklanjuti keuntungan, efek ukuran dan pra -terapi untuk pasca
terapi signifikansi klinis. Uji klinis memberikan dukungan empiris untuk
kegunaan terapi narasi dalam meningkatkan gejala depresi dan antar-pribadi
keterkaitan dari pra-terapi untuk pasca terapi: besarnya perubahan yang
menunjukkan efek ukuran besar (d = 1,10-1,36) untuk gejala depresi dan efek
ukuran sedang (d = 0,52-0,62) untuk antar-pribadi keterkaitan. Terapi efektif
dalam mengurangi gejala depresi pada klien dengan sedang dan berat pra-terapi
keparahan gejala depresi. Perbaikan gejala depresi, tetapi tidak antar-pribadi
keterkaitan, dipertahankan tiga bulan setelah terapi. Penurunan gejala depresi
dan proporsi klien yang mencapai perbaikan klinis yang signifikan (53%) pada
gejala depresi pada pasca terapi sebanding dengan perbaikan dari
psychotherapies standar, dilaporkan dalam penelitian patokan. Penelitian ini
memiliki implikasi untuk membantu pemahaman kita tentang pendekatan naratif, menyempurnakan
strategi yang akan memudahkan dokter pemulihan dari gangguan psikologis dan
menyediakan dengan dasar bukti yang lebih luas untuk praktek narasi.[17]
c.
Narasi terapi untuk orang dewasa
dengan gangguan depresi utama: Peningkatan gejala dan hasil interpersonal
Penelitian ini meneliti gejala
depresi dan hasil keterkaitan antar pribadi dari delapan sesi terapi narasi
manualized untuk 47 orang dewasa dengan gangguan depresi besar. Pasca terapi,
depresi gejala perbaikan (d = 1,36) dan proporsi klien mencapai perbaikan yang
dapat diandalkan (74%), gerakan untuk penduduk fungsional (61%), dan perbaikan
klinis yang signifikan (53%) sebanding dengan hasil penelitian patokan. Pasca
terapi peningkatan keterkaitan interpersonal (d = 62) kurang substansial dibandingkan
gejala. Tiga bulan follow-up ditemukan pemeliharaan gejala, tapi keuntungan
tidak interpersonal. Perbandingan dan analisis signifikansi klinis dikurangi
keterbatasan ukuran desain diulang, memberikan bukti empiris untuk mendukung
terapi narasi untuk orang dewasa dengan gangguan depresi besar.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Terapi Naratif mengadopsi pendekatan
yang melibatkan perubahan fokus dari teori paling tradisional. Terapis
dianjurkan untuk membangun pendekatan kolaboratif dengan minat khusus pada
klien dengan mendengarkan cerita-cerita; untuk mencari tahu kehidupan klien.
Menggunakan pertanyaan sebagai cara untuk melibatkan klien dan
memfasilitasi mereka bereksplorasi, untuk menghindari diagnosis dan
pelabelan klien atau menerima sepenuhnya berdasarkan deskripsi masalah; untuk
membantu klien dalam pemetaan pengaruh masalah yang dimiliki dalam
kehidupan mareka; dan untuk membantu klien memisahkan diri dari cerita-cerita
yang dominan yang telah di internalisasi sehingga hati atau pikiran
yang sering kali disebut sebagai ruang dapat dibuka untuk menciptakan kisah
kehidupan alternatif.
B.
Saran
Semoga makalah ini dapat bermanfaat
bagi penulis dan dapat menambah wawasan bagi pembaca. Kami mengharapkan kritik
dan saran bagi pembaca untuk perbaikan makalah selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Capuzzi, D
& Gross, D.R, 2007. Counseling & Psychotherapy: Theories and
Intervention. Upper Saddle River. New Jersey: Pearson Prentice-Hall.
Corey G, 2009. Theory and Practice of Counseling and Psychotherapy. Belmont, CA:
Brooks/Cole.
Mc Leod,
John, 2010. Pengantar Konseling: Teori dan Studi Kasus. Jakarta:
Kencana.
Lynette P.Vromans & Robert D.Schweitzer,
2010. Psikoterapi Penelitian, 19 Maret 2010.
No comments:
Post a Comment